You are on page 1of 6

BAB I PENDAHULUAN

Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut UU Keimigrasian) pada tanggal 31 Maret 1992. Sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 67, bahwa dengan adanya

pemberlakukan UU Keimigrasian, selain Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 yang dinyatakan tidak berlaku, maka beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah keimigrasian, dinyatakan tidak berlaku juga. Pencabutan ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Toelatingstesluit (Staatsblad 1916 Nomor 47) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Staatsblad 1949 Nomor 330 serta Toelatingsordonnantie (Staatsblad 1949 Nomor 331); 2. Undang-undang Nomor 42 Drt. Tahun 1950 tentang Bea Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 77); 3. Undang-undang Nomor 9 Drt. Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 463); 4. Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 807); 5. Undang-undang Nomor 9 Drt. Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 812); dan 6. Undang-undang Nomor 14 Drt. Tahun 1959 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1799); Dengan adanya pencabutan terhadap beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan keimigrasian oleh UU Keimigrasian, di satu sisi menunjukan bahwa secara substansial dalam UU Keimigrasian juga mengatur hal-

hal yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang dicabut oleh UU Keimigrasian di atas. Bisa dikatakan juga bahwa UU Keimigrasian merupakan gabungan dari ke-6 peraturan perundang-undangan yang dicabut oleh UU Keimigrasian di atas, selain juga terdapat penambahan-penambahan substansi sebelumnya yang belum di atur. UU Keimigrasian merupakan undang-undang administrasi bersanksi pidana. Dikatakan demikian karena dalam UU Keimigrasian diatur mengenai ketentuan pidana yaitu dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana. Ketentuan pidana yang ada dalam UU Keimigrasian ini merupakan bentuk keinginan legislator untuk lebih menguatkan pemberlakuan mengenai masalah keimigrasian. Peng-adopsi-an ketentuan pidana yang dilakukan legislator dalam UU Keimigrasian terinspirasi dari adanya Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi yang berlaku sebelum penerbitan UU Keimigrasian. Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tersebut pada akhirnya juga dinyatakan tidak berlaku oleh pasal 67 UU Keimigrasian. Hal ini untuk menghindari dualisme hukum dalam pengaturan mengenai hukum pidana di bidang keimigrasian. Dengan adanya pengaturan mengenai ketentuan pidana dalam UU Keimigrasian, maka dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai perbedaan antara ketentuan pidana dalam UU Keimigrasian dengan peraturan perundang undangan sebelum berlakunya UU Keimigrasian, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. Apabila ditemukan perbedaan antara UU Keimigrasian dengan Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi dilihat dari aspek hukum pidana, pertanyaan selanjutnya adalah: dasar pertimbangan apa yang mendasari perbedaan tersebut.

BAB II PERMASALAHAN

Dari pendahuluan di atas, maka akan diambil beberapa permasalahan yang nantinya akan dibahas dalam bab selanjutnya. Rumusan permasalahan yang diambil adalah sebagai berikut: 1. Apakah perbedaan antara ketentuan pidana dalam UU Keimigrasian dengan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya UU Keimigrasian, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan yang mendasari perbedaan tersebut?

BAB III PEMBAHASAN

Perbedaan UU Keimigrasian dengan Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. Esensi dari Bab VIII tentang Ketentuan Pidana dalam UU Keimigrasian dengan Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi adalah sama, yaitu mengatur mengenai tindak pidana di bidang keimigrasian. Akan tetapi, sebagai undang-undang yang baru, dengan berbagai pertimbangannya, tentunya terdapat perbedaan antara UU Keimigrasian dengan Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. Dalam UU Keimigrasian mengkualifikasikan tindak pidana menjadi 2, yaitu: 1) kejahatan; dan 2) pelanggaran. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 62 UU Keimigrasian, yaitu berbunyi: Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, dan Pasal 59 Undang-undang ini adalah kejahatan. Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 51, 60, dan Pasal 61 Undang undang ini adalah pelanggaran. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, tidak mengenal istilah pelanggaran, yang ada hanya kejahatan. Hal ini diatur dalam pasal 5 yang berbunyi: Tindak tindak-pidana yang dimaksudkan dalam Undangundang Darurat ini adalah kejahatan. Kualifikasi tindak pidana yang diatur dalam UU Keimigrasian (pelanggaran dan kejahatan) merupakan adopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana dalam KUHP juga memisahkan antara kejahatan dengan pelanggaran. Dalam KUHP, perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran salah satunya adalah pada ancaman sanksi pidananya. Dalam tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan, maka ancaman sanksi pidananya cenderung lebih berat dibandingkan tindak pidana yang dikategorikan sebagai

pelanggaran. Karakteristik inilah yang juga di adopsi dalam UU Keimigrasian. Dalam UU Keimigrasian, tindak pidana di bidang keimigrasian yang dikatergorikan sebagai pelanggaran, cenderung diancam dengan sanksi pidana yang cenderung lebih ringan dibandingan dengan tindak pidana di bidang keimigrasian yang dikategorikan sebagai kejahatan. Perbedaan lainnya terdapat dalam pemberian ancaman sanksi pidana berupa denda. Untuk ukuran UU Keimigrasian, pemberian ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, sangatlah kecil. Selain perbedaan diatas, juga terdapat banyak perbedaan dalam hal menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang keimigrasian (kriminalisasi).

Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan ter hadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. Perubahan yang dilakukan legislator terhadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi dapat kita lihat dalam UU Keimigrasian. Adapun pertimbangan dilakukannya perubahan terhadap UndangUndang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 adalah karena modus operandi tindak pidana di bidang keimigrasian semakin berkembang. Sehingga terhadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tidak dapat lagi untuk mengakomodir berbagai tindak pidana di bidang keimigrasian yang terjadi. Maka untuk mengatasi hal tersebut, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang baru, yang mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam tindak pidana di bidang keimigrasian. Selain itu, pembentuk terhadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 adalah legislator yang juga seorang manusia. Sehingga karena terhadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 dibuat oleh manusia, maka tentu banyak kekurangan-kekurangan yang ada, dan tidak mungkin sempurna. Sehingga kekurangan-kekurangan tersebut coba di tambal dengan adanya UU Keimigrasian, dengan harapan UU Keimigrasian lebih baik dari pada terhadap Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 (aspek filosofis).

MATA KULIAH PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TUGAS ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA
(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perancangan Peraturan Perundang -undangan)

Disusun oleh:

Kelompok : R. RUDI PRIYO WIDODO ARI MUKTI EFENDI CAKRA PERMATA OKTAVIANUS

060710101042 060710101086 060710191069

UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2010

You might also like