You are on page 1of 12

HUKUM RAJAM

Diajukan Oleh: MUHAMMAD QUSAI Fiqh Modern 2008080-2

Dosen Pengasuh: Prof. Dr. Rusydi Ali Muahammad, SH

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH 2010 M/1431 H


HUKUM RAJAM
Oleh: Muhammad Qusai A. Pendahuluan Kata rajam sekilas bukanlah sebuah istilah yang asing dalam kajian hukum islam, terutama spesifik Hukum Jinayah. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir di Aceh, istilah rajam menjadi sebuah istilah yang sangat menarik untuk dicermati dan bahkan saat sekarang mendapat perhatian khusus dari pakar hukum dalam kajian hukum di Indonesia. Hal ini bermula ketika hukum rajam diangkat kembali dalam Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah Islam yang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakya Aceh dan sudah disahkan pada 15 September 20091, walaupun segelumit masalah terjadi ketika qanun ini hendak diterapkan. Keberadaan kedua qanun yang telah dilahirkan tersebut sebenarnya merupakan momen penting dalam rangka menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara menyeluruh. Namun keberadaannya juga banyak mendapatkan kritikan dan tantangan dari berbagai kalangan baik kalangan akademisi, praktisi dan juga masyarakat dengan dalih bahwa hukum tersebut melanggar HAM, dalil hukum rajam sudah tidak ada lagi dalam Al-Quran (sudah di nasakh) dan bahkan dengan dalih bahwa masyarakat belum siap untuk melaksanakannya dan juga dalih-dalih lainnya. Disamping ada juga pihak yang mendukung dan bahkan mendesak pemerintah untuk segera mensahkannya supaya dapat dilaksanakan. Pro dan kontra pelaksanaan hukum rajam terus terjadi, masing-maing pihak mengemukakan argumentasinya untuk menguatkan pendapat mereka masing. Terlepas dari itu semua, dalam makalah yang singkat ini, penulis mencoba membahasa hukum rajam dalam kajian hukum fiqh, dan hukum nasional, serta
Pengesahan Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah dilakukan sebelah pihak oleh DPRA, dan belum ditandatangani oleh pihak Pemerinta (Gubernur)
1

sedikit banyaknya melakukan analisis terhadap materi qanun jinayah dan hukum acara jinayah terutama pada pasal tentang hukum rajam. Metode yang digunakan adalah library reserch (kajian kepustakaan) dengan mengumpulkan buku-buku, opini-opini dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan. B. Hukum Rajam dalam Tinjauan Fiqh Rajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyah, Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada. Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah mengomentari perkataan diatas, Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim, dan lainnya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membuat lubang untuk Maiz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Maiz2 Hukum rajam pernah berlaku pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 22: 22 disebutkan, Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: lakilaki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel3 Dalam al-Quran, ayat rajam tak tercantum. Namun, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam al-Quran.

Imam Shiddiq Hasan Khan , At-Taliqat Ar-Radhiyyah Ala Ar-Raudhah An-Nadiyyah, Dar al-Qutub, Beirut; t.t. hlm. 278 3 Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir atas Rajam dalam Islam, www. Islamlib.com,

Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan walau hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa al-hukm). Ayat tersebut berbunyi


Artinya: laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah secara sekaligus, sebagai balasan dari Allah). Ayat inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah hadits menyebutkan,


Artinya: Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina Kelompok Mutazilah dan Khawarij berpendapat ayat apalagi hadits yang menegaskan tentang hukum rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Quran (al-Nur: 2), yaitu


Artinya: pezina perempuan dan laki-laki, pukullah sebanyak 100 kali pukulan. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman). Memang al-Quran sendiri, seperti dalam Mushaf Utsmani, tak membedakan antara pezina muhshan dan ghair muhshan. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat tentang rajam telah di nasakh dengan surat An-Nur ayat 2, namun al-Allama Badruddin al- Aini menyatakan bahwa Nabi tetap menetapkan hukum rajam kepada para pelaku zina. Demikian juga pendapat yang dikemukakan oleh kebanyakan Imam Mazhab golongan Sunni. Kebanyakan ulama ini berpengang pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa saya

