You are on page 1of 34

Pendahuluan Peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia banyak kita temui dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam menangani berbagai kasus ini diperlukan ilmu kedokteran forensik untuk membantu proses peradilan dalam arti luas yang meliputi tahap penyidikan sampai sidang pengadilan. Diperlukan bantuan dokter untuk memastikan sebab, cara, dan waktu kematian pada peristiwa kematian tidak wajar karena pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan atau kematian yang mencurigakan. Untuk menyelesaikan masalah kedokteran forensik diperlukan ilmu yang berkaitan dengan, aspek hukum, prosedur medikoegal, tanatologis, traumatologi, dan lain-lain,

sehingga hasil pemeriksaan dan laporan tertulis dapat digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dan alat bukti dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara pidana maupun perdata. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan pemeriksaan kedokteran forensik agar mahasiswa mengetahui perbedaan antara ciri-ciri kematian yang disebabkan oleh kasus penganiayaan sehingga terjadi pembunuhan atau suatu kasus bunuh diri.

Aspek Medikolegal Prosedur medikolegal Prosedur medikolegal yaitu tata cara prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan umum. Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.1

Lingkup prosedur medikolegal antara lain: 1. Pengadaan Visum et Repertum 2. Pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka 3. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli di dalam persidangan 4. Kaitan Visum et Repertum dengan rahasia kedokteran 5. Penerbitan surat keterangan kematian dan surat keterangan medik 6. Fitness/kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik.1 Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan (pasal 184 KUHAP). a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli adalah penyidik. Penyidik pembantu juga mempunyai wewenang tersebut sesuai dengan pasal 11 KUHAP.1

b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang melakukan pemeriksaan forensik yang menyangkut tubuh manuasia dan membuat keterangan ahli adalah dokter ahli kedokteran kehakiman (forensik), dokter dan ahli lainnya. Sedangkan dalam penjelasan KUHAP tentang pasal tersebut dikatakan bahwa yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.

Secara garis besar, semua dokter yang telah mempunyai surat penugasan atau surat izin dokter dapat membuat keterangan ahli. Namun untuk tertib administrasinya, maka sebaiknya permintaan keterangan ahli ini hanya diajukan kepada dokter yang bekerja pada suatu instansi kesehatan (puskesmas hingga rumah sakit) atau instansi khusus untuk itu, terutama yang milik pemerintah.1

c. Prosedur permintaan keterangan ahli Permintaan keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis dan hal ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati. Jenasah harus diperlakukan dengan baik, diberi label identitas dan penyidik wajib memberitahukan dan menjelaskan kepada keluarga korban mengenai

pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Mereka yang menghalangi pemeriksaan jenasah untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesuai dengan pasal 222 KUHP.1

d. Penggunaan keterangan ahli Penggunaan keterangan ahli atau dalam hal ini visum et repertum adalah hanya untuk keperluan peradilan. Dengan demikian berkas keterangan ahli ini hanya boleh diserahkan kepada penyidik (instansi) yang memintanya. Keluarga korban atau pengacaranya dan pembela tersangka pelaku pidana tidak dapat meminta keterangan ahli langsung kepada dokter pemeriksa, melainkan harus melalui aparat peradilan (penyidik, jaksa atau hakim). Berkas keterangan hali ini tidak dapat digunakan untuk penyelesaian klaim asuransi. Bila diperlukan keterangan, pihak asuransi dapat meminta kepada dokter keterangan yang khusus untuk hal tersebut, dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib simpan rahasia jabatan.1

Visum et RepertumDefinisi Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
3

Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.2 Jenis Visum et Repertum Ada beberapa jenis Visum et Repertum, yaitu: 1. Visum et Repertum Perlukaan atau Keracunan 2. Visum et Repertum Kejahatan Susila 3. Visum et Repertum Jenazah 4. Visum et Repertum Psikiatrik. 2 Tiga jenis visum yang pertama adalah Visum et Repertum mengenai tubuh atau raga manusia yang berstatus sebagai korban, sedangkan jenis keempat adalah mengenai mental atau jiwa tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et Repertum perlukaan, kejahatan susila dan keracunan serta Visum et Repertum psikiatri adalah visum untuk manusia yang masih hidup sedangkan Visum et Repertum jenazah adalah untuk korban yang sudah meninggal. Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu, namun sebaiknya untuk Visum et Repertum psikiatri dibuat oleh dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.2 Visum et Repertum Psikiatrikum perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi, Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.2 Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.2

Fungsi Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum yang dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.2 Dasar Hukum Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.1,2

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHP: (2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHP.

