You are on page 1of 10

SISTEM KOMUNIKASI SATELIT DI INDONESIA PENDAHULUAN Wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan selat pemisah yang

cukup besar memberikan tantangan lebih berat dalam hal telekomunikasi. Penggelaran jaringan dengan munggunakan kabel akan mengalami hambatan dengan adanya laut yang cukup luas dan tentu saja biaya yang sangat besar baik dalam penggelaran maupun perawatannya. Satelit merupakan salah satu alternatif solusi untuk menjangkau seluruh daerah Indonesia. Penggunaan satelit sebagai media telekomunikasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1976, diawali dengan peluncuran satelit palapa dan beroperasi pada tahun tersebut. Komunikasi telepon dari wilayah timur nusantara yang sebelumnya tidak terjangkau teknologi telekomunikasi, menjadi jauh lebih mudah dengan Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa. KONDISI SAAT INI Sejak keberhasilan satelit Palapa maka berlanjutlah penggunaan satelit di Indonesia dengan diluncurkannya satelit Palapa A2, Palapa B1, dan juga disusul Garuda dan Telkom pada dasawarsa terakhir. Berikut adalah satelit yang masih beroperasi di Indonesia saat ini. No Nama Satelit Mulai Akhir Pengelola Beroperasi Operasi
1 2 3 4 5 6 7 8 Palapa C2 Indostar I (Cakrawarta I) Telkom-1 Garuda-1 Telkom-2 LAPAN-TUBSAT Indostar II (Cakrawarta II) Palapa D 15 Mei 1996 12-Nov-97 12 Agustus 1999 12 Februari 2000 16-Nov-05 2007 16 Mei 2009 31 Agustus 2009 2011 2011 2016 2015 2020 2024 2024 Satelindo Indosat Indovision Telkom Asia Cellular Satellite (ACeS) Telkom LAPAN Indovision Indosat

Dengan dioperasikannya Palapa D maka jumlah transponder yang saat ini melayani indonesia adalah 159 transponder. Menurut perkiraan dari Ditjen Postel sebenarnya kebutuhan akan transponder di tahun 2010 akan mencapai 200 transponder, sehingga jumlah yang ada saat ini sebenarnya masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan akan satelit. Oleh sebab itu maka transponder asing juga beroperasi di tanah air baik secara legal maupun ilegal yang diperkirakan mencapai 43 transponder. Walaupun Indonesia merupakan negara ketiga di dunia yang mempunyai satelit, namun perlu dicatat bahwa satelit yang pertama dibuat Indonesia dan berhasil mengorbit adalah INASAT pada tahun 2006 oleh LAPAN dan PT Dirgantara Indonesia. Satelit ini juga baru merupakan satelit mikro penerus satelit INASAT yang hanya mampu

mengorbit selama 6 bulan. Kita semakin tertinggal bila dibandingkan dengan India yang saat ini mengoperasikan 21 satelit dan China yang mempunyai 56 satelit. Padahal saat ini kita mempunyai beberapa hak orbit satelit yang belum dimanfaatkan di 113E, 150.5E dan 115,4E. Orbit ini sekarang baru sebatas terdaftar di ITU untuk negara Indonesia. Memang dari segi penelitian dan pengembangan akan dibutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk meluncurkan satelit geo stationary (GSO) namun manfaat yang bisa didapatkan akan sangat besar, apalagi dengan perkembangan pesat dunia TIK di Indonesia. Masih banyak daerah terpencil yang belum bisa memanfaatkan jaringan internet pita lebar karena belum terjangkau oleh akses terestrial. Program USO yang diusung pemerintah tentu juga akan terbantu bila ada alternatif akses satelit yang murah dan handal. LAYANAN Pemanfaatan layanan satelit di Indonesia memang cukup banyak, karena sifat cakupannya yang sangat luas sesuai dengan bentuk geografis Indonesia. Yang perlu digarisbawahi keunggulan dari transmisi satelit dibandingkan