(Muhammad) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab, yaitu: orang yang sudah menikah (muhsan) berzina, membunuh orang lain dengan sengaja dan meninggalkan agama (murtad). (H.R. Bukhari dan Muslim)4 Dalam Adat Aceh, hukum rajam sampai mati yang dilakukan dengan melempar batu diganti dengan cara dibenamkan dalam sungai sampai mati yang dinamakan dalam istilah bahasa Aceh boh trieng doek bak takue5. Atau dalam istilah lainnya. Akan tetapi ada hal yang menarik yang dipraktekkan dalam Adat Aceh, yaitu adanya upaya damai dalam penanganan kasus kriminal (pidana) sebelum perkara tersebut diajukan ke pangadilan. Demikian juga hal ini berlaku pada perkara zina. Akan tetapi apabila perbuatan zina yang tidak mungkin dapat diselesaikan secara damai, dilanjutkan pemeriksaanya kepada pihak yang berwenang dan diproses melalui pengadilan.6 Namun demikian, di pengadilan juga tidak tertutup kemungkinan kepada para pelaku mendapatkan ampunan dari pemerintah. Sebagaimana sebuah contoh kasus yang terjadi di Banda Aceh pada masa kesultanan Ibrahim Mansursyah (1847 1870), seorang laki-laki melakukan zina dengan seorang perempuan sampai hamil. Karena takut ketahuan, laki-laki tersebut membunuh si perempuan, perkara ini diperiksa oleh pihak yang berwajib. Dalam proses pemeriksaan, si laki-laki tersebut mengakui perbuatannya sehingga perkara tersebut diserahkan pada kerajaan kesultanan untuk diadili. Pengadilan memutuskan menjutuhi hukuman mati kepada laki-laki tersebut dengan membenamkannya dalam sungai daroie dengan cara di lehernya diikat bambu yang sudah diisi dengan batu-batu. Akan tetapi, sebelum eksekusi dilaksanakan, laki-laki tersebut memohon ampun kepada pengendali pengadilan kerajaan (Sultan). Setelah pertimbangan yang mendalam, permohonan ampun diterima oleh Sultan dengan syarat bahwa pada tengah malam akan dilepaskan dari tahanannya kemudian dia melarikan diri dari pintu belakang kerengkeng ke tempat

Hadits tersbut dapat kita jumpai dalam kitab Saheh Bukhari dan Saheh Muslim, atau bisa juga kita jumpai dalam Kitan Matan Arbain 5 Muhammad Husen, Adat Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh; 1970. hlm.183. 6 Muhammad Husen, Adat Aceh.., hlm. 185.

pemeliharaan (sigeuboh)7. Di tempat ini dia mendapatkan pendidikan keagamaan dan rehabilitasi sampai menjadi rakyat yang baik kembali dan berguna bagi masyarakat. C. Hukum Rajam dalam Qanun Hukum Jinayah Islam Sejak disahkan pada tanggal 15 September 2009 oleh DPRA, qanun ini terus menuai pro kontra dan juga protes dan tantangan dari berbagai pihak, sebahagian pihak yang kontra mempersoalkan adanya hukum rajam yang terdapat dalam materi hukum jinayah tersebut, yaitu pada pasal 24 ayat 1. akan tetapi pemakalah mencoba melihat kembali isi qanun tersebut secara keseluruhan aturan yang ada kaitannya dengan hukuman rajam dan cambuk. Pada Ketentuan Umum pasal 1 ayat 20 mendefinisikan zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Selain istilah zina, dalam qanun tersebut juga dijelaskan istilah khalwat, iktlilat, bermesraan, pelecehan seksual, liwath dan musahaqah8. Jenis-jenis uqubat yang diatur dalam qanun hukum jinayah terdapat dalam pasal ayat 1 dan 2 yaitu: (1) Jenis-jenis Uqubat dalam qanun ini meliputi Hudud dan Tazir.(2) Uqubat Tazir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
Tempat bagi orang-orang yang semestinya dibunuh tetapi telah mendapatkan ampunan dari Sulthan. 8 Masing-masingnya dijelaskan pada pasal : 16. Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan. 17. Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka. 18. Bermesraan adalah bercumbu seperti bersentuh-sentuhan, berpelukan, berpegangan tangan dan berciuman. 21. Pelecehan Seksual adalah perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya. 22. Liwath adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. 23. Musahaqah adalah hubungan seksual antara perempuan dengan perempuan yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. 24. Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau isteri.
7