Yang dimaksud dengan penyidik disini adalah penyidik sesuai dengan dengan pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHP). Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no.27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua. Untuk mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditanda tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa orang yang menandatangani surat tersebut selaku penyidik. Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHP sebagai berikut: (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ata ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.1,2

Nama Visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHP maupun hukum acara pidana sebelumnya (RIB=Reglemen Indonesia yang diBaharui). Nama visum et repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi: 1. Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda
6

atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus sebagai dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa. 2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri Belanda maupun di Indonesian sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (atau janji) sebagai berikut

Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 diatas adalah lafal sumpah seperti pada Statsblad 1882 no.97, pasal 38 (berlaku hinggal 2 juni 1960) yang berbunyi: Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran, bedah dan kebidanan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga, segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk meberikan keterangan sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk memberikan keterangan. 1,2

Perbedaan Visum et Repertum dengan Catatan Medis Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan atau perawatan yang dilakukan oleh dokter. Catatan medis disimpan oleh dokter atau institusi dan bersifat rahasia, tidak boleh dibuka kecuali dengan izin dari pasien atau atas kesepakatan sebelumnya misalnya untuk keperluan asuransi. Catatan medis ini berkaitan dengan rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti yang terdapat dalam pasal 322 KUHP. Sedangkan Visum et Repertum dibuat berdasarkan Undang-Undang yaitu pasal 120, 179 dan 133 KUHAP dan dokter dilindungi dari ancaman membuka rahasia jabatan meskipun Visum et Repertum dibuat dan dibuka tanpa izin pasien, asalkan ada permintaan dari penyidik dan digunakan untuk kepentingan peradilan. 1,2

Tempat Kejadian Perkara Tempat kejadian perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti dan / atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian. Dasar pemeriksaan TKP adalah menjawab 6 pertanyaan (heksameter) yaitu apa yang terjadi, siapa yang tersangkut, dimana dan kapan, bagaimana terjadinya, dengan apa melakukannya, serta mengapa terjadi peristiwa tersebut.3 Persiapan dokter sebelum ke TKP adalah : 1. Mendapat permintaan pemeriksaan TKP dan jelas akan hal hal siapa yang memintanya dating ke TKP, bagaimana permintaann tersebut sampai ke tangan dokter, waktu permintaan tersebut dibuat, dan lokasi TKP. 2. Informasi tentang kasus yang terjadi 3. Perlengkapan yang sebaiknya dibawa : kamera, lampu kilat, film berwarna dan

hitam-putih (untuk ruang gelap), lampu senter, lampu ultraviolet, thermometer rectal, thermometer ruangan, amplop, kantong plastik, pinset, skapel, jarum, kapas, tang, kertas saring, kaca pembesar, label, dan alat tulis.3

Tindakan yang dikerjakan dokter di TKP adalah : 1. Menentukan korban masih hidup atau mati 2. Bila masih hidup maka tindakan pertama dan utama dokter adalah menyelamatkan jiwa korban. 3. Bila korban mati, maka tugas dokter menegakkan diagnosis kematian, memperkirakan saat kematian, menemukan dan mengamankan benda bukti biologis dan medis. Saat kematian diperkirakan dari penurunan suhu tubuh, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan postmortal lain. Mayat yang ditemukan dibungkus dengan plastik atau kantung khusus mayat. 4. Menentukan identitas korban. 5. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan serta perkiraan sebab kematian. 6. Membuat sketsa sederhana keadaan TKP. 7. Mencari dan mengumpulkan benda-benda bukti biologis. Benda bukti berupa pakaian, bercak mani, bercak darah, rambut, obat, senjata diamankan dengan dimasukkan ke dalam kantong plastik secara hati-hati tanpa menginggalkan jejak sidik jari baru.
8

Benda bukti cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Benda bukti bercak kering di tas dasar keras harus dikerok dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantong plastik, bercak pada kain diambil seluruhnya atau bila sangat besar, benda bukti tersebut digunting dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastic. Semua benda bukti diberi label dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan, saat penemuan, dan keterangan lain.

