You are on page 1of 13

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

CSR (Corporate Social Responsibility)adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan(sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukankegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikanlingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian danauntuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitasmasyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak,khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSRmembutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminanketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harusmelakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Ditengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia,pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi

fokus,dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintahmemfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnisyang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapatmengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompoklain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkanproses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Anti gratifikasi ialah Istilah korupsi berasal dari bahasa latincorruptio,corruption dalam bahasa Inggris dancorruptie dalam bahasa Belanda. Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk, juga disangkut pautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.1 Menurut Vito Tanzi korupsi dapat diartikan sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik, dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme

Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Penerapan dan penegakan Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut UU PTPK) masih banyak menemui kendala-kendala yang menarik perhatian masyarakat. Hendarman Supandji pernah menyampaikan bahwa, Meski upaya pemberantasan korupsi semakin meningkat, tetapi belum menunjukkan tanda-tanda bahwa negara Indonesia masih tetap termasuk dalam peringkat negara-negara terkorup di dunia dari pengalaman sehari-hari, tampaknya keberhasilan bangsa kita memberantas korupsi masih sangat terkendala oleh perilaku masyarakat sendiri yang memiliki toleransi terlalu tinggi terhadap korupsi. Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menfkominfo pada tahun 2005

bahwa dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan kedalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi diatas Rp. 250.000,- wajib dilindungi sesuai PP71/2000.Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana pernjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Gratifikasi dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasitlitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

B. Tujuan Dan Kegunaan

Adapun tujuan kami dalam membuat makalah ini yaitu untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai masalah CSR dan Anti Gratifikasi.

BAB II. PEMBAHASAN

A.Pengertian CSR (Corporate Social Responsibility).

CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang -Undang yang terbaru, yakni UU Nomer 40 Tahun 2007, melalui undang-undang ini, industri atau koprasi-koprasi wajib untuk melaksanakannya.. Meningkatnya tingkat kepedulian kualitas kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis, maka, lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggungjawab sosial. Disinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktifitas Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi menu wajib bagi perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undang-undang

Lepas dari perdebatan tentang pentingnya CSR yang kemudian melahirkan Undangundang No. 40 Tentang Perseroan Terbatas, bahwa setiap perusahaan yang melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Upaya tersebut diatas harus terlihat dari penerapan prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan lingkungan. Bila konsep ini dikaitkan dengan pengertian CSR, sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya, karena CSR ini telah menjadi amanat konstitusi.

Corporate Social Responsibility (CSR) bukan merupakan wacana baru lagi. Berbagai pihak sudah mengkampanyekan pentingnya tanggungjawab sosial ini bagi perusahaan baik untuk menjaga kelangsungan produksi sampai untuk tujuan membangun legitimasi sosial. Masih terdapat Pertentangan pendapat mengenai hakekat tanggungjawab sosial perusahaan

jika ditelusuri secara ontologis berkaitan erat dengan konsepsi mengenai fungsi dasar kegiatan bisnis dan hubungannya dengan institusi lain dalam masyarakat, termasuk pemerintah. Bila ditelili lebih dalam lagi pertentangan muncul sangat erat dengan landasan filsafat serta pandangan etika moral mengenai bisnis. Bahkan juga dipertanyakan apakah bisnis dapat dituntut memiliki suara hati (consience) sebagaimana halnya individu.

Tantangan dan perubahan lingkungan menciptakan peluang baru dan memaksa bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility). Nampaknya perusahaan tidak bisa lagi hanya menerapkan prinsip the business of bussines is bussines tetapi, perusahaan hendaknya bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial disekitarnya termasuk soal pengangguran, kemiskinan, perempuan termarginalkan, gelandangan, pengemis, anak jalanan, gizi buruk, kelaparan, pendidikan untuk semua, kerusakan lingkungan, bencana alam.

Sejalan dengan prinsip, pengaturan dan implementasi, maka CSR hendaknya dapat dijadikan sebagai ajang strategi bisnis bagi perusahaan melalui program dan kegiatan CSR untuk menggaet simpati masyarakat sekitar demi keberlangsungan usaha. Sudah semestinya CSR dilaksanakan atas dasar kesukarelaan (voluntary), bukan didasarkan atas kewajiban yang bersifat mandatary dalam makna liability.

Implementasi CSR yang sesungguhnya berkaitan erat dengan United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB. Bagaimana caranya CSR yang menjadi kewajiban bagi perusahaan didorong untuk mengupayakan terhadap penghapusan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, dapat mengembangkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu

melakukan perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya yang akhirnya mampu menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan serta dapat mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Beberapa definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian CSR menurut berbagai organisasi:

A.

International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.

B.

Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa organisasi organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.

C.

Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.

D.

European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.

E.

CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders

C. Pengertian Anti Gratifikasi. Gratikikasi berasal dari bahasa Belanda,grat ikatie yang kemudian diadopsi menjadi kata dalam bahasa Inggris yang berarti hadiah.10 Indriyanto Senoadji menulis bahwa, istilah gratifikasi yang dalam bahasa Inggris disebut gratification adalah istilah yang muncul di negara-negara Anglo Saxon danEropa kontinental. Istilahgratification muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery). sebelumnya gratification (gratifikasi) lebih banyak dikenal sebagaigift atau pemberian (dalam bahasa Indonesia).

