You are on page 1of 218

Bunda Maria

Mama : Bunda

Amabilis : yang Mencintai

Regna : yang Memerintah

Immaculata : yang Tanpa Dosa

Admirabilis : yang Mengagumkan

Empat Dogma Santa Perawan Maria:

SP Maria Bunda Allah (Theotokos), dimaklumkan dalam Konsili


Efesus pada tahun 431.

SP Maria Tetap Perawan Selamanya, sebelum, selama maupun


sesudah kelahiran Yesus, dimaklumkan dalam Sinode Lateran pada
tahun 649.

SP Maria Dikandung Tanpa Dosa, dimaklumkan oleh Paus Pius IX


pada tanggal 8 Desember 1854.

SP Maria Diangkat ke Surga badan dan jiwanya, dimaklumkan oleh


Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950.

Artikel SP Maria

Devosi SP Maria

Hari Raya & Pesta Santa Perawan Maria

ARTIKEL SP MARIA

SP Maria Bunda Allah oleh P. Richard Londsdale

SP Maria Bunda Allah oleh P. William P. Saunders


SP Maria Bunda Allah oleh Paus Yohanes Paulus II

SP Maria Bunda Allah & Bunda Kita oleh St. Alfonsus de


Liguori

SP Maria Bunda Gereja oleh P. Matthew R. Mauriello

SP Maria dan Gereja oleh Beato Isaac dari Stella

SP Maria dalam Injil oleh Kardinal Yohanes Henry Newman

SP Maria Yang Dikandung Tanpa Dosa

SP Maria Yang Dikandung Tanpa Dosa oleh P. William P.


Saunders

SP Maria Diangkat ke Surga

SP Maria Diangkat ke Surga oleh P. William P. Saunders

SP Maria Tetap Perawan Selamanya

SP Maria Perempuan Berselubungkan Matahari oleh P.


William P. Saunders

SP Maria Mediatrix (= Perantara Rahmat) oleh P. William


P. Saunders

SP Maria Bunda Dukacita oleh St. Alfonsus Maria de Liguori

SP Maria Bunda Pengharapan oleh P. William P. Saunders

SP Maria Bunda Penolong Abadi oleh P. William P. Saunders

SP Maria Bunda Penolong Abadi

SP Maria Bunda Pertolongan Orang Kristen

SP Maria Ratu Rosario

SP Maria Medali Wasiat

SP Maria dari Lourdes

SP Maria dari Fatima

SP Maria dari Guadalupe


SP Maria dari Guadalupe oleh P. William P. Saunders

SP Maria dari Pompeii

SP Maria dari Naju

SP Maria dari Akita

SP Maria dari Kibeho, Rwanda

SP Maria dari La Salette oleh P. William P. Saunders

SP Maria dari Pontmain oleh P. William P. Saunders

SP Maria dari Czestochowa (Madonna Hitam) oleh P.


William P. Saunders

SP Maria oleh St. Yohanes M Vianney

SP Maria oleh St. Bernardus dari Clairvaux

SP Maria, Gelar2 dalam Litani Santa Perawan Maria

SP Maria, Gelar2 dalam Litani Santa Perawan Maria :


Meditasi

SP Maria Melahirkan Kristus Tanpa Sakit Bersalin?

Tertidurnya Maria oleh P. William P. Saunders

Penampakan: Haruskah Percaya? oleh P. William P.


Saunders

DEVOSI SP MARIA

Mengapa Kita Menghormati Bunda Maria?

Mengapa Umat Katolik Berdoa kepada SP Maria?

MARIA: Persoalan yang tak pernah selesai?

Bunda Maria dalam Kalender Liturgi Katolik

Angelus

Kuasa Doa Satu Salam Maria


Salam Maria dan Rosario

Mengapa Berdoa Rosario?

Rosario adalah Doa yang Penuh Kuasa

Rosario dalam Terang Kitab Suci

Meditasi Gelar2 Maria dalam Litani SP Maria

Devosi Sabtu Pertama untuk Pemulihan

Devosi Santa Perawan Maria Berdukacita

Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria

Kumpulan mengenai Maria Bunda Allah.

Santa Perawan Maria Bunda


Allah
Pada tanggal 1 Januari Gereja Katolik tidak hanya sekedar merayakan
Tahun Baru. Kita juga merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda
Allah.

Sebagian orang Kristen tidak dapat percaya bahwa seseorang yang


dilahirkan di waktu yang silam dapat menjadi "bunda" dari Allah yang
kekal. Mereka berpendapat bahwa Bunda Maria adalah Bunda Yesus, yaitu
Yesus sebagai manusia, tetapi bukan bunda Yesus sebagai Allah. Muncul
masalah dari pernyataan mereka itu, yaitu tampaknya mereka membagi
Yesus menjadi dua: Yesus yang Manusia dan Yesus yang Allah. Malahan
sebagian orang beranggapan bahwa Yesus adalah manusia yang "dirasuki
oleh Allah."

Gereja Katolik selalu percaya bahwa Bunda Maria adalah sungguh-sungguh


Bunda Allah. Karena itu, kita harus memperjuangkan dogma (dogma :
ajaran resmi Gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan
Bapa Paus) ini lebih dari sekali. Sekitar abad ke-4 dan ke-5 terjadi suatu
debat yang amat seru. Hampir semua uskup dari seluruh dunia berkumpul
bersama di sebuah kota besar di pesisir barat Turki. Nama kota itu adalah
"Efesus". Akhirnya, pada tahun 431 para uskup itu sependapat bahwa tidak
ada yang perlu diragukan lagi. Mereka membuat pernyataan resmi bahwa
Santa Perawan Maria adalah Theotokos (bahasa Yunani) dan Mater Dei
(bahasa Latin), keduanya berarti "Bunda Allah".

Jadi bagaimana mungkin Bunda Maria menjadi Bunda Allah jika Allah telah
ada sebelum Maria ada? Kalian dapat mengatakan bahwa Maria adalah
pintu masuk bagi Tuhan untuk memasuki dimensi Ruang dan Waktu. Yesus
memiliki dua sifat. Yesus sekaligus adalah Allah dan Manusia. Bunda Maria
adalah Bunda dari Manusia yang adalah Allah. Sama seperti sanaknya,
Elizabeth, yang adalah bunda dari orang yang menjadi Pembaptis.

sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard
Lonsdale.”

Santa Perawan Maria Bunda


Allah
oleh: Paus Yohanes Paulus II
Audiensi Umum, 27 November 1996

1. Renungan akan misteri kelahiran sang Juruselamat telah menghantar


umat Kristiani bukan hanya untuk mengenali Santa Perawan sebagai
Bunda Yesus, melainkan juga untuk mengenalinya sebagai Bunda Allah.
Kebenaran ini telah ditegaskan serta diterima sebagai harta warisan
iman Gereja sejak dari abad-abad awal kekristenan, hingga akhirnya
secara resmi dimaklumkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431.

Dalam komunitas Kristiani yang pertama, sementara para murid


semakin menyadari bahwa Yesus adalah Putra Allah, menjadi semakin
nyatalah bahwa Bunda Maria adalah Theotokos, Bunda Allah. Inilah
gelar yang tidak muncul secara eksplisit dalam ayat-ayat Injil, tetapi
dalam ayat-ayat tersebut “Bunda Yesus” disebutkan dan ditegaskan
bahwa Yesus adalah Allah (Yoh 20:28; bdk. 5:18; 10:30, 33). Bunda Maria
dihadirkan sebagai Bunda Imanuel, yang artinya “Tuhan beserta kita”
(bdk. Mat 1:22-23).

Telah sejak dari abad ketiga, seperti dapat disimpulkan dari suatu
kesaksian tertulis kuno, umat Kristiani Mesir telah mendaraskan doa ini
kepada Bunda Maria, “Kami bergegas datang untuk mohon
perlindunganmu, ya Bunda Allah yang kudus, janganlah kiranya engkau
mengabaikan permohonan dalam kesesakan kami, tetapi bebaskanlah
kami dari segala yang jahat, ya Santa Perawan yang mulia” (dari Buku
Ibadat Harian). Istilah Theotokos muncul secara eksplisit untuk pertama
kalinya dalam kesaksian kuno ini.

Dalam mitos kafir, seringkali terjadi bahwa seorang dewi tertentu


dihadirkan sebagai ibunda dari beberapa dewa. Sebagai contoh, dewa
tertinggi, Zeus, memiliki dewi Rhea sebagai ibundanya. Konteks ini
mungkin mendorong umat Kristiani untuk mempergunakan gelar
“Theotokos”, “Bunda Allah”, bagi Bunda Yesus. Namun demikian, patut
dicatat bahwa gelar ini tidak ada sebelumnya, melainkan diciptakan oleh
umat Kristiani guna mengungkapkan suatu keyakinan yang tidak ada
hubungannya dengan mitos kafir, yaitu keyakinan akan perkandungan
Dia, yang senantiasa adalah Sabda Allah yang kekal, dalam rahim Maria
yang perawan.

Konsili Efesus memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah

2. Dalam abad keempat, istilah Theotokos biasa dipergunakan baik di


Gereja Timur maupun Barat. Devosi dan teologi merujuk lebih dan lebih
banyak lagi pada istilah ini, yang sekarang telah menjadi bagian dari
warisan iman Gereja.

Oleh karenanya, orang dapat memahami gerakan protes besar yang


muncul dalam abad kelima ketika Nestorius menyatakan keraguannya
atas kebenaran gelar “Bunda Allah”. Sesungguhnya, berkeyakinan
bahwa Bunda Maria hanyalah bunda dari Yesus manusia, ia bersikukuh
bahwa “Bunda Kristus” adalah satu-satunya istilah yang benar secara
doktrin. Nestorius dihantar pada kesalahan ini karena
ketakmampuannya mengakui keutuhan pribadi Kristus dan karena
tafsirannya yang salah dalam membuat pemisahan kedua kodrat -
kodrat ilahi dan kodrat manusiawi - yang ada dalam Kristus.

Pada tahun 431, Konsili Efesus mengutuk thesisnya dan, dengan


menegaskan kodrat ilahi dan kodrat manusiawi dalam satu pribadi
Putra, memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah.

3. Sekarang, kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan yang diajukan


oleh Nestorius memberi kita kesempatan untuk melakukan refleksi-
refleksi yang berguna demi pemahaman dan penafsiran yang benar atas
gelar ini. Istilah Theotokos, yang secara harafiah berarti, “ia yang telah
melahirkan Allah,” secara sepintas dapat mengejutkan; sesungguhnya
malahan membangkitkan pertanyaan seperti, bagaimana mungkin
seorang manusia ciptaan melahirkan Allah. Jawaban atas iman Gereja
sangat jelas: Keibuan ilahi Bunda Maria mengacu hanya pada kelahiran
Putra Allah sebagai manusia, tetapi bukan pada kelahiran ilahi-Nya.
Putra Allah dilahirkan dalam kekekalan oleh Allah Bapa, dan sehakikat
dengan-Nya. Bunda Maria, tentu saja tidak ambil bagian dalam kelahiran
dalam kekekalan ini. Tetapi, Putra Allah mengambil kodrat manusiawi
kita 2000 tahun yang lalu dan dikandung serta dilahirkan oleh Perawan
Maria.

Dengan memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja


bermaksud untuk menegaskan bahwa ia adalah “Bunda dari Inkarnasi
Sabda, yang adalah Allah.” Sebab itu, keibuannya tidak diperluas pada
keseluruhan pribadi Tritunggal Mahakudus, melainkan hanya pada
Pribadi Kedua, Allah Putra, yang dalam berinkarnasi mengambil kodrat
manusiawi-Nya dari Maria.
Keibuan merupakan suatu hubungan dari pribadi ke pribadi: seorang
ibu bukanlah sekedar ibu ragawi atau ibu secara fisik belaka dari
makhluk yang dilahirkan dari rahimnya, melainkan ibu dari pribadi yang
dilahirkannya. Karenanya, dengan melahirkan, menurut kodrat
manusiawi-Nya, pribadi Yesus, yang adalah pribadi Allah, Bunda Maria
adalah Bunda Allah.

Kesediaan Santa Perawan mengawali Peristiwa Inkarnasi

4. Dalam memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja dalam


satu ungkapan menyatakan imannya akan Putra dan Bunda. Kesatuan
ini telah dilihat dalam Konsili Efesus; dalam mendefinisikan keibuan
ilahi Bunda Maria, para Bapa Gereja bermaksud menegaskan keyakinan
mereka akan keilahian Kristus. Walau menghadapi banyak keberatan,
baik dulu maupun sekarang, mengenai tepat atau tidaknya dalam
menggelari Bunda Maria dengan gelar ini, umat Kristiani sepanjang
jaman, dengan menafsirkan secara tepat makna keibuan ini, telah
mengungkapan secara istimewa iman mereka akan keilahian Kristus
dan akan kasih mereka kepada Santa Perawan.

Di satu pihak, Gereja memaklumkan Theotokos sebagai jaminan atas


realita Inkarnasi sebab - seperti dinyatakan St Agustinus - “jika Bunda
fiktif, maka daging akan juga fiktif … dan merupakan corengan terhadap
Kebangkitan” (in evangelium Johannis tractatus, 8, 6-7). Di lain pihak,
Gereja juga mengkontemplasikan dengan penuh kekaguman dan
merayakannya dengan penghormatan anugerah agung luhur yang
dianugerahkan kepada Bunda Maria oleh Ia yang menghendaki untuk
menjadi Putranya. Ungkapan “Bunda Allah” juga menunjuk pada Sabda
Allah, yang dalam Inkarnasi merendahkan diri dalam rupa manusia guna
meninggikan manusia sebagai anak-anak Allah. Tetapi dalam terang
martabat luhur yang dianugerahkan kepada Perawan dari Nazaret, gelar
ini juga memaklumkan kemuliaan wanita dan panggilannya yang luhur.
Sesungguhnya, Tuhan memperlakukan Bunda Maria sebagai pribadi
yang bebas dan bertanggung jawab dan tidak mewujud-nyatakan
Inkarnasi PutraNya hingga setelah Ia memperoleh kesediaannya.

Mengikuti teladan umat Kristiani perdana dari Mesir, kiranya umat


beriman mempercayakan diri kepada dia yang, sebagai Bunda Allah,
dapat memperolehkan dari Putra Ilahinya rahmat pembebasan dari yang
jahat dan keselamatan kekal.

sumber : “Church Proclaims Mary 'Mother of God'” Pope John Paul II; Copyright ©
1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
SP Maria Bunda Allah & Bunda
Kita
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

dari:
KEMULIAAN MARIA

Betapa besar sepantasnya kita menempatkan kepercayaan kita kepada


Bunda Maria, sebab ia adalah bunda kita.

BUKAN KEBETULAN ataupun dalam kesia-siaan belaka para hamba


Maria menyebutnya Bunda. Tak dapat mereka berseru kepadanya
dengan nama lain, dan tak bosan-bosannya mereka menyebutnya
bunda: sungguh bunda, sebab ia sungguh bunda kita, bukan menurut
daging, melainkan bunda rohani dari jiwa dan keselamatan kira.

Dosa, ketika merenggut rahmat ilahi dari jiwa kita, juga merenggut hidup
darinya. Sebab itu, ketika jiwa kita mati dalam dosa dan sengsara,
Yesus, Penebus kita, datang dengan kerahiman dan kasih yang tak
terhingga, guna memulihkan hidup yang hilang itu bagi kita dengan
wafat-Nya di atas salib, seperti yang Ia Sendiri nyatakan, “Aku datang,
supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan” (Yoh 10:10). Dalam segala kelimpahan, sebab, seperti
diajarkan para teolog, Yesus Kristus dengan karya penebusan-Nya
memperolehkan bagi kita berkat dan rahmat yang jauh lebih besar
daripada luka yang ditimbulkan Adam atas kita dengan dosanya; Ia
memulihkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan demikian menjadi
Bapa bagi jiwa kita, di bawah hukum rahmat yang baru, seperti
dinubuatkan nabi Yesaya, “Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes 9:5).
Jika Yesus adalah Bapa dari jiwa kita, maka Maria adalah bundanya,
sebab dengan memberikan Yesus kepada kita, ia memberikan hidup
sejati kepada kita, dan dengan mempersembahkan hidup Putranya di
atas Kalvari demi keselamatan kita, ia melahirkan kita ke dalam hidup
rahmat ilahi.

Dalam dua peristiwa yang berbeda, Bunda Maria menjadi bunda rohani
kita. Pertama kali ketika ia didapati layak mengandung Putra Allah dalam
rahimnya yang perawan, demikian dikatakan Albertus Magnus. St.
Bernardinus dari Siena mengajarkan bahwa ketika Santa Perawan
Tersuci, pada waktu malaikat menyampaikan kabar sukacita,
menyatakan kesediaannya untuk menjadi bunda dari Sabda yang kekal,
kesediaan yang dinantikan-Nya sebelum menjadikan Diri-Nya Putranya,
Bunda Maria dengan tindakannya ini memohonkan keselamatan kita
kepada Tuhan. Begitu khusuk ia dalam memohonkannya, hingga sejak
saat itulah ia, seolah-olah, mengandung kita dalam rahimnya, sebagai
seorang bunda yang paling penuh kasih sayang.

Perihal kelahiran Juruselamat kita, St. Lukas mengatakan bahwa Bunda


Maria, “melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung” (Luk
2:7). Oleh sebab itu, seperti diungkapkan seorang penulis, jika penulis
Injil menegaskan bahwa Maria melahirkan anaknya yang sulung,
tidakkah kita beranggapan bahwa sesudahnya ia mempunyai anak-anak
yang lain? Tetapi, penulis yang sama menambahkan bahwa jika menurut
iman Bunda Maria tidak mempunyai anak-anak lain menurut daging
kecuali Yesus, maka pastilah ia mempunyai anak-anak rohani yang lain,
yaitu kita. Dan ini menjelaskan apa yang dikatakan tentang Maria dalam
Kidung Agung: “Perutmu timbunan gandum, berpagar bunga-bunga
bakung” (7:2). St. Ambrosius menjelaskan ayat ini, “Walaupun dalam
rahim Maria yang murni hanya ada satu biji gandum, yang adalah Yesus
Kristus, namun demikian disebut timbunan gandum, sebab dalam biji
gandum yang satu itu terkandung mereka semua yang terpilih kepada
siapa Maria akan menjadi bundanya.” Maka, tulis William sang Abbas,
Bunda Maria ketika melahirkan Yesus, yang adalah Juruselamat kita dan
hidup kita, melahirkan kita semua dalam hidup dan keselamatan.

Kedua kalinya Bunda Maria melahirkan kita dalam rahmat adalah ketika
di Kalvari ia mempersembahkan kepada Bapa yang kekal dengan
dukacita yang begitu pedih di hati, hidup Putranya terkasih demi
keselamatan kita. Sebab itu, St. Agustinus menegaskan, dengan
bekerjasama dengan Kristus dalam kelahiran umat beriman ke dalam
hidup rahmat, ia dengan kerjasamanya ini juga menjadi bunda rohani
dari mereka semua yang adalah anggota-anggota Kepala, yaitu Yesus
Kristus. Inilah juga makna dari apa yang dikatakan mengenai Santa
Perawan dalam Kidung Agung, “aku dijadikan mereka penjaga kebun-
kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga” (1:6).

Bunda Maria, demi meyelamatkan jiwa kita, rela mengurbankan hidup


Putranya sendiri, demikian dikatakan William sang Abbas. Dan siapakah
jiwa sejati Maria, selain daripada Yesus, yang adalah hidupnya dan
segenap kasihnya? Maka, St. Simeon menubuatkan kepadanya bahwa
jiwanya suatu hari kelak akan ditembus oleh pedang dukacita; yang
adalah tombak yang ditikamkan ke lambung Yesus, yang adalah jiwa
Maria. Dan kemudian, ia dalam dukacitanya melahirkan kita ke dalam
hidup yang kekal, sehingga kita semua dapat menyebut diri kita sebagai
anak-anak dari dukacita Maria. Ia, bunda kita yang paling lemah-lembut,
senantiasa dan sepenuhnya mempersatukan diri pada kehendak ilahi.
Itulah sebabnya St. Bonaventura mengatakan, ketika Maria melihat kasih
Bapa yang kekal bagi manusia, yang merelakan Putra-Nya wafat demi
keselamatan kita, dan kasih Putra yang bersedia wafat bagi kita, Bunda
Maria juga, dengan segenap kesediaannya, mempersembahkan
Putranya dan `fiat'-nya bahwa Ia wafat agar kita diselamatkan,
memberikan diri dalam ketaatan pada kasih tak terhingga Bapa dan
Putra kepada umat manusia.

Oleh sebab itu, bersukacitalah, hai kalian semua putera-puteri Maria.


Ingatlah bahwa ia mengambil sebagai anak-anaknya mereka semua
yang menghendakinya menjadi bunda mereka. Bersukacitalah: adakah
yang engkau takuti ketika tersesat apabila Bunda ini membela serta
melindungimu? Dengan demikian, kata St. Bonaventura, siapa pun yang
mengasihi bunda yang lemah-lembut ini, selayaknya bersikap berani
sembari mengulang dalam hatinya: Adakah yang engkau takuti, wahai
jiwaku? Sumber keselamatan kekalmu tak akan hilang, sebab
pengadilan terakhir ada dalam tangan Yesus, yang adalah saudaramu,
dan Bunda Maria, yang adalah bundamu. Dan St. Anselmus, penuh
sukacita atas pemikiran ini, berseru guna membesarkan hati kita, “Oh,
sumber kepercayaan yang terberkati! Oh, tempat pengungsian yang
aman! Bunda Allah adalah bundaku juga. Betapa yakin kita akan
pengharapan kita, sebab keselamatan kita tergantung pada pengadilan
seorang saudara yang penuh belas-kasihan dan bunda yang lemah-
lembut!”

Sebab itu, dengarkanlah bunda kita yang memanggil kita dan berkata,
“Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari” (Ams 9;4). Kata
“Mama,” senantiasa ada dalam bibir anak-anak kecil, dan dalam segala
bahaya dan dalam segala ketakutan, mereka akan berteriak, “Mama!
Mama!” Bunda Maria yang termanis, bunda yang paling penuh kasih
sayang, itulah kerinduanmu yang sesungguhnya, yaitu agar kami
menjadi anak-anak kecil yang senantiasa menyerukan namamu dalam
segala bahaya, serta senantiasa mohon pertolongan darimu, oleh sebab
engkau rindu menolong serta menyelamatkan kami, sebagaimana
engkau telah menyelamatkan segenap anak-anakmu yang berlindung
kepadamu.

sumber : "from The Glories Of Mary" by St. Alphonsus Liguori

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
SP Maria dan Gereja
oleh: Beato Isaac dari Stella, Abbas (1100-1169)

Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara
manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah
mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan
mereka satu dengan-Nya. Sebab, kepada mereka yang menerima-Nya, Ia
memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.

Putra Allah menjadi Anak Manusia dan menjadikan manusia anak-anak


Allah, mempersatukan mereka kepada Diri-Nya Sendiri dengan kasih
dan kuasa-Nya, supaya mereka semua menjadi satu. Dalam diri mereka
sendiri, mereka banyak menurut keturunan manusiawi, tetapi dalam Dia,
mereka semua satu melalui kelahiran baru yang ilahi.

Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik - tubuh dan kepala -
adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan
dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala
dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya,
Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu
perawan, tetapi lebih dari satu perawan.

Keduanya adalah ibu, keduanya adalah perawan. Masing-masing


mengandung dari kuasa Roh yang sama, tanpa noda. Masing-masing
melahirkan putera Allah Bapa, tanpa dosa. Tanpa dosa, Bunda Maria
melahirkan Kristus, sang Kepala, demi tubuh-Nya. Dengan
pengampunan dari segala dosa, Gereja melahirkan tubuh, demi
Kepalanya. Masing-masing adalah Bunda Kristus, tetapi tak satu pun
melahirkan Kristus seluruhnya tanpa kerjasama dari yang lain.

Dalam Kitab-kitab yang diilhami, apa yang dikatakan secara universal


sebagai bunda perawan, Gereja, dipahami secara individual sebagai
Perawan Maria, dan apa yang dikatakan secara khusus sebagai bunda
perawan Maria dengan tepat dipahami secara general sebagai bunda
perawan, Gereja. Entah yang mana yang dibicarakan, maknanya dapat
diartikan keduanya, hampir tanpa pengecualian.

Demikian juga, setiap umat Kristiani diyakini sebagai mempelai Sabda


Allah, ibu Kristus, puteri-Nya dan saudari-Nya, sekaligus perawan dan
dengan banyak anak. Kata-kata ini dipergunakan secara universal
sebagai Gereja, secara istimewa sebagai Bunda Maria, dan secara
khusus sebagai individu Kristiani. Semuanya dipergunakan oleh pribadi
Kebijaksanaan Allah, Sabda Bapa.

Itulah sebabnya mengapa Kitab Suci mengatakan: Aku akan tinggal di


rumah Tuhan. Rumah Tuhan adalah, dalam arti general, Gereja; dalam
arti istimewa, Bunda Maria, dalam arti individual, umat Kristiani. Kristus
tinggal selama sembilan bulan lamanya dalam tabernakel rahim perawan
Maria. Ia tinggal hingga akhir abad dalam tabernakel iman Gereja. Ia
akan tinggal selama-lamanya dalam benak dan dalam kasih setiap jiwa
beriman.

sumber : “Mary and the Church” from a sermon by Blessed Isaac of Stella

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

SP Maria dalam Injil


oleh: Kardinal Yohanes Henry Newman
disampaikan di Katedral St. Chad, 1848

Ada suatu ayat dalam Injil yang mungkin membuat sebagian besar dari
kita terperanjat, sehingga diperlukan penjelasan. Ketika Yesus sedang
berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan
berkata kepada-Nya, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung
Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” (Luk 11:27). Yesus
membenarkan, tetapi bukannya tinggal dalam pujian perempuan ini, Ia
lalu mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Yesus berbicara tentang
kebahagiaan yang lebih besar. Kata-Nya, “Yang berbahagia ialah mereka
yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” Sekarang,
perkataan Yesus ini perlu kita pahami dengan baik, sebab banyak orang
yang sekarang ini beranggapan bahwa perkataan tersebut dimaksudkan
untuk merendahkan kemuliaan dan kebahagiaan Santa Perawan Maria
Tersuci; seolah-olah Yesus telah mengatakan, “Bunda-Ku berbahagia,
tetapi hamba-hamba-Ku yang sejati lebih berbahagia daripadanya.” Oleh
sebab itu, aku akan menyampaikan sedikit komentar atas ayat ini, dan
dengan ketepatan yang sepantasnya, sebab kita baru saja melewatkan
pesta Bunda Maria, hari raya di mana kita mengenangkan Kabar
Sukacita, yaitu, kunjungan Malaikat Gabriel kepadanya, dan
perkandungan ajaib Putra Allah, Tuhan dan Juruselamatnya, dalam
rahimnya.

Sekarang, sedikit penjelasan saja sudah akan cukup untuk


menunjukkan bahwa perkataan Kristus bukanlah untuk meremehkan
martabat dan kemuliaan Bunda-Nya, sebagai yang paling unggul dari
antara ciptaan dan Ratu dari Semua Orang Kudus. Renungkanlah, Ia
mengatakan bahwa lebih berbahagia melakukan perintah-Nya daripada
menjadi Bunda-Nya, dan apakah kalian pikir bahwa Bunda Allah yang
Tersuci tidak melakukan perintah-perintah Allah? Tentu saja tak seorang
pun - bahkan seorang Protestan sekalipun - dapat menyangkal bahwa ia
melakukannya. Jadi, jika demikian, apa yang dikatakan Kristus adalah
bahwa Santa Perawan lebih berbahagia karena ia melakukan perintah-
perintah-Nya daripada karena ia menjadi Bunda-Nya. Dan apakah orang
Katolik menyangkal hal ini? Sebaliknya, kita semua mengakuinya.
Segenap umat Katolik mengakuinya. Para Bapa Gereja yang kudus
mengatakan lagi dan lagi bahwa Bunda Maria lebih berbahagia dalam
melakukan kehendak Allah daripada menjadi Bunda-Nya. Bunda Maria
berbahagia dalam dua hal. Ia berbahagia karena menjadi Bunda-Nya; ia
berbahagia karepa dipenuhi dengan semangat iman dan ketaatan. Dan
kebahagiaan yang terakhir itu lebih besar dari yang pertama. Aku
katakan bahwa para bapa yang kudus menyatakannya dengan begitu
jelas. St Agustinus mengatakan, “Bunda Maria lebih berbahagia dalam
menerima iman Kristus, daripada dalam menerima daging Kristus.”
Serupa dengan itu, St Elisabet mengatakan kepada Bunda Maria saat
kunjungannya, “Beata es quee credidisti - berbahagialah ia, yang telah
percaya”; dan St Krisostomus lebih jauh mengatakan bahwa ia tak akan
berbahagia, meskipun ia mengandung tubuh Kristus dalam tubuhnya,
jika ia tidak mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya.

Sekarang, aku mempergunakan kalimat “St Krisostomus lebih jauh


mengatakan,” bukan berarti bahwa pernyataannya bukanlah suatu
kebenaran yang nyata. Aku mengatakan pernyataannya merupakan
kebenaran yang nyata bahwa Bunda Maria tidak akan berbahagia,
meskipun ia menjadi Bunda Allah, jika ia tidak melakukan kehendak-
Nya; tetapi pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan yang
ekstrim, dengan mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin, dengan
mengandaikan bahwa ia dapat demikian dihormati namun tidak dipenuhi
dan dirasuki oleh rahmat Allah, padahal malaikat, ketika datang
kepadanya, dengan jelas memberinya salam sebagai yang penuh
rahmat. “Ave, gratia plena.” Kedua kebahagiaan di atas tak dapat
dipisahkan. (Sungguh luar biasa bahwa Bunda Maria sendiri
berkesempatan untuk membedakan dan memilahnya, dan bahwa ia
memilih untuk melakukan perintah-perintah Tuhan lebih daripada
menjadi Bunda-Nya, seandainya saja ia harus memilih salah satu
diantaranya). Ia, yang dipilih untuk menjadi Bunda Allah, juga dipilih
untuk gratia plena, penuh rahmat. Kalian lihat, inilah penjelasan dari
doktrin-doktrin penting yang diterima di antara umat Katolik mengenai
kemurnian dan ketakberdosaan Santa Perawan. St Agustinus tidak akan
pernah mau mendengarkan gagasan bahwa Bunda Maria pernah
melakukan suatu dosa pun, dan Konsili Trente memaklumkan bahwa
oleh rahmat istimewa, Bunda Maria sepanjang hidupnya bebas dari
segala dosa, bahkan dosa ringan sekali pun. Dan kalian tahu bahwa hal
tersebut merupakan keyakinan Gereja Katolik, yaitu bahwa ia dikandung
tanpa dosa asal, dan bahwa perkandungannya tanpa noda dosa.

Lalu, darimanakah doktrin-doktrin ini berasal? Doktrin-doktrin tersebut


berasal dari prinsip utama yang terkandung dalam perkatan Kristus
yang aku komentari ini. Ia mengatakan, “adalah lebih berbahagia
melakukan kehendak Allah daripada menjadi Bunda Allah.” Jangan
katakan bahwa umat Katolik tidak merasakan hal ini secara mendalam -
begitu mendalam kita merasakannya hingga kita memperluasnya hingga
ke keperawanan, kemurnian, perkandungannya yang tanpa dosa, iman,
kerendahan hati dan ketaatannya. Jadi, jangan pernah mengatakan
bahwa umat Katolik melupakan ayat Kitab Suci ini. Setiap kali kita
merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, atau
semacamnya, kita memperingatinya karena kita memandang begitu
dalam pada kebahagiaan kekudusan. Perempuan di antara orang banyak
itu berseru, “berbahagialah rahim dan susu Maria.” Perempuan ini
berbicara dalam iman; ia tidak bermaksud menolak kebahagiaan Bunda
Maria yang lebih besar, tetapi perkataannya hanya mengarah pada satu
maksud saja. Oleh sebab itu, Kristus menyempurnakannya. Dan karena
itu, Gereja-Nya sesudah Dia, yang tinggal dalam misteri Inkarnasi-Nya
yang agung dan sakral, merasa bahwa ia, yang begitu cepat
menanggapinya, pastilah seorang yang terkudus. Dan karenanya, demi
menghormati Putra, perempuan itu menyanjung kemuliaan Bunda.
Seperti kita memberikan yang terbaik bagi-Nya, sebab segala yang
terbaik berasal dari-Nya, seperti di dunia kita menjadikan gereja-gereja
kita agung dan indah; seperti ketika Ia dirurunkan dari salib, para
hamba-Nya yang saleh membungkus-Nya dengan kain kafan yang baik
dan membaringkan-Nya dalam suatu makam yang belum pernah
dipakai; seperti tempat kediaman-Nya di surga murni dan tak bernoda,
begitu terlebih lagi selayaknya dan begitulah adanya - bahwa tabernakel
darimana Ia mengambil rupa daging, di mana Ia terbaring, kudus dan tak
bernoda dan ilahi. Sementara tubuh dipersiapkan bagi-Nya, demikian
juga wadah bagi tubuh itu dipersiapkan pula. Sebelum Bunda Maria
dapat menjadi Bunda Allah, dan guna menjadikannya seorang Bunda, ia
disisihkan, dikuduskan, dipenuhi rahmat, dan dibentuk agar layak bagi
kehadiran yang Kekal.

Dan para bapa suci mempelajari dengan seksama ketaatan dan


ketakberdosaan Bunda Maria dari kisah Kabar Sukacita, saat ia menjadi
Bunda Allah. Sebab ketika malaikat menampakkan diri dan
memaklumkan kepadanya kehendak Allah, para bapa suci mengatakan
bahwa Bunda Maria menunjukkan teristimewa empat karunia -
kerendahan hati, iman, ketaatan dan kemurnian. Rahmat-rahmat ini
merupakan prasyarat persiapan untuknya dalam menerima
penyelenggaraan yang begitu luhur. Jadi, seandainya ia tidak
mempunyai iman dan kerendahan hati dan kemurnian dan ketaatan, ia
tidak akan memperoleh rahmat untuk menjadi Bunda Allah. Oleh sebab
itu wajarlah dikatakan bahwa ia mengandung Kristus dalam benaknya
sebelum ia mengandung Kristus dalam tubuhnya, artinya bahwa
kebahagiaan iman dan ketaatan mendahului kebahagiaan menjadi
seorang Bunda Perawan. Para bapa suci bahkan mengatakan bahwa
Tuhan menantikan kesediaannya sebelum Ia datang ke dalam dirinya
dan mengambil daging darinya. Sama seperti Ia tidak melakukan
perbuatan-perbuatan ajaib di suatu tempat sebab mereka tidak memiliki
iman, demikian juga mukjizat agung ini, di mana Ia menjadi Putra dari
makhluk ciptaan, ditangguhkan hingga ia dicoba dan didapati layak
untuk itu - hingga ia taat sepenuhnya.
Ada satu hal lagi yang perlu ditambahkan di sini. Baru saja aku katakan
bahwa kedua kebahagiaan tersebut tak dapat dipisahkan, bahwa
keduanya itu satu. “Berbahagialah ibu yang telah mengandung
Engkau,” dst.; “Yang berbahagia ialah,” dst. Memang benar demikian,
tetapi perhatikanlah ini. Para bapa suci senantiasa mengajarkan bahwa
dalam peristiwa Kabar Sukacita, ketika malaikat menampakkan diri
kepada Bunda Maria, Santa Perawan menunjukkan bahwa ia memilih
apa yang disebut Tuhan sebagai kebahagiaan yang terbesar dari antara
kedua kebahagiaan itu. Sebab ketika malaikat memaklumkan kepadanya
bahwa ia dipersiapkan untuk memperoleh kebahagiaan yang dirindukan
para wanita Yahudi selama berabad-abad, untuk menjadi Bunda dari
Kristus yang dinantikan, ia tidak menangkap kabar tersebut seperti yang
dilakukan dunia, melainkan ia menanti. Ia menanti hingga dikatakan
kepadanya bahwa hal tersebut bersesuaian dengan keadaannya yang
perawan. Bunda Maria tidak bersedia menerima kehormatan yang paling
mengagumkan ini, tidak bersedia hingga ia dipuaskan dalam hal ini,
“Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Para
bapa suci beranggapan bahwa ia telah mengucapkan kaul kemurnian,
dan menganggap kesucian lebih tinggi daripada melahirkan Kristus.
Demikianlah ajaran Gereja, menunjukkan dengan jelas bagaimana
cermatnya Gereja memeriksa doktrin dari ayat Kitab Suci yang aku
komentari ini, betapa mendalamnya Gereja memahami bahwa Bunda
Maria merasakannya yaitu bahwa meskipun berbahagia rahim yang
mengandung Kristus dan susu yang menyusui-Nya, namun demikian
lebih berbahagialah jiwa yang memiliki rahim dan susu itu, lebih
berbahagialah jiwa yang penuh rahmat, yang karena demikian dipenuhi
rahmat diganjari dengan hak istimewa luar biasa dengan menjadi Bunda
Allah.

Sekarang, suatu pertanyaan lebih lanjut muncul, yang mungkin patut


kita renungkan. Mungkin orang bertanya, mengapa Kristus tampaknya
meremehkan kehormatan dan hak istimewa Bunda-Nya? Ketika
perempuan itu mengatakan, “Berbahagialah ibu yang telah
mengandung Engkau”, dst. Ia sesungguhnya menjawab, “Ya.” Tetapi, Ia
mengatakan, “Yang berbahagia ialah ...” Dan dalam suatu peristiwa lain,
Ia menjawab ketika orang memberitahukan kepada-Nya bahwa ibu-Nya
dan saudara-saudaranya berusaha menemui Dia, “Siapa ibu-Ku?” dst.
Dan di masa yang lebih awal, ketika Ia mengadakan mukjizat-Nya yang
pertama di mana Bunda-Nya mengatakan kepada-Nya bahwa para tamu
dalam perjamuan nikah kekurangan anggur, Ia mengatakan: “Mau
apakah engkau dari pada-Ku, perempuan? Saat-Ku belum tiba.” Ayat-
ayat ini sepertinya merupakan perkataan yang dingin terhadap Bunda
Perawan, meskipun maknanya dapat dijelaskan secara memuaskan. Jika
demikian, apa maknanya? Mengapa Ia berbicara demikian?

Sekarang saya akan memaparkan dua alasan sebagai penjelasan:

Pertama, yang segera muncul dari apa yang saya katakan adalah ini:
bahwa selama berabad-abad para wanita Yahudi masing-masing
mengharapkan untuk menjadi ibunda sang Kristus yang dinantikan, dan
tampaknya mereka tidak menghubungkannya dengan kekudusan yang
lebih tinggi. Sebab itu, mereka begitu merindukan pernikahan; sebab itu
pernikahan dianggap sebagai suatu kehormatan yang istimewa oleh
mereka. Sekarang, pernikahan merupakan suatu penetapan Tuhan, dan
Kristus menjadikannya suatu sakramen - namun demikian, ada sesuatu
yang lebih tinggi, dan orang Yahudi tidak memahaminya. Seluruh
gagasan mereka adalah menghubungkan agama dengan kesenangan-
kesenangan dunia ini. Mereka tidak tahu, sesungguhnya, apa itu
merelakan dunia ini demi yang akan datang. Mereka tidak mengerti
bahwa kemiskinan lebih baik dari kekayaan, nama buruk daripada
kehormatan, puasa dan matiraga daripada pesta-pora, dan keperawanan
daripada perkawinan. Dan karenanya, ketika perempuan dari antara
orang banyak itu berseru mengenai kebahagiaan rahim yang telah
mengandung dan susu yang telah menyusui-Nya, Ia mengajarkan
kepada perempuan itu dan kepada semua yang mendengarkan-Nya
bahwa jiwa lebih berharga daripada raga, dan bahwa bersatu dengan-
Nya dalam Roh, lebih berharga daripada bersatu dengan-Nya dalam
daging.

Itu satu alasan. Alasan yang lain lebih menarik. Kalian tahu bahwa
Juruselamat kita selama tigapuluh tahun pertama hidup-Nya di dunia
tinggal di bawah satu atap dengan Bunda-Nya. Ketika Ia kembali dari
Yerusalem pada usia duabelas tahun dengan Bunda-Nya dan St Yosef,
dengan jelas dikatakan dalam Injil bahwa Ia tetap hidup dalam asuhan
mereka. Pernyataan ini merupakan pernyataan tegas, tetapi asuhan ini,
yang adalah kehidupan keluarga yang lazim, tidak untuk selamanya.
Bahkan dalam peristiwa di mana penginjil mengatakan bahwa Ia hidup
dalam asuhan mereka, Ia telah mengatakan dan melakukan hal yang
dengan tegas menyampaikan kepada mereka bahwa Ia mempunyai
tugas kewajiban yang lain. Sebab Ia meninggalkan mereka dan tinggal di
Bait Allah di antara para alim ulama, dan ketika mereka menunjukkan
ketercengangan mereka, Ia menjawab, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku
harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Ini, menurutku, merupakan
suatu antisipasi akan masa pewartaan-Nya, saat ketika Ia harus
meninggalkan rumah-Nya. Selama tigapuluh tahun Ia tinggal di sana,
tetapi sementara Ia dengan tekun menjalankan tugas kewajiban-Nya
dalam rumah tangga yang menjadi tanggung-jawab-Nya, Ia begitu
merindukan karya Bapa-Nya, saat ketika tibalah waktu bagi-Nya untuk
melaksanakan kehendak Bapa. Ketika saat perutusan-Nya tiba, Ia
meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, dan meskipun Ia sangat
mengasihinya, Ia tak mengindahkannya.

Dalam Perjanjian Lama, kaum Lewi dipuji karena mereka tidak kenal lagi
ayah ataupun ibu mereka ketika tugas dari Tuhan memanggil. Tentang
mereka dikatakan sebagai “berkata tentang ayahnya dan tentang
ibunya: aku tidak mengindahkan mereka; ia yang tidak mau kenal
saudara-saudaranya dan acuh tak acuh terhadap anak-anaknya”
(Ulangan 33). Jika demikian perilaku kaum imam di bawah Hukum,
betapa terlebih lagi yang dituntut dari Imam agung sejati dari Perjanjian
Baru guna memberikan teladan keutamaan tersebut yang didapati serta
diganjari dalam diri kaum Lewi. Ia Sendiri juga telah mengatakan:
“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak
layak bagi-Ku.” Dan Ia mengatakan kepada kita bahwa “setiap orang
yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki
atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau
ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan
memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19). Oleh sebab itu, Ia yang
menetapkan perintah haruslah memberikan teladan dan seperti telah
dikatakan-Nya kepada para pengikut-Nya untuk meninggalkan segala
sesuatu yang mereka miliki demi Kerajaan Allah, Diri-Nya Sendiri harus
melakukan segala yang Ia dapat, meninggalkan segala yang Ia miliki,
meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, ketika tiba saatnya Ia harus
mewartakan Injil.

Sebab itu, sejak saat awal pewartaan-Nya, Ia meninggalkan Bunda-Nya.


Pada saat Ia melakukan mukjizat-Nya yang pertama, Ia menyatakannya.
Ia melakukan mukjizat atas permintaan Bunda-Nya, tetapi secara tak
langsung atau lebih tepat menyatakan, bahwa saat itulah Ia mulai
memisahkan Diri darinya. Kata Yesus, “Mau apakah engkau dari pada-
Ku, perempuan?” dan lagi, “Saat-Ku belum tiba”; yakni “akan tiba
waktunya di mana Aku akan mengenalimu kembali, oh BundaKu. Akan
tiba waktunya ketika engkau dengan sepantasnya dan dalam kuasa akan
dipersatukan dengan-Ku. Akan tiba waktunya ketika atas permintaanmu,
Aku akan melakukan mukjizat-mukjizat; akan tiba waktunya, tetapi
bukan sekarang. Dan hingga tiba waktunya, Mau apakah engkau dari
pada-Ku? Aku tidak mengenalmu. Untuk sementara waktu Aku telah
melupakan engkau.”

Sejak saat itu, kita tidak mendapati catatan mengenai perjumpaan-Nya


dengan Bunda-Nya hingga Ia melihatnya di bawah salib. Ia berpisah
dengannya. Satu kali Bunda-Nya berusaha menemui-Nya. Dikisahkan
bahwa Ia tidak sendirian. Murid-murid ada di sekeliling-Nya. Bunda
Maria tampaknya kurang suka ditinggalkan sendiri. Ia juga pergi
mendapatkan-Nya. Pesan disampaikan kepada-Nya bahwa ibunda dan
saudara-saudara-Nya berusaha menemui-Nya, tetapi tidak dapat
mencapai-Nya karena orang banyak. Kemudian Ia mengatakan
perkataan yang serius ini, “Siapakah ibu-Ku?” dst, artinya, seperti
tampaknya, Ia telah meninggalkan segalanya demi melayani Tuhan, dan
bahwa seperti Ia telah dikandung dan dilahirkan dari Santa Perawan
demi kita, demikian pulalah Ia tidak mengindahkan Bunda-Nya yang
Perawan demi kita, agar Ia dapat memuliakan Bapa Surgawi-Nya dan
melakukan karya-Nya.

Demikianlah perpisahan-Nya dengan Bunda Maria, tetapi ketika di salib


Ia berkata, “Sudah selseai.” Saat perpisahan telah berakhir. Dan sebab
itu, karena Bunda-Nya telah bergabung dengan-Nya, dan Ia, melihat
Bunda-Nya, mengenalinya kembali. Waktunya telah tiba, dan Ia berkata
kepadanya tentang St Yohanes, “Perempuan, inilah anakmu!” dan
kepada St. Yohanes, “Inilah ibum!”
Dan sekarang, saudara-saudaraku, sebagai kesimpulan aku hanya akan
mengatakan satu hal. Aku tidak ingin kata-kata kalian melebihi perasaan
kalian yang sesungguhnya. Aku tidak menghendaki kalian mengambil
buku-buku berisi puji-pujian kepada Santa Perawan dan
mempergunakannya serta menirunya dengan tergesa tanpa
merenungkannya. Melainkan, yakinlah akan hal ini, yaitu apabila kalian
tidak dapat masuk ke dalam kehangatan buku-buku devosi asing itu, hal
itu akan merupakan kelemahan bagimu. Menggunakan kata-kata yang
kuat tidak berarti akan menyelesaikan masalah; hal ini merupakan suatu
kesalahan yang hanya akan dapat diatasi secara perlahan-lahan, tetapi
tetap merupakan suatu kelemahan. Bergantunglah pada cara kalian
masuk ke dalam sengsara Putra yang adalah dengan masuk ke dalam
sengsara Bunda. Tempatkanlah dirimu di bawah kaki salib, pandanglah
Bunda Maria yang berdiri di sana, menengadah ke salib dan dengan
jiwanya ditembusi pedang. Bayangkanlah perasaan-perasaan hatinya,
jadikan itu perasaan hatimu. Jadikan ia teladanmu yang istimewa.
Rasakanlah apa yang ia rasakan dan kalian akan dengan layak
menangisi sengsara dan wafat Juruselamatmu dan Juruselamatnya.
Teladanilah imannya yang bersahaja dan kalian akan percaya dengan
baik. Berdoalah agar dipenuhi rahmat seperti yang dianugerahkan
kepadanya. Sayang sekali, kalian pasti akan merasakan banyak
perasaan seperti yang tak dimilikinya, perasaan atas dosa pribadi, atas
penderitaan pribadi, atas tobat, atas penyangkalan diri, tetapi hal-hal ini
dalam diri seorang berdosa pada umumnya akan disertai dengan iman,
kerendahan hati, kesahajaan yang adalah perhiasannya yang utama.
Menangislah bersama Bunda Maria, berimanlah bersamanya, dan pada
akhirnya engkau akan mengalami kebahagiaannya seperti yang
dimaksud dalam ayat Kitab Suci. Tak seorang pun sungguh-sungguh
dapat memperoleh hak istimewanya yang khusus dengan menjadi
Bunda Yang Mahatinggi, tetapi kalian akan ikut ambil bagian dalam
kebahagiaanya yang lebih besar, yaitu kebahagiaan dalam
melaksanakan kehendak Allah dan mentaati perintah-perintah-Nya.

sumber : “Our Lady In The Gospel” by Cardinal John Henry Newman; Copyright ©
1997 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1997; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”

Yang Dikandung Tanpa Dosa


(Immaculate Conception)
8 DESEMBER : HR SP MARIA DIKANDUNG
TANPA DOSA

"Akulah Yang Dikandung Tanpa Dosa"


"Que Soy Era Immaculada Conceptiou"
"I Am The Immaculate Conception"

Pesan Bunda Maria dalam suatu


penampakan kepada St. Bernadette

Salah satu hal yang khas yang membedakan kita, umat Katolik, dari
saudara-saudari kita yang Protestan adalah cinta dan penghormatan yang
kita persembahkan kepada Bunda Yesus. Kita percaya bahwa Maria,
sebagai Bunda Allah, sudah selayaknya memperoleh penghormatan, devosi
dan penghargaan yang sangat tinggi. Salah satu dogma (dogma = ajaran
resmi gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus)
Gereja Katolik mengenai Bunda Maria adalah Dogma Dikandung Tanpa
Dosa. Pestanya dirayakan setiap tanggal 8 Desember. Masih banyak orang
Katolik yang belum paham benar mengenai dogma ini. Jika kalian bertanya
kepada beberapa orang Katolik, "Apa itu Dogma Dikandung Tanpa Dosa?",
maka sebagian besar dari mereka akan menjawab, "Yaitu bahwa Yesus
dikandung dalam rahim Santa Perawan Maria tanpa dosa, atau tanpa
seorang bapa manusia." Jawaban demikian adalah jawaban yang salah yang
perlu dibetulkan. Ya, tentu saja Yesus dikandung tanpa dosa karena Ia
adalah Allah Manusia. Tetapi Dikandung Tanpa Dosa adalah dogma yang
menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung dalam rahim ibunya, Santa
Anna, tanpa dosa asal. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang
dianugerahi karunia ini. Bunda Maria memperoleh keistimewaan ini karena
ia akan menjadi bejana yang kudus dimana Yesus, Putera Allah, akan masuk
ke dunia melaluinya. Oleh karena itu, Bunda Maria sendiri harus
dihindarkan dari dosa asal. Sejak dari awal mula kehadirannya, Bunda
Maria senantiasa kudus dan suci - betul-betul"penuh rahmat". Kita
menggunakan kata-kata ini ketika kita menyapa Maria dalam doa Salam
Maria, tetapi banyak orang yang tidak meluangkan waktu untuk memikirkan
apa arti sebenarnya kata-kata ini. Ketika Malaikat Gabriel menampakkan
diri kepada Bunda Maria untuk menyampaikan kabar sukacita, dialah yang
pertama kali menyapa Maria dengan gelarnya yang penting ini,

Lukas 1:28 "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai


engkau."
Kata-kata "penuh rahmat" ketika diterjemahkan dari teks bahasa Yunani,
sesungguhnya digunakan sebagai nama yang tepat untuk menyapa Maria.
Istilah Yunani yang digunakan menunjukkan bahwa Maria dalam keadaan
penuh rahmat atau dalam keadaan rahmat yang sempurna sejak dari ia
dikandung sampai sepanjang hayatnya di dunia. Bukankah masuk akal jika
Tuhan menghendaki suatu bejana yang kudus, yang tidak bernoda dosa
untuk mengandung Putera-Nya yang Tunggal? Bagaimana pun juga, Yesus,
ketika hidup di dalam rahim Maria, tumbuh dan berkembang sama seperti
bayi-bayi lainnya tumbuh dan berkembang dalam rahim ibu mereka masing-
masing. Ia menerima darah Maria dan menerima makanan untuk
pertumbuhan-Nya dari tubuh Maria sendiri.

Sebagian kaum Protestan menolak dogma ini dengan mengatakan bahwa


Maria berbicara tentang "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku
bergembira karena Allah, Juruselamatku." Mengapa Maria memerlukan
seorang Juruselamat, tanya mereka, jika ia tanpa noda dosa? Gereja
mengajarkan bahwa karena Maria adalah keturunan Adam, maka menurut
kodratnya ia mewarisi dosa asal. Hanya oleh karena campur tangan Allah
dalam masalah yang unik ini, Maria dibebaskan dari dosa asal. Jadi,
sesungguhnya Maria diselamatkan oleh rahmat Kristus, tetapi dengan cara
yang sangat istimewa. Rahmat tersebut dilimpahkan ke atasnya sebelum ia
dikandung dalam rahim ibunya.

Kaum Protestan juga akan menyanggah dengan mengatakan bahwa dogma


ini tidak sesuai dengan ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa "semua
orang telah berbuat dosa" (Roma 3:23). Namun demikian, jika kita
mempelajari masalah ini dengan sungguh-sungguh, kita akan menemukan
beberapa pengecualian. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa meskipun
semua orang telah berbuat dosa, Yesus yang adalah sungguh-sungguh
manusia tidak berbuat dosa. Logis jika kita melanjutkannya dengan
mengatakan bahwa Maria juga tidak berdosa dan dihindarkan dari dosa
asal agar ia dapat tetap senantiasa menjadi bejana yang kudus untuk
mengandung bayi Yesus.

Secara sederhana Dogma Dikandung Tanpa Dosa dapat dijelaskan sebagai


berikut:

Seperti kita ketahui, Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang
diciptakan Tuhan. Tuhan memberikan kepada mereka apa saja yang mereka
inginkan di Firdaus, Taman Eden. Tetapi Allah berfirman bahwa mereka
tidak diperbolehkan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat. Lucifer, raja iblis, datang kepada mereka dan
membujuk mereka makan buah pohon tersebut. Adam dan Hawa memakan
buah itu; mereka tidak taat kepada Tuhan dan karenanya mereka diusir
dari Firdaus. Oleh karena dosa pertama itu, semua manusia yang dilahirkan
sesudah Adam dan Hawa mewarisi apa yang disebut "dosa asal". Itulah
sebabnya, ketika seorang bayi lahir, ia segera dibaptis supaya dosa asal itu
dibersihan dari jiwanya sehingga ia menjadi kudus dan suci, menjadi anak
Allah.

Ketika Tuhan hendak mengutus Putera-Nya, Yesus, ke dunia untuk


menyelamatkan kita, Tuhan memerlukan kesediaan seorang perempuan
yang kudus untuk mengandung Yesus dalam rahimnya. Tuhan memutuskan
bahwa perempuan ini harus dibebaskan dari dosa asal Adam dan Hawa. Ia
juga memutuskan bahwa perempuan ini haruslah seseorang yang istimewa
serta amat suci dan kudus. Sama halnya seperti jika kalian mempunyai satu
termos air jeruk segar, maka kalian tidak akan menuangkannya ke dalam
gelas yang kotor untuk meminumnya, ya kan? Kalian akan menuangkan air
jeruk segar itu ke dalam gelas yang bersih untuk meminumnya. Demikian
juga Tuhan tidak ingin Putera Tunggal-Nya itu ditempatkan dalam rahim
seorang perempuan berdosa. Oleh karena itulah, Tuhan membebaskan
Maria dari dosa asal sejak Maria hadir dalam rahim ibunya, yaitu Santa
Anna. Inilah yang disebut Dogma Dikandung Tanpa Dosa - memang suatu
istilah yang sulit, tetapi artinya ialah Maria tidak mewarisi dosa Adam dan
Hawa, sehingga Maria dapat menjadi seorang bunda yang kudus yang
mengandung Yesus dalam rahimnya."

sumber : “In Defense of the Blessed Virgin Mary”;


www.qni.com/~catholic/defense.htm

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Diangkat ke Surga
(Maria Assumpta)
15 AGUSTUS : HR SP MARIA
DIANGKAT KE SURGA

"Yakinlah anakku, bahwa


tubuhku ini, yang telah
menjadi bejana bagi Sabda
yang hidup, telah dihindarkan
dari kerusakan makam.
Yakinlah juga, bahwa tiga hari
setelah kematianku, tubuhku
itu dibawa oleh sayap-sayap
malaikat menuju tangan kanan
Putera Allah, di mana aku
memerintah sebagai ratu."

Pesan Bunda Maria dalam


suatu penampakan kepada St.
Antonius dari Padua

Dogma Santa Perawan Maria diangkat


ke surga dirayakan untuk menghormati suatu kebenaran, yaitu bahwa
setelah akhir hidupnya di dunia, Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan
raganya. Dalam Kitab Kejadian 5:24 dan 2 Raja-raja 2:1-12 Kitab Suci
menceritakan bagaimana tubuh Henokh dan Elia diangkat ke surga. Jadi
hal diangkat ke surga bukanlah hal baru yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Gereja tidak pernah menegaskan secara resmi apakah Bunda
Maria benar-benar meninggal secara jasmani, meskipun banyak ahli yang
beranggapan demikian.

Baru-baru ini dalam suatu meditasi mingguan, Paus Yohanes Paulus II


menyatakan bahwa "Bunda tidak lebih tinggi dari Putera". Pernyataannya
itu memperkuat keyakinan bahwa Maria mengalami kematian jasmani.
Karena Yesus sendiri harus wafat, maka logis sekali jika kita beranggapan
bahwa Bunda Maria juga wafat secara fisik sebelum ia diangkat ke surga.
Karena kita yakin bahwa Bunda Maria dikandung tanpa dosa dan tetap
"penuh rahmat" sepanjang hidupnya di dunia, logis juga jika kita
beranggapan bahwa tubuh jasmaninya dihindarkan dari kerusakan setelah
kematiannya.

Seandainya Maria dimakamkan di suatu tempat di dunia ini, pastilah ada


makamnya. Bunda Maria sangat dihormati dan dicintai oleh Gereja
Perdana. Jemaat Gereja Perdana dengan cermat sekali menjaga reliqui
(Latin = peninggalan, yaitu tulang-belulang, pakaian dll peninggalan para
kudus), jenasah serta barang-barang peninggalan para martir gereja. Kita
mengetahui lokasi di mana Yesus dilahirkan, lokasi penyaliban, lokasi Yesus
naik ke surga, serta banyak tempat-tempat penting lainnya yang
berhubungan dengan kehidupan Kristus. Kita dapat mengenali tempat-
tempat tersebut karena saudara-saudara kita dari Gereja Perdana
meneruskan informasi tersebut kepada kita melalui Tradisi. Reliqui jemaat
gereja perdana serta reliqui keduabelas rasul masih ada, demikian juga
reliqui Kristus seperti Kain Kafan Turin dan potongan-potongan kayu dari
Salib Kristus yang asli.

Seandainya saja Bunda Maria mempunyai makam, tentulah makamnya akan


dihargai serta dihormati oleh gereja. Karena, bukankah ia adalah Bunda
Allah. Kenyataannya, tidak satu pun kota di mana Bunda Maria pernah
tinggal, Efesus atau pun Yerusalem, yang menyatakan memiliki makam
Maria. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada makamnya di dunia.

Kaum Protestan tidak setuju dengan dogma Santa Perawan Maria Diangkat
ke Surga, meskipun mereka percaya bahwa kelak kita semua 'akan
diangkat bersama-sama' dan 'menyongsong Tuhan di angkasa' (1
Tesalonika 4:17). Sebaliknya, umat Katolik percaya bahwa Maria diberi
keistimewaan untuk lebih dulu diangkat ke surga. Dan mengapakah ia tidak
boleh menerima keistimewaan seperti itu, tubuhnya - yang merupakan
bejana kudus bagi bayi Yesus - dihindarkan dari kerusakan duniawi?

Secara sederhana Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga dapat


dijelaskan sebagai berikut:

Tentunya kita masih ingat dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa
Dosa, yaitu bahwa Tuhan menciptakan Maria dalam rahim ibunya, Santa
Anna, tanpa noda dosa asal. Tuhan menghendaki demikian supaya Maria
dapat mengandung Yesus, yang adalah Putera Allah. Pada akhir hidup Maria
di dunia, Tuhan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang istimewa
baginya. Tubuhnya tidak dimakamkan, tetapi Tuhan mengangkat tubuhnya
ke surga. Inilah yang disebut Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Bunda Maria diangkat jiwa dan raganya ke surga agar ia dapat senantiasa
bersama dengan Yesus. Sungguh suatu karunia yang amat istimewa yang
dianugerahkan Tuhan kepada Maria, karena Tuhan amat mengasihinya.
Sekarang Maria adalah Ratu Surga dan Bumi.

Sementara Kitab Suci mengajarkan kita hal-hal yang terpenting, ada


banyak keterangan serta informasi yang hanya kita peroleh melalui tradisi
gereja karena pada kenyataannya ada banyak hal yang tidak dicatat dalam
Kitab Suci:

Yohanes 20:30 "Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di
depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini."

2 Tesalonika 2:15 "Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada


ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun
secara tertulis"

Kuasa Gereja untuk menetapkan dogma Santa Perawan Maria Dikandung


Tanpa Dosa dan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga datang dari kuasa
mengajar yang dilimpahkan Yesus kepada Petrus dan para rasul. Kenyataan
mengenai adanya ajaran-ajaran atau pun kejadian-kejadian yang tidak
secara khusus dicatat di dalam Kitab Suci tidak berarti bahwa ajaran-
ajaran atau pun kejadian-kejadian itu tidak ada. Gereja telah menetapkan
dengan cermat dan tegas demi kepentingan kaum beriman karena Yesus
telah berjanji kepada kita bahwa Ia akan membimbing dan mengajar
Gereja-Nya dengan mutlak (tanpa salah) melalui para pemimpin gereja
serta melalui Magisterium Gereja (Kuasa mengajar Gereja: tak dapat
sesat dalam hal iman dan susila (moral) karena dilindungi oleh Allah Roh
Kudus) sampai akhir zaman.

sumber : In Defense of the Blessed Virgin Mary; www.qni.com/~catholic/defense.htm

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Tetap Perawan Selamanya

Adalah benar bahwa Maria tetap perawan


sepanjang hidupnya dan tidak memiliki anak lain
kecuali Yesus. Yesus dikandung dari Kuasa Roh
Kudus dalam rahim Perawan Maria yang suci dan tak
bernoda. Umat Katolik percaya bahwa Maria tetap
perawan sepanjang hidupnya di dunia, tetapi
sebagian besar orang Protestan berpendapat bahwa
Maria mempunyai anak-anak lain selain Yesus.
Kerumitan mengenai masalah tersebut timbul
karena adanya kurang lebih 10 ayat dalam Perjanjian Baru di mana
digunakan istilah "saudara laki-laki" dan "saudara perempuan" Yesus
(misalnya saja dalam Matius 13:55, Markus 3:31-34, Lukas 8:19-20).