Selanjutnya mayat dan benda bukti biologis dikirim ke instalasi kedokteran forensic atau rumah sakit umum setempat. Benda bukti bukan biologis dapat langsung dikirim ke laboratorium kriminil/forensik kepolisian daerah setempat. Hindari tindakan yang dapat mempersulit pemeriksaan/penyidikan seperti : memegang benda di TKP tanpa sarung tangan mengganggu bercak darah membuat jejak baru memeriksa sambil merokok.3

Pemeriksaan Medis Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang terlihat, baik terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain lain, juga terhadap tubuh mayat itu sendiri.4 Agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat mungkin, pemeriksaan harus mengikuti suatu sistimatika yang telah ditentukan. Di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sistimatika pemeriksaan adalah : 1. Label mayat Mayat yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya diberi label dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang

diikatkan pada ibu jari kaki mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat label tersebut, untuk menjamin keaslian dan benda bukti. Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta disimpan bersama berkas pemeriksaan. Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut. Dicatat pula apakah terdapat materai/segel pada label ini yang biasanya terbuat dari lak berwarna merah dengan cap dari kantor kepolisian yang mengirim mayat. Isi dari label mayat ini juga dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan yang baik bila dokter pemeriksa dapat meminta keluarga terdekat dan mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/pemastian identitas. Di samping label mayat dari kepolisian, pada mayat dapat pula ditemukan label identifikasi dari Instalasi Kamar Jenazah Rumah Sakit. Label ini adalah untuk kepentingan identifikasi di kamar jenazah agar mayat tidak tertukar pada saat diambil oleh keluarga. Label dari Rumah Sakit ini harus tetap ada pada tubuh mayat. 2. Tutup mayat Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksaan dalam keadaan ditutupi oeh sesuatu. Catatlah jenis/bahan, warna serta corak dari penutup ini. Bila terdapat pengotoran pada penutup, catat pula letak pengotoran serta jenis/bahan pengotoran tersebut. 3. Bungkus mayat Mayat kadang kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus. Bungkus mayat ini harus dicatat jenis/bahannya, warna, corak, serta ada bahan yang mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/bahan tali tersebut, maupun cara pengikatan serta letak ikatan tersebut. 4. Pakaian Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian yang dikenakan pada bagian tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai lapisan yang terdalam.

10

Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari tekstil, bentuk / model pakaian, ukuran, merk/penjahit, cap binatu, monogram/inisial serta tambahan bila ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan pada pakaian, maka ini juga harus dicatat dengan teliti dengan mengukur letaknya yang tepat menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran atau robekan yang ditemukan. Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya disimpan untuk barang bukti. Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus diperiksa dan dicatat isinya dengan teliti pula. 5. Perhiasan Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan meliputi jenis perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. 6. Benda di samping mayat Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertai pula pengiriman benda di samping mayat, misalnya bungkusan atau tas. Terhadap benda di samping mayat inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap. 7. Tanda kematian Di samping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk pemeriksaan benar benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna pula untuk penentuan saat kematian. Agar pencatatan terhadap tanda kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat waktu / saat dilakukannya pemeriksaan terhadap tanda kematian ini.3,4

a. Tanda kematian tidak pasti 1. Pernafasan berhenti; dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi) 2. Terhentinya sirkulasi, dinilai 15 menit ,nadi karotis tidak teraba. 3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme agonl sehingga wajah tampak kebiruan.
11

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerahdaerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang. 5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian,. Segmen-segmen tersebut bergerak kearah tepi retina dan kemudian menetap. 6. Pengeringan kornea menimbulkan kekruhan dalam 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan menenteskan air.3,4

b. Tanda pasti kematian 1. Lebam mayat (livor mortis). Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempat tempat terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang pada penekanan dan dapat berpin dah posisi jika mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan tau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat ditempat terendah yang baru. Kadang kadang dijumpai bercak berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh

tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
12

Lebam

mayat

dapat

digunakan

untuk

tanda

pasti

kematian;

memperkiraan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracuna CO atau CN, warna kecoklatan pada keracunan aniline, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan memperkirakan saat kematian. Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru didaerah dada dan perut. Lebam mayat yang menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam pemeriksaan. Mengingat pada lebam mayat darah terdapat didalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma. Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang. sebelum saat

