You are on page 1of 10

Memo To File

Untuk : ES Dari : RB CC. : NL, BD 2011 Perihal : Analisis Perjanjian No. Perkara : No. Memo : Tanggal Penugasan : 13 Juli 2011 Tanggal Pengumpulan : 15 Juli

Perjanjian berdasarkan KUH Perdata Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : a. Perbuatan, Penggunaan kata Perbuatan pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar sepakat berdasarkan alasanalasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. 2. cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : a) Orang-orang yang belum dewasa. b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.

c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW). 3. suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4. suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. Perjanjian Berdasarkan Undang Undang Perburuhan. Dalam hubungan dengan hubungan ketenagakerjaan, salah satu perjanjian yang mungkin ada adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut umumnya

memuat kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan, yang dalam hal ini sering diwakili oleh manajemen atau direksi perusahaan. Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan ini kemudian menjadikan adanya hubungan kerja antara keduanya. Di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 didefiniskan bahwa Perjanjian kerja adalah Perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut Undang-undang ini perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja

Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat, maka dalam hukum ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 bahwa kesahan suatu perjanjian kerja harus memenuhi adanya 4 persyaratan sebagai berikut: 1. kesepakatan kedua belah pihak; 2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti juga pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu Perjanjian kerja yang tidak memenuhi syarat pada nomor 1 dan 2 diatas dapat dibatalkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat huruf 3 dan 4 batal demi hukum. Adapun dalam soal tugas analisa perjanjian terdapat 3 perjanjian Kerja + 1 adendum perjanjian, yaitu: 1. surat perjanjian kerja magang. 2. Surat perjanjian kerja. 3. Surat perjanjian kerja perpanjangan kontrak; dan 4. Addendum - surat perpanjangan kontrak kerja.

Perjanjian perjanjian kerja dalam soal ini telah memenuhi unsur dalam pengertian perjanjian seperti yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata, yaitu Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam perjanjian magang antara Pihak Pertama PT. Bank Mutiara,Tbk dengan Pihak Kedua telah terdapat perbuatan yang melibatkan para pihak dan mengikat para pihak tersebut, sehingga sudah dapat dikatakan sebagai suatu bentuk Surat Perjanjian. Adapun terkait sah atau tidaknya perjanian kerja tersebut jika dilihat dari isi perjanjian yang menerangkan adanya Kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya paksaan maupun tekanan; telah cakapnya para pihak untuk terikat dalam suatu perjanjian berdasarkan keterangan yang ada; suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam hal ini terkait Magang, Kerja, Perpanjangan Kontrak maupun Addendum Perpanjangan Kontrak; dan terpenuhinya kausa yang halal karena tidak bertentangan dengan norma norma yang ada, maka perjanjian magang antara PT. Bank Mutiara selaku pihak pertama dan Pihak Kedua telah sah karena sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang ada pada UU No. 13 Tahun 2003, isi perjanjian ini juga telah sesuai dengan ketentuan paraturan perundang undangan tersebut, sehingga perjanjian ini sah berdasarkan KUH Perdata maupun UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam perjanjian perjanjian tersebut seperti terdapat dalam paragraph terakhir isi tiap tiap perjanjian, diterangkan bahwa perjanjian dibuat dalam dua naskah dan masing masing pihak diberi satu naskah, namun dalam hal ini naskah tersebut merupakan salinan saja sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang sama sehingga hal tersebut tidak layak sebagai susatu perjanjian sebagaimana hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 54 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Berikut kelemahan dari masing masing Perjanjian : 1. Surat Perjanjian Magang Asas kebebasan berkontrak memang dapat diterapkan oleh para pihak yang membuat atau menandatangani perjanjian, akan tetapi dalam Perjanjian ini tidak ada muatan mengenai syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pekerja magang maupun jangka waktu kapan dimulai dan berlakunya perjanjian kerja magang ini. Maka dari itu perjanjian ini dapat dikatakan tidak layak karena tidak memenuhi isi ketentuan yang terdapat dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 54 ayat (1) huruf :