Dalam ayat-ayat Injil tersebut, istilah "saudara laki-laki dan saudara


perempuan" diterjemahkan dari bahasa Yunani adelphos, adelphe atau
adelphoi. Dalam bahasa Yunani istilah tersebut berarti saudara sepupu
atau sanak saudara, yaitu mereka semua yang termasuk sanak saudara
karena hubungan pernikahan atau hukum, meskipun bukan hubungan
langsung. Persoalannya ialah bahasa Ibrani dan bahasa Aram, yaitu bahasa
yang digunakan oleh Kristus dan murid-murid-Nya, tidak memiliki istilah
khusus untuk menyebut saudara sepupu atau sanak saudara, jadi digunakan
istilah "saudara laki-laki" dan "saudara perempuan". Suatu informasi kecil
yang menarik dan amat penting artinya untuk membuktikan bahwa Yesus
tidak memiliki saudara dan saudari kandung. Beberapa orang Rasul, St.
Yudas Tadeus dan St. Yakobus, adalah saudara Yesus juga, tetapi mereka
adalah saudara sepupu.

Suatu bukti lain yang menguatkan bahwa Yesus tidak memiliki saudara dan
saudari kandung tampak dari ayat-ayat Kitab Suci yang mengisahkan saat-
saat menjelang ajal-Nya:

Yohanes 19:25-27 "Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara
ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat
ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada
ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-
Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam
rumahnya."

Jika saja benar bahwa Yesus memiliki saudara dan saudari kandung, maka
sesuai adat orang Yahudi, tentulah Yesus menyerahkan pemeliharaan ibu-
Nya kepada mereka. Tetapi yang terjadi ialah Yesus menyerahkan bunda-
Nya kepada St. Yohanes Rasul, yang sama sekali tidak ada hubungan darah
dengan-Nya. Ini adalah suatu bukti nyata bahwa Yesus tidak memiliki
saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan. Karena jika ada
saudara dan saudari kandung-Nya, tentulah Yesus meminta mereka untuk
merawat bunda-Nya setelah Ia wafat.

Kemurnian amatlah penting artinya bagi Maria. St. Yosef juga


menghormati prinsip Maria tersebut sepanjang hidup berkeluarga dengan
Maria. St. Maria dan St. Yosef hidup dalam cinta kasih yang tulus suci
sebagai saudara. Keduanya adalah teladan kesucian dan kemurnian yang
mengagumkan. Kita perlu lebih sering memohon pada mereka untuk menjadi
pendoa bagi kita terutama dalam melewati masa remaja kita yang penuh
dengan berbagai cobaan dan tantangan agar senantiasa mampu menjaga
kemurnian kita masing-masing.

sumber : In Defense of the Blessed Virgin Mary; www.qni.com/~catholic/defense.htm

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Perempuan Berselubungkan
Matahari
oleh: P. William P. Saunders *

Pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, kita


mendengarkan bacaan dari Kitab Wahyu yang mengisahkan seorang
perempuan berselubungkan matahari, seorang Anak dan seekor naga.
Apakah perempuan yang dimaksud adalah Bunda Maria? Seorang
teman Protestan dalam pendalaman Kitab Suci mengatakan bukan.
~ seorang pembaca di Sterling

Pertama-tama, marilah menyegarkan ingatan kita dengan ayat dari Kitab


Wahyu 11:19 - 12:6, “Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan
kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu dan terjadilah
kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es lebat. Maka
tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan
berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah
mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang
mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak
melahirkan ia berteriak kesakitan. Maka tampaklah suatu tanda yang
lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar,
berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh
mahkota. Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit
dan melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan
perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk menelan Anaknya,
segera sesudah perempuan itu melahirkan-Nya. Maka ia melahirkan
seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa
dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari
kepada Allah dan ke takhta-Nya. Perempuan itu lari ke padang gurun, di
mana telah disediakan suatu tempat baginya oleh Allah, supaya ia
dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya.”

Sejak jaman para bapa Gereja perdana, gambaran akan “perempuan


berselubungkan matahari” ini mengandung tiga perlambang: bangsa
Israel kuno, Gereja dan Bunda Maria. Mengenai bangsa Israel kuno,
Yesaya menggambarkan Israel sebagai, “Seperti perempuan yang
mengandung yang sudah dekat waktunya untuk melahirkan, menggeliat
sakit, mengerang karena sakit beranak, demikianlah tadinya keadaan
kami di hadapan-Mu, ya TUHAN” (Yes 26:17). Tentu saja, kita patut ingat
juga bahwa dari bangsa Israel kunolah baik Bunda Maria maupun
Mesias berasal.

“Perempuan berselubungkan matahari” dapat juga melambangkan


Gereja. Selanjutnya, dalam Kitab Wahyu bab 12 ayat 17, kita membaca,
“Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi
keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan
memiliki kesaksian Yesus.” “Keturunannya” adalah anak-anak Allah
yang telah dibaptis, para anggota Gereja. Paus St. Gregorius
menjelaskan, “Matahari melambangkan terang kebenaran, dan bulan
melambangkan kefanaan hal-hal yang sementara sifatnya; Gereja yang
kudus bagaikan berselubungkan matahari sebab Gereja dilindungi oleh
kemuliaan kebenaran ilahi, dan bulan ada di bawah kakinya sebab ia
berada di atas segala hal-hal duniawi” (Moralia, 34, 12).

Terakhir, perempuan itu dapat diidentifikasikan sebagai Santa Perawan


Maria. Bunda Maria melahirkan Juruselamat kita, Yesus Kristus. St.
Bernardus menyatakan pendapatnya, “Matahari mengandung warna dan
kemilau yang tetap; sementara cemerlang bulan tidak tetap dan
berubah-ubah, tidak pernah sama. Adalah tepat, karenanya, apabila
Maria digambarkan sebagai perempuan berselubungkan matahari,
sebab ia masuk ke kedalaman kebijaksanaan ilahi, jauh, jauh lebih
dalam daripada yang mungkin dapat dipahami manusia” (De B. Virgine,
2).

Dalam mengidentifikasikan gambaran “perempuan berselubungkan


matahari” sebagai Bunda Maria, muncullah kepenuhan atas gambaran
bangsa Israel kuno dan Gereja. Mari kita berpikir tentang bangsa Israel
kuno. Ketika Malaikat Agung Gabriel menampakkan diri kepada Bunda
Maria, ia memaklumkan (seperti dicatat dalam Kitab Suci), “Salam, hai
engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” (Luk 1:28).
Selanjutnya, ia mengatakan, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau
beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan
mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah
engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut
Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan
kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja
atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya
tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:30-33). Pernyataan ini merefleksikan
nubuat Zefanya mengenai bangsa Israel kuno dan kedatangan Mesias,
“Bersorak-sorailah, hai puteri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel!
Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri
Yerusalem! TUHAN telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu,
telah menebas binasa musuhmu. Raja Israel, yakni TUHAN, ada di
antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi. Pada hari itu
akan dikatakan kepada Yerusalem: "Janganlah takut, hai Sion!
Janganlah tanganmu menjadi lemah lesu.” (Zef 3:16). Karena itu, Bunda
Maria, Bunda sang Mesias, sebagai “perempuan berselubungkan
matahari” mewakili kegenapan nubuat yang disampaikan kepada
bangsa Israel.

Demikian pula, Bunda Maria dipandang sebagai “perempuan


berselubungkan matahari,” yang dengan tepat melambangkan Gereja,
karena Bunda Maria adalah Bunda Gereja. St. Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Galatia menegaskan, “…setelah genap waktunya,
maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan
takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang
takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” (4:4-
5). Menguraikan hal ini, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen
Gentium) Konsili Vatikan II, mengajarkan, “Sekaligus perawan dan
bunda, Maria merupakan simbol dan realisasi paling sempurna dari
Gereja: “Gereja … dengan menerima Sabda Allah dengan setia pula -
menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja
melahirkan bagi hidup baru yang kekal abadi putera-puteri yang
dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah.” (No. 64). Lagipula,
Konsili Vatikan II melanjutkan bahwa dengan diangkat ke surga dalam
kemuliaan, Maria “menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai
kepenuhannya di masa yang akan datang.” (no. 68). Dan yang terakhir,
pada akhir sesi ketiga Konsili Vatikan II, pada tanggal 21 November
1964, ketika Lumen Gentium telah diterbitkan, Paus Paulus VI
menyatakan, “Kami memaklumkan Santa Perawan Maria sebagai Bunda
Gereja, yaitu, ibu seluruh umat kristiani, baik umat beriman maupun
para gembalanya, dan kita menyebutnya Bunda yang paling terkasih.”
Sebab itu, Bunda Maria mewakili kegenapan gambaran akan Gereja: ia,
yang adalah Bunda sang Juruselamat yang mendirikan Gereja, adalah
bunda rohani dari mereka semua yang melalui pembaptisan diangkat
sebagai anak-anak Allah dan anggota Gereja.
Baiklah kita mengutip ajaran Paus St. Pius X dalam ensikliknya, Ad Diem
Illum Laetissimum (1904): "Setiap orang tahu bahwa perempuan ini
adalah Perawan Maria… Yohanes, karenanya, melihat Bunda Allah yang
Tersuci telah ada dalam kebahagiaan abadi, namun demikian menderita
sakit bersalin dalam suatu persalinan yang misterius. Kelahiran apakah
itu? Tentu saja kelahiran kita yang, meskipun masih berada di
pembuangan, namun akan dilahirkan ke dalam belas kasih Allah yang
sempurna dan ke dalam kebahagiaan kekal” (24).

Ada beberapa alasan penting lainnya dalam mengidentifikasikan


“perempuan berselubungkan matahari” sebagai Bunda Maria. Ayat yang
dipertanyakan dimulai dengan wahyu akan Surga, Bait Suci, dan Tabut
Perjanjian. Patut diingat bahwa dalam Perjanjian Lama, di dalam tabut
perjanjian tersimpan loh-loh batu yang bertuliskan Sepuluh Perintah
Allah, Hukum Allah dan Sabda Allah. Dalam Tabut Perjanjian juga
tersimpan tongkat Harun dan sebuah buli-buli emas berisi segomer
penuh manna (Kel 16:33, Bil 17:10, Ibr 9:4). Sementara bangsa Israel
mengembara menuju Tanah Perjanjian, suatu awan, yang
melambangkan kehadiran Tuhan, akan turun atas atau “menaungi”
kemah di mana tabut perjanjian disimpan. Kelak, dalam Bait Suci di
Yerusalem, tabut perjanjian disimpan di tempat yang mahakudus,
bagian terdalam Bait Suci yang diyakini bangsa Yahudi sebagai tempat
di mana Allah tinggal.

Setelah gambaran tentang surga, bait suci dan tabut perjanjian, ayat
selanjutnya menggambarkan “perempuan berselubungkan matahari.”
Bunda Maria adalah Bunda Yesus, yang dikandungnya dari kuasa Roh
Kudus. Seperti dimaklumkan Malaikat Agung Gabriel, “Roh Kudus akan
turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau;
sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak
Allah.” (Luk 1:35). Hubungan antara Bunda Maria dan Bait Suci, tempat
yang mahakudus dan tabut perjanjian menjadi jelas.

Patut diingat juga bahwa ketika St. Yohanes mendapat penglihatan ini,
tabut perjanjian telah hilang selama lebih dari 500 tahun. Nabi Yeremia
telah menyembunyikannya guna mencegah tabut perjanjian dijarah dan
dinajiskan oleh bangsa Babilon, dan menyatakan, “Tempat itu harus
tetap rahasia sampai Allah mengumpulkan kembali umat serta
mengasihaninya lagi.” (2 Mak 2:7). Dalam penglihatan ini, St. Yohanes
melihat tabut perjanjian, dan kemudian ia melihat Bunda Maria. Bunda
Maria membawa dalam rahimnya, Kristus, yang adalah Sabda Allah,
Imam Agung yang sejati dan Roti Hidup. Sungguh, Bunda Maria adalah
Tabut Perjanjian yang baru dari Perjanjian Baru, di mana Kristus sebagai
imam akan menumpahkan darah-Nya dalam kurban salib.

Jika “perempuan berselubungkan matahari” menunjuk pada Bunda


Maria, lalu bagaimana dengan sakit bersalin yang disebutkan dalam
Kitab Wahyu itu bisa cocok? Karena Bunda Maria bebas dari Dosa Asal,
sebab ia dikandung tanpa dosa, Bunda Maria bebas dari sakit bersalin.
Sakit itu, karenanya, pastilah menunjuk pada sakit yang ia alami ketika
ia berdiri di kaki salib (Yoh 19:25), sakit seperti dinubuatkan oleh Nabi
Simeon saat Ia dipersembahkan di Bait Allah, “Sesungguhnya Anak ini
ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di
Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan --
dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--, supaya menjadi
nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk 2:34-35). Yang menarik, St.
Paulus juga berbicara mengenai “sakit bersalin” dalam mewariskan
iman kepada jemaat, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita
sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.”
(Gal 4:19). Jadi, sakit itu mengandung makna rohani, yaitu sakit dalam
ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan sakit dalam menjadi
Bunda Gereja dan menghantar yang lain kepada Putranya.

Gambaran Bunda Maria sebagai “perempuan berselubungkan matahari”


juga menggambarkan kemuliaannya yang digenapi saat ia diangkat ke
surga. Paus Pius XII dalam "Munifentissimus Deus," maklumat tentang
dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, menyatakan bahwa
para bapa Gereja perdana memandang “perempuan berselubungkan
matahari” ketika menetapkan dasar Perjanjian Baru bagi iman (no. 27).
Perlu dicatat, itulah sebabnya mengapa ayat yang dipertanyakan di atas
dibacakan pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Lagipula, Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
(Lumen Gentium) mengajarkan, “Akhirnya Perawan tak bernoda, yang
tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah
menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui
kemuliaan di sorga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh
Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh
menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang
telah mengalahkan dosa dan maut.” (No. 59). Perhatikan bahwa dalam
mengeluarkan pernyataan ini, Konsili Vatikan II mengacu pada ayat dari
Kitab Wahyu seperti ditanyakan di atas.

Satu pokok pikiran terakhir untuk direnungkan: memahami segala


uraian di atas mengenai topik ini, kita dapat melihat bagaimana Bunda
Maria - peran dan gambarannya dalam ayat-ayat Kitab Wahyu ini -
menggenapi Perjanjian Lama. Oleh sebab itu, para bapa Gereja perdana
mengidentifikasikan Maria sebagai “Hawa Baru.” Dalam bab ketiga Kitab
Kejadian, Hawa pertama jatuh ke dalam pencobaan dengan ingin
menjadi serupa dengan Tuhan, melanggar perintah Tuhan dan berbuat
dosa. Sebaliknya, Bunda Maria penuh rahmat, bebas dari segala noda
dosa. Saat Kabar Sukacita, ia mengatakan kepada Malaikat Agung
Gabriel, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku
menurut perkataanmu itu,” menyerahkan diri secara total pada
kehendak Allah (Luk 1:38).

Melalui Hawa yang pertama, datanglah maut dan pintu gerbang surga
ditutup; melalui Maria, datanglah kehidupan kekal yang dimenangkan
oleh karya keselamatan Yesus. Hawa pertama disebut “ibu semua yang
hidup,” Bunda Maria adalah sungguh Bunda dari mereka semua yang
hidup secara rohani dalam keadaan rahmat.
Dan yang terakhir, setelah jatuhnya manusia ke dalam dosa, Tuhan
bersabda kepada ular, setan, “Aku akan mengadakan permusuhan
antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan
keturunannya ….” (Kej 3;15). Dalam Kitab Wahyu, setan digambarkan
sebagai seekor naga. Kata Ibrani `nahash' yang dipergunakan dalam
Kitab Kejadian dapat berarti baik ular maupun naga. Juga, permusuhan
antara Maria dan setan, antara keturunannya dan keturunan setan kita
temukan dalam Kitab Wahyu. Gambaran Hawa Baru dihadirkan pada
masa awal Gereja oleh St. Yustinus Martir, St. Ireneus dari Lyon,
Tertulianus, St. Agustinus, St. Yohanes dari Damaskus, sekedar
beberapa dari antara mereka, dan juga dipertegas dalam Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II, Bab VIII, yang berjudul,
“Santa Perawan Maria Bunda Allah”.

Oleh sebab itu, “perempuan berselubungkan matahari,” seperti


dilukiskan dalam Kitab Wahyu jelas merupakan suatu referensi yang
indah akan peran Bunda Maria dalam karya keselamatan.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Woman Clothed with the Sun” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria


Mediatrix
oleh: P. William P. Saunders *
Mengapa Maria digelari sebagai “mediatrix”?
~ seorang pembaca di Lorton

Konsili Vatikan Kedua mempersembahkan bab kedelapan dari


“Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” mengenai “Santa Perawan Maria
Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Karena Kristus terus
melanjutkan karya dan misi penyelamatan-Nya melalui tubuh-Nya, yaitu
Gereja, maka para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan
Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan
peran Bunda Maria di sini sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat
yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi
puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Seluruh
Gereja menghormati Maria sebagai anggota Gereja yang mahaunggul
dan sangat khusus, dan sebagai teladan dalam iman, harapan dan kasih.

Berdasarkan hal tersebut, Konsili Vatikan II sekali lagi mengulangi gelar-


gelar Maria sebagai pengacara (advocata), pembantu (ajutrix), penolong
(auxiliatrix), dan perantara (mediatrix) (LG 62). Menurut definisi
dasarnya, seorang perantara adalah seorang yang bertindak sebagai
penengah antara dua pihak yang berbeda. Seringkali, seorang perantara
membantu melerai perbedaan-perbedaan dan membawa pihak-pihak
tersebut ke dalam saling pengertian.

Dengan memeriksa keterangan-keterangan mengenai Bunda Maria


dalam Kitab Suci, kita akan mendapati peran sebagai “perantara” ini.
Bunda Maria, disapa oleh Malaikat Agung Gabriel sebagai yang penuh
rahmat di hadapan Tuhan, dan terpuji di antara wanita, mengandung dari
kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus; melalui
“perantaraannya” Yesus masuk ke dalam dunia ini - sungguh Allah yang
menjelma menjadi sungguh manusia. Dalam ayat-ayat Kitab Suci di
mana ia disebutkan, Bunda Maria senantiasa menghadirkan Kristus
kepada orang-orang lain: para gembala, para Majus, nabi Simeon dan
pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria berdiri di kaki salib, ambil
bagian dalam sengsara Kristus, dan pada saat itulah Ia memberikan
Bunda-Nya kepada kita sebagai Bunda kita dengan mengatakan kepada
St. Yohanes, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27). Dan akhirnya, Maria ada
bersama para rasul pada saat Pentakosta; ia - yang melahirkan Yesus ke
dalam dunia ini - ada di sana pada saat kelahiran Gereja. Di akhir
hidupnya, Maria diangkat jiwa dan badannya ke surga, yang merupakan
kepenuhan janji akan kehidupan kekal bagi jiwa dan badan yang
dijanjikan kepada semua orang percaya. “Kosntitusi Dogmatik tentang
Gereja” menggambarkan hidupnya dengan baik dengan menyatakan, “ia
secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat,
dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang
berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa” (LG 61).

Dalam merefleksikan peran Maria sebagai Mediatrix, mukjizat yang


terjadi dalam pesta perkawinan di Kana sungguh memainkan peran
penting (bdk Yoh 2:1-12). Di sini, Maria sebagai seorang ibu menjadi
perantara atas nama pasangan yang menikah, yang pestanya dapat
berubah menjadi aib karena kekurangan anggur. Meskipun kepentingan
yang demikian tampak kecil bagi keseluruhan rencana Injil, Maria datang
sebagai penolong atas kebutuhan-kebutuhan manusia, membawanya,
seperti diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II, “ke dalam lingkup tugas
Kristus sebagai mesias dan kekuatan penyelamatan-Nya.” (Redemptoris
Mater 21). Walaupun saatnya belum tiba bagi Kristus untuk melakukan
mukjizat pertama-Nya, pada akhirnya Yesus mengubah kerangka waktu
ilahi dan melakukannya juga karena kasih-Nya yang tulus kepada
Bunda-Nya, Maria. Pikirkan betapa dahsyat kuasa doa-doa Bunda Maria!
Bapa Suci kita menyimpulkan, “Jadi dalam hal itu ada suatu
kepengantaraan: Maria menempatkan diri antara Puteranya dan umat
manusia dalam situasi kekurangan, kebutuhan dan derita mereka. Dia
menempatkan diri 'di tengah-tengah', yaitu dia berlaku sebagai
perantara tidak sebagai orang luar, melainkan dalam kedudukannya
sebagai seorang ibu. Maria sadar, bahwa sebagai ibu, dia dapat
menyampaikan kepada Sang Putera, kebutuhan manusia dan bahkan,
dia 'berhak' untuk berbuat demikian. Bahwa Maria berdiri di tengah
antara Kristus dan manusia dengan demikian mengandung sifat sebagai
pengantara: Maria 'menjadi perantara' bagi manusia. Dan itu belum
semuanya: Sebagai seorang ibu ia juga menginginkan agar kekuasaan
Puteranya sebagai mesias dinyatakan, yaitu kuasa penyelamatan-Nya,
yang dimaksudkan untuk menolong manusia dalam kemalangannya,
membebaskannya dari yang jahat, yang dalam berbagai bentuk dan taraf
membebani hidup manusia.”(Redemptoris Mater No. 22).

Sebab itu, kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga
pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara
melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi
menyelamatkan kita dari dosa.

Kedua, dengan kesaksian imannya sendiri dan dengan menghadirkan


Kristus kepada yang lain, Maria membantu mendamaikan para pendosa
dengan Putranya. Bunda Maria, tanpa dosa, namun demikian memahami
sengsara yang diakibatkan dosa, terus-menerus memanggil para
pendosa kepada Putranya. Melalui teladannya, ia mendorong kita semua
kepada iman, harapan dan kasih yang Tuhan kehendaki kita miliki.

Dan akhirnya, karena ia diangkat ke surga dan karena perannya sebagai


bunda bagi kita semua, Bunda Maria berdoa bagi kita, bertindak sebagai
perantara atas nama kita seperti yang dulu dilakukannya di Kana,
mohon pada Kristus untuk melimpahkan rahmat atas kita seturut
kehendak-Nya.

Tetapi, gelar dan peran Mediatrix ini, sedikit pun tidak menyuramkan
atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60).
Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri,
dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan
Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada
Kristus. Konsili Vatikan menyatakan, “Pengantara kita hanya ada satu,
menurut sabda Rasul: 'Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus
Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua
manusia' (1 Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat
manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan
Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya.
Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia
tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan
ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada
pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba
segala kekuatannya dari padanya.” (LG 60). Bahkan dalam pesta
perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang
dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” karena ia tahu apa pun yang
Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria
mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini.

Marilah mohon dengan sangat bantuan doa Bunda Maria. Semoga


teladannya mendorong kita untuk senantiasa berjuang agar penuh
rahmat, mohon pengampunan atas dosa serta menghadirkan Kristus
kepada sesama melalui perkataan dan perbuatan kita. Dengan demikian,
kita pun juga boleh menjadi serupa perantara, membawa orang-orang
kepada Kristus melalui kesaksian hidup kita sendiri.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: Mary as Mediatrix” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”
Artikel khusus

Tujuh Duka Santa Perawan


Maria
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

dari:
KEMULIAAN MARIA
RISALAT IX

Dukacita Maria
Dukacita Pertama: Nubuat Nabi Simeon
Dukacita Kedua: Melarikan Yesus ke Mesir
Dukacita Ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah
Dukacita Keempat: Perjumpaan Bunda Maria dengan
Yesus saat Ia Menjalani Hukuman Mati
Dukacita Kelima: Yesus Wafat
Dukacita Keenam: Lambung Yesus Ditikam dan
Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib
Dukacita Ketujuh: Yesus Dimakamkan

sumber : "Of the Dolours of Mary" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996
Catholic Information Network (CIN) - February 6, 1996; www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menye Dukacita Maria
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Maria adalah Ratu Para Martir, oleh karena kemartirannya jauh


lebih lama dan lebih dahsyat dari yang diderita semua martir
lainnya.

Adakah orang yang sedemikian keras hatinya, yang tidak luluh


mendengar peristiwa paling memilukan yang suatu ketika terjadi di
dunia? Adalah seorang ibunda yang berbudi luhur dan kudus, yang
memiliki seorang Putra Tunggal. Putranya itu adalah putra yang paling
menawan hati yang dapat kita bayangkan - tak berdosa, berbudi luhur,
menyenangkan, Yang mencintai Bunda-Nya dengan limpahan kasih
sayang-Nya; demikian besar kasih-Nya itu hingga tak pernah sekali pun
Ia mengecewakan bunda-Nya walau sedikit saja, melainkan senantiasa
hormat, taat, dan penuh cinta mesra. Sebab itu bunda-Nya melimpahkan
segala kasih sayangnya di dunia ini kepada Putranya. Dengarlah, apa
yang kemudian terjadi. Putranya, karena iri hati, dituduh sewenang-
wenang oleh para musuh-Nya. Meskipun hakim tahu dan mengakui
bahwa Ia tak bersalah, namun karena hakim takut dianggap menghina
para musuh-Nya, ia menjatuhkan hukuman mati yang amat keji seperti
yang dituntut para musuh-Nya itu. Bunda yang malang ini harus
menanggung sengsara menyaksikan Putranya yang menawan dan
terkasih itu direnggut darinya secara tidak adil dalam kemekaran usia-
Nya dengan kematian yang biadab; dengan dera dan siksa, dengan
mencurahkan darah-Nya sehabis-habisnya. Ia dihancurbinasakan
hingga wafat di kayu salib yang hina di tempat pelaksanaan hukuman
mati di hadapan seluruh rakyat, dan itu semua terjadi di depan matanya.
Jiwa-jiwa saleh, apa yang hendak kalian katakan? Tidakkah peristiwa ini,
dan tidakkah Bunda yang malang ini layak menerima belas kasihan?
Kalian tentu paham tentang siapakah aku berbicara. Putranya itu, yang
dihukum mati secara keji adalah Yesus Penebus kita yang terkasih, dan
Bunda-Nya adalah Santa Perawan Maria; yang karena cintanya kepada
kita, rela menyaksikan Putranya dikurbankan bagi Keadilan Ilahi oleh
kebiadaban manusia. Dukacita yang dahsyat ini, yang ditanggung Maria
demi kita, - dukacita yang lebih hebat dari dukacita seribu kematian,
layak memperoleh baik belas kasihan maupun terima kasih kita. Jika
kita tidak dapat membalas cinta yang sedemikian besar itu, setidak-
tidaknya marilah menyisihkan sedikit waktu pada hari ini untuk
merenungkan betapa dahsyat dukacita yang menjadikan Maria Ratu
Para Martir; oleh karena sengsaranya dalam kemartirannya yang hebat
ini melampaui sengsara semua martir; karena, pertama-tama, terlama
menurut ukuran waktu, dan kedua, terdahsyat menurut ukuran
intensitas.
Point pertama. Sama seperti Yesus disebut Raja Sengsara dan Raja Para
Martir, sebab sengsara yang diderita-Nya semasa hidup-Nya jauh
melampaui sengsara para martir, demikian juga Maria layak disebut Ratu
Para Martir. Maria pantas digelari demikian sebab ia menanggung
sengsara kemartiran yang paling ngeri sesudah Putranya. Karenanya,
tepat jika Richard dari St. Laurensius menyebutnya “Martir dari para
martir”; dan kepada Maria dapatlah dikenakan nubuat nabi Yeremia ini,
“Ia mendirikan tembok sekelilingku, mengelilingi aku dengan kesedihan
dan kesusahan”, artinya bahwa penderitaan itu sendiri, yang melampaui
penderitaan semua martir dijadikan satu, adalah mahkota yang
diberikan kepadanya sebagai Ratu Para Martir. Bahwa Maria adalah
sungguh seorang martir tak dapat diragukan lagi, seperti yang
ditegaskan oleh Denis Carthusian, Pelbart, Catharinus, serta yang
lainnya. Merupakan pendapat yang tak dapat disangkal bahwa sengsara
yang begitu hebat hingga dapat mengakibatkan kematian merupakan
suatu kemartiran, meskipun kematian itu sendiri tidak terjadi. St.
Yohanes Penginjil disebut martir, meskipun ia tidak mati ketika
diceburkan ke dalam kuali berisi minyak mendidih, melainkan keluar
dengan lebih semarak daripada saat ia masuk. St. Thomas mengatakan,
“memiliki kemuliaan kemartiran sudah cukup untuk mempraktekkan
ketaatan pada tingkatnya yang paling tinggi, yakni, taat sampai mati.”
“Bunda Maria adalah seorang martir,” kata St. Bernardus, “bukan oleh
pedang algojo, melainkan oleh kegetiran dukacita hatinya.” Tubuhnya
tidak terluka oleh tangan algojo, tetapi hatinya yang tak bernoda
ditembus dengan pedang dukacita akan sengsara Putranya; dukacita
yang cukup hebat untuk mengakibatkan kematiannya, bukan sekali,
tetapi beribu kali. Dari sini kita dapat memahami bahwa Bunda Maria
bukan saja seorang martir sejati, tetapi bahkan kemartirannya
melampaui kemartiran para martir lainnya; karena jangka waktunya lebih
lama dari yang lainnya. Seluruh hidupnya dapat dikatakan sebagai suatu
kematian yang panjang.

“Sengsara Yesus,” demikian kata St. Bernardus, “dimulai sejak


kelahiran-Nya”. Demikian juga Maria, dalam segala hal serupa dengan
Putranya, menanggung kemartirannya sepanjang hidupnya. Di antara
banyak arti nama Maria, demikian Beato (sekarang Santo) Albertus
Agung menegaskan, salah satunya berarti 'laut pahit'. Jadi, pada Maria
berlaku nubuat nabi Yeremia: “luas bagaikan laut reruntuhanmu.” Sama
seperti laut seluruhnya pahit dan asin, demikian juga hidup Maria
senantiasa dipenuhi kepahitan karena bayangan akan sengsara Sang
Penebus yang senantiasa ada di benaknya. “Tak dapat diragukan lagi
bahwa dengan penerangan Roh Kudus dalam tingkat yang jauh
melampaui segala nabi, Maria, yang jauh lebih unggul dari mereka,
memahami nubuat-nubuat yang ditulis para nabi dalam Kitab Suci
mengenai Mesias.” Hal ini tepat seperti yang dinyatakan malaikat
kepada St. Brigitta. B. Albertus Agung menambahkan, “Santa Perawan,
bahkan sebelum menjadi Bunda-Nya, paham bagaimana Sabda Yang
Menjadi Daging harus menderita sengsara demi keselamatan manusia.
Berbelas kasihan kepada Juruselamat yang tak berdosa ini, yang akan
dijatuhi hukuman mati secara keji oleh karena kejahatan-kejahatan yang
tidak Ia lakukan, bahkan pada saat itu Maria telah memulai
kemartirannya yang hebat.”

Dukacitanya meningkat tak terhingga ketika ia menjadi Bunda Sang


Juruselamat. Jadi, bayangan ngeri akan beratnya sengsara yang harus
diderita oleh Putranya yang malang, mengakibatkan Maria sungguh
menderita suatu kemartiran yang panjang, kemartiran yang berakhir
hingga akhir hayatnya. Hal ini dinyatakan dengan sangat jelas kepada
Santa Brigitta dalam suatu penglihatan yang dialaminya ketika ia berada
di Roma, dalam gereja Saint Mary Major, di mana Santa Perawan Maria
bersama St. Simeon, dan seorang malaikat yang membawa sebilah
pedang yang amat panjang, yang merah karena noda darah,
menampakkan diri kepada St. Brigitta. Dengan cara demikian
ditunjukkan kepadanya betapa panjang dan pahitnya dukacita yang
menembus hati Bunda Maria sepanjang hidupnya. Maria berkata, “Jiwa-
jiwa yang telah ditebus, dan anak-anakku yang terkasih, janganlah
berbelas kasihan kepadaku hanya pada jam di mana aku menyaksikan
Yesus-ku yang terkasih meregang nyawa di hadapan mataku; oleh
sebab pedang dukacita yang dinubuatkan Simeon menembus jiwaku
sepanjang hidupku: ketika aku menyusui Putraku, ketika aku
menggendong-Nya dalam pelukanku, aku telah melihat kematian ngeri
yang menanti-Nya. Bayangkan, betapa panjang dan pilunya sengsara
yang harus kuderita.”

Maria dapat berkata menggunakan kata-kata Daud ini, “Sebab hidupku


habis dalam duka dan tahun-tahun umurku dalam keluh kesah.
Sepanjang hari aku berjalan dengan dukacita.” “Seluruh hidupku
dilewatkan dalam dukacita dan airmata; karena deritaku, yang adalah
kasih sayangku kepada Putraku terkasih, tak pernah lepas dari
ingatanku. Aku selalu terbayang akan derita sengsara dan kematian
yang suatu hari nanti harus ditanggung-Nya.” Bunda Ilahi sendiri
mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa bahkan sesudah wafat dan
kebangkitan Putra-Nya, apa pun yang ia makan atau kerjakan, kenangan
akan sengsara-Nya tertanam begitu kuat dalam ingatannya dan selalu
segar dalam hatinya yang lembut. Sebab itu, Tauler mengatakan “Bunda
Perawan melewatkan sepanjang hidupnya dalam dukacita yang terus-
menerus,” karena hatinya senantiasa diliputi dukacita dan sengsara.

Waktu, yang biasanya meringankan dukacita seorang yang dirundung


duka, tidak dapat memulihkan Maria; tidak, malahan meningkatkan
dukacitanya. Sementara Yesus, di satu pihak, bertambah usianya dan
senantiasa tampil semakin menawan serta penuh kasih karunia;
demikian juga, di lain pihak, waktu kematian-Nya semakin dekat, dan
dukacita senantiasa bertambah dan bertambah di hati Maria, karena
bayangan akan kehilangan Dia di dunia ini. Malaikat mengatakan kepada
St Brigitta, “Bagaikan mawar tumbuh di antara duri-duri, demikian juga
Bunda Allah melewatkan tahun-tahun dalam duka; dan bagai duri-duri
bertumbuh seiring dengan bertumbuhnya sang mawar, demikian juga
duri-duri dukacita bertambah di hati Maria, mawar pilihan Allah,
sementara ia bertambah dalam usia; dan semakin begitu dalam duri-duri
itu menembus hatinya.” Setelah merenungkan kesepuluh dukacita Maria
dalam hal waktu, mari kita melanjutkan ke point yang kedua -
dahsyatnya dukacita Maria dalam hal intensitas.

Point kedua. Ah, Bunda Maria bukan hanya Ratu Para Martir oleh karena
kemartirannya jauh lebih lama dari yang lainnya, tetapi juga karena
kemartirannya jauh lebih dahsyat dari segala kemartiran lainnya. Namun
demikian, siapa gerangan yang dapat mengukur kedahsyatannya? Nabi
Yeremia tampaknya tak dapat menemukan dengan siapa kiranya ia
dapat membandingkan Bunda Dukacita ini, ketika ia memikirkan
dukacitanya yang begitu hebat saat kematian Putranya, “Apa yang
dapat kunyatakan kepadamu, dengan apa aku dapat menyamakan
engkau, ya puteri Yerusalem? Dengan apa aku dapat membandingkan
engkau untuk dihibur, ya dara, puteri Sion? Karena luas bagaikan laut
reruntuhanmu; siapa yang akan memulihkan engkau?” Kardinal Hugo,
dalam sebuah uraian menanggapi pernyataan tersebut mengatakan “Oh
Santa Perawan, bagaikan laut kepahitan melampaui segala kepahitan,
demikian juga dukacitamu melampaui segala dukacita.” St. Anselmus
menegaskan, “andai saja Tuhan tidak memelihara hidup Maria dengan
mukjizat istimewa di setiap saat kehidupannya, dukacitanya yang begitu
dahsyat itu pastilah telah mengakibatkan kematiannya”. Bernardinus
dari Siena lebih jauh mengatakan, “dukacita Maria demikianlah dahsyat,
hingga jika saja dukacita itu dibagi-bagikan di antara manusia, masing-
masing bagian sudah cukup untuk menyebabkan kematian seketika.”

Mari kita merenungkan alasan-alasan bagaimana kemartiran Maria jauh


melampaui semua martir. Pertama-tama kita perlu ingat bahwa para
martir menanggung penderitaan mereka, yang merupakan akibat siksa
api dan alat-alat sarana lainnya di tubuh mereka. Bunda Maria
menanggung penderitaannya dalam jiwanya, seperti dinubuatkan oleh
St. Simeon, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri”.
Seolah-olah orang tua kudus itu mengatakan, “Oh, Santa Perawan
Tersuci, tubuh para martir akan dikoyakkan dengan besi, tetapi jiwamu
akan ditembus olehnya, dan engkau akan menjadi martir karena jiwamu
oleh Sengsara Putramu sendiri.” Karena jiwa lebih berharga daripada
tubuh, betapa jauh lebih hebat penderitaan Maria dibandingkan para
martir lainnya. Seperti yang dikatakan Yesus Kristus sendiri kepada St.
Katarina dari Siena, “Penderitaan jiwa dan penderitaan badan tidak
dapat dibandingkan.” Sementara Abas kudus, Arnoldus dari Chartres
mengatakan, “siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari, sebagai saksi atas
kurban agung Anak Domba Tak Bercela, akan melihat dua altar besar,
yang satu adalah Tubuh Yesus, yang lain adalah Hati Maria, karena, di
bukit itu, pada saat yang sama Putranya mempersembahkan Tubuh-Nya
dengan wafat-Nya, Bunda Maria mempersembahkan jiwanya dengan
belas kasihannya.”

Lagi pula, St. Antonius mengatakan, “sementara para martir lain


menderita dengan mengurbankan nyawa mereka sendiri, Santa Perawan
menderita dengan mengurbankan nyawa Putranya, nyawa yang
dikasihinya jauh melampaui nyawanya sendiri. Jadi, tidak saja Maria
menderita dalam jiwanya semua yang diderita Putranya di Tubuh-Nya,
tetapi lebih dari itu, menyaksikan derita dan sengsara Putranya
mendatangkan dukacita yang lebih dahsyat di hatinya daripada jika ia
sendiri yang harus menderita segala sengsara itu di tubuhnya.” Tidak
seorang pun dapat meragukan bahwa Bunda Maria menderita dalam
hatinya segala kekejian yang ia saksikan menimpa Putranya yang
terkasih. Siapa pun dapat mengerti bahwa penderitaan anak-anak adalah
juga penderitaan para ibu mereka yang menyaksikannya. St. Agustinus,
merenungkan dukacita yang harus ditanggung si ibu dalam Kitab
Makabe ketika menyaksikan penganiayaan atas putera-puteranya,
mengatakan, “Ia, menyaksikan penderitaan mereka, juga menderita bagi
setiap puteranya; sebab ia mengasihi mereka semuanya. Ia menderita
dalam jiwanya apa yang diderita putera-puteranya dalam tubuh mereka.”
Demikian juga, Bunda Maria menanggung segala siksa, aniaya, dera,
mahkota duri, paku dan salib yang meremukkan tubuh Yesus yang tak
berdosa. Semuanya itu pada saat yang sama meremukkan hati Sang
Perawan untuk melengkapi kemartirannya. “Yesus menderita dengan
daging-Nya dan Bunda Maria dengan hatinya,” tulis Beato Amadeus.
“Begitu dahsyat,” kata St. Laurensius Giustiniani, “hingga hati Maria
menjadi serupa cermin Sengsara Sang Putra, di mana dapat dilihat,
tergambar dengan tepat dan jelas, ludah, pukulan dan tamparan, luka-
luka, serta semuanya yang diderita Yesus.” St. Bonaventura juga
mengatakan, “luka-luka itu - yang tersebar di sekujur tubuh Kristus -
semuanya dipersatukan dalam hati Maria.”

Demikianlah Santa Perawan, melalui belas kasihan dari hatinya yang


lembut kepada Putranya, didera, dimahkotai duri, dihina dan dipakukan
pada kayu salib. St. Bonaventura ketika merenungkan Maria di Bukit
Kalvari, menyaksikan wafat Sang Putra, bertanya kepadanya: “Oh
Bunda, katakanlah kepadaku, di manakah engkau berdiri? Apakah hanya
di kaki salib? Ah, jauh lebih dari itu, engkau berada di salib itu sendiri,
disalibkan bersama Putramu.” Menanggapi kata-kata Sang Penebus
seperti yang disuarakan oleh nabi Yesaya, “Aku seorang dirilah yang
melakukan pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang
menemani Aku!”, Richard dari St. Laurensius mengatakan, “Benar
demikian, O Tuhan, bahwa dalam karya penebusan manusia Engkau
menderita seorang diri, tak ada seorang pun yang berbelas kasihan
kepada-Mu dengan pantas; hanya ada seorang wanita menyertai
Engkau, dan ia adalah Bunda-Mu sendiri; ia menderita dalam hatinya
segala yang Engkau derita dalam Tubuh-Mu.”
Tetapi semua perkataan itu terlalu sedikit untuk mengungkapkan
dukacita Maria, sebab sejauh yang saya amati, ia jauh lebih menderita
menyaksikan sengsara Putranya terkasih daripada jika ia sendiri yang
harus menanggung segala kekejian dan wafat Putranya. Eramus,
berbicara tentang para orangtua pada umumnya, mengatakan bahwa
para orangtua akan lebih tersiksa menyaksikan penderitaan anak-anak
mereka daripada mereka harus menanggung penderitaan itu sendiri.
Pendapat tersebut tidak selalu benar, tetapi jelas terbukti dalam diri
Bunda Maria. Tak diragukan lagi ia mengasihi Putranya dan hidup-Nya
jauh melampaui hidupnya sendiri atau bahkan seribu kali hidupnya
sendiri. Beato Amadeus dengan tepat menegaskan, “Bunda Dukacita,
menyaksikan dengan pilu derita sengsara Putranya terkasih, menderita
lebih dahsyat daripada jika ia sendiri yang harus menanggung segala
Sengsara Kristus.” Alasannya jelas, seperti yang dikemukakan St.
Bernardus, “jiwa lebih melekat pada yang dicintainya daripada di mana
ia tinggal.” Kristus Sendiri telah mengatakan hal yang sama, “di mana
hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Jadi, jika Bunda Maria,
oleh karena cintanya, lebih tinggal dalam diri Putranya daripada dalam
dirinya sendiri, tentulah ia menanggung dukacita yang jauh lebih
dahsyat dalam sengsara dan wafat Putranya daripada jika ia
menanggung sengsara itu sendiri. Bunda Maria menanggung kematian
paling keji di seluruh dunia yang telah ditimpakan kepadanya.

Kita perlu mempertimbangkan suatu keadaan lain yang menjadikan


kemartiran Maria jauh melampaui penderitaaan semua martir lainnya:
yaitu, bahwa dalam Sengsara Yesus, Bunda Maria begitu menderita dan
berduka, tanpa penghiburan sedikit pun. Para martir menderita karena
siksa yang ditimpakan kepada mereka oleh para penganiaya; tetapi cinta
Yesus menjadikan penderitaan mereka manis dan menyenangkan. St.
Vincentius tubuhnya didera di tiang penderaan, dicabik-cabik dengan
sepit, dicap dengan plat besi panas. St. Bonifasius tubuhnya dikoyakkan
dengan kait-kait besi; buluh-buluh berujung runcing ditusukkan di
antara kuku-kuku dan dagingnya; timah hitam cair dicekokkan ke dalam
mulutnya; dan di tengah derita aniaya itu tak henti-hentinya ia berseru
“Aku bersyukur kepada-Mu, O Tuhan Yesus Kristus.” St. Markus dan St.
Marselinus diikatkan ke sebuah pancang, kaki mereka ditembusi paku;
dan ketika penganiaya berkata kepada mereka “Hai orang-orang celaka,
lihat keadaanmu kini, selamatkanlah dirimu dari penderitaan ini.” Maka,
kedua orang kudus itu menjawab, “Dari siksa apa, penderitaan apakah
yang engkau katakan itu? Belum pernah kami menikmati perjamuan
begitu mewah seperti pada saat ini, di mana kami menderita dengan
penuh sukacita demi cinta kepada Yesus Kristus.” St. Laurensius
menderita aniaya; tetapi ketika sedang di panggang di pemanggangan,
“api cinta dalam hatinya,” demikian menurut St. Leo, “lebih kuat
menghibur jiwanya daripada api yang membakar tubuhnya.” Cinta
begitu menguasainya hingga dengan berani St. Laurensius menggoda
penganiayanya, “Jika engkau ingin memakan dagingku, sisi sebelah sini
sudah matang, baliklah dan makanlah.” Tetapi, bagaimana mungkin, di
tengah begitu banyak siksa dan aniaya, ketika meregang nyawa, orang
kudus itu bersukacita? “Ah!” jawab St. Agustinus, “mabuk oleh anggur
cinta ilahi, ia tidak merasakan baik penderitaan maupun kematian.”

Jadi, semakin para martir kudus itu mencintai Yesus, semakin sedikit
mereka merasakan penderitaan dan kematian. Bayangan akan sengsara
Yesus yang tersalib saja sudah cukup untuk menjadi penghiburan bagi
mereka. Tetapi, apakah Bunda Dukacita kita juga terhibur oleh cintanya
kepada Putranya, dan apakah bayangan akan sengsara-Nya menghibur
hatinya? Ah, tidak! Justru Putranya yang menderita sengsara itulah
yang menjadi sumber dukacitanya, dan cintanya pada Putranya adalah
satu-satunya penganiayanya yang paling kejam. Kemartiran Maria
sepenuhnya adalah menyaksikan dan berbelas kasihan terhadap
Putranya yang terkasih dan yang tak berdosa, yang menderita begitu
hebat. Jadi, semakin besar cintanya kepada Putranya, semakin pilu dan
tak terhiburkan dukacitanya. “Karena luas bagaikan laut reruntuhanmu;
siapa yang akan memulihkan engkau?” Ah, Ratu Surgawi, cinta telah
meringankan penderitaan para martir lainnya serta memulihkan luka-
luka mereka; tetapi siapakah gerangan yang akan meringankan
dukacitamu yang pahit? Siapakah gerangan yang akan memulihkan
luka-luka keji yang mengoyak hatimu? “Siapa yang akan memulihkan
engkau?” Sebab, Putra yang dapat menjadi sumber penghiburan
bagimu, oleh karena sengsara-Nya, justru telah menjadi sumber
dukacitamu, dan cinta kasih yang engkau limpahkan kepada-Nya
sepenuhnya merupakan penyebab kemartiranmu. Jadi, seperti para
martir lain, demikian menurut Diez, semuanya dilambangkan dengan
alat-alat penyiksa mereka - St. Paulus dengan pedang, St. Andreas
dengan salib, St. Laurensius dengan alat pemanggang - Maria
dilambangkan dengan jenasah Putranya dalam pelukannya. Sebab
Yesus Sendiri-lah, dan hanya Ia sendiri, yang menjadi penyebab
kemartiran Maria, oleh karena begitu besar kasihnya kepada Putra-nya.
Richard dari St. Victor menegaskan dalam beberapa kata segala apa
yang telah aku katakan: “Bagi para martir lain, semakin besar cinta
mereka kepada Yesus akan semakin meringankan sengsara kemartiran
mereka; tetapi bagi Santa Perawan, semakin besar cintanya kepada
Yesus, semakin dahsyat sengsaranya dan semakin kejam
kemartirannya.”

Benar bahwa semakin kita mencintai sesuatu, semakin besar kesedihan


yang harus kita tanggung apabila ketika kita kehilangan dia. Kita lebih
berduka atas kematian seorang saudara daripada kematian seekor
binatang beban; kita lebih berduka atas kematian seorang putera
daripada kematian seorang teman. Kornelius a Lapide mengatakan,
“agar dapat memahami dahsyatnya dukacita Maria pada saat wafat
Putranya, kita perlu memahami besarnya kasihnya kepada-Nya.” Tetapi
siapakah yang dapat mengukur kasih? Beato Amadeus mengatakan,
“dalam hati Maria bersatu dua macam kasih bagi Yesus - kasih
adikodrati, di mana ia mengasihi-Nya sebagai Allah-nya, dan kasih
kodrati, di mana ia mengasihi-Nya sebagai Putranya.” Begitulah kedua
macam kasih ini menyatu, begitu dalam, hingga William dari Paris
mengatakan bahwa Santa Perawan “mengasihi-Nya sebanyak yang
mungkin dilakukan oleh suatu makhluk yang murni untuk mengasihi-
Nya.” Richard dari St. Victor menegaskan, “karena tidak ada kasih
seperti kasihnya, maka tidak ada dukacita seperti dukacitanya.” Dan jika
kasih Maria terhadap Putranya demikian dahsyat, maka pastilah dahsyat
pula dukacitanya saat ia kehilangan Putranya oleh karena wafat-Nya. “Di
mana terdapat kasih terbesar,” demikian Beato Albertus Agung, “di sana
pula terdapat dukacita terdahsyat.”

Marilah sekarang kita membayangkan Bunda Ilahi berdiri dekat Putra-


nya yang sedang meregang nyawa di salib, dan dengan demikian
tepatlah dikenakan kepadanya kata-kata nabi Yeremia, “Acuh tak
acuhkah kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah, apakah
ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan TUHAN kepadaku.” O
kalian yang melewatkan hari-hari kalian di bumi dan tidak berbelas
kasihan terhadap aku, berhentilah sejenak dan pandanglah aku,
sekarang aku menyaksikan Putraku terkasih meregang nyawa di
hadapanku. Pandanglah dan lihatlah, di antara mereka semua yang
berduka dan menderita, adakah dukacita yang seperti dukacitaku?
“Tidak, o ibu yang paling menderita di antara segala ibu,” jawab St.
Bonaventura, “tidak mungkin ditemukan dukacita yang lebih pilu
daripada dukacitamu; sebab tidak mungkin ditemukan putra yang lebih
terkasih daripada putramu.” Ah, “tak akan pernah ada putra yang lebih
menawan hati di dunia ini daripada Yesus,” kata Richard dari St.
Laurentius; “dan juga tidak akan pernah ada ibu yang mengasihi
putranya lebih lemah lembut daripada Maria! Jadi, karena di dunia ini
tidak pernah ada kasih seperti kasih Maria, bagaimana mungkin dapat
ditemukan dukacita seperti dukacita Maria?”

Karena itu St. Ildephonsus tanpa ragu menegaskan, “mengatakan


bahwa dukacita Maria jauh melampaui segala penderitaan para martir
lainnya digabung menjadi satu, mengungkapkan terlalu sedikit.” Dan St.
Anselmus menambahkan, “aniaya paling keji yang menimpa para martir
kudus merupakan hal sepele, atau bahkan tak ada artinya sama sekali,
jika dibandingkan dengan kemartiran Maria.” St. Basilus dari Seleucia
juga menulis, “bagaikan matahari melampaui semua planet lain dalam
kemegahannya, demikian juga penderitaan Maria melampaui
penderitaan semua martir.” Seorang penulis terpelajar
menyimpulkannya dalam suatu pernyataan yang indah. Ia mengatakan
bahwa begitu dahsyat dukacita Bunda yang lemah lembut ini dalam
Sengsara Yesus, hingga Bunda Maria sendiri berbelas kasihan pada
tingkat yang setara dengan wafat Tuhan yang menjadi manusia.

Kepada Santa Perawan, St. Bonaventura bertanya, “Dan mengapakah, O


Bunda, engkau juga mengurbankan dirimu sendiri di Kalvari? Tidakkah
Tuhan yang Tersalib sudah cukup untuk menebus kami, mengapakah
engkau, Bunda-Nya, hendak pula disalibkan bersama-Nya?” Sungguh,
wafat Yesus lebih dari cukup untuk menyelamatkan dunia dan
mendatangkan kehidupan kekal; akan tetapi Bunda yang amat baik ini,
demi kasihnya kepada kita, berharap pula untuk membantu
mendatangkan keselamatan bagi kita dengan penderitaannya yang ia
persembahkan bagi kita di Kalvari. Sebab itu, Beato Albertus Agung
mengatakan, “sama seperti kita berhutang kepada Yesus atas Sengsara
yang Ia derita demi cinta-Nya kepada kita, demikian juga kita berhutang
kepada Maria, atas kemartiran yang dengan sukarela ia derita demi
keselamatan kita dengan wafatnya Putra-nya.” Saya mengatakan
sukarela, sebab, seperti yang diungkapkan St. Agnes kepada St. Brigitta,
“Bunda kita yang lemah lembut dan penuh belas kasihan lebih suka
menderita sengsara daripada membiarkan jiwa-jiwa kita tidak ditebus
dan tinggal dalam kebinasaan kekal.” Sungguh, kita dapat mengatakan
bahwa satu-satunya kelegaan Maria di tengah dukacitanya yang dahsyat
dalam Sengsara Putra-nya adalah melihat dunia yang sesat ini ditebus
oleh wafat-Nya dan hubungan manusia dengan Tuhan dipulihkan
kembali. “Sementara berduka, Bunda Maria juga bersukacita,” demikian
kata Simon dari Cascia, “bahwa satu kurban telah dipersembahkan
sebagai tebusan bagi semua orang, dan dengannya murka Tuhan
diredakan kembali.”

Cinta Maria yang sedemikian besar pantas mendapatkan terima kasih


dari pihak kita. Dan rasa terima kasih itu patut dinyatakan dengan
setidak-tidaknya merenungkan dan berbelas kasihan kepadanya dalam
dukacitanya. Namun demikian, Bunda Maria mengeluh kepada St.
Brigitta bahwa begitu sedikit yang melakukannya dan sebagian besar
dunia hidup dengan mengacuhkannya, “Aku melihat berkeliling kepada
semua yang tinggal di bumi untuk melihat kalau-kalau ada yang
menaruh belas kasihan kepadaku dan merenungkan dukacitaku; aku
mendapati hanya sedikit sekali yang melakukannya. Sebab itu, putriku,
meskipun aku telah dilupakan banyak orang, setidak-tidaknya engkau
janganlah melupakan aku. Renungkanlah sengsaraku, dan teladanilah
dukacitaku sebanyak yang engkau mampu.” Untuk memahami betapa
menyenangkan bagi Bunda Maria jika kita merenungkan dukacitanya,
kita hanya perlu tahu bahwa pada tahun 1239 Santa Perawan
menampakkan diri kepada tujuh hambanya yang setia (yang di
kemudian hari menjadi para pendiri Ordo Religius Pelayan-pelayan
Maria), dengan jubah hitam di tangannya. Bunda Maria menghendaki
agar mereka, jika mereka ingin menyenangkan hatinya, seringkali
merenungkan dukacitanya. (Jubah hitam dikenakan untuk maksud ini,
dan untuk mengingatkan mereka akan dukacitanya). Ia menyatakan
keinginannya agar di kemudian hari mereka mengenakan gaun duka itu.
Yesus Kristus Sendiri menampakkan diri kepada Beata Veronica da
Binasco bahwa Ia, dan selamanya demikian, lebih suka melihat Bunda-
Nya yang memperoleh belas kasihan daripada Ia Sendiri. Kata-Nya
kepada Veronica, “Puteri-Ku, air mata yang dicurahkan demi Sengsara-
Ku menyenangkan Daku; tetapi, karena Aku mencintai Bunda-Ku Maria
dengan kasih yang begitu dalam, renungan akan dukacita yang harus
dideritanya pada saat wafat-Ku akan lebih menyenangkan Hati-Ku.”

Rahmat-rahmat yang dijanjikan Yesus bagi mereka yang berdevosi


kepada dukacita Maria sungguh luar biasa. Pelbert menceritakan bahwa
kepada St. Elizabeth dinyatakan, yaitu sesudah Bunda Maria diangkat ke
Surga, St. Yohanes Penginjil rindu untuk bertemu dengannya kembali.
Kerinduannya itu dipenuhi; Bundanya yang terkasih menampakkan diri
kepadanya; dan bersamanya Yesus Kristus juga menampakkan diri. St.
Yohanes kemudian mendengar Maria meminta Putra-nya untuk
menganugerahkan rahmat-rahmat istimewa bagi mereka yang berdevosi
kepada dukacitanya. Yesus berjanji kepada Bunda-Nya untuk
menganugerahkan empat rahmat utama:

Pertama, bahwa mereka yang sebelum ajalnya berseru kepada Bunda


Ilahi atas nama dukacitanya akan memperoleh tobat sempurna atas
dosa-dosanya.

Kedua, Ia akan melindungi mereka semua yang mempraktekan devosi


ini dalam pencobaan-pencobaan mereka, dan bahwa Ia akan melindungi
mereka secara istimewa pada saat ajal mereka.

Ketiga, Ia akan membangkitkan dalam benak mereka kenangan akan


Sengsara-Nya, dan bahwa mereka akan memperoleh ganjaran untuk itu
di surga.

Keempat, Ia akan mempercayakan mereka yang dengan setia berdevosi


ke dalam tangan Maria, dengan kuasa untuk memberikan kepada
mereka apa pun yang ia kehendaki, dan untuk memperolehkan bagi
mereka segala rahmat yang ia kehendaki.

Sebagai bukti atas janji-Nya ini, marilah kita lihat contoh berikut ini,
bagaimana ampuhnya devosi kepada dukacita Maria dalam membantu
jiwa memperoleh keselamatan kekal.

TELADAN

Dalam penampakan-penampakan kepada St. Brigitta kita membaca


tentang seorang kaya, seorang keturunan bangsawan, yang jahat dan
hidup dalam dosa. Ia memberikan dirinya sebagai budak iblis. Selama
enam puluh tahun berikutnya ia mengabdi iblis, hidup dengan cara
demikian seperti yang dapat kita bayangkan dan tak pernah sekali pun
menerima sakramen-sakramen. Sekarang, bangsawan ini mendekati
ajalnya. Yesus Kristus, untuk menunjukkan belas kasihan-Nya, meminta
St. Brigitta untuk mengatakan kepada bapa pengakuannya agar pergi
mengunjungi sang bangsawan serta mendesaknya untuk mengakukan
dosa-dosanya. Imam pergi, tetapi si sakit mengatakan bahwa ia tidak
membutuhkan Sakramen Tobat karena ia telah sering menerimanya.
Imam pergi untuk kedua kalinya; tetapi budak neraka yang malang ini
bersikukuh pada kekerasan hatinya untuk tidak mengakukan dosa-
dosanya. Yesus sekali lagi menyatakan kepada St. Brigitta keinginan-
Nya agar imam datang kembali. Imam melakukannya; dan pada
kesempatan ketiga ini, imam mengatakan kepada si sakit tentang
penglihatan St. Briggita dan bahwa ia telah kembali berulang kali hanya
karena Kristus, yang hendak menunjukkan kerahiman-Nya,
memerintahkannya demikian. Mendengar ini, orang yang sedang
menghadapi ajal ini tersentuh hatinya dan mulai mengangis. “Tetapi,
bagaimana,” teriaknya, “aku dapat diselamatkan. Aku, yang selama
enam puluh tahun mengabdi iblis sebagai budaknya, dan jiwaku sarat
dengan dosa-dosa yang tak terbilang banyaknya?” “Anakku,” jawab
imam untuk membesarkan hatinya, “janganlah ragu; jika engkau
menyesali dosa-dosamu, sebagai wakil dari pihak Allah, aku
menjanjikan pengampunan.” Kemudian, setelah kepercayaan dirinya
bangkit kembali, ia berkata kepada imam, “Bapa, aku memandang diriku
sendiri sebagai orang yang sesat, dan sudah berputus asa untuk
memperoleh keselamatan; tetapi sekarang aku merasakan kesedihan
mendalam atas dosa-dosaku, yang meyakinkan aku. Dan karena Tuhan
tidak meninggalkan aku, maka aku akan mengakukan dosa-dosaku.”
Sesungguhnya, ia mengakukan dosanya empat kali pada hari itu,
dengan tanda-tanda sesal dan tobat yang sungguh. Keesokan paginya
ia menerima Komuni Kudus. Pada hari keenam, penuh rasa sesal dan
pasrah, ia meninggal dunia. Sesudah kematiannya, Yesus Kristus
kembali berbicara kepada St. Brigitta dan mengatakan kepadanya bahwa
pendosa itu telah diselamatkan; bahwa ia sekarang berada dalam api
penyucian, dan bahwa ia berhutang keselamatan jiwanya kepada Santa
Perawan Bunda-Nya, sebab almarhum, meskipun hidup sesat dalam
kejahatan, senantiasa berdevosi kepada dukacita Maria, dan setiap kali
ia merenungkannya, ia berbelas kasihan kepada Sang Bunda.