2. Kaku mayat Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini dapat digunakan untuk merubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energy tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh kearah dalam. Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini kraniocaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian hilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan
13

serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dala m posisi teregang, maka saat saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot. Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati, suhu tubuh tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otototot kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat digunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian. Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat;
y

Cadaveric spasme adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm

sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap

terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erta benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senrbakarjata pada kasus bunuh diri.

Heat stiffening yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh. Keadaan ini dapat dijumpai dalam keadaan mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju. Perubahan sikap semasa hidup ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

Cold stiffening yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila

14

sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

3. Penurunan suhu tubuh Penurunan suhu tubuh terjadi karena pemindahan panas dari suatu panas dari suatu benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuhm pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakain atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil.

4. Pembusukan Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolysis dan kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dann pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk kejaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium welchi. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak. Selanjutnya, rmabut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulru diantara gigi. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak lagi dikenali oleh keluarga.

15

Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pascamati. Kumpulan telur lalat telah dapat ditemukan beberapa jam pascamati, diatas alis, sudut mata, lubang hidung dan diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia larva tersebut, yang dapat diperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak lagi dapat mengusir lalat yang hinggap). Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 derajat celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat diudara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat berada dalam tanah : air: udara adalah 1: 2 : 8. Bayi bari lahir umumnya lebih lambat membusk , karena hanya memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.

5. Adiposera atau lilin mayat. Adiposera terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi didalam jaringan lunak tubuh pascamati. Adiposera terdiri dari asamasam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh pascamati yang tercampur dengan sisa-sisa otot. Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang menbuang elektrolit. Pembusukan terhambat oleh adanya adiposera.

6. Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang
16

selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi gelap, kering, berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering.3,4

Pemeriksaan Dalam i. Pada kasus kematian akibat kekerasan Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat megungkapkan berbagai hal tersebut dibawah ini :

1. Penyebab luka Dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan akibat penyebab luka dapat ditentukan. Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat member petunjuk mengenai bentuk benda yang mengenai tubuh, msalnya luka yang disebabkan oleh benda tumpul berbentuk bulat panjang akan meninggalkan negative imprint oleh timbulnya marginal haemorrhge. Luka lecet jenis tekan memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.

2. Arah kekerasan Pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi terjadinya perkara.

3. Cara terjadinya luka Yang dimaksud dengan terjadinya luka adalah apakah luka ditemukan terjadi sebagai kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri. Luka-luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Bagian tubuh yang biasanya terlindung jarang mendapat luka pada suatu kecelakaan. Daerah terlindung ini misalnya daerah ketiak, daerah sisi depan leher, daerah lipat siku dan sebagainya. Luka akibat pembunuhan dapat tersebar pada seluruh bagian tubuh. Pada korban pembunuhan yang sempat mengadakan perlawanan, dapat
17

ditemukan luka tngkis yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan. Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan yang mengelompok dan berjalan kurang lebih sejajar. 4. Hubungan antara luka dengan sebab mati Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama harus dibuktikan bahwa luka yang ditemukan adalah benar-benar luka yang terjadi semasa korban masih hidup. Untuk ini,tanda intravitalis luka berupa reaksi jaringan terhadap luka terhadap luka yang perlu diperhatikan. Tanda intravitalis luka dapat bervariasi ditemukan resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, serbukan sel radang, pemeriksaan histo-ensimatik sampai pemeriksaan kadar histamine bebas dan serotonin jaringan.3,4

ii.