f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; dan g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja. Perjanjian ini dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa materai, mengenai materai ini terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undangundang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai. Sehingga apabila terjadi sengketa atau wanprestasi dalam pemenuhan prestasi isi perjanjian yang mengakibatkan dibawa sampai ke jalur hukum, maka perjanjian ini sah sebagai alat bukti. Adapun kesalahan dalam Perjanjian kerja magang ini, yaitu seperti yang telah disebutkan bahwa tidak adanya muatan dalam isi perjanjian mengenai hak dan kewajiban para pihak; memang terdapat beberapa ketentuan dalam perjanjian mengenai hak dan kewajiban Pihak Kedua, tapi tidak diikuti sebagaimana mestinya hak dan kewajiban Pihak Pertama. Hal ini juga yang dapat mengakibatkan Ketidakseimbangan yang ada antara para pihak dalam perjanjian. Redaksional dalam isi perjanjian pun bisa jadi kesalahan yang fatal saat penyebutannya tidak berkesesuaian satu sama lain, dalam perjanjian ini terdapat kesalahan redaksional pasal 5 huruf b dari isi perjanjian ini yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat 1 diatas akan tetap.. sedangkan dalam ketentuan pasal 5 perjanjian magang ini tidak menggunakan ayat per ayat, melainkan huruf, yaitu huruf a, b, dan c. hal tersebut dapat mengaburkan isi pasal didalamnya karena tidak berkesesuaian satu sama lain. Ketentuan ketentuan dalam isi perjanjian magang ini tidak terstruktur dengan baik, yaitu tidak adanya beberapa pasal atau aturan yang tidak terdapat penjelasan mnegenai hal apa yang diatur didalamnya. Kemudian ketidaktepatan penempatan suatu kewajiban untuk Pihak Kedua pada ketentuan hal Lain Lain, yaitu pada pasal 6 huruf c. Adanya paraf yang diberikan pada setiap halaman dapat meminimalisir pelanggaran ataupun kecurangan yang dapat terjadi dalm perjanjian ini, namun dengan adanya kesalahan rerdaksional pada ketentuan pasal 5 huruuf b dapat berakibat pada penafsiran yang disalah gunakan, terlebih dalam perjanjian ini tidak diatur atau diperjanjikan mengenai hal apabila terjadi sengketa dan bagaimana jalan keluar penyelesaian masalahnya jika terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian.

2. Surat Perjanjian Kerja 1 Mengenai perjanjian ini disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 isi perjanjian, bahwa Pihak Pertama menerima Pihak Kedua dengan status Kontrak, yang dalam arti lain yaitu kerja dalam waktu tertentu yang telah atau akan ditentukan. Pengertian perjanjian kerja waktu tertentu tersebut termaktub dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu disebutkan sebagai berikut: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu Hal tersebut juga diatur dalam ketentuan UU tentang Ketenagakerjaan Pasal 56. Adapun terkait dengan peraturan perundang- undangan tersebut, berdasarkan isi perjanjian kerja ini, telah disebutkan Jangka waktu dimulai dan berkahirnya perjanjian kontrak kerja, maka perjanjian ini telah memenuhi ketentuan pada UU No. 13 Tahun 2003. Memang terdapat syarat syarat kerja bagi Pihak Kedua dalam isi perjanjian ini akan tetapi tidak diikuti dengan hak dan kewajiban para pihak, hanya ada kewajiban yang diberikan kepada Pihak Kedua sehingga terjadi Ketidakseimbangan atas perjanjian ini terhadap para pihak yang terlibat. Adapun mengenai pembayaran gaji sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf e, bahwa dalam pemberian upah atau gaji juga disertakan bagaimana dan/atau dengan cara apa upah atau gaji tersebut akan dibayarkan. Namun hal tersebut tidak tercantum dalm isi perjanjian mengenai hal Gaji yang terdapat dalam pasal 3 isi perjanjian ini, hanya penyebutan gaji pokok dan tunjangan lain lain saja yang terdapat dalam lampiran, tidak ada mengenai cara gaji tersebut dibayarkan. Dengan adanya paraf pada tiap halaman dapat meminimalisir terjadinya kecurangan maupun pelanggaran, namun sama halnya dengan perjanjian magang diatas, tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai sengketa dan penyelesaiannya dapat dimungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap perjanjian ini, terlebih dalam perjanjian ini tidak dibubuhi dengan dokumen pendukung berupa Materai, sehingga tidak bisa dijadikan alat bukti apabila ditempuh jalur hukum. Kemudian terdapat lampiraan mengenai gaji yang disertakan dalam perjanjian ini, memang tidak ketentuan khusus secara formil mengenai lampiran apakah harus dibubuhi materai ataupun tanda tangan yang menyertainya, namun demi terjaminnya keamanan tidak ada salahnya jika ditandatangani juga oleh para pihak. 3. Surat Perjanjian Kerja Perpanjangan Kontrak

