You are on page 1of 12

BAB.

I PENDAHULUAN Sasaran pokok dalam antropologi adalah manusia, baru kemudian perilaku budayanya, bukan sebaliknya sebagaimana dalam ilmu yang lain. Dengan demikian, dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat guna mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum. Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dalam masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakatan, maka ia menghasilkan kesamaan dan keserasian perilaku dari para anggo ta individu dalam masyarakat atau sebagian dari masyarakat itu. Jadi, jelaslah bahwa lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada suatu garis perilaku yang menunjukkan kejadian secara tersu menerus. A. Latar Belakang Tahun 1970-an dapat dicatat sebagai awal dari perkembangan pendidikan ilmu hukum empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologis untuk mengkaji fenomena-fenomena hukum dalam masyarakat sedang berkembang di Indonesia, yang dikenal kemudian sebagai disiplin sosiologi hukum (sociology of law). Nama-nama akademisi hukum seperti Soerjono Soekanto (alm.) dari UI, Satjipto Rahardjo dari UNDIP, dan Sutandyo Wignyosubroto dari UNAIR dapat dicatat sebagai para perintis pengenalan mata kuliah sosiologi hukum di fakultas-fakultas hukum di Jawa. Kemudian, sejak tahun 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda-Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal anthropology, anthropological study of law). Makalah bersahaja ini mencoba untuk memberi pemahaman mengenai antropologi hukum sebagai bidang studi ilmu hukum empiris, dengan berfokus pada awal pemikiran studi-studi antropologis tentang hukum, pengembangan konsep hukum dalam studi antropologi hukum, perkembangan tema-tema kajian antropologi hukum, metodologi antropologi hukum, dan diskusi tema kemajemukan hukum dalam studi antropologi hukum. B. Metode Ilmiah
y

Yang dimaksud dengan metode ilmiah suatu ilmu pengetahuan adalah segala jalan atau cara dalam rangaka ilmu tersebut sampai pada ilmu pengetahuan itu sendiri. Jalan atau cara dalam mencapai ilmu pengetahuan tersebut.

C. Maksud dan Tujuan


y

Antropologi ingin mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaannya. Antropologi ingin mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun

BAB II. PEMBAHASAN A. Pengertian, Sejarah dan Peranan Antropologi Hukum 1. Pengertian Antropologi Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut: William A. Haviland Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. David Hunter Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. Koentjaraningrat Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

2. Sejarah Antropologi Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut: Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an) Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi. Fase Kedua (tahun 1800-an) Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangankarangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Fase Ketiga (awal abad ke-20) Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-

bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial. Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsabangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp. 3. Hukum Dalam Perspektif Antropologi Melalui studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan sematamata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order). Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat (Black & Mileski, 1973:6; Black,1976:6, 1984:2). Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segisegi kebudayaan yang lain (Pospisil, 1971:x). Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. Kenyatan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dll

B. Konsep Kebudayaan dan Antropologi Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi.Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan beberapa aspek di luar sana yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsepkonsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan-kesamaan. Tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusiatidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yangmampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasadan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu. 1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah lakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan.

2. Kebudayaan Milik Bersama Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar.Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan,nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimilikibersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertianmasyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yangtinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. 3. Kebudayaan sebagai Pola Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah polapola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma. Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena polapola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanantekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirianseperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipunmereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan

bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. 4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhankebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampaianak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakatpendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategimemberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dansebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam

bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit. Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasanalasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya. C. Antropologi Budaya Antropologi Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Sosial - Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu inimempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkahlaku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang

menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentukbentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Budaya. D. Antropologi Dalam Pembangunan Budaya dan Masyarakat Antropologi dalam perkembangannya telah banyak di gunakan untuk pembangunan masyarakat manusia di mana saja di berbagai belahan dunia. Penggunaan Ilmu Antropologi menjadi mutlak diperlukan karena pembangunan adalah untuk manusia yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, jadi manusia sebagai objek sekaligus selaku subjek pembangunan. Sementara Antropologi sendiri memiliki fokus kajian terhadap manusia dan perilakunya dengan kata kunci budaya, yaitu suatu kata yang maha luas, sebuah kehidupan manusia yang tak pernah habis untuk dikaji. Budaya tidak seperti yang dipahami orang pada umumnya sekadar adat, seni, etika dll, tetapi lebih dari itu sebagai suatu kehidupan atau perilaku manusia, dalamnya terdapat segala misteri kehidupan manusia. Antropologi meneropong realitas kehidupan manusia atau budaya secara holistic/komprehensif/keseluruhan yang berwujud dalam tiga sistem yakni sistem nilai/ kognisi/ budaya (pola pikir manusia), sistem perilaku (sistem sosial) dan kebudayaan material (artefak). Semua tercermin dalam 7 unsur budaya yakni sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian, perlengkapan hidup, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan, dan kesenian. Atasnya, antropologi lebih dalam mengkaji manusia, sebab ia meneropong sampai kedalaman inti perilaku atau inti budaya yakni sistem kognisi/nilai. Sistem nilai atau kognisi adalah inti penggerak dari perilaku manusia. Akibat fokus antropologi pada manusia dan perilakunya menjadikan antropologi dapat menjadi nara sumber utama dalam gerakan pembangunan dimana manusia sebagai subjek dan objeknya. Pembangunan yang dimaksud disini adalah pembangunan masyarakat sebagaimana yang dikerjakan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan swadaya masyarakat itu sendiri (pembangunan sosial, politik, hankam, pendidikan, dll). Pembangunan masyarakat harus memperhatikan esensi pembangunan yang berfokus pada manusia, dalam pemahaman antropologi, pembangunan merupakan sebuah proses perubahan budaya secara terencana kearah budaya yang dianggap maju. Antropologi merubah budaya manusia dengan strategi atau rekayasa kultural, perubahan yang dilakukan akan sampai menyentuh perubahan inti budaya sehingga perubahan tersebut dapat berhasil dan langgeng. Sayangnya banyak kebijakan pemerintah tidak mengindahkan pemahaman ini sehingga kebijakan pembangunan tidak berjalan dengan mulus, hanya membuang biaya tinggi. Seperti kebijakan pemerintah melakukan pemindahan orang bajau yang hidup di laut atau pantai ke daerah pedalaman yang hanya menyebabkan mereka menjual lahan dan rumah setelah tinggal seminggu. Kalau mungkin antropologi dilibatkan melakukan kebijakan tersebut, maka akan dilakukan perubahan dalam setiap bagian wujud kebudayaan hingga merubah sistem nilai atau pola pikir masyarakat, dengan demikian apapun kebijakan yang dilakukan pastilah berhasil dan masyarakat dapat mengikutinya.

Disinilah letak peran antropologi terhadap pembangunan masyarakat, manusia sendiri digerakan sistem budayanya untuk mewujudkan tujuan pembangunan. Antropologi mengambil peran atau pelengkap utama dalam pembangunan, misalnya seorang kepala pembangunan perlu pengetahuan perilaku manusia untuk mengelola tim pembangunannya dan membuat produk pembangunan yang bisa berfungsi bagus bagi kepentingan manusia. Antropologi akan lebih dipakai, (1) dalam perencanaan, yakni sangat bisa dalam memahami perilaku, pola pikir, kebutuhan, aspirasi, kepentingan dari masyarakat yang akan dibangun atau yang menjadi kelompok sasaran. (2) berperan dalam mengembangkan desain, program, strategi, rekayasa dalam pembangunan tersebut. (3) peran penting dalam mengkomunikasikan kebijakan pembangunan kepada sasaran masyarakat dan upaya pemberdayaan serta upaya perlakuannya, dalam hal ini antropologi sangat mengandalkan metode mujarabnya yakni pendekatan atau hubungan interpersonal yang bagus dan lebih lagi metode partisipatif sebagai metode paling unggul diakui oleh siapapun yang berpengalaman dalam melaksanakan pembangunan apa saja. Hal-hal diatas merupakan esensi filosofis mengenai kebutuhan penting pelaksanaan pembangunan terhadap antropologi. Berbagai potensi antropologi dalam pembangunan dapat melakukan kehendak apapun kepada masyarakat sasaran. Penggunaan antropologi sepanjang sejarahnya digunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya mengatasi suatu wabah penyakit dalam suatu daerah tertentu, setelah diteliti oleh antropolog bahwa kebiasaan masyarakat setempatlah yang membuat penyakit tersebut menjadi wabah, sehingga cara mengatasinya adalah merubah kebiasaan atau budaya tersebut. Untuk merubahnya antropolog diterjunkan bersama para dokter, penyuluh kesehatan, kalau hanya mengandalkan dokter atau petugas kesehatan mereka akan kesulitan untuk merubah perilaku manusia sebab kebiasaan yang menimbulkan penyakit tersebut sudah membudaya dalam pola pikir manusia mereka. Sebagaimana dalam teori antropologi tentang budaya, bahwa merubah budaya harus masuk dalam sistem nilai atau pola pikir dan inilah hal tersulit butuh strategi jitu dan waktu panjang, karena ini antropologi mutlak dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan apapun. Penerapan antropologi bukanlah suatu hal menggadaikan ilmu yang bertentangan dengan moral, etika, tapi justru keterlibatan antropologi dalam pembangunan adalah hal positif dalam melihat masyarakat manusia sebagai objek utama antropologi. Rasa etis dalam diri antropolog muncul dari perhatian emicnya dalam kerangka kepedulian bagi kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan. Karenanya mulai tahun 1980-an hampir semua lembaga atau badan pembangunan dunia melibatkan para antropolog dalam program -programnya, misalkan PBB, USAID, UNDP, WHO, Bank Dunia. Peran mereka bukan sekedar menjadi peneliti, konsultan atau evaluator saja tetapi juga sebagai pembuat disain kebijakan, pelaksana kebijakan, evaluasi serta rekomendasi program dan banyak yang bertindak selaku manajer dan birokrat pembangunan Untuk kepentingan lain, misalkan sewaktu kolonialisme dahulu, antropologi digunakan para penjajah barat supaya berhasil menjajah negara-negara terkebelakang misalnya Indonesia. Sewaktu perang Aceh antropolog Snouck Hurgronje diterjunkan untuk meneliti kelemahan orang Aceh dan didapatinya bahwa orang Aceh sangat patuh terhadap ulama, maka dibuatkan sebuah strategi menghancurkan para ulama sampai beberapa pemimpin ulama ditangkap, maka orang Aceh dapat ditaklukan. Amerika sewaktu menghan tam Jepang, mereka menerjunkan agen CIA yang berlatar belakang Antropolog mempelajari orang Jepang dan kelemahannya dan Amerika bisa memenangkan pertaruangan dengan orang Jepang, begitu juga mereka melakukan penguasaannya di timur tengah begitu dan ketika antropolog amerika banyak dipakai dalam perang Vietnam dan di Asia