DOA

O Bundaku yang berdukacita! Ratu para martir dan sengsara, adakah


engkau menangisi Putramu dengan pilu, yang wafat demi
keselamatanku? Tetapi, apakah gunanya air matamu itu bagiku jika aku
sesat? Karenanya, berkat dukacitamu, perolehkanlah bagiku tobat sejati
atas dosa-dosaku, dan keteguhan hati untuk mengubah hidupku,
bersama dengan belas kasihan yang lembut dan terus-menerus demi
sengsara Yesus dan demi dukacitamu. Dan, apabila Yesus dan engkau,
yang tak berdosa, telah menderita begitu banyak demi kasih kepadaku,
perolehkanlah bagiku agar setidak-tidaknya aku, yang layak menerima
hukuman neraka, boleh menderita demi kasih kepada-Mu. O Bunda,
bersama St. Bonaventura aku hendak mengatakan, “jika aku telah
menghina engkau, demi keadilan lukailah hatiku; jika aku telah melayani
engkau, sekarang aku mohon ganjarilah aku dengan luka-luka pula.
Sungguh memalukan bagiku melihat Tuhan Yesus-ku penuh luka, dan
engkau terluka bersama-Nya, sementara aku sendiri bersih tanpa suatu
luka pun.” O Bundaku, melalui dukacita yang engkau derita saat
menyaksikan Putra-mu menundukkan kepala-Nya dan wafat di kayu
salib dalam siksa sengsara yang begitu keji, aku mohon kepadamu agar
memperolehkan bagiku kematian yang bahagia. Ah, janganlah berhenti,
O pembela para pendosa, menopang jiwaku yang menderita di tengah
pertarungan yang harus dilaluinya dalam perjalanan panjangnya menuju
ke keabadian. Dan, sementara mungkin bagiku kehilangan kemampuan
berkata-kata, kehilangan kekuatan untuk menyerukan namamu dan
Nama Yesus, yang adalah seluruh pengharapanku, maka aku
melakukannya sekarang; aku berseru kepada Putramu dan kepadamu
untuk menolongku di saat-saat terakhir. Karenanya aku berkata, Yesus
dan Bunda Maria, kepada-Mu kuserahkan jiwaku. Amin.

sumber : "Of the Dolours of Mary" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996
Catholic Information Network (CIN) - February 6, 1996; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
barluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA:
www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Information Network”
Dukacita Pertama

Nubuat Nabi Simeon


oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Dalam lembah airmata ini, setiap manusia dilahirkan untuk menangis,


dan semua harus menderita, dengan menanggung kemalangan-
kemalangan yang adalah peristiwa sehari-hari. Tetapi, alangkah jauh
lebih hebatnya penderitaan hidup ini, andai saja kita mengetahui terlebih
dahulu kemalangan-kemalangan yang menanti kita! “Betapa malangnya,
sungguh, betapa berat penderitaan dia,” kata Seneca, “yang mengetahui
kemalangan yang akan datang, sebab ia harus menderita semuanya
sementara menanti.” Kristus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada
kita dalam hal ini. Ia menyembunyikan pencobaan-pencobaan yang
menanti kita, sehingga, apa pun pencobaan itu, kita akan
menanggungnya sekali saja. Namun demikian, Kristus tidak
menunjukkan belas kasihan yang sama terhadap Bunda Maria; sebab
dialah yang dikehendaki Tuhan menjadi Ratu Dukacita, dan seperti
Putranya, dalam segala hal ia senantiasa telah melihat terlebih dahulu di
depan matanya dan dengan demikian terus-menerus menanggung
segala sengsara dan penderitaan yang menantinya; penderitaan-
pernderitaan itu adalah Sengsara dan Wafat Yesusnya yang terkasih;
seperti di Bait Allah Nabi Simeon, sementara menatang Kanak-kanak
Yesus dalam tangannya, menubuatkan kepada Maria bahwa Putranya
akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. “Sesungguhnya
Anak ini ditentukan… untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan
perbantahan.” Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus
jiwanya, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”

Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St. Matilda bahwa pada


saat menerima nubuat Nabi Simeon ini, “segala sukacitanya berubah
menjadi dukacita.” Sebab, seperti dinyatakan kepada St. Teresa,
meskipun Bunda Maria telah mengerti bahwa hidup Putranya akan
dikurbankan demi keselamatan dunia, namun demikian ia melihat secara
lebih jelas dan lebih detail sengsara dan wafat keji yang menanti
Putranya yang malang. Ia tahu bahwa Putranya akan ditolak dalam
segala hal. Ditolak dalam ajaran-ajaran-Nya; bukannya dipercaya, Ia
malahan dianggap seorang penghujat dengan mengajarkan bahwa Ia
adalah Putra Allah; hal ini dimaklumkan oleh Kayafas yang kejam
dengan mengatakan, “Ia menghujat Allah. Ia harus dihukum mati!” Ia
ditolak dalam status-Nya; Ia seorang bangsawan, bahkan keturunan
raja, tetapi dipandang rendah sebagai rakyat jelata, “Bukankah Ia ini
anak tukang kayu?” “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?” Ia
adalah kebijaksanaan itu sendiri, tetapi diperlakukan sebagai orang
dungu, “Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian
tanpa belajar!” Dianggap sebagai nabi palsu, “Lalu mulailah beberapa
orang meludahi Dia dan menutupi muka-Nya dan meninju-Nya sambil
berkata kepadanya: `Hai nabi, siapakah yang memukul Engkau?'” Ia
diperlakukan sebagai orang yang tidak waras, “Ia kerasukan setan dan
gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” Sebagai seorang peminum,
pelahap dan sahabat orang-orang berdosa, “Lihatlah, Ia seorang
pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.”
Sebagai tukang sihir, “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.”
Sebagai seorang kafir dan kerasukan setan, “Bukankah benar kalau
kami katakan bahwa Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?”
Singkat kata, Yesus dianggap amat cemar karena kejahatan-Nya, hingga,
seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi kepada Pilatus, pengadilan
tak diperlukan lagi untuk menjatuhkan hukuman mati atas-Nya, “Jikalau
Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!” Ia
ditolak bahkan dalam jiwa-Nya yang terdalam; oleh sebab Bapa-Nya
yang Kekal, demi Keadilan Ilahi, menolak-Nya dengan tidak
mengindahkan doa-Nya ketika Ia berdoa, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada
yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Bapa-Nya
membiarkan Dia dalam keadaan takut, gelisah dan sedih; hingga Tuhan
kita yang sengsara berseru, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati
rasanya,” dan sengsara batin-Nya itu mengakibatkan-Nya meneteskan
keringat darah. Ditolak dan dianiaya, pada tubuh-Nya dan sepanjang
hidup-Nya; Ia dianiaya di seluruh anggota tubuh-Nya yang kudus, pada
tangan-Nya, kaki-Nya, wajah-Nya, kepala-Nya dan sekujur tubuh-Nya;
hingga dengan darah-Nya tercurah habis dan sebagai sasaran olok-olok
dan makian, Ia wafat penuh sengsara di atas salib yang hina.

Ketika Daud, di tengah segala kenikmatan dan kemuliaan kerajaannya,


mendengar dari Nabi Natan bahwa puteranya harus mati, “Pastilah anak
yang lahir bagimu itu akan mati,” ia tidak dapat tenang, melainkan
meratap, berpuasa dan berbaring di tanah. Bunda Maria dengan
ketenangan yang luar biasa menerima nubuat bahwa Putranya harus
mati, dan ia senantiasa berserah diri dalam damai akan hal itu; tetapi
alangkah hebat dukacita yang harus terus-menerus dideritanya, melihat
Putranya yang menawan ini selalu ada di dekatnya, mendengar dari-Nya
sabda-sabda kehidupan kekal dan menyaksikan perilaku-Nya yang
kudus! Abraham berduka luar biasa selama tiga hari yang ia lewatkan
bersama puteranya, Ishak yang terkasih, setelah mengetahui bahwa ia
harus kehilangan puteranya itu. Ya Tuhan, bukan selama tiga hari,
melainkan tigapuluh tiga tahun lamanya Bunda Maria harus
menanggung dukacita serupa. Serupa, kataku? Tidak, melainkan jauh
lebih dahsyat, oleh sebab Putra Maria jauh lebih menawan daripada
putera Abraham. Bunda Maria sendiri menampakkan diri kepada St
Brigitta, mengatakan bahwa semasa di dunia, tak satu detik pun
terlewatkan tanpa dukacita ini mengiris jiwanya. “Seringkali,” kata
Bunda Maria, “saat aku memandangi Putraku, saat aku membedung-Nya
dalam kain lampin, saat aku mengamati tangan dan kaki-Nya, begitu
sering jiwaku larut, demikianlah, dalam dukacita yang pedih, karena
pemikiran bagaimana Ia akan disalibkan kelak.” Abbas Rupert
merenungkan Bunda Maria menyusui Putranya dan berkata tentang-Nya,
“Buah hatiku bagaikan sekantong mur bagiku; Ia akan tinggal di antara
buah dadaku.” Ah, Putraku, aku mendekap-Mu dalam pelukanku, sebab
Engkau-lah jantung hatiku; tetapi semakin Engkau kukasihi, semakin
Engkau menjadi sekantung mur dan dukacita bagiku apabila aku
memikirkan sengsara-Mu. “Bunda Maria,” kata St Bernardinus dari
Siena, “mencerminkan kekuatan para kudus yang diperas dalam
penderitaan; keindahan Firdaus yang hilang pesonanya; Tuhan atas
dunia yang diperlakukan sebagai penjahat; Pencipta segala sesuatu
yang hitam lebam karena pukulan dan deraan; Hakim atas semua yang
dijatuhi hukuman mati; Kemuliaan Surgawi yang dihinakan; Raja segala
raja yang dimahkotai duri dan diperlakukan sebagai raja olok-olok.”

Pastor Engelgrave menceritakan, dinyatakan kepada St Brigitta bahwa


Bunda yang berduka telah mengetahui Putranya harus menderita
sengsara, “saat menyusui-Nya, terbayanglah empedu dan cuka; saat
membedung-Nya, terbayanglah tali-tali yang akan membelenggu-Nya,
saat membuai-Nya dalam pelukan, terbayanglah salib di mana Ia akan
dipakukan; saat melihat-Nya tertidur lelap, terbayanglah kematian-Nya.”
Setiap kali mengenakan pakaian pada-Nya, terpikirlah oleh Bunda Maria
bahwa akan tiba harinya di mana pakaian akan ditanggalkan dari tubuh-
Nya, bahwa Ia akan disalibkan; dan apabila ia memandangi tangan dan
kaki-Nya yang kudus, ia membayangkan paku-paku yang suatu hari
nanti akan dipalukan menembusinya; dan, seperti yang dikatakan Bunda
Maria kepada St Brigitta, “mataku bersimbah airmata, dan hatiku didera
dukacita.”

Para penginjil menulis bahwa sementara Yesus Kristus bertambah


besar, Ia juga “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi
oleh Allah dan manusia.” Karena Yesus makin dikasihi manusia, betapa
terlebih lagi Ia makin dikasihi Bunda-Nya Maria! Tetapi, ya Tuhan,
sementara kasih bertambah dalam hatinya, betapa dukacita jauh lebih
bertambah karena bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang
keji; dan semakin dekat saat sengsara Putranya, semakin dalam pedang
dukacita, seperti yang dinubuatkan Nabi Simeon, menembus hati
Bunda-Nya. Hal ini secara tepat diungkapkan oleh malaikat kepada St
Brigitta, “Pedang dukacita itu setiap detik semakin mendekati Santa
Perawan sementara saat sengsara Putranya semakin dekat.”

Oleh sebab Yesus, Raja kita, dan Bunda-Nya yang Terkudus, tidak
menolak, demi kasih kepada kita, untuk menderita sengsara yang
demikian kejam sepanjang hidup mereka, maka pantaslah jika kita,
sekurang-kurangnya, tidak mengeluh jika harus menderita sesuatu.
Yesus yang tersalib, suatu ketika menampakkan diri kepada Sr
Magdalena Orsini, seorang biarawati Dominikan yang telah lama
menderita karena suatu pencobaan berat. Yesus memberinya semangat
untuk tetap, dengan sarana penderitaannya itu, bersama-Nya di salib. Sr
Magdalena menjawab dengan mengeluh, “Ya Tuhan, Engkau menderita
sengsara di atas salib hanya selama tiga jam saja, sementara aku
menanggung sengsaraku selama bertahun-tahun.” Sang Penebus
kemudian menjawab, “Ah, jiwa yang bodoh, apakah yang engkau
katakan? sejak saat pertama perkandungan-Ku, Aku menderita dalam
hati-Ku segala yang kelak Aku derita sementara Aku meregang nyawa di
atas salib.” Maka, jika kita juga menderita dan mengeluh, marilah kita
membayangkan Yesus dan Bunda-Nya Maria, sambil mengucapkan kata-
kata yang sama kepada diri kita sendiri.

TELADAN

Pastor Roviglione dari Serikat Yesus bercerita tentang seorang pemuda


yang memiliki devosi setiap hari mengunjungi patung Bunda Dukacita,
di mana Bunda Maria digambarkan dengan tujuh pedang menembusi
hatinya. Pemuda malang ini suatu malam melakukan dosa berat.
Keesokan harinya, saat mengunjungi Bunda Maria seperti biasanya, ia
memperhatikan bahwa bukan lagi tujuh, melainkan delapan pedang
yang menembusi hati Bunda Maria. Ia masih tercengang ketika
didengarnya suara yang mengatakan bahwa dosanya telah
menambahkan pedang kedelapan. Hal itu begitu menyentuh hatinya.
Diliputi sesal mendalam, ia segera mengakukan dosanya dan dengan
perantaraan Pembelanya ia dipulihkan kembali dalam keadaan rahmat.

DOA

Ya, Bunda Maria, bukan hanya sebilah pedang saja yang aku tikamkan
pada hatimu, melainkan aku menikamkannya sebanyak dosa-dosa yang
aku lakukan. Ah Bunda, bukan engkau yang tanpa dosa yang
seharusnya menanggung segala derita itu, melainkan aku, yang
bersalah atas begitu banyak dosa. Tetapi oleh karena engkau senantiasa
rela hati menderita begitu banyak demi aku, ya Bunda, demi jasa-
jasamu, perolehkanlah bagiku rahmat sesal mendalam atas dosa-
dosaku, dan ketekunan dalam menghadapi pencobaan-pencobaan
hidup. Rahmat-rahmat itu akan senantiasa menjadi terang bagi segala
kelemahan dan kekuranganku; oleh sebab aku seringkali lebih pantas
mendapatkan neraka. Amin.

sumber : "On the First Dolour, Of St. Simeon's Prophesy" by St. Alphonsus Liguori;
Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996;
www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Kedua

Melarikan Yesus ke Mesir


oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Bagaikan seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu
bersamanya kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak
panah yang telah melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah
nubuat memilukan Nabi Simeon, seperti yang telah kita renungkan
dalam dukacita pertama, Bunda Maria senantiasa membawa dukacita
sertanya oleh karena kenangan terus-menerus akan sengsara Putranya.
Hailgrino, menjelaskan baris bait ini, “Rambut di kepalamu, berwarna
ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna
ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan
sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari
luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya
Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara
Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau
sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan
demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria;
semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan
kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.

Sekarang marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang


melukai Maria dalam melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir.
Herodes, mendengar bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir,
dalam kebodohannya, ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya
dari kerajaan. St. Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan
mengatakan, “Mengapakah engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang
baru dilahirkan ini datang tidak untuk menaklukan raja-raja dengan
pedang, melainkan menaklukkan mereka secara mengagumkan dengan
wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar dari para Majus di mana
sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera mencabut nyawa-Nya. Sadar
bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar semua bayi yang didapati
di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh. Sementara itu, malaikat
menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah
Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” Menurut Gerson, St Yusuf
segera, pada malam itu juga, menyampaikan perintah ini kepada Maria;
dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai perjalanan mereka,
seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun
bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu
menyingkir ke Mesir.” “Ya Tuhan,” demikian kata Beato Albertus Agung
atas nama Maria, “Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang
untuk menyelamatkan manusia?” Maka tahulah Bunda yang berduka
bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi,
“Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang
menimbulkan perbantahan.” Menyadari bahwa segera sesudah
kelahiran-Nya Ia dikejar-kejar untuk dibunuh, tulis St Yohanes
Krisostomus, betapa isyarat pengungsian yang kejam atas dirinya dan
Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam hatinya, “Pergi dari
para sahabat kepada orang-orang asing, dari Bait Allah ke kuil-kuil
berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari penderitaan seorang
bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada ibunya, dan
ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi
bersamanya?”

Siapa pun dapat membayangkan bagaimana Bunda Maria menderita


dalam perjalanan ini. Jarak ke Mesir jauh. Sebagian besar penulis
sepakat jaraknya kira-kira 300 mil, suatu perjalanan mendaki selama
tigapuluh hari. Jalannya, menurut gambaran St Bonaventura, “tidak rata,
tak lazim dan jarang dilewati.” Waktu itu musim dingin, jadi mereka
harus berkelana dalam salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan yang
becek dan licin. Maria seorang gadis muda belia berusia sekitar
limabelas tahun yang lemah lembut, yang tak terbiasa dengan
perjalanan yang demikian. Tak ada seorang pun menolong mereka. St
Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf dan Maria tidak mempunyai
baik pelayan laki-laki maupun perempuan; mereka sendirilah sekaligus
majikan dan pelayan.” Ya Tuhan, pastilah sungguh menyentuh hati
melihat Perawan yang lemah lembut, dengan Bayi yang baru lahir dalam
pelukannya, berkeliaran di padang dunia! “Tetapi bagaimana,” tanya St
Bonaventura, “mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka
beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi mereka?
Adakah yang mereka makan selain dari sepotong roti keras, entah bekal
yang dibawa St Yusuf atau yang diterimanya sebagai sedekah? Di
manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian
(teristimewa 200 mil padang pasir, di mana tidak ada baik rumah
ataupun penginapan), selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan,
rentan terhadap cuaca dan bahaya penyamun serta binatang buas, yang
sangat banyak terdapat di Mesir. Ah, andai saja ada yang berjumpa
dengan tiga pribadi terbesar di dunia ini, yang sudi memberi tumpangan
kepada tiga pengelana miskin yang malang.”

Di Mesir, menurut Brocard dan Jansenius, mereka tinggal di daerah


yang disebut Maturea; meskipun St Anselmus berpendapat bahwa
mereka tinggal di kota Heliopolis, atau di Memphis, yang sekarang
disebut Kairo kuno. Sekarang, marilah kita merenungkan kemiskinan
sangat yang menurut St Antonius, St Thomas, serta yang lainnya,
pastilah mereka alami selama tujuh tahun mereka di sana. Mereka
adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun
sanak saudara, semata-mata bertahan hidup dari perjuangan mereka
yang gigih. “Karena mereka melarat,” kata St Basilus, “pastilah mereka
berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Landolph
dari Saxony lebih jauh menulis (dan biarlah hal ini menjadi penghiburan
bagi kaum miskin), bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang
sangat hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun
untuk diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”

Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat, malaikat


menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan memintanya
kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini
menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan
mengingat Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun,
demikian menurut orang kudus ini, di mana, “Ia terlalu besar untuk
digendong, tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa
pertolongan.”

Gambaran akan Yesus dan Maria yang berkelana sebagai pengembara di


dunia, mengajarkan kepada kita agar kita pun selayaknya hidup sebagai
pengembara di dunia ini, lepas dari keterikatan terhadap barang-barang
yang ditawarkan dunia; kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk
memasuki keabadian, “Yang kita punyai sekarang bukanlah kota abadi,
tetapi carilah kota abadi yang akan datang.” St Agustinus
menambahkan, “Kalian adalah pengembara; kalian singgah, dan
kemudian berlalu.” Hal ini juga mengajarkan kita untuk memeluk salib-
salib kita, sebab tanpa salib kita tak dapat hidup di dunia ini. Beata
Veronica da Binasco, seorang biarawati Agustinian, dibawa dalam roh
untuk menemani Bunda Maria dan Bayi Yesus dalam perjalanan mereka
ke Mesir; sesudahnya Bunda Allah mengatakan, “Puteriku, engkau telah
melihat betapa dengan susah payah kami mencapai negeri ini; sekarang
ketahuilah bahwa tak seorang pun menerima rahmat tanpa
penderitaan.” Siapa pun yang berharap untuk merasakan penderitaan
hidupnya lebih ringan, hendaknya menyertai Yesus dan Maria,
“Ambillah Anak serta Ibu-Nya.” Maka segala beban derita terasa ringan,
dan bahkan manis serta menyenangkan bagi dia, yang karena kasihnya
menempatkan Putra dan Bunda dalam hatinya. Maka, marilah kita
mengasihi Mereka; marilah kita menghibur Bunda Maria dengan
menyambut dalam hati kita Putranya, yang bahkan hingga kini masih
terus-menerus dianiaya oleh manusia dengan dosa-dosa mereka.

TELADAN

Santa Perawan suatu hari menampakkan diri kepada Beata Koleta,


seorang biarawati Fransiskan, serta memperlihatkan kepadanya Bayi
Yesus dalam sebuah buaian dalam keadaan terkoyak-koyak, dan
mengatakan, “Beginilah para pendosa terus-menerus memperlakukan
Putraku, memperbaharui kematian-Nya dan mengoyak hatiku dengan
dukacita. Puteriku, berdoalah bagi mereka agar mereka bertobat.”
Penampakan serupa dialami Venerabilis Joanna dari Yesus dan Maria,
seorang biarawati Fransiskan juga. Suatu hari ia sedang merenungkan
Bayi Yesus yang dianiaya Herodes ketika ia mendengar suara amat
ribut, seakan-akan prajurit-prajurit bersenjata sedang mengejar
seseorang; sekejap kemudian ia melihat di hadapannya seorang Anak
yang sungguh elok paras-Nya, yang berlari terengah-engah sambil
berseru, “O Joanna-Ku, tolonglah Aku, sembunyikanlah Aku! Aku Yesus
dari Nazaret; Aku melarikan diri dari para pendosa yang hendak
membunuh-Ku dan menganiaya-Ku seperti yang dilakukan Herodes.
Sudikah engkau menyelamatkan Aku?”

DOA

Ya Bunda Maria, bahkan setelah Putramu wafat di tangan orang-orang


yang menyiksa-Nya hingga tewas, orang-orang yang tak tahu berterima
kasih ini belum juga berhenti menganiaya-Nya dengan dosa-dosa
mereka dan terus-menerus mendukakan engkau, ya Bunda yang
berduka! Dan, ya Tuhan, aku juga salah seorang dari mereka. Ah,
Bundaku yang penuh kasih sayang, perolehkan bagiku airmata guna
menangisi sikap tak tahu terima kasihku. Demi sengsara yang engkau
derita selama perjalananmu ke Mesir, tolonglah aku dalam perjalanan
yang aku lalui sekarang ini menuju keabadian; dengan demikian pada
akhirnya aku akan dapat bersatu denganmu dalam mengasihi
Juruselamat-ku yang teraniaya dalam Kerajaan Terberkati. Amin.

sumber : "On the Second Dolour, Of the Flight of Jesus to Egypt" by St. Alphonsus
Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996;
www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Ketiga

Hilangnya Yesus di Bait Allah


oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Rasul St Yakobus mengatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai


dengan ketekunan. “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah
yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak
kekurangan suatu apapun.” Kristus memberikan Santa Perawan Maria
kepada kita sebagai teladan kesempurnaan, oleh sebab itu perlulah ia
ditempa derita agar dalam dia kita dapat mengagumi ketekunannya yang
gagah berani dan berusaha meneladaninya. Dukacita yang kita
renungkan sekarang ini adalah penderitaan terdahsyat yang harus
dialami Bunda Maria dalam hidupnya, kehilangan Putranya di Bait Allah.

Ia, yang terlahir buta, merasa menderita karena tak dapat melihat terang;
tetapi ia, yang dulu biasa menikmati terang dan sekarang tak lagi dapat
menikmatinya karena menjadi buta, merasa jauh lebih menderita.
Demikian juga halnya dengan jiwa-jiwa yang malang, yang dibutakan
oleh gemerlapnya dunia ini, hanya sedikit mengenal Tuhan, mereka
menderita, tetapi sedikit saja, saat tak dapat menemukan-Nya. Tetapi,
sebaliknya, ia yang diterangi oleh terang surgawi, telah menjadi layak
karena kasih untuk menikmati kehadiran mesra yang Maha Pengasih. Ya
Tuhan, betapa pahit dukacitanya apabila ia mendapati dirinya terpisah
daripada-Mu! Sekarang, mari kita lihat betapa pastilah Bunda Maria
menderita karena pedang dukacita ketiga yang menembus jiwanya, yaitu
saat kehilangan Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari
kehadiran-Nya yang amat mempesona, sementara ia biasa
menikmatinya.

St Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan
St Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah
pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun,
Bunda Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa
sepengetahuannya tinggal di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung
menyadari hal itu, ia beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang
lainnya. Setibanya di Nazaret, ia mencari Putranya, tetapi tidak
mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke Yerusalem untuk mencari-Nya,
dan setelah tiga hari barulah ia mendapatkan-Nya. Sekarang marilah kita
merenungkan betapa gelisah Bunda yang berduka ini selama tiga hari
sementara ia mencari-cari Putranya. Bersama pengantin dalam Kidung
Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah
besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga
menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai
saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?”
“Yesus-ku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan
untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa
jantung hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-
kata ini bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi
makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata
kepadaku: `Di mana Allahmu?'” Sebab itu, Pelbart, bukan tanpa alasan
mengatakan bahwa `pada malam-malam itu Bunda yang berduka tidak
dapat memejamkan mata; terus-menerus ia meneteskan airmata,
memohon dengan sangat kepada Tuhan agar Ia menolongnya
menemukan Putranya.” Seringkali, selama masa itu, menurut St
Bernardus, Bunda Maria memanggil Putranya dengan menggunakan
kata-kata pengantin dalam bait ini, “Tunjukkanlah kepadaku, jantung
hatiku, di mana engkau menggembalakan domba, di manakah engkau
pada petang hari, agar aku segera pergi mencari.” Putraku, katakan di
manakah Engkau berada, agar aku tak lagi berkeliling mencari Engkau
dengan sia-sia.

Sebagian orang menegaskan, dan bukan tanpa alasan, bahwa dukacita


ini bukan hanya salah satu yang terbesar, melainkan yang paling
dahsyat dan paling menyakitkan dari yang lainnya. Sebab, pertama,
Bunda Maria dalam dukacitanya yang lain, ada bersama Yesus: ia
berduka saat Nabi Simeon menyampaikan nubuat kepadanya di Bait
Allah; ia berduka dalam pengungsian ke Mesir, tetapi semuanya itu
dilaluinya bersama Yesus. Tetapi, dalam dukacitanya yang ini, Bunda
Maria berduka terpisah dari Yesus, bahkan tak tahu di mana Ia berada,
“cahaya matakupun lenyap dari padaku.” Sebab itu, sambil menangis ia
mengatakan, “Ah, cahaya mataku, Yesus terkasih, tidak lagi bersamaku;
Ia jauh dariku dan aku tidak tahu kemanakah gerangan Ia pergi.” Origen
mengatakan bahwa karena kasih sayang yang dilimpahkan Bunda
Tersuci ini kepada Putranya, “ia menderita jauh lebih hebat atas
kehilangan Putranya Yesus daripada yang pernah ditanggung para
kudus manapun dalam perpisahan jiwa dari raganya.” Ah, betapa
lamanya masa tiga hari itu bagi Maria; serasa tiga abad lamanya, dan
seluruhnya kepahitan belaka, oleh sebab tak ada yang mampu
menghiburnya. Dan siapakah yang dapat menghiburku, demikian
katanya bersama Nabi Yeremia, siapakah yang dapat menenangkan
hatiku, sebab Ia seorang, yang dapat melakukannya, berada jauh dariku
dan karenanya mataku tak akan pernah cukup mencucurkan air mata.
“Karena inilah aku menangis, mataku mencucurkan air; karena jauh dari
padaku penghibur yang dapat menyegarkan jiwaku.” Dan bersama Tobit
ia mengulang, “Adakah sukacita bagiku yang duduk dalam kegelapan
dan tidak melihat cahaya surgawi?”

Alasan kedua, Bunda Maria, dalam semua dukacitanya yang lain,


memahami benar bahwa alasannya adalah demi penebusan umat
manusia, yaitu kehendak Allah; tetapi dalam dukacitanya yang ini, ia
tidak memahami alasan hilangnya Putranya. “Bunda yang berduka,”
kata Lanspergius, “bersedih hati atas tiadanya Yesus, sebab dalam
kerendahan hatinya, ia menganggap dirinya tak pantas lagi untuk tetap
tinggal bersama ataupun merawat-Nya di dunia ini dan menerima
tanggung jawab atas harta pusaka yang luar biasa itu.” “Dan siapa
tahu,” demikian pikirnya dalam hati, “mungkin aku tidak melayani-Nya
seperti yang seharusnya; mungkin aku bersalah karena lalai, sebab itu
Ia meninggalkanku.” “Mereka mencari-Nya,” kata Origen, “kalau-kalau
sekiranya Ia telah meninggalkan mereka sama sekali.” Suatu hal yang
pasti bahwa bagi jiwa yang mengasihi Tuhan, tak ada kesedihan yang
lebih besar daripada takut mengecewakan-Nya.

Sebab itu, hanya dalam dukacita ini saja Bunda Maria mengeluh; secara
halus ditegurnya Yesus setelah ia menemukan-Nya, “Nak, mengapakah
Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan
cemas mencari Engkau.” Dengan kata-katanya ini Bunda Maria tidak
bermaksud mencela Yesus, seperti dituduhkan oleh mereka yang sesat,
melainkan hanya bermaksud mengungkapkan kepada-Nya kesedihan,
karena kasihnya yang mendalam kepada-Nya, yang ia alami selama
ketidakhadiran-Nya. “Bukan suatu celaan,” kata Denis Carthusian,
“melainkan suatu protes kasih.” Singkat kata, pedang dukacita ini
begitu kejam menembus hati Santa Perawan Tersuci. Beata Benvenuta,
rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan Bunda Tersuci dalam
dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar kerinduannya
dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan Bayi
Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati
kehadiran Kanak-kanak yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia
dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia
mohon pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya,
agar dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari
kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan,
“Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari
yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku.”

Dukacita Bunda Maria ini, pertama-tama, berguna sebagai penghiburan


bagi jiwa-jiwa yang menderita, dan tak lagi menikmati, seperti dulu
mereka menikmati, kehadiran mesra Tuhan mereka. Jiwa-jiwa demikian
boleh menangis, tetapi sepantasnya mereka menangis dalam damai,
seperti Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya; dan biarlah
jiwa-jiwa itu menimba keberanian, dan bukannya takut bahwa Allah tak
berkenan lagi kepada mereka; sebab Tuhan sendiri telah menegaskan
keada St Teresa bahwa “tak seorang pun sesat tanpa mengetahuinya;
dan tak seorang pun diperdaya tanpa ia sendiri menghendakinya.”
Karenanya, jika Tuhan menarik diri dari suatu jiwa yang mengasihi-Nya,
Ia tidak sungguh-sunggh meninggalkan jiwa; Tuhan seringkali
menyembunyikam Diri dari suatu jiwa agar jiwa mencari-Nya dengan
kerinduan yang lebih berkobar dan dengan cinta yang lebih bernyala-
nyala. Tetapi, barangsiapa rindu bertemu Yesus, ia harus mencari-Nya,
bukan di antara segala kenikmatan dan kesenangan duniawi, melainkan
di antara salib-salib dan penyangkalan diri, seperti Bunda Maria
mencari-Nya, “aku dengan cemas mencari Engkau,” demikian kata
Bunda Maria kepada Putranya. “Jadi, aku belajar dari Maria,” kata
Origen, “dalam mencari Yesus.”

Lagipula, di dunia ini Bunda Maria tidak mencari yang lain selain Yesus.
Ayub tidak mengutuk ketika ia kehilangan segala miliknya di dunia:
kekayaan, anak-anak, kesehatan, kehormatan, dan bahkan diturunkan
dari tahta ke atas abu; tetapi karena Tuhan bersamanya, ia tetap
menerima keadaannya. St Agustinus menyatakan, “ia telah kehilangan
segala apa yang Tuhan berikan kepadanya, tetapi ia masih memiliki
Tuhan Sendiri.” Betapa menyedihkan dan menderitanya jiwa-jiwa yang
kehilangan Tuhan. Jika Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya
selama tiga hari, betapa terlebih lagi selayaknya para pendosa
menangis, mereka yang telah kehilangan rahmat Allah, dan kepadanya
Tuhan mengatakan, “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah
Allahmu.” Inilah akibat dosa; dosa memisahkan jiwa dari Tuhan, “yang
merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala
kejahatanmu.” Jadi, jika orang-orang berdosa memiliki segala kekayaan
dunia, tetapi kehilangan Tuhan, maka segalanya, bahkan yang ada di
dunia ini, menjadi sia-sia dan menjadi sumber penderitaan mereka,
seperti diakui Salomo, “lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan
usaha menjaring angin.” Tetapi kemalangan terbesar dari jiwa-jiwa yang
buta ini adalah, demikian menurut St Agustinus, “apabila mereka
kehilangan kapak, pastilah mereka pergi mencarinya; apabila mereka
kehiangan domba, pastilah mereka berusaha keras mencarinya; apabila
mereka kehilangan binatang beban, mereka tak dapat beristirahat; tetapi
ketika mereka kehilangan Tuhan mereka, yang adalah Yang Mahabaik,
mereka makan, minum dan beristirahat.”

TELADAN

Dalam Surat-surat Tahunan Serikat Yesus dikisahkan bahwa di India,


seorang pemuda meninggalkan kamarnya dengan maksud untuk
berbuat dosa, ketika didengarnya suatu suara yang mengatakan,
“Berhentilah! kemanakah engkau hendak pergi?” Ia melihat sekeliling
dan tampaklah olehnya suatu gambar relief yang melukiskan Bunda
Dukacita, sedang mengulurkan pedang yang ada di dadanya, katanya,
“Ambillah pedang ini, lebih baiklah engkau menusukkannya ke hatiku
daripada melukai Putraku dengan berbuat dosa yang demikian.”
Mendengar kata-kata ini, pemuda itu merebahkan diri ke tanah, meledak
dalam tangis, penuh sesal mohon pengampunan dari Tuhan dan Bunda
Maria.

DOA

Ya Bunda Maria, mengapakah engkau menyiksa dirimu sendiri saat


mencari Putramu yang hilang? Adakah karena engkau tidak tahu di
mana Ia berada? Tidak tahukah engkau bahwa Ia ada dalam hatimu?
Tidak tahukah engkau bahwa Ia menggembala di tengah-tengah bunga
bakung? Engkau sendiri mengatakannya, “Kekasihku kepunyaanku,
dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah
bunga bakung.” Segenap pikiran dan kasih sayangmu, yang bersahaja,
murni dan suci, adalah bunga-bunga bakung yang mengundang
Mempelai Ilahi untuk tinggal dalam engkau. Ah, Bunda Maria, adakah
engkau berkeluh-kesah karena Yesus, satu-satunya jantung hatimu?
Berikanlah keluh-kesahmu kepadaku, dan kepada begitu banyak orang
berdosa yang tidak mengasihi-Nya, dan yang telah kehilangan Dia
karena menghina-Nya. Bundaku yang paling menawan, jika karena dosa-
dosaku Putramu belum kembali pada jiwaku, sudilah engkau
membantuku agar aku dapat menemukan-Nya. Aku yakin bahwa Ia akan
ditemukan oleh mereka yang mencari-Nya, “TUHAN adalah baik bagi
jiwa yang mencari Dia” Tetapi, ya Bunda, bantulah aku mencari-Nya
seperti yang seharusnya. Engkaulah pintu masuk di mana semua orang
dapat menemukan Yesus; melalui engkau, aku juga berharap dapat
menemukan Dia. Amin.

sumber : "On the Third Dolour, Of the Loss of Jesus in the Temple" by St. Alphonsus
Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - March 3, 1996;
www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Keempat

Perjumpaan Bunda Maria


dengan Yesus
saat Ia Menjalani Hukuman
Mati
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
St Bernardinus mengatakan, agar dapat memperoleh gambaran betapa
dahsyat dukacita Maria atas wafat Yesus, patutlah kita merenungkan
betapa besar kasih sayang Bunda Maria yang dilimpahkannya kepada
Putranya. Semua ibu merasakan penderitaan anak-anak mereka sebagai
penderitaan mereka sendiri. Sebab itu, ketika wanita Kanaan memohon
kepada Juruselamat kita agar membebaskan puterinya dari setan yang
menyiksanya, ia mohon pada-Nya untuk berbelas kasihan kepadanya,
sang ibu, daripada puterinya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud,
karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.”
Tetapi, adakah ibu yang mengasihi anaknya lebih dari Bunda Maria
mengasihi Yesus? Ia adalah Putra tunggalnya, dibesarkan di tengah
begitu banyak kesulitan hidup; seorang Putra yang paling menawan,
dan mengasihi Bunda-Nya dengan kasih mesra; Putra, yang bukan saja
Putranya, melainkan juga Tuhannya, yang telah datang ke dunia guna
menyalakan dalam hati semua orang api kasih ilahi, seperti yang Ia
Sendiri nyatakan, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan
betapakah Aku harapkan api itu telah menyala!” Marilah kita
membayangkan betapa api telah Ia nyalakan dalam hati murni Bunda-
Nya yang Tersuci, api kasih yang tidak seperti dari dunia ini. Bunda
Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, kasih itu telah membuat
hatinya dan hati Putranya menjadi satu. Leburnya antara Hamba dan
Bunda, dengan Putra dan Allah, menciptakan dalam hati Maria api yang
terdiri dari ribuan nyala api. Namun demikian, keseluruhan nyala api
kasih ini kelak, pada saat sengsara, berubah menjadi lautan dukacita,
seperti dinyatakan St Bernardinus, “andaikata segala derita sengsara di
seluruh dunia dijadikan satu, masih tidak akan sebanding dengan
dukacita Perawan Maria yang mulia.” Ya, sebab, seperti ditulis Richard
dari St Laurentius, “semakin lemah lembut Bunda Maria mengasihi,
semakin dalamlah ia terluka.” Semakin besar kasihnya kepada-Nya,
semakin besar dukacitanya saat sengsara-Nya; teristimewa saat Ia
berjumpa dengan Putranya, yang telah dijatuhi hukuman mati,
memanggul salib-Nya ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Inilah
pedang dukacita keempat yang kita renungkan pada hari ini.

Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa ketika saat


sengsara Kristus semakin dekat, matanya senantiasa bersimbah
airmata, sementara pikirannya tak lepas dari Putranya terkasih, yang
akan terpisah darinya di dunia ini, dan bayangan akan sengsara yang
segera tiba menyebabkannya diliputi ketakutan, keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Lihat, waktu yang ditetapkan sejak lama
telah tiba, dan Yesus, dengan meneteskan airmata, mohon pamit dari
Bunda-Nya sebelum Ia menyongsong maut. St Bonaventura,
merenungkan Bunda Maria pada malam itu, mengatakan, “Engkau
melewatkan malam-malam tanpa terlelap, dan sementara yang lain
tertidur pulas, engkau tetap terjaga.” Pagi harinya, para murid Yesus
Kristus datang kepada Bunda yang berduka, seorang memberitakan
kabar, yang lain membawa kabar yang lain pula; namun semuanya kabar
dukacita, membuktikan digenapinya nubuat Yeremia atasnya, “Pada
malam hari tersedu-sedu ia menangis, airmatanya bercucuran di pipi;
dari semua kekasihnya, tak ada seorang pun yang menghibur dia.”
Sebagian menceritakan kepadanya perlakuan keji terhadap Putranya di
rumah Kayafas; yang lain, penghinaan yang Ia terima dari Herodes.
Pada akhirnya - aku menghilangkan yang lainnya - St Yohanes datang
dan mengabarkan kepada Bunda Maria bahwa Pilatus yang sangat tidak
adil telah menjatuhkan hukuman mati disalib atas-Nya. Aku katakan
Pilatus yang sangat tidak adil; sebab seperti perkataan St Leo, “Hakim
yang tidak adil ini menjatuhkan hukuman mati atas-Nya dengan bibir
yang sama yang memaklumkan bahwa Ia tidak bersalah.” “Ah, Bunda
yang berduka,” kata St Yohanes, “Putramu telah dijatuhi hukuman mati,
Ia telah pergi, memanggul salib-Nya sendiri ke Kalvari,” seperti yang
kemudian dikisahkan orang kudus ini dalam Injilnya, “Sambil memikul
salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak,
dalam bahasa Ibrani: Golgota.” “Marilah, jika engkau berharap berjumpa
dengan-Nya di tengah jalan yang akan dilewati-Nya, dan menyampaikan
selamat tinggal.”

Bunda Maria pergi bersama St Yohanes, dan dari darah yang tercecer di
tanah, ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda
Maria kepada St Brigitta, “Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia
telah lewat. Sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-
Nya.” St Bonaventura menggambarkan Bunda yang berduka mengambil
jalan pintas, menanti di sudut jalan agar dapat berjumpa dengan
Putranya yang sengsara saat Ia lewat. “Bunda yang paling berduka,”
kata St Bernardus, “berjuma dengan Putranya yang paling sengsara.”
Sementara Bunda Maria menanti di sudut jalan, betapa banyak ia
mendengar apa yang dikatakan orang-orang Yahudi, yang segera
mengenalinya, segala kata yang menyudutkan Putranya terkasih, dan
mungkin bahkan kata-kata yang mencela dirinya juga.

Sungguh malang, betapa adegan duka hadir di hadapannya! paku-paku,


palu, tali, alat-alat yang mendatangkan maut bagi Putranya, semuanya di
bawa mendahului-Nya. Dan betapa suara terompet yang memaklumkan
hukuman mati bagi Putranya itu menyayat hatinya! Tetapi lihatlah,
segala alat-alat hukuman mati, peniup terompet, dan para algojo,
semuanya telah berlalu; ia mengangkat matanya dan melihat, ya Tuhan!
seorang pemuda penuh berlumuran darah dan luka-luka dari ujung
kepala hingga ujung kaki, sebuah mahkota duri di sekeliling kepala-Nya,
dan dua palang berat di pundak-Nya. Ia memandang pada-Nya, hampir-
hampir tak mengenali-Nya, dan berkata bersama Yesaya, “dan
semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.” Ya, sebab
luka-luka, bilur-bilur dan gumpalan-gumpalan darah membuat-Nya
tampak seperti seorang kusta: “kita mengira dia kena tulah” sehingga
kita tak mengenali-Nya lagi, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup
mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.”
Tetapi, kuasa cinta menyatakan-Nya kepadanya, dan segera setelah ia
menyadari bahwa pemuda itu sungguh Putranya, ah betapa cinta dan
ngeri menguasai hatinya! demikian dikatakan St Petrus dari Alcantara
dalam meditasinya. Di satu pihak, Bunda Maria berhasrat memandang-
Nya, namun, di pihak lain ia takut tak dapat menahan hatinya melihat
pemandangan yang menyayat hati itu. Pada akhirnya, mereka saling
memandang. Sang Putra menyeka gumpalan darah dari mata-Nya,
seperti dinyatakan kepada St Brigitta, yang menghalangi penglihatan-
Nya, dan memandang Bunda-Nya, dan Sang Ibunda memandang
Putranya. Ah, lihatlah betapa dukacita yang pahit, bagaikan begitu
banyak anak panah menancap serta menembusi kedua jiwa kudus yang
penuh kasih itu. Ketika Margareta, puteri St. Thomas More berjumpa
dengan ayahnya dalam perjalanan eksekusinya, ia hanya dapat berseru,
“O ayah! Ayah!” dan jatuh pingsan di depan kaki ayahnya. Bunda Maria,
berjumpa dengan Putranya dalam perjalanan-Nya ke Kalvari, tidak
pingsan, tidak, seperti dikatakan Pastor Suarez, bahwa mestinya Bunda
ini telah kehilangn akal; atau pun tewas. Namun demikian Tuhan
melindunginya guna menanggung dukacita yang lebih dahsyat;
walaupun ia tidak mati, dukacitanya cukup menyebabkannya mati seribu
kali.

“Sang Bunda berhasrat memeluk Putranya,” demikian kata St Anselmus,


“tetapi para prajurit mendorongnya ke samping dengan kejam dan
memaksa Kristus yang menderita melangkah maju; dan Bunda Maria
mengikuti-Nya. Ah, Santa Perawan, ke manakah gerangan engkau
hendak pergi? Ke Kalvari. Yakinkah engkau bahwa engkau sanggup
memandang Dia, yang adalah hidupmu sendiri, tergantung di salib?”
Dan hidupmu akan tergantung di hadapanmu. “Ah, berhentilah Bunda-
Ku,” kata St Laurentius Giustiniani atas nama sang Putra, “Ke manakah
engkau hendak pergi? Dari manakah engkau datang? Jika engkau pergi
ke mana Aku pergi, engkau akan tersiksa karena sengsara-Ku, dan Aku
karena sengsaramu.” Namun, meskipun menyaksikan Putranya Yesus
yang meregang nyawa akan mengakibatkan dukacita yang dahsyat,
Bunda Maria yang penuh kasih tak mau meninggalkan-Nya: sang Putra
melangkah maju, sementara Bunda mengikuti, agar juga dapat
disalibkan bersama Putranya, seperti dikatakan Abbas William, “sang
Bunda juga memikul salibnya dan mengikuti Dia untuk disalibkan
bersama-Nya.” “Kita bahkan menaruh belas kasihan kepada binatang-
binatang liar,” tulis St Yohanes Krisostomus, “melihat seekor induk
singa menyaksikan anaknya mati, bukankah kita akan tergerak oleh
belas kasihan? Tidakkah kita juga tergerak oleh belas kasihan melihat
Bunda Maria mengikuti Anak Dombanya yang tak bercela ke tempat
pembantaian? Jadi, marilah kita menaruh belas kasihan kepadanya, dan
marilah kita juga menemaninya dan menemani Putranya, dengan
memikul dengan tekun salib yang Kristus anugerahkan kepada kita. St
Yohanes Krisostomus bertanya, mengapa Yesus Kristus, dalam
sengsara-Nya yang lain, lebih suka menanggung sengsara-Nya sendiri,
tetapi, dalam memikul salib-Nya Ia membiarkan diri dibantu oleh
seorang Kirene? Ia menjawab, “hendaknya kamu mengerti bahwa salib
Kristus tidak lengkap tanpamu.”

TELADAN

Juruselamat kita suatu hari menampakkan diri kepada Sr Diomira,


seorang biarawati di Florence, dan mengatakan, “Pikirkanlah Aku dan
kasihilah Aku, maka Aku akan memikirkan engkau dan mengasihi
engkau.” Pada saat yang sama Kristus memberinya seikat bunga dan
sebuah salib, dengan cara demikian menyatakan bahwa penghiburan
bagi para kudus di dunia ini senantiasa disertai dengan salib. Salib
mempersatukan jiwa dengan Tuhan. Beato Hieronimus Emilian, saat
masih menjadi seorang tentara dan penuh dosa, dikurung oleh para
musuhnya dalam sebuah benteng. Di sana, terdorong oleh
kemalangannya, dan memperoleh pencerahan dari Tuhan untuk
mengubah hidupnya, ia mohon pertolongan Santa Perawan, dan sejak
saat itu, dengan pertolongan Bunda Allah, ia mulai hidup sebagai
seorang kudus, begitu saleh hidupnya hingga suatu hari ia beroleh
karunia melihat tempat sangat tinggi yang telah Tuhan persiapkan
baginya di surga. Ia menjadi pendiri ordo religius Somaschi, wafat
sebagai seorang kudus, dan baru-baru ini telah dikanonisasi oleh Gereja
yang kudus.

DOA

Bundaku yang berduka, demi dukacita luar biasa yang engkau derita
saat menyaksikan Putramu Yesus yang terkasih digiring menuju
pembantaian, perolehkanlah bagiku rahmat agar aku juga senantiasa
tekun dalam memikul salib-salib yang Tuhan anugerahkan kepadaku.
Alangkah bahagianya aku, seandainya aku tahu bagaimana
menyertaimu dengan salibku hingga ajal. Engkau bersama Putramu
Yesus - kalian berdua yang sama sekali tak berdosa - telah memikul
salib yang jauh lebih berat; layakkah aku, seorang pendosa, yang
pantas mendapatkan neraka, menolak memikul salibku? Ah, Santa
Perawan yang Dikandung Tanpa Dosa, darimu aku berharap
memperoleh pertolongan dalam memikul semua salibku dengan tekun.
Amin.

sumber : "On the Fourth Dolour On the Meeting of Mary with Jesus, when He was
Going to Death" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information
Network (CIN) - March 20, 1996; www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Kelima

Yesus Wafat
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Sekarang kita merenungkan kemartiran Bunda Maria yang lain - seorang


ibunda yang diharuskan melihat Putranya yang tak berdosa, dan yang ia
cintai dengan segenap kasih sayang jiwanya, disiksa dengan keji dan
dijatuhi hukuman mati di depan matanya, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-
Nya.” St Yohanes yakin bahwa dengan kata-kata tersebut ia telah cukup
mengungkapkan kemartiran Maria. Marilah merenungkan Bunda Maria
yang berada di kaki salib, menemani Putranya yang meregang nyawa,
dan lihatlah, adakah dukacita seperti dukacitanya. Marilah pada hari ini
kita tinggal sejenak di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita
kelima, yang saat wafat Yesus, menembus hati Maria.

Segera setelah Penebus kita yang sengsara tiba di Bukit Kalvari, para
algojo menanggalkan pakaian-Nya, dan menembusi tangan-tangan serta
kaki-kaki-Nya dengan “bukan paku-paku yang tajam, melainkan paku-
paku yang tumpul,” seperti dikatakan St Bernardus, agar lebih
menyiksa-Nya, mereka memaku-Nya pada kayu salib. Sesudah
menyalibkan-Nya, mereka memancangkan salib lalu membiarkan-Nya
mati. Para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan
Maria. Ia kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di
saat ajal, “Aku tidak meninggalkan-Nya,” demikian Santa Perawan
mengatakan kepada St Brigitta, “melainkan tinggal dekat kaki salib-
Nya.” “Tetapi, apakah gunanya bagimu, ya Bunda,” kata St Bonaventura,
“pergi ke Kalvari dan menyaksikan Putramu wafat? Tidakkah rasa malu
mencegah engkau pergi, sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkau
adalah Bunda-Nya. Setidak-tidaknya rasa ngeri yang mencekam
menyaksikan kejahatan yang sedemikian, penyaliban Tuhan oleh
makhluk ciptaan-Nya sendiri, mencegah engkau pergi ke sana.” Tetapi,
santo yang sama menjawab, “Ah, hatimu tidak memikirkan dukacitanya
sendiri, melainkan sengsara dan wafat Putramu terkasih,” dan oleh
sebab itulah engkau lebih suka hadir, setidaknya untuk berbelas kasihan
kepada-Nya. “Ah, Bunda yang sejati,” kata Abbas William, “Bunda yang
paling penuh cinta kasih, yang bahkan ngeri kematian tak dapat
memisahkanmu dari Putramu terkasih.” Tetapi, ya Tuhan, betapa suatu
pemandangan yang memilukan melihat Putra menanggung sengsara di
atas salib sementara di kaki salib Bunda yang berduka menanggung
segala siksa aniaya yang diderita Putranya! Dengarlah kata-kata yang
diungkapkan Bunda Maria kepada St Brigitta mengenai dukacita luar
biasa saat menyaksikan Putranya meregang nyawa di salib, “Yesusku
terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam
sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah
tertutup dan tak bercahaya; bibir-nya bengkak dan mulut-Nya
ternganga; pipinya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut
wajah-Nya sengsara: kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam
oleh darah, lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya
kaku, sekujur tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah.”

Segala sengsara Yesus ini adalah juga sengsara Maria, “setiap aniaya
yang diderita tubuh Yesus,” kata St Hieronimus, “adalah luka di hati
Bunda Maria.” “Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu,” kata St
Yohanes Krisostomus, “akan melihat dua altar di mana dua kurban
agung dipersembahkan; yang satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya
adalah hati Maria.” Tidak, lebih tepat jika kita mengatakannya bersama
St Bonaventura, “hanya ada satu altar - yaitu salib Putra, di mana,
bersama dengan kurban Anak Domba Allah ini, sang Bunda juga
dikurbankan.” Sebab itu, St Bonaventura bertanya kepada sang Bunda,
“Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di kaki salib? Tidak,
melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan, mengurbankan diri
bersama Putramu.” St Agustinus menegaskan hal yang sama, “Salib
dan paku-paku sang Putra adalah juga salib dan paku-paku Bunda-Nya;
bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga Bunda-Nya.” Ya, seperti
dikatakan St Bernardus, “Kasih mengakibatkan dalam hati Maria siksa
aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang ditembuskan pada tubuh
Yesus.” Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St Bernardus, “Pada saat
yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda mengurbankan jiwa-
Nya.”

Para ibu pada umumnya tidak tahan dan menghindarkan diri dari
menyaksikan anak-anak mereka mengalami sakrat maut, tetapi apabila
seorang ibu harus menghadapi kenyataan yang demikian, ia akan
mengusahakan segala daya upaya untuk meringankan penderitaan
anaknya; ia merapikan tempat tidurnya agar anaknya merasa lebih
nyaman, ia melayani segala kebutuhan anaknya, dengan demikian ibu
yang malang itu meringankan penderitanya sendiri. Ah, Bunda yang
paling berduka dari segala ibu! Ya Maria, engkau harus menyaksikan
sengsara Putramu Yesus yang sedang meregang nyawa; tetapi engkau
tak dapat melakukan sesuatu pun guna meringankan penderitaan-Nya.
Bunda Maria mendengar Putranya berseru, “Aku haus!” tetapi ia bahkan
tak dapat memberikan setetes air pun untuk melegakan dahaga-Nya
yang sangat. Ia hanya dapat mengatakan, seperti dikatakan St
Vincentius Ferrer, “Nak, ibu-Mu hanya punya airmata.” Ia melihat bahwa
di atas pembaringan salib, Putranya, yang digantung dengan tiga paku,
tak dapat beristirahat dengan tenang; betapa ingin ia merengkuh-Nya
dalam pelukannya guna meringankan penderitaan-Nya, atau setidak-
tidaknya Ia boleh menghembuskan napas terakhir-Nya dalam
pelukannya, tetapi hal itu tak dapat dilakukannya. “Dengan sia-sia,” kata
St Bernardus, “ia merentangkan kedua tangannya, tetapi tangan-tangan
itu kembali ke dadanya dengan kosong.” Ia menyaksikan Putranya yang
malang, yang dalam lautan sengsara-Nya mencari penghiburan, tetapi
sia-sia, seperti dinubuatkan nabi, “Aku seorang dirilah yang melakukan
pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang menemani Aku!”
Tetapi, siapakah di antara manusia yang mau menghibur-Nya, karena
mereka semua memusuhi-Nya? Bahkan di atas salib Ia dicela dan
dihujat oleh orang-orang di sekitarnya, “orang-orang yang lewat di sana
menghujat Dia …sambil menggelengkan kepala.” Sebagian berkata
kepada-Nya, “Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Yang
lain berkata, “Orang lain ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak
dapat Ia selamatkan!” Lagi, “Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib
itu.” Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, “Aku
mendengar sebagian orang mengatakan bahwa Putraku seorang
penjahat; sebagian lagi mengatakan bahwa Ia seorang penipu; yang
lainnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih pantas dijatuhi hukuman
mati selain daripada Dia; dan setiap kata yang mereka lontarkan
merupakan pedang-pedang dukacita baru yang menembusi hatiku.”

Tetapi, yang paling menambah beban duka yang diderita Bunda Maria
melalui belas kasihannya terhadap Putranya adalah ketika ia
mendengar-Nya mengeluh dari atas salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang
Kekal telah meninggalkan-Nya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?” Kata-kata ini, seperti diungkapkan Bunda Allah
kepada St Brigitta, tak pernah dapat, sepanjang hidupnya, lepas dari
ingatannya. Jadi, Bunda yang berduka menyaksikan Putranya Yesus
menanggung sengsara dari berbagai pihak; ia berhasrat menghiburnya,
tetapi tak dapat. Dan yang paling mendukakan hatinya ialah menyadari
bahwa dirinya sendiri, kehadiran dan dukacitanya, menambah sengsara
Putranya. “Dukacita,” kata St Bernardus, “yang memenuhi hati Maria,
bagaikan air bah membanjiri serta melukai hati Yesus.” “Begitu
hebatnya,” menurut santo yang sama, “hingga Yesus di atas salib lebih
menderita karena belas kasihan-Nya terhadap Bunda-Nya daripada
karena sengsara-Nya sendiri.” Kemudian ia berbicara atas nama Bunda
Maria, “Aku berdiri dengan mataku terpaku pada-Nya, dan mata-Nya
padaku, dan Ia lebih menderita karena aku daripada karena Diri-Nya
Sendiri.” Lalu, berbicara mengenai Bunda Maria yang berada di samping
Putranya yang meregang nyawa, ia mengatakan, “ia hidup dalam
kematian tanpa dapat mati.” “Di kaki salib Kristus, Bunda-Nya berdiri
separuh mati; ia tak berbicara, mati sementara ia hidup, dan hidup
sementara ia mati; ia tak dapat mati, sebab kematian adalah hidupnya
yang sesungguhnya.” Passino menulis bahwa Yesus Kristus Sendiri
suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino,
meyakinkannya bahwa saat di atas salib, begitu hebat dukacitanya
melihat Bunda-Nya berdiri di kaki salib dalam dukacita yang luar biasa,
hingga belas kasihan-Nya terhadapnya menyebabkan Ia wafat tanpa
penghiburan; begitu dahsyat dukacita itu hingga Beata Baptista, yang
dianugerahi pencerahan ilahi, merasakan luar biasanya sengsara Yesus
ini, berseru, “Ya Tuhan, jangan ceritakan lagi sengsara-Mu ini, sebab
aku tak mampu lagi menanggungnya.”

“Semua orang,” kata Simon dari Cassia, “yang saat itu menyaksikan
Bunda Maria diam seribu bahasa, tanpa sepatah kata pun keluhan, di
tengah dukacita yang begitu hebat itu, merasa tercengang.” Tetapi, jika
bibirnya tenang, tidak demikian halnya dengan hatinya, sebab tak henti-
hentinya Bunda Maria mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada
Keadilan Ilahi demi keselamatan umat manusia. Oleh sebab itu, kita tahu
bahwa dengan jasa-jasa dukacitanya, Bunda Maria bekerjasama dengan
Allah dalam melahirkan kita ke dalam kehidupan rahmat, dan dengan
demikian kita adalah anak-anak dari dukacitanya.

“Kristus,” kata Lanspergius, “bersuka hati bahwa ia, rekan dalam


penebusan kita, dan yang telah Ia tetapkan untuk diberikan-Nya kepada
kita sebagai Bunda kita, hadir di sana; sebab di kaki saliblah ia
ditetapkan untuk melahirkan kita, anak-anaknya.” Jika ada setitik
penghiburan yang mampu menembus lautan dukacita dalam hati Bunda
Maria, satu-satunya penghiburan itu ialah bahwa ia mengetahui, dengan
dukacitanya ia menghantar kita pada keselamatan abadi, seperti yang
dinyatakan Yesus Sendiri kepada St Brigitta, “Bunda-Ku Maria, oleh
karena belas kasihan dan kasih sayangnya, diangkat menjadi Bunda
Seluruh Langit dan Bumi.” Dan sungguh, inilah kata-kata terakhir yang
diucapkan Yesus sebagai salam perpisahan kepada Bunda-Nya sebelum
Ia wafat: inilah pesan terakhir-Nya, mempercayakan kita semua
kepadanya sebagai anak-anaknya melalui sosok St Yohanes, “Ibu, inilah
anakmu!” Sejak saat itu Bunda Maria memulai perannya sebagai Bunda
bagi kita; St Petrus Damianus menegaskan, “melalui doa-doa Maria,
yang berdiri di kaki salib antara penyamun yang baik dan Putranya,
penyamun itu dipertobatkan dan diselamatkan, dan dengan demikian ia
membalas kebaikannya di masa lampau.” Sebab, seperti dikisahkan
para penulis lainnya juga, penyamun ini telah bermurah hati kepada
Yesus dan Bunda Maria dalam pengungsian mereka ke Mesir. Peran
yang sama dari Santa Perawan terus berlanjut, dan masih berlanjut,
untuk selamanya.

TELADAN

Seorang pemuda di Perugia berjanji kepada iblis, jika iblis membuatnya


mampu mendapatkan obyek dosa yang ia dambakan, ia akan
mempersembahkan jiwanya; ia menyerahkan perjanjian tertulis kepada
iblis yang ditandatangani dengan darahnya. Setelah kejahatan
dilakukan, iblis menuntut dipenuhinya janji sang pemuda. Untuk itu,
iblis menggiringnya ke tepi sungai yang dalam dan mengancam jika ia
tidak menceburkan diri ke dalamnya, iblis akan menyeretnya, tubuh dan
jiwa, ke dalam neraka. Pemuda malang ini, berpikir bahwa tidaklah
mungkin meloloskan diri dari tangan iblis, naik ke sebuah jembatan
kecil di mana ia dapat meloncat; gemetar akan bayangan kematian, ia
mengatakan kepada iblis bahwa ia tidak memiliki keberanian untuk
meloncat; jika iblis menuntut kematiannya, iblislah yang harus
mendorongnya. Pemuda ini mengenakan skapulir SP Maria Berdukacita,
sebab itu iblis berkata, “Lepaskan skapulir itu, maka aku akan
mendorongmu.” Sang pemuda, menyadari bahwa melalui skapulirnya
Bunda Allah masih berkenan memberinya perlindungan, menolak
melakukannya. Pada akhirnya, setelah pertengkaran sengit, iblis dengan
putus asa pergi; dan si pendosa, penuh rasa syukur kepada Bunda
Dukacita, pergi untuk berterima kasih kepadanya dan mengakukan
dosa-dosanya. Sesuai nazarnya, sang pemuda mempersembahkan bagi
Santa Perawan, di gereja Santa Maria la Nuova di Perugia, sebuah
lukisan yang menggambarkan apa yang telah terjadi.