Surat perjanjian ini saling terikat satu sama lain dengan Surat Perjanjian Kerja sebelumnya yang mana dalam perjanjian kerja sebelumnya berakhir pada tanggal 31 Desember 2010 sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 2 ayat 1 Perjanjian Kerja, sedangkan Perjanjian Perpanjangan Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 16 Desember 2010, padahal jangka waktu perjanjian sebelumnya belum berakhir. Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 59 ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama Akibat hukum yang terjadi apabila isi perjanjian melanggar ketentuan pasal 54 ayat (6) tersebut yaitu PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dalam hal ini kerja kontrak demi kepentingan hukum akan berubah menjadi Pekerja Tetap. Hal ini diatur dalam ayat (7) pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003. Sama halnya seperti perjanjian sebelumya, bahwa dalam perjanjian ini juga tidak terdapat dokumen pendukung berupa Materai sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pengadilan, terlebih kemungkinan pelanggaran juga dapat terjadi selain tidak adanya materai, pada tiap halamannya juga tidak terdapat paraf dari para pihak. Meskipun paraf bukan syarat formil ataupun syarat materiil dalam sahnya perjanjian, namun keberadaan paraf pada tiap halamannya dapat meminimalisir kecurangan atau pelanggaran dengan menghilangkan salah satu atau beberapa bagian dari halaman perjanjian. 4. Addendum Surat Perpanjangan Kontrak Kerja Dalam addendum perjanjian perpanjangan kontrak ini tanggal yang tertera pada bagian awal (pembuka) perjanjian dengan yang tertera pada bagian akhir (penutup) perjanjian tida berkesesuaian satu sama lain, sehingga bisa terjadi salah penafsiran dari para pihak terutama jika terjadi pelanggaran didalamnya. Sama halnya dengan perjanjian sebelumnya, dalam addendum ini juga tidak terdapat paraf pada tiap halamannya dan juga tidak terdapat dokumen pendukung berupa Materai, sehingga membuka kesempatan pada pihak pihak yang tidak mempunyai itikad baik untuk melanggar isi dari addendum ini. Kemudian memang jangka waktu antaraperjanjian yang sebelumnya dengan addendum ini telah lebih dari 30 hari tenggang waktu sejak berakhirnya kontrak perjanjian sebelumnya seperti yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003, akan tetapi yang jadi permasalahan, yaitu ketika terjadi dua kali pembaharuan perjanjian terkait kontrak kerja, maka hal yang demikian itu dilarang oleh UU no. 13 Tahun 2003 yang terdapat pada Pasal 59 ayat (6).

Catatan : Perihal suatu Perjanjian dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa Materai atau tidak maka dengan tiadanya meterai dalam suatu surat perjanjian, maka tidak berarti perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya meterai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 2 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

You might also like