Tenggara. Karena sejarah ini, antropologi dikritik didalam mapun diluar komunitasnya, dianggap mengarahkan penggunaan antropologi bagi kepuasan nafsu penghancuran umat manusia. Dan terlepas dari ini antropologi dirasa sebagai elemen ilmu yang teramat mumpuni untuk diterapkan dalam kepentingan apapun. Negara-negara dunia sekarang dan lembaga-lembaga global yang berhasil dalam gerakan pembangunan, dan pembangunan tersebut berkelanjutan pastilah menggunakan lensa atau kaca mata budaya. Dan memahami pembangunan sebagai perubahan budaya menuju budaya yang lebih adil dan beradap, bukan keuntungan semata oleh individu, penguasa, konglemerat, negara tertentu, dan lainnya tapi bagi semua umat manusia. BAB III. PENUTUP Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut. Begitu juga halnya pada semua pandangan tentang ilmu Antroplogi pada tingkat tertentu ada benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu. Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di tempat-tempat umum seperti di restoran, rumah-sakit dan di tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentuk-bentuk pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil. Oleh karena itu, hubungan antara Antropologi dan kebudayaan itu sendiri tidak dapat dipisah. Sebab, apa yang dicari oleh Antropologi merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Kebudayaan tercipta karena individu manusia itu sendiri yang berusaha menciptakannya. Seperti kata orang, manusia itu tidak pernah puas dengan hal yang sudah ia capai. Oleh karena itu, hal itu pulalah yang menjadi cambuk untuk menciptakan hal-hal baru dalam kehidupannya. Itulah yang dinamakan kebudayaan. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa Antropologi bukanlah pemulung yang memunguti artefak-artefak yang telah ditinggalkan manusia (sampah). Bukan. Namun, Antropologi merupakan jembatan yang akan menghubungkan suatu pola kehidupan generasi yang telah berlalu dengan generasi sekarang dan akan datang.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya sehingga saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah dalam bidang studi saya yang berjudul ANTROPOLOGI HUKUM DALAM PEMBANGUNAN BUDAYA . Makalah Antropologi ini adalah kumpulan bentuk penjabaran tentang antropologi dan peranannya serta kebudayaan dalam peradaban manusia. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Untuk itu, kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan tugas makalah selanjutnya. Akhir kata saya berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.

Makassar, 3 Januari 2011

Penulis

You might also like