Kematian akibat pembunuhan menggunakan kekerasan Pembunuhan menggunakan kekerasan dapat dilakukan dengan benda tumpul, benda tajam maupun senjata api. Kadang-kadang dapat terjadi pembunuhan dengan api, sekalipun jarang terjadi. Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tumpul, luka dapat terdiri dari luka memar, luka lecet maupun luka robek. Perhatikan adanya luka tangkis yang terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah. Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tajam, luka harus dilukiskan dengan baik, dengan mmeperhatikan bentuk luka, tepi luka, sudut luka, keadaan sekitar luka serta lokasi luka. unuhan Dalam peristiwa pembunuhan, cari pula kemungkinan terdapatnya luka tangkis didaerah ekstensor lengan bawah serta telapak tangan. Luka biasanya terdapat beberapa buah yang distribusinya tidak teratur, sekalipun tidak jarang ditemukan kasus pembunuhan hanya terdiri dari satu luka saja tanpa si korban sempat melakukan perlawanan apapun. Dengan menentukan arah kekerasan pada luka yang ditemukan, dapat dilakukan rekonstruksi terjadinya peristiwa.3,4

18

iii.

Mati akibat penjeratan Pada kasusu penjeratan, kadangkala masih ditemukan jerat pada leher korban. Jerat harus diperlakukan sebagai barang bukti dan dilepaskan dari leher korban dengan jalan menggunting secara miring pada jerat, ditempat yang paling jauh pada simpul, sehingga simpul tetap utuh. Pada kasus penjeratan, jerat biasanya berjalan horizontal/mendatar dan letaknya rendah. Jerat ini meninggalkan jejas jerat berupa luka lecet jenis tekan yang melingkari leher. Catat keadaan jejas jerat yang tepat. Perhatikan apakah jejas jerat menunjukkan pola tertentu yang sesuai dengan permukaan jerat yang bersentuhan dengan kulit leher, Pada umumnya dikatakan simpul mati ditemukan pada kasus pembunuhan, sedangkan simpul hidup ditemukan pada kasus bunuh diri. Namun perkecualian selalu terjadi.3,4

Interpretasi Temuan

Tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil positive (tidak meragukan). Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologik, dan secara eksklusi. Akhir akhir ini dikembangkan pula metode identifikasi DNA.4,5

I.

Pemeriksaan Sidik Jari Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante mortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantung plastic.

19

II. Metode Visual Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut

III. Pemeriksaan dokumen Dokumen seperti kartu identifikasi (KTP, SIM, Paspor, dll) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut.

IV. Pemeriksaan pakaian dan perhiasan Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui merek atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Khusus anggota ABRI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.

V.

Identifikasi medik Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, cacat / kelainan khusus, tato. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai c ara / modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak / kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini, diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.

VI.

Pemeriksaan gigi Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar -X, dan pencetakan gigi serta rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dn sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari,
20

maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data pembanding ante mortem.

VII.

Pemeriksaan serologik Pemeriksaan serologik bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah. Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa rambut, kuku, dan tulang.

VIII.

Metode Eksklusi Metode ini digunakan pada kecelakaan missal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal laut, dn sebagainya. Bila sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan metode metode tersebut diatas, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar penumpang.4,5

Sebab Kematian Adalah penyakit atau cedera/luka yang bertanggung jawab atas terjadinya kematian.4,5 Cara kematian Adalah macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian. Bila kematian terjadi sebagai akibat suatu penyakit semata-mata maka cara kematiannya adalah wajar (natural death). Bila kematian terjadi sebagai akibat cedera atau luka, atau pada seseorang yang semlula telah mengidap suatu penyakit. Kematiannya dipercepat oleh adanya cedera atau luka maka kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death). Kematian tidak wajar ini dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan. Kadang kala pada akhir suatu penyidikan penyidik masih belum dapat menentukan cara kematian dari yang bersangkutan maka dalam hal ini kematian dinyatakan sebagai kematian dengan cara yang tidak tertentukan.4,5 Mekanisme kematian Adalah gangguan fisiologi dan atau biokimiawi yang ditimbulkan oleh penyebab kematian sedemikian rupa hingga seseorang tidak dapat terus hidup.4,5
21

Asfiksia Masa dari saat asfiksia sampai timbul kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4 - 5 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda - tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama.2,3,5 Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu: 1. Fase Dispneu. Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan. 2. Fase Konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2. 3. Fase Apneu. Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja. 4.Fase Akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.2,3,5