DOA

Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah wafat;
Putra yang begitu menawan dan yang begitu mengasihi engkau!
Menangislah, sebab engkau punya alasan untuk mengangis. Siapakah
gerangan yang mampu menghibur engkau? Hanya pikiran bahwa Yesus
dengan wafat-Nya menaklukkan neraka, membuka pintu gerbang surga
yang hingga saat itu tertutup bagi manusia, dan memenangkan banyak
jiwa-jiwa, yang mampu menghibur engkau. Dari atas tahta salib, Ia akan
berkuasa dalam begitu banyak hati, yang, takluk pada kasih-Nya, akan
mengabdi-Nya dengan sepenuh hati. Sementara itu, ya Bundaku,
janganlah menolak aku, ijinkan aku berada di dekatmu, menangis
bersamamu, sebab aku punya banyak alasan untuk mengangisi dosa-
dosaku dengan mana aku telah menghina-Nya. Ah, Bunda Belas
Kasihan, aku berharap, pertama-tama, melalui wafat Penebus-ku, dan
kemudian melalui dukacitamu, untuk memperoleh pengampunan serta
keselamatan abadi.

sumber : "On the Fifth Dolour, Of the Death of Jesus" by St. Alphonsus Liguori;
Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Keenam
Lambung Yesus Ditikam dan Jenazah-
Nya Diturunkan dari Salib
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
“Acuh tak acuhkan kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan
lihatlah, apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan
Tuhan kepadaku?” Jiwa-jiwa saleh, dengarkanlah apa yang dikatakan
Bunda yang berduka hari ini, “Anak-anakku terkasih, aku tidak berharap
kalian menghiburku; tidak, sebab jiwaku tak lagi mudah tersentuh oleh
penghiburan di dunia ini setelah wafat Putraku Yesus yang terkasih. Jika
engkau hendak menyenangkan hatiku, inilah yang aku minta dari kalian;
pandanglah aku dan lihatlah adakah kesedihan di dunia ini yang seperti
kesedihanku, menyaksikan Dia yang adalah jantung hatiku direnggut
dariku dengan keji.” Tetapi, Bunda yang berkuasa, oleh sebab engkau
tidak hendak dihibur dan engkau memiliki kerinduan yang begitu besar
untuk menderita, harus kukatakan kepadamu, bahwa bahkan dengan
wafatnya Putramu, dukacitamu belumlah berakhir. Pada hari ini engkau
akan ditembusi oleh pedang dukacita yang lain, sebilah tombak dengan
keji akan ditikamkan pada lambung Putramu yang telah wafat, dan
engkau akan menerima-Nya dalam pelukanmu setelah jenazah-Nya
diturunkan dari salib. Sekarang kita akan merenungkan dukacita
keenam yang mendukakan Bunda yang malang ini. Merenunglah dan
menangislah. Sampai sekarang dukacita Maria menderanya satu demi
satu; pada hari ini seluruh dukacita itu bergabung menjadi satu untuk
menyerangnya.

Cukuplah mengatakan kepada seorang ibu bahwa anaknya meninggal


dunia untuk menggoncangkan segala kasihnya. Sebagian orang, guna
meringankan dukacita seorang ibu, mengingatkannya akan kekecewaan
yang suatu ketika dilakukan oleh anaknya yang telah meninggal itu.
Tetapi aku, ya Ratuku, akankah aku berharap meringankan dukacitamu
atas wafat Yesus? Kekecewaan apakah yang pernah dilakukan-Nya
terhadapmu? Sungguh, tidak ada. Ia senantiasa mengasihimu,
senantiasa mentaatimu, dan senantiasa menghormatimu. Sekarang
engkau telah kehilangan Dia, siapakah yang dapat mengungkapkan
kesedihan hatimu? Akankah engkau menjelaskannya, engkau yang
mengalaminya. Seorang penulis yang saleh mengatakan bahwa ketika
Penebus kita yang terkasih wafat, perhatian utama Bunda yang agung
ini adalah menemani dalam roh, jiwa Putranya yang terkudus dan
mempersembahkan-Nya kepada Bapa yang Kekal. “Kupersembahkan
kepada-Mu, ya Tuhanku,” pastilah Bunda Maria berkata demikian, “jiwa
tak berdosa dari PutraMu dan Putraku; Ia taat hingga wafat kepada-Mu;
sudilah Engkau menerima-Nya dalam pelukan-Mu. Keadilan-Mu telah
dipuaskan sekarang, kehendak-Mu telah digenapi; lihatlah, kurban
agung demi kemuliaan-Mu yang kekal telah dikurbankan.” Kemudian,
sambil memandangi tubuh Putranya Yesus yang tak bernyawa, ia
berkata, “O bilur-bilur, o bilur-bilur cinta, aku menyembahmu, dan dalam
engkau aku bersukacita; sebab melalui engkau, keselamatan
dianugerahkan kepada dunia. Engkau akan tinggal menganga pada
tubuh Putraku, dan menjadi pengungsian bagi mereka yang mohon
perlindungan padamu. Oh, betapa banyak jiwa-jiwa, melalui engkau
akan beroleh rahmat pengampunan atas dosa-dosa mereka, dan olehmu
dikobarkan dalam kasih kepada Allah yang Mahabaik!”

Agar tak mengganggu kegembiraan Sabat Paskah, orang-orang Yahudi


menghendaki agar tubuh Yesus diturunkan dari salib; tetapi, karena hal
ini tak dapat dilakukan kecuali para terhukum telah mati, para prajurit
datang dengan palu besi untuk mematahkan kaki-Nya, seperti yang telah
mereka lakukan pada dua penyamun yang disalibkan bersama-Nya.
Bunda Maria masih menangisi kematian Putranya saat ia melihat
prajurit-prajurit bersenjata ini maju mendekati Yesus. Melihat ini, Bunda
gemetar ketakukan, lalu berseru, “Ah, Putraku sudah wafat; berhentilah
menganiaya-Nya; janganlah siksa aku lagi, Bunda-Nya yang malang.” Ia
mohon pada mereka, tulis St Bonaventura, “untuk tidak mematahkan
kaki-Nya.” Tetapi sementara ia berkata, ya Tuhan! Ia melihat seorang
prajurit menghunus tombaknya dan menikamkannya pada lambung
Yesus, “seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan
tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.” Saat tombak
dihujamkan, salib berguncang, dan, seperti yang kemudian dinyatakan
kepada St Brigitta, hati Yesus terbelah menjadi dua. Dari sanalah
mengalir darah dan air; sebab hanya sedikit tetes-tetes darah itu saja
yang masih tersisa, dan bahkan itu pun rela dicurahkan oleh
Juruselamat kita agar kita mengerti bahwa tak ada lagi darah-Nya yang
masih tersisa yang tak diberikan-Nya kepada kita. Luka akibat tikaman
itu menganga pada tubuh Yesus, tetapi Bunda Marialah yang menderita
sakitnya. “Kristus,” kata Lanspergius yang saleh, “berbagi sengsara ini
dengan Bunda-Nya; Ia yang menerima penghinaan, Bunda-Nya yang
menanggung sengsaranya.” Para bapa kudus berpendapat bahwa inilah
sesungguhnya pedang yang dinubuatkan Nabi Simeon kepada kepada
Santa Perawan: suatu pedang, bukan pedang materiil, melainkan
pedang dukacita, yang menembus jiwanya yang terberkati yang tinggal
dalam hati Yesus, di mana ia senantiasa tinggal. Dengan demikian, St
Bernardus mengatakan, “Tombak yang ditikamkan ke lambung-Nya
menembus jiwa Santa Perawan yang tak pernah meninggalkan hati
Putranya.” Bunda Allah sendiri mengungkapkan hal yang sama kepada
St Brigitta, “Ketika tombak dicabut, ujungnya tampak merah karena
darah; melihat hati Putraku terkasih ditikam, aku merasa seakan-akan
hatiku sendiri juga ditikam.” Malaikat menyampaikan kepada santa yang
sama, “begitu dahsyat dukacita Maria, hingga hanya karena mukjizat
penyelenggaraan Ilahi, ia tidak mati.” Dalam dukacitanya yang lain,
setidak-tidaknya ada Putranya yang berbelas kasihan kepadanya; tetapi
sekarang Ia bahkan tak ada untuk berbelas kasihan kepadanya.

Bunda yang berduka, khawatir kalau-kalau aniaya yang lain masih akan
ditimpakan atas Putranya, mohon pada Yusuf dari Arimatea untuk
meminta jenazah Yesus Putranya dari Pilatus, hingga setidak-tidaknya
setelah Ia wafat, ia dapat menjaga serta melindungi-Nya dari penghinaan
lebih lanjut. Yusuf pergi dan menyampaikan kepada Pilatus kesedihan
dan harapan Bunda yang berduka ini. St Anselmus yakin bahwa belas
kasihan terhadap sang Bunda telah melunakkan hati Pilatus dan
menggerakkannya untuk memberikan jenazah Juruselamat kita. Tubuh
Yesus kemudian diturunkan dari salib. O Perawan tersuci, setelah
engkau memberikan Putramu kepada dunia dengan cinta yang begitu
besar demi keselamatan kami, lihatlah, dunia sekarang mengembalikan-
Nya kepadamu; tetapi, ya Tuhan, dalam keadaan bagaimanakah engkau
menerimanya? Ya dunia, kata Maria, bagaimana engkau
mengembalikan-Nya kepadaku? “Putraku berkulit putih kemerah-
merahan, tetapi engkau mengembalikan-Nya kepadaku dalam keadaan
hitam lebam oleh bilur-bilur dan merah - ya! tetapi merah karena luka-
luka yang engkau timpakan atas-Nya. Ia elok dan menawan; tetapi
sekarang tak nampak lagi keelokan pada-Nya; tak ada lagi semarak-Nya.
Kehadiran-Nya memikat semua orang; sekarang Ia menimbulkan
kengerian pada semua yang melihat-Nya.” “Oh, betapa banyak pedang,”
kata St Bonaventura, “yang menembusi jiwa Bunda yang malang ini
ketika ia menerima jenazah Putranya dari salib! Marilah sejenak
membayangkan dukacita mendalam yang dialami ibu manapun ketika
menerima tubuh anaknya yang tak bernyawa dalam pelukannya.
Dinyatakan kepada St Brigitta bahwa tiga tangga disandarkan pada salib
untuk menurunkan Tubuh Kudus; para murid yang kudus pertama-tama
mencabut paku-paku dari tangan dan kaki-Nya, dan menurut
Metaphrastes, menyerahkan paku-paku itu kepada Maria. Kemudian
seorang dari mereka menopang tubuh Yesus bagian atas sementara
murid yang lain menopang tubuh Yesus bagian bawah; demikianlah Ia
diturunkan dari salib. Bernardinus de Bustis menggambarkan Bunda
yang berduka, sementara berdiri, merentangkan kedua tangannya untuk
merengkuh Putranya terkasih; ia memeluk-Nya dan kemudian duduk
bersimpuh di kaki salib. Mulut-Nya ternganga, mata-Nya tanpa cahaya.
Bunda Maria lalu memeriksa daging-Nya yang terkoyak dan tulang-
tulang-Nya yang menyembul; ia melepaskan mahkota duri dan
memandangi luka-luka mengerikan yang diakibatkan mahkota duri pada
kepala-Nya yang kudus; ia mengamati lubang-lubang di tangan dan
kaki-Nya seraya berkata kepada-Nya, “Ah, Putraku, seberapa
besarnyakah kasih-Mu kepada manusia; kesalahan apakah yang telah
Engkau lakukan terhadap mereka hingga mereka menyiksa-Mu demikian
keji? Engkau adalah Bapaku,” lanjut Bernardinus de Bustis atas nama
Maria, “Engkau adalah saudaraku, mempelaiku, sukacitaku,
kemuliaanku; Engkau adalah segala-galanya bagiku.” Putraku,
tengoklah dukacitaku, pandanglah aku; hiburlah aku; tetapi tidak,
Engkau tak lagi melihatku. Berbicaralah, sepatah kata saja, dan hiburlah
aku; tetapi Engkau tak lagi berbicara, sebab Engkau telah wafat.
Kemudian, berpaling pada alat-alat siksa yang keji, ia berkata, O
mahkota duri yang keji, O paku-paku yang kejam, O tombak yang tak
berbelas kasihan, bagaimanakah, bagaimana mungkin kalian
menganiaya Pencipta-Mu? Tetapi, mengapakah aku berbicara tentang
mahkota duri dan paku? Astaga! Para pendosa, serunya, kalianlah yang
telah memperlakukan Putraku begitu keji.

Demikianlah Bunda Maria berbicara dan mengeluh atas kita. Tetapi


apakah yang hendak ia katakan sekarang, apakah ia masih dapat
tergerak oleh penderitaan? Bagaimanakah kiranya kesedihan hatinya
melihat manusia, walaupun Putranya telah wafat bagi mereka, masih
terus-menerus menyiksa dan menyalibkan-Nya dengan dosa-dosa
mereka! Marilah kita, setidak-tidaknya, berhenti menyiksa Bunda yang
berduka ini, dan jika kita sampai sekarang masih mendukakan hatinya
dengan dosa-dosa kita, marilah kita, saat ini juga, melakukan segala
yang dikehendakinya. Bunda kita berkata, “Kembalilah, kalian yang
berdosa, kepada hati Yesus.” Para pendosa, kembalilah kepada hati
Yesus yang terluka; kembalilah sebagai seorang peniten, dan Ia akan
menyambutmu. “Larilah dari Dia kepada Dia,” ia melanjutkan
perkataannya bersama Abbas Guarric, “dari Hakim kepada Penebus,
dari Pengadilan kepada Salib.” Bunda Maria sendiri mengungkapkan
kepada St Brigitta bahwa “ia menutup mata Putranya ketika tubuh-Nya
diturunkan dari salib, tetapi ia tak dapat menangkupkan tangan-tangan-
Nya.” Dengan demikian Yesus Kristus ingin kita mengetahui bahwa Ia
rindu tetap dengan tangan-tangan-Nya terbuka menerima semua orang
berdosa yang kembali kepada-Nya. “Oh, dunia,” lanjut Bunda Maria,
“lihatlah, masamu adalah masa bagi para kekasih.” “Sekarang, setelah
Putraku wafat demi menyelamatkanmu, tak akan ada lagi bagimu masa
ketakutan, melainkan masa kasih - suatu masa untuk mengasihi-Nya, Ia
yang guna menunjukkan kasih-Nya kepadamu rela menanggung
sengsara yang begitu hebat.” “Hati Yesus,” kata St Bernardus, “ditikam,
agar melalui luka-luka-Nya yang nampak itu, luka-luka kasih-Nya yang
tak nampak menjadi kelihatan.” “Jadi, jika,” Bunda Maria menyimpulkan
dengan kata-kata Beato Raymond Jordano, “Putraku, oleh karena kasih-
Nya yang begitu besar, rela lambung-Nya ditikam, agar Ia dapat
memberikan hati-Nya kepada kalian, maka sudah selayaknyalah, jika
kalian membalas-Nya dengan juga memberikan hati kalian kepada-Nya.”
Dan jika kalian rindu, ya putera-puteri Maria, untuk menemukan tempat
dalam hati Yesus, tanpa takut ditolak, “pergilah,” kata Ubertino da
Casale, “pergilah bersama Maria; karena ia akan memperolehkan rahmat
bagi kalian.” Mengenai hal ini, kalian dapat melihat buktinya melalui
teladan indah berikut ini.

TELADAN

Dikisahkan, adalah seorang pendosa malang yang, di antara kejahatan-


kejahatan lain yang dilakukannya, telah pula membunuh ayah dan
saudara laki-lakinya, dan karena itu ia menjadi seorang pelarian. Suatu
hari di Masa Prapaskah, ia mendengarkan khotbah imam tentang
Kerahiman Ilahi. Maka, pergilah ia mengakukan dosa-dosanya kepada
imam pengkhotbah. Bapa pengakuan, mendengar dosa-dosanya yang
luar biasa berat, memintanya pergi ke hadapan SP Maria Bunda
Dukacita, agar Bunda Maria dapat memperolehkan baginya rahmat tobat
mendalam dan pengampunan atas dosa-dosanya. Orang berdosa itu
patuh dan mulai berdoa; ketika, lihatlah, tiba-tiba ia roboh dan tewas
seketika karena kesedihan yang sangat mendalam. Keesokan harinya,
saat imam, dalam intensi Misa, mengunjukkan doa baginya, seekor
merpati putih sekonyong-konyong muncul dalam gereja dan
menjatuhkan sehelai kartu di kaki imam. Imam memungutnya dan
mendapati tulisan berikut tertera di atasnya, “Jiwa almarhum, saat
meninggalkan raganya, langsung menuju surga. Teruslah engkau
menyampaikan khotbah tentang Kerahiman Ilahi yang tak terbatas.”

DOA

O Perawan yang berduka! Oh, jiwa yang sarat dengan kebajikan, namun
juga sarat dengan dukacita, karena dukacita yang satu dan yang lainnya
saling bergantian mendera hatimu yang berkobar-kobar dengan kasih
kepada Tuhan, sebab engkau hanya mengasihi Dia saja; ah Bunda,
kasihanilah aku, sebab bukannya mengasihi Tuhan, malahan aku
menghina-Nya terus-menerus. Dukacitamu, ya Bunda, membangkitkan
dalam diriku harapan akan pengampunan. Tetapi ini belumlah cukup;
aku rindu mengasihi Tuhan-ku; dan bagaimanakah aku dapat
memperoleh kasih ini lebih baik selain melalui engkau, yang adalah
Bunda Cinta Kasih? Ah, Bunda Maria, engkau menghibur semua orang,
hiburlah aku juga. Amin.

sumber : "On the Sixth Dolour, The Piercing of the Side of Jesus, and His descent
from the Cross" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1997 Catholic Information
Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Ketujuh

Yesus Dimakamkan
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Ketika seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita
dan mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan
menanggung segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu
meninggal dunia, sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah
ibunda yang berduka itu mengucapkan selamat berpisah kepada
anaknya; dan kemudian, sungguh, pikiran bahwa ia tak akan pernah
melihat anaknya itu lagi merupakan suatu dukacita yang melampaui
segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita Maria yang terakhir, yang
sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan wafat Putranya di salib
dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk terakhir kalinya,
Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di makam, tak akan
lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih di dunia ini.

Agar dapat memahami dengan lebih baik dukacita terakhir ini, kita akan
kembali ke Kalvari dan merenungkan Bunda yang berduka, yang masih
mendekap tubuh Putranya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Oh
Putraku, demikian ia berkata dengan kata-kata Ayub, Putraku, “Engkau
menjadi kejam terhadap aku.” Ya, oleh sebab segala sifat-Mu yang
agung, keanggunan-Mu, perilaku-Mu dan kebajikan-kebajikan-Mu, sikap-
Mu yang santun, segala tanda kasih istimewa yang Kau limpahkan
kepadaku, karunia-karunia khusus yang Kau anugerahkan kepadaku -
semuanya sekarang berubah menjadi dukacita, dan bagaikan begitu
banyak anak panah yang menembusi hatiku; semakin semuanya itu
memperdalam kasihku kepada-Mu, semakin kejam semuanya itu kini
memedihkan hatiku karena kehilangan Engkau. Ah, Putraku terkasih,
dengan kehilangan Engkau, aku kehilangan segalanya. St Bernardus
berbicara atas nama Bunda Maria, “Oh satu-satunya Allah yang Esa,
bagiku Engkau adalah Bapaku, Putraku, Mempelaiku: Engkau adalah
jiwaku! Sekarang aku direnggut dari Bapaku, menjadi janda dari
Mempelaiku, menjadi Bunda yang tak ber-Putra; yang merana karena
kehilangan Putra tunggalku, aku telah kehilangan segalanya.”

Demikianlah Bunda Maria, dengan sang Putra dalam pelukannya, larut


dalam dukacita. Para murid yang kudus, khawatir kalau-kalau Bunda
yang malang ini wafat karena duka yang mendalam, menghampirinya
untuk mengambil jenazah Putranya dari pelukannya untuk dimakamkan.
Kekejaman ini mereka lakukan dengan lemah lembut serta penuh
hormat, dan sesudah memburat tubuh-Nya dengan rempah-rempah,
mereka mengapani-Nya dengan kain lenan yang telah mereka
persiapkan. Di atas kain ini, yang hingga kini masih tersimpan di Turin,
Kristus berkenan meninggalkan bagi dunia gambar tubuh-Nya yang
kudus. Para murid lalu menghantar-Nya ke makam. Pertama-tama
mereka mengusung Tubuh Kudus di atas bahu mereka dan kemudian
iring-iringan duka itu pun berangkat; paduan suara malaikat dari surga
mengiringi mereka; para wanita kudus berjalan mengikuti, dan bersama
mereka Bunda yang berduka juga menyertai Putranya ke tempat
pemakaman. Setiba mereka di sana, “Oh, betapa senang hati Bunda
Maria membiarkan dirinya dikubur hidup-hidup bersama Putranya, andai
memang demikian kehendak-Nya!” seperti diungkapkan Bunda Maria
sendiri kepada St Brigitta. Tetapi karena bukan demikianlah kehendak
Ilahi, banyak penulis mengatakan bahwa ia menghantar tubuh kudus
Yesus sampai ke makam, di mana menurut Baronius, para murid juga
menyertakan paku-paku dan mahkota duri. Saat hendak menggulingkan
batu penutup pintu masuk, para murid sang Juruselamat yang kudus
terpaksa menghampiri Bunda Maria dan mengatakan, “Sekarang, ya
Bunda, kami harus menutup pintu makam: maafkan kami, tengoklah
sekali lagi Putramu dan sampaikanlah salam perpisahan kepada-Nya.”
Putraku terkasih (pasti demikianlah Bunda yang berduka berkata); aku
tak kan melihat-Mu lagi. Sebab itu, pada kesempatan terakhir aku
memandang-Mu ini, terimalah salam perpisahanku, salam perpisahan
dari Bunda-Mu terkasih, dan terimalah juga hatiku, yang aku tinggalkan
agar dikubur bersama-Mu. St Fulgentius menulis, “Dalam diri Bunda
Maria berkobar hasrat agar jiwanya dikuburkan bersama tubuh Kristus.”
Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta, “Sejujurnya aku
katakan bahwa saat pemakaman Putraku, dalam makam yang satu itu
seolah-olah terdapat dua jiwa.”

Akhirnya, para murid menggulingkan batu dan menutup makam yang


kudus, di mana di dalamnya terbaring tubuh Yesus, harta pusaka yang
agung mulia - begitu agung dan mulia hingga tak ada yang lebih agung
dan mulia darinya, baik di bumi maupun di surga. Pada bagian ini,
ijinkanlah aku sedikit menyimpang dan menegaskan bahwa hati Bunda
Maria dikuburkan bersama Yesus, sebab Yesus adalah satu-satunya
hartanya, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dan di
manakah gerangan, seandainya kita boleh bertanya, hati kita
dikuburkan? Pada makhluk-makhluk ciptaan yang mungkin berkubang
dalam lumpur. Dan mengapakah tidak pada Yesus, yang, walaupun telah
naik ke surga masih dengan senang hati tinggal di bumi dalam
Sakramen Mahakudus di altar, bukankah tepat jika jiwa kita ada
bersama-Nya, dan menjadi milik-Nya? Baiklah, kita kembali kepada
Bunda Maria. Sebelum meninggalkan makam, menurut St Bonaventura,
Bunda Maria memberkati makam kudus yang kini telah tertutup rapat
dengan berseru, “Oh, makam yang bahagia, dalam rahimmu sekarang
terbaring Tubuh Kudus yang selama sembilan bulan aku kandung dalam
rahimku; aku memberkati engkau sembari iri padamu; aku percayakan
penjagaan Putraku kepadamu, Putra yang adalah satu-satunya hartaku
dan kasihku.” Kemudian, dengan mengangkat segenap hati kepada
Bapa yang Kekal, ia berkata, “Ya Bapa, kepada-Mu aku persembahkan
Dia - Dia yang adalah PutraMu, yang sekaligus adalah Putraku juga.”
Demikianlah Bunda Maria menyampaikan salam perpisahannya kepada
Putranya Yesus yang terkasih dan kepada makam di mana tubuh-Nya
dibaringkan, lalu ia meninggalkan-Nya dan pulang ke rumah. “Bunda
ini,” kata St Bernardus, “pergi dalam keadaan begitu berduka dan
sengsara hingga ia menggerakkan banyak orang untuk meneteskan
airmata; di manapun ia lewat, semua yang bersua dengannya
menangis,” tak kuasa menahan airmata. Ia menambahkan bahwa para
murid yang kudus dan perempuan-perempuan yang menyertainya “lebih
berdukacita atasnya daripada atas Tuhan mereka.”

St Bonaventura mengatakan bahwa saudari-saudari Bunda Maria


menyelubunginya dengan jubah duka, “Saudari-saudari Bunda kita
mengerudunginya sebagai janda, hingga hampir menutupi seluruh
wajahnya.” Ia juga menambahkan bahwa, saat lewat, dalam perjalanan
pulang, di depan salib yang masih basah oleh darah Putranya Yesus,
dialah yang pertama-tama memujanya, “O Salib Suci,” serunya, “aku
mengecupmu, aku memujamu, sebab kini engkau bukan lagi tiang
hukuman yang mengerikan, melainkan tahta kasih dan altar belas
kasihan, yang dikuduskan oleh darah Anak Domba Allah, yang di
atasmu telah dikurbankan demi keselamatan dunia.” Bunda Maria
kemudian meninggalkan salib dan pulang ke rumah. Tiba di sana, Bunda
yang berduka mengarahkan pandangan ke sekelilingnya, ia tak lagi
melihat Yesus; bukan kehadiran Putranya yang menyenangkan,
melainkan kenangan akan hidup-Nya yang kudus dan wafat-Nya yang
keji yang hadir di hadapan matanya. Ia terkenang bagaimana ia
mendekap Putranya erat-erat ke dadanya di palungan di Betlehem;
percakapan-percakapan manis bersama-Nya sepanjang tahun-tahun
yang mereka lewatkan bersama di rumah di Nazaret: ia terkenang akan
kasih sayang mesra di antara mereka, tatapan kasih mereka, perkataan-
perkataan tentang kehidupan kekal yang meluncur dari bibir Ilahi-Nya;
dan kemudian terbayang akan peristiwa mengerikan yang ia saksikan
pada hari itu, semuanya hadir kembali di hadapannya. Paku-paku itu,
mahkota duri, ceceran daging Putranya, luka-luka yang merobek daging-
Nya, tulang-tulang yang menyembul, mulut yang ternganga, mata yang
tak lagi bercahaya, semuanya hadir kembali di hadapan matanya. Ah,
betapa malam itu nerupakan malam yang penuh dukacita bagi Maria!
Bunda yang berduka berpaling kepada St Yohanes dan berkata dengan
sedih, “Ah Yohanes, katakan, di manakah Guru-mu?” Ia kemudian
bertanya kepada Maria Magdalena, “Puteriku, katakan, di manakah
kekasih hatimu? Ya Tuhan, siapakah yang telah merenggut-Nya dari
kami?” Bunda Maria menangis dan semua yang hadir menangis
bersamanya. Dan engkau, wahai jiwaku, tidak meneteskan airmata! Ah,
berpalinglah kepada Bunda Maria dan bersama St Bonaventura katakan
kepadanya, “Ya, Bundaku yang lemah lembut, ijinkanlah aku menangis;
engkau tak berdosa, akulah yang berdosa.” Akhirnya, mohonlah
kepadanya untuk menangis bersamanya, “Ijinkanlah aku menangis
bersamamu, ya Bunda.” Ia menangis karena cinta, engkau menangis
sedih karena dosa-dosamu. Dengan menangis, kiranya engkau beroleh
sukacita seperti dia, yang kisahnya kita baca dalam teladan berikut.
TELADAN

Pastor Engelgrave menceriterakan tentang seorang religius yang begitu


tersiksa oleh skrupel (= kebimbangan batin) hingga ia terkadang hampir
putus asa; tetapi karena ia memiliki devosi mendalam kepada Bunda
Dukacita, ia senantiasa mohon perlindungan padanya dalam
penderitaan batinnya, dan merasa terhibur sementara ia merenungkan
sengsaranya. Ajal menjelang dan iblis menyiksanya jauh lebih hebat dari
sebelumnya dengan skrupel, dan berusaha menjatuhkannya dalam
keputusasaan. Bunda yang berbelas kasihan, melihat puteranya yang
malang menderita demikian rupa, menampakkan diri kepadanya dan
berkata, “Dan engkau, puteraku, mengapakah engkau begitu dikuasai
oleh penderitaan? Mengapakah engkau begitu takut? Engkau telah
begitu sering menghibur hatiku dengan berbelas kasihan dalam
dukacitaku. Sekarang,” Bunda Maria menambahkan, “Yesus
mengutusku untuk menghiburmu; maka, tenanglah; bersukacitalah dan
marilah bersamaku ke surga.” Mendengar kata-kata penghiburan ini,
religius yang saleh itu dengan dipenuhi sukacita dan kepercayaan,
menghembuskan napasnya yang terakhir dalam damai.

DOA

Bundaku yang berduka, aku tidak akan membiarkan engkau menangis


seorang diri, tidak, aku akan menemanimu dengan airmataku. Ijinkan
aku mohon rahmat ini daripadamu: perolehkanlah bagiku rahmat agar
senantiasa ada dalam benakku dan senantiasa ada dalam hatiku devosi
kepada Sengsara Yesus dan kepada Dukacitamu, agar sisa-sisa hariku
boleh aku lewatkan dengan menangisi dukacitamu, ya Bundaku yang
lemah lembut, dan menangisi Sengsara Penebus-ku. Penderitaan-
penderitaan ini, aku yakin, akan memberiku kepercayaan serta kekuatan
yang aku butuhkan di saat ajalku, agar aku tidak jatuh dalam
keputusasaan menyadari begitu banyak dosa di mana aku telah
menghina Tuhan-ku. Penderitaan-penderitaan ini akan mendatangkan
bagiku pengampunan, ketekunan dan surga, yang aku rindu untuk
menikmatinya bersama engkau, dan agar dapatlah aku memadahkan
belas kasihan Allah yang tak terbatas untuk selama-lamanya.
Demikianlah yang aku harapkan, semoga terjadilah demikian. Amin.
Amin.

DOA ST BONAVENTURA

Ya Bunda, engkau yang dengan kelemah-lembutanmu menjerat hati


umat manusia, sudahkah engkau menjerat hatiku juga? Ya pencuri hati,
bilakah engkau memulihkan hatiku? Pimpinlah dan kuasailah hatiku
bagaikan milikmu sendiri; simpanlah hatiku dalam Darah Anak Domba
dan tempatkanlah di sisi Putramu. Maka, aku akan memperoleh apa
yang aku rindukan dan memiliki apa yang aku harapkan, sebab
engkaulah harapan kami. Amin.
sumber : "On the Seventh Dolour, The Burial of Jesus" by St. Alphonsus Liguori;
Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”

Santa Perawan Maria Bunda


Pengharapan
oleh: P. William P. Saunders *

Mohon penjelasan mengenai latar belakang gelar Bunda Maria sebagai


“Bunda Pengharapan”
~ seorang pembaca di Sterling

Gelar Bunda Maria sebagai “Bunda Pengharapan,” muncul dari


penampakannya kepada beberapa anak di Pontmain, Perancis pada
tanggal 17 Januari 1871. Patut dicatat bahwa Bunda Maria telah disebut
dengan gelar ini sebelumnya; sebuah madah telah ditulis demi
menghormati Bunda Pengharapan oleh Komunitas Agung dari Bunda
Pengharapan di Saint-Brieuc, Perancis. Namun demikian, devosi yang
paling populer kepada “Bunda Pengharapan” berhubungan dengan
penampakan ini. Guna memahami kisah dengan sebaik-baiknya,
pertama-tama kita perlu melihat latar belakangnya.

Pada tahun 1861, Kaiser Wilhelm I menduduki tahta Prussia, dan segera
menunjuk Otto von Bismark sebagai penasehatnya. Tujuan mereka
adalah mempersatukan segenap negeri yang berbahasa Jerman menjadi
satu negara. Bersama-sama, mereka mengambil sikap yang agresif dan
suka berperang. Guna memaksakan kehendak mereka sekaligus
menguji posisi di antara negara-negara sekitarnya, Prussia menyulut
tiga perang singkat: pertama, melawan Denmark pada tahun 1864,
menguasai Holstein; kedua, melawan Austria pada tahun 1866,
menempatkan Prussia di bawah kendali Jerman; dan yang terakhir,
melawan Perancis pada tahun 1870.

Pada tanggal 1 Agustus 1870, meriam pertama ditembakkan dan Perang


Perancis - Prussia pun dimulai. Pasukan Perancis dengan segera jatuh
ke dalam kekuasaan militer Prussia. Pada tanggal 27 Desember, Prussia
telah menyerbu Paris. Sekarang mereka mengarah ke provinsi-provinsi
barat yaitu Normandy dan Brittany.

Pertengahan Januari 1871, pasukan Prussia hanya beberapa mil saja


jauhnya dari kota Pontmain, yang terletak di sebelah kanan dalam garis
pertahanan Perancis. Penduduk Pontmain ketakutan. P. Guerin, yang
telah menjadi imam paroki selama 35 tahun, meminta anak-anak untuk
berdoa kepada Bunda Maria memohon perlindungan.

Pada sore hari Selasa, 17 Januari, Eugene Barbadette yang berusia 12


tahun sedang berjalan meninggalkan kandang ayahnya. Anak laki-laki
ini mendongak ke atas ke langit yang berbintang dan melihat seorang
Perempuan nan elok berdiri di angkasa, sekitar 20 kaki di atas atap
rumah, di antara dua cerobong asap rumah milik Jean dan Augustine
Guidecoq yang ada di seberang jalan. Perempuan itu mengenakan gaun
berwarna biru tua bertaburan bintang-bintang emas, sebuah kerudung
hitam dan sebuah mahkota emas sederhana. Eugene berdiri terpesona
di sana dalam dinginnya salju sekitar 15 menit lamanya.

Ayahnya dan saudara laki-lakinya yang berumur sepuluh tahun, Yosef,


keluar dari kandang. Eugene berseru, “Lihat di sana! Di atas rumah!
Apakah yang kalian lihat?” Yosef menggambarkan Perempuan itu persis
sama seperti yang dilihat Eugene. Ayahnya tidak melihat apa-apa, jadi
dengan geram ia memerintahkan anak-anak untuk kembali memberi
makan kuda-kuda di kandang.

Entah apa alasannya, sejenak kemudian, sang ayah menyuruh kakak


beradik itu untuk keluar dan melihat kembali. Mereka melihatnya lagi.
Yosef terus-menerus mengatakan, “Alangkah cantiknya dia! Alangkah
cantiknya!” Ibu mereka, Victoria Barbadette, sekarang muncul di sana
dan menyuruh Yosef diam sebab ia begitu ribut hingga menarik
perhatian orang. Tahu bahwa anak-anak itu jujur dan tidak berbohong,
ibunya pun mengatakan, “Mungkin itu Santa Perawan yang
menampakkan diri kepada kalian. Karena kalian melihatnya, marilah kita
mendaraskan lima Bapa Kami dan lima Salam Maria demi
menghormatinya.” (Kedua kakak beradik itu amat saleh: mereka
memulai hari-hari mereka dengan melayani Misa Kudus, mendaraskan
rosario dan mempersembahkan Jalan Salib dengan intensi kakak laki-
laki mereka yang bertugas dalam dinas ketentaraan Perancis.)
Setelah mendaraskan doa-doa di dalam kandang agar tak menarik
perhatian orang, Nyonya Barbadette bertanya apakah anak-anak masih
melihat Perempuan itu. Ketika mereka menjawab, “Ya,” ia pergi
mengambil kacamata. Ketika kembali, sang ibu membawa serta saudari
mereka, Louise, bersamanya; namun tak seorang pun dari keduanya
melihat apa-apa. Perangai sang ibu pun berubah dan ia menuduh kedua
anaknya telah berbohong.

Terlintas dalam benak Nyonya Barbadette untuk memanggil para


biarawati. Katanya, “Para biarawati lebih saleh dari kalian. Jika kalian
melihatnya, tentulah mereka melihatnya juga.” Suster Vitaline juga tahu
bahwa anak-anak itu tidak berbohong. Tetapi, ia pun tak dapat melihat
Perempuan itu. Suster Vitaline kemudian pergi ke rumah tetangga dan
meminta dua gadis kecil, Francoise Richer (berusia 11 tahun) dan
Jeanne-Marie Lebosse (berusia 9 tahun) untuk datang bersamanya.
Kedua gadis kecil itu menggambarkan sang Perempuan tepat sama
seperti kedua anak lainnya.

Sekarang, Suster Marie Edouard telah bergabung dalam kelompok


tersebut. Setelah mendengar apa yang dikatakan kedua gadis kecil, ia
pergi memanggil P Guerin dan seorang anak lain, Eugene Friteau
(berusia 6 setengah tahun). Eugene juga melihat sang Perempuan.
Sekarang telah terkumpul suatu himpunan besar sekitar 50 orang warga
desa. Augustine Boitin, yang baru berusia 25 bulan, menggapai sang
Perempuan dan berseru, “Yesus! Yesus!” Hanya keenam kanak-kanak
ini saja yang melihat penampakan Bunda Pengharapan.

P Guerin meminta semua yang hadir untuk berdoa, maka mereka


berlutut dan mendaraskan rosario. Suster Marie Edouard memimpin
himpunan umat untuk mendaraskan Magnificat. Perlahan-lahan, suatu
pesan dalam huruf-huruf emas nampak di langit: “Tetapi, berdoalah
anak-anakku.” Semua anak-anak melihat pesan yang sama.

Suster Marie Edouard kemudian memimpin yang lainnya memadahkan


Litani Santa Perawan Maria. Pesan selanjutnya disingkapkan, “Tuhan
akan mendengarkan kalian dalam waktu dekat.”

Datang kabar bahwa pasukan Prussia sekarang telah berada di Laval,


sangat dekat dengan Pontmain. Pesan berlanjut, “Putraku membiarkan
DiriNya tergerak oleh belas kasihan.” Ketika anak-anak memaklumkan
pesan ini, P Guerin meminta khalayak ramai untuk menyanyikan madah
pujian. Suster Marie Edouard mengatakan, “Bunda Pengharapan, wahai
nama yang begitu manis, lindungilah negeri kami, doakanlah kami,
doakanlah kami!” Orang banyak menanggapi, “Jika mereka [Prussia]
berada di gerbang masuk desa, kami tidak akan takut lagi sekarang!”

Di akhir madah, pesan menghilang. Himpunan orang banyak kemudian


menyanyikan sebuah madah tobat dan silih kepada Yesus. Bunda Maria
tampak berduka, ia memegang sebuah salib merah yang besar dengan
tulisan “Yesus Kristus.”
Pada pukul 8.30 petang, orang banyak menyanyikan, “Ave, Maris Stella,”
dan salib lenyap. Lagi, Bunda tersenyum dan dua salib putih kecil
nampak di kedua pundaknya. Ia merentangkan tangannya ke bawah,
seperti yang terlihat dalam gambar-gambar Santa Perawan Maria
Dikandung Tanpa Dosa. Sebuah selubung putih secara perlahan-lahan
menutupi Bunda Maria dari kaki hingga ke mahkota. Sekitar pukul 8.45
petang, anak-anak mengatakan, “Sudah selesai.” Bunda Maria telah
menghilang.

Sementara penampakan ini berlangsung, Jenderal Von Schmidt


menerima perintah dari Komando Tinggi Prussia untuk menghentikan
penyerangan dan mundur. Sepuluh hari kemudian, suatu perjanjian
gencatan senjata ditanda-tangani antara Perancis dan Prussia.
Perantaraan ajaib Bunda Maria telah menyelamatkan Pontmain.

Karena penampakan ini, devosi kepada Bunda Pengharapan segera


tersebar luas. Pesan Bunda Maria adalah pesan pengharapan, “Tetapi,
berdoalah anak-anakku. Tuhan akan mendengarkan kalian dalam waktu
dekat. Putraku membiarkan DiriNya tergerak oleh belas kasihan.”
Sementara kita mendaraskan rosario kita setiap hari memohon
pemeliharaan keibuan Bunda Maria, patutlah kita ingat bahwa ia, yang
berdiri di kaki salib, yang dipenuhi pengharapan akan pengampunan
dosa dan kebangkitan ke hidup yang kekal, memberikan pengharapan
kepada kita juga sepanjang perjalanan hidup kita. Bersama Bunda
Pengharapan, kita sungguh memiliki jaminan bahwa kita tidak akan
pernah ditinggalkan, dan bahwa kita senantiasa memiliki pengharapan
akan dipersatukan dengan Tuhan kita sekarang dan selama-lamanya di
surga.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Mary as Our Lady of Hope” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria Bunda


Penolong Abadi
oleh: P. William P. Saunders *
Bagaimanakah kisah yang melatarbelakangi lukisan Bunda Penolong
Abadi?
~ seorang pembaca di Reston

Lukisan Bunda Penolong Abadi adalah sebuah ikon, dilukis di atas kayu
dan tampaknya berasal dari sekitar abad ketigabelas. Ikon ini (kurang
lebih 54 x 41,5 sentimeter) menggambarkan Bunda Maria, di bawah gelar
“Bunda Allah,” menggendong Kanak-Kanak Yesus. Malaikat Agung St
Mikhael dan Malaikat Agung St Gabriel, melayang di kedua pojok atas,
memegang alat-alat Sengsara - St Mikhael (di pojok kiri) memegang
tombak, bunga karang yang dicelupkan ke dalam anggur asam dan
mahkota duri, sementara St Gabriel (di pojok kanan) memegang salib
dan paku-paku. Tujuan dari sang pelukis adalah menggambarkan
Kanak-Kanak Yesus menyaksikan penglihatan akan Sengsara-Nya di
masa mendatang. Kegentaran yang dirasakan-Nya diperlihatkan melalui
terlepasnya salah satu sandal-Nya. Namun demikian, ikon ini juga
menyampaikan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, yang
dilambangkan dengan latar belakang keemasan (lambang kemuliaan
kebangkitan) dan dari cara dengan mana para malaikat memegang alat-
alat siksa, yaitu bagaikan memegang tanda kenang-kenangan yang
dikumpulkan dari Kalvari pada pagi Paskah.

Dengan suatu cara yang amat indah, Kanak-kanak Yesus menggenggam


erat tangan Bunda Maria. Ia mencari penghiburan dari BundaNya,
sementara Ia melihat alat-alat sengsara-Nya. Posisi tangan Maria -
keduanya memeluk Kanak-Kanak Yesus (yang tampak bagaikan seorang
dewasa kecil) dan memberikan-Nya kepada kita - menyampaikan realita
akan inkarnasi Tuhan kita, bahwa ia adalah sungguh Allah yang juga
menjadi sungguh manusia. Dalam ikonografi, Bunda Maria di sini
digambarkan sebagai Hodighitria, yaitu dia yang menghantar kita
kepada sang Penebus. Ia adalah juga Penolong kita, yang menjadi
perantara kita kepada Putranya. Bintang yang terlukis pada kerudung
Maria, yang terletak di tengah atas dahinya, menegaskan peran Maria
dalam rencana keselamatan baik sebagai Bunda Allah maupun Bunda
kita.

Menurut tradisi, seorang saudagar mendapatkan ikon Bunda Penolong


Abadi dari pulau Krete dan mengirimkannya ke Roma dengan kapal laut
menjelang akhir abad kelimabelas. Dalam perjalanan, mengamuklah
suatu badai dahsyat, yang mengancam nyawa mereka semua yang
berada dalam kapal. Para penumpang bersama awak kapal berdoa
memohon bantuan Bunda Maria, dan mereka diselamatkan.

Begitu tiba di Roma, sang saudagar yang menghadapi ajal,


memerintahkan agar lukisan dipertontonkan agar dapat dihormati
secara publik. Sahabatnya, yang menahan lukisan tersebut, menerima
perintah berikutnya: dalam suatu mimpi kepada gadis kecilnya, Bunda
Maria menampakkan diri dan menyatakan keinginannya agar lukisan
dihormati di sebuah gereja antara Basilika St Maria Maggiore dan St
Yohanes Lateran di Roma. Sebab itu, lukisan ditempatkan di Gereja St
Matius, dan kemudian terkenal sebagai “Madonna dari St Matius.” Para
peziarah berduyun-duyun datang ke gereja tersebut selama tiga ratus
tahun berikutnya, dan rahmat berlimpah dicurahkan atas umat beriman.

Setelah pasukan Napoleon menghancurkan Gereja St Matius pada tahun


1812, lukisan dipindahkan ke Gereja St Maria di Posterula, dan disimpan
di sana hingga hampir 40 tahun lamanya. Di sana, lukisan itu kemudian
diabaikan dan dilupakan.

Oleh karena penyelenggaraan ilahi, lukisan diketemukan kembali. Pada


tahun 1866, Beato Paus Pius IX mempercayakan lukisan kepada kaum
Redemptoris, yang baru saja mendirikan Gereja St Alfonsus, tak jauh
dari St Maria Maggiore. Semasa kanak-kanak, Bapa Suci berdoa di
hadapan lukisan ini di Gereja St Matius. Beliau memerintahkan agar
lukisan dipertontonkan kepada publik dan dihormati; beliau juga
menetapkan perayaan Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi
pada hari Minggu sebelum Hari Raya Kelahiran St Yohanes Pembaptis.
Pada tahun 1867, ketika lukisan sedang dibawa dalam suatu perarakan
yang khidmad melalui jalan-jalan, seorang kanak-kanak disembuhkan
secara ajaib, yang pertama dari banyak mukjizat yang kemudian dicatat
sehubungan dengan Bunda Penolong Abadi.

Hingga hari ini, Gereja St Alfonsus mempertontonkan ikon Bunda


Penolong Abadi dan menyambut segenap peziarah yang datang untuk
berdoa. Kiranya setiap kita tidak pernah ragu untuk memohon bantuan
doa dan perantaraan Bunda Maria kapan saja, teristimewa pada masa
kesesakan.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Icon Invokes Mary's `Perpetual Help'” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Bunda Penolong Abadi

27 JULI : PESTA BUNDA PENOLONG


ABADI

Dalam sebuah pelayaran mengarungi


samudera, sebuah kapal diterpa badai.
Semua penumpang panik termasuk kapten
kapal dan anak buahnya. Berbagai usaha
telah dicoba agar kapal tidak tenggelam,
namun tampaknya sia-sia. Seorang
penumpang teringat akan bawaannya. Ia buka
bungkusnya dan nampaklah sebuah lukisan
Bunda Maria. Sambil memperlihatkan lukisan
Bunda Maria di tangannya ia berkata kepada
semua penumpang kapal, "Mari kita berdoa mohon perlindungan Maria
Bintang Laut."

Tengah mereka berlutut dan berdoa tiba-tiba langit yang tadinya gelap
berawan menjadi cerah. Angin yang selama beberapa jam membuat perahu
oleng mulai reda. Begitu juga gelombang laut pelan-pelan menjadi teduh.
Akhirnya kapal merapat di pelabuhan Roma. Semua penumpang selamat.

Pemilik lukisan langsung menuju ke rumah kawannya. Sayang, usia orang itu
tidak lama. Sebelum meninggal ia berpesan kepada kawannya untuk
menyerahkan lukisan kepada salah satu gereja di Roma. Kawannya melihat
lukisan itu indah, tetapi juga aneh. Tidak sebagaimana lukisan Bunda Maria
yang pernah ia lihat, lukisan ini memberi suatu pesan khusus yang sulit
dilupakan.

Gambar ajaib itu memperlihatkan Bunda Maria sedang menggendong


Kanak-kanak Yesus. Sikap dan wajah Yesus memperlihatkan rasa cemas.
Yesus yang masih kecil nampaknya mencari perlindungan pada bunda-Nya.
Tangan-Nya yang mungil menggenggam erat-erat tangan Bunda Maria.
Mata Yesus menunjukkan rasa cemas. Keterkejutan dan usaha
menyelamatkan diri secara tergesa-gesa nampak dari salah satu sandalnya
yang tergantung dan hampir terlepas .

Menurut pelukisnya, kemungkinan ia berasal dari pulau Kreta di Eropa


Timur, ketika itu Yesus sedang bermain. Tiba-tiba datang dua orang
malaikat. Pasti Yesus terkejut. Ia segera lari ke pangkuan bunda-Nya
untuk mohon perlindungan. Bunda Maria juga sempat terkejut sebelum
mengetahui apa yang terjadi. Ada alasan yang kuat mengapa Yesus kecil
terkejut ketika melihat dua malaikat tersebut. Utusan Tuhan itu
memperlihatkan secara jelas salib, paku-paku, lembing dan bunga karang
yang penuh cuka dan empedu. barang-barang ini, seperti kita ketahui,
kelak akan menjadi alat kesengsaraan Yesus ketika Ia memikul salib dan
wafat di Kalvari. Sebagai anak kecil Yesus ketakutan. Ia merasa ngeri.
Karena itu Ia memeluk Maria. Jari-jari-Nya gemetar dalam genggaman
Bunda Maria yang aman. Dengan penuh kasih keibuan, Bunda Maria
merapatkan Kanak-kanak Yesus lebih dekat ke tubuhnya. Dalam pelukan
Maria, Yesus merasa aman.

Kawan pemilik lukisan sangat menyukai lukisan Bunda Penolong Abadi; ia


menyimpannya. Malam hari Bunda Maria menampakkan diri kepadanya
dalam suatu mimpi. Bunda Maria mengingatkannya untuk melaksanakan
pesan kawannya sebelum meninggal, yaitu menyerahkan lukisan kepada
gereja. Mimpinya disampaikan kepada isterinya, tetapi mereka masih tetap
menyimpannya. Tak lama kemudian ia pun meninggal. Ia telah berpesan
kepada isterinya untuk menyerahkan lukisan ke gereja. Namun demikian
isterinya bertekad untuk tetap menyimpannya. Bunda Maria kembali
mengingatkan keluarga itu melalui anak gadisnya, "Ibu, aku melihat
seorang wanita yang amat cantik. Ia berkata kepadaku, 'katakan kepada
ibumu, Bunda Penolong Abadi minta supaya lukisan dirinya ditempatkan di
salah satu gereja.'

Akhirnya lukisan diserahkan ke Gereja St. Alfonsus di Roma dan disimpan


disana selama kurang lebih 300 tahun. Selama itu pula tempat tersebut
menjadi terkenal karena mukjizat-mukjizat yang terjadi. Pada tahun 1798,
di jaman Napoleon berkuasa, para imam diusir. Salah seorang imam sempat
menyimpan lukisan Bunda Penolong Abadi di sebuah kapel kecil dan lukisan
itu pun terlupakan selama 70 tahun.

Seorang bruder tua masih ingat riwayat lukisan itu. Ia menceritakannya


kepada seorang anak kecil yang kemudian menjadi seorang imam
Redemptoris. Ia menceritakannya pula kepada sesama imam hingga
akhirnya berita ini terdengar juga oleh Paus. Paus memerintahkan agar
lukisan tersebut diperlihatkan dan dihormati. Pada tahun 1866 lukisan
Maria Penolong Abadi ditempatkan kembali secara resmi di Gereja St.
Alfonsus, Roma .

Lukisan Maria Penolong Abadi yang asli dilukis di atas kayu. Usianya kira-
kira 500 tahun. Paus Pius IX berpesan kepada para imam Redemptoris,
"Perkenalkanlah dia ke seluruh dunia". Sejak itu lukisan Maria Penolong
Abadi diperbanyak dan duplikatnya disebarkan ke seluruh dunia. Konsili
Vatikan II dalam salah satu butir penghormatan kepada Maria
memberikan nama Penolong Abadi (Perpetual Help). Pertimbangannya ialah
karena nama itu secara ajaib menonjolkan dan menekankan pengasuhan
keibuan yang dilakukan Maria terhadap Gereja yang kini masih berjuang di
dunia.

MAKNA GAMBAR

a Paraf Yunani yang artinya "Bunda Allah"


b Bintang di cadar Bunda Maria. Beliaulah Bintang Lautan … yang membawa cahaya Kristu
kepada kegelapan dunia ini … Bintang yang membimbing kita dengan aman menuju rumah
Surgawi.

c Paraf Yunani untuk "Malaikat Agung Mikael". Ia dilukiskan sedang memegang lembing d
bunga karang alat sengsara Kristus.
d Mulut Maria digambar mungil sebagai lambang sedikit berbicara dan dalamnya kehidupa
kontemplasi Sang Perawan.
e Jubah Merah, warna yang dikenakan oleh para perawan pada zaman Kristus.
f Mantel Biru Tua, warna yagn dipakai para ibu di Palestina. Maria adalah perawan dan ib
g Tangan-tangan Kristus menggenggam erat ibu jari Bunda-Nya, menyatakan kepada kita
kepercayaan yang harus kita berikan di dalam doa-doa kepada Bunda Maria.
h Mahkota emas dilukis dalam gambar aslinya, merupakan tanda dari banyaknya doa yang
terkabul yang ditujukan kepada Bunda Maria yang disebut sebagai "Bunda Penolong Ab
i Paraf Yunani untuk "Malaikat Agung Gabriel". Ia memegang salib dan paku-paku.
j Mata Bunda Maria digambar besar, mata itu melihat tembus pada kebutuhan-kebutuha
dan mengundang permohonan-permohonan.
k Paraf Yunani untuk "Yesus Kristus".
l Tangan Kiri Bunda Maria menopang Kristus dengan eratnya, menyatakan kepada kita ja
yang kita peroleh dalam pengabdian terhadap Bunda Allah.
m Sandal yang terjatuh, suatu tanda bahwa bagi mereka yang merenungkan sengsara Kris
akan memperoleh penyelamatan dan memasuki jenjang pewaris-Nya yang abadi (Rut 4:7

Doa Novena

BUNDA PENOLONG ABADI


DOAKANLAH KAMI

Bunda Penolong Abadi, dengan penuh kepercayaan dan harapan kami


berlutut di hadapanmu.
Belum pernah ada orang yang sia-sia mencari perlindunganmu.
Semasa hidupmu sebagai ibu, engkau seringkali memberi pertolongan
kepada Yesus Puteramu.
Dengan penuh kasih sayang engkau melindungi dan membimbing-Nya
selama masa muda-Nya.
Selama hidup-Nya di muka umum engkau menghibur-Nya dan memberi
dorongan kepada-Nya.
Pada saat Dia menderita, engkau mendampingi dan menguatkan-Nya.
Demikian juga jadilah bagi kami seorang ibu yang selalu menolong kami.

Bunda Maria, kami ini juga anakmu.


Di kayu salib, Putera Ilahimu telah memberikan dikau sebagai bunda kami
dan engkau telah menerima kami sebagai anakmu.
Kami tahu engkau memberi anak-anakmu -khususnya mereka yang
menghormatimu sebagai
Bunda Penolong Abadi- rahmat dan berkat yang tak terhitung banyaknya
untuk jiwa raga mereka.
Dengan penuh syukur kami mengucapkan terima kasih untuk segala
perlindungan
bagi kami dan bagi mereka semua.

Bunda Penolong Abadi, jangan biarkan kami sekarang pergi tanpa


penghiburanmu.
Kami selalu memerlukan bantuanmu, teristimewa dalam kesulitan yang
sekarang ini kami alami .....
Bunda Maria pandanglah kami dengan penuh kebaikan dan kasih sayang.
Jadilah perantara kepada Putera Ilahimu untuk memperoleh anugerah-
anugerah ......
yang kami mohon dengan sangat dalam doa ini.
Kami berjanji akan berterima kasih kepadamu selama hidup kami,
sampai kami datang bersyukur kepadamu di surga.

Bunda yang berkuasa, baik bagi kami,


Engkau dapat menolong kami,
Engkau pasti berkenan menolong kami,
Engkau bersedia menolong kami,
O Bunda Penolong Abadi yang setia,
terimalah doa kami. Amin.

sumber : AVE MARIA No. 9 Juli 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia

Bunda
Pertolongan
Orang Kristen

Dalam tahun 1571 sebuah armada


Turki yang luar biasa besar berlayar
menuju Eropa. Sasarannya
menaklukkan Kota Abadi Roma. Dari
pihak Eropa dikerahkan sebuah armada gabungan, namun kecil jumlahnya
dan sederhana persenjataannya, dipimpin oleh Don Yuan dari Austria.

Dalam tahun 1570, Uskup Agung Montufor dari Meksiko menyuruh


dibuatkan reproduksi gambar Bunda Maria Guadalupe yang sebelum dikirim
kepada Raja Philip II dari Spanyol disentuhkan pada gambar aslinya.
Gambar kecil itu diserahkan kepada Admiral Giovani Doria dan disimpan
dalam kabin admiral selama pertempuran yang hebat berlangsung di
Lepanto. Ia berkata, "Mari kita panjatkan doa mohon bantuan doa Maria
untuk menyelamatkan armada kita dalam pertempuran yang jelas-jelas
merupakan kehancuran di pihak Barat."

Waktu itu Pimpinan Gereja tertinggi adalah Paus Pius V. Beliau menyerukan
kepada semua orang Katolik di Eropa untuk memohon bantuan Bunda Allah
dengan gelarnya Pertolongan Orang Kristen dengan berdoa rosario tanpa
henti. Umat Katolik menanggapi seruan Paus dan berdoa rosario 24 jam
terus-menerus.

Dalam saat-saat yang amat kritis, pada saat pertempuran berat sebelah
dan armada Kristen tak berdaya, tiba-tiba angin yang amat besar datang
dan bertiup menerjang armada Turki. Armada yang kuat itu tenggelam dan
hancur berantakan. Semestinya berita itu baru sampai di Roma beberapa
hari kemudian, tetapi aneh, Paus tiba-tiba berkata, "Marilah kita
mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah; kemenangan sudah
kita capai!" Kata-kata Paus itu dicatat dan disegel. Dua minggu kemudian
utusan Don Yuan tiba di Roma membawa berita gembira tersebut. Isinya
mengenai kemenangan tepat pada saat Paus mengumumkannya di Roma
yaitu tanggal 7 Oktober 1571.

Satu hari penuh dipersembahkan untuk menghormati Bunda Maria Bunda


Segala Kemenangan. Tahun berikutnya 7 Oktober ditetapkan sebagai
Pesta Ratu Rosario Yang Tersuci. Pada tahun 1815, seruan Santa Perawan
Maria Pertolongan Orang Kristen ditambahkan dalam Litani Bunda Maria
dari Loretto.

MIMPI SANTO YOHANES BOSCO

Mengenai Santo Yohanes Bosco, Paus Pius XI pernah menyatakan: "Untuk


Don Bosco, hal yang luar biasa menjadi biasa!" Di antara hal-hal luar biasa
yang dianugerahkan Allah kepadanya adalah karunia membaca jiwa
seseorang, nubuat, serta mimpi-mimpi yang ternyata berupa visiun
(penglihatan, penampakan).
Don Bosco mendapat visiunnya yang pertama ketika berusia sembilan tahun
dan kemudian banyak visiun-visiun yang diterimanya sepanjang hidupnya
sebagai imam. Pada tahun 1844, Bunda Allah menampakkan diri kepada Don
Bosco dan minta supaya didirikan sebuah gereja dengan nama Maria
Pertolongan Orang Kristen. Bunda berbicara dengannya secara tepat dan
mendetail hingga pada konstruksi bangunannya.

Paus Pius IX menyuruh Don Bosco menulis semua mimpinya untuk


menyemangati Tarekatnya, Tarekat St. Fransiskus dari Sales, dan seluruh
dunia. Dalam buku "Dreams, Visions and Prophecies of Don Bosco"
ditemukan "Impian tentang dua tiang utama". Bagian ini ditulis pada
tanggal 30 Mei 1862. Tulisan berikut adalah ringkasan dari teks aslinya:

"Beberapa menit yang lalu, saya bermimpi... Saya melihat suatu samudera
yang amat luas. Seluruhnya air yang ditutupi suatu formasi armada kapal-
kapal dalam keadaan siap tempur... Semua kapal dilengkapi persenjataan
berat dengan meriam, bom pembakar dan macam-macam persenjataan.
Ada sebuah kapal yang megah dan lebih agung dari kapal lainnya. Ketika
merapat, kapal-kapal lain langsung menghantam, menembakkan api dan
menyerangnya habis-habisan. Kapal raksasa yang agung itu dikelilingi
sebuah konvoi kapal kecil... Di tengah-tengah lautan yang tak berujung itu,
nampak dua tiang besar yang amat kokoh, dalam jarak yang agak jauh,
menjulang tinggi ke langit. Tiang yang satu menyangga sebuah patung
Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda. Di bawah kakinya terbaca huruf-
huruf besar yang jelas: PERTOLONGAN ORANG KRISTEN. Tiang yang
lainnya jauh lebih kokoh dan tinggi, menyangga sebuah Hosti dan di
bawahnya tertulis: KESELAMATAN BAGI UMAT BERIMAN.

