You are on page 1of 10

MAKNA PARTAI POLITIK LOKAL BAGI PERDAMAIAN ACEH

oleh : Yusra Tebe Abstract As a consequence of the agreement between the Acehnese Freedom Movement (GAM) and Indonesian government, Aceh Province had a very special autonomy which made this province the only one which was allowed to establish a local political party. This special treatment was actually a privilege for this province in order to persuade the GAM to give up their rebellion and come back as the integral part of Indonesians Government. Keyword : Development, Prospect, Local Political Party

A. Pendahuluan Pada tangal 15 Agustus 2005 yang lalu telah ditandatangi perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memuat enam (6) pasal utama, secara garis besar mengatur tentang; pertama, mengenai penyelenggaraan pemerintahan Aceh, Undang-undang tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, tentang partisipasi politik yang didalamnya memuat tentang pengaturan pembentukan partai politik lokal (PARLOK), tentang ekonomi yang menyebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70 % hasil dari semua cadangan sumber daya alam yang ada di wilayah Aceh, tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur perumusan kembali hukum-hukum di Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal HAM sebagaimana tercantum dalam konvenan internasional PBB mengenai hak sipil, politik ekonomi, sosial dan budaya. Kedua tentang hak asasi manusia yang mengatur pembentuk peradilan HAM di Aceh dan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh. Ketiga, Amnesti dan reintegrasi kedalam masyarakat yang mengatur pemberian amnesti baik kepada mantan anggota GAM, maupun bagi masyarakat yang telah kehilangan kewarganegaraannya pada saat konflik, disini juga diatur mengenai upaya reintegrasi anggota GAM kedalam masyarakat dan juga pengalokasian dana bagi rehabilitasi harta benda yang hancur akibat konflik. Keempat, pengaturan keamanan yang mengatur demobilisasi 3000 pasukan militer GAM, penyerahan 840 senjata api, penarikan semua pasukan non organik RI yang berada di Aceh, serta pembatasan jumlah tentara organik di Aceh hanya bisa berjumlah 14.700 orang, dan polisi berjumlah 9.100 orang. Kelima, pembentukan misi monitoring Aceh yang mengatur tentang pembentuk misi monitoring yang dibentuk oleh Uni Eropa dan ASEAN, tim ini bertugas untuk memantau proses pelaksanaan perjanjian damai ini, penghancuran senjata, menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelangraan terhadap nota kesepakatan[1] Namun dalam tulisan ini, penulis hanya akan fokus kepada satu pasal yaitu tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, lebih tepatnya penulis hanya akan membahas Klausul 1.2 Partisipasi Politik yang menyebutkan[2]: 1.2.1. Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak

penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut. Salah satu mandat pasal inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi pemerintah untuk mengesahkan sebuah produk undang-undang yang komprehensif bagi Aceh, yaitu UndangUndang Pemerintahan Aceh no 11 than 2006 yang disetujui oleh DPR-RI tanggal 11 juli 2006 dan ditandatangai oleh Presiden pada tanggal 1 agustus 2006. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apa makna pembentuk partai politik lokal bagi perdamaian di Aceh secara khusus dan makna apa yang didapatkan oleh Indonesia secara umum? B. Pendekatan teori Pencapaian perdamaian, pembentukan PARLOK yang telah diraih Aceh saat ini tidak terlepas dari kesepekatan-kesepakatan yang telah diambil oleh pemerintah RI & GAM dalam serangkaian dialog, yang kemudian dituangkan kedalam sebuah teks perjanjian resmi yang kemudian lebih dikenal dengan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Teks/perjanjian inilah yang menjadi pijakan bagi para pihak dalam melaksanakan kesepakatan tersebut. Dalam menganalisis makna dari teks yang terkandung dalam nota kesepahaman tersebut kita perlu melihat nilai/kekuatan sebuah teks, bagaimana memaknainya dengan pendekatan teori heurmenetik yang menyebutkan bahwa, kita berpikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan bahasa yang kita mengerti dan membuat interprestasi dengan bahasa[3], dengan mengunakan dasar ini pula maka kita mengetahui bagaimana sebuah teks atau bahasa yang digunakan sebagai kesepakatan. Heurmenetik pada ahirnya dapat diartikan sebagai penafsiran atau interprestasi dan sebuah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Heurmenetik dalam pandangan klasik menyebutkan bahwa; kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu[4]. Lalu apa yang dimaksud dengan penafsiran atau interprestasi, lebih lanjut E.Sumayono mengatakan bahwa kegiatan interpretatif adalah proses yang bersipat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan), orang yang melakukan interprestasi harus mengenal pesan atau kecondongan teks, lalu ia harus meresapi isi teks tersebut, oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar[5]. Lebih lanjut heurmenetika dapat didefinisikan secara longgar sebagai sebuah teori atau filsafat interpresntasi makna, kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, teori ini juga memusatkan diri kepada teori umum interprestasi sebagai metodologi bagi ilmu ilmu humaniora, termasuk juga didalamnya ilmu-ilmu manusia[6]. Disamping teori heurmenik, penulis juga akan menggunakan teori mengenai partai politik secara umum, dan teori partai politik lokal, pengertian mengenai partai politik sangat banyak dan beragam yang disampaikan oleh banyak pakar ilmu politik. Disebutkan bahwa partai politik adalah; kelompok manusia yang manusia yang teorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan adil kepada para angotanya[7], lebih lanjut dalam pengertian lain, partai politik adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah[8], juga