transmisi terestrial adalah: - Dapat menjangkau permintaan komunikasi di daerah yang remote dan terpencil dan tersebar tidak merata seperti negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan tidak dimungkinkannya sistem terestrial dan kabel karena adanya pegunungan, hutan dan lautan. - Deployment sistem satelit yang cepat - Sifatnya yang dapat digunakan untuk broadcasting, point to multi point maupun point to point. Layanan-layanan satelit yang tersedia di Indonesia saat ini adalah : - FSS (fixed satellite services) pemanfaatannya di Indonesia misalnya untuk VSAT baik sebagai jaringan penghubung transmisi GSM, data banking maupun VSAT IP. VSAT merupakan layanan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Baik satelit Palapa, Telkom maupun Garuda menawarkan layanan ini. - BSS (broadcast satellite services) fungsi utamanya sebagai media penyiaran radio dan televisi, merupakan salah satu penggunaan layanan yang cukup banyak di Indonesia. Layanan broadcast juga mencakup layanan DTH (direct to home) yang masih terus berkembang. DTH yang beroperasi di Indonesia saat ini adalah Indovision dengan satelit Cakrawarta, dan Telkomvision dengan satelit TELKOM. Sedangkan Palapa juga digunakan sebagai media broadcast namun bukan merupakan layanan akses, namun sebagai sistem relay saja. - MSS (mobile satellite services) : Layanan ini diselenggarakan oleh AceS dengan produk byru. Layanan ini kurang mendapat respon positif dari pasar, terutama dengan semakin majunya teknologi mobile terestrial seperti GSM dan CDMA.

Walaupun perannya tidak bisa disingkirkan untuk komunikasi daerah terisolasi namun penggunaanya relatif sangat kecil dan secara bisnis kurang menguntungkan. Satelit juga bermanfaat sebagai Disaster Recovery System. Kita tidak boleh lupa bagaimana satelit sangat bermanfaat pada saat terjadi bencana besar seperti tsunami di Aceh. Pada saat itu hampir seluruh fasilitas telekomunikasi di terestrial hancur dan tidak bisa digunakan lagi. Saat itu didatangkan ribuan telepon satelit byru untuk memberikan fasilitas telekomunikasi kepada para korban dan sukarelawan. Dan juga komunikasi satelit Telkom menjadi sistem transmisi backbone pertama yang dapat menghubungkan kembali Aceh dengan dunia luar. Para broadcaster dalam dan luar negeri menggunakan fasilitas satelit news gathering milik Telkom untuk menyebarkan informasi mengenai Aceh pasca tsunami ke seluruh dunia Demand akan layanan satelit komersiil ini di Indonesia masih cukup besar, Satelit Telkom sebagai contoh, 2 satelit TELKOM-1 dan TELKOM-2 dengan masing-masing 24 transponder dengan bandwith 72 Mhz saat ini utilitasnya sudah penuh. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan TIK yang sangat pesat di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Satelit dimanfaatkan sebagai penghubung tansmisi GSM di daerah-daerah terpencil. Operator lebih memilih menggunakan VSAT daripada harus membangun jaringan kabel hingga ke daerah pelosok. Dalam hal ini bisa kita lihat bahwa sebenarnya jaringan terestrial dan jaringan satelit akan saling melengkapi dan tidak saling mengeleminasi. Mungkin terdapat kasus khusus untuk produk MSS dikarenakan harga yang cukup mahal dan mobilitas yang masih terpusat di Jawa sehingga layanan ini kurang bisa mendapatkan pasar. Untuk penginderaan jarak jauh saat ini Indonesia masih sangat bergantung kepada satelit negara lain. Bahkan penyedia layanan luar negeri bisa memberikan citra yang sangat detail dari tiap