Komandan kapal raksasa ini ialah Paus. Menghadapi serangan yang


berbahaya itu Paus segera memanggil kapten-kapten kapal untuk
berunding. Namun, ketika mereka sedang merundingkan strategi, sebuah
badai yang ganas datang. Mereka harus kembali ke kapal masing-masing.
Sambil berdiri di tempat kemudi, Paus mengerahkan seluruh tenaganya
untuk mengemudikan kapalnya di antara dua tiang besar itu. Semua armada
musuh merapat dan dengan segala daya upaya berusaha menenggelamkan
kapal besar itu. Meriam-meriam musuh meledak terus. Tiba-tiba Paus
jatuh, terluka parah. Ia segera ditolong tetapi jatuh untuk kedua kalinya
dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Teriakan kemenangan dan
luapan kegembiraan dari kapal-kapal musuh semakin menggila.
Tak lama setelah Paus meninggal, yang lain segera mengambil alih. Dengan
segala pertahanannya, Paus yang baru berhasil mengemudikan kapal dengan
selamat di antara dua tiang besar itu dan menambatkan kapalnya pada
kedua tiang itu; pertama pada tiang dengan Hosti di atasnya, dan kemudian
pada tiang dengan patung Bunda Maria di atasnya. Sesuatu yang tak
terduga terjadi. Kapal-kapal musuh menjadi panik dan tercerai-berai,
saling bertabrakan dan menenggelamkan satu sama lain... Sekarang suatu
ketenangan yang besar meliputi seluruh samudera itu."

Kemudian Don Bosco menjelaskan, "Kapal-kapal musuh melambangkan


penganiayaan. Pencobaan yang besar menanti Gereja. Para musuh Gereja
dilambangkan oleh kapal-kapal yang menyerang dan berusaha
menenggelamkan kapal besar. Hanya dua hal yang dapat menyelamatkan
kita pada saat yang kritis itu. Devosi kepada Sakramen Maha Kudus dan
Devosi kepada Bunda Allah."

Mari kita berusaha sekuat tenaga memanfaatkan kedua devosi ini serta
menganjurkannya kepada siapa saja, di mana saja untuk melakukan hal yang
sama!

sumber : AVE MARIA No. 8 Mei 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia

Artikel khusus.
Ratu Rosario
"Berdoalah Rosario setiap hari...
Berdoa, berdoalah sesering mungkin
dan persembahkanlah silih bagi para
pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada
akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda
akan menang."

Pesan Bunda Maria dalam


penampakan kepada anak-anak di
Fatima

Apa itu Rosario?

Asal-usul Rosario
7 Oktober : Pesta SP Maria Ratu Rosario

15 Janji Maria

APA ITU ROSARIO?


Rosario berarti "Mahkota Mawar". Bunda Maria menyatakan
kepada beberapa orang bahwa setiap kali mereka mendaraskan satu
Salam Maria, mereka memberinya sekuntum mawar yang indah dan
setiap mendaraskan Rosario secara lengkap mereka memberinya
sebuah mahkota mawar. Mawar adalah ratu semua bunga, jadi Rosario
adalah ratu dari semua devosi, oleh karenanya rosario adalah devosi
yang paling penting. Rosario dianggap sebagai doa yang sempurna
karena di dalamnya terkandung warta keselamatan yang mengagumkan.

Sesungguhnya, dengan Rosario kita merenungkan peristiwa-peristiwa


gembira, sedih dan mulia dalam kehidupan Yesus dan Maria. Rosario
adalah doa yang sederhana, sangat sederhana seperti Maria. Rosario
adalah doa yang dapat kita doakan bersama dengan Bunda Maria,
Bunda Tuhan. Dengan Salam Maria kita memohon Bunda Maria untuk
mendoakan kita. Bunda Maria senantiasa mengabulkan permohonan
kita. Ia menyatukan doanya dengan doa kita. Oleh karena itu, rosario
menjadi doa yang ampuh sebab apa yang Bunda Maria minta, ia pasti
menerimanya. Yesus tidak pernah menolak apa pun yang diminta
BundaNya.

Di setiap penampakan, Bunda Surgawi meminta kita untuk mendaraskan


Rosario sebagai senjata ampuh melawan kejahatan, dan sarana
pembawa damai sejahtera. Dengan doamu digabungkan dengan doa
Bunda Surgawi, kamu dapat memperoleh rahmat yang besar untuk
menghasilkan pertobatan. Setiap hari, melalui doa, kamu dapat
mengusir dari dirimu sendiri dan dari tanah airmu banyak bahaya dan
kejahatan. Tampaknya, Rosario hanyalah doa yang diulang-ulang, tetapi
sesungguhnya Rosario itu seperti dua orang yang saling mengasihi
yang setiap kali saling mengucapkan: "Aku mengasihimu"…

Keseluruhan Rosario terdiri dari lima belas misteri. Dalam satu misteri
didaraskan sepuluh Salam Maria untuk menghormati suatu misteri
dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Biasanya kita mendaraskan lima misteri sekaligus sambil
merenungkan suatu peristiwa.
Misteri-misteri dapat didoakan sebagian untuk kemudian dilanjutkan
kembali, hingga satu peristiwa lengkap didaraskan dalam hari yang
sama.
Di setiap misteri yang terdiri dari sepuluh Salam Maria, meditasi dapat
dilakukan di setiap manik-manik yang mewakili satu Salam Maria.

ASAL USUL ROSARIO

Karena Rosario dirangkai -terutama dan pada hakekatnya-


dari Doa Yesus dan Salam Malaikat, yaitu Bapa Kami dan Salam Maria,
maka tanpa ragu-ragu kita mengakui doa itu sebagai doa utama
sekaligus devosi utama umat beriman. Doa itu telah dipakai berabad-
abad lamanya semenjak zaman para rasul dan murid-murid hingga
sekarang ini.

Namun baru pada tahun 1214, Gereja menerima dan mengakuinya dalam
bentuknya yang sekarang ini, serta mendaraskannya menurut metode
yang kita pakai sekarang ini. Doa ini diwariskan kepada Gereja oleh St.
Dominikus, pendiri Ordo Para Pengkotbah, yang menerimanya langsung
dari Bunda Perawan Terberkati sebagai sarana yang ampuh untuk
mempertobatkan kaum bidaah Albigensia dan pendosa-pendosa
lainnya. Sehubungan dengan itu saya mau menceritakan kepada anda
kisah St. Dominikus menerima Rosario Suci itu. Kisah ini ditemukan di
dalam buku termasyhur Beato Alan de la Roche berjudul De Dignitate
Psalterii.

Menyadari bahwa gawatnya dosa-dosa umat merintangi pertobatan


kaum bidaah Albigensia, Santo Dominikus mengasingkan diri ke sebuah
hutan dekat kota Toulouse. Di sana ia berdoa tak henti-hentinya selama
tiga hari tiga malam. Selama itu, ia tidak berbuat apa-apa selain berdoa
sambil menangis, dan dengan tekun mengusahakan penebusan dosa
demi meredakan kemurkaan Allah yang Mahakuasa. Ia berdoa dan
bermatiraga dengan pengendalian diri yang sungguh-sungguh sehingga
badannya menjadi lemah dan rapuh. Akhirnya ia jatuh sakit parah. Pada
saat itulah Bunda Maria, didampingi oleh tiga malaikat, menampakkan
diri kepadanya dan berkata: "Dominikus yang terkasih! Tahukah engkau
senjata ampuh yang dipakai Tritunggal Mahakudus untuk membaharui
dunia ini?" Jawab Santo Dominikus, "Oh, Ibu, engkau tahu senjata itu
jauh melebihi saya, karena di samping Puteramu Yesus Kristus, engkau
sudah selalu menjadi sarana utama keselamatan kami." Lalu Bunda
Maria menjawab: "Aku mau engkau mengetahui bahwa dalam
peperangan semacam ini, alat pelantak yang ampuh itu ialah Salam
Malaikat, yang merupakan batu fundasi Perjanjian Baru. Oleh karena itu,
kalau engkau mau menemui jiwa-jiwa kaum beriman yang bersikap
keras, dan memenangkan mereka bagi Allah, wartakanlah mazmurku."

Dominikus merasa terhibur lalu bangun. Terbakar oleh semangatnya


untuk mempertobatkan orang-orang di daerah itu, ia mendirikan sebuah
katedral. Pada suatu hari, malaikat-malaikat yang tak kelihatan
membunyikan lonceng-lonceng untuk mengumpulkan orang-orang di
daerah itu. Lalu Dominikus mulai berkhotbah kepada mereka.
Pada awal khotbahnya terdengar letusan halilintar yang
menggemparkan, bumi bergoncang, matahari tak bersinar, dan guntur
serta halilintar menggelegar sambung-menyambung membuat semua
orang ketakutan. Mereka semakin takut tatkala memandang gambar
Bunda Maria mengangkat tangannya ke surga sebanyak tiga kali untuk
menurunkan murka Allah atas mereka apabila mereka tidak mau
bertobat, tidak mau merobah hidup mereka, dan tidak mau mencari
perlindungan dari Bunda Allah yang kudus.

Dengan cara ajaib ini Tuhan bermaksud menyebarluaskan devosi baru


kepada Rosario Suci, dan membuatnya lebih dikenal oleh semua orang.
Karena doa Dominikus, halilintar itu mulai reda berangsur-angsur,
sehingga ia dapat melanjutkan kotbahnya. Dengan tegas dan mendesak,
ia menjelaskan nilai dan pentingnya rosario suci sehingga hampir
semua orang Toulouse memeluknya dan berjanji untuk meninggalkan
kepercayaan mereka yang salah. Dalam waktu yang begitu singkat
terjadilah perubahan besar di kota itu. Umat mulai menghayati
kehidupan Kristiani, dan menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk
mereka.

(Sumber: “Rahasia Rosario”, judul asli: The Secret of the Rosary by St Louis-Marie
Grignion de Montfort, diterjemahkan oleh B. Mali, Penerbit Obor)

7 OKTOBER : PESTA SANTA PERAWAN MARIA RATU


ROSARIO

Pada tanggal 7 Oktober 1571 terjadi suatu pertempuran armada laut


yang dahsyat di Laut Tengah, dekat pantai Yunani. Tempat itu disebut
Lepanto. Turki memiliki angkatan laut yang paling kuat di bawah
pimpinan Halifasha. Sebelum pertempuran ini, Turki telah menyerang
semua pelabuhan Katolik di Eropa. Paus Pius V yang pada waktu itu
duduk di Tahta St. Petrus di Roma menyerukan supaya semua orang
Katolik di Eropa bersatu dan bertahan terhadap serangan armada
Halifasha. Kemudian Paus menunjuk Don Yuan dari Austria menjadi
komandan armada gabungan Eropa yang akan menghadapi armada
Turki.

Don Yuan terkenal memiliki devosi yang sangat kuat kepada Bunda
Maria. Ketika tentara Katolik naik ke kapal untuk diberangkatkan ke
medan perang, mereka masing-masing diberi rosario di tangan kanan,
sementara tangan kiri mereka memegang senjata. Paus yang menyadari
aramada ini tidak ada artinya dibandingkan dengan armada Turki yang
jumlahnya tiga kali lipat, meminta agar seluruh penduduk Eropa berdoa
rosario. Di mana-mana orang berdoa rosario selama 24 jam terus-
menerus.
7 Oktober 1571 pukul 11.30 kedua armada itu mulai bertempur dengan
dahsyat hingga baru berakhir keesokan harinya pukul 5.30 sore.
Mukjizat terjadi di sana. Ketika pertempuran sedang berlangsung sengit,
tiba-tiba angin berubah arah sehingga menguntungkan pihak armada
Katolik. Armada Turki berhasil dikalahkan. Halifasha mati terbunuh.
Karena kemenangan rosario ini, maka tanggal 7 Oktober ditetapkan
sebagai Hari Raya Rosario.

15 JANJI BUNDA MARIA BAGI MEREKA YANG SETIA BERDOA


ROSARIO

1. Mereka yang dengan setia mengabdi padaku dengan mendaraskan


Rosario, akan menerima rahmat-rahmat yang berdaya guna.
2. Aku menjanjikan perlindungan istimewa dan rahmat-rahmat terbaik bagi
mereka semua yang mendaraskan Rosario.
3. Rosario akan menjadi perisai ampuh melawan neraka. Rosario
melenyapkan sifat-sifat buruk, mengurangi dosa dan memenaklukkan
kesesatan.
4. Rosario akan menumbuhkan keutamaan-keutamaan dan menghasilkan
buah dari perbuatan-perbuatan baik. Rosario akan memperolehkan bagi
jiwa belas kasihan melimpah dari Allah, akan menarik jiwa dari cinta
akan dunia dan segala kesia-siaannya, serta mengangkatnya untuk
mendamba hal-hal abadi. Oh, betapa jiwa-jiwa akan menguduskan diri
mereka dengan sarana ini.
5. Jiwa yang mempersembahkan dirinya kepadaku dengan berdoa Rosario
tidak akan binasa.
6. Ia yang mendaraskan rosario dengan khusuk, dengan merenungkan
misteri-misterinya yang suci, tidak akan dikuasai kemalangan. Tuhan
tidak akan menghukumnya dalam keadilan-Nya, ia tidak akan meninggal
dunia tanpa persiapan; jika ia tulus hati, ia akan tinggal dalam keadaan
rahmat dan layak bagi kehidupan kekal.
7. Mereka yang memiliki devosi sejati kepada Rosario tidak akan
meninggal dunia tanpa menerima sakramen-sakramen Gereja.
8. Mereka yang dengan setia mendaraskan Rosario, sepanjang hidup
mereka dan pada saat ajal mereka, akan menerima Terang Ilahi dan
rahmat Tuhan yang berlimpah; pada saat ajal, mereka akan menikmati
ganjaran pada kudus di surga.
9. Aku akan membebaskan mereka, yang setia berdevosi Rosario, dari api
penyucian.
10. Putera-puteri Rosario yang setia akan diganjari tingkat kemuliaan yang
tinggi di surga.
11. Kalian akan mendapatkan segala yang kalian minta daripadaku dengan
mendaraskan Rosario.
12. Aku akan menolong mereka semua yang menganjurkan Rosario Suci
dalam segala kebutuhan mereka.
13. Aku mendapatkan janji dari Putra Ilahiku bahwa segenap penganjur
Rosario akan mendapat perhatian surgawi secara khusus sepanjang
hidup mereka dan pada saat ajal.
14. Mereka semua yang mendaraskan Rosario adalah anak-anakku, saudara
dan saudari Putra tunggalku, Yesus Kristus.
15. Devosi kepada Rosarioku merupakan pratanda keselamatan yang luhur.

Sudah di masukan dalam blog


pada tanggal 11-09-2008

Artikel khusus tentang Penampakan.


Santa Perawan Maria Medali
Wasiat
27 NOVEMBER : SP MARIA DARI
MEDALI WASIAT

“Inilah lambang karunia yang


kulimpahkan kepada orang-orang
yang memintanya kepadaku.
Barang-siapa mengenakannya akan
menerima karunia yang besar.”
~ Pesan Bunda Maria kepada St.
Katarina Laboure

Tengah malam Katarina Laboure dibimbing ke


Kapel. Di sana ia berbicara dengan Bunda
Allah. Dengan cara yang amat menyentuh
hati, ia menikmati kasih sayang serta
perhatian Bunda Maria yang ditujukan bagi semua orang, terutama mereka
yang bertaut kepada Putera-nya dan menyebut dirinya Kristen.

Medali Wasiat yang dianugerahkan kepada kita menjadi tanda kasih sayang
serta pemeliharaan yang ditawarkan Bunda Maria kepada kita semua.
Mengenakan Medali Wasiat berarti menerima tawaran kasihnya.

Apa itu Yang Dikandung Tanpa Dosa?

Siapakah St. Katarina Laboure?


Tanggal 18 Juli 1830 jam setengah dua belas malam terbangunlah Sr
Katarina. Dengan jelas ia mendengar suara seseorang memanggil-manggil
namanya hingga tiga kali, “Suster Laboure!” Tampaklah seorang anak kecil
kira-kira berumur empat atau lima tahun yang berkata kepadanya, “Mari
kita pergi ke gereja, Santa Maria menunggumu.”

Sr Katarina menjawab: "Kita akan ketahuan."

Anak itu tersenyum, "Jangan khawatir, sekarang ini jam setengah dua
belas, semua orang sudah tidur ...ayolah, aku menunggumu."

Sr Katarina segera bangkit dan bersiap-siap lalu pergi bersama anak itu
yang selalu ada di sebelah kirinya dengan memancarkan sinar yang terang
benderang. Pintu kapel yang terkunci langsung terbuka oleh sentuhan anak
kecil itu. Sr Katerina amat takjub: di dalam gereja semua lilin dan lampu
telah menyala, seolah-olah akan dipersembahkan Misa tengah malam. Anak
itu menuntunnya ke altar. Kira-kira setengah jam lamanya Sr Katarina
berlutut di sana, ketika tiba-tiba terdengar olehnya gemerisik gaun
sutera. Anak itu berbisik, “Santa Maria ingin berbicara kepadamu”.

Di sebelah altar turunlah Santa Maria. Setelah berlutut di hadapan


tabernakel, Bunda Maria duduk di kursi Pastor. “Dengan satu langkah
saja,” kata Sr Katarina, “aku berada di dekatnya. Tanganku bertumpu di
atas lutut Santa Maria. Itulah saat yang paling membahagiakan dalam
hidupku.” Santa Maria bercakap-cakap dengan Sr Katarina selama dua jam
mengenai tugas yang hendak diberikan Tuhan kepada Sr Katarina serta
kesulitan-kesulitan yang bakal dialaminya dalam mengerjakan tugas
tersebut. Setelah Santa Maria pergi, anak kecil itu mengantarkan Sr
Katarina kembali ke ruang tidur. Terdengarlah lonceng berbunyi dua kali
tetapi Sr Katarina tidak dapat tidur lagi.

Tanggal 27 November 1830 jam setengah enam sore, Sr Katarina dan para
suster pergi ke Kapel untuk bermeditasi. Samar-samar terdengar
gemerisik gaun sutera. Sr Katarina mengarahkan pandangannya ke altar
dan di sana ia melihat Santa Perawan Maria berdiri di atas sebuah bola
besar. Gaun sutera Maria bersinar kemilau. Kerudung putihnya panjang
hingga ke kaki. Di bawah kerudung kepalanya, ia mengenakan sehelai renda
untuk mengikat rambutnya. Sebuah bola emas dengan salib di atasnya ada
ditangannya. Santa Maria menengadah mohon berkat Tuhan bagi benda itu.
Lalu tampaklah pada jari-jemarinya cincin permata yang beraneka warna
dan sangat indah. Permata ini memancarkan sinar gilang-gemilang.
Limpahan kemulian demikian terang hingga bola besar tempat Maria
berpijak tidak tampak lagi. Sr Katarina mengerti bahwa sinar cahaya
melambangkan rahmat yang dilimpahkan bagi mereka yang mencarinya;
mutiara-mutiara di jari-jemari Bunda Maria yang tidak memancarkan sinar
melambangkan rahmat bagi jiwa-jiwa yang lupa memintanya. Kemudian bola
itu menghilang. Tangan Maria terentang ke bawah dan terbentuklah suatu
bingkai yang lonjong dengan kata-kata mengelilingi kepalanya: “O Maria,
yang dikandung tanpa dosa, doakanlah kami yang berlindung padamu.”

Santa Perawan Maria berkata, “Inilah lambang karunia yang kulimpahkan


kepada orang-orang yang memintanya kepadaku. Suruhlah membuat sebuah
medali menurut bentuk ini. Barangsiapa mengenakannya akan menerima
karunia yang besar, terutama jika medali ini dikenakan pada lehernya.”
Kemudian berbaliklah gambar tersebut dan tampaklah gambar bagian
belakang medali. Yaitu huruf “M” dengan sebuah salib di atasnya. Huruf M
terletak di atas sebuah palang di mana di bawahnya terdapat dua buah
hati. Hati yang pertama dilingkari mahkota duri - hati Yesus. Hati yang
kedua tertusuk pedang - hati Maria. Penjelasannya amat sederhana. Kita
umat Kristen telah ditebus oleh Tuhan yang telah disalibkan di hadapan
ibu-Nya, Maria Ratu Para Martir. Dua belas bintang mengelilingi
penampakan tersebut.

Sr Katarina bertanya bagaimana ia dapat mengusahakan medali itu dibuat.


Bunda Maria mengatakan bahwa ia harus pergi kepada Bapa Pengakuannya,
Romo Jean Marie Aladel karena: "Ia adalah hambaku." Pada mulanya Romo
Aladel tidak dapat percaya akan apa yang dikatakan Sr Katarina, namun
demikan, setelah dua tahun berlalu, ia pergi juga kepada Uskup Agung
Quelen di Paris. Tanggal 20 Juni 1832 Uskup Agung Quelen
memerintahkan agar segera dibuat 2000 Medali.

Ketika Sr Katarina menerima medalinya, ia berkata, "Sekarang medali ini


harus disebarluaskan." Devosi kepada medali yang dianjurkan oleh Sr
Katarina secara ajaib menyebar dengan cepat. Pertobatan dan mukjizat-
mukjizat yang terjadi melalui Medali Santa Perawan Maria tak terhitung
banyaknya. Sehingga, nama resmi yang diberikan kepada medali tersebut
"Medali dari Yang Dikandung Tanpa Dosa" segera dilupakan orang. Mereka
lebih suka menyebutnya Miraculous Medal (Medali Ajaib) atau di
Indonesia disebut Medali Wasiat.

Pada tahun 1836 Komisi Khusus yang ditunjuk oleh Bapa Uskup Agung
menyatakan bahwa penampakan Santa Perawan Maria di Kapel Biara
Puteri-Puteri Kasih di 140 Rue du Bac, Paris, Perancis adalah benar.
Kita pun diberi keistimewaan untuk mengenakan Medali Wasiat.
Mengenakannya berarti menerima tawaran perlindungan Bunda Maria yang
membawa kuasa Putera-nya, Yesus Kristus ke dalam hidup kita.

"O Maria, yang dikandung tanpa dosa, doakanlah kami yang


berlindung padamu.”

sumber : 1. AVE MARIA No. 3 April 1996; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia;
2. berbagai sumber

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

SP Maria dari Lourdes

11 FEBRUARI : SP MARIA DARI


LOURDES

"Aku tidak menjanjikan kamu


kegembiraan di dunia ini,
tetapi di dunia yang akan
datang."
Pesan Bunda Maria dalam
suatu penampakan kepada St.
Bernadette Soubirous

11 Februari tahun 1858, di sebuah gua


di Massabielle, dekat Lourdes, di
Perancis selatan, Bunda Maria
menampakkan diri sebanyak 18 kali
kepada seorang gadis miskin bernama
Bernadette Soubirous. Bunda Maria memperkenalkan diri sebagai Yang
Dikandung Tanpa Dosa dan minta agar sebuah kapel dibangun di tempat
penampakan. Gadis itu diminta minum dari sebuah sumber air di gua. Tidak
ada sumber air sama sekali di sana, tetapi ketika Bernadette menggali di
suatu tempat yang ditunjukkan kepadanya, sebuah mata air mulai
memancar. Air yang hingga kini masih memancar itu mempunyai daya
penyembuhan yang luar biasa, meskipun para ahli ilmu pengetahuan tidak
dapat menemukan adanya zat-zat yang berkhasiat untuk menyembuhkan
penyakit. Lourdes telah menjadi suatu tempat ziarah Bunda Maria yang
paling terkenal.

Siapa itu Bernadette Soubirous?

Kisah Penampakan

Jenazah St Bernadette yang Tetap Utuh

Apa itu Dikandung Tanpa Dosa?

KISAH PENAMPAKAN SEPERTI DICERITERAKAN SENDIRI


OLEH BERNADETTE:

"Suatu hari saya dan dua gadis lain pergi ke pinggir sungai Gave. Tiba-tiba
saya mendengar bunyi gemerisik. Saya mengarahkan pandangan ke arah
padang yang terletak di sisi sungai, tetapi pepohonan di sana tampak
tenang dan suara itu jelas bukan datang dari sana. Kemudian saya
mendongak dan memandang ke arah gua di mana saya melihat seorang
wanita mengenakan gaun putih yang indah dengan ikat pinggang berwarna
terang. Di atas masing-masing kakinya ada bunga mawar berwarna kuning
pucat, sama seperti warna biji-biji rosarionya.

Saya menggosok-gosok mata saya, kemudian saya tergerak untuk


memasukkan tangan saya ke dalam lipatan baju saya di mana tersimpan
rosario. Saya ingin membuat tanda salib, tetapi tidak bisa, tangan saya
lemas dan jatuh kembali. Kemudian wanita itu membuat tanda salib.
Setelah usaha yang kedua saya berhasil membuat tanda salib meskipun
tangan saya gemetar. Kemudian saya mulai berdoa rosario sementara
wanita itu menggerakkan manik-manik di antara jari-jarinya tanpa
menggerakkan bibirnya sama sekali. Setelah saya selesai mendaraskan
Salam Maria, wanita itu tiba-tiba menghilang.

Saya bertanya kepada kedua gadis yang lain apakah mereka melihat
sesuatu, tetapi mereka mengatakan tidak. Tentu saja mereka ingin tahu
apa yang telah terjadi. Saya katakan kepada mereka bahwa saya melihat
seorang wanita mengenakan gaun putih yang indah, namun saya tidak tahu
siapa dia. Saya minta mereka untuk tidak menceritakan hal itu kepada
siapa pun. Mereka mengatakan saya bodoh karena memikirkan yang bukan-
bukan. Saya katakan bahwa mereka salah, dan saya merasa terdorong
untuk kembali lagi ke sana hari Minggu berikutnya.

Ketiga kalinya saya ke sana, wanita itu berbicara kepada saya dan meminta
saya untuk datang selama lima belas hari. Saya katakan saya bersedia
datang. Kemudian wanita itu meminta saya untuk menyampaikan kepada
romo agar sebuah kapel dibangun di sana. Ia juga meminta saya minum dari
sumber air. Saya pergi ke sungai Gave, satu-satunya sungai yang ada di
sana. Tetapi wanita itu menyadarkan saya bahwa bukan Gave yang ia
maksudkan. Ia menunjuk ke sebuah aliran air kecil di dekat situ. Ketika
saya sampai di sana, saya hanya dapat menemukan beberapa tetes air dan
banyak lumpur. Saya menadahkan tangan untuk mendapatkan lebih banyak
air, tetapi tidak berhasil. Karenanya saya menggali tanah. Saya berhasil
memperoleh beberapa tetes air, baru setelah usaha yang keempat saya
mendapatkan cukup air untuk diminum. Kemudian wanita itu menghilang dan
pulanglah saya ke rumah.

Saya datang setiap hari selama lima belas hari, dan setiap kali, kecuali hari
Senin dan Jum'at, wanita itu menampakkan diri. Ia meminta saya mencari
aliran sungai dan membersihkan diri di sana serta pergi ke pada romo
meminta agar sebuah kapel didirikan di sana. Saya juga harus berdoa,
katanya, untuk pertobatan orang-orang berdosa. Berkali-kali saya
bertanya kepadanya apa arti semua itu, tetapi wanita itu hanya tersenyum.
Akhirnya, dengan tangannya terentang dan matanya memandang ke langit,
ia berkata bahwa dialah "Immaculate Conception" (Yang Dikandung Tanpa
Dosa).

Selama lima belas hari itu, ia mengungkapkan tiga buah rahasia kepada
saya, tetapi saya tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun juga, dan
sejauh ini saya taat kepadanya."

(dari surat Santa Bernadette)

sumber : Our Lady of Lourdes; © Copyright 1990-2001 Catholic Online;


www.catholic.org/mary/lourdes1.html

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Santa Perawan Maria dari


Fatima
"Setiap orang, mulai dari
dirinya sendiri, harus berdoa
rosario dengan lebih khidmat
.....
dan benar-benar
mempraktekkan yang
kuanjurkan yaitu devosi Sabtu
Pertama setiap bulan."

Pesan Bunda Maria Fatima


kepada Lucia 1 Mei 1987

Fatima adalah sebuah kota kecil


sebelah utara kota Lisbon di Portugal.
Pada tahun 1917 Bunda Maria
menampakkan diri di Fatima kepada
tiga orang anak gembala. Mereka
adalah Lucia dos Santos berumur 10
tahun, sepupunya bernama Fransisco
Marto berumur 9 tahun dan Jacinta
Marto berumur 7 tahun.

Penampakan Maria didahului tiga penampakan Malaikat setahun


sebelumnya yang mempersiapkan anak-anak ini untuk penampakan Bunda
Maria. Malaikat mengajarkan kepada anak-anak, dua doa penyilihan yang
harus didoakan dengan hormat yang besar. Pada penampakan terakhir di
musim gugur 1916, Malaikat memegang sebuah piala. Ke dalam piala ini
meneteslah darah dari sebuah Hosti yang tergantung di atasnya. Malaikat
memberi ketiga anak itu Hosti sebagai Komuni Pertama mereka dari piala
itu. Anak-anak tidak menceritakan penampakan ini kepada orang lain.
Mereka melewatkan waktu yang lama dalam doa dan keheningan.

13 Mei 1917 Pesta Bunda Maria dan Sakramen Mahakudus. Ketiga anak itu
sedang menggembalakan ternaknya di Cova da Iria, sebuah padang alam
yang amat luas, kira-kira satu mil dari desa mereka. Tiba-tiba mereka
melihat sebuah kilatan cahaya dan setelah kilatan yang kedua, muncul
seorang wanita yang amat cantik. Pakaiannya putih berkilauan. Wanita yang
bersinar bagaikan matahari itu berdiri di atas sebuah pohon oak kecil dan
menyapa anak-anak:
"Janganlah takut, aku tidak akan menyusahkan kalian. Aku datang dari
surga. Allah mengutus aku kepada kalian. Bersediakah kalian membawa
setiap korban dan derita yang akan dikirim Allah kepada kalian sebagai
silih atas banyak dosa -sebab besarlah penghinaan terhadap yang
Mahakuasa- bagi pertobatan orang berdosa dan bagi pemulihan atas
hujatan serta segala penghinaan lain yang dilontarkan kepada Hati Maria
yang Tak Bernoda?"

"Ya, kami mau," jawab Lucia mewakili ketiganya. Dalam setiap penampakan,
hanya Lucia saja yang berbicara kepada Bunda Maria. Jacinta dapat
melihat dan mendengarnya, tetapi Fransisco hanya dapat melihatnya saja.

Wanita itu juga meminta anak-anak untuk datang ke Cova setiap tanggal 13
selama 6 bulan berturut-turut dan berdoa rosario setiap hari.

13 Juni 1917 ketiga anak itu pergi ke Cova. Pada kesempatan itu Bunda
Maria mengatakan bahwa ia akan segera membawa Jacinta dan Fransisco
ke surga. Sedangkan Lucia diminta tetap tinggal untuk memulai devosi
kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Ketika mengucapkan kata-kata ini,
muncullah dari kedua tangan Maria sebuah cahaya. Di telapak tangan
kanannya nampak sebuah hati yang dilingkari duri, Hati Maria Yang Tak
Bernoda yang terhina oleh dosa manusia.

"Yesus ingin agar dunia memberikan penghormatan kepada Hatiku yang


Tak Bernoda. Siapa yang mempraktekkannya, kujanjikan keselamatan.
Jiwa-jiwa ini lebih disukai Tuhan, dan sebagai bunga-bunga akan kubawa ke
hadapan takhta-Nya."

"Janganlah padam keberanianmu. Aku tidak akan membiarkan kalian.


Hatiku yang Tak Bernoda ini akan menjadi perlindungan dalam
perjalananmu menuju Tuhan."

13 Juli 1917 "Berkurbanlah untuk orang berdosa. Tetapi teristimewa bila


kalian membawa suatu persembahan, ucapkanlah seringkali doa ini: Ya
Yesus, aku mempersembahkannya karena cintaku kepada-Mu dan bagi
pertobatan orang-orang berdosa serta bagi pemulihan atas segala
penghinaan yang diderita Hati Maria yang Tak Bernoda."

Kemudian Bunda Maria memperlihatkan neraka yang sangat mengerikan.


Begitu ngeri sampai anak-anak itu gemetar ketakutan.

"Bila kelak, pada suatu malam kalian melihat suatu terang yang tak dikenal,
ketahuilah bahwa itu adalah 'Tanda' dari Tuhan untuk menghukum dunia,
karena banyaklah kejahatan yang telah kalian lakukan. Akan terjadi
peperangan, kelaparan dan penganiayaan terhadap Gereja dan Bapa Suci."

"Untuk menghindari hal itu, aku mohon, persembahkanlah negara Rusia


kepada Hatiku yang Tak Bernoda serta komuni pemulihan pada Sabtu
pertama setiap bulan."

"Bila kalian berdoa Rosario, ucapkanlah pada akhir setiap peristiwa: Ya


Yesus yang baik, ampunilah segala dosa kami, lindungilah kami dari api
neraka, hantarkanlah jiwa-jiwa ke dalam surga, terlebih jiwa yang sangat
memerlukan pertolongan-Mu."

13 Agustus 1917 anak-anak tidak bisa datang ke Cova karena mereka


semua digiring ke pengadilan oleh penguasa daerah setempat. Mereka
diancam akan dimasukkan ke dalam minyak panas. Anak-anak dijebloskan
ke dalam penjara selama 2 hari. Pada tanggal 19 Agustus Bunda Maria
menampakkan diri pada saat anak-anak sedang menggembalakan ternak
mereka di Valinhos.

"Berdoalah, berdoalah dan bawalah banyak korban bagi orang berdosa.


Sebab betapa banyak yang masuk api neraka karena tidak ada yang berdoa
dan berkorban bagi mereka."

13 September 1917 Bunda Maria mendesak lagi tentang betapa pentingnya


doa dan kurban. Ia juga berjanji akan datang bersama St. Yusuf dan
Kanak-kanak Yesus pada bulan Oktober nanti.

"Dalam bulan Oktober aku akan membuat suatu tanda heran, agar semua
orang percaya."

13 Oktober 1917 Bersama anak-anak, sekitar 70.000 orang datang ke Cova


untuk menyaksikan mukjizat yang dijanjikan Bunda Maria. Pagi itu hujan
deras turun seperti dicurahkan dari langit. Ladang-ladang tergenang air
dan semua orang basah kuyub. Menjelang siang, Lucia berteriak agar orang
banyak menutup payung-payung mereka karena Bunda Maria datang.

Lucia mengulangi pertanyaannya pada penampakan terakhir ini, "Siapakah


engkau dan apakah yang kaukehendaki daripadaku?" Bunda Maria
menjawab bahwa dialah Ratu Rosario dan ia ingin agar di tempat tersebut
didirikan sebuah kapel untuk menghormatinya. Ia berpesan lagi untuk
keenam kalinya bahwa orang harus mulai berdoa Rosario setiap hari.
"Manusia harus memperbaiki kelakuannya serta memohon ampun atas
dosa-dosanya."

Kemudian dengan wajah yang amat sedih Bunda Maria berbicara dengan
suara yang mengiba:

"MEREKA TIDAK BOLEH LAGI MENGHINA TUHAN YANG SUDAH


BEGITU BANYAK KALI DIHINAKAN."

Bunda Maria kemudian pergi ke pohon oak sebagai tanda penampakan


berakhir. Awan hitam yang tadinya bagaikan gorden hitam menyingkir ke
samping memberi jalan matahari untuk bersinar. Kemudian matahari mulai
berputar, gemerlapan berwarna-warni, berhenti sejenak dan mulai
berputar-putar menuju bumi. Orang banyak jatuh berlutut dan memohon
ampun. Sementara fenomena matahari terjadi, ketiga anak melihat suatu
tablo Keluarga Kudus di langit. Di sebelah kanan tampak Ratu Rosario. Di
sebelah kirinya St. Yosef menggandeng tangan Kanak-kanak Yesus dan
membuat tanda salib tiga kali bagi umatnya. Menyusul visiun yang hanya
tampak oleh Lucia seorang diri: Bunda Dukacita bersama Tuhan berdiri di
sampingnya dan Bunda Maria dari Gunung Karmel dengan Kanak-kanak
Yesus di pangkuannya. Matahari meluncur seolah-olah akan menimpa orang
banyak, tiba-tiba ia berhenti dan naik kembali ke tempatnya semula di
langit. 70,000 orang yang berkerumun di Cova itu menyadari bahwa
pakaian mereka yang tadinya basah kuyub oleh hujan lebat, tiba-tiba
menjadi kering. Demikian pula tanah yang tadinya becek dan berlumpur
akibat hujan tiba-tiba menjadi kering. Mukjizat matahari selama 15 menit
itu disaksikan bukan hanya oleh orang-orang di Cova da Iria saja, tetapi
juga oleh banyak orang di sekitar wilayah itu sampai sejauh 30 mil.

sumber : 1. Maria dari Fatima, Rm Petrus Pavlicek OFM - Wina; 2. AVE MARIA No.
10 September 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Santa Perawan Maria dari


Guadalupe
12 DESEMBER : ST PERAWAN MARIA
GUADALUPE

"Janganlah khawatir mengenai


apapun,
bukankah aku ada di sini?
Aku, yang adalah bundamu.
Bukankah engkau ada dalam
perlindunganku?"
Bunda Maria dari Guadalupe

Pada subuh yang dingin 9 Desember 1531,


seorang petani yang sudah menjadi duda
dalam usia 50 tahun, yang belum lama
dibaptis dan menggantikan namanya dari
“Elang Bernyanyi” menjadi Juan Diego, keluar dari rumahnya di desa
Tolpetlac dekat Guauhtitlan Mexico. Ia bergegas pada Sabtu pagi itu
menuju Tlatelolco untuk ikut ambil bagian dalam Misa. Ia memang setiap
hari menghadiri Misa. Pagi itu ia berjalan melintasi beberapa punggung
bukit menuju Tlatelolco dekat Mexico City.

Sementara menyusuri jalan, ia mendengar suara orang menyanyi. Suara


seorang perempuan. Dari tempat suara, ia melihat awan putih muncul
membentuk pelangi. Tiba-tiba sebuah cahaya muncul dari tengah-tengah
awan dan menjadi terang benderang. Ia melihat seorang perempuan yang
amat cantik rupawan berdiri di depan awan. Pakaiannya berkilau keemasan.

Juan Diego menunduk dalam sikap berlutut. Perempuan itu kemudian


berkata dalam bahasa setempat, bahasa Nahuatl: “Anakku, Juan Diego,
kemanakah engkau hendak pergi?” Juan Diego menjawab, “Yang mulia, saya
dalam perjalanan menuju gereja di Tlatelolco untuk menghadiri Misa.”
Selanjutnya Bunda Maria meminta Juan Diego untuk pergi ke kediaman
Uskup dan mengatakan kepadanya bahwa Bunda Maria menginginkan
sebuah gereja dibangun di bukit di mana ia menampakkan diri sebagai
penghormatan kepadanya.

Juan Diego bergegas ke kediaman Mgr Zumarraga, Uskup Mexico. Ia ragu-


ragu, ia menyadari dirinya sebagai seorang Indian yang tak dikenal.
Menjelang malam, ia datang kembali ke bukit. Bunda Maria sudah
menunggu di sana. Juan minta agar Bunda Maria mengirim orang lain saja
untuk menghadap Uskup. Katanya, “Saya hanya seorang yang miskin. Saya
merasa tidak layak hadir di tempat Uskup. Maafkan saya, ya Ratu. Saya
tidak bermaksud menyakiti hatimu.” Tetapi Bunda Maria menegaskan
bahwa ia menghendaki Juan dan bukan orang lain. Sebab itu, keesokan
harinya Juan memberanikan diri menghadap Bapa Uskup. Uskup
mengajukan sejumlah pertanyaan dan mengatakan bahwa jika benar ia
adalah Bunda Allah, maka ia perlu memberi bukti.

Pada tanggal 12 Desember, Bunda Maria menampakkan diri lagi kepada


Juan. Ia mengajak Juan Diego mendaki sebuah bukit yang gersang, hanya
kaktus dan belukar yang tumbuh di sana. Tetapi, setibanya Juan di sana,
bukit itu dipenuhi bunga-bunga mawar segar yang berembun dan harum
mewangi. Bunda Maria mengambil mawar-mawar yang telah dipetik dan
merangkaikannya di dalam lipatan-lipatan TILMA (= mantol kasar yang
dipakai suku Indian di Mexico) Juan.

Ketika Juan tiba di kediaman Uskup, Juan harus menunggu lama karena
dihalang-halangi para penjaga yang dengan penuh rasa ingin tahu berusaha
mengambil mawar-mawar dari mantol Juan. Namun, begitu mereka
mengulurkan tangan, mawar-mawar itu seperti terpateri di mantol Juan
sehingga mereka tidak dapat mengambilnya. Di hadapan Uskup, Juan
membuka tilmanya dan mawar-mawar pun berjatuhan ke lantai. Di tilma
Juan terlukis gambar Bunda Allah dalam pakaian Indian. Tangannya
terkatup dalam sikap berdoa, rambutnya yang hitam lembut terurai sampai
ke bahunya. Wajahnya bulat oval dengan matanya setengah tertutup.
Senyum merekah di bibirnya. Uskup Juan de Zumarraga jatuh berlutut.
Airmata mengalir membasahi pipinya ketika ia berdoa mohon ampun karena
kurang percaya. Kemudian Uskup membawa tilma Juan Diego ke dalam
kapel dan meletakkannya di depan Sakramen Mahakudus.

Di kemudian hari, diadakan penyelidikan yang cermat dan teliti atas lukisan
di mantol Juan Diego. Besarnya lukisan itu kurang lebih 1,50 meter. Bunda
Maria mengenakan mantol berwarna hijau kebiru-biruan berhiaskan 46
bintang emas, tiap-tiap bintang brujung delapan. Jubah Bunda Maria
berwarna merah jambu dengan sulaman bunga-bunga berbenang emas,
sangat indah. Tepian leher dan lengan bajunya dilapisi kulit berbulu halus
yang putih metah. Sebuah bros dengan salib hitam di tengah-tengah
menghiasi lehernya. Di sekeliling tubuhnya bergemerlapanlah gelombang
dari cahaya emas di atas latar belakang merah padam. Di pupil mata kanan
Bunda Maria tergambar tiga sosok, yaitu Juan Diego, Juan Gonzalez -
penerjemah, dan Uskup Zumarraga. Lukisan Santa Perawan Maria dari
Guadalupe kini ditempatkan di Basilika Santa Perawan Maria dari
Guadalupe di Mexico City yang didirikan pada tahun 1977.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 Paus Pius XII mengumumkan Bunda Maria
dari Guadalupe sebagai “Ratu semua orang Amerika.”

DOA MOHON PERTOLONGAN SANTA PERAWAN MARIA DARI


GUADALUPE

Bunda tercinta, kami mengasihimu.


Kami berterima kasih atas janjimu untuk menolong kami,
bila kami berada dalam kesesakan.
Kami mempercayakan diri ke dalam kasihmu
yang kuasa mengeringkan air mata dan menghibur hati kami.

Ajarilah kami menemukan damai di dalam diri Yesus Puteramu


dan berkatilah kami di sepanjang hari-hari hidup kami.

Tolonglah kami membangun sebuah bait di dalam hati kami.


Jadikanlah bait kami itu seindah bait yang telah dibangun
di atas Gunung Tepeyac bagimu.
Suatu bait penuh penyerahan, pengharapan dan cinta kasih kepada Yesus
yang terus berkembang setiap hari.

Bunda tercinta, Engkau memilih tinggal bersama kami


dengan menghadiahkan gambar dirimu sendiri yang amat ajaib dan suci
pada jubah Juan Diego.
Biarlah kami menikmati kehadiranmu yang penuh kasih itu
apabila kami memandangi wajahmu.
Berilah kami keberanian seperti Juan
untuk menyampaikan pesan pengharapanmu kepada semua orang.
Engkaulah Bunda kami dan sumber inspirasi kami.
Sudi dengarkanlah dan jawablah doa-doa kami.
Amin
3x Salam Maria.

SEKILAS TENTANG JUAN DIEGO

Pada tanggal 9 April 1990 Juan Diego dinyatakan Beato oleh Paus Yohanes
Paulus II di Vatikan dan pada tanggal 31 Juli 2002 dinyatakan Santo oleh
paus yang sama di Basilika Santa Perawan Maria Guadalupe, Mexico.
Santo Juan Diego dilahirkan pada tahun 1474, di Tlayacac,
Cuauhtitlan, sebuah dusun sekitar 14 mil sebelah utara
Tenochtitlan (Mexico City). Nama aslinya ialah
Cuauhtlatoatzin, artinya “Elang Berbicara”. Ia seorang
Indian yang miskin. Apabila berbicara kepada Bunda Maria,
Juan Diego menyebut dirinya sebagai “bukan siapa-siapa”.
Bunda Maria sering memilih untuk menampakkan diri kepada
orang-orang seperti Juan, orang yang bersahaja dan rendah
hati.

Sehari-hari Juan bekerja keras di ladang dan juga


menganyam tikar. Ia memiliki sepetak tanah dan sebuah
gubug kecil di atasnya. Ia menikah, hidup bahagia, tetapi tidak memiliki
anak. Antara tahun 1524 dan 1525, ia dan isterinya dibaptis menjadi
Katolik dan menerima nama baptis Juan Diego dan Maria Lucia.

Juan Diego adalah seorang yang taat dan saleh, bahkan sebelum dibaptis.
Ia penyendiri, karakternya tertutup, cenderung tenggelam dalam
keheningan, sering bermati raga dan biasa berjalan kaki dari dusunnya ke
Tenochtitlan sejauh ± 14 mil (= 22,5 km), untuk menerima pelajaran iman
Katolik. Isterinya, Maria Lucia, jatuh sakit dan meninggal dunia pada tahun
1529. Juan Diego kemudian pindah dan tinggal bersama pamannya, Juan
Bernardino, di Tolpetlac, yang lebih dekat jaraknya dari gereja
Tenochtitlan.

Juan Diego biasa berangkat pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing,


agar tidak terlambat mengikuti Misa di gereja dan kemudian mengikuti
pelajaran agama. Ia berjalan bertelanjang kaki, sama seperti orang-orang
Indian miskin lainnya. Hanya orang-orang Aztec yang mampu saja yang
memakai sandal yang terbuat dari serat tumbuh-tumbuhan atau kulit. Jika
udara pagi dingin menusuk, Juan Diego biasa mengenakan kain kasar yang
ditenun dari serat kaktus sebagai mantol, yang disebut tilma. Kain katun
hanya dipakai oleh orang Aztec yang lebih berada.

Di salah satu perjalannya menuju gereja, yang kurang lebih memakan


waktu tiga setengah jam melewati desa-desa dan bukit-bukit, Santa
Perawan Maria menampakkan diri dan berbicara kepadanya untuk pertama
kalinya! Bunda Maria menyapanya dengan sebutan “Juanito”, artinya “Juan,
anakku terkasih. Saat penampakan, usia Juan Diego 57 tahun; usia yang
cukup lanjut pada masa itu di mana kebanyakan orang hanya berusia ± 40
tahun.
Setelah penampakan Guadalupe, Juan Diego menyerahkan semua usaha dan
harta milik kepada pamannya. Kemudian ia sendiri tinggal di sebuah kamar
di samping kapel di mana lukisan suci Bunda Maria disimpan. Juan Diego
sangat mencintai Sakramen Ekaristi; dengan ijin khusus dari uskup, ia
diperkenankan menyambut Komuni Kudus tiga kali seminggu, sesuatu yang
tidak lazim pada masa itu. Ia menghabiskan sisa hidupnya untuk
mewartakan berita penampakan kepada orang-orang sebangsanya.

Juan Diego wafat pada tanggal 30 Mei 1548 dalam usia 74 tahun. Paus
Yohanes Paulus II memuji Juan Diego karena imannya yang bersahaja,
yang senantiasa terpelihara oleh ajaran agama. Paus menetapkannya
sebagai teladan kerendahan hati bagi kita semua.

Santa Perawan Maria dari


Guadalupe
oleh: P. William P. Saunders *

Bagaimana dengan gambar Santa Perawan Maria dari Guadalupe?


Adakah bukti ilmiah mengenainya?
~ seorang pembaca di Arlington

Sebelum membahas gambar Santa Perawan Maria dari Guadalupe,


baiklah pertama-tama kita mengingat kembali kisahnya yang indah.
Kisah dimulai pada dini hari tanggal 9 Desember 1531, ketika Juan
Diego, seorang petani Indian berusia 57 tahun, sedang berjalan
menyusuri jalan setapak Bukit Tepeyac di pinggiran Mexico City. Patut
diingat bahwa baru sepuluh tahun sebelumnya, Hernan Cortez
menaklukkan Mexico City. Pada tahun 1523, para misionaris Fransiskan
datang mewartakan Injil kepada masyarakat Indian. Para misionaris ini
berhasil gemilang hingga Keuskupan Mexico City didirikan pada tahun
1528. (Patut diingat juga bahwa Jamestown, koloni Inggris permanen
yang pertama, baru didirikan pada tahun 1607.) Juan Diego dan banyak
dari kalangan sanak saudaranya termasuk di antara orang-orang
pertama yang dipertobatkan dalam iman. Ia dibaptis dengan nama “Juan
Diego” pada tahun 1525 bersama isterinya, Maria Lucia, dan pamannya
Juan Bernardino.

Kita juga jangan lupa bahwa Juan Diego tumbuh dewasa di bawah
penindasan Aztec. Praktek keagamaan Aztec, termasuk kurban manusia,
memainkan peranan yang penting dan menarik dalam kisah ini. Setiap
kota utama Aztec mempunyai sebuah kuil piramid, sekitar 100 kaki
tingginya, di mana di atasnya didirikan sebuah altar. Di atas altar ini,
para imam Aztec mempersembahkan kurban manusia kepada dewa
Huitzilopochtli, yang disebut “Penggemar Jantung dan Penegak Darah,”
dengan memotong dan merenggut keluar jantung yang berdenyut dari
para kurbannya, pada umumnya laki-laki dewasa, tetapi seringkali pula
kanak-kanak. Para imam mengunjukkan tinggi-tinggi jantung yang
berdenyut itu agar dapat dilihat semua orang, meminum darahnya,
menendang tubuh yang tak bernyawa itu hingga terlempar ke bawah
tangga piramid, dan kemudian memotong kedua tangan dan kaki
kurban, lalu memakan dagingnya. Mengingat Aztec menguasai 371 kota
dan hukum menuntut 1.000 kurban manusia bagi setiap kota dengan
sebuah kuil piramid, maka lebih dari 50.000 manusia dikurbankan setiap
tahunnya. Di samping itu, ahli sejarah Mexico kuno, Ixtlilxochitl,
memperkirakan bahwa satu dari setiap lima kanak-kanak menjadi
kurban dari praktek keagamaan yang haus darah ini.

Pada tahun 1487, ketika Juan Diego baru berusia tigabelas tahun, ia
harus menjadi saksi atas suatu peristiwa yang paling mengerikan:
Tlacaellel, seorang pemimpin Aztec yang berusia 89 tahun, meresmikan
kuil piramid matahari yang baru, yang dipersembahkan kepada dua
dewa utama dari dewa-dewa Aztec - Huitzilopochtli dan Tezcatlipoca,
(dewa neraka dan kegelapan) - di pusat Tenochtitlan (kelak Mexico City).
Kuil piramid ini 100 kaki tingginya dengan 114 anak tangga untuk
mencapai puncaknya. Lebih dari 80.000 laki-laki dikurbankan sepanjang
suatu periode empat hari empat malam lamanya. Orang hanya dapat
membayangkan curahan darah dan tumpukan mayat dari kurban yang
demikian. (Sementara jumlah kurban tampak mencengangkan, bukti
menyatakan bahwa dibutuhkan hanya 15 detik saja untuk memotong
jantung keluar dari setiap kurban.)
Pada tahun 1520, Hernan Cortes melarang kurban manusia. Ia
menyingkirkan kedua berhala dari kuil piramid, membersihkan
bebatuannya dari darah dan mendirikan sebuah altar yang baru. Cortes,
pasukannya dan P Olmedo kemudian mendaki anak-anak tangga
dengan Salib Suci dan lukisan Santa Perawan Maria dan St Kristoforus.
Di atas altar baru ini, P Olmedo mempersembahkan kurban Misa Kudus.
Di atas apa yang dulunya merupakan tempat kurban kafir yang keji,
sekarang dipersembahkan kurban tak berdarah, yang sejati dan abadi
dari Tuhan kita. Tetapi, tindakan ini memicu suatu perang habis-habisan
dengan kaum Aztec, yang pada akhirnya berhasil dimenangkan oleh
Cortes pada bulan Agustus 1521.

Sekarang kembali ke kisah kita. Pagi hari itu, 9 Desember 1531, Juan
Diego sedang dalam perjalanan ke Misa; pada waktu itu 9 Desember
adalah Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa di
seluruh Kerajaan Spanyol. Sementara ia menyusuri jalanan di Bukit
Tepeyac, ia mulai mendengar suatu alunan musik nan merdu, dan ia
melihat seorang perempuan cantik rupawan, yang memanggil namanya,
“Juanito, Juan Dieguito.” Ia datang mendekat, dan perempuan itu
mengatakan,

“Ketahuilah dengan pasti, engkau yang terkecil dari antara putera-


puteraku, bahwa aku adalah Santa Maria yang sempurna dan perawan
selamanya, Bunda Yesus, Allah yang benar, melalui Siapa segala
sesuatu hidup, Tuhan dari segala yang dekat dan yang jauh, Tuhan atas
surga dan bumi. Adalah kerinduanku yang sungguh agar sebuah bait
didirikan di sini demi menghormatiku. Di sinilah aku akan menunjukkan,
aku akan menyatakan, aku akan memberikan segenap cintaku, segenap
belas kasihku, pertolonganku dan perlindunganku kepada manusia. Aku
adalah Bundamu yang berbelas kasihan, Bunda yang berbelas kasihan
dari kalian semua yang tinggal bersatu di negeri ini, dan dari segenap
umat manusia, dari segenap mereka yang mengasihiku, dari mereka
yang berseru kepadaku, dari mereka yang mencariku, dan dari mereka
yang menaruh kepercayaannya kepadaku. Di sinilah aku akan
mendengar tangis mereka, keluh-kesah mereka, dan akan menolong
serta meringankan segala macam penderitaan, kebutuhan dan
kemalangan mereka.”

Ia mengatakan kepada Juan Diego untuk menyampaikan kepada Uskup


Zumarraga perihal keinginannya agar sebuah gereja didirikan di tempat
itu. Menurut tradisi, Juan Diego mempertanyakan nama Bunda Maria. Ia
menjawab dalam bahasa ibu Juan Diego, bahasa Nahuatl,
“Tlecuatlecupe,” yang artinya “ia yang meremukkan kepala ular”
(referensi yang jelas menunjuk pada Kitab Kejadian 3:15 dan mungkin
pada simbol utama kepercayaan Aztec). “Tlecuatlecupe” apabila
diucapkan dengan lafal yang benar, bunyinya sungguh mirip dengan
“Guadalupe.” Sebab itu, ketika Juan Diego menyampaikan kepada
Uskup Zumarraga mengenai nama perempuan itu dalam bahasa ibunya,
kemungkinan ia keliru dengan “Guadalupe” nama Spanyol yang familiar,
sebuah kota yang terkenal dengan tempat ziarah Bunda Maria.
Uskup Zumarraga adalah seorang yang saleh, tulus hati dan penuh
belas kasihan. Ia mendirikan rumah sakit yang pertama, perpustakaan
dan universitas di Amerika. Ia juga adalah Pelindung Orang-orang
Indian, yang diserahi kepercayaan oleh Kaisar Charles V untuk
menjalankan dekritnya yang dikeluarkan pada bulan Agustus 1530, yang
memaklumkan, “Tak seorang pun diperbolehkan menjadikan seorang
Indian sebagai budak belian baik dalam keadaan perang maupun dalam
keadaan damai. Entah dengan barter, dengan membeli, dengan
perdagangan, atau sebab maupun alasan lain apapun.” (Patut dicatat
bahwa pada tahun 1537, Paus Paulus III mengutuk serta melarang
perbudakan suku Indian Amerika.) Namun demikian, Uskup Zumarraga
mendengarkan Juan Diego dengan sabar dan mengatakan bahwa ia
akan memikirkan hal itu, dapat dimaklumi bahwa ia meragukan kisah
yang demikian.

Juan Diego kembali ke Tepeyac dan melaporkan tanggapan uskup.


Maria menyuruhnya untuk mencoba lagi. Maka, hari berikutnya, Juan
Diego kembali ke kediaman uskup. Walau kali ini lebih sulit menemui
Bapa Uskup, Juan Diego berhasil juga dalam niatnya, dan uskup sekali
lagi mendengarkannya dengan sabar. Uskup meminta Juan Diego untuk
membawa suatu tanda dari Bunda Maria guna membuktikan kebenaran
kisahnya. Lagi, Juan Diego melaporkan hal ini kepada Bunda Maria,
yang menyuruhnya untuk kembali lagi keesokan harinya guna menerima
suatu “tanda” bagi uskup.

Keesokan harinya, tanggal 11 Desember, Juan Diego menghabiskan


waktu dengan merawat pamannya, Juan Bernardino, yang sakit parah.
Pamannya meminta Juan Diego untuk pergi memanggil seorang imam
yang akan mendengarkan pengakuan dosanya dan melayani Sakramen
Terakhir baginya. Pada tanggal 12 Desember, Juan Diego berangkat lagi,
tetapi ia menghindari Bukit Tepeyac, sebab ia amat malu bahwa ia tidak
kembali hari sebelumnya seperti yang diminta Bunda Maria. Sementara
ia mengambil jalan memutar, Bunda Maria menghentikannya dan
mengatakan, “Dengarkanlah dan camkanlah dalam hatimu, putera
kecilku yang terkasih: janganlah biarkan suatupun mengecilkan hatimu,
suatupun menyedihkanmu. Janganlah biarkan suatupun mengubah
hatimu ataupun wajahmu. Juga, janganlah engkau khawatir akan
penyakit atau muram, gelisah atau susah. Bukankah aku ada di sini; aku
yang adalah Bundamu? Tidakkah engkau ada dalam naungan dan
perlindunganku? Bukankah aku sumber hidupmu? Tidakkah engkau ada
dalam naungan mantolku, dalam dekapan pelukanku? Adakah sesuatu
lainnya yang engkau butuhkan?” Bunda Maria meyakinkan Juan Diego
bahwa pamannya tidak akan meninggal dunia; sesungguhnya,
kesehatannya telah dipulihkan kembali.

Sebagai tanda bagi uskup, Maria meminta Juan Diego untuk pergi ke
puncak bukit dan memetik bunga-bunga. Maka, pergilah ia ke puncak
bukit yang kering dan gersang itu - tempat di mana hanya kaktus
tumbuh - dan mendapati bunga-bunga mawar seperti yang tumbuh di
Castille, tetapi tak didapati di Mexico. Ia mengumpulkan bunga-bunga
mawar dalam tilmanya, yaitu suatu mantol seperti poncho, dan
membawanya kepada Maria yang menatanya dan memintanya untuk
menyampaikannya kepada uskup.

Juan Diego kemudian berangkat kembali menuju kediaman Uskup


Zumarraga. Setelah menanti beberapa saat untuk menghadap, ia
mengulangi pesan kepada uskup dan membuka tilmanya untuk
menyampaikan bunga-bunga mawar. Uskup melihat tidak hanya bunga-
bunga cantik, melainkan juga gambar indah Santa Perawan Maria dari
Guadalupe. Uskup Zumarraga mencucurkan airmata melihat Bunda
Maria dan memohon pengampunan karena kurang percaya. Ia
mengambil tilma dan menempatkannya di altar dalam kapelnya. Pada
Hari Raya Natal pada tahun itu, sebuah bangunan dari bata didirikan di
puncak Bukit Tepeyac demi menghormati Bunda Maria, Santa Perawan
dari Guadalupe, dan diresmikan pada tanggal 26 Desember 1531, pada
Pesta St Stefanus, Martir Pertama.

Sejak tahun 1929, Gereja mengijinkan berbagai penelitian ilmiah


dilakukan atas tilma. Penelitian-penelitian paling awal mendapati adanya
pantulan gambar pada kedua pupil mata Bunda Maria, yaitu sosok Juan
Diego dan dua orang lainnya (kemungkinan yang seorang adalah sosok
Juan Gonzalez, penerjemah bagi Uskup Zumarraga). Gambar tersebut
agak sedikit mengalami distorsi, karena lengkungan alamiah dari kornea
dan lensa mata. Penemuan ini telah berulang kali diperkuat
kebenarannya. Yang menarik, Dr. Charles Wahlig, seorang ahli ilmu
fisika nuklir, mengemukakan bahwa Bunda Maria pastilah hadir secara
tidak kelihatan ketika Juan Diego menyampaikan bunga-bunga mawar
kepada Uskup Zumarraga dan bahwa tilma berfungsi sebagai suatu
piringan fotografis yang menangkap gambar Santa Perawan beserta
pantulan gambar ketiga orang itu pada kedua matanya.

Penelitian-penelitian menggunakan infra merah juga menyingkapkan


fenomena lain yang tak dapat dijelaskan: Gambar di tilma tidak dilukis,
dan warnanya tidak menembus serat-serat tilma seperti halnya cat.
Tilma yang ditenun dari serat-serat yang tidak biasa seperti itu, juga
menghasilkan suatu permukaan yang kasar sehingga lukisan
sesederhana apapun pastilah akan mengalami distorsi, padahal gambar
yang ada di sana sungguh jelas dan tak ada distorsi.

Di samping itu, semestinya tilma pastilah sudah lama rusak. Tilma tidak
dilapisi lapisan pelindung. Semua yang berasal dari serat kaktus
pastilah akan rusak dalam jangka waktu 100 tahun, teristimewa apabila
tidak terlindung dari polusi, nyala lilin, dan serupa itu. Walau demikian,
tilma tetap seperti semula.