Gratifikasi dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasitlitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Gratifikasi sendiri banyak mendapat stigma negatif, hal ini terlihat dari himbauan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu yang melarang pejabat untuk menerima parsel pada hari raya Idul Fitri dan Natal, hal ini karena stigma negatif mengenai suap yang dilekatkan dengan pemberian parsel. Himbauan KPK tersebut bisa dipandang benar, karena bertujuan agar pegawai negeri, pejabat atau penyelenggara negara tidak terbiasa menerima pemberian, yang nantinya pemberian tersebut dikhawatirkan dapat mendorongnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya, akan tetapi apapun alasannya, tidak semua pemberian (gratifikasi) kepada pegawai negeri dapat serta merta disamakan dengan pemberian suap.

Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh lini kehidupan dan sepertinya telah menyatu dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan

negara. Aparat penegak hukum yang diharapkan dapat menjalankan tugasnya secara jujur dan tegas dalam menegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, namun dalam perjalanannya malah banyak aparat penegak hukum yang menjadi pelaku dari tindak pidana itu sendiri.

Keberhasilan suatu penegakan hukum memang sangat bergantung kepada keberadaan institusi dari aparat penegak hukum sebagai penggeraknya. Baik buruknya penegakan hukum akan tercermin dari perilaku aparat penegak hukum itu sendiri. Aparatur penegak hukum dituntut tidak saja harus mampu mewujudkan hukum tetapi dituntut juga harus profesional dan proporsional.

Belakangan ini kasus korupsi yang paling marak dan banyak menjadi sorotan adalah mengenai gratifikasi dan suap. Banyak media memberitakan mengenai pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah dan aparat penegak hukum terlibat dalam perkara gratifikasi dan tindak pidana suap.

Kecenderungan memberikan sesuatu sebagai wujud penghormatan memang sudah berakar kuat pada budaya Indonesia, yang menjadi masalah ialah bahwa suap di Indonesia sudah memiliki akar budaya yang demikian dalam. Kosakata suap dalam bahasa Indonesia salah satunya adalah upeti, upeti berasal dari katautpatti dalam bahasa Sansekerta yang kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk, dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia.

Dalam disertasi klasiknya, Heather Sutherland menggambarkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern ataupamong- praja diIndonesia.

Kebiasaan tersebut sudah mengakar dalam budaya birokrasi, maka budaya upeti atau yang dipahami oleh masyarakat sebagai pemberian, sangat sulit diberantas. Banyak orang mengatakan bahwa karena sistem upeti dianggap sebagai sesuatu yang biasa, maka hal ini lama kelamaan mengarah kepada suap sehingga menyebabkan korupsi membudaya diantara bangsa Indonesia. Budaya upeti saat ini memang telah banyak disalahartikan dan sangat berpengaruh terhadap merebaknya penyakit birokrasi di indonesia. Masyarakat kerap kali gagal dalam membedakan antara pemberian dan suap. Masalah ini sebenarnya dihadapi bukan hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara maju. Terlebih lagi, situasi seperti ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan seolah-olah menjadi wajar atau bahkan menjadi prosedur standar, maka, suap menjadi fenomena yang terjadi dan meluas dalam semua tingkatan birokrasi.

Judy Nadler dalam sebuah artikelnya menjelaskan betapa sulitnya masyarakat, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat, untuk membedakan antara hadiah (gift) dengan suap (bribe) ketika mereka berhadapan denganpejabat.

Istilah pemberian kemudian berkembang dengan munculnya istilah gratifikasi yang terdapat dalam UU PTPK. Pasal 12 B UU PTPK mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi, pinjaman tanpa

bunga, perjalanan wisata dan fasilitas lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya dan kebiasaan terkait dengan pemberian hadiah sebagai bentuk penghormatan tersebut memang sudah mengakar kuat pada masyarakat kita, pengaturan gratifikasi dalam UU PTPK dimaksudkan agar kebi- asaan terkait pemberian yang telah mengakar kuat pada masyarakat kita ini ter- utama pada pejabat publik dapat dikendalikan sehingga tidak menggarah pada suap.

Diberlakukannya UU PTPK belum dapat memberikan pengertian secara jelas antara suap dan pemberian (gratifikasi). Berbeda dengan sebelum disahkannya UU PTPK, dimana sebelumnya suap sulit dibedakan dengan pem- berian pada umumnya karena kerap kali dipandang sebagai pemberian yang wajar, setelah disahkannya UU PTPK justru gratifikasi yang sulit dibedakan dengan suap dan kerap kali dipandang sebagai suap, khususnya pada pegawai negeri, pe- jabat dan penyelenggara negara. UU PTPK dinilai terlalu luas dan kurang terper- inci dalam memberi definisi terhadap gratifikasi, serta kurang jelas dalam memberikan parameter antara gratifikasi dan suap.

D. Macam- macam kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi :

a. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. b. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan. * Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan

penindakan tegas pada pelaku. * Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek. c. Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. d. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan. f. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal. g. Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran. h. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang dipercepat dengan uang tambahan. i. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal. j. Pengurusan ijin yang dipersulit.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil makalah kami yaitu CSR (Corporate Social Responsibility)adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan(sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.

CSR (Corporate Social Responsibility) juga merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang terbaru, yakni UU Nomer 40 Tahun 2007, melalui undang-undang ini, industri atau koprasi-koprasi wajib untuk melaksanakannya.. Meningkatnya tingkat kepedulian kualitas kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis. Sedangkan.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasitlitas lainnya.

sGratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa menggunakan sarana elektronik.

B. Saran Adapun saran yang saya sampaikan bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari teman-teman sebagai bahan ajaran penulis dalam penyusunan makalah kedepannya. Bahan tambahan dalam suatu proses pengelolahan merupakan bahan campuran bagi bahan baku untuk memproduksi suatu produk.

You might also like