pelosok nusantara dengan satelitnya. Kita cukup bisa berharap dengan diluncurkannya satelit mikro LAPAN-TUBSAT yang memang dilengkapi dengan teknologi penginderaan jarak jauh berupa kamera. Saat ini kita sudah bisa menikmati beberapa hasil dari citra penginderaan LAPAN-TUBSAT. Dengan pemanfaatan satelit penginderaan seperti ini akan sangat berguna bagi bidang lain misalnya meteorologi, perhubungan, pertanian dan tentu saja pendidikan. Kita harapkan program satelit non komersial seperti ini masih akan berlanjut dan memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan bangsa. Sedangkan Layanan-layanan lain yang diharapkan bisa segera dilaksanakan dengan satelit di Indonesia adalah : - Pengamatan Antariksa - Navigasi - Militer - Komunikasi telepon di pesawat

Untuk aplikasi-aplikasi lain seperti distance learning, pengobatan jarak jauh maupun egov, sebenarnya bukan lagi merupakan hambatan saat ini. Karena sebenarnya dengan penggunaan satelit seperti layaknya transmisi IP maka konten elektronik apapun akan dimungkinkan dilewatkan ke dalam satelit. Yang diperlukan hanyalah konten yang tepat guna dan bukan hanya sebatas penghabisan dana proyek tahunan pemerintah. Program-program seperti ini jangan hanya disusun untuk jangka pendek namun juga dikaji manfaatnya bagi jangka panjang. Saat ini masih banyak tempat pendidikan di Timur Indonesia yang belum bisa mengakses informasi yang memadai. Dengan teknologi satelit harusnya hal ini bisa diminimalisir. Pemerintah perlu memberikan alokasi khusus bagi penggunaan layanan yang bersifat layanan publik. TEKNOLOGI Pada saat awal Palapa-A dioperasikan kita mengenal stasiun bumi dengan antena yang cukup lebar dan juga peralatan yang besar karena dibutuhkan daya besar untuk berkomunikasi dengan satelit. Namun seiring dengan perkembangan semikonduktor dan teknologi antena maka hal ini tidak diperlukan lagi. Saat ini di Indonesia juga telah mengadopsi teknologi baru ini, dengan antena tidak lebih dari 1 meter dan peralatan yang kompak, kita sudah bisa memanfaatkan komunikasi satelit. Teknologi yang paling sering dipergunakan adalah VSAT (Very Small Aperture Terminal) yang biasa disebut juga sebagai stasiun bumi mikro. Kita bisa lihat pada mesin ATM, kantor-kantor cabang dan juga transmisi daerah rural memanfaatkan teknologi ini. VSAT memungkinkan transmisi suara maupun transmisi data dengan mekanisme TDM maupun FDM. TDM memungkinkan operator bisa membagi penggunaan transponder secara bersama antara para pelanggan yang masing-masing memiliki persyaratan sendiri-sendiri dalam hal response time dan traffic pattern (pola lalu-lintas). Walaupun penggunaan teknologi ini mempunyai response time yang lebih lama, namun biaya bulanannya sangat murah dan membuat produk ini diterima secara luas di kalangan industri perbankan dan perusahaan distribusi. Sedangkan FDM dengan teknologi SCPC (Single Carrier Per Channel) digunakan untuk kebutuhan komunikasi yang lebih handal. Para pengguna layanan ini biasanya datang dari kalangan industri perminyakan, pertambangan, dan perkayuan. Ketika muncul konsep bandwith on demand (lebar pita berdasarkan permintaan), beberapa operator juga menawarkan VSAT FDM DAMA (Demand Assigned Multi Access). Keuntungan utama yang ditawarkan oleh DAMA adalah penggunaan pita yang efisien melalui pengelolaan alokasi lebar pita bagi para pengguna dengan aplikasi yang berbeda dan waktu yang berbeda-beda pula. Namun teknologi kurang banyak dimanfaatkan di Indonesia.