Fase 1 dan 2 berlangsung

3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2. Bila

penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.2,3,5

22

Pemeriksaan jenazah (autopsi) pada kasus - kasus asfiksia akan mamberikan gambaran: 1. Pemeriksaan luar
y

Dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung - ujung jari dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Kematiaan biasanya disebabkan kegagalan kerja jantung yang disebabkan oleh tekanan mendadak pada leher. Mekanisme yang terjadi mirip dengan sinkop sinus yaitu misalnya mengenakan pakaian dengan kerah yang ketat yang dapat menyebabkan bradikardia dan hilangnya kesadaran. Tanda petekie dan hemoragis dan tanda lain terkadamg tidak diketemukan pada kematian asfiksia karena proses sirkulasi yang sangat cepat sehingga tidak memberi terjadinya tahapan asfiksia pada umumnya. waktu yang cukup

Warna lebam mayat (livor mortis) merah - kebiruan gelap akan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah, sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.

Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran nafas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang - kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2, akibat tekanan hidrostatik dalam

pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik - bintik perdarahan yang dinamakan sebagai tardeous spot.2,3,5 2. Pemeriksaan dalam
y

Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.

y y

Busa halus di dalam saluran pernafasan. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap, dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

23

Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fissura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.2,3,5

Penggantungan Definisi Penggantungan (hanging) merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban 2,3,5 .

Etiologi Kematian pada Penggantungan Ada 4 penyebab kematian pada penggantungan, yaitu :
y y y y

Asfiksia Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi Vagal reflex Kerusakan medulla oblongata atau medulla spinalis

Cara Kematian pada Penggantungan Ada 3 cara kematian pada penggantungan, yaitu :
y y y

Bunuh diri (paling sering). Pembunuhan, termasuk hukuman mati. Kecelakaan, misalnya bermain dengan tali lasso, tali parasut pada terjun payung, dan penggunaan tali untuk mendapat kepuasan seks.

Untuk mengetahui lebih jelas cara kematian ini, hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
y y

Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya. Arah serabut tali penggantung.
24

Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila arah serabut tali menjauhi korban menjadi bukti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung.

y y

Distribusi lebam mayat. Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai dengan posisi mayat ataukah tidak.

y y

Jenis simpul tali gantungan. Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan apakah korban melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan. Simpul tali, baik simpul hidup maupun simpul mati, bila melewati lingkar kepala korban dapat menunjukkan korban melakukan bunuh diri. Apabila simpul tali tidak melewati lingkar kepala korban, berarti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung. Simpul hidup harus dilonggarkan secara maksimal untuk membuktikannya.2,3,5

Gambaran Postmortem pada Penggantungan Pemeriksaan luar :


y

Kepala Muka korban penggantungan akan mengalami sianosis dan terlihat pucat karena vena terjepit. Selain itu, pucat pada muka korban juga disebabkan terjepitnya arteri. Mata korban dapat melotot akibat adanya bendungan pada kepala korban. Hal ini disebabkan terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena asfiksia. Lidah korban penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea.

Leher.
o Alur jeratan pada leher korban penggantungan berbentuk lingkaran (V shape).

Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri :

25

o Alur jeratan pucat. o Tepi alur jerat coklat kemerahan. o Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan. o Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan

(hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban. Alur jeratan yang asimetris menunjukkan letak simpul disamping leher.
y

Anggota gerak (lengan dan tungkai).


o Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya lebam

mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
y

Dubur dan Alat kelamin.


o Dubur korban penggantungan dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin korban

dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid). Pengeluaran urin disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia. Lebam mayat dapat ditemukan pada genitalia eksterna korban.2,3,5

Pemeriksaan Dalam :
y

Kepala. Kepala korban penggantungan dapat kita temukan tanda-tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata. Kedua kerusakan tersebut biasanya terjadi pada hukuman gantung (judicial hanging).

Leher. Leher korban penggantungan dapat kita temukan adanya perdarahan dalam otot atau jaringan, fraktur (os hyoid, kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea), dan robekan kecil pada intima pembuluh darah leher (vena jugularis).