Dr. Philip C. Callahan, seorang ahli biologi, berkesimpulan, “Gambar asli


termasuk jubah merah muda, mantol biru, tangan dan wajah … sungguh
tak dapat dijelaskan. Sepanjang penelitian infra merah ini, tak mungkin
dijelaskan baik jenis pigmen warna yang dipergunakan maupun
keawetan dari ketajaman warna dan kecemerlangan pigmen selama
berabad-abad. Lagipula, apabila mempertimbangkan fakta bahwa tak
didapati lapisan pelindung apapun, dan bahwa tenunan serat itu sendiri
dipergunakan untuk memberikan kedalaman gambar, tak ada penjelasan
mengenai gambar itu yang mungkin diberikan berdasarkan teknik-teknik
infra merah. Sungguh luar biasa bahwa selama lebih dari empat abad,
tak didapati pudar atau retak dalam gambar asli sedikitpun dari tilma,
yang tanpa lapisan pelindung, yang semestinya telah rusak berabad-
abad yang lalu” (Mary of the Americas 92).

Gambar Santa Perawan Maria dari Guadalupe juga kaya akan


simbolisme. Gambar Bunda Maria dikelilingi oleh sinar cemerlang,
berdiri di atas bulan, dan dengan bintang-bintang di mantolnya
mencerminkan gambaran yang didapati dalam Kitab Wahyu,
“Tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan
berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah
mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (12:1).

Ini merupakan juga simbol dari kemenangan ilahi atas agama kafir. Sinar
matahari adalah simbol dari dewa Aztec Huitzilopochtle. Sebab itu,
Bunda Maria berdiri di depan sinar matahari menunjukkan bahwa ia
memaklumkan Allah yang benar, yang lebih besar dari Huitzilopochtle
dan yang mengungguli kuasanya.

Bunda Maria juga berdiri di atas bulan. Bulan melambangkan malam dan
kegelapan, dan ini berhubungan dengan dewa Tezcatlipoca. Lagi, Bunda
Maria berdiri di atas bulan memaklumkan kemenangan ilahi atas
kejahatan.

Di samping itu, dalam ikonografi Kristiani, bulan sabit di bawah kaki


Bunda Maria juga melambangkan keperawanan yang tetap selamanya
dan ini berhubungan dengan Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa
Dosa dan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.

Bintang-bintang di mantolnya menyatakan bahwa ia datang dari surga,


sebagai Ratu dan Bunda yang mengasihi. Yang menarik, penelitian yang
dilakukan oleh P Mario Sanches dan Dr. Juan Hernandez Illescas dari
Mexico membuktikan bahwa bintang-bintang di mantol tampak persis
sama seperti keadaannya di langit sebelum fajar pada dini hari tanggal
12 Desember 1531.

Wajah Bunda Maria, dengan warna kulitnya, rambut dan mata berwarna
gelap, mencerminkan sosok seorang Indian. Kedua matanya juga
memandang ke bawah, mengungkapkan kerendahan hati dan belas
kasihan. Pula, dalam ikonografi Indian, seorang dewa memandang lurus
ke depan dengan mata terbuka lebar; jadi, gambar di sini menunjukkan
bahwa Maria tidak mengklaim diri sebagai Tuhan, melainkan hanya
sebagai utusan-Nya dan sebagai Bunda yang mengasihi.
Bunda Maria didukung oleh seorang malaikat, lambang kerajaan di
kalangan bangsa Indian. Sebagian orang menafsirkan gambar ini
sebagai suatu tanda bahwa Bunda Maria memaklumkan suatu era baru
yang akan datang.

Busana Bunda Maria juga memiliki makna istimewa. Warna merah muda
dari gaun Bunda Maria memiliki dua penafsiran, sebagai lambang fajar
dari suatu era yang baru, atau sebagai tanda kemartiran iman. Bros
emas di bawah lehernya melambangkan kekudusan. Dan yang terakhir,
pita sekeliling pinggangnya adalah lambang keperawanan. Namun
demikian, pita yang bersimpul ini memiliki beberapa makna lainnya
dalam budaya Indian Asli: pita bersimpul ini adalah nahui ollin, bunga
dari matahari, yang adalah simbol kelimpahan, kesuburan dan
kehidupan baru. Letak pita yang tinggi dan perut Bunda Maria yang
tampak membuncit membuat sebagian orang berkesimpulan bahwa ia
sedang mengandung.

Tentu saja, tilma telah menjadi sumber devosi, teristimewa bagi


masyarakat Mexico. Kejahatan berusaha menguasai, namun gagal.
Sebagai misal, pada tahun 1921, dalam masa pemerintahan Jenderal
Calles yang fanatik, yang melarang ke-Katolik-an, sebuah bom ditanam
dalam basilika dengan tujuan menghancurkan tilma. Bom diperlemah
hingga menghancurkan altar pualam di bawah tilma, memporak-
porandakan jendela-jendela dan membengkokkan salib altar yang
terbuat dari perunggu tebal. Meski begitu, tilma dan bahkan kaca
pelindungnya sama sekali tak tersentuh. Sama seperti penampakan
Maria menyatakan kemenangan agama sejati atas kekafiran yang haus
darah dari kaum Aztec, bahkan dalam perkara ini, Bunda Maria
menaklukkan kuasa kejahatan.

Sekarang, ribuan peziarah pergi ke Guadalupe demi menghormati


gambar suci. Umat Katolik Hispanic mempunyai devosi yang istimewa
kepada Santa Perawan Maria dari Guadalupe, dan Bunda Maria memang
sungguh layak menerima penghormatan dari semua orang yang tinggal
di Amerika maupun di seluruh dunia! Untuk informasi lebih lanjut, buku-
buku berikut ini sungguh menarik untuk dibaca: Our Lady of Guadalupe
and the Conquest of Darkness oleh Dr. Warren Carroll, dan Mary of the
Americas oleh Father Christopher Rengers.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Our Lady of Guadalupe” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”
Santa Perawan Maria dari
Pompeii

Pompeii, Campania, Italia


B. Bartolo Longo - Rasul Rosario
Basilika SP Maria Ratu Rosario & Mukjizat2 yang Terjadi
Devosi
Beatifikasi Bartolo Maria Longo
Paus Yohanes Paulus II & SP Maria dari Pompeii
Meditasi

Pompeii, Campania, Italia

Pompeii mengalami banyak musibah dan masa-masa sulit. Namun


demikian, di tahun-tahun belakangan ini, musibah telah diubah menjadi
kemenangan Santa Perawan Maria Ratu Rosario, dan masa-masa sedih
telah digantikan dengan para peziarah yang tak terhitung banyaknya
yang dengan penuh sukacita mengalami berbagai mukjizat dan
menerima berlimpah rahmat.

Salah satu dari musibah awal yang menimpa Pompeii terjadi pada tahun
79, ketika Gunung Vesuvius meletus dengan dahsyat. Gunung berapi itu
menghancur-luluhkan kota Romawi tersebut serta menguburnya dengan
abunya selama berabad-abad. Di kemudian hari, kota yang bekembang
sekitar satu mil jauhnya dari reruntuhan tersebut juga
mengalami musibah, ketika pada tahun 1659 suatu
wabah malaria yang ganas menyerang kota dan
membunuh hampir seluruh penduduk di sana.

Sebuah gereja kuno yang dibangun sebelum terjadi


wabah pada akhirnya hancur pada tahun 1740. Sebuah
gereja kecil didirikan sebagai gantinya. Dari paroki yang
dulunya berkembang pesat, hanya tinggal sedikit saja umat yang tersisa
- dan mereka dilayani oleh seorang imam yang sudah tua dan capai.
Akhirnya, di samping berbagai macam takhyul yang menyebar di antara
penduduk, mereka juga disusahkan dan dibuat tak berdaya oleh
kawanan penyamun yang meneror serta menjarah mereka. Lama-
kelamaan Pompeii dikenal sebagai “sarang para penyamun yang bengis
dan kejam.”

Namun demikian, Bunda Maria tidak pernah meninggalkan anak-


anaknya. Tempat-tempat yang paling tidak mungkin telah dipilihnya
untuk medatangkan keajaiban-keajaiban yang dilakukannya bagi mereka
yang mengabdi kepadanya. Alat yang dipergunakannya untuk
menaklukkan kota yang malang ini adalah Bartolo Longo (1841-1926),
yang pada mulanya tampak sebagai pilihan yang sangat tidak tepat.

Beato Bartolo Longo - Rasul Rosario

Bartolo Longo dilahirkan pada tahun 1841, putera seorang dokter. Ia


menempuh pendidikan sebagai pengacara di Naples. Dalam masa
pendidikannya itu, Bartolo menggabungkan diri dalam suatu sekte setan
dan 'ditahbiskan' sebagai imam Setan. Selama bertahun-tahun ia
melaksanakan tugasnya sebagai 'imam' dengan menyampaikan
khotbah, memimpin ritual-ritual, mencemooh serta menghina Gereja
Katolik dan para imam, serta berbicara menentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan agama Katolik.

Seorang teman yang baik, Vincentius Pepe, perlahan-lahan


menunjukkan kepada Bartolo kelemah-lembutan Kristus dan mengatur
agar Bartolo dapat bertemu dengan seorang imam Dominikan yang
kudus, Pastor Alberto Radente. Pastor Alberto memiliki devosi pribadi
yang mendalam kepada Bunda Maria dan sebisanya menyebarluaskan
devosi rosario. Ketika Bartolo Longo dibaptis, ia memilih nama tengah
'Maria', sebagai nama baptisnya. Ia memandang Bunda Maria sebagai
“Pengungsian Orang Berdosa” dan mengungkapkan sesal dan tobatnya
yang mengagumkan kepadanya. Maria adalah “Pengungsian” yang akan
menghantarnya kepada Kristus.

Setelah pertobatannya, Bartolo Maria Longo, ingin melakukan sesuatu


sebagai silih atas kehidupannya di masa silam dan melayani Gereja
yang dulu difitnahnya dengan keji. Ia bergabung dengan sekelompok
orang yang menaruh perhatian kepada mereka yang miskin dan sakit.
Salah seorang anggota kelompok tersebut adalah Countess di Fusco,
seorang janda kaya yang mempunyai tanah dan hak milik dekat
reruntuhan Pompeii. Dipercaya olehnya untuk mengumpulkan uang
sewa, Bartolo melihat sendiri kekumuhan kota Pompeii dan kemiskinan
rohani penduduknya. Ia berikrar untuk melayani mereka yang miskin
dan papa. Bartolo menerbitkan sebuah pamflet berjudul “Rosario dari
Pompeii yang Baru” dan mempergunakan segala daya upayanya untuk
menyebarluaskan devosi tersebut.

Suatu hari pada bulan Oktober 1872, sementara ia beristirahat di padang


dekat Pompeii, ia teringat akan 'pentahbisannya' sebagai imam Setan.
Bartolo mengenang saat itu:

“Saya berpikir bahwa mungkin, sama seperti imamat Kristus adalah


untuk selamanya, demikian juga imamat Setan adalah untuk selamanya.
Jadi, meskipun saya telah bertobat, saya berpikir bahwa saya masih
tetap imam setan, dan bahwa saya masih menjadi hambanya dan
miliknya sementara ia menunggu saya di Neraka. Saat merenungkan
keadaan saya itu, saya dilanda rasa putus asa yang begitu hebat, hingga
hampir bunuh diri. Kemudian saya mendengar gema suara Pastor
Alberto di telinga saya yang mengulangi kata-kata Santa Perawan Maria:

'Jika engkau ingin beroleh keselamatan, sebarluaskanlah Rosario. Inilah


janji Bunda Maria sendiri: Barangsiapa menyebarluaskan Rosarioku
akan diselamatkan.'

Kata-kata ini segera mendatangkan pencerahan bagi jiwa saya. Saya


jatuh berlutut dan berseru, 'Jika yang engkau katakan benar, bahwa
mereka yang menyebarluaskan Rosariomu akan diselamatkan, maka
aku pasti beroleh keselamatan, karena aku tidak akan meninggalkan
dunia ini tanpa menyebarluaskan Rosario.' Bagai jawab atas ikrar saya,
lonceng kecil gereja paroki Pompeii berdentang, mengundang umat
mendaraskan Angelus. Kebetulan ini seperti tanda peneguhan atas
kebulatan tekad saya.”

Bartolo Maria membujuk masyarakat sekitar untuk membantunya


membersihkan gereja yang telah rusak. Kemudian ia mengundang
mereka datang sore hari untuk berdoa rosario bersama. Hanya beberapa
anak yang ingin tahu saja yang datang. Laskar rosario itu mengunjungi
setiap gubug dan rumah untuk membagikan rosario, medali serta
mendorong mereka berdoa rosario. Tetapi, misinya itu tidak berhasil
baik. Mereka menyukai dan menghormati Don Bartolo, tetapi mereka
tidak mengerti dan tidak mau peduli untuk belajar rosario.

Bartolo kemudian mensponsori diadakannya festival pada Pesta Ratu


Rosario pada tahun 1873. Usahanya gagal. Hujan turun, dan imam
menyampaikan khotbahnya dalam bahasa Italia resmi, bukan dalam
dialek setempat yang dapat dimengerti penduduk. Tahun berikutnya ia
mencoba lagi, tidak lebih berhasil dari sebelumnya, tetapi ia berhasil
mengajari beberapa orang berdoa rosario. Tahun ketiga, Bartolo
mengundang Imam-Imam Redemptoris untuk mengadakan misi di sana
selama dua minggu. Sebagai persiapan, ia memugar sepenuhnya gereja
kecil Pompeii. Kali ini misinya berhasil baik dan mendapat restu dari
bapa uskup. Sesungguhnya, bapa uskup telah meramalkan akan adanya
sebuah gereja besar dan tempat ziarah di sana di masa mendatang.

Bartolo memulai proyeknya dengan pertama-tama mencari sebuah


lukisan Santa Perawan Maria Ratu Rosario. Bartolo mendapatkan
lukisan yang cocok di sebuah toko di Naples. Sayangnya, ia tidak
mampu membelinya. Ia kemudian memperoleh informasi bahwa lukisan
tersebut kurang sesuai untuk maksudnya, karena Hukum Kanon pada
waktu itu menetapkan bahwa lukisan haruslah dilukis dengan cat
minyak diatas kanvas atau kayu. Sedangkan lukisan yang ia pilih dilukis
di atas kertas.

Bartolo menceritakan kekecewaannya kepada Pastor Alberto Radente,


yang memberitahukan kepadanya akan sebuah lukisan yang dimiliki
seorang biarawati, Moeder Concetta, di biaranya. Karena Moeder sudah
menyetujuinya, Pastor Alberto mendorong Bartolo untuk meminta
lukisan tersebut. Lukisan itu sesungguhnya ditemukan Pastor Alberto di
sebuah toko loak. Pastor membelinya dengan harga hanya delapan
carlins, atau setara dengan satu dollar. Pastor kemudian memberikan
lukisan Santa Perawan tersebut kepada Moeder Concetta.

Ketika Bartolo melihat lukisan tersebut, ia sungguh sangat kecewa


dengan kondisinya yang menyedihkan. Bartolo menggambarkannya
sebagai berikut:

“Tidak saja lukisan itu telah dimakan rayap, tetapi wajah Madona adalah
wajah wanita desa yang kasar … secuil kanvas hilang tepat di atas
kepalanya… mantolnya retak. Tak ada yang dapat dikatakan tentang
figur-figur lainnya yang mengerikan. St. Dominikus tampak seperti
seorang idiot jalanan. Di sebelah kiri Santa Perawan adalah St. Rosa. Di
kemudian hari, saya mengubahnya menjadi St. Katarina dari Siena…
Saya ragu-ragu apakah sebaiknya menolak atau menerima pemberian
ini.”

Moeder Concetta membujuk Bartolo agar menerimanya, “Ambillah;


engkau akan melihat bagaimana Bunda Maria akan mempergunakan
lukisan ini untuk mendatangkan banyak mukjizat.” Kata-kata tersebut
memang terbukti kelak.
Lukisan Santa Perawan terlalu besar bagi Bartolo untuk dapat
dibawanya pulang dari Naples ke Pompeii. Ia membungkusnya dengan
sehelai kain lalu menyerahkannya kepada seseorang yang akan
mengantarkannya ke kapel. Karena tidak tahu gambar yang terlukis di
dalamnya, orang tersebut menempatkan lukisan di keretanya, di atas
pupuk muatannya. Dengan cara demikianlah Ratu Rosario tiba di
Pompeii. Lukisan tiba pada tanggal 13 November 1875. Setiap tahun
umat beriman merayakan hari kedatangan lukisan tersebut dengan doa-
doa dan ibadat khusus.
Dua bulan setelah kedatangannya, yaitu pada bulan
Januari 1876, restorasi pertama atas lukisan tersebut
oleh seorang pelukis amatir berhasil diselesaikan.
Pada hari peresmian Persaudaraan dalam Rosario
Suci yang dibentuk oleh Bartolo Longo, yaitu pada
tanggal 13 Februari 1876, lukisan ditempatkan dalam
gereja. Restorasi berikutnya dilakukan pada tahun
1879, oleh Federico Madlarelli, seorang pelukis Italia
terkenal. Restorasi terakhir dilakukan oleh para
pelukis Vatikan pada tahun 1965.

Basilika SP Maria Ratu Rosario & Mukjizat2 yang Terjadi

Bartolo berencana membangun sebuah gereja yang besar dan indah


sebagai tempat yang layak bagi lukisan Ratu Rosario. Tiga ratus umat
setempat yang miskin berjanji untuk menyumbangkan satu penny setiap
bulan demi karya Santa Perawan, sementara umat yang kaya
memberikan sumbangan dengan berlimpah.

Sementara gereja masih dalam tahap dibangun, terjadi tiga mukjizat luar
biasa. Yang pertama menyangkut seorang anak berusia dua belas tahun,
Clorinda Lucarelli, korban serangan epilepsy ganas. Kerabatnya yang
putus asa berjanji untuk membantu pendirian gereja jika Clorinda
sembuh dari penyakitnya. Gadis kecil itu sembuh pada hari lukisan
dipamerkan dalam suatu upacara penghormatan. Dua dokter
menyatakan di bawah sumpah bahwa kesembuhan Clorinda semata-
mata merupakan mukjizat.

Seorang wanita muda, Concetta Vasterilla, yang sedang dalam


penderitaan menjelang ajal, juga disembuhkan ketika janji serupa
dibuat. Pada hari peletakan batu pertama gereja, yaitu pada tanggal 8
Mei 1876, Pastor Anthony Varone, yang telah menerima Sakramen
Terakhir dan menghadapi ajal karena suatu penyakit, juga disembuhkan.
Ia mempersembahkan Misa Kudus keesokan harinya dan
mengumumkan mukjizat kesembuhannya dari ambo pada Pesta SP
Maria Ratu Rosario.

Sebulan setelah peletakan batu pertama, mukjizat lain terjadi pada


Nyonya Giovannina Muta. Ia menderita sakit paru-paru tahap akhir
ketika dibujuk untuk mengucapkan suatu janji kepada Santa Perawan
Maria dari Pompeii. Pada tanggal 8 Juni, ketika Nyonya Muta terbaring di
ranjangnya, ia mendapat penglihatan lukisan Santa Perawan Maria dari
Pompeii - meskipun sesungguhnya ia belum pernah melihat lukisan
tersebut. Tetapi, sementara ia memandang, Bunda Maria tampak
melemparkan kepadanya sebuah pita bertuliskan: “Perawan dari
Pompeii mengabulkan permohonanmu, Giovannina Muta.” Ketika
penglihatan tersebut berakhir, Nyonya Muta sama sekali sembuh dari
penyakitnya.
Sejak saat itu, terutama antara tahun 1891 hingga 1894, ratusan mukjizat
telah dicatat secara resmi.

Bartolo Maria Longo melakukan banyak karya amal kasih. Ia menikahi


Countess Mariana di Fusco, pada tanggal 1 April 1885. Bersama-sama,
pasangan tersebut menghabiskan waktu dan harta mereka guna
menolong banyak anak yatim piatu yang pemeliharaannya dipercayakan
kepada mereka. Bartolo dan istrinya mendirikan sebuah rumah yatim
piatu bagi anak-anak perempuan. Anak-anak pertama yang mereka
pungut berjumlah 15 orang, masing-masing anak untuk setiap misteri
rosario. Ia mendirikan wisma bagi anak-anak laki, anak para narapidana,
dan juga wisma serupa bagi anak-anak perempuan. Ia membentuk
Puteri-puteri Ratu Rosario dari Pompeii, suatu institut religius bagi para
wanita yang dididik untuk merawat gereja, dan membangun asrama-
asramanya. Ia membentuk Ordo Ketiga Dominikan dekat gereja. Mereka
menyokong para calon imam dan mereka yang terpanggil untuk
kehidupan religius. Bartolo membiayai pendidikan sekitar 45 orang
seminaris. Di samping itu Bartolo juga menulis buku-buku tentang
sejarah Rosario dan menyusun novena serta buku doa yang akan
dipergunakan di gereja tersebut.

Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario dari Pompeii diberkati oleh
Kardinal La Valletta, Duta Kepausan dari Paus Leo XIII, pada bulan Mei
1891. Pada tanggal 19 Februari 1894, Bartolo Longo dan isterinya
menyerahkan Gereja SP Maria dari Pompeii kepada Paus Leo XIII. Sejak
saat itu kepausan mengambil alih perawatan Gereja. Pada tahun 1934,
atas perintah Paus Pius XI, sebuah basilika baru yang besar mulai
dibangun. Basilika selesai pada tahun 1939 dan diresmikan atas nama
Paus Pius XII oleh Kardinal Magliones, Sekretaris Negara Bapa Suci.
Paus St. Pius X sebelumnya telah menyampaikan dukungannya bagi
gereja dan devosi kepada Santa Perawan Maria dari Pompeii.

Lukisan ajaib Santa Perawan Maria Ratu Rosario ditempatkan jauh


tinggi di atas altar utama basilika yang kaya dengan hiasan artistik ini.
Dalam bingkai emasnya, lukisan berwarna indah tersebut
menggambarkan Santa Perawan Maria duduk di atas tahta. Di
pangkuannya duduk Kanak-kanak Yesus, yang sedang memberikan
seuntai Rosario kepada St. Dominikus, sementara Bunda Maria
memberikan seuntai rosario kepada St. Katarina dari Siena. Paus Leo
XIII suatu ketika mengatakan, “Tuhan telah mempergunakan lukisan ini
untuk mengabulkan permohonan-permohonan yang telah mengguncang
seluruh dunia.”

Pada tahun 1965, setelah restorasi lukisan yang ketiga kalinya, Paus
Paulus VI mengatakan dalam homilinya, “Sama seperti gambar Santa
Perawan telah diperbaiki serta diperindah …, demikian juga hendaknya
gambar Maria dalam diri segenap umat Kristiani haruslah dipulihkan,
diperbaharui, serta diperkaya.” Pada akhir perayaan yang khidmat
tersebut, Paus Paulus VI menempatkan dua mahkota baru di atas kepala
Yesus dan Maria, mahkota berhias intan permata yang dipersembahkan
sebagai ucapan syukur oleh abdi-abdi Maria.

Devosi

Suatu devosi khusus yang dikenal sebagai “Permohonan kepada Ratu


Kemenangan” dimulai pada bulan Oktober 1883 dan didaraskan di
seluruh dunia, teristimewa pada tanggal 8 Mei dan pada hari Minggu
pertama bulan Oktober. Devosi ini merupakan suatu permohonan yang
dianggap diberikan oleh Santa Perawan kepada salah seorang anak
yang disembuhkan di Pompeii, “Barangsiapa menghendaki
pertolonganku, hendaklah ia mendaraskan tiga novena permohonan dan
tiga novena syukur.”

Beatifikasi Bartolo Maria Longo

Bartolo Longo, yang dulunya abdi Setan, petobat yang hidup saleh,
pengacara terhormat dan pemenang hati anak-anak yatim piatu ini,
hidup hingga usianya yang ke-85 tahun. Orang kudus ini wafat pada
tanggal 5 Oktober 1926. Makam Bartolo Longo dan isterinya dapat
ditemukan dalam ruang bawah tanah tempat ziarah.

Janji Santa Perawan, “Barangsiapa menyebarluaskan Rosario-ku akan


diselamatkan” menjadi kenyataan ketika Paus Yohanes Paulus II
menegaskan keselamatan jiwa Bartolo Longo dalam upacara
beatifikasinya yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1980. Bapa
Suci menyebutnya sebagai “Putera Madonna” dan “Rasul Rosario”.

Paus Yohanes Paulus II & SP Maria dari Pompeii

Diperkirakan sekurang-kurangnya sekitar 10.000 peziarah datang


mengunjungi Basilika SP Maria dari Pompeii setiap harinya. Tetapi dua
tahun sekali, yaitu pada tanggal 8 Mei dan pada hari Minggu pertama
bulan Oktober, sekurang-kurangnya 100.000 peziarah bersatu hati dalam
mendaraskan doa-doa khidmat yang disusun Bartolo Longo.

Pada tanggal 21 Oktober 1979, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi


Pompeii. Pada kesempatan tersebut diadakan ziarah nasional kepada
Santa Perawan Maria dari Pompeii.

Dalam Surat Apostoliknya, “Rosarium Virginis Mariae” (Rosario


Perawan Maria), Bapa Suci menulis:
*
“Pada awal tahun ke-25 pelayanan saya sebagai paus, saya
mempercayakan Surat Apostolik ini ke tangan Perawan Maria yang
penuh kasih, sambil meniarap dalam roh di hadapan patung Maria di
tempat ziarah cemerlang yang dibangun baginya oleh Beato Bartolo
Longo, rasul rosario. Dengan tulus ikhlas saya mengutip kata-kata yang
menyentuh hati, dengan mana ia mengakhiri Permohonan kepada Ratu
Rosario Suci yang terkenal itu:

O Rosario suci Maria,


rantai halus yang menyatukan kami dengan Allah,
ikatan kasih yang memadu kami dengan para malaikat,
benteng keselamatan untuk melawan serbuan neraka,
pelabuhan aman tatkala perahu universal kami kandas,
kami tidak pemah akan meninggalkan engkau.
Engkau akan menjadi penopangku di saat ajal:
milikmulah ciuman terakhir kami di saat nyawa melayang.
Dan kata terakhir yang kami ucapkan adalah namamu yang suci,
O Ratu Rosario dari Pompei,
O Bunda yang terkasih,
O Pengungsian orang berdosa,
O Penghibur orang yang berduka.
Kiranya engkau dipuji di mana-mana,
sekarang dan selalu,
di bumi dan di surga.

dari Vatikan, pada hari ke-16 bulan Oktober, dalam tahun 2002, awal
tahun ke-25 pontifikat saya.”

Meditasi

Lukisan Santa Perawan Maria Ratu Rosario mewakili tradisi umat


beriman yang telah berlangsung lama, yang datang kepada Maria
sebagai pengungsian dan harapan akan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Maria adalah tahta bagi Putra-nya yang mungil, Yesus. Yesus
menemukan rumah-Nya yang pertama di dunia ini dalam rahim Maria
dan dalam pangkuannya. Maria duduk di atas sebuah tahta. Tahta
tersebut adalah Gereja. Maria bersama Putra Ilahi-nya bertahta dalam
Gereja dan dari Gereja, lambang surga di bumi.

Tetapi, apa itu Gereja? Gereja dalam latar belakang lukisan tersebut
dilukis dengan garis-garis biasa dan sederhana. Tahtanya terbuat dari
kayu, bukan kayu berukir indah seperti yang pada waktu biasa terdapat
dalam rumah-rumah orang kaya, melainkan kayu orang miskin. Kaki
Madonna bertumpu di atas alas sederhana, bukan alas beludru.

Umat Pompeii hendak menghormati Sang Putra dan Bunda-Nya dengan


membangun sebuah gereja batu yang besar dan indah. Gereja yang
indah, dengan hiasan emas dan persembahan intan permata adakah
cara setempat pada masa itu untuk menyatakan cinta dan devosi
mereka kepada Santa Perawan. Namun demikian, Bartolo Longo, tahu
bahwa gereja batu itu haruslah dibangun dengan batu-batu hidup yang
adalah belas kasihan dan damai sejahtera. Adalah tujuan utamanya
untuk mengajar umat berdoa, dan kemudian memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan mereka.

Kedua rosario dalam lukisan tersebut masing-masing memiliki enam


perpuluhan. Ini juga adalah kebiasaan pada masa itu. Sering kali,
perpuluhan yang keenam didaraskan demi ujub-ujub bagi mereka yang
melayani Gereja dan karya-karya kerasulan Gereja. Bagaimanapun
bentuk rosario yang dipergunakan untuk suatu devosi, rosario tetaplah
merupakan suatu doa berdasarkan Kitab Suci. Sang pelukis yang tak
dikenal namanya itu juga tidak melupakan kebenaran ini. Sebuah buku
digambar di dasar tahta. Dari mutiara dan emas, mata kita beralih tertuju
kepadanya, kepada buku yang berisi Kebijaksanaan Tuhan yang ada di
antara kita, sesungguhnya Santa Perawan dan Sabda Yang Menjadi
Daging tinggal di antara kita.

sumber : 1.“Our Lady of Pompeii”; www.catholictradition.org; 2.“Our Lady of


Pompei” by Sr. M. Jean Frisk; The Marian Library/International Marian Research
Institute, Dayton, Ohio; www.udayton.edu/mary; * "Rosarium Virginis Mariae";
Dokpen KWI; diterjemahkan oleh Ernest Mariyanto

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

SP Maria dari Naju

Santa Perawan Maria, Bunda Sang Penebus, mulai menangis melalui


patung Bunda Maria milik Yulia Kim di Naju, Korea, pada tanggal 30 Juni
1985. “Naju” dalam karaketer Mandarin berarti kota sutera. Naju
memang merupakan kota kecil, tetapi damai dan indah bagaikan
hamparan sutera.

Sejak itu, Bunda Maria menyampaikan banyak pesan dan tanda-tanda


mukjizat, mendesak anak-anaknya di dunia untuk segera bertobat atas
dosa-dosa mereka dan kembali kepada Tuhan, Gereja-Nya, Kebenaran-
Nya, dan Kasih-Nya, agar Ia dapat menyembuhkan jiwa-jiwa mereka
yang penuh dosa serta memulihkan kembali hidup rohani mereka.
Teristimewa Bunda Maria mohon dengan sangat kepada kita agar kita
setia pada Warisan Iman yang dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya
dua ribu tahun yang silam, dan agar kita saling mengasihi serta saling
mengampuni satu sama lain. Bunda Maria juga meminta kita untuk
menghormati hidup manusia sejak saat pembuahan dalam rahim ibu.

Bunda Maria menghendaki agar masing-masing kita berbalik dari


kehidupan yang berpusat pada diri sendiri kepada kehidupan untuk
melayani Tuhan, yaitu membela serta mewartakan Kebenaran-Nya, serta
menyebarluaskan Kasih-Nya kepada siapa saja di seluruh dunia.

Pesan-pesan dan Tanda-tanda Ajaib di Naju


SP Maria Meneteskan Airmata
SP Maria Meneteskan Airmata Darah
SP Maria Meneteskan Minyak Wangi
Mukjizat Ekaristi
Hosti Kudus & Piala
Darah Yesus Yang Mahasuci
Sengsara Mistik Yulia
Sumber Mata Air Rahmat
Bukit Santa Perawan Maria
Pesan-pesan Kasih Yesus dan Bunda Maria
Luka-Luka Berdarah Sengsara Jalan Salib
Hasil Penelitian Terhadap Darah Yang Mahasuci
Siapa itu Yulia Kim?

Pesan-pesan dan Tanda-tanda Ajaib di Naju


1. PESAN-PESAN DARI YESUS DAN BUNDA MARIA
Yulia Kim pertama kali menerima pesan Bunda Maria pada tanggal 18 Juli 1985. (Menarik disimak bahwa penamp
Bunda Maria pertama kali kepada St. Katarina Labouré dari Medali Wasiat di Paris, Perancis, juga terjadi pada ta
yang sama, yaitu 18 Juli tahun 1830).

Sejak itu, Yulia menerima banyak pesan dari Yesus dan dari Bunda Maria dengan selang waktu yang tak tetap. T
Yulia menerima lebih dari satu pesan pada hari yang sama; di lain waktu, dengan selang waktu beberapa minggu
bahkan bulan sebelum ia menerima pesan berikutnya. Terkadang, Yulia menerima pesan-pesan tersebut dalam e
lain waktu, saat ia sadar. Pesan terakhir diterima Yulia pada tanggal 16 Februari 2003.

2. AIRMATA DAN AIRMATA DARAH DARI PATUNG BUNDA MARIA


Bunda Maria pertama kali meneteskan airmata pada tanggal 30 Juni 1985, sementara airmata darah dimulai pada
19 Oktober 1986. Bunda Maria menangis selama total tepat 700 hari hingga tanggal 14 Januari 1992. Menurut Rm
Raymond Spies, pembimbing rohani Yulia, angka 700 mengandung arti penekanan yang kuat serta terus-meneru
air mata darah telah diuji dalam laboratorium medis dan dinyatakan sebagai darah manusia.

3. MINYAK WANGI
Minyak dengan bau harum mewangi yang kuat, serupa (tapi tak sama) dengan harum mawar, mulai memancar d
Bunda Maria pada tanggal 24 November 1992 dan berlangsung terus-menerus selama tepat 700 hari hingga tang
Oktober 1994. Selama rentang waktu itu, Kapel di mana patung ditempatkan hingga sekarang, secara terus-men
dipenuhi bau harum. Baru-baru ini, minyak wangi menetes beberapa kali ke atas tanah di Bukit Santa Perawan M
dekat Naju ketika Yulia dan para peziarah melakukan Jalan Salib.

4. HARUM MAWAR
Kadang kala harum mawar yang kuat memenuhi Kapel sepanjang malam saat diadakan doa malam; di lain waktu
muncul sesaat saja. Sebagian orang mencium harum ini dari air yang berasal dari sumber mata air di Bukit SP M
buku yang mencatat pesan-pesan kasih, dari foto-foto, dsbnya. Sebagian lainnya mencium harum mawar semen
mereka menuliskan kesaksian mereka. Kadang, harum tersebut hanya tercium oleh orang-orang tertentu saja (y
mungkin sedang mengalami pertobatan atau penyembuhan fisik).
5. MUKJIZAT EKARISTI
Mukjizat Ekaristi meliputi perubahan rupa dari Ekaristi Kudus menjadi Daging dan Darah yang kelihatan mata. M
terjadi lewat Yulia, di Gereja Paroki Naju dan Kapel, di Bukit Santa Perawan Maria di Naju, di Gereja Katedral di S
Malaysia, di sebuah kamar hotel di Roma, di Gereja St. Fransiskus di Lanciano - Italia, di Gereja St. Antonius di K
Hawai, dan di kapel pribadi Bapa Suci di Vatikan. Yang paling akhir terjadi di Gereja Paroki Naju pada tanggal 19
1996.

6. MUKJIZAT TURUNNYA HOSTI KUDUS


Mukjizat ini terjadi delapan kali di Kapel dan di bukit di Naju. Yang paling akhir terjadi di Bukit SP Maria pada tan
Januari 2002. Beberapa dari Hosti Kudus yang turun secara ajaib itu disimpan di Keuskupan Agung Kwangju da
lainnya disantap sesuai instruksi uskup atau imam.

7. STIGMATA
Luka-luka berdarah yang kelihatan muncul secara ajaib pada tubuh Yulia (telapak tangan, kaki dan lambung) beb
kali. Stigmata bertahan selama beberapa hari dan kemudian lenyap. Biasanya, stigmata terjadi saat Yulia sedang
mengalami sengsara Yesus di Salib. Para dokter memeriksa kondisi Yulia dan menyatakan bahwa luka-lukanya d
pendarahannya tidak dapat dijelaskan secara medis.

8. TURUNNYA DARAH YESUS YANG MAHASUCI


Antara tanggal 9 November 2001 hingga 15 Agustus 2002, Darah Yesus Yang Mahasuci turun secara ajaib di Buk
Maria beberapa kali. Darah Yesus Yang Mahasuci tercecer di atas ribuan batu-batu kecil. Yulia menyaksikan bag
Hati Yesus Yang Mahakudus tercabik-cabik karena dosa-dosa manusia dan karena penolakan manusia untuk be
Darah dan potongan-potongan Daging jatuh tercecer dari Hati Yesus Yang Mahakudus. Dari salah satu bebatuan
dikumpulkan pada tanggal 15 Agustus 2002, Darah yang Mahasuci didapati berubah-ubah antara cair dan menge
Batu-batuan yang bernoda darah disimpan di Naju.

9. PENYEMBUHAN2 JASMANI DAN ROHANI YANG TAK TERHITUNG BANYAKNYA


Air dari sumber mata air di Bukit SP Maria telah berulang kali menjadi sarana penyembuhan. Seringkali Yulia me
sakit yang sama seperti yang diderita oleh orang yang sedang disembuhkan penyakitnya.

Banyak orang mendapatkan kembali cinta kasih dan kedamaian dalam keluarga-keluarga mereka serta kembali p
Sakramen-sakramen Gereja.

sumber : “Mary's Ark of Salvation”; www.najumary.net


Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The
Blessed Mother's House, Naju - Korea”

Santa Perawan Maria dari


Akita

Suster Agnes dan Malaikat Pelindung


Stigmata yang Berdarah
Patung SP Maria Berubah Secara Ajaib
SP Maria Meneteskan Airmata 101 Kali
Mukjizat Penyembuhan
Persetujuan Resmi Gereja
Pesan2 SP Maria dari Akita

Para Abdi Ekaristi adalah sebuah komunitas religius sekulir di


Yuzawadai, pinggiran kota Akita, yang dibentuk oleh Uskup Akita, Mgr
Yohanes Shojiro Ito. Pada tanggal 12 Mei 1973 Sr Agnes Katsuko
Sasagawa, yang pada waktu itu berusia 42 tahun, seorang pemeluk
Budha yang baru beberapa tahun menjadi Katolik, bergabung sebagai
novis di sana. Ketika masuk, Sr Agnes baru saja kehilangan
pendengarannya dan sama sekali tuli tanpa dapat disembuhkan.

Peristiwa mukjizat pertama di Akita terjadi pada tanggal 12 Juni 1973,


hanya satu bulan setelah Sr Agnes bergabung. Pada hari itu, ia sedang
seorang diri saja di kapel biara. Saat ia sedang membuka pintu
tabernakel, sekonyong-konyong memancarlah suatu cahaya kemilau
dari tabernakel; serta-merta Sr Agnes merebahkan diri di lantai dan tetap
dalam keadaan prostratio demikian hingga sekitar satu jam lamanya,
takluk oleh suatu kekuatan yang mahadahsyat.
Pada tanggal 14 Juni 1973, Sr Agnes kembali melihat cahaya kemilau
dari tabernakel, kali ini dilingkupi oleh suatu nyala api merah yang kuat,
yang memancarkan berkas-berkas cahaya ke segala penjuru. Lagi, pada
sore hari menjelang Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus tanggal 28
Juni, ia melihat cahaya kemilau dari tabernakel, kali ini tampak juga
begitu banyak makhluk serupa para malaikat yang mengelilingi altar
dalam sembah sujud di hadapan Sakramen Mahakudus. Keesokan
harinya, yang adalah Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, malaikat
menampakkan diri sementara Sr Agnes hendak memulai berdoa rosario.
Malaikat kemudian memintanya untuk menambahkan kata “sungguh”
dalam doa yang disusun Uskup Ito bagi komunitas. Sejak saat itu, doa
ditujukan kepada “Hati Yesus yang Mahakudus, yang SUNGGUH hadir
dalam Ekaristi Kudus.” Peristiwa-peristiwa ini merupakan awal dari
serangkaian peristiwa adikodrati yang berlangsung selama sembilan
tahun lamanya dari tahun 1973 hingga tahun 1982.

Suster Agnes dan Malaikat Pelindung

Ketika diminta untuk menggambarkan malaikat pelindungnya, Sr Agnes


menjawab, “wajahnya bulat, dengan ekspresi yang manis … seorang
yang diliputi oleh suatu kemilau putih bagai salju ….” Malaikat
pelindung mempercayakan banyak pesan kepadanya, kerapkali berdoa
bersamanya, pula membimbing serta menasehatinya.

Sore hari pada Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus tanggal 28 Juni
1973, Sr Agnes mendapati suatu luka berbentuk salib muncul di telapak
tangan kirinya. Luka ini menimbulkan rasa sakit yang luar biasa hingga
Sr Agnes mengatakan, “Tak akan pernah aku dapat melupakan rasa
sakit itu.” Pada tanggal 5 Juli 1973, suatu lubang kecil muncul di
tengahnya darimana darah mulai memancar. Malaikat pelindungnya
menampakkan diri dan membimbingnya untuk melakukan silih kepada
Hati Yesus yang Mahakudus bagi dosa-dosanya dan bagi dosa-dosa
segenap umat manusia.

Stigmata yang Berdarah

Keesokan harinya, pada tanggal 6 Juli 1973, malaikat pelindung kembali


menampakkan diri kepada Sr Agnes, “… Luka Bunda Maria jauh lebih
dahsyat dan lebih menyengsarakan daripada lukamu. Marilah kita pergi
berdoa bersama di kapel.” Setelah memasuki kapel, malaikat
menghilang. Sr Agnes kemudian berpaling kepada patung Bunda Maria
yang terletak di sisi kanan altar.

Patung ini, yang tingginya kira-kira tiga kaki, diukir dari sebatang kayu
utuh yang kering dan keras tanpa sambungan, menggambarkan Santa
Perawan Maria berdiri di depan sebuah salib, dengan kedua tangannya
direntangkan ke arah bawah. Di bawah kaki patung, terdapat sebuah
bola yang menggambarkan dunia. Saburo Wakasa, seorang pemahat
Jepang beragama Budha, memahat patung ini sekitar tigapuluh tahun
yang lalu dengan mempergunakan sehelai kartu bergambar “Bunda
Segala Bangsa” sebagai model, sembari menambahkan profil wajah
khas perempuan Jepang dalam patungnya.

Sr Agnes mengenang saat itu, “Aku merasa bahwa patung kayu itu
menjadi hidup dan hendak berbicara kepadaku … Ia bermandikan
cahaya yang cemerlang … dan pada saat yang sama, suatu suara yang
merdu tak terperi menembusi telingaku yang sama sekali tuli.”

Bunda Maria berkata kepadanya, “Jangan takut. Engkau akan


disembuhkan. Bersabarlah ….”

Kemudian Bunda Maria bersama Sr Agnes bersama-sama mendaraskan


doa komunitas yang disusun Uskup Ito. Pada kata-kata “Yesus yang
hadir dalam Ekaristi,” Maria mengatakan, “Mulai sekarang, kalian akan
menambahkan SUNGGUH.” Bersama dengan malaikat yang muncul
kembali, ketiganya mendaraskan doa persembahan diri kepada Hati
Yesus yang Mahakudus, yang SUNGGUH hadir dalam Ekaristi. Sebelum
menghilang, Bunda Maria meminta Sr Agnes untuk “berdoa banyak-
banyak bagi Paus, para uskup dan para imam.”

Keesokan paginya, ketika para biarawati berkumpul bersama untuk


mendaraskan Laudes, mereka mendapati darah mengalir dari telapak
tangan kanan patung dan juga luka berbentuk salib; di tengah luka
terdapat sebuah lubang darimana darah memancar. Luka itu mirip benar
dengan luka pada telapak tangan kiri Sr Agnes, hanya saja, karena
patung itu kecil maka lukanya juga lebih kecil. Luka itu memancarkan
darah pada setiap malam Jumat dan sepanjang hari Jumat, begitu juga
luka di tangan Sr Agnes. Yang menarik, tetesan darah mengalir
sepanjang tangan patung, yang terentang dan mengarah ke bawah,
namun tetesan-tetesan darah itu tidak pernah jatuh dari tangan.

Rasa sakit yang diderita Sr Agnes terus berlanjut hingga pada suatu
Jumat siang tanggal 27 Juli, menjadi begitu hebat nyaris tak
tertahankan. Ia pergi ke kapel guna mendapatkan penghiburan dan
prostratio dalam doa. Sejenak kemudian, ia mendengar suara malaikat
pelindungnya, “Penderitaanmu akan berakhir hari ini.” Malaikat
kemudian menghilang dan rasa sakit di tangannya lenyap seketika;
lukanya telah sembuh sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikit
pun.

Luka di tangan patung Bunda Maria tetap tinggal hingga kurang lebih
dua bulan tiga minggu lamanya dan lenyap dengan sendirinya pada
tanggal 29 September 1973.

Pada ibadat sore tanggal 29 September itu, seluruh komunitas melihat


suatu cahaya cemerlang yang berasal dari patung. Seketika itu juga
sekujur tubuh patung diliputi oleh suatu embun serupa keringat.
Malaikat pelindung berkata kepada Sr Agnes, “Bunda Maria bahkan
terlebih sedih lagi daripada ketika ia mengucurkan darah. Keringkanlah
keringatnya.” Dari “keringat” Bunda Maria ini tercium bau harum
mewangi. Para biarawati mempergunakan gumpalan-gumpalan kapas
untuk menyeka keringat. Cahaya kemilau yang meliputi patung pun
perlahan-lahan lenyap.

Patung SP Maria Berubah Secara Ajaib

Menjelang akhir Mei 1974, suatu fenomena lain terjadi. Sementara gaun
dan rambut patung tetap tampak sebagai kayu alami, tetapi wajah,
kedua tangan dan kaki Bunda Maria berubah warna menjadi gelap,
coklat kemerah-merahan. Delapan tahun kemudian, ketika sang pemahat
datang untuk melihat patung ukirannya, tak mampu ia menyembunyikan
rasa terkejutnya. Hanya bagian-bagian tubuh Santa Perawan yang
kelihatan saja yang berubah warna, dan bahkan wajahnya pun telah
berubah ekspresi.

SP Maria Meneteskan Airmata 101 Kali

Patung Bunda Maria mulai meneteskan airmata untuk pertama kalinya


pada pagi hari Sabtu, tanggal 4 Januari 1975. Pada siang dan sore hari
yang sama, patung kembali meneteskan airmata untuk kedua dan ketiga
kalinya. Dalam jangka waktu 6 tahun 8 bulan, dari waktu ke waktu
patung Bunda Maria meneteskan airmata; terakhir kalinya, yang ke-101
kalinya terjadi pada tanggal 15 September 1981, pada peringatan Santa
Perawan Maria Berdukacita.

Tigabelas hari sesudahnya, pada tanggal 28 September, Sr Agnes


merasakan kehadiran malaikat di sampingnya, di depan Sakramen
Mahakudus yang ditahtakan, pada saat doa hening sesudah pendarasan
rosario bersama oleh para biarawati di kapel. Ketika itu Sr Agnes tidak
melihat sosok sang malaikat, melainkan muncul di hadapannya suatu
penglihatan misterius akan sebuah Kitab Suci yang agung dan mulia,
yang dilingkupi oleh suatu cahaya surgawi. Malaikat memintanya untuk
membaca suatu ayat dalam Kitab Suci. Dari halaman Kitab Suci yang
terbuka, Sr Agnes dapat melihat referensinya - Kitab Kejadian bab 3 ayat
15. Kemudian ia mendengar suara malaikat yang mengatakan, sebagai
pengantar, bahwa terdapat suatu hubungan yang luar biasa antara ayat
ini dan Santa Perawan Maria yang menangis.

Malaikat selanjutnya mengatakan, “Terdapat suatu makna luar biasa


dalam angka 101 dari patung Bunda Maria yang menangis sebanyak
seratus satu kali. Hal ini menyatakan bahwa dosa masuk ke dalam dunia
melalui seorang perempuan dan, demikian pula, melalui seorang
perempuan rahmat keselamatan masuk ke dalam dunia. Angka nol, yang
ada di antara dua “satu,” melambangkan Tuhan yang ada sepanjang
kekekalan masa. “satu” yang pertama mewakili Hawa, dan “satu” yang
terakhir mewakili Bunda Maria yang kudus.”

Kemudian malaikat meminta Sr Agnes untuk membaca kembali Kitab


Kejadian bab 3 ayat 15, dan mengatakan, “Haruslah engkau
menyampaikan pesan ini kepada imam Katolik yang memberikan
bimbingan rohani kepadamu.” Lalu malaikat meninggalkannya. Pada
saat yang sama, penglihatan akan Kitab Suci pun lenyap.

Segera sesudah adorasi Sakramen Mahakudus, Sr Agnes bergegas


menemui P Thomas Teiji Yasuda SVD, pembimbing rohani Sr Agnes
Sasagawa (beliau ditunjuk sebagai pembimbing rohani biara di Akita
oleh Uskup Ito pada tahun 1974 - setahun sebelum patung Bunda Maria
menangis). Imam membuka Kitab Suci dan mendapati ayat yang
mencatat pemakluman nubuat Tuhan kepada setan, “Aku akan
mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara
keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan
kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”

Berikut penjelasan P Teiji Yasuda, “Adalah karena pesan malaikat, yang


mengutip Kitab Kejadian bab 3 ayat 15, maka makna luar biasa dari
airmata Bunda Maria disingkapkan. Ini berarti bahwa airmata patung
Bunda Maria berasal dari tujuan ilahi guna mengarahkan perhatian
segenap umat Katolik Roma pada sengsara Maria di kaki Salib sebagai
Coredemptrix (= Penebus Serta). Airmata mukjizat diciptakan Tuhan
demi mengajarkan kepada seluruh Gereja Katolik Roma bahwa Bunda
yang kudus menderita sengsara dan mencucurkan airmata sebagai
Bunda Yesus Kristus di tengah peran agung keikutsertaannya dalam
penebusan, ketika ia memberikan persetujuan penuh atas persembahan
kurban Putranya …. St Paulus memperbandingkan Adam yang baru,
Yesus Kristus, sang Penebus, dengan Adam yang lama, seorang
pendosa. Dalam pesan Akita pada tahun 1981, Tuhan mengutus
malaikat-Nya untuk menyingkapkan perbedaan menyolok antara Hawa
yang lama, yang mencobai Adam untuk berdosa, dan Hawa yang baru,
Bunda Maria kita yang kudus, yang melahirkan sang Juruselamat.
Seratus satu kali patung menangis menunjukkan kebenaran ini, bahwa
Tuhan mempersatukan Maria sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
karya Penebusan-Nya, dari sejak kekekalan masa.”

Mukjizat Penyembuhan

Keotentikan kuasa adikodrati dari airmata yang mengalir dari patung


Bunda Maria didukung serta diperkuat oleh dua mukjizat obyektif
berikut.

Ny Teresa Chun Sun Ho, seorang ibu rumah tangga Korea Selatan,
divonis menderita kanker otak pada tahun 1981. Kesehatannya semakin
memburuk hingga ia jatuh koma dalam keadaan vegetatif. Keluarga,
sanak saudara dan sahabat memohon dengan sangat kepada Santa
Perawan Maria dari Akita demi kesembuhannya, dengan menempatkan
selembar foto patung Bunda Maria yang menangis di samping
bantalnya. Pada tanggal 4 Agustus, tengah malam, sementara Ny Teresa
Chun masih dalam keadaan koma, Bunda Maria menampakkan diri
kepadanya dalam suatu penglihatan; ia tampak persis sama seperti di
Akita. Teresa disembuhkan sama sekali dari penyakitnya. Berikut
kesaksian Ny Teresa Chun, “Bunda Maria yang kudus dari Akita, yang
membopong seekor anak domba putih dalam gendongannya,
menampakkan diri kepadaku, ketika aku masih tergolek tak berdaya di
pembaringan, dan menghembusi dahiku sebanyak tiga kali. Aku melihat
bulu anak domba bergerak dan bergoyang-goyang karena kuatnya
hembusan Bunda Tersuci.” Mukjizat ini diakui kebenarannya oleh Dr Gil
Song Lee dalam suatu sertifikat kesehatan yang kemudian dikirimkan ke
Tahta Suci.

Mukjizat kesembuhan yang kedua adalah dipulihkannya Sr Agnes dari


ketulian pada tahun 1982. Sr Agnes kehilangan pendengarannya pada
tanggal 16 Maret 1973. Ketika bergabung dalam komunitas, ia sama
sekali tuli tanpa dapat disembuhkan. Sr Agnes dapat berbicara dan
dapat memahami pembicaraan lewat gerakan bibir lawan bicaranya.
Pada tanggal 18 Mei 1974, malaikat pelindung mengatakan kepadanya,
“Telingamu akan dibuka pada bulan Oktober. Engkau akan dapat
mendengar kembali. Engkau akan disembuhkan….” Pada tanggal 13
Oktober 1974, tepat seperti yang telah dinubuatkan malaikat
pelindungnya, Sr Agnes untuk sementara waktu memperoleh kembali
pendengarannya. Ia menjadi tuli kembali pada tanggal 7 Maret 1975.
Pada Hari Raya Kabar Sukacita 1982, ia diberitahu bahwa segera
ketuliannya akan “secara definitif disembuhkan agar karya Yang
Mahatinggi digenapi.” Tahun yang sama, pada perayaan St Yosef
Pekerja, malaikat memaklumkan kepada Sr Agnes “telingamu akan
secara definitif disembuhkan pada bulan ini yang dipersembahkan
kepada Bunda Maria. Telingamu akan disembuhkan, untuk terakhir
kalinya, oleh Dia yang sungguh hadir dalam Ekaristi.” Kedua mukjizat
penyembuhan ini terjadi tepat pada saat Pujian kepada Sakramen
Mahakudus. Berikut seperti ditulis P Teiji Yasuda SVD,

“Sembilan tahun telah berlalu sejak ia kehilangan pendengarannya pada


tahun 1973. Pada tanggal 30 Mei, pada Hari Raya Pentakosta, ia
disembuhkan secara ajaib saat ia menerima berkat dari Sakramen
Mahakudus dalam monstrans yang saya unjukkan dalam sembah sujud
Ekaristi di kapel. Begitu berkat Sakramen Mahakudus diberikan, Sr
Agnes mendengar lonceng adorasi yang dibunyikan oleh seorang
biarawati. Mukjizat kesembuhan ini disahkan dalam suatu sertifikat
kesehatan yang dikeluarkan oleh Dr Tatsuhiko Arai dari Rumah Sakit
Palang Merah Akita.”

Peristiwa yang sungguh indah ini mengakhiri untuk selama-lamanya


penampakan-penampakan, pesan-pesan dan peristiwa-peristiwa ajaib di
Akita, yang seringkali disebut sebagai Fatima dari Timur.
Persetujuan Resmi Gereja

Uskup Yohanes Ito mengatur agar Profesor Sagisaka, M.D., seorang


non-Kristiani, seorang ahli dalam bidang forensik, untuk melakukan
penelitian ilmiah yang cermat serta seksama atas ketiga cairan, tanpa
menyebutkan apa dan darimana cairan itu berasal. Hasilnya adalah,
“Materia yang menempel pada kain kasa adalah darah manusia.
Keringat dan airmata yang terkandung dalam dua gumpalan kapas
berasal dari manusia.”

Pada tanggal 22 April 1984, Uskup Yohanes Shojiro Ito, ordinaris


keuskupan di mana penampakan Bunda Maria terjadi, menerbitkan
sepucuk surat pastoral di mana ia mengesahkan penghormatan kepada
Bunda Tersuci dari Akita. Dalam surat pastoral tersebut, Uskup Ito
memaklumkan keotentikan adikodrati dari ketiga pesan Bunda Maria,
pesan-pesan malaikat dan peristiwa-peristiwa adikodrati lainnya yang
terjadi atas seorang biarawati Jepang sejak 1973 di sebuah biara di
Akita, Jepang Utara, yang ada dalam wilayah keuskupannya. Empat
tahun kemudian, pada tanggal 20 Juni 1988, dalam kunjungan Uskup Ito
ke Roma, Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI),
sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman memberikan persetujuan atas isi
surat pastoral Bapa Uskup.

Pesan2 SP Maria dari Akita

Berikut ketiga pesan Santa Perawan Maria dari Akita seperti yang
disampaikannya kepada Sr Agnes Sasagawa:

6 Juli 1973

“Puteriku, novisku, engkau telah mentaatiku dengan baik dalam


meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti aku. Adakah cacat
telingamu menyengsarakan? Ketulianmu akan disembuhkan, yakinlah.
Adakah luka di tanganmu membuatmu menderita? Berdoalah demi silih
bagi dosa-dosa umat manusia. Setiap orang dalam komunitas ini adalah
puteri-puteriku yang tak tergantikan. Adakah engkau mendaraskan doa
Para Abdi Ekaristi dengan baik? Jika demikian, marilah kita
mendoakannya bersama.”

“Hati Yesus yang Mahakudus, yang sungguh hadir dalam Ekaristi


Kudus, aku persembahkan tubuh dan jiwaku untuk dipersatukan
sepenuhnya dengan Hati-Mu, yang dikurbankan setiap saat di segenap
altar-altar dunia dan yang mendatangkan kemuliaan bagi Bapa
memohon datangnya Kerajaan-Nya.

Sudi terimalah persembahan diriku yang hina ini. Pakailah aku seturut
kehendak-Mu demi kemuliaan Bapa dan keselamatan jiwa-jiwa.
Bunda Allah yang Tersuci, janganlah pernah biarkan aku terpisah dari
Putra Ilahimu. Sudi belalah dan lindungilah aku sebagai Anak
Kesayanganmu. Amin.”

Ketika doa selesai didaraskan, suara surgawi itu melanjutkan,

“Berdoalah banyak-banyak bagi Paus, para Uskup dan para Imam. Sejak
pembaptisanmu, engkau telah senantiasa dengan setia berdoa bagi
mereka. Teruslah berdoa banyak … banyak sekali. Katakanlah kepada
superiormu segala yang terjadi hari ini dan taatilah dia dalam segala hal
yang ia katakan kepadamu. Ia telah memintamu untuk berdoa dengan
tekun.”

3 Agustus 1973

“Puteriku, novisku, apakah engkau mengasihi Tuhan? Jika engkau


mengasihi Tuhan, dengarkanlah apa yang harus aku sampaikan
kepadamu.”

“Sungguh teramat penting … Engkau akan menyampaikannya kepada


superiormu.”

“Begitu banyak orang di dunia ini yang menyakiti Tuhan. Aku


menghendaki jiwa-jiwa menghibur-Nya demi meredakan murka Bapa
Surgawi. Aku berharap, bersama Putraku, akan jiwa-jiwa yang akan
menyilih dengan penderitaan dan kemiskinan mereka bagi orang-orang
berdosa dan orang-orang yang tak tahu berterima kasih.”

“Agar dunia sadar akan murka-Nya, Bapa Surgawi bersiap untuk


mendatangkan suatu penghukuman besar atas umat manusia. Bersama
Putraku, aku telah begitu banyak kali campur tangan demi meredakan
murka Bapa. Aku menghalangi datangnya malapetaka dengan
mempersembahkan kepada-Nya sengsara Putra di Salib, Darah-Nya
yang Mahasuci, dan jiwa-jiwa terkasih yang menghibur-Nya, yang
membentuk suatu himpunan jiwa-jiwa yang berkurban. Doa, penitensi
dan kurban-kurban yang gagah berani dapat meredakan murka Bapa.
Aku menghendaki ini juga dari komunitas kalian … agar ia mencintai
kemiskinan, agar ia menguduskan diri dan berdoa demi silih bagi rasa
tidak tahu terima kasih dan kekejian begitu banyak orang.”

“Daraskanlah doa Para Abdi Ekaristi dengan pemahaman penuh akan


maknanya; amalkanlah; persembahkanlah demi silih (apapun yang
Tuhan kirimkan) bagi dosa-dosa. Biarlah tiap-tiap orang berjuang
menurut kapasitas dan posisi masing-masing, untuk
mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.”

“Bahkan dalam suatu biara sekulir pun doa diperlukan. Jiwa-jiwa yang
rindu berdoa sudah berada di jalan bersatu bersama. Tanpa terlalu
terikat pada bentuk, setialah dan bertekunlah dalam doa demi
menghibur sang Tuan.”

Setelah hening sejenak:

“Adakah yang engkau pikirkan dalam hatimu itu benar? Adakah engkau
sungguh memutuskan untuk menjadi batu yang dibuang? Novisku,
engkau secara terus terang rindu untuk menjadi milik Kristus, menjadi
mempelai yang pantas bagi sang Mempelai, engkau berkaul dengan
sadar sepenuhnya bahwa engkau harus tergantung pada Salib dengan
tiga paku. Ketiga paku ini adalah kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.
Dari ketiga itu, ketaatan adalah fondasinya. Dalam penyerahan diri
secara total, berikanlah dirimu dibimbing oleh superiormu. Ia akan tahu
bagaimana memahamimu dan mengarahkanmu.”

13 Oktober 1973

Sr Agnes mengatakan, “Pada hari Sabtu, 13 Oktober 1973, pada hari


peringatan penampakan terakhir di Fatima, patung mulai memancarkan
bau harum surgawi itu. Aku berlutut, mengambil rosario dan menandai
diri dengan Tanda Salib. Sekonyong-konyong, dengan telingaku yang
tuli, aku dapat mendengar suatu suara nan merdu tak terperi yang
berasal dari patung.”

“Puteriku terkasih, dengarkanlah dengan seksama apa yang harus


kusampaikan kepadamu. Engkau akan menyampaikannya kepada
superiormu.”

Setelah hening sejenak:

“Seperti telah kukatakan kepadamu, jika manusia tidak bertobat dan


memperbaiki diri, Bapa akan mendatangkan suatu penghukuman yang
ngeri atas segenap umat manusia. Suatu penghukuman yang lebih
dahsyat dari air bah, seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Api
akan jatuh dari langit dan akan membinasakan sebagian besar umat
manusia, yang baik maupun yang jahat, tanpa mengecualikan baik para
imam maupun umat beriman. Mereka yang selamat akan mendapati diri
begitu putus asa hingga mereka akan iri pada yang tewas. Satu-satunya
senjata yang akan tetap ada padamu adalah Rosario dan Tanda yang
ditinggalkan oleh Putraku. Setiap hari daraskanlah rosario. Dengan
rosario, berdoalah bagi Paus, para Uskup dan para Imam.”