Penggunaan Frekuensi Satelit di Indonesia masih didominasi oleh C band ini disebabkan karena curah hujan yang tinggi di sebagian kawasan di Asia. Namun karena terbatasnya frekuensi dan sudah padatnya orbit satelit memaksakan operator beralih ke frekuensi lain seperti Ku dan Ka band. Terobosan baru di bidang persatelitan di Indonesia perlu dilakukan, dengan pemakaian frekuensi di atas 10 GHz., yaitu Ku-band (11 s/d 18 GHz) dan Ka-band (20 s/d 30 GHz). Karena di frekuensi tinggi ini menawarkan bandwith yang lebih besar. Pemakaian frekuensi di atas 10 GHz memang memiliki hambatan, yaitu semakin tinggi frekuensi, akan semakin tinggi redaman hujannya. Semakin tinggi redaman hujan akan semakin menurunkan link-availability-nya. Teknologi saat ini memungkinkan untuk mengantisipasi redaman yang dialami akibat curah hujan. Beberapa cara yang digunakan misalnya Automatic Coding and Modulation feature on the outroute(ACM) yaitu pengaturan daya saat terjadi hujan. Lalu penggunaan Turbo Code pada VSAT untuk mendapatkan fade margin yang lebih besar. Dan juga teknologi Adaptive Inroute Selection yang merupakan penggunaan Error coding yang dinamis sesuai dengan tingkat redaman hujan. Di samping itu dengan menggunakan Ku band ukuran diameter antena yang digunakan akan lebih kecil dibanding C band. Sehingga cost ground segment-nya juga lebih murah dan dapat memberikan layanan multimedia dengan biaya yang kompetitif. Bila kita bandingkan dengan negara tetangga, Malaysia misalnya mereka telah memanfaatkan Ku-band untuk satelit Measat-nya. Dengan cakupan yang juga termasuk seluruh wilayah Indonesia, maka operator satelit Indonesia harus berhati-hati terhadap kemungkinan ancaman dari segi bisnis. Terbukti pada tahun 2008 Measat sempat dimanfaatkan sebagai akses DTH dengan produk televisi berbayar Astro. Cukup banyak pelanggan yang saat itu tertarik dengan menggunakan produk ini karena harganya yang cukup murah dan kualitas yang tidak berbeda jauh dengan Indovision yang menggunakan C-band. Bila negara lain sudah mulai berani memanfaatkan frekuensi tinggi, ini merupakan tantangan bagi operator satelit Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Kita bisa mencontoh teknik yang sama dalam mengantisipasi redaman hujan. Atau bahkan dengan litbang yang sudah mulai terbentuk di bidang satelit, kita bisa mencari alternatif solusi redaman hujan yang lebih handal. Dengan menggunakan Ku dan Kaband kita harapkan maka jasa satelit akan semakin murah dengan perangkat dan antena yang semakin kecil sehingga manfaatnya akan semakin luas bagi masyarakat. Bahkan bila digabungkan juga dengan teknologi TCP/IP melalui satelit seperti IP over DVB dan TCP spoofing untuk mempercepat masalah delay transmisi. Dengan menggunakan teknologi IP tersebut di satelit maka jaringan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia bukan lagi menjadi hambatan.

Saat ini sudah ada operator satelit yaitu Citra Sari Makmur (CSM) yang menawarkan fasilitas internet dengan menggunakan VSAT ku-band. Namun karena harga internet melalui jaringan wireless terestrial sudah sangat murah maka teknologi ini kurang mendapat sambutan pasar. Sedangkan untuk digunakan sebagai jaringan korporasi, sepertinya CSM masih kurang berani dikarenakan kualitas yang masih banyak dipengaruhi oleh redaman hujan. Sedangkan satelit Palapa D yang yang diluncurkan Indosat sebenarnya juga dilengkapi dengan 5 transponder Ku Band, namun hingga saat ini belum ada produk yang bisa dinikmati di tanah air dengan Ku band di satelit Palapa yang baru ini. Kita harapkan teknologi Ku-band dan bahkan Ka-band akan terus berkembang sehingga bisa dimanfaatkan di wilayah Indonesia. Selain itu sistem komunikasi satelit yang menggunakan frekuensi C band dan Ext-C band berpotensi mengalami interferensi jika