disebutkan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama, yaitu memperoleh kekuasaan dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan mereka[9]. Tentunya masih banyak defenisi dan pengertian yang beragam mengenai partai politik, yang kesemuanya secara umum menyampaikan bahwa partai politik adalah kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan motivasi ideologi tertentu, dan berusaha mempertahankan dan mencari kekuasaan dalam pemerintahan. Lalu apakah yang dimaksud dengan partai politik lokal (PARLOK), mengingat bahwa kemunculan partai politik lokal di Indonesia masih relatif baru dikenal dalam sistem politik dan kepartaian, walaupun dalam sepanjang sejarah politik di Indonesia sudah pernah ada Parlok, teori-teori ataupun penelitian mengenai partai politik lokal masih sangat terbatas di Indonesia. Untuk itulah Farhan Hamid mencoba mendefinisikan Parlok dengan; partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah, serta bekerja untuk kepentingan daerah[10], sedangan jika kita merujuk kepada peraturan Pemerintah, Parlok adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), Gubenur dan wakil gubenur, serta bupati, wakil bupati/Walikota dan wakil walikota[11]. C. Jalan berliku bagi perdamaiaan Aceh Sebelum kita mengulas apa makna Parlok bagi perdamaian Aceh, penulis merasa perlu untuk menjelaskan bagaimana teks atau nota kesepahaman bisa muncul dan mampu menjembatani kebuntuan jalan perdamaian bagi Aceh yang telah dirintis semenjak tahun 1976. Setidaknya pemerintah RI dan GAM telah melakukan 3 kali perundingan untuk mencari jalan damai. Pertama, pada tahun 2000 yang lebih dikenal dengan (Jeda kemanusiaan dan penghentian permusuhan) yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan jeda kemanusiaan ini gagal diwujudkan, Kedua, tahun 2002 perundingan (Jeda kemanusiaan dan penghentian permusuhan) jilid 2 dilanjutkan oleh pemerintahan Megawati Soekarno Putri, namun perundingan ini juga gagal, malah pemerintah mengeluarkan KEPRES no 23/2003 mengenai darurat militer di Aceh yang mulai berlaku pada tanggal 19 mei 2003, dan Ketiga, pada tahun 2005 kesepakatan damai bisa dicapai, hal ini ditandai dengan telah ditandatanganinya nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM, pada masa pemerintahan SBY-JK yang sampai sekarang perdamaian masih bertahan. Namun seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa jalan damai bagi Aceh sangat berliku dan panjang, menghabiskan triliyunan dana, menghilangkan banyak nyawa dan harta benda, karena jauh sebelum perjanjian ini disepakati upaya penyelesaian Aceh baik melalui upaya perundingan damai maupun melalui kebijakan pemerintah, bahkan melalui pendekatan militer telah dilakukan. Hal ini bisa kita buktikan dengan melihat tabel 2. Kegagalan penyelesaian konflik sebelum perundingan helsinki yang disajikan oleh Moch.Nurhasim dibawah ini[12].