“Karya setan akan merembes bahkan ke dalam Gereja begitu rupa


hingga orang akan melihat kardinal melawan kardinal, uskup melawan
uskup. Para imam yang menghormatiku akan dicemooh dan ditentang
oleh rekan-rekan mereka … gereja-gereja dan altar-altar dihancurkan;
Gereja akan dipenuhi dengan mereka yang menerima kompromi dan
iblis akan menekan banyak imam dan jiwa-jiwa yang dipersembahkan
bagi Tuhan agar mereka meninggalkan pelayanan bagi Tuhan.”
“Setan akan tanpa ampun khususnya dalam melawan jiwa-jiwa yang
dipersembahkan bagi Tuhan. Pemikiran akan hilangnya begitu banyak
jiwa adalah penyebab kesedihanku. Jika
dosa meningkat dalam jumlah dan dalam
kekejiannya, tidak akan ada lagi ampun
bagi mereka.”

“Dengan gagah berani, sampaikanlah


kepada superiormu. Ia akan tahu
bagaimana mendorong masing-masing
kalian untuk berdoa dan melakukan
tindak silih.”
“Ialah Uskup Ito, yang akan membimbing Mgr. Yohanes Sr. Agnes
Shojiro Ito Sasagawa
komunitas kalian.”

Santa Perawan tersenyum dan lalu melanjutkan,

“Apakah masih ada sesuatu yang hendak engkau tanyakan? Hari ini
adalah yang terakhir kalinya aku berbicara kepadamu dalam suara yang
hidup. Sejak saat ini engkau akan taat kepada dia yang diutus kepadamu
dan kepada superiormu.”

“Berdoalah rosario banyak-banyak. Aku sendiri masih dapat


menyelamatkan kalian dari malapetaka yang akan datang. Mereka yang
mempercayakan dirinya kepadaku akan diselamatkan.”

sumber : 1. “Our Lady of Akita”; www.catholictradition.org; 2. “Sr Agnes


Sasagawa”; www.ewtn.com; 3. “The Message of Mary Co-redemptrix at Akita and
the Proposed Marian Dogma Written by Fr Thomas Teiji Yasuda, SVD”; 4. berbagai
sumber

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

SP Maria dari Kibeho

Alphonsine Mumureke Anathalie Marie Claire Mukangango


Mukamazimpaka

Penampakan Pertama
Para Visioner
Penampakan-Penampakan Berikut
Perjalanan Mistik
Nubuat dan Peringatan
Pesan-Pesan Bunda Maria
Persetujuan Resmi Gereja

Rwanda adalah sebuah negeri kecil di bagian tengah Afrika; negeri


dengan sederetan pegunungan sehingga sering disebut sebagai Swiss
Afrika. Penduduknya berjumlah sekitar 5,5 juta jiwa; separuh dari antara
mereka adalah Katolik. Ada dua suku besar di Rwanda: suku Hutu dan
suku Tutsi, yang saling bersitegang satu sama lain bertahun-tahun
lamanya. Kota Kibeho terletak di bagian selatan negeri yang elok ini;
wilayah termiskin di Rwanda.

Sepanjang tahun 1980-1981, kebrobokan merajalela di seluruh negeri.


Hampir semua patung-patung Bunda Maria yang ada di pintu-pintu
masuk desa dikudungi, dirusakkan, atau dicuri. Suatu masa yang
menyedihkan ketika Bunda Maria nyaris dilupakan dan orang tak lagi
datang mohon bantuan doanya. Bahkan sebagian imam tak lagi berdoa
rosasio, sebab terpengaruh oleh propaganda teolog-teolog sesat yang
hendak meyakinkan kita bahwa devosi yang demikian sudah
ketinggalan jaman. Umat Katolik dihinakan; kaum klerus mulai
menyerah. Pada masa keputusasaan seperti inilah Bunda Maria memilih
untuk mengunjungi Rwanda. Penampakan Bunda sang Sabda dimulai
pada tanggal 28 November 1981 dan berakhir pada tanggal 28 November
1989.

Penampakan Pertama

Alphonsine Mumureke, 16 tahun (1965), berasal dari sebuah kelurga


Katolik yang miskin, adalah seorang siswi di sebuah sekolah biara yang
dikelola oleh para biarawati. Selain amat saleh dan senantiasa
menunjukkan kasih yang besar kepada Bunda Allah, ia juga biasa ikut
ambil bagian dalam Misa Kudus. Berikut kisah penampakan pertama
seperti yang diceritakan sendiri oleh Alphonsine:
“Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, tanggal 28 November 1981, pukul
12:35 siang. Aku sedang berada di kamar makan sekolah, melayani
teman-teman sekelas. Sekonyong-konyong, aku mendengar suara yang
memanggilku.”

“Puteriku.”

“Aku di sini.”

“Aku pergi ke lorong, dan melihat seorang perempuan yang amat cantik
jelita. Aku berlutut, membuat Tanda Salib dan bertanya, `Siapakah
engkau?'”

“Ndi Nyina Wa Jambo (dalam bahasa setempat, yang artinya, “Aku


adalah Bunda sang Sabda”). Dalam agama, apakah yang engkau
sukai?”

“Aku mengasihi Tuhan dan BundaNya, yang memberi kami Kanak-kanak


yang menebus kami.”

“Jika demikian, aku telah datang untuk menenangkanmu, sebab aku


telah mendengar doa-doamu. Aku menghendaki teman-temanmu
memiliki iman, sebab kepercayaan mereka kurang kuat.”

“Bunda sang Juruselamat, jika sungguh engkau itu yang telah datang
untuk memberitahukan kepada kami bahwa di sini, di sekolah ini, iman
kami lemah, maka engkau sungguh mengasihi kami. Aku sungguh
dipenuhi sukacita bahwa engkau menampakkan diri kepadaku.”

Bunda Maria kemudian meminta Alphonsine untuk bergabung dengan


Legio Maria dan mengatakan bahwa ia ingin dikasihi dan dipercayai
sebagai seorang ibunda, agar ia dapat menghantar kita kepada
Putranya, Yesus.

Ketika ditanyakan kepadanya mengenai penampilan fisik Bunda Maria,


Alphonsine menjawab, “Santa Perawan tidak berkulit putih seperti ia
biasa digambarkan dalam gambar-gambar kudus. Aku tak dapat
menentukan warna kulitnya, tetapi ia sungguh cantik tak terperi. Ia
bertelanjang kaki dan mengenakan gaun putih tak berjahit, juga sebuah
kerudung putih di atas kepalanya. Kedua tangannya dikatupkan di dada
dengan jari-jemarinya mengarah ke langit. Sesudahnya, aku diberitahu
bahwa aku sedang berada di kamar makan. Teman-teman sekelas
mengatakan bahwa aku berbicara dalam beberapa bahasa: Perancis,
Inggris, Kinyarwanda, dsbnya.”

“Ketika Santa Perawan hendak pergi, aku mendaraskan tiga `Salam


Maria' dan doa `Datanglah Roh Kudus'. Ketika ia pergi, aku melihatnya
naik ke surga seperti Yesus.”
Di akhir penampakan, Alphonsine jatuh ke tanah dan tak bergerak
hingga seperempat jam lamanya, seolah ia lumpuh; segala usaha untuk
membangunkannya dari ekstasi sia-sia belaka. Tak seorang guru
maupun biarawati yang percaya akan apa yang diceritakan Alphonsine.
Mereka menganggapnya sakit.

Fenomena yang sama terjadi lagi keesokan harinya, 29 November 1981.


Pada bulan Desember, penampakan terjadi hampir setiap hari Sabtu.
Didorong oleh rasa keingintahuan yang besar, para murid dan guru
berusaha mencoba menguji realita ekstasi. Mereka menyulut tubuh
Alphonsine dengan korek api, atau menusuknya dengan peniti, tetapi ia
tidak bereaksi. Alphonsine banyak menderita. Mereka mengolok-
oloknya, “Ini dia, si penglihat datang!” Dalam penampakan tanggal 8 Mei
1982, Alphonsine mengeluh kepada Bunda Maria, “Orang banyak
mengatakan bahwa kita gila.”

Sementara itu, sebagian murid datang membawa rosario agar diberkati


oleh Santa Perawan. Semua rosario dikumpulkan dan dicampur menjadi
satu, hingga tak mungkin bagi Alphonsine untuk mengenali pemilik
masing-masing. Ketika Alphonsine mengambil rosario dan
menyerahkannya kepada Bunda Maria, sebagian rosario menjadi begitu
berat hingga Alphonsine tak mampu mengangkatnya dan memintakan
berkat. Sesudahnya, barulah orang tahu bahwa rosario yang demikian
adalah milik murid-murid yang tidak percaya akan penampakan dan
yang memperoloknya.

Para Visioner

Karena kuatnya pertentangan antara yang percaya dan yang tidak,


sebagian guru dan murid mengatakan, “Kami percaya akan kedatangan
Bunda Maria, Bunda Allah, ke sekolah kita, hanya jika ia menampakkan
diri juga kepada yang lain selain Alphonsine.” Yang ditanggapi
Alphonsine dengan, “Berdoalah agar kalian mendapatkan rahmat itu.”

Pada tangal 12 Januari 1982, Bunda Maria mengabulkan doa mereka dan
menampakkan diri kepada Anathalie Mukamazimpaka (1965), berasal
dari sebuah keluarga Katolik, seorang anggota Legio Maria. Pesan-
pesan yang disampaikan Bunda Maria kepadanya, yang berakhir pada
tanggal 3 Desember 1983, berpusat pada doa dari hati, matiraga,
penyerahan diri kepada Tuhan, dan kerendahan hati. Begitu Anathalie
juga mendapatkan penampakan, sebagian besar komunitas menerima
penampakan Bunda Maria sebagai kebenaran.

Pada tanggal 2 Maret 1982, semua orang dibuat tercengang-cengang


ketika Bunda Maria menampakkan diri pula kepada Marie Claire
Mukangango (1961), sebab ia adalah seorang dari mereka yang paling
menunjukkan ketidakpercayaannya. Kehidupan Kristianinya tidak
istimewa, bahkan jauh dari teladan! Ia mengalami masalah dalam
disiplin dan harus satu tahun tinggal kelas. Ia memperolok Alphonsine
sebagai “si tolol”. Dan sekarang, gilirannyalah dikuasai oleh kuasa
adikodrati. Sejak saat itu, Marie Claire tak hentinya menasehatkan
kepada orang banyak, “Kita patut merenungkan sengsara Yesus dan
dukacita mendalam BundaNya. Hendaknyalah kita mendaraskan rosario
setiap hari, dan juga Rosario Tujuh Duka SP Maria, demi mendapatkan
rahmat tobat.” Penampakan Bunda Maria kepada Marie Claire
berlangsung enam bulan lamanya dan berakhir pada Peringatan Santa
Perawan Maria Berdukacita, tanggal 15 September 1982.

Selain ketiga siswi di atas, ada empat orang lainnya yang menyatakan
diri mendapatkan penampakan Bunda Maria juga. Mereka adalah:
Stephanie Mukamurenzi (1968); Agnes Kamagaju (1960); Segatashya
(1967), seorang anak laki-laki kafir yang kemudian mendapat nama
kristen Emanuel; Vestine Salima (1960), seorang wanita muslim. Namun
demikian, hingga kini hanya tiga orang saja yang diakui secara resmi
oleh Gereja, yaitu: Alphonsine Mumureke, Anathalie Mukamazimpaka
dan Marie Claire Mukangango.

Penampakan-Penampakan Berikut

Penampakan pertama pada tanggal 28 November 1981 terjadi siang hari


di kamar makan sekolah; hari berikutnya penampakan terjadi sore hari
di asrama, di kamar visioner hingga tanggal 16 Januari 1982. Sesudah
itu, penampakan biasa terjadi di asrama para murid atau di kapel. Di
sanalah para murid datang untuk berdoa sore hari dan merupakan saat
yang disukai Bunda Maria untuk datang mengunjungi mereka. Para
murid ada di sana selama penampakan; seringkali pembicaraan dengan
Bunda Maria adalah mengenai kehidupan sekolah. Bunda Maria
memberikan nasehat, membesarkan hati, berbicara demi menghantar
mereka di jalan yang benar. Bunda Maria adalah sungguh seorang
ibunda yang , dengan kasih keibuannya, mendidik putera-puterinya.
Penampakan-penampakan ini dianggap privat dan masyarakat umum
tidak diperkenankan ikut.

Namun demikian, masyarakat umum dapat ikut ambil bagian dalam


penampakan yang juga terjadi di halaman sekolah. Di sana berlangsung
pembicaraan antara visioner dengan Bunda Maria. Semua yang hadir
dapat mendengar kata-kata yang diucapkan visioner, namun tentu saja,
mereka tak dapat mendengarkan perkataan Santa Perawan Maria.

Segera saja orang berbondong-bondong datang dari segenap penjuru


negeri. Guna mengakomodasi orang banyak itu, sebuah podium yang
diperlengkapi dengan pengeras suara didirikan di halaman biara.
Dengan demikian, para anggota komisi kesehatan dan komisi teologis
dan juga para wartawan dapat bergerak leluasa, dan terlebih lagi,
khalayak ramai dapat mendengar dialog yang terjadi. Para visioner akan
memadahkan lagu-lagu pujian atau mendaraskan rosario hingga
kedatangan Santa Perawan seperti yang telah diberitahukan
sebelumnya kepada mereka. Pada tanggal 15 Agustus 1982,
diperkirakan ada sekitar 20.000 orang yang hadir.

Terkadang, pada waktu penampakan terjadi, khalayak ramai juga


menyaksikan berbagai fenomena adikodrati seperti mukjizat matahari
(serupa di Fatima): matahari menari-nari dari kiri ke kanan dan dari atas
ke bawah selama sepuluh menit, matahari sekonyong-konyong lenyap
ditelan langit dan digantikan oleh bulan yang kehijau-hijauan; pula
bintang-bintang menari dan salib-salib bercahaya di langit.

Di akhir penampakan, Santa Perawan meminta para visioner untuk


memberkati khalayak ramai. Para visioner berada dalam keadaan
ekstasi; mereka tidak melihat orang banyak, melainkan sebuah taman
bunga, sebagian bunga tampak segar sementara yang lainnya layu.
Santa Perawan meminta mereka menyirami bunga-bunga itu, sembari
menjelaskan bahwa bunga-bunga segar mewakili jiwa-jiwa yang hatinya
bertaut pada Tuhan, sedangkan bunga-bunga layu mewakili jiwa-jiwa
yang hatinya bertaut pada hal-hal duniawi, khususnya harta.

Meski banyak mukjizat, namun mukjizat terbesar yang terjadi di Kibeho


adalah gelombang pertobatan dan doa. Pada akhir tahun 1983, semua
penampakan di Kibeho berakhir, terkecuali penampakan kepada
Alphonsine yang berakhir pada tanggal 28 November 1989.

Perjalanan Mistik

Alphonsine mengalami fenomena ini pada tanggal 20 dan 21 Maret 1982.


Sebelumnya ia telah memberitahukan kepada Suster Direktris dan
teman sekelasnya, “Aku akan tampak mati, tapi janganlah takut; jangan
kuburkan aku!” Bunda Maria sebelumnya telah mengatakan kepada
Alphonsine bahwa ia akan membawanya dalam suatu perjalanan
bersamanya; perjalanan ini memakan waktu hingga 18 jam lamanya.
Para imam, kaum religius, para perawat, pula para pelayan kesehatan
Palang Merah, semuanya dapat melihat Alphonsine tenggelam dalam
suatu tidur yang dalam; tubuhnya lurus kaku dan amat berat; mereka tak
dapat mengangkat tubuhnya maupun memisahkan kedua tangannya
yang terjalin erat. Dalam perjalanan ini, Bunda Maria memperlihatkan
kepadanya surga, api penyucian dan neraka.

Fenomena mengesankan lainnya yang terjadi di Kibeho adalah puasa


dan hening yang diminta oleh Bunda Maria. Anathalie berpuasa selama
14 hari lamanya - dari tanggal 16 Februari hingga 2 Maret 1983 - dan
hanya hidup dari Ekaristi Kudus. Ia sama sekali tidak makan apapun
sepanjang delapan hari yang pertama, bahkan setetes air pun tidak.
Enam hari berikutnya, ia minum hanya sedikit air. Para anggota komisi
kesehatan dan teologis memeriksa dengan cermat di setiap menit.
Delapan perawat kesehatan ditugaskan secara bergiliran baik pagi
maupun malam sepanjang waktu. Para dokter melakukan beberapa
pemeriksaan setiap harinya guna memeriksa keadaan kesehatan
Anathalie. Mereka mendapati bahwa tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
bibirnya tetap basah; ia tidak gemetar seperti yang biasa terjadi pada
orang-orang yang kelaparan. Pada hari yang kesebelas dari puasanya,
Santa Perawan menampakkan diri kepadanya di bawah panas terik
matahari selama 105 menit.

Nubuat dan Peringatan

Salah satu alasan kuat yang membuat otoritas Gereja yang berwenang
mengakui penampakan Kibeho sebagai otentik adalah penglihatan akan
genosida di Rwanda yang terjadi 12 tahun kemudian. Dalam suatu
penampakan pada tahun 1982 yang berlangsung hingga delapan jam
lamanya, Bunda Maria memperlihatkan kepada para visioner apa yang
akan terjadi di negeri mereka apabila mereka tidak berbalik kepada
Allah. “Suatu sungai darah, orang-orang yang saling membunuh satu
sama lain, mayat-mayat bergelimpangan tanpa seorang pun
menguburkan mereka, pepohonan dilalap api, tubuh-tubuh tanpa
kepala.” Mereka menangis dengan begitu pedih dan pilu hingga
mengguncangkan hati khalayak ramai yang berkerumun di sana.

Nubuat ini tampaknya tak masuk akal, namun, pada musim semi 1994,
pecah suatu perang sipil yang paling tragis serta mengerikan. Para
pemimpin kaum Hutu mengorganisir suatu genosida yang sistematik
yang merenggut nyawa sekitar 800.000 kaum Tutsi dan kaum Hutu
moderat; suatu pembantaian besar-besaran yang sebagian besar
dilakukan dengan parang. Orang-orang tak bersalah, termasuk anak-
anak, dibantai secara keji. Kamp pengungsian terbesar berada di
Kibeho. Pada tanggal 14 April 1994, seluruh suku Tutsi yang
bersembunyi di sebuah gereja paroki di sana, sekitar 4.000 orang, tewas
oleh granat-granat yang meledak dalam bangunan gereja yang
kemudian terbakar hangus. Hanya dalam waktu tiga bulan saja, April
hingga Juni 1994, sekitar 1.000.000 orang tewas, sebagian besar
dipenggal kepalanya dan tubuhnya dicampakkan ke dalam Sungai
Kagea (= sungai darah). Anathalie selamat, Alphonsine juga berhasil
selamat walau seluruh keluarganya tewas terbunuh; sementara Uskup
Gahamanyi dan Marie Claire termasuk di antara korban tewas dalam
perang sipil ini. Di kemudian hari, Alphonsine menjadi seorang biarawati
rabiah sementara Anathalie tinggal di Rwanda mengurus tempat ziarah
Santa Perawan Maria Berdukacita yang kemudian dibangun di tempat
penampakan.

Di Kibeho, Santa Perawan Maria telah memperingatkan kita bahwa seks


bebas akan menghantar manusia kepada petaka. Pesan itu dinyatakan
sebelum dunia mengenal AIDS, tetapi pada tahun 1994, 70% kasus AIDS
sedunia terdapat di Afrika. Sebanyak 25 juta warga Afrika terjangkit
penyakit mematikan ini.
Guna menghindari perang dan malapetaka, Bunda sang Sabda
mengundang para visioner dan juga seluruh dunia untuk berdoa,
berpuasa dan bermatiraga.

Pesan-Pesan Bunda Maria

Inti pesan-pesan Bunda Maria adalah doa dari hati, silih, puasa, tobat,
berdoa Rosario, dan persiapan menyambut kedatangan Yesus kembali.

Pesan kepada Marie Claire:

“Aku menaruh perhatian bukan hanya kepada Rwanda atau kepada


seluruh Afrika saja. Aku menaruh perhatian kepada, dan berpaling
kepada, seluruh dunia. Dunia sedang berada di ambang bencana.”

“Aku datang untuk mempersiapkan jalan bagi Putraku demi kebaikan


kalian, dan kalian tidak mau mengerti. Tinggal sedikit saja waktu dan
kalian mudah lupa. Kalian terpikat oleh barang-barang dunia ini yang
akan binasa. Aku melihat banyak dari antara anak-anakku yang tersesat,
dan aku datang untuk menunjukkan jalan yang benar kepada mereka.”

“Dunia telah berbalik melawan Allah. Kita harus bertobat dan memohon
pengampunan.”

“Betobatlah! Betobatlah! Betobatlah!”


“Tetapi, aku sudah melakukannya.”
“Apabila aku menyampaikan ini kepadamu, aku tidak berbicara hanya
kepadamu seorang, melainkan aku berbicara juga kepada semua yang
lainnya. Manusia pada masa ini telah mengosongkan segala sesuatu
dari maknanya yang sejati; ia yang melakukan kesalahan tidak tahu
bahwa ia telah berbuat salah.” (2 April 1982)

“Yang aku minta dari kalian adalah tobat. Apabila kalian mendaraskan
kaplet ini (Rosario Tujuh Duka SP Maria), dengan merenungkannya,
maka kalian akan mendapatkan kekuatan untuk bertobat. Sekarang ini,
banyak orang yang tidak tahu lagi bagaimana memohon pengampunan.
Mereka memakukan kembali Putra Allah pada Salib. Sebab itu aku
menghendaki datang dan mengingatkannya kembali kepada kalian,
khususnya di sini di Rwanda, sebab di sini aku masih mendapati orang-
orang sederhana yang tidak terikat pada kekayaan ataupun uang.” (31
Mei 1982)

“Kita patut merenungkan sengsara Yesus dan dukacita mendalam


BundaNya. Hendaknyalah kita mendaraskan rosario setiap hari, dan
juga Rosario Tujuh Duka SP Maria, demi mendapatkan rahmat tobat.”

Pesan kepada Anathalie:


“Bangunlah, berdirilah! Basuhlah dirimu dan lihatlah dengan seksama.
Haruslah kita membaktikan diri dalam doa. Haruslah kita
mengembangkan dalam diri kita keutamaan-keutamaan belas kasih,
keterbukaan hati dan kerendahan hati.”

“Kembalilah kepada Tuhan, Sumber Air Hidup.”

“Aku berbicara kepada kalian, tetapi kalian tidak mendengarkan aku.


Aku hendak mengangkat kalian, tetapi kalian tetap tinggal di bawah. Aku
memanggil kalian, tetapi kalian memberiku telinga yang berat
mendengar. Bilamanakah kalian akan melakukan apa yang aku minta?
Kalian tetap acuh tak acuh terhadap segala permintaanku. Bilakah kalian
mau mengerti? Bilamanakah kalian menaruh minat pada apa yang ingin
kusampaikan kepada kalian? Aku memberi kalian tanda-tanda, tetapi
kalian tetap tidak percaya. Berapa lama lagikah kalian akan
menyendengkan telinga yang tuli terhadap permintaanku?” (5 Agustus
1982, keluhan Santa Perawan Maria sehubungan dengan permintaannya
untuk mendirikan dua tempat ibadat di tempat penampakan.)

Pesan kepada Alphonsine:

“Aku berbicara kepada kalian yang memegang kekuasaan, dan yang


memimpin negara: selamatkanlah rakyat, dan bukannya menjadi
penindas mereka. Janganlah merampas dari rakyat; berbagilah dengan
yang lain. Berhati-hatilah untuk tidak menganiaya, membungkam
mereka yang hendak mengkritik kesalahan kalian. Aku katakan kepada
kalian, aku ulangi, apapun yang kalian lakukan, bahkan meski kalian
mengusahakan segala daya upaya untuk mencelakai seseorang sebab
ia mengasihi sesamanya, membela hak-hak asazi manusia, berjuang
demi harkat hidup yang lain, dan demi kebenaran dan segala yang baik,
dan bahkan sebab ia berjuang agar Tuhan dikasihi dan dihormati,
apapun yang kalian lakukan, kalian tak akan dapat melakukan
sesuatupun untuk melawan dia.” (28 November 1989, penampakan
terakhir)

“Tak ada yang lebih indah daripada sebentuk hati yang


memperembahkan penderitaannya kepada Tuhan. Berdoa, berdoa,
berdoalah! Ikutilah Injil Putraku. Janganlah lupa bahwa Tuhan jauh lebih
berkuasa dari segala kejahatan di dunia. Berbagilah. Jangan
membunuh. Jangan menganiaya. Hormatilah hak-hak manusia, sebab
jika kalian bertindak sebaliknya, kalian tidak akan berhasil dan ia akan
berbalik melawanmu.”

“Meski aku adalah Bunda Allah, aku rendah hati dan bersahaja. Aku
senantiasa menempatkan diriku di tempat kalian. Aku mengasihi kalian
apa adanya. Tak pernah aku mencela anak-anakku yang kecil. Apabila
seorang kanak-kanak tidak dicela oleh ibundanya, maka ia akan
mengatakan kepada ibundanya segala sesuatu yang ada dalam hatinya.
Aku bersuka hati apabila anakku bersukacita bersamaku. Sukacita itu
merupakan tanda yang paling indah dari kepercayaan dan kasih. Sedikit
saja orang yang mengerti misteri kasih Allah. Ijinkanlah aku, sebagai
Bunda kalian, memeluk segenap anak-anakku dengan penuh kasih
sayang agar kalian boleh mempercayakan kerinduan-kerinduanmu yang
terdalam kepadaku. Ketahuilah, bahwa aku menyampaikan segala
kerinduan hatimu kepada Putraku, Yesus, Saudara-mu.”

“Aku mengasihi seorang kanak-kanak yang bermain bersamaku, sebab


ini merupakan suatu perwujudan nyata yang indah dari kepercayaan dan
kasih. Bersikaplah bagai kanak-kanak bersamaku sebab aku juga suka
membelaimu. Tak seorang pun takut kepada ibundanya. Aku Bundamu.
Janganlah kalian takut kepadaku, melainkan hendaknyalah kalian
mengasihi aku.”

“Aku mengasihi, mengasihi, sangat mengasihi kalian. Janganlah pernah


lupa akan kasihku kepada kalian sehingga aku datang di antara kalian.
Pesan-pesan ini tidak hanya berguna sekarang ini saja, melainkan juga
di masa mendatang.” (28 November 1989, penampakan terakhir)

Persetujuan Resmi Gereja

Pada waktu penampakan terjadi, Kibeho adalah bagian dari Keuskupan


Butare di bawah kepemimpinan Uskup Jean Baptiste Gahamanyi;
sekarang Kibeho adalah bagian dari Keuskupan Gikongoro di bawah
kepemimpinan Uskup Augustin Misago.

Menanggapi fenomena penampakan yang terjadi di wilayah


keuskupannya, Uskup Gahamanyi segera membentuk dua komisi:
komisi teologis dan komisi medis. Kedua komisi ini efektif menjalankan
tugasnya sejak April 1982 hingga penampakan Kibeho mendapatkan
persetujuan resmi Tahta Suci pada tahun 2001. Sementara itu,
berdasarkan hasil penelitian yang cermat dan seksama oleh kedua
komisi, pada tanggal 15 Agustus 1988, Uskup setempat berkeputusan
untuk memberikan persetujuan atas devosi publik sehubungan dengan
penampakan Kibeho. Uskup Gahamanyi memaklumkan, “Saya sama
sekali tak ragu bahwa sesuatu yang adikodrati telah terjadi di Kibeho.
Pesan-pesannya benar; orang hendaknya menaruh perhatian.”

Duapuluh tahun berlalu setelah penampakan pertama, dan pada tanggal


29 Juni 2001, Pesta St Petrus dan St Paulus, dalam suatu Misa Kudus
yang khidmad di Katedral Gikongoro, Uskup Augustin Misago yang
mewakili otoritas yang berwenang, menerbitkan deklarasi resmi
mengenai penilaian definitif penampakan di Kibeho, Rwanda. Antara lain
beliau memaklumkan, “Ya, Santa Perawan Maria menampakkan diri di
Kibeho pada tanggal 28 November 1981, dan pada bulan-bulan
berikutnya. Ada lebih banyak alasan untuk percaya pada penampakan-
penampakan yang terjadi daripada mengingkarinya. Hanya tiga
kesaksian pertama yang dianggap sebagai otentik; yaitu yang kesaksian
yang diberikan oleh Alphonsine Mumureke, Anathalie Mukamazimpaka,
dan Marie Claire Mukangango.”

Pada tanggal 2 Juli 2001 Tahta Suci memberikan persetujuan akan


keotentikan penampakan Kibeho dan menerbitkan laporan lengkap
mengenainya dalam koran Vatikan L'Osservatore Romano.

Nama yang diberikan kepada tempat ziarah Bunda Maria di Kibeho


adalah `Santa Perawan Maria Berdukacita'; peletakan batu pertamanya
dilakukan pada tanggal 28 November 1992. Dalam deklarasinya, Uskup
Gikongoro, Rwanda, memaklumkan:

“Bahwa Kibeho menjadi suatu tempat ziarah dan tempat perjumpaan


bagi segenap mereka yang mencari Kristus dan yang datang ke sana
untuk berdoa, suatu pusat fundamental dari pertobatan, silih atas dosa-
dosa dunia dan rekonsiliasi, suatu tempat pertemuan bagi `mereka
semua yang tercerai-berai', pula bagi mereka yang merindukan nilai-nilai
kasih dan persaudaraan tanpa batas, suatu pusat fundamental yang
mengingatkan orang akan Injil Salib.”

sumber : 1. “Messages of Our Lady of Sorrows in Kibeho, Rwanda by Thérèse


Tardif”; Michael Journal; www.michaeljournal.org; 2. “Rwanda The Visions of Life
and Death”; www.mrosa.szm.sk/341998/angl/; 3. berbagai sumber

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Santa Perawan Maria dari La


Salette
oleh: P. William P. Saunders *
Minggu lalu, saya menghadiri ulang tahun tahbisan yang ke-50 dari P
Joseph Loftus. Beliau dari Misionaris dari La Salette. Bagaimanakah
kisah Santa Perawan Maria dari La Salette?
~ seorang pembaca di Arlington

Pada suatu hari Sabtu siang, 19 September 1846, dua orang anak -
Maximin Guiraud (berusia 11 tahun) dan Melanie Calvat (berusia 14
tahun) - sedang menggembalakan domba milik majikan mereka dekat La
Salette di pegunungan Alpen, Perancis. Dampak Revolusi Perancis yang
telah meneror Gereja, darah yang tertumpah sepanjang masa
berkuasanya Napoleon, meningkatnya sekularisasi pemikiran
masyarakat dan maraknya kekacauan politik yang menyelimuti Eropa
telah mengakibatkan kerusakan serius atas iman masyarakat. Di paroki
La Salette, sedikit dan semakin sedikit saja umat yang ikut ambil bagian
dalam Misa Kudus dan sakramen-sakramen diacuhkan. Kutuk dan
sumpah serapah menggantikan doa; kebejadan moral menggantikan
kemurnian; ketamakan dan kesenangan diri menggantikan kesalehan
dan matiraga.

Melanie Calvat, seorang dari delapan bersaudara, berasal dari sebuah


keluarga miskin dan harus mulai bekerja ketika usianya tujuh tahun. Ia
tidak pernah bersekolah, hanya tahu sedikit saja mengenai Katekese,
jarang ke Misa, dan nyaris tak dapat mendaraskan Bapa Kami ataupun
Salam Maria. Begitu pula, Maximin Guiraud, yang ibunya telah
meninggal dunia dan tidak cocok dengan ibu tirinya, hanya mempunyai
sedikit saja pendidikan agama dan tidak bersekolah.

Ketika sedang menggembalakan domba, mereka melihat suatu cahaya


kemilau yang lebih cemerlang dari matahari. Sementara mereka
mendekat, mereka melihat seorang “Perempuan Cantik” duduk di atas
sebuah batu karang dan menangis, wajahnya dibenamkan ke dalam
kedua tangannya. Dengan berurai airmata, perempuan itu berdiri dan
berbicara kepada anak-anak dalam dialek Perancis setempat. Ia
mengenakan hiasan kepala dengan sebuah mahkota transparan di
atasnya dan rangkaian mawar sekelilingnya, gaun yang bersinar dengan
cahaya dan alas kaki berpinggiran bunga-bunga mawar. Di lehernya
tergantung sebuah salib emas: di salah satu ujung palang salib terdapat
sebuah palu serta paku-paku, dan di ujung lainnya terdapat sebuah
penjepit. Di sekeliling pundaknya tergantung sebuah rantai yang berat.

Katanya, “Datanglah kepadaku, anak-anakku. Janganlah kalian takut.


Aku ada di sini untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

Jika umatku tidak taat, aku akan harus terpaksa melepaskan lengan
Putraku. Lengan-Nya begitu berat, begitu menekan, hingga aku tak lagi
dapat menahannya.

Berapa lama aku telah menderita demi kalian! Jika aku tidak
menghendaki Putraku meninggalkan kalian, aku harus memohon
dengan sangat kepada-Nya tanpa henti. Tetapi, kalian nyaris tidak
mengindahkan hal ini. Tak peduli betapa baiknya kalian berdoa di masa
mendatang, tak peduli betapa baiknya kalian berbuat, kalian tidak akan
pernah dapat memberikan kepadaku ganti atas apa yang telah aku
tanggung demi kalian.

Aku memberikan kepada kalian enam hari untuk bekerja. Hari ketujuh
Aku peruntukkan bagi DiriKu Sendiri. Namun, tak seorang pun hendak
memberikannya kepada-Ku. Inilah yang menyebabkan lengan Putraku
berat menekan.

Mereka yang mengemudikan kereta tak dapat bersumpah serapah tanpa


membawa-bawa nama Putraku. Inilah dua hal yang membuat lengan
Putraku begitu berat menekan.

Apabila panenan rusak, itu adalah karena kesalahan kalian sendiri. Aku
telah memperingatkan kalian tahun lalu lewat kentang-kentang. Kalian
mengacuhkannya. Malah sebaliknya, ketika kalian mendapati bahwa
kentang-kentang itu telah membusuk, kalian bersumpah serapah, dan
kalian mencemarkan nama Putraku. Kentang-kentang itu akan terus
rusak, dan pada waktu Natal tahun ini tak akan ada lagi yang tersisa.

Apabila ada pada kalian jagung, maka tak akan ada gunanyalah
menabur benih. Binatang-binatang liar akan melahap apa yang kalian
tabur. Dan semuanya yang tumbuh akan menjadi debu ketika kalian
mengiriknya.

Suatu bencana kelaparan hebat akan datang. Tetapi sebelum itu terjadi,
anak-anak di bawah usia tujuh tahun akan diliputi kegentaran dan mati
dalam pelukan orangtua mereka. Orang-orang dewasa akan harus
membayar hutang dosa-dosa mereka dengan kelaparan. Buah-buah
anggur akan menjadi busuk, dan biji-bijian akan menjadi rusak.”

Sungguh, suatu pesan yang serius. Kemudian Bunda Maria


mengatakan, “Apabila orang bertobat, maka batu-batu akan menjadi
tumpukan gandum, dan kentang-kentang akan didapati tersebar di
tanah.”

Lalu ia bertanya kepada anak-anak, “Adakah kalian berdoa dengan baik,


anak-anakku?”

“Tidak, kami nyaris tak pernah berdoa sama sekali,” gumam mereka.

“Ah, anak-anakku, sungguh amat penting memanjatkan doa, malam


maupun pagi. Apabila kalian tak punya cukup waktu, setidak-tidaknya
daraskanlah satu Bapa Kami dan satu Salam Maria. Dan apabila
memungkinkan, berdoalah lebih banyak.”

Bunda Maria kemudian kembali kepada penghukuman orang banyak,


“Hanya ada sedikit perempuan tua yang pergi ke Misa pada musim
panas. Semua lainnya bekerja setiap hari Minggu sepanjang musim
panas. Dan pada musim dingin, ketika mereka tidak tahu apa yang harus
dilakukan, mereka pergi ke Misa hanya untuk memperolok agama.
Sepanjang Masa Prapaskah mereka berkerumun di kedai tukang daging
bagaikan anjing-anjing yang kelaparan.”

Ia mengakhirinya dengan mengatakan, “Anak-anakku, kalian akan


menyampaikan ini kepada segenap umatku.”

Kemudian ia berjalan pergi, mendaki sebuah jalanan yang tinggi, dan


kemudian menghilang dalam cahaya yang cemerlang.

Anak-anak mengulangi kisah ini kepada majikan masing-masing. Ketika


orang banyak memastikan bahwa kedua kisah tersebut cocok sama, dan
beberapa orang saleh menyimpulkan bahwa ini adalah penampakan
Bunda Maria, maka anak-anak dikirim ke imam paroki La Salette. Imam
mengisahkan kembali cerita anak-anak pada waktu Misa. Para pejabat
pemerintahan memulai suatu penyelidikan dan anak-anak tetap
bersikukuh pada kisah mereka walau diancam hukuman penjara. Suatu
ketika saat menyelidiki tempat kejadian, seseorang mematahkan
sebongkah dari batu karang di mana tadinya Santa Perawan duduk;
maka memancarlah suatu sumber mata air di tempat yang tadinya
kering terkecuali ketika saat salju mencair. Mata air ini terus memancar
dengan berlimpah. Orang mengambil air dari sumber mata air dan
memberikannya kepada seorang perempuan yang menderita suatu
penyakit serius yang telah menahun; ia meminum sedikit dari air
tersebut setiap hari sambil mendaraskan novena, dan pada hari
kesembilan, ia disembuhkan!

Kasus ini kemudian disampaikan kepada Uskup Bruillard dari Grenoble,


yang memprakarsai suatu penyelidikan yang seksama atas
penampakan. Sementara itu, semakin banyak mukjizat penyembuhan
yang terjadi. Mukjizat yang terbesar adalah sungguh mukjizat rohani:
orang-orang ikut ambil bagian dalam Misa Kudus dengan setia dan
mengakukan dosa-dosa mereka secara teratur. Mereka berhenti bekerja
pada hari-hari Minggu dan kembali hidup saleh serta penuh devosi.

Ziarah ke tempat ini menjadi semakin populer. Lima tahun kemudian,


pada tanggal 19 September 1851, Uskup Bruillard menetapkan bahwa
penampakan “memaklumkan dari dirinya sendiri segala tanda-tanda
kebenaran dan bahwa umat beriman dibenarkan untuk mempercayainya
sebagai dapat dipercaya dan tak diragukan.” Pertobatan sejati telah
terjadi.

Tahun berikutnya, suatu komunitas religius baru dibentuk, Misionaris


dari La Salette. Juga, Uskup Bruillard meletakkan batu pertama untuk
sebuah basilika baru. Para peziarah semakin banyak mengunjungi
lokasi penampakan, dan Santa Perawan digelari sebagai “Pendamai
orang-orang berdosa” (= Reconcilatrix of sinners). Banyak orang kudus
besar berdevosi kepada Santa Perawan Maria dari La Salette, di
antaranya St Yohanes Bosco, St Yohanes Vianney, dan St Madeleine
Sophie Barat.

Sementara kita merenungkan penampakan ini, pesan Bunda Maria


masih sama relevannya dulu dan sekarang: Berapa banyak orang tidak
punya waktu untuk Misa hari Minggu, tetapi menyempatkan diri untuk
membaca koran, berolah-raga atau pergi shopping? Berapa banyak
yang tidak mengakukan dosanya selama bertahun-tahun? Berapa
banyak yang biasa mempergunakan nama Tuhan sebagai kata-kata
carut-marut yang tidak pantas? Berapa banyak yang tidak berdoa setiap
hari? Berapa banyak yang menyenangkan diri dengan hujat-hujat
macam The Da Vinci Code? Oh ya, pesannya masih menggema. Dunia
dan masing-masing kita membutuhkan pertobatan.

Marilah kita berpaling kepada Santa Perawan Maria dari La Salette dan
mendaraskan Memorare kepadanya:

Ingatlah, ya Santa Perawan Maria dari La Salette, Bunda Dukacita sejati,


akan airmata yang engkau curahkan bagi kami di Kalvari. Ingatlah pula
akan kasih sayang pemeliharaanmu agar kami tetap setia kepada
Kristus, Putramu. Setelah berbuat begitu banyak bagi anak-anakmu,
engkau tidaklah akan meninggalkan kami sekarang. Terhibur oleh
pemikiran yang menenangkan hati ini, kami datang memohon
kepadamu, kendati ketidaksetiaan dan tidak tahu terima kasih kami.
Perawan Pendamai, janganlah kiranya engkau menolak doa-doa kami,
melainkan jadilah perantara kami, perolehkanlah bagi kami rahmat untuk
mengasihi Yesus di atas segala-galanya. Kiranya kami boleh menghibur
engkau dengan mengamalkan hidup kudus dan dengan demikian boleh
ikut ambil bagian dalam hidup kekal yang Kristus perolehkan bagi kami
melalui salib-Nya. Amin.

(Dialog seperti tertulis di atas diambil dari “The Lady in Tears,” oleh
Msgr. John S. Kennedy dalam A Woman Clothed with the Sun.)

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and professor
of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in
Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Our Lady of La Salette” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright (c) 2006 Arlington Catholic Herald;
www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria Bunda


Pengharapan
oleh: P. William P. Saunders *

Mohon penjelasan mengenai latar belakang gelar Bunda Maria sebagai


“Bunda Pengharapan”
~ seorang pembaca di Sterling

Gelar Bunda Maria sebagai “Bunda Pengharapan,” muncul dari


penampakannya kepada beberapa anak di Pontmain, Perancis pada
tanggal 17 Januari 1871. Patut dicatat bahwa Bunda Maria telah disebut
dengan gelar ini sebelumnya; sebuah madah telah ditulis demi
menghormati Bunda Pengharapan oleh Komunitas Agung dari Bunda
Pengharapan di Saint-Brieuc, Perancis. Namun demikian, devosi yang
paling populer kepada “Bunda Pengharapan” berhubungan dengan
penampakan ini. Guna memahami kisah dengan sebaik-baiknya,
pertama-tama kita perlu melihat latar belakangnya.

Pada tahun 1861, Kaiser Wilhelm I menduduki tahta Prussia, dan segera
menunjuk Otto von Bismark sebagai penasehatnya. Tujuan mereka
adalah mempersatukan segenap negeri yang berbahasa Jerman menjadi
satu negara. Bersama-sama, mereka mengambil sikap yang agresif dan
suka berperang. Guna memaksakan kehendak mereka sekaligus
menguji posisi di antara negara-negara sekitarnya, Prussia menyulut
tiga perang singkat: pertama, melawan Denmark pada tahun 1864,
menguasai Holstein; kedua, melawan Austria pada tahun 1866,
menempatkan Prussia di bawah kendali Jerman; dan yang terakhir,
melawan Perancis pada tahun 1870.

Pada tanggal 1 Agustus 1870, meriam pertama ditembakkan dan Perang


Perancis - Prussia pun dimulai. Pasukan Perancis dengan segera jatuh
ke dalam kekuasaan militer Prussia. Pada tanggal 27 Desember, Prussia
telah menyerbu Paris. Sekarang mereka mengarah ke provinsi-provinsi
barat yaitu Normandy dan Brittany.
Pertengahan Januari 1871, pasukan Prussia hanya beberapa mil saja
jauhnya dari kota Pontmain, yang terletak di sebelah kanan dalam garis
pertahanan Perancis. Penduduk Pontmain ketakutan. P. Guerin, yang
telah menjadi imam paroki selama 35 tahun, meminta anak-anak untuk
berdoa kepada Bunda Maria memohon perlindungan.

Pada sore hari Selasa, 17 Januari, Eugene Barbadette yang berusia 12


tahun sedang berjalan meninggalkan kandang ayahnya. Anak laki-laki
ini mendongak ke atas ke langit yang berbintang dan melihat seorang
Perempuan nan elok berdiri di angkasa, sekitar 20 kaki di atas atap
rumah, di antara dua cerobong asap rumah milik Jean dan Augustine
Guidecoq yang ada di seberang jalan. Perempuan itu mengenakan gaun
berwarna biru tua bertaburan bintang-bintang emas, sebuah kerudung
hitam dan sebuah mahkota emas sederhana. Eugene berdiri terpesona
di sana dalam dinginnya salju sekitar 15 menit lamanya.

Ayahnya dan saudara laki-lakinya yang berumur sepuluh tahun, Yosef,


keluar dari kandang. Eugene berseru, “Lihat di sana! Di atas rumah!
Apakah yang kalian lihat?” Yosef menggambarkan Perempuan itu persis
sama seperti yang dilihat Eugene. Ayahnya tidak melihat apa-apa, jadi
dengan geram ia memerintahkan anak-anak untuk kembali memberi
makan kuda-kuda di kandang.

Entah apa alasannya, sejenak kemudian, sang ayah menyuruh kakak


beradik itu untuk keluar dan melihat kembali. Mereka melihatnya lagi.
Yosef terus-menerus mengatakan, “Alangkah cantiknya dia! Alangkah
cantiknya!” Ibu mereka, Victoria Barbadette, sekarang muncul di sana
dan menyuruh Yosef diam sebab ia begitu ribut hingga menarik
perhatian orang. Tahu bahwa anak-anak itu jujur dan tidak berbohong,
ibunya pun mengatakan, “Mungkin itu Santa Perawan yang
menampakkan diri kepada kalian. Karena kalian melihatnya, marilah kita
mendaraskan lima Bapa Kami dan lima Salam Maria demi
menghormatinya.” (Kedua kakak beradik itu amat saleh: mereka
memulai hari-hari mereka dengan melayani Misa Kudus, mendaraskan
rosario dan mempersembahkan Jalan Salib dengan intensi kakak laki-
laki mereka yang bertugas dalam dinas ketentaraan Perancis.)

Setelah mendaraskan doa-doa di dalam kandang agar tak menarik


perhatian orang, Nyonya Barbadette bertanya apakah anak-anak masih
melihat Perempuan itu. Ketika mereka menjawab, “Ya,” ia pergi
mengambil kacamata. Ketika kembali, sang ibu membawa serta saudari
mereka, Louise, bersamanya; namun tak seorang pun dari keduanya
melihat apa-apa. Perangai sang ibu pun berubah dan ia menuduh kedua
anaknya telah berbohong.

Terlintas dalam benak Nyonya Barbadette untuk memanggil para


biarawati. Katanya, “Para biarawati lebih saleh dari kalian. Jika kalian
melihatnya, tentulah mereka melihatnya juga.” Suster Vitaline juga tahu
bahwa anak-anak itu tidak berbohong. Tetapi, ia pun tak dapat melihat
Perempuan itu. Suster Vitaline kemudian pergi ke rumah tetangga dan
meminta dua gadis kecil, Francoise Richer (berusia 11 tahun) dan
Jeanne-Marie Lebosse (berusia 9 tahun) untuk datang bersamanya.
Kedua gadis kecil itu menggambarkan sang Perempuan tepat sama
seperti kedua anak lainnya.

Sekarang, Suster Marie Edouard telah bergabung dalam kelompok


tersebut. Setelah mendengar apa yang dikatakan kedua gadis kecil, ia
pergi memanggil P Guerin dan seorang anak lain, Eugene Friteau
(berusia 6 setengah tahun). Eugene juga melihat sang Perempuan.
Sekarang telah terkumpul suatu himpunan besar sekitar 50 orang warga
desa. Augustine Boitin, yang baru berusia 25 bulan, menggapai sang
Perempuan dan berseru, “Yesus! Yesus!” Hanya keenam kanak-kanak
ini saja yang melihat penampakan Bunda Pengharapan.

P Guerin meminta semua yang hadir untuk berdoa, maka mereka


berlutut dan mendaraskan rosario. Suster Marie Edouard memimpin
himpunan umat untuk mendaraskan Magnificat. Perlahan-lahan, suatu
pesan dalam huruf-huruf emas nampak di langit: “Tetapi, berdoalah
anak-anakku.” Semua anak-anak melihat pesan yang sama.

Suster Marie Edouard kemudian memimpin yang lainnya memadahkan


Litani Santa Perawan Maria. Pesan selanjutnya disingkapkan, “Tuhan
akan mendengarkan kalian dalam waktu dekat.”

Datang kabar bahwa pasukan Prussia sekarang telah berada di Laval,


sangat dekat dengan Pontmain. Pesan berlanjut, “Putraku membiarkan
DiriNya tergerak oleh belas kasihan.” Ketika anak-anak memaklumkan
pesan ini, P Guerin meminta khalayak ramai untuk menyanyikan madah
pujian. Suster Marie Edouard mengatakan, “Bunda Pengharapan, wahai
nama yang begitu manis, lindungilah negeri kami, doakanlah kami,
doakanlah kami!” Orang banyak menanggapi, “Jika mereka [Prussia]
berada di gerbang masuk desa, kami tidak akan takut lagi sekarang!”

Di akhir madah, pesan menghilang. Himpunan orang banyak kemudian


menyanyikan sebuah madah tobat dan silih kepada Yesus. Bunda Maria
tampak berduka, ia memegang sebuah salib merah yang besar dengan
tulisan “Yesus Kristus.”

Pada pukul 8.30 petang, orang banyak menyanyikan, “Ave, Maris Stella,”
dan salib lenyap. Lagi, Bunda tersenyum dan dua salib putih kecil
nampak di kedua pundaknya. Ia merentangkan tangannya ke bawah,
seperti yang terlihat dalam gambar-gambar Santa Perawan Maria
Dikandung Tanpa Dosa. Sebuah selubung putih secara perlahan-lahan
menutupi Bunda Maria dari kaki hingga ke mahkota. Sekitar pukul 8.45
petang, anak-anak mengatakan, “Sudah selesai.” Bunda Maria telah
menghilang.

Sementara penampakan ini berlangsung, Jenderal Von Schmidt


menerima perintah dari Komando Tinggi Prussia untuk menghentikan
penyerangan dan mundur. Sepuluh hari kemudian, suatu perjanjian
gencatan senjata ditanda-tangani antara Perancis dan Prussia.
Perantaraan ajaib Bunda Maria telah menyelamatkan Pontmain.

Karena penampakan ini, devosi kepada Bunda Pengharapan segera


tersebar luas. Pesan Bunda Maria adalah pesan pengharapan, “Tetapi,
berdoalah anak-anakku. Tuhan akan mendengarkan kalian dalam waktu
dekat. Putraku membiarkan DiriNya tergerak oleh belas kasihan.”
Sementara kita mendaraskan rosario kita setiap hari memohon
pemeliharaan keibuan Bunda Maria, patutlah kita ingat bahwa ia, yang
berdiri di kaki salib, yang dipenuhi pengharapan akan pengampunan
dosa dan kebangkitan ke hidup yang kekal, memberikan pengharapan
kepada kita juga sepanjang perjalanan hidup kita. Bersama Bunda
Pengharapan, kita sungguh memiliki jaminan bahwa kita tidak akan
pernah ditinggalkan, dan bahwa kita senantiasa memiliki pengharapan
akan dipersatukan dengan Tuhan kita sekarang dan selama-lamanya di
surga.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Mary as Our Lady of Hope” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria dari


Czestochowa
oleh: P. William P. Saunders *
Saya tahu bahwa Bapa Suci Yohanes Paulus II memiliki devosi yang
kuat kepada Santa Perawan Maria dari Czestochowa. Mohon penjelasan
mengenai asal-usul devosi ini.
~ seorang pembaca di Sterling

Paus Yohanes Paulus II mengunjungi tempat ziarah Santa Perawan


Maria dari Czestochowa dalam perjalanan pertamanya ke Polandia pada
tahun 1979. Beliau mengatakan, “Panggilan kepada seorang putera dari
Polandia ke Katedral St Petrus mengandung suatu bukti dan pertalian
yang erat dengan tempat kudus ini, dengan tempat ziarah pengharapan
ini: Totus tuus (“Aku sepenuhnya milikmu”), telah saya bisikkan begitu
banyak kali dalam doa di hadapan lukisan ini” (4 Juni 1979).

Devosi kepada Santa Perawan Maria dari Czestochowa berpusat pada


ikon Bunda Maria. Dilukis di atas kayu, ikon itu sendiri menggambarkan
Bunda Maria menunjuk dengan tangan kanannya, sementara tangan
kirinya menggendong Bayi Yesus. Secara teknis, gambaran Bunda Maria
ini dalam ikonografi diidentifikasikan sebagai Hodegetria. Seperti dalam
ikon-ikon lainnya, Yesus tampak bagaikan seorang dewasa kecil dalam
gendongan BundaNya, suatu gambaran yang mengingatkan umat
beriman bahwa Yesus sepenuhnya dewasa dalam kodrat ilahi-Nya.
Seturut berlalunya waktu, akibat tak terlindungi dari nyala lilin-lilin
devosional, maka lukisan menjadi hitam, dan sebab itu Santa Perawan
Maria dari Czestochowa dikenal juga sebagai “Madonna Hitam”.

Menurut tradisi St Lukas yang melukis ikon tersebut pada daun meja
kayu buatan St Yosef, yang dibawa serta oleh Bunda Maria ketika ia
pindah ke Efesus dan tinggal dalam pemeliharaan St Yohanes Rasul.
Ingat bahwa St Lukas mencatat dalam Injilnya kisah terperinci mengenai
kabar sukacita, Maria mengunjungi Elisabet, Natal, Yesus
dipersembahkan di Bait Allah, dan Yesus diketemukan dalam Bait Allah,
yang tidak kita dapati dalam Injil-Injil lainnya, dan yang pastilah ia
ketahui dari Bunda Maria sendiri. St Helena disebut sebagai yang
menemukan ikon ini pada awal tahun 300-an. Theodorus Lector (± 530)
menyebutkan tentang keberadaan ikon Hodegetria dalam sebuah gereja
di Konstantinopel sebelum tahun 450.

Pada tahun 988, ikon ini menjadi milik Puteri Anna, puteri Kaisar
Byzantine Basilus II dan isteri St Vladimir dari Kiev (± 975-1015), yang
telah dipertobatkan dalam iman dan menjadi penguasa Rusia pertama
yang memeluk kekristenan. Pada tahun 1382, Pangeran Ladislaus
Opolczyk membawa ikon ke kastilnya di Belz. Di kemudian hari, ia
bermaksud memindahkan ikon ke tempat kelahirannya, yakni kota
Opala. Dalam perjalanan ke Opala, ia dan mereka yang menyertainya
singgah dan bermalam di Czestochowa, sebuah kota di sebelah selatan
pusat Polandia di Sungai Warta. Keesokan harinya, kuda-kuda yang
dipasangkan pada kereta yang membawa ikon menolak bergerak maju,
yang ditafsirkan Pangeran Ladislaus sebagai suatu tanda ajaib bahwa
ikon harus tinggal di Czestochowa. Karenanya, ia mempercayakan ikon
dalam pemeliharaan para biarawan Paulite (Ordo Pertapa dari St
Paulus), yang memiliki sebuah biara di Jasna Gora (= Bukit Terang).
Pada tahun 1386, Raja Jagiella (dikenal juga sebagai Wladyslaw II)
membangun sebuah gereja yang lebih indah bagi biara. Laporan-laporan
pertama mengenai mukjizat seputar penghormatan kepada ikon didapati
tertanggal 1402. Sekitar pada masa yang sama, umat beriman mulai
menyebut Maria sebagai “Penyembuh yang Sakit, Bunda Belas Kasihan
dan Ratu Polandia.” Segera saja, ratusan peziarah berdatangan demi
menghormati ikon dan memohon bantuan doa Bunda Maria.

Sebab itu, pada tahun 1430, kaum Hussite (kaum bidaah pengikut John
Hus yang menyangkal devosi kepada Bunda Maria dan penghormatan
ikon-ikon) menyerang tempat ziarah. Salah seorang dari kelompok
Hussite mencemarkan ikon dengan pedangnya; ia menorehkan tiga
goresan pada pipi kanan Bunda Maria. Setelah menorehkan goresannya
yang terakhir, orang Hussite itu sekonyong-konyong jatuh terkapar dan
mati seketika. Sesungguhnya, peristiwa ini mendorong devosi yang
terlebih lagi kepada Santa Perawan Maria dari Czestochowa.

Pada tahun 1655, Raja Charles Gustavus dari Swedia bersama


pasukannya menyerbu Polandia dan menaklukkan hampir seluruh
negeri. Pasukan Swedia ini diikuti oleh pasukan Rusia dan Tartar yang
juga menduduki sebagian wilayah Polandia. Namun demikian, ketika
bala tentara Swedia yang berjumlah sekitar 2000 orang menyerang biara
di Czestochowa, para biarawan Paulite menghalau mereka dan
mensyukuri keberhasilan mereka sebagai berasal dari perantaraan
Santa Perawan Maria dari Czestochowa. Kemenangan ini mengubah
perang menjadi pertikaian antar agama: Katolik melawan Lutheran
Swedia, Orthodox Rusia dan Muslim Tartar. Dengan mengandalkan
perlindungan Bunda Maria, orang-orang Polandia bangkit kembali. Pada
tanggal 3 Mei 1556, Raja Jan Casimir membuat pernyataan kepada Santa
Perawan Maria dari Czestochowa, “Aku, Jan Casimir, Raja Polandia,
menempatkan engkau sebagai Ratu dan Pelindung Kerajaanku. Aku
mempercayakan rakyatku dan bala tentaraku di bawah
perlindunganmu.” Dan kemenangan berhasil diraih. Sejak saat itu, Santa
Perawan Maria dari Czestochowa, Ratu Polandia, menjadi lambang
nasionalisme, patriotisme dan kebebasan beragama di Polandia. Iman
dan patriotisme dipandang sebagai tak terpisahkan dan “Demi Iman dan
Tanah Air” menjadi seruan persatuan mereka.

Pada tanggal 14 September 1920, pada Pesta Salib Suci, pasukan Rusia
telah berada di Sungai Vistula, siap menyerbu Polandia. Menurut tradisi,
pasukan Rusia melihat suatu penampakan Santa Perawan Maria dari
Czestochowa di langit, hingga akhirnya mereka mengundurkan diri.
Peristiwa ini dikenal sebagai “Mukjizat Vistula.”

Pada masa pendudukan Nazi dan Komunis, pemerintah melarang pergi


ke tempat ziarah dan mengenakan hukuman yang berat bagi mereka
yang melanggar. Walau demikian, berjuta-juta umat beriman tetap
mengambil resiko itu demi menghormati Santa Perawan Maria dari
Czestochowa.

Pada tanggal 26 Agustus 1982, pada perayaan Santa Perawan Maria dari
Czestochowa, Paus Yohanes Paulus II merayakan peringatan 600 tahun
kedatangan ikon dan penghormatan ikon Santa Perawan Maria dari
Czestochowa di Polandia. Dari kapelnya di Castel Gandolofo, yang
memajang lukisan Santa Perawan Maria dari Czestochowa, di altar
utama, ia menyampaikan suatu pesan istimewa kepada saudara-saudari
setanahair, yang pada waktu itu tengah berjuang demi kemerdekaan dari
tirani komunis, “Saudara-saudari sebangsa yang terkasih! Betapapun
sulitnya kehidupan masyarakat Polandia sepanjang tahun ini, kiranya
kesadaran ini lekat dalam diri kalian bahwa hidup ini dipeluk oleh Hati
sang Bunda. Seperti ia menang dalam Maximilianus Kolbe, Ksatria dari
Immaculata, demikian pula kiranya ia menang dalam kalian. Kiranya hati
sang Bunda menang! Kiranya Bunda dari Jasna Gora menang dalam
kita dan melalui kita! Kiranya ia menang bahkan melalui penderitaan dan
kekalahan kita. Kiranya ia memastikan bahwa kita tidak akan berhenti
berusaha dan berjuang demi kebenaran dan keadilan, demi kebebasan
dan martabat dalam hidup kita. Tidakkah kata-kata Maria, “Apa yang
dikatakan (Putraku) kepadamu, buatlah itu!” berarti demikian pula?
Kiranya kuasa dengan sepenuhnya dinyatakan dalam kelemahan, sesuai
nasehat Rasul orang Kafir dan seturut teladan saudara sebangsa kita,
Pastor Maximilianus Kolbe. Ratu Polandia, aku di dekatmu, aku
mengenangkanmu, aku berjaga!”

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Our Lady of Czestochowa” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Artikel khusus.
Katekese tentang Santa
Perawan Maria
oleh: St. Yohanes Maria Vianney

Bapa bersukacita memandang hati Santa Perawan Maria Tersuci,


sebagai karya tangan-Nya yang paling agung; sama seperti kita selalu
senang akan karya kita sendiri, terlebih apabila hasilnya sungguh baik.
Putra bersukacita atas hati Bunda-Nya, sumber darimana Ia
mendapatkan Darah-Nya yang telah menebus kita. Roh Kudus
bersukacita atas Bait-Nya. Para nabi mewartakan kemuliaan Maria
sebelum kelahirannya; mereka memperbandingkannya dengan
matahari. Sungguh, kehadiran Santa Perawan dapat diperbandingkan
dengan seberkas sinar matahari yang cemerlang di pagi yang berkabut.