sistem terestrial WiMAX menggunakan frekuensi yang berdekatan. Berdasarkan standarisasi di WiMAX forum Fixed WiMAX akan menggunakan frekuensi 3,5 Ghz dan 5.8 Ghz. Jika sharing penggunanaan frekuensi dilakukan maka diperlukan isolasi daerah operasi antara stasiun bumi dan antena terestrial WiMax. Lemahnya sinyal yang dipancarkan oleh satelit ke stasiun bumi karena dari jarak 36.000 km sangat rentan terhadap sinyal terestrial WiMAX yang memiliki power yang besar. Walaupun frekuensi ini masih menjadi pertentangan dalam sidang ITU dan APT namun ada baiknya operator di Indonesia perlu waspada akan kemungkinan hal ini, dan menyiapkan strategi untuk memanfaatkan frekuensi lebih tinggi untuk transmisi satelitnya. PELUANG BISNIS Saat ini terdapat 5 operator utama satelit di Indonesia yaitu PT Telkom, PT Indosat, Indovision, Paifik Satelit Nusantara dan yang terakhir adalah perusahaan gabungan AcES. Sedangkan untuk penjualan jasa biasanya diserahkan kepada anak perusahaan. Misalnya untuk VSAT kita mengenal operator CSM, LintasArta, Elektrindo Nusantara, Sanatel dan Rintis Sejahtera. Total pemerintah telah mengeluarkan 15 izin lisensi untuk penyelenggaraan jasa VSAT. Walaupun permintaan akan teknologi VSAT masih sangat banyak namun dikarenakan banyaknya operator VSAT tentu saja berdampak pada kompetisi tinggi. Kompetisi yang tinggi ini berakibat baik pada harga yang semakin murah, namun bagian yang tetap perlu diawasi adalah mengenai kualitas. Jangan sampai dengan harga yang semakin rendah standard kualitas menjadi tidak jelas dan mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat antar operator. Diluar perusahaan satelit yang mempunyai lisensi dari pemerintah, ditengarai saat ini banyak penggunaan satelit asing oleh perusahaan di Indonesia. Sebut saja satelit asing seperti Singapore Satellite, Measat, AsiaSat, Thaicom, JCSAT, Apstar, Agila, Intelsat, PanAmSat, Sinosat, Chinastar, NSS, dan IPStar yang memang memiliki

jangkauan di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya kapasitas yang bisa ditangani dengan menggunakan satelit lokal. Dengan menggunakan perkiraan dari Ditjen Postel maka saat ini kita masih ada kekurangan 50 transponder, atau sekitar 25% demand satelit yang tidak bisa tertampung. Kebijakan pemerintah saat ini adalah bahwa setiap penggunaan satelit telekomunikasi asing di Indonesia harus mendapat landing right dari Ditjen Postel. Kebijakan ini cukup baik sebagai cara untuk menertibkan penggunaan satelit asing dan koordinasi frekuensi. Karena sebenarnya frekuensi juga merupakan sumber daya alam yang perlu dijaga penggunaanya. Landing right ini juga diberikan dengan memperhatikan aspek kesamaan perlakuan terhadap satelit Indonesia di negara asal satelit asing tersebut, penyelesaian koordinasi frekuensi dan koordinat satelit dengan Indonesia, serta adanya perusahaan di Indonesia yang mengajukan izin prinsip sebagai penyelenggara telekomunikasi yang memanfaatkan akses satelit tersebut. Investasi di bidang satelit terutama satelit GSO memang membutuhkan investasi yang sangat mahal. Telkom dengan satelit Telkom-2 nya membutuhkan total investasi US$170 juta atau setara dengan 1,5 triliun rupiah. Biaya-biaya ini mencakup biaya pembuatan sebesar US$ 73 juta, untuk jasa peluncuran sebesar US$ 63 juta, untuk jasa asuransi Jasindo sebesar US$ 25,5 juta, dan sisanya US$ 8,5 juta untuk membayar jasa konsultan dari Kanada. Sedangkan Indosat untuk Palapa D bahkan membutuhkan US$230 juta, atau setara dengan 2 triliun rupiah. Dengan biaya investasi sebesar itu diperhitungkan bila semua transponder dalam keadaan terutilisasi penuh maka return on investment baru bisa tercapai pada 6-8 tahun. Sehingga tidak banyak operator satelit yang mampu menanggung beban investasi sebesar itu. Apalagi masa penggunaan