Priode Kebijakan Penyelesaian Hasil/Dampak Pemerintahan Presiden Soeharto Pendekatan militer dengan 1. Stabilitas (1976-1998) menekankan pada operasi jariing keamanan dan merah untuk menumpas GAM politik terjamin, GAM menyingkir keluar negeri 2. Dampaknya muncul kekerasan, dan pelanggaran HAM 3. Munculnya generasi dendam yang mendukung GAM Presiden Habibie Kombinasi pendekatan, antara Sebagian operasi (1998-199) operasi keamanan dengan keamanan yang kebijakan politik dilakukan tidak efektif mengurangi atau menghambat pertumbuhan GAM. Kebijakan politik -10 program Habibie untuk Aceh tidak dapat dilaksanakan karena yang bersangkutan hanya kurang dari satu tahun menjadi presiden[13] Presiden Jeda Kemanusiaan 1. Langkah dan Abdurrahman Pengehentian permusuhan janji Habibie tidak Wahid (CoHA) diteruskan oleh Inpres IV/2001 untuk presiden penanganan konflik Aceh Abdurrahman Otonomi khusus bagi Aceh Wahid 2. Jeda kemanusiaan tidak efektif untuk menghentikan kekerasan 3. CoHA mengalami kegagalan karenacease fire yang menjadi acuan utamanya tidak diindahkan oleh kedua belah pihak Presiden Otonomi khusus bagi Aceh, UU 1. Pemberian

Megawati Seokarno Putri

no 18/2001 Inpres no VII/2002 tentang penanganan masalah konflik Aceh Melanjutkan Penghentian Permusuhan (CoHA) Darurat Militer di Aceh, kepres no 23/2003 berlaku mulai 19 Mei 2004

otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dari GAM, karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan GAM 2. Inpres no VII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena penanganan konflik melalui CoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagai dasar kebijakan utam 3. CoHA gagal karena orientasi pemerintah pusat memandang CoHA sebagai keuntungan bagi GAM untuk memperbesar kelompoknya 4. Operasi terpadu melalui darurat militer gagal dilakukan karena operasi terpadu pincang, lebih pada operasi militer, kurang disertai oleh operasi kemanusiaan, peningkatan kinerja pemerintahan dan ,kurang dalam penegakan hukum

Atas dasar penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bahwa pendekatan diplomasi dan perundingan jauh lebih ampuh daripada pendekatan militer dalam mencapai perdamaian di

Aceh, setidaknya sampai saat ini perdamaian masih terus berlangsung di Aceh, kemajuankemajuan ditingkat demokrasi juga terus berlangsung, hal itu bisa kita buktikan dengan telah terlaksananya pemilu langsung tahun 2006 dengan terpilihnya pasangan Gubenur dan Wakil Gubenur (Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar), menurunnya jumlah kekerasan dan aksi bersenjata, serta program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh bisa berjalan dengan lancar tanpa ada ganguan keamanan, walaupun keberhasilan mengenai ini masih perlu kajian yang lebih mendalam. D. Makna kehadiran partai Politik Lokal Pencapaian terbesar dari lahirnya teks nota kesepahaman adalah terciptanya kedamaian dan demokrasi lokal di Aceh. Seperti yang diungkapkan Moch.Nurhasim; Lahirnya konsep pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu capaian terpenting bagi konsensus politik untuk mengahiri persengketaan antara GAM & RI, bahwa untuk menentukan pemerintahan sendiri tersebut dibutuhkan suatu proses politik yang sipatnya lokal dengan diberikannya kesempatan bagi GAM untuk mendirikan partai politik lokal dan terlibat dalam pemilu tingkat lokal[14]. Jika kita kembali pada pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam tulisan ini, apa makna partai politik bagi perdamaian Aceh seperti yang telah disampaikan dalam teks nota kesepahaman tersebut diatas. Ada beberapa jawaban, diantaranya; Pertama, pembentukan partai politik bisa merubah perjuangan GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan yang legal formal melalui jalur pemilu, PARLOK bisa berkompetisi dengan partai nasional lain dalam merebut kekuasaan ditingat lokal, kedua, ruang yang luas dalam partisipasi politik terbuka bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan anggota GAM khususnya, ketiga, keberadaan Parlok ini akan meninimalisir atau bahkan bisa menghilangkan tuntutan kemerdekan Aceh dan mengakui keberadaan NKRI. Pendapat diatas semakin diperkuat dengan pendapat J.Kristiadi yang disampaikan dalam buku Farhan Hamid, menurut J.Kristiadi ada dua hal yang merupakan keniscayaan bagi kemunculan PARLOK; pertama, masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah, kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah diberikan kesempatan membentuk partai lokal agar kepala daerah benar-benar kandidiat yang mereka inginkan[15]. Harry Tjan silalahi juga mengatakan; keberadaan PARLOK akan menandai sekaligus menegaskan, beriringan dengan desentralisasi pemerintahan, desentralisasi politik (khususnya partai politik lokal) pun perlu dilakukan[16].Kehadiran PARLOK menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh, beberapa kemajuan dalam tahapan perdamaian dan rekonstruksi memang memberikan nilai yang mempu memperpendek jaring transisi, hal ini juga menjadi cermin bahwa proses berpolitik melalui jalur partai nasional tidak berjalan dengan sehat[17]. Lebih jauh, keberadaan partai politik lokal juga dapat dikatakan memiliki kaitan yang erat dengan masalah HAM. Di satu sisi keberadaan suatu partai politik lokal dapat dilihat sebagai salah satu bentuk perwujudan HAM, terutama hak kemerdekaan berserikat (freedom of association), dan di sisi yang lain, keberadaan partai politik lokal akan dapat berfungsi sebagai pembawa aspirasi masyarakat daerah dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam proses pembangunan. Atas praktik ketidakadilan atau pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat di suatu daerah, maka keberadaan partai politik lokal juga dapat menjadi sarana kritik atas praktik-praktik tersebut[18]. Pendapat-pendapat diatas semakin meneguhkan dan meyakinkan kita bahwa keberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan salah satu jawaban akan perdamaian di Aceh, tentu keberadaan PARLOK ini bukan hanya sekedar memenuhi atau menepati apa yang