a. cambuk; b. denda; c. penjara; d. perampasan barang-barang tertentu; e. pencabutan izin dan pencabutan hak; dan f. kompensasi. Pada pasal 24 dijelaskan dalam pasal: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk serta uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah. (2) Setiap orang yang dijatuhi uqubat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan uqubat tazir penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan Dalam pasal tersebut di atas, ada pernyataan uqubat rajam/hukuman mati. Ini jelas terjadinya multi penafsiran, karena menyamakan hukum rajam dengan hukuman mati yang sebenarnya berbeda pada proses antara kedua bentuk hukuman tersebut. Apabila disebutkan hukuman rajam, maka pelaksanaan adalah hukuman dengan melempar batu sampai mati, tetapi apabila putusnnya hukuman mati, maka bisa dilaksanakan dalam bentuk yang lain seperti yang telah di atur dalam KUH Pidana. Tentang mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk, diatur dalam Pasal 244 Jika terhukum dihukum dengan uqubat rajam/hukuman mati, maka pelaksanaan hukumannya dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh jaksa yang mekanisme pelaksanaannya akan diatur oleh Mahkamah Agung. Pada pasal 224 ini dijelaskan bahwa mekanisme pelaksanaan hukuman rajam diatur oleh Mahkamah Agung yang berada Jakarta. Ini jelasa pelaksanaan hukuman rajam masih sangat lemah, karena tidak diatur mekanismenya secara langsung di tingkat provinsi. Oleh karenanya banyak pihak yang beranggapan bahwa pelaksanaan hukuman rajam belum siap untuk dilaksanakan, baik tinjauan kesiapan materi hukumnya, juga tinjauan kesiapan masyarakat dalam menjalankan hukuman rajam tersebut. Prof. Dr. Syahrizal Abbas mengatakan bahwa dalam membuat sebuah qanun syariat islam yang bersifat respnsif maka dibutuhkan beberapa langkah nyata yaitu sebagai berikut: (a) Materi qanun yang dirumuskan bukan hanya

memiliki akses terhadap teks eksplisit alquran dan assunnah, namun perlu diselami secara lebih mendalam hakikat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakikat keberadaan teks akan menemukan ruh syariah (nilai filosofis); (b) Penemuan ruh syariah bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum islam, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis dimana pemahaman pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks lahir akan sangat berarti; (c) Pendekatan tematis bukan hanya bertumpu pada ayat atau hadis yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman tema tersebut; (d) Semangat sosiologis yang dibangun alquran dalam hukumnya perlu mendapat perenungan. Karena banyak praktek dan tradisi telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat; (e) kerangka diatas akan bekerja bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi qanun dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik sehingga keberadaan qanun syariat islam benar-benar dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.9 Hamid Awaludin dalam sebuah rublik berita Harian Kompas pernah mengatakan bahwa hukuman rajam yang diberlakukan di Aceh melalui qanun, dari perspektif hukum, menimbulkan soal besar. Masalahnya, hukum positif kita yang berlaku secara nasional tidak mengenal keberadaan hukuman rajam. Dari sudut pandang ini, hukuman rajam jelas tidak berjalan seiring hukum nasional kita. Sulit membayangkan, apalagi membenarkan, sebuah produk hukum yang dibuat oleh legislatif daerah bisa mengesampingkan kaidah hukum yang dibuat legislatif nasional bersama pemerintah, telah berlaku dan dipraktikkan secara nasional.10 Berbedea dengan Mendagri Mardiyanto beliau mengatakan pelaksanaan Qanun Jinayat (perbuatan yang dilarang dalam hukum Islam) harus dilaksanakan, dan beliau mendesak Gubernur Aceh untuk menanda tangani qanun tersebut. Namun demikian, beliau juga mengatakan harus melihat pertimbangan yang

.Tim Penulis AJRC, Aceh Madani dalam Wacana, Aceh Justice Resource Center Fak. Hukum Unsyiah, Banda Aceh; 2009. hlm. 64-65 10 Hamid Awaluddin, Menyoal Hukum Rajam, Harian Aceh Edisi senin, 28 September 2009

dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah Aceh kenapa qanun ini sampai tidak di tanda tangani.11 Menarik juga dilihat pendapat dari Donald Black dalam teori stratifikasi hukum yaitu hukum bagaikan air, yang selalu mencari dan menumpuk pada strata yang paling rendah. Sehingga semakin rendah strata seseorang maka semakin banyak beban hukuman menumpuk padanya. Termasuk juga pada pelanggar syariat islam yang rata-rata berasal dari kalangan strata rendah yang dikenai hukuman cambuk dan mungkin hukuman rajam dengan adanya qanun jinayah tersebut. Atas dasar inilah maka hendaknya, qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut dikaji kembali hingga qanun tersebut aspiratif, responsif dan bersifat demokratis. Agar tidak terjadi adanya diskriminasi dalam penerapan hukum sebagaimana teori di atas. Dengan adanya qanun yang aspiratif serta responsif maka pelaksanaan syariah islam secara kaffah-pun dapat dijalankan dengan sendirinya. Tujuan sebenarnya adalah terbukanya ruang yang luas pada masyarakat umumnya, khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti mulai proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya J.C.T Simorangkir mengemukakan bahwa hukum apabila dilihat dari artinya merupakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkunagan masyarakat yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu, oleh karenanya dari beberapa tanggapan masyarakat dapat dianalisa keseluruhannya menganggap Qanun tersebut sudah sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat Provinsi Aceh yang bersyariat islam, setidaknya dengan disahkannya aturan hukum tersebut dapat mengurangi tingkat pergaulan bebas yang menjurus ke zina baik itu yang dilakukan oleh muda-mudi maupun orang yang sudah berumahtangga12
11 12