Dada dan perut. Pada dada dan perut korban dapat ditemukan adanya perdarahan (pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan/kongesti organ.

Darah. Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap dan konsistensinya lebih cair.2,3,5
26

Tabel 1. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem No 1 Penggantungan antemortem Tanda-tanda penggantungan antemortem bervariasi. Tergantung dari cara kematian korban 2 Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan letaknya pada leher bagian atas Penggantungan postmortem Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian yang bukan disebabkan penggantungan Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi 3 Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada sisi leher Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan leher 4 Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas jejas jerat dan pada tungkai bawah Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal 5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba seperti perabaan kertas perkamen, yaitu tanda parchmentisasi 6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-lain sangat jelas terlihat Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain tergantung dari penyebab Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas

terutama jika kematian karena asfiksia kematian 7 Wajah membengkak dan mata mengalami kongesti dan agak menonjol, disertai dengan gambaran pembuluh dara vena yang jelas pada bagian kening dan dahi Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat, kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi

27

No 8

Penggantungan antemortem Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali

Penggantungan postmortem Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian akibat pencekikan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak ada

Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Demikian juga sering ditemukan keluarnya feses

10

Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut, dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal ini merupakan pertanda pasti penggantungan ante-mortem

Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus selain kasus penggantungan.

28

Tabel 2. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan No 1 Penggantungan pada bunuh diri Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada remaja dan orang dewasa. Anakanak di bawah usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50 tahun jarang melakukan gantung diri 2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa lingkaran terputus (noncontinuous) dan terletak pada bagian atas leher 3 Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang letaknya pada bagian samping leher 4 Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara lain 5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa menyebabkan kematian mendadak tidak ditemukan pada kasus bunuh diri 6 Racun. Ditemukannya racun dalam lambung korban, misalnya arsen, sublimat korosif dan lain-lain tidak bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin mendorong korban untuk melakukan gantung diri 7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri Tangan yang dalam keadaan terikat Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban biasanya mengarah kepada pembunuhan Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus, mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan Tidak mengenal batas usia, karena tindakan pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari korban dan tidak bergantung pada usia

29

No

Penggantungan pada bunuh diri karena sulit untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat

Penggantungan pada pembunuhan mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan

Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, mayat biasanya ditemukan tergantung pada tempat yang mudah dicapai oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut

Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan dalam keadaan tertutup dan terkunci dari dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh diri

Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan

10

Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada kasus gantung diri

Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.

30

Penjeratan (Strangulation by Ligature) Definisi Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan korban. Etiologi Kematian pada Penjeratan Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu : asfiksia, iskemia, vagal refleks Cara Kematian pada Penjeratan: Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :
y

Pembunuhan (paling sering). Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman dahulu).

Kecelakaan. Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat o tali leh pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.

Bunuh diri. Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.

Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :
y y y y y

Arah jerat mendatar / horisontal. Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan. Jenis simpul penjerat. Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain. Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk menjerat.
31

Gambaran Postmortem Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus penggantungan (hanging) kecuali pada :
y y y

Distribusi lebam mayat yang berbeda. Alur jeratan mendatar / horisontal. Lokasi jeratan lebih rendah.2,3,5

32

Kesimpulan Dalam kehidupan kita setiap hari di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Ilmu kedokteran forensik memainkan peran yang penting untuk mengungkap berbagai kasus seperti di atas untuk membantu penyelidikan dalam suatu proses pengadilan. Oleh karena itu, untuk kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut. Seorang dokter haruslah memanfaatkan ilmu kedokteran yang dipelajarinya untuk kepentingan pengadilan.

33

Daftar Pustaka

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all, Prosedur medikolegal, in : Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.p.11-25. 2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all, Visum et repertum, in : Ilmu kedokteran forensik. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997.p.5-16. 3. Dahlan S, Interpretasi temuan, in : Ilmu kedokteran forensik pedoman bagi dokter dan penegak hukum. Semarang; Badan penerbit Universitas Diponegoro. 2008.p.172-76. 4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, Identifikasi personal, in : Kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta; Media aesculapius.2005.p.18285. 5. Satyo, Alfred C, Sebab kematian, in : Ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta; PT Binarupa Aksara.1989.p.69-82.

34

You might also like