telah disepakati dalam nota kesepahaman, namun PARLOK diharapkan mampu menjembatai kepentingan masyarakat Aceh yang lebih luas, dengan PARLOK pula kebuntuan-kebutuan politik yang dialami Aceh selama 32 tahun belakangan bisa mencair, yang kemudian momentum ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan perdamaian di Aceh dan membangun sistem demokrasi yag lebih baik. E. Penutup Disini bisa kita lihat bagaimana kekuatan teks yang dipakai oleh manusia untuk menjembatani dan menyamakan pemahaman akan pentingnya menjaga perdamaian, dan melalui teks atau nota kesepahaman ini pula kita bisa belajar bahwa pendekatan penyelesaian konflik tidak bisa dilakukan dengan kekuatan bersenjata, melalui teks ini pula kedua belah pihak membuat sebuah ikrar dalam pembukaan nota kesepahaman tersebut yang berbunyi: Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para Pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 16 desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya[19]. Kesepakatan ini adalah titik awal bagi perubahan mendasar di Aceh, kalau tidak dapat dikatakan sebagai jalan menuju Aceh baru yang lebih baik di masa mendatang, untuk mencapai itu maka proses transformasi akan dilakukan sebagaimana tercermin dalam isi nota kesepahaman, melalui penyelenggaraan pemerintahan Aceh, partisipasi politik ( adanya partai politik lokal)[20]. Dan kehadiran PARLOK akan menjadi mekanisme lain menuju terbangunnya proses politik yang demokratis, peneguhan hak-hak politik masyarakat lokal yang mandiri, partisipatif, dan aspiratif. Hal ini karena PARLOK lebih dekat dengan konstituennya, disamping itu, tentu saja keberadaan PARLOK bisa menjadi alat implementasi perdamaiaan, membuka jalan terhormat bagi kelompok-kelompok yang selama ini memanggul senjata untuk mengubah strategi perjuangannya dalam ikut membangun masyarakat Aceh yang adil dan makmur[21]. Dengan demikian, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, mampukah kedua belah fihak yang terikat dalam nota kesepahaman menjaga konsistensinya dalam menjaga pedamaian, dan mampukah orang yang diluar para pihak membuat insterprestasi yang menyeluruh dan memahami secara benar makna teks yang telah ditandatangai tersebut. Jika kita lihat, setidaknya sampai saat ini pemahaman akan pesan yang disampaikan dalam teks nota kesepahan tersebut masih bisa dipahami dan diimplementasikan secara benar, walaupun tentu masih harus terus dikawal dan dievaluasi keberhasilannya.