Harian Aceh Edisi Selasa 17 September 2009 Harian Aceh Edisi Sabtu 26 September 2009

Sebahagian masyarakat lainnya yang mendukung keberdaan qanun jinayah mengharapkan keberadaan Qanun Jinayat dengan beberpa hukumannya seperti Zina: seseorang yang terbukti melakukan zina diancam dengan 100 kali cambuk bagi pasangan belum menikah dan pelemparan batu sampai mati bagi pasangan yang sudah menikah setidaknya dapat menimbulkan euphoria efek, yaitu rasa takut yang berlebihan, karena dengan adanya rasa takut untuk dicambuk 100 kali bagi pasangan yang belum menikah dan pelemparan batu sampai mati bagi pasangan yang sudah menikah diharapkan dapat menjadi kegelisahan yang mendalam bagi pelaku yang mengetahuinya sebelum bertindak dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekati zina, dengan demikian Qanun Jinayat dapat berwibawa hukum walaupun belum ada pelaku yang dijerat dengan disahkannya Qanun jinayat ini Prof Dr. Mahfud MD menyatakan Qanun Jinayat perlu aturan teknisnya, kenapa demikian? Menurut hemat penulis karena secara hukum ada dualisme hukum positif yang berlaku di Aceh, yang pertama hukum Syariat tentang Jinayat sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Kedua, Hukum Pidana yang berlaku secara umum di seluruh Indonesia. Apabila kita telaah dari berbagai azas hukum, dikatakan hukum yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya.13 Yang menjadi pertanyaan apakah Qanun setara dengan KUHP? Tentu tidak kerana Qanun sama seperti Perda untuk Provinsi-Provinsi lain di Indonesia. Maka kemungkinan untuk memilih hukum mana yang dipilih oleh jaksa dalam melakukan penuntutan masih sangat terbuka di Aceh karena adanya dualisme hukum tersebut, sehingga diperlukan aturan teknisnya, dalam hal ini biasanya yurisprudensi dari Mahkamah Agung. Akan tetapi dari azas hukum yang lain yaitu lex specialist the rohgat lex generalist dapat disimpulkan bahwa aturan hukum yang khusus dapat mengeyampingkan aturan hukum yang berlaku umum, dalam kontek ini hukum pidana yang berlaku umum dapat dikesampingkan oleh Qanun Jinayat dalam yang khusus karena berlaku secara teritorial dan individual terutama muslim untuk Provinsi Aceh, dan juga diberikan pilihan kapada non muslim untuk memilih
13

Undang-undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pemebentukan Peraturan Perundang-Undangan

10

aturan hukum yang mana dari kedua aturan hukum tersebut, disebut dengan istilah penundukan hukum. Namun dari sudut pandang Ulama kalau kita memberikan hukuman bagi orang yang belum diberitahukan sebelumnya tentang hukuman yang bakal dijatuhkan kepadanya, sama halnya kita telah bertindak zalim kepada orang tersebut. Pemikiran tersebut tentu ada benarnya, karena pemeritah juga dengan memberlakukan sebuah aturan hukum yaitu baik Undang-Undang maupun Qanun tidak serta merta biasanya langsung berlaku pada saat detik, jam, hari dan tanggal itu juga. Akan tetapi kebiasaannya dibutuhkan waktu sosialiasi yang kemungkinan sampai berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk diketahui oleh hal layak masyarakat

11

DAFTAR KEPUSTAKAAN Muhammad Siddiq dan Chairul Fahmi, Hukum Rajam, Aceh Justice Resource Center Fak. Hukum Unsyiah, Banda Aceh; 2009 Tim Penulis AJRC, Aceh Madani dalam Wacana, Aceh Justice Resource Center Fak. Hukum Unsyiah, Banda Aceh; 2009 Muhammad Husen, Adat Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh; 1970 Rahmat Djatnika, Dkk, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung; 1994 Harian Aceh, Banda Aceh; 2009 Imam Shiddiq Hasan Khan , At-Taliqat Ar-Radhiyyah Ala Ar-Raudhah AnNadiyyah, Dar al-Qutub, Beirut; t.t. hlm. 278

12

You might also like