satelit juga hanya berkisar 15 tahun, namun bila dilihat dari segi peluang bisnisnya sebenarnya masih sangat terbuka lebar. Untuk tetap exist dan lebih kompetitif operator dapat mengikuti jejak pemain global dengan melakukan Condo, yaitu aliansi dalam melakukan bisnis satelitnya. Condo atau aliansi dapat dilakukan dengan sharing kapasitas, satu satelit dengan beberapa platform frekuensi untuk mendapatkan harga per transponder yang lebih murah. Sebagai perbandingan untuk saat ini harga per transponder bagi operator nasional mencapai 1,25 milyar dolar, sedangkan bagi operator global maka harga transponderr bisa dikurangi hingga 40%, hingga harga per transpondernya hanya memakan biaya 0,75 milyar dolar. Namun regulasi yang ada saat ini masih kurang mengakomodir model bisnis kerjasama satelit asing. Cakupan satelit GSO indonesia yang cukup luas hingga seluruh ASEAN dan juga beberapa negara tetangga lain, sebenarnya juga merupakan prospek bisnis yang sangat baik. Dengan memberikan sewa transponder ke negara asing, harga yang bisa ditawarkan akan lebih tinggi. Namun dengan kebutuhan internal yang saat ini belum

bisa tercukupi maka hanya sedikit dari bagian kapasitas tersebut yang bisa disewakan ke negara lain. Mungkin nanti bila 3 orbit GSO lain yang dimiliki Indonesia sudah digunakan, maka kita bisa menikmati hasil dari pemanfaatan satelit bagi devisa negara. Coumpound Annual Growth Rate (CAGR) di Asia untuk bisnis satelit ini diperkirakan mencapai 1,9 persen dari 2008-2016. Untuk tahun 2010 saja nilai bisnis satelit diperkirakan mencapai 5,75 triliun rupiah atau tumbuh 10-15 persen ketimbang tahun lalu. Angka itu diperkirakan dari sewa transponder, penyewaan Very Small Aperture Terminal (VSAT), DTH, dan backbone/backhaul operator. Untuk kedepannya VSAT masih merupakan salah satu layanan yang menjadi andalan bisnis satelit, selain juga sebagai backhaul dan broadcasting. Pasar domestik juga masih merupakan ladang bisnis utama, apalagi dengan perkembangan telekomunikasi yang tinggi. Selain itu program USO pemerintah yang sebagian besar juga memanfaatkan VSAT juga memberikan demand yang tinggi terhadap satelit. Berikutnya dengan perkembangan DTH dan broadcasting menuju teknologi baru yaitu High Definition juga membutuhkan kapasitas yang besar di satelit, sehingga bisnis satelit masih akan terus berkembang. ROADMAP Dalam hal roadmap kedepan maka pemerintah sebaiknya berusaha mengidentifikasi masalah yang mungkin ada dalam hal penggunaan satelit di Indonesia sejak jauh hari. Karena dalam pengembangan satelit maupun perijinannya membutuhkan waktu yang lama sehingga dibutuhkan rencana dan strategi yang jelas dari pemerintah. Beberapa hal yang perlu diselesaikan oleh pemerintah adalah : y Penambahan Kapasitas Dalam Negeri Dengan kurangnya kapasitas satelit indonesia saat ini, perlu ada usaha pemerintah untuk memberikan dukungan kepada operator dalam negeri untuk menambah kapasitas satelitnya. Diharapkan dengan satelit PSN berkapasitas empat puluh delapan (48) transponder pada tahun 2012, kekurangan kebutuhan akses satelit dalam negeri semakin bisa diminimalisir y Slot Orbit dan Spektrum Permasalahan 3 orbit satelit yang sempat dicabut fillingnya oleh ITU, harus menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia. Kita harus terus aktif untuk mempertahankan orbit satelit yang telah dimiliki saat ini. Selain itu, pemerintah perlu untuk segera melakukan kajian optimalisasi terhadap Pita-Terencana (Planned Band) Indonesia. Dalam jangka panjang, Pemerintah perlu untuk mengantisipasi kebutuhan pita-Ku dan pita-Ka. Oleh karena itu, program-program pendaftaran satelit baru dengan pita-Ku dan pita-Ka perlu dilakukan. Selain itu juga perlu program pendaftaran satelit Non GSO untuk mengakomodasi kebutuhan infrastruktur satelit.