Daftar Pustaka
Buku Bleicher, Josef dalam HEURMENETIKA KONTEMPORER: Heurmenetika sebagai metode, filsafat, dan kritik; Fajar Pustaka 2007, Hal vii-viii Budiarjo, Miriam, dalam: Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama 2001, hal 160-161 Fadjar, H.A.Mukthie, Prof.S.H., M.S., dalam: Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-TRANS Publising) 2008, hal 15 Hamid, Ahmad Farhan, dalam: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 34 Hasan, Kamaruddin, Pilkada, Partai Lokal dan Masa Depan Aceh;Harapan berahirnya Transisi, dalam: Beranda Perdamaian-Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 198-199

Kristiadi,J. dalam; Ahmad Farhan Hamid: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 224-225 Nurhasim, Moch. Perundingan Helsinki: Jalan Menuju Damai Aceh, dalam: Beranda PerdamaianAceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 104 Nurhasin, Moch. dalam: KONFLIK DAN INTEGRITAS POLITIK GERAKAN ACEH MERDEKA;Kajian tentang consensus normative antara RI-GAM dalam perundingan Helsinki, Pustaka Pelajar Yogyakarta & Pusat Penelitian Politik-LIPI 2008, hal 203-204 Silalahi, Hary Tjan, dalam; Ahmad Farhan Hamid: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 224 Sumaryono,E., dalam HEURMENETIK;Sebuah Metode Filsafat; Kanisius 1999, hal 26 Surbakti, Ramlan, dalam; Memahami Ilmu Politik, PT.Grasindo 1999, hal 116 Internet Wijaya, Endra & M. Ilham Hermawan, dalam; GAGASAN PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK LOKAL DI INDONESIA: http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/29/gagasanpembentukan-partai-politik-lokal-di-indonesia/ , diakes tanggal 03 maret 2009 Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, diterbitkan Tim Sosialisasi Aceh Damai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007, Tentang Partai Politik Lokal, pasal 1 huruf 2 [1] Data diolah dari teks bahasa Indonesia resmi Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan diterbitkan Tim Sosialisasi Aceh Damai [2] Ibid [3] E.Sumaryono, dalam HEURMENETIK;Sebuah Metode Filsafat; Kanisius 1999, hal 26 [4] De Interpretatione, I.16a.5, melalui; E.Sumaryono, dalam HEURMENETIK;Sebuah Metode Filsafat; Kanisius 1999, hal 24 [5] Ibid, hal 31 [6] Josef Bleicher, dalam HEURMENETIKA KONTEMPORER: Heurmenetika sebagai metode, filsafat, dan kritik; Fajar Pustaka 2007, Hal vii-viii [7] Ramlan Surbakti, dalam; Memahami Ilmu Politik, PT.Grasindo 1999, hal 116 [8] Prof.H.A.Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dalam: Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-TRANS Publising) 2008, hal 15 [9] Miriam Budiarjo, dalam: Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama 2001, hal 160-161 [10] Ahmad Farhan Hamid, dalam: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 34 [11] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007, Tentang Partai Politik Lokal, pasal 1 huruf 2 [12] Moch.Nurhasim, Perundingan Helsinki: Jalan Menuju Damai Aceh, dalam: Beranda Perdamaian-Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 104 [13] Lebih lanjut mengenai 10 janji mantan Presiden Habibie ini dapat dilihat di: Moch.Nurhasim, Perundingan Helsinki: Jalan Menuju Damai Aceh, dalam: Beranda Perdamaian-Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 97-98 [14] . Moch.Nurhasin, dalam: KONFLIK DAN INTEGRITAS POLITIK GERAKAN ACEH MERDEKA;Kajian tentang consensus normative antara RI-GAM dalam perundingan Helsinki, Pustaka Pelajar Yogyakarta & Pusat Penelitian Politik-LIPI 2008, hal 203-204 [15] J.Kristiadi, dalam; Ahmad Farhan Hamid: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 224-225

[16] Hary Tjan Silalahi, dalam; Ahmad Farhan Hamid: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 224 [17] Kamaruddin Hasan, Pilkada, Partai Lokal dan Masa Depan Aceh;Harapan berahirnya Transisi, dalam: Beranda Perdamaian-Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 198-199 [18] Endra Wijaya & M. Ilham Hermawan, dalam; GAGASAN PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK LOKAL DI INDONESIA: http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/29/gagasanpembentukan-partai-politik-lokal-di-indonesia/ , diakes tanggal 03 maret 2009 [19] Dikutip dari teks bahasa Indonesia resmi Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan diterbitkan Tim Sosialisasi Aceh Damai [20] Kamaruddin Hasan, Pilkada, Partai Lokal dan Masa Depan Aceh;Harapan berahirnya Transisi, dalam: Beranda Perdamaian-Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Penyunting;Ikrar Nusa Bhakti, Pustaka Pelajar Yogyakarta&Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta 2008, hal 180 [21] Ahmad Farhan Hamid: Partai Politik lokal di Aceh; Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan, KEMITRAAN 2008, hal 247

You might also like