Sebelum kedatangan Maria, murka Allah menggelantung di atas kepala


kita bagaikan sebilah pedang yang siap menebas kita. Segera setelah
kehadiran Santa Perawan di dunia, murka-Nya reda…. Maria tidak tahu
bahwa ia akan menjadi Bunda Allah. Ketika masih kanak-kanak, ia biasa
berkata, “Bilakah aku memandang ciptaan agung yang akan menjadi
Bunda Allah?” Santa Perawan dihadapkan kepada kita dua kali: dalam
Inkarnasi dan di kaki salib; dengan demikian ia Bunda kita dua kali lipat.
Santa Perawan seringkali diperbandingkan dengan seorang ibu, namun
demikian ia tetap jauh lebih mengagumkan daripada seorang ibu terbaik
sekalipun; sebab ibu terbaik kadang-kadang menghukum anaknya
apabila anaknya itu mengecewakan hatinya, dan bahkan menghajarnya:
ia pikir ia melakukan hal yang tepat. Tetapi, Santa Perawan tidak
melakukan itu semua; ia begitu lembut hati hingga ia memperlakukan
kita dengan penuh kasih sayang dan tak pernah sekali pun menghukum
kita.

Hati Bunda yang amat lemah-lembut ini sepenuhnya adalah cinta dan
belas kasihan; ia hanya menginginkan kita bahagia. Kita hanya perlu
datang kepadanya agar ia mendengar kita. Putra memiliki keadilan-Nya,
tetapi Bunda tak memiliki apa-apa kecuali kasih sayangnya. Tuhan
begitu mengasihi kita sehingga Ia rela wafat bagi kita; tetapi dalam hati
Kristus ada keadilan-Nya, yang adalah atribut Allah; dalam hati Santa
Perawan Tersuci, tak ada yang lain selain belas kasihan. Putranya siap
menghukum mereka yang berdosa, Maria menengahi, ia menahan
pedang keadilan, memohon dengan sangat pengampunan bagi pendosa
yang malang. “Ibu,” demikian Kristus berkata kepada Bunda-Nya, “Aku
tak dapat menolak apa pun permohonanmu. Bahkan jika neraka
bertobat, engkau akan beroleh pengampunan baginya.”

St. Perawan Tersuci menempatkan dirinya di antara Putranya dan


manusia. Semakin berdosa kita, semakin besar kelemahlembutan dan
belaskasihan yang ia rasakan bagi kita. Anak yang menyebabkan ibunya
meneteskan paling banyak airmata adalah anak yang paling dicintainya.
Tidakkah seorang ibu senantiasa bergegas menolong anaknya yang
paling lemah dan paling rentan terhadap bahaya? Tidakkah seorang
dokter di rumah sakit lebih memperhatikan mereka yang menderita sakit
yang paling serius? Hati Bunda Maria begitu lemah lembut terhadap
kita, hingga andai saja hati segenap ibu di seluruh dunia digabung
menjadi satu akan serupa sekeping es saja dibandingkan dengan
hatinya. Lihat, betapa amat baiknya Perawan Tersuci! Hambanya yang
mengagumkan, St. Bernardus, biasa menyapanya, “Salam bagimu,
Maria”. Suatu hari, Bunda yang baik ini menjawabnya, “Salam bagimu,
puteraku Bernardus.”

Ave Maria adalah doa yang tak pernah membosankan. Devosi kepada
Perawan Tersuci begitu nikmat, begitu manis dan begitu menyegarkan
jiwa. Apabila kita membicarakan masalah-masalah duniawi atau politik,
kita akan merasa bosan; tetapi apabila kita membicarakan Perawan
Tersuci, kita akan selalu bersemangat. Semua orang kudus memiliki
devosi yang mendalam kepada Bunda Maria; tak ada rahmat datang dari
surga tanpa melalui tangan-tangannya. Kita tak akan dapat masuk ke
dalam rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintunya; nah, Perawan
Tersuci adalah penjaga pintu Surgawi.

Apabila kita hendak menyampaikan sesuatu kepada seorang tokoh yang


kita hormati, kita menyampaikannya melalui orang yang dekat
dengannya, agar pemberian kita itu berkenan padanya. Demikian juga
doa-doa kita akan memperolehkan manfaat yang berbeda apabila
disampaikan melalui Bunda Maria, sebab ia adalah satu-satunya
makhluk yang tidak pernah menghina Allah. Perawan Tersuci seorang
saja yang memenuhi perintah pertama - mengagungkan Tuhan saja dan
mengasihi-Nya dengan sempurna. Ia melakukannya dengan sempurna
tanpa cela.

Segala yang diminta Putra dari Bapa diberikan kepada-Nya. Segala yang
diminta Bunda dari Putra, demikian juga, diberikan kepadanya. Jika kita
menggenggam sesuatu yang harum, maka tangan kita akan
mengharumkan apa saja yang disentuhnya: biarlah doa-doa kita
melewati tangan-tangan Perawan Tersuci; ia akan mengharumkan doa-
doa kita. Aku pikir bahwa pada akhir dunia Perawan Tersuci akan sangat
tenang dan damai; tetapi sementara dunia berakhir, kita menarik-
nariknya ke segala penjuru …. Perawan Tersuci bagaikan seorang
ibunda dengan begitu banyak anak - ia terus-menerus sibuk memeriksa
dan memelihara anak-anaknya satu persatu.

sumber : “Catechism on the Blessed Virgin by Saint John Vianney”; www.catholic-


forum.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Maria menurut St. Bernardus dari Clairvaux:

Jika angin godaan menerpa,


jika engkau tertumbuk karang kesusahan,
pandanglah bintang itu,
berserulah kepada Maria.

Jika engkau diombang-ambingkan oleh gelombang


keangkuhan, ketamakan, penghianatan, kedengkian,
pandanglah bintang itu,
berdoalah kepada Maria.

Jika amarah atau kekikiran, atau keinginan tak murni


menghempas perahu kecil jiwamu,
pandanglah Maria.

Jika engkau gelisah oleh besarnya kejahatanmu,


resah oleh buruknya hati nuranimu,
ketakutan oleh pikiran akan pengadilan,
dan engkau mulai dilanda oleh golakan kesedihan,
oleh golakan keputus-asaan yang dalam,
datanglah kepada Maria.

Dalam bahaya, dalam kebimbangan, dalam kesulitan,


datanglah kepada Maria,
dan berserulah kepadanya.
Hendaknya ia tak jauh dari bibirmu, dari hatimu,
dan agar beroleh bantuan doanya,
janganlah lalai mengikuti teladan hidupnya.
Jika engkau mengikutinya, engkau tak akan tersesat.
Jika engkau berseru kepadanya, engkau tak akan putus pengharapan.
Jika engkau senantiasa menghadirkannya dalam pikiranmu, engkau tak
akan salah langkah.
Jika ia menggenggam tanganmu, engkau tak akan jatuh.
Jika ia melindungimu, engkau tak perlu takut akan apapun juga.
Jika ia membimbing jalanmu, engkau tak akan lelah.
Jika ia berbelas kasihan padamu, engkau akan sampai ke tujuan.

Gelar-gelar Maria dalam


Litani Santa Perawan Maria
oleh: P. William P. Saunders *
Dalam Litani Santa Perawan Maria terdapat gelar-gelar Maria yang tidak
saya pahami, misalnya Benteng Daud, Rumah Kencana, Tabut
Perjanjian, Benteng Gading, Mawar yang Gaib, Bintang Timur, Bintang
Samudera. Dapatkah dijelaskan?
~ seorang pembaca di Alexandria

Kita mendapati gelar-gelar tersebut dalam Litani Santa Perawan Maria


(terutama versi Loreto), yang disusun sekitar pertengahan abad ke-16.
St. Petrus Kanisius mempopulerkan Litani Santa Perawan pada tahun
1558 saat ia mempublikasikannya guna menggairahkan devosi kepada
Bunda Maria sebagai tanggapan atas “Reformasi” Protestan yang
menyerang devosi-devosi sejenis. Litani ini merupakan seruan gelar
pujian kepada Santa Perawan yang digunakan dalam perayaan-perayaan
di Gereja Loreto, Italia sejak abad ketigabelas.

Sebagian besar gelar yang ditanyakan di atas berhubungan dengan


nubuat dan perlambang dalam Perjanjian Lama yang menubuatkan
peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan. Beberapa di antaranya
berfokus pada kesucian dan peran keibuannya. Sebagai contoh,
“Benteng Daud” berdiri menyolok dan kokoh di puncak tertinggi
pegunungan yang mengelilingi Yerusalem. Benteng yang demikian
merupakan sarana pertahanan kota. Dengan benteng itu, peringatan
akan dapat segera disampaikan apabila musuh datang menyerang.
Maria diperbandingkan dengan Benteng Daud karena kesuciannya,
karena ia dikenal sebagai yang penuh rahmat dan karena ia dikandung
tanpa dosa. Dengan doa-doa dan teladannya, Maria merupakan bagian
dari “sarana pertahanan” Tuhan dengan mana Kerajaan Allah akan
berdiri tegak tak terkalahkan dan dosa akan senantiasa dikalahkan (bdk
Kid 4:4).

Maria disebut “Benteng Gading”. Gelar ini juga digunakan dalam Kidung
Agung (Kid 7:4) yang menggambarkan pengantin terkasih. (Ungkapan
serupa, “Istana Gading” digunakan dalam Mazmur 45:9, untuk alasan
yang sama). Kedua ilustrasi tersebut menubuatkan hubungan
perkawinan antara Kristus dan pengantin-Nya, Gereja, seperti
disampaikan dalan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus. Di sini
patut kita ingat, seperti diajarkan dalam Vatikan II, bahwa Maria adalah
“serupa Gereja”: Ia mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melalui dia,
Juruselamat kita masuk ke dalam dunia ini. Gereja, “oleh menerima
Sabda Allah dengan setia pula - menjadi ibu juga. Dan sambil
mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus
secara perawan mempertahankan imannya, keteguhan harapannya, dan
ketulusan cinta kasihnya” (Lumen Gentium no. 64).

Peran keibuan Maria terutama tampak jelas dalam istilah “Tabut


Perjanjian”. Perlu diingat bahwa dalam Perjanjian Lama, Tabut
Perjanjian adalah rumah bagi Sepuluh Perintah Allah, Hukum Tuhan.
Sementara bangsa Israel dalam pengembaraan menuju tanah terjanji,
suatu tiang awan, yang melambangkan kehadiran Allah, akan turun atas
atau “menaungi” kemah di mana Tabut disimpan. Yesus datang untuk
menggenapi perjanjian dan hukum. Dalam kisah Kabar Sukacita,
perkataan Malaikat Agung Gabriel kepada Maria, “Roh Kudus akan turun
atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau,” (Luk
1:35) menyatakan gagasan yang sama. Karena itu, Maria yang memberi
“rumah” Yesus dalam rahimnya; adalah “Tabut” baru, dan bunda dari
pelaksana perjanjian yang sempurna dan kekal.

Atas dasar ini bermunculan gelar-gelar yang lain: Yeremia menubuatkan


bahwa Mesias akan disebut, “TUHAN - keadilan kita.” (Yer 23:6); Maria
adalah “Cermin keadilan” karena tak seorang pun dapat mencerminkan
kasih dan penghormatan kepada Kristus dalam hidupnya lebih baik dari
Maria. Karena kemurniannya, kelimpahan kasihnya dan karena ia
menjadi “rumah” bagi Yesus, Maria disebut “Rumah Kencana”. Yesus
adalah Kebijaksanaan Tuhan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan
diam di antara kita” (Yoh 1:14); karenanya, Maria, yang mengandung
Kristus, digelari “Takhta Kebijaksanaan”.

Bagi kita, Bunda Maria juga melambangkan pengharapan yang besar.


Vatikan II menyatakan, “Sementara itu Bunda Yesus telah dimuliakan di
surga dengan badan dan jiwanya, dan menjadi citra serta awal Gereja
yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang. Begitu
pula di dunia ini ia menyinari Umat Allah yang sedang mengembara
sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari
Tuhan.” (Lumen Gentium no. 68). Karena alasan ini Bunda Maria digelari
“Bintang Timur”, karena ia melambangkan orang-orang Kristen yang
menang, yaitu mereka yang bertekun dalam iman dan beroleh bagian
dalam kuasa Mesianis Kristus dan menang atas kuasa kegelapan yaitu
dosa dan maut. Istilah ini dapat ditemukan dalam Kitab Wahyu (Why
2:26-28): “Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaan-Ku
sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas
bangsa-bangsa; dan ia akan memerintah mereka dengan tongkat besi;
mereka akan diremukkan seperti tembikar tukang periuk - sama seperti
yang Kuterima dari Bapa-Ku - dan kepadanya akan Kukaruniakan
bintang timur.” Juga dalam Kidung Agung (Kid 6:10) kita temukan,
“Siapakah dia yang muncul laksana fajar merekah, indah bagaikan
bulan purnama, bercahaya bagaikan surya…”; sama seperti
cemerlangnya terang menghalau kegelapan fajar, Maria memaklumkan
kedatangan Putranya, yang adalah Terang Dunia (bdk Yoh 1:5-10, 3:19).

Maria juga adalah “Pintu Surga”. Maria adalah sarana yang


dipergunakan Kristus untuk datang dari surga demi membebaskan kita
dari dosa. Di akhir hidupnya, kita percaya bahwa Bunda Maria diangkat
jiwa dan badannya ke surga, suatu kepenuhan janji akan kehidupan
kekal dan kebangkitan badan yang dijanjikan Yesus. Sebab itu, Maria
adalah pintu melalui mana Yesus masuk ke dalam dunia ini dan pintu
kepada kepenuhan janji di mana kita akan beroleh bagian dalam
kehidupan kekal.

Karena itu, kita memandang Maria sebagai “Bintang Samudera”.


Bagaikan bintang samudera membimbing para nahkoda mengarungi
lautan berbadai menuju pelabuhan yang aman, demikian juga Maria,
melalui segala doa dan teladannya, membimbing kita sepanjang
perjalanan hidup kita, kadang melalui samudera yang bergolak, menuju
pelabuhan surgawi.

Secara keseluruhan, Maria adalah “Mawar yang Gaib”. Mawar dianggap


sebagai bunga yang terindah, bunga kerajaan yang harumnya
melampaui segala bunga lainnya. Bunda Maria memiliki kekudusan yang
manis dan keutamaan yang cantik. Singkatnya, segala gelar ini
mengingatkan kita akan pentingnya peran Bunda Maria dalam
spiritualitas Katolik, sebagai teladan keutamaan dan kekudusan dalam
peran keibuannya, dan sebagai tanda akan kehidupan yang akan
datang.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: The Litany of the Blessed Virgin Mary” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria:

Melahirkan Kristus Tanpa


Sakit Bersalin?
oleh: P. William P. Saunders *

Kita, orang Katolik, percaya dan yakin bahwa Bunda Maria “tetap
perawan selamanya.” Ketekismus Gereja Katolik menegaskan,
“Pengertian imannya yang lebih dalam tentang keibuan Maria yang
perawan, menghantar Gereja kepada pengakuan bahwa Maria dengan
sesungguhnya tetap perawan, juga pada waktu kelahiran Putera Allah
yang menjadi manusia” (No. 499). Ajaran ini, keperawanan Maria yang
abadi menurut tradisi telah dibela dan dipelajari dalam tiga bagian:
Maria mengandung Kristus (virginitas ante partum); Maria melahirkan
Kristus (virginitas in partu); dan Maria tetap perawan setelah kelahiran
Kristus (virginitas post partum). Rumusan ini dipergunakan oleh banyak
bapa Gereja - St. Agustinus, St. Petrus Chrysologus, Paus St. Leo
Agung, St. Gregorius Nazianze dan St. Gregorius Nyssa. Sebagai
contoh, Katekismus mengutip penjelasan St. Agustinus: Bunda Maria
“tetap perawan, ketika ia mengandung Puteranya, perawan ketika ia
melahirkan-Nya, perawan ketika ia menyusui-Nya. Selalu perawan.” (No.
510).

Keperawanan Maria sebelum mengandung Yesus Kristus sudah cukup


jelas dari kesaksian Injil St. Matius maupun St. Lukas di mana Maria
secara jelas disebutkan sebagai “seorang perawan” (bdk. Luk 1:26-27,
Mat 1:18). Di samping itu, ketika Malaikat Agung St. Gabriel
memaklumkan kepada Maria bahwa ia akan menjadi Bunda Mesias, ia
menjawab, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum
bersuami?” menunjukkan keperawanannya.

Bagian terakhir adalah keperawanan Maria sesudah kelahiran Kristus.


Dalam artikel sebelumnya mengenai apakah Yesus mempunyai saudara
dan saudari kandung, “Apakah Yesus Mempunyai Saudara?” jawab atas
pertanyaan ini telah diuraikan secara terperinci. Singkat kata, kita umat
Katolik yakin bahwa Bunda Maria dan Santo Yosef tidak mempunyai
anak-anak lain sesudah kelahiran Kristus. Tak ada bukti-bukti, baik
menurut Kitab Suci maupun menurut Tradisi, yang menunjukkan
sebaliknya.
Bagian yang paling rumit adalah bagian yang di tengah - keperawanan
Maria dalam melahirkan Kristus. Kita ingat bahwa salah satu bentuk
penderitaan yang diwariskan kepada kita akibat dosa asal adalah “sakit
bersalin.” Tuhan Allah bersabda kepada Hawa, “Susah payahmu waktu
mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau
akan melahirkan anakmu” (Kej 3:16). Karena Bunda Maria bebas dari
dosa asal sebab ia dikandung tanpa noda dosa, sebagai
konsekuensinya adalah ia bebas dari “sakit bersalin”. Dalam bergumul
mengenai keyakinan ini, para bapa Gereja berjuang untuk menjelaskan
makna virginitas in partu. Sebagian besar bapa-bapa Gereja Barat
tampaknya menekankan integritas fisik Maria. Sebagai contoh, Paus St.
Leo Agung mengatakan, “… Ia (Bunda Maria) melahirkan-Nya tanpa
kehilangan keperawanannya, …. (Yesus Kristus) dilahirkan dari rahim
Santa Perawan karena kelahiran-Nya adalah kelahiran yang ajaib…”
Mereka memperbandingkan kelahiran Kristus dengan munculnya Dia
secara ajaib dari makam yang tertutup ataupun sekonyong-konyong
menampakkan diri di ruang atas meskipun pintu-pintu terkunci.
Beberapa bapa Gereja mengggunakan analogi kelahiran Kristus dengan
seberkas cahaya matahari yang bersinar menembus kaca: sama seperti
kaca tetap “tak berubah; karena berkas cahaya, demikian juga Bunda
Maria karena kelahiran Kristus. (Bahkan Paus Pius XII dalam ensikliknya
“Mystici Corporis” (1943) menegaskan, “Dialah [Bunda Maria] yang
secara ajaib melahirkan Kristus Tuhan kita….”)

Sebaliknya, para Bapa Gereja Timur menekankan sukacita Maria dan


bebasnya Maria dari sakit bersalin dalam melahirkan Yesus, Putra Allah.
Mereka memandang Bunda Maria sebagai Hawa Baru, yang bebas dari
siksa dosa asal. Di samping itu, mereka tidak hendak kehilangan
gagasan akan Bunda Maria sebagai seorang ibu dalam arti sepenuh-
penuhnya. Ingat, Injil St Lukas hanya menyebutkan, “ia melahirkan …”
(Luk 2:7), yang tidak mengandaikan adanya suatu proses kelahiran yang
ajaib.

Secara resmi, Gereja menjunjung tinggi keperawanan Maria yang abadi.


Paus Siricius pada tahun 390 menulis: “Inilah perawan yang
mengandung dalam rahimnya dan sebagai seorang perawan melahirkan
seorang putera.” Konsili Kalsedon (451) mensahkan ajaran Paus Leo I
bahwa Maria Tetap Perawan Selamanya. Konsili Lateran (649) (tidak
termasuk dalam konsili umum) menyatakan: “Barangsiapa tidak,
menurut para bapa suci, mengakui dengan sesungguhnya dan
sepantasnya bahwa Maria Tersuci, yang tetap perawan selamanya dan
yang dikandung tanpa noda dosa, adalah Bunda Allah, karena dalam
hari-hari terakhir ini ia mengandung dalam realitas sebenarnya tanpa
benih manusia, dari Roh Kudus, Allah Sabda Sendiri, yang dilahirkan
dari Bapa sebelum segala waktu, dan melahirkan-Nya tanpa sakit,
keperawanannya tetap utuh murni sesudah kelahiran Putranya, biarlah
ia dikutuk.” Pada tahun 1555, Paus Paulus IV menegaskan keperawanan
Maria sebelum, selama dan sesudah kelahiran Kristus. Namun demikian,
Gereja tidak mendefinisikan secara khusus bagaimana Bunda Maria
tetap virginitas in partu.
Sekitar tahun 1950-an, suatu kontroversi besar muncul di antara para
teolog mengenai tafsiran atas virginitas in partu. Kontroversi yang
dilakukan Albert Mitterer begitu menekankan kualitas fisik keperawanan
sehingga orang gagal melihat keunggulan peran Maria sebagai bunda
dan dalam melahirkan Yesus. Bebas dari “sakit bersalin” tidak menuntut
bebas dari tindakan melahirkan. Dr. Ludwig Ott menyatakan,
“Tampaknya hampir tak masuk akal membuktikan bahwa martabat Putra
Allah ataupun martabat Bunda Allah menuntut adanya suatu kelahiran
yang ajaib.”

Pastor Karl Rahner, tanpa mempelajari segala detail anatomi,


memfokuskan diri pada realita rohani akan keperawanan Maria: Maria
mengandung Putra Allah. Persalinannya pada intinya pastilah berbeda
dari para wanita lainnya sebab ia bebas dari akibat dosa asal. Oleh
sebab itu, keperawanannya, persalinannya, dan keibuannya, seluruhnya
ada dalam persatuan dengan kehendak Allah.

Akhirnya, pada tanggal 27 Juli 1960, Biro Suci (sekarang Kongregasi


untuk Ajaran Iman) mengeluarkan peringatan, “Beberapa studi teologis
telah dipublikasikan di mana masalah keperawanan Maria virginitas in
partu yang sensitif dibahas dengan istilah-istilah yang tak pantas, dan
yang lebih buruk, dengan cara yang secara jelas bertentangan dengan
tradisi doktrin Gereja dan perasaan devosi umat beriman.” Sejujurnya,
pembahasan virginitas in partu yang berfokus pada segala detil anatomi
tubuh tidak hanya gagal melihat keindahan teologi inkarnasi, melainkan
juga memalukan.

Pada intinya, kita perlu menegaskan dan menghormati baik


keperawanan maupun keibuan Bunda Maria. Konstitusi Dogmatis
tentang Gereja Konsili Vatikan II menegaskan bahwa kelahiran Kristus
“tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru
menyucikannya” (No. 57). Sebab itu, “dalam misteri Gereja, yang tepat
juga disebut Bunda dan Perawan, Santa Perawan Maria mempunyai
tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan
perawan maupun ibu” (No. 63).

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: The Painless Birth of Christ” by Fr. William P.


Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic
Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”
Tertidurnya Maria
oleh: P. William P. Saunders *

Saya menyetel Channel 118 untuk mengikuti program Rosario. Ketika


imam sampai pada misteri keempat, “Maria Diangkat ke Surga,” mereka
memperlihatkan pemandangan sebuah gereja di Israel yang diberi nama
“Tertidurnya Maria.” Di sana terdapat sebuah patung Bunda Maria yang
tertidur dan sebuah makam kosong. Saya belum pernah mendengar
tentang tertidurnya Maria. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca ACH

Istilah “Tertidurnya Maria” (bahasa Latin “dormire” artinya tidur) dapat


menyesatkan sebab seolah lebih terfokus pada wafat dan pemakaman
Bunda Maria. Keyakinan seputar tertidurnya Maria pada hakekatnya
berhubungan dengan diangkatnya Santa Perawan Maria, badan dan
jiwa, ke surga. Dengan jawaban pendahuluan seperti di atas, kita perlu
meninjau kembali Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga dan
bagaimana dogma ini berhubungan dengan “Tertidurnya Maria”.

Memang, peristiwa Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga tidak dicatat


dalam Kitab Suci. Sebab itu, banyak kaum fundamentalis yang
menafsirkan Kitab Suci secara harafiah akan mengalami kesulitan dalam
memahami keyakinan ini. Namun demikian, pertama-tama kita patut
berdiam diri dan merenungkan peran Bunda Maria dalam misteri
keselamatan, sebab inilah yang menjadi dasar dari keyakinan Santa
Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Kita percaya teguh bahwa sejak dari awal mula perkandungannya,
karena kasih karunia istimewa dari Allah Yang Mahakuasa, Maria bebas
dari segala noda dosa, termasuk dosa asal. Malaikat Agung St Gabriel
mengenali Maria sebagai “penuh rahmat,” “terpuji di antara
perempuan,” dan “bersatu dengan Tuhan.” Maria telah dipilih untuk
menjadi Bunda Juruselamat kita. Dari kuasa Roh Kudus, ia mengandung
Tuhan kita, Yesus Kristus, dan melalui dia, sungguh Allah menjadi juga
sungguh manusia, “Sabda itu telah menjadi manusia, dan diam di
antara kita” (Yoh 1:14).

Sepanjang masa hidupnya, walau catatan dalam Injil amat terbatas,


Maria senantiasa menghadirkan Tuhan kita kepada yang lain: kepada
Elisabet dan puteranya, Yohanes Pembaptis, yang melonjak kegirangan
dalam rahim ibundanya atas kehadiran Tuhan yang masih berada dalam
rahim BundaNya; kepada para gembala yang sederhana dan juga
kepada para majus yang bijaksana; pula kepada warga Kana ketika
Tuhan kita meluluskan kehendak BundaNya dan melakukan mukjizat-
Nya yang pertama. Terlebih lagi, Maria berdiri di kaki salib bersama
Putranya, memberi-Nya dukungan dan berbagi penderitaan dengan-Nya
lewat kasihnya seperti yang hanya dapat diberikan oleh seorang ibunda.
Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada hari Pentakosta ketika
Roh Kudus turun dan Gereja dilahirkan. Sebab itu, masing-masing dari
kita dapat melihat serta merenungkan Maria sebagai hamba Allah yang
setia, yang ikut ambil bagian secara intim dalam kelahiran, kehidupan,
wafat dan kebangkitan Tuhan kita.

Karena alasan-alasan ini, kita percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan
kepada setiap kita akan keikutsertaan dalam hidup yang kekal, termasuk
kebangkitan badan, digenapi dalam diri Maria. Sebab Maria bebas diri
dosa asal dan segala konsekuensinya (salah satunya adalah kerusakan
badan setelah kematian), sebab ia ikut ambil bagian secara intim dalam
hidup Tuhan dan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dan
sebab ia ada saat Pentakosta, maka model dari pengikut Kristus ini
sungguh pantas ikut ambil bagian dalam kebangkitan badan dan
kemuliaan Tuhan di akhir hidupnya.

Berdasarkan pemahaman ini, Paus Pius XII dengan khidmad


memaklumkan dalam Munificentissimus Deus tanggal 1 November 1950,
bahwa “Bunda Allah yang Tak Bernoda Dosa, Maria yang tetap perawan
selamanya, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia,
diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya.”
Patut dicatat bahwa definisi khidmad tersebut tidak menjelaskan apakah
Maria wafat secara fisik sebelum diangkat ke surga atau langsung
diangkat ke surga; hanya dikatakan, “Maria, sesudah menyelesaikan
perjalanan hidupnya di dunia ….”

Jadi apakah Bunda Maria wafat terlebih dahulu sebelum diangkat ke


surga? Apakah ia “tertidur”? Apakah ia dimakamkan? Gereja tidak
mengikat kita pada suatu jawab tertentu sebab tradisi mengenainya
kurang jelas. Dalam suatu kumpulan kisah apokrif berjudul Transitus
Mariae (Perjalanan Maria), yang dianggap sebagai tulisan Uskup St.
Melito dari Sardis (wafat ±thn 200), Bunda Maria wafat dihadapan para
rasul di Yerusalem, dan kemudian menurut kisah tersebut, tubuhnya
menghilang begitu saja, atau dimakamkan dan kemudian menghilang.

St Yohanes Damaskus (wafat 749) juga menuliskan suatu kisah yang


menarik sehubungan dengan SP Maria Diangkat ke Surga, “St Juvenal,
Uskup Yerusalem, dalam Konsili Kalsedon (451), memberitahukan
kepada Kaisar Marcian dan Pulcheria, yang ingin memiliki tubuh Bunda
Allah, bahwa Maria wafat di hadapan segenap para rasul, tetapi bahwa
makamnya, ketika dibuka atas permintaan St Thomas, didapati kosong;
dari situlah para rasul berkesimpulan bahwa tubuhnya telah diangkat ke
surga.”

Namun demikian, kisah-kisah ini janganlah lebih diutamakan dari dasar


teologis mengenai keyakinan kita akan Santa Perawan Maria Diangkat
ke Surga. Sebaliknya, patutlah kita ingat bahwa para Bapa Gereja
membela dogma SP Maria Diangkat ke Surga dengan dua alasan: Sebab
Maria bebas dari noda dosa dan tetap perawan selamanya, ia tidak
mengalami kerusakan badan, yang adalah akibat dari dosa asal, setelah
wafatnya. Juga, jika Maria mengandung Kristus dan memainkan peran
yang akrab mesra sebagai BundaNya dalam penebusan manusia, maka
pastilah juga ia ikut ambil bagian badan dan jiwa dalam kebangkitan dan
kemuliaan-Nya.

Namun demikian, kisah-kisah saleh mempopulerkan istilah “tertidur,”


merenungkan bahwa Maria di akhir hidupnya “tertidur” dan kemudian
diangkat ke dalam kemuliaan surga. Kaisar Byzantine Mauritius (582-
602) menetapkan perayaan Tertidurnya Santa Perawan Maria pada
tanggal 15 Agustus bagi Gereja Timur demi memperingati wafat dan
diangkatnya Santa Perawan Maria ke surga. (Sebagian ahli sejarah
menyatakan bahwa perayaan ini telah tersebar luas sebelum Konsili
Efesus pada tahun 431.) Pada akhir abad keenam, Gereja Barat juga
merayakannya dengan nama SP Maria Diangkat ke Surga.

Entah kita mempergunakan istilah “tertidur” atau “diangkat ke surga,”


keyakinan dasarnya tetap sama. Katekismus, dengan mengutip Liturgi
Byzantine, memaklumkan, “Terangkatnya Perawan tersuci adalah satu
keikutsertaan yang istimewa pada kebangkitan Putranya dan satu
antisipasi dari kebangkitan warga-warga Kristen yang lain. `Pada waktu
persalinan engkau tetap mempertahankan keperawananmu, pada waktu
meninggal, engkau tidak meninggalkan dunia ini, ya Bunda Allah.
Engkau telah kembali ke sumber kehidupan, engkau yang telah
menerima Allah yang hidup dan yang akan membebaskan jiwa-jiwa kami
dari kematian dengan doa-doamu'” (No 966).

Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga memberikan kepada


masing-masing kita pengharapan besar sementara kita merenungkan
satu sisi ini dari Bunda Maria. Maria menggerakkan kita dengan teladan
dan doa agar bertumbuh dalam rahmat Tuhan, agar berserah pada
kehendak-Nya, agar mengubah hidup kita melalui kurban dan penitensi,
dan mencari persatuan abadi dalam kerajaan surga. Pada tahun 1973,
Konferensi Waligereja Katolik dalam surat “Lihatlah Bundamu”
memaklumkan, “Kristus telah bangkit dari mati; kita tidak membutuhkan
kepastian lebih lanjut akan iman kita ini. Maria diangkat ke surga lebih
merupakan suatu pengingat bagi Gereja bahwa Tuhan kita menghendaki
agar mereka semua yang telah diberikan Bapa kepada-Nya dibangkitkan
bersama-Nya. Dalam Maria diangkat ke dalam kemuliaan, ke dalam
persatuan dengan Kristus, Gereja melihat dirinya menjawab undangan
dari Mempelai surgawi.”

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: The Dormition of Mary” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Penampakan: Haruskah
Percaya?
oleh: P. William P. Saunders *

Lourdes (1858) La Salette (1846)

Baru-baru ini saya berziarah ke Lourdes. Kepada seorang teman, saya


menceritakan kisah penampakan Santa Perawan Maria kepada St
Bernadette, tetapi ia mengatakan, “Kau tidak sungguh-sungguh percaya
akan semua cerita itu kan?” Tentu saja saya percaya, tetapi apakah
orang Katolik harus percaya akan penampakan Bunda Maria di
Lourdes?
~ seorang pembaca di Arlington

Gereja Katolik membedakan antara wahyu umum dan wahyu pribadi.


Wahyu umum didefinisikan sebagai berikut: Tuhan, dalam kebajikan dan
kebijaksanaan-Nya yang tak terhingga, memilih untuk menyatakan
DiriNya kepada umat manusia. Sesuai dengan rencana keselamatan
Allah, Yesus Kristus - sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia,
Sabda Allah yang berinkarnasi - dalam persatuan dengan Roh Kudus,
secara sempurna dan sepenuhnya menyatakan Bapa kepada kita. St
Paulus dalam surat kepada orang Ibrani (1:1-3) mengajarkan dengan
tepat definisi ini, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan
dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan
perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara
kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan
sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah
menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan
gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya
yang penuh kekuasaan.”

Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi dari Konsili Vatikan II (No. 4)


secara khusus memaklumkan, “Setelah berulang kali dan dengan
berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, `akhirnya
pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera' (Ibr 1:1-2).
Sebab Ia mengutus PuteraNya, yakni sabda kekal, yang menyinari
semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan
kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18). Maka Yesus
Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai `manusia kepada
manusia', `menyampaikan sabda Allah' (Yoh 3:34), dan menyelesaikan
karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh
5:36; 17:4). Oleh karena itu Dia - barang siapa melihat Dia, melihat Bapa
juga (1ih. Yoh 14:9) - dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya,
dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-
mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya
penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran,
menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan
kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita
dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi
hidup kekal. Adapun tata keselamatan Kristiani, sebagai perjanjian baru
dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh
dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus
Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih.1Tim 6:14 dan Tit
2:13).”

Wahyu yang telah Tuhan berikan kepada semua orang sepanjang segala
abad ini dipelihara dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Kitab Suci adalah
Sabda Tuhan yang dicatat dalam tulisan oleh penulis manusia dengan
inspirasi dari Roh Kudus; tak akan ada kitab atau ayat yang akan
ditambahkan ataupun dikurangkan dari Kitab Suci. Tradisi Suci adalah
warisan Sabda Allah, yang dipercayakan Yesus kepada para rasul; para
rasul dan penerus mereka, dengan dibimbing dan diterangi Roh Kudus,
yang disebut Kristus sebagai Roh Kebenaran, telah memelihara,
menjelaskan dan mewartakannya dengan setia. Salah satu contoh
Tradisi Suci adalah Kredo Nicea. Keduanya, Kitab Suci dan Tradisi Suci,
membentuk satu warisan wahyu ilahi, “sebab keduanya mengalir dari
sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi
satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (Konstitusi Dogmatis
tentang Wahyu Ilahi, No. 9).

Dalam definisi-definisi di atas, suatu poin penting digarisbawahi,


“Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum
digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen,
supaya dalam peredaran zaman lama-kelamaan dapat mengerti seluruh
artinya (Katekismus Gereja Katolik, No. 66; bdk juga No. 74-83). Di
sinilah terletak peran Magisterium sebagai pelindung, penafsir dan guru
yang otentik dari wahyu ilahi, dengan dibimbing dan dihindarkan dari
salah oleh Roh Kudus. Segenap umat beriman Katolik wajib menerima
kebenaran-kebenaran yang dinyatakan ini dengan iman ilahi.
Menyangkalnya berarti sesat; misalnya menyangkal misteri inkarna si
Tuhan kita, kehadiran nyata Tuhan kita dalam Ekaristi Kudus, ataupun
adanya neraka.

Dengan dasar pemahaman yang kokoh tentang wahyu umum ini,


sekarang kita bertolak ke wahyu pribadi dan pertanyaan di atas. Selama
berabad-abad, pribadi-pribadi tertentu dianugerahi wahyu pribadi oleh
Tuhan, yaitu pesan yang hanya disampaikan kepada mereka. Sebagai
contoh, para kudus berikut menerima pesan-pesan khusus dari Tuhan
kita: St. Hildegarde (wafat 1179), St. Gertrude (wafat 1301), St. Birgitta
dari Swedia (wafat 1373), St. Katarina dari Siena (wafat 1380), St.
Vincentius Ferrer (wafat 1419), St. Theresia dari Avila (wafat 1582), St.
Yohanes dari Salib (wafat 1591), dan St. Margareta Maria Alacoque
(wafat 1690). Berbagai penampakan Santa Perawan Maria juga
merupakan wahyu pribadi, di mana Bunda Maria berbicara atas nama
Putranya; beberapa dari antaranya yang paling terkenal adalah di
Guadalupe (1531), Rue du Bac (1830), La Salette (1846), Lourdes (1858),
Pontmain (1871), dan Fatima (1917).

Walau Gereja mengakui wahyu-wahyu pribadi ini dan membenarkan isi


pesan-pesan yang disampaikan, namun wahyu-wahyu pribadi ini tidak
menambah ataupun melengkapi warisan iman. Berdasarkan keadaan
Gereja pada saat wahyu pribadi disampaikan, pesan-pesan tersebut
hanya mengilhami orang untuk hidup lebih taat dan setia, serta
mendorong orang untuk semakin mendekatkan diri pada Kristus.

Sebagai contoh, pada tahun 1983, dalam ziarahnya ke Fatima, Paus


Yohanes Paulus II menyatakan, “Gereja telah senantiasa mengajarkan
dan akan terus memaklumkan bahwa wahyu ilahi mencapai
kepenuhannya dalam Yesus Kristus, yang adalah kepenuhan dari wahyu
itu dan bahwa `sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum
yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam
kemuliaan-Nya' (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, No. 4). Gereja
mengevaluasi dan menilai wahyu-wahyu pribadi menurut kriteria
keselarasannya dengan Wahyu yang satu itu. Jika Gereja menerima
pesan-pesan Fatima, di atas segalanya adalah karena pesan-pesan yang
disampaikan mengandung suatu kebenaran dan suatu panggilan yang
intinya adalah kebenaran dan panggilan dari Injil itu sendiri.” Pada
pokoknya, Bapa Suci menekankan bahwa wahyu pribadi di Fatima tidak
menambah, tidak bertentangan, ataupun mengurangi warisan wahyu
yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci; walau demikian,
sungguh wahyu pribadi ini menggerakkan umat beriman untuk
memberikan perhatian dan mengamalkan pesan warisan wahyu itu.

Sebagai contoh, penampakan Tuhan kita kepada St. Margareta Maria


Alacoque di mana Yesus menunjukkan HatiNya yang Mahakudus dan
menyampaikan Duabelas Janji kepadanya. Walau penampakan ini
diselidiki dengan seksama dan dinilai dapat dipercaya, namun kita patut
ingat bahwa devosi kepada Hati Yesus Yang Mahakudus berakar dari
Kitab Suci sendiri, disajikan dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja, dan
diajarkan banyak orang baik sebelum maupun sesudah St. Margareta
Maria. Hal ini dengan terang dan jelas ditekankan dalam ensiklik Paus
Pius XII “Haurietis aquas” (1956) yang sangat indah mengenai devosi
yang pantas kepada Hati Yesus yang Mahakudus. Seorang beriman
Katolik wajib memiliki penghormatan yang saleh kepada Hati Yesus
yang Mahakudus, entah apakah ia secara pribadi menerima, meragukan
ataupun menolak wahyu-wahyu pribadi yang disampaikan Tuhan kepada
St. Margareta Maria.

Beberapa hal penting patut diperhatikan menyangkut wahyu-wahyu


pribadi. Pertama, wahyu-wahyu pribadi tidak menambah ataupun
melengkapi warisan wahyu ilahi dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Wahyu pribadi tidak pernah boleh disejajarkan dengan Kitab Suci dan
Tradisi Suci. Gereja senantiasa memperingatkan umat beriman terhadap
antusiasme rohani yang meluap atas wahyu pribadi yang demikian
hingga melalaikan Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Kedua, Magisterium harus dengan cermat dan seksama memeriksa


semua wahyu-wahyu pribadi. Karena wahyu pribadi ini dianugerahkan
kepada pribadi-pribadi tertentu, maka ada kemungkinan terjadi
kesalahan manusiawi, ilusi dan distorsi (= penyimpangan) dalam
melaporkan atau mengingat. Sejujurnya, perlu dipertimbangkan juga
kemungkinan tindakan setan, sebab setan bahkan mempergunakan apa-
apa yang tampaknya baik untuk menarik orang dari Tuhan.

Ketiga, pengakuan yang diberikan Gereja terhadap suatu wahyu pribadi


berarti bahwa wahyu pribadi tersebut tidak bertentangan dengan
warisan wahyu dalam hal iman ataupun moral, bahwa isinya dapat
disebarluaskan, dan bahwa umat beriman dapat mempercayainya
dengan hati-hati dan bijaksana. Jika Gereja belum secara resmi
mengakui suatu wahyu pribadi, berhati-hatilah. Jika Gereja telah
memaklumkan bahwa suatu wahyu pribadi tidak benar dan bertentangan
dengan iman, baiklah kita menjauhkan diri darinya.

Keempat, bahkan jika Gereja telah memberikan pengakuan resmi


terhadap suatu wahyu pribadi, umat beriman tidak wajib mempercayai
wahyu pribadi tersebut. Seorang beriman Katolik dipanggil untuk
meyakini iman sesuai warisan iman dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Dalam budaya spiritualitas “peradaban baru” di mana kita hidup, umat


beriman Katolik patut memfokuskan diri pada bacaan-bacaan: pertama
dan terutama, Kitab Suci dan Katekismus Gereja Katolik; dan kedua,
tulisan-tulisan para kudus yang telah diakui. Apabila timbul suatu
kegemparan akibat berita adanya penampakan-penampakan atau
fenomena rohani lainnya, patut kita ingat hal ini, “Konsumen
waspadalah!”

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and dean of
the Notre Dame Graduate School of Christendom College.

sumber : “Straight Answers: Apparitions and Dogmas” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Artikel khusus.
Mengapa Kita Menghormati
Bunda Maria?
Sepanjang bulan Mei, Gereja meminta
kita untuk memberi perhatian secara
lebih istimewa kepada Santa Perawan
Maria, Bunda Allah. Bunda Maria
sangat berarti bagi kita karena
beberapa alasan:

MARIA, GADIS YAHUDI


Pertama-tama karena Bunda Maria adalah Bunda Yesus. Maria adalah
seorang gadis belia, mungkin usianya masih belasan tahun, ketika ia
menjadi Bunda Yesus.

Kemungkinan besar Maria dilahirkan di kota Sepphoris, yang terletak di


sebelah utara Palestina. Sepphoris adalah sebuah kota besar di mana
bangsa Yahudi dan bangsa Romawi hidup berdampingan dengan damai.
Sepphoris merupakan ibu kota Galilea. Kota itu memiliki banyak rumah
yang indah dan bahkan sebuah gedung teater yang besar. Sepphoris
hancur luluh dilanda gempa bumi besar ketika Maria masih kanak-kanak.
Jadi keluarga Maria pindah beberapa mil jauhnya ke Nazareth, sebuah
dusun kecil yang berpenduduk hanya 150 hingga 300 orang.

“Nazareth” dalam bahasa Ibrani mempunyai dua arti yang berbeda.


Nazareth bisa berarti “lili, bunga bakung” yang merupakan simbol
kehidupan, dapat juga berarti “keturunan”. Keluarganya berasal dari
keturunan Raja Daud. Baik itu artinya bunga bakung ataupun keturunan,
Nazareth adalah nama yang indah bagi tempat tinggal Maria. Di sanalah
Maria bertemu dengan Yusuf, seorang tukang kayu. Kemungkinan Yusuf
tidak jauh lebih tua dari Maria. Mereka pun bertunangan. Biasanya, masa
pertungangan berlangsung selama satu tahun atau lebih. Si gadis akan
menenun dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara sang pria
akan membangun rumah tempat tinggal mereka. Kisah selanjutnya kita
baca setiap tahun pada hari Natal.

MARIA, BUNDA ALLAH

Kita tidak boleh lupa bahwa Yesus adalah sungguh Allah. Yesus juga
sungguh Manusia, dan Ia bangga menjadi manusia. Yesus sering menyebut
diri-Nya, “Anak Manusia.” Dalam bahasa Ibrani ungkapan tersebut berarti
“manusia”. Karena Yesus tidak dapat dibagi menjadi dua: Yesus yang Allah
dan Yesus yang Manusia, maka bunda-Nya juga disebut Bunda Allah.

MARIA, BUNDA KITA

Menjelang ajal-Nya di salib, Yesus memberikan Bunda Maria kepada kita


untuk menjadi bunda kita juga. Yesus melakukannya ketika Ia
menyerahkan Bunda Maria ke dalam pemeliharaan St. Yohanes, Rasul.
Yesus berkata, " Inilah ibumu." Artinya Tuhan telah mengangkat kita
sebagai anak-anak-Nya sendiri. Ingatlah, ketika Yesus bangkit dari antara
orang mati, Ia berkata, “Aku akan pergi kepada Allah-Ku dan Allah-mu,
kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu.” Jadi kita mempunyai Bapa dan Bunda yang
sama dengan Yesus. Dengan demikian kita semua menjadi saudara dan
saudari-Nya. Kita semua merupakan suatu keluarga yang mengagumkan!

Tunjukkanlah hormatmu kepada Bunda Maria. Ia membawa kita kepada


Putera-nya, Yesus.

sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard
Lonsdale.”

Mengapa Umat Katolik Berdoa


kepada Santa Perawan Maria

Banyak orang non-Katolik telah diajari sedari kecil untuk meyakini


bahwa salah satu bukti nyata akan ketidakbenaran ajaran Katolik dapat
dilihat dalam penghormatan yang disampaikan kepada Santa Perawan
Maria dalam Gereja Katolik, dan dalam begitu banyaknya doa yang
dengan penuh kepercayaan disampaikan kepada Bunda Maria oleh umat
Katolik. Sementara itu, benar juga bahwa banyak orang non-Katolik,
setelah mempelajari dasar-dasar kebenaran akan devosi umat Katolik
kepada Maria, begitu terpikat olehnya hingga akhirnya mereka menjadi
Katolik. Kebenaran tersebut sangat sederhana dan gamblang dan
seluruhnya terkandung dalam dua kebenaran berikut.

1. MARIA ADALAH BUNDA ALLAH.


Katolik percaya bahwa Allah tidak terikat oleh suatu kewajiban apapun
untuk memiliki seorang ibunda; Katolik percaya bahwa Ia memilih untuk
memiliki seorang ibunda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya. Ia memilih untuk memperkenankan tubuh manusiawi-Nya
dibentuk dalam rahimnya.

Ia memilih untuk memperkenankan ibunda-Nya melahirkan-Nya ke dunia


sebagai seorang bayi kecil mungil. Ia memilih untuk mengijinkan
ibunda-Nya menyusui-Nya, menggendong-Nya dalam pelukannya,
melindungi-Nya dari mara bahaya, dan mengajari-Nya seperti layaknya
seorang anak diajari oleh orangtuanya: berjalan, berbicara dan berdoa.
Dengan demikian, Ia memilih untuk memberikan kepada Maria kuasa
atas Diri-Nya yang hanya dapat dinyatakan dengan cinta. Katolik
percaya bahwa dalam memilih ibunda-Nya, Putra Allah memilih untuk
memberikan kepadanya kuasa atas kehendak-Nya, yang karena kasih
senantiasa dimiliki oleh seorang ibu yang baik bagi anaknya.

2. MARIA ADALAH BUNDA SELURUH UMAT MANUSIA.

Katolik percaya bahwa Putra Allah memilih untuk datang ke dunia


melalui seorang ibunda agar ibunda-Nya itu dapat menerima pula
segenap anak manusia yang berdosa sebagai saudara-saudari-Nya. Ia
memberikan teladan bagaimana bunda-Nya harus dihormati dan
dikasihi. Ia mempersiapkan bunda-Nya sebagai bunda seluruh umat
manusia dengan memintanya untuk menanggung segala bentuk
penderitaan yang mungkin, dan dengan demikian, mengajarkan
kepadanya untuk menaruh belas kasihan pada segala bentuk
penderitaan anak-anaknya. Jika ibunda-Nya itu adalah Bunda bagi Diri-
Nya Sendiri, pastilah Ia membebaskannya dari penderitaan, oleh sebab
Ia mempunyai kuasa untuk melakukannya dan karena Ia mencintai
Bunda-Nya dengan kasih yang tak terbatas. Ia mengadakan mukjizat-
Nya yang pertama di hadapan publik atas permintaan Bunda-Nya, dan
menjelang ajal-Nya, Ia mengingatkan Bunda-Nya bahwa ia telah
dipersiapkan sejak dari semula untuk menjadi bunda bagi seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, Katolik percaya bahwa Maria pastilah dengan
antusias menolong mereka, dalam pencobaan jiwa maupun badan,
seperti layaknya seorang ibu dengan antusias mengusahakan
kesejahteraan bagi anaknya.

Rosario yang didaraskan umat Katolik merupakan ungkapan


kepercayaan mereka terhadap kedua kebenaran di atas. Umat Katolik
yakin bahwa jika Maria berbicara kepada Putra Ilahi-nya bagi mereka, tak
perlu diragukan lagi mereka pasti akan menerima jawab atas doa-doa
mereka.

Imprimi Potest: John N. McCormick, C.SS.R.


Provincial, St. Louis Province
Redemptorist Fathers, May 2, 1960
Imprimatur: + Joseph E. Ritter, Archbishop of St. Louis,
May 5, 1960

sumber : “Why Catholics Pray to the Blessed Virgin Mary”;


www.catholictradition.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Tradition.”

MARIA:
Persoalan yang tak pernah
selesai?

Kita kenal ungkapan ini: "Bicara tentang Maria, tak akan ada habisnya!"
Pada tgl 13 April 2001, ketika orang Katolik berbondong-bondong ke
gereja untuk upacara cium salib, sebagian orang pergi ke satu tempat di
Surabaya ini untuk melihat kebenaran berita "Maria yang menangis air
mata madu". Berita ini tidak terlalu heboh. Mungkin karena orang mulai
bosan dengan sensasi-sensasi seperti ini. Tetapi untuk saya, berita ini
menarik buat direnungkan. Kenapa demikian? Karena belum selesai kita
dikejutkan dengan berita: "Maria menangis air mata darah", tiba-tiba kita
dihadapkan dengan berita "air mata madu". Lalu saya berpikir praktis:
"Bunda Maria ini dari tahun ke tahun koq makin aneh?" Atau yang aneh
itu siapa? Maria-nya atau orang-orangnya yang aneh? Menurut catatan
sejarah gereja, sudah terjadi banyak penampakan Santa Maria. Ada yang
sudah diakui secara resmi oleh gereja, yang lain masih dalam proses
penyelidikan. Gereja selalu mengambil sikap "hati-hati", tidak terlalu
cepat mengakui semua penampakan itu.

Pada bulan Mei dan Oktober, ribuan bahkan jutaan orang Katolik
berziarah dan berdoa menghormati secara khusus Bunda Maria. Gereja
menghimbau agar setiap anggotanya menaruh hormat yang penuh
terhadap Bunda Gereja ini. Ada dua hal ekstrim yang harus dijauhkan
dalam sikap seseorang terhadap devosi kepada Bunda Maria. Yang
pertama adalah godaan untuk melebih-lebihkan peran Ilahi dalam karya
penyelamatan. Dalam argumen ini Allah tidak perlu kerja-sama
manusiawi. Manusia tidak punya peran apa-apa. Sehingga tidak seorang
manusia pun, termasuk Maria, bisa layak dihormati. Karena,
penghormatan seperti itu akan mengurangi kemuliaan yang hanya
ditujukan kepada Allah. Akibat dari ekstrim ini muncul apa yang kita
sebut "Mariophobia". Godaan yang kedua yakni melebih-lebihkan peran
manusiawi dalam karya penyelamatan sampai melalaikan peran Ilahi.
Argumen ini menegaskan bahwa Allah membutuhkan sarana untuk
menghadirkan diri. Dan sarana paling nyata adalah Yesus Putra-Nya
yang lahir dari rahim Maria. Akibat yang muncul dari ekstrim ini, orang
berkeyakinan bahwa sarana saja sudah cukup. Hormati Maria saja
sudah lumayan atau ungkapan lazimnya "Mariocentricisme".

Gereja menganjurkan agar setiap anggota membangun penghormatan


yang benar dan sehat terhadap Bunda Maria. Keibuan Maria dalam
kehidupan gereja sungguh-sungguh memberi inspirasi pelayanan bagi
gereja. Uskup Fulton J. Sheen dalam bukunya: "Treasure in Clay"
menulis: "Saya berkeyakinan bahwa kelemahan agama-agama dewasa
ini yakni pada mereka tidak ada 'aspek keibuan'. Agama-agama sering
terjebak kepada wajah agama yang keras dan fanatik. Mungkin boleh
ditegaskan di bulan Maria ini, bahwa dunia kita, negara kita, gereja kita,
terancam konflik dan menjadi goncang, karena banyak orang kehilangan
aspek tadi. Jangan sampai kehidupan kita diwarnai dengan kekerasan
dan sikap fanatik, justru karena agama-agama kita kehilangan
anggotanya yang berhati ibu.

Berbahagialah kamu yang menerima dan mengakui Maria


sebagai Bunda Gereja.

dikutip dari : “Semoga Saya Melihat”; Kumpulan Suara Gembala Gereja Katolik
Gembala Yang Baik, Surabaya

Bunda Maria dalam Kalender


Liturgi Katolik
oleh: P. Kasmirus Jumat, SMM *
Alonso Calo, The Immaculate Conception, 1650

Penghormatan kepada Bunda Maria pada dasarnya sudah ada sejak


zaman Gereja Perdana. Namun, karena suasana penganiayaan dan
perlawanan yang kuat terhadap penyebaran agama Kristen pada masa
itu tidak memungkinkan umat Gereja Perdana untuk memberikan
penghormatan seperti yang kita adakan dewasa ini. Namun,
bagaimanapun juga, penghor- matan kepada Bunda Maria sudah ada
dalam liturgi, bahkan sejak sebelum Konsili Efesus (tahun 421).

Kita tahu bahwa para penulis besar dari abad pertama seperti St.
Ignatius dari Antiokhia, St. Yustinus Martir, St. Ireneus, dan lain-lain
telah menulis dan mengakui bahwa Maria adalah Perawan dan Bunda
Allah. Setelah Konsili Nicea (325 CE), tulisan-tulisan tentang Bunda
Maria makin berkembang, bukan hanya di Gereja Timur melainkan juga
di Gereja Barat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kontroversi tentang
Kristus sebagai Allah yang secara tidak langsung berhubungan dengan
Maria sebagai Bunda Allah. Perkembangan akan cinta dan devosi
kepada Kristus dan BundaNya memberikan Maria tempat yang istimewa
dalam liturgi dan hal ini semakin nyata setelah Konsili Efesus. Namun
kapan persisnya devosi kepada Maria dimasukkan dalam liturgi Gereja,
tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dalam tulisan ini, kami hanya membatasi pada perayaan-perayaan Maria


dalam Liturgi Gereja Katolik Roma serta asal usul perayaan tersebut.
Berbagai perayaan Maria dirayakan secara universal dan dicantumkan
secara resmi dalam kalender Liturgi Gereja Katolik Roma. Perayaan-
perayaan itu dibeda-bedakan sesuai tingkatnya, ada yang setingkat Hari
Raya (Sollemnitas), Hari Pesta (Festum) dan Peringatan (Memoria). Hari-
hari peringatan pun dibagi lagi dalam kategori peringatan wajib,
fakultatif, dan peringatan khusus.
PERAYAAN-PERAYAAN YANG SETINGKAT HARI RAYA
(SOLLEMNITAS)

Perayaan-perayaan setingkat Hari Raya (Solemnitas) dirayakan seperti


hari Minggu. Dalam Ibadat Harian (Officium Divinum), perayaan pada
tingkat ini dimulai pada sore hari sebelum hari raya yang bersangkutan,
yang dikenal dengan istilah Ibadat Sore Pertama. Dengan demikian,
Perayaan Ekaristi yang diadakan sore hari ini dapat menggantikan misa
pada hari berikutnya.

Dalam Kalender Liturgi Gereja Katolik, terdapat empat perayaan Maria


yang setingkat Hari Raya.

1. Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah

Perayaan ini dirayakan pada tanggal 1 Januari. Pengakuan akan


kebundaallahan Maria merupakan unsur sentral dalam penghormatan
umat Katolik terhadap Bunda Maria. Dasar pengakuan ini terutama Kitab
Suci yang menyebutkan bahwa Yesus dilahirkan dari Santa Perawan
Maria. Kalau kita mengakui Yesus sebagai Allah, maka kita pun
mengakui Maria sebagai Bunda Allah.

Sekitar tahun 430, Nestorius memberikan ajaran bahwa Maria hanyalah


Christotokos dan bukannya Theotokos. Dengan memberi gelar
Christotokos, Nestorius mau mengatakan bahwa Yesus itu hanyalah
Kristus, manusia yang terurapi dan bukan Allah. Dengan demikian,
Maria hanyalah Bunda Kristus dan bukannya Bunda Allah. Ajaran sesat
Nestorius ini terkenal dengan sebutan Nestorianisme. Aliran
Nestorianisme ini ditentang keras oleh Konsili Efesus (431). Konsili
menegaskan bahwa Maria itu Bunda Allah, Theotokos, karena dia
melahirkan Allah.

2. Hari Raya Kabar Sukacita

Dasar biblis perayaan ini adalah kunjungan Malaikat Gabriel kepada


Bunda Maria (Luk 1:26-38). Dalam kunjungan itu Malaikat Allah meminta
kesediaan Maria untuk menjadi ibu bagi Putra Allah yang Mahatinggi.
Peristiwa ini menjadi awal sejarah kekristenan dan atas kesediaan Maria,
maka Allah menjelma menjadi manusia.

Santo Louis-Marie de Montfort (1673-1716) mengatakan bahwa Hari Raya


Kabar Sukacita merupakan cikal bakal kehadiran Gereja. Bertitik tolak
dari ajaran yang mengatakan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus di
mana Yesus berperan sebagai Kepalanya, St. Montfort berpandangan
bahwa seorang ibu tidak mungkin hanya mengandung kepala tanpa
tubuh.
Dengan demikian, penyerahan Gereja kepada Bunda Maria, bukan
dimulai pada peristiwa di kaki salib ketika murid yang dikasihi Yesus
diserahkan kepada Maria dan sebaliknya (Yoh 19:25-27), melainkan pada
saat Maria dipercayakan untuk mengandung Putra Allah (Luk 1:28-38).
Pesta ini dirayakan Gereja Katolik pada tanggal 25 Maret, tepat sembilan
bulan sebelum kelahiran Yesus (Perayaan Natal).

3. Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga

Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 Agustus, berdasarkan dogma yang


dikeluarkan oleh Paus Pius XII tanggal 15 Agustus 1950. Ini merupakan
dogma yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Keyakinan dan
khotbah-khotbah tentang pengangkatan Bunda Maria ke surga sudah
mulai sejak abad ke-6. Namun sebagai dogma, baru dipromulgasikan
pada tanggal 15 Agustus 1950 oleh Paus Pius XII.

Gereja meyakini bahwa Bunda Maria, yang secara istimewa


dipersiapkan Allah menjadi tempat kediaman PutraNya, yang telah
menjalani hidup dengan kesucian yang luar biasa, pada akhir hidupnya
pasti mendapatkan keistimewaan dari Allah. Kalau sekedar mengatakan
bahwa Maria dikandung secara istimewa, menjalani hidup secara
istimewa dan mendapatkan pahala abadi secara istimewa, sebenamya
tidak mengalami kesulitan. Tetapi yang menjadi kontroversi adalah
pernyataan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan
badan. Surga bukanlah locus, jadi bagaimana mungkin ada tempat
untuk badan yang berbentuk materi?

Ajaran yang mengatakan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga dengan


jiwa dan badan merupakan suatu ungkapan dan keyakinan iman.
Manusia kehabisan kata-kata untuk bisa menjelaskan dan
mengungkapkan penghormatan dan penghargaannya atas keistimewaan
Maria itu.

4. Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda

Perayaan ini jatuh pada tanggal 8 Desember karena berdasarkan pada


dogma yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX tanggal 8 Desember 1854.
Dikatakan bahwa Bunda Maria sejak dikandung ibunya, tidak ternoda
oleh dosa asal. Hal ini merupakan berkat rahmat dan keistimewaan yang
secara khusus diberikan Allah karena dia dipersiapkan untuk
menyambut Sabda Allah yang menjelma.

Dalam Bula “Ineffabilis Deus” Paus Pius IX mendefenisikan dogma


Maria Dikandung Tanpa Noda sebagai berikut:

“Santa Perawan Maria, sejak saat pertama ia dikandung, oleh rahmat


dan karunia yang istimewa dari Allah yang Mahakuasa, demi jasa-jasa
Yesus Kristus, penyelamat bangsa manusia, tetap terjaga, luput dari
segala noda dosa asal.”

Gereja percaya bahwa Allah menyiapkan suatu wadah yang pantas,


yang khusus dan tak bercela. Suatu tempat yang layak bagi kediaman
PutraNya. Dan Maria-lah yang dipilih Allah untuk menjadi wadah
tersebut, sehingga sejak dikandung, Maria tidak terjangkit dosa asal.
PERAYAAN-PERAYAAN YANG SETINGKAT HARI RAYA (FESTUM)

1. Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elizabeth

Pesta ini dirayakan untuk mengenang kunjungan Maria kepada


saudaranya Elizabeth di Ain Karim. Ain Karim adalah sebuah kota di
Yehuda (di sebelah barat Yerusalem) yang berjarak kira-kira 10 km dari
Yerusalem dan menurut tradisi merupakan tempat tinggal keluarga