y Penelitian dan pengembangan (R&D), program-program penelitian tentang karakteristik propagasi pita-Ku dan pita-Ka untuk sistem komunikasi satelit sangat perlu dilakukan karena karakteristik iklim Indonesia yang sangat unik. Kita tidak boleh hanya berdiam diri menunggu teknologi asing untuk pemanfaatan pita Ku dan Ka, kita harus proaktif untuk mencari solusi bagi permasalahan ini. LAPAN sebagai lembaga penelitian harus bersinergi dengan lembaga pendidikan untuk mewujudkan program satelit dengan pita frekuensi tinggi. Selain itu kita perlu belajar untuk memproduksi satelit dan meluncurkan satelit sendiri. Dengan bisa mandiri dalam hal satelit maka nilai investasi besar dalam peluncuran satelit tidak hanya dinikmati oleh perusahaan asing, tapi juga oleh bangsa kita sendiri. Kita perlu mencontoh India dan China dalam hal ini. Dengan umur satelit yang hanya 15 tahun, dan frekuensi peluncuruan satelit yang makin tinggi pemerintah perlu membantu lembaga penelitian untuk menciptakan kapabilitas nasional di bidang satelit. y Kebijakan Finansial dan Go-International Kita berharap satelit bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan infrastruktur bagi bangsa namun juga bisa memberikan nilai lebih dari segi finansial. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan bagi industri satelit Indonesia baik berupa insentif pajak maupun non-pajak. Seiring dengan tumbuh-kembangnya kapabilitas Indonesia dan juga majunya industri dalam negeri di bidang satelit dan aplikasinya, maka pemerintah bisa berharap terjadinya peningkatan ekspor softskill dan industri satelit Indonesia ke luar negeri yang berkesinambungan di tahun-tahun depan. y Regulasi Ada beberapa regulasi yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, program pengaturan frekuensi satelit, program pengaturan pengelolaan slot orbit, program pembuatan peraturan tentang penggunaan satelit untuk kepentingan komersial dan non-komersial, program pembuatan peraturan tentang berbagai layanan satelit termasuk layanan satelit bergerak, layanan satelit penyiaran, layanan satelit tetap dan layanan-layanan khusus seperti layanan penjejakan aset dan layanan satelit untuk penumpang pesawat. Saat ini ada dua regulasi yang spesifik mengatur tentang satelit yakni KM No 13/2005 dan KM No 37/2006 tentang Penggunaan Satelit. Dua regulasi itu mengatur tentang satelit asing wajib memiliki landing right dan membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi kala beroperasi di Indonesia sebagaimana satelit lokal diperbolehkan di negara bersangkutan. Padahal sebenarnya ada manfaat lain yang bisa diambil dengan kerjasama dengan satelit asing, yaitu terciptanya cakupan yang lebih luas dan peluang bisnis di negara lain. Kita berharap regulasi bisa benar-benar berpihak kepada kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA [1] Daftar Satelit Indonesia. http://id.wikipedia.org/ [2] http://www.postel.go.id/ [3] Konsep Peta-Jalan (Roadmap) Infrastruktur Satelit Indonesia. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. 2008. [4] Arnold Djiwatampu. Braving the Challenge of Satellite Technologies: National Breakthroughs and Indonesia s Role in International Forums. Online Journal of Space Communication. [5] Rakhim Yuba. Pengembangan Satelit Mikro Indonesia. Online Journal of Space Communication. [6] Chrisma Albandjar and Hilman A. Rasyid. Bagaimana Membuat Indonesia Terhubung: Melayani Yang Belum Terlayani. Online Journal of Space Communication [7] Prima Setiyanto Widodo. Sudah waktunya menggunakan Ku-Band di Indonesia. Online Journal of Space Communication [8] Gregorius Parlindungan Hutahaean, Ir. MM. Industri VSAT Di Indonesia, Dan Peranan CSM Saat Ini Dan Di Masa Depan. Online Journal of Space Communication [9] Kondisi dan Peluang Industri Satelit di Kawasan Asia [10] http://www.acesinternational.com/ [11] Satellite Database. http://www.ucsusa.org/nuclear_weapons_and_global_security/space_weapon s/technical_issues/ucs-satellite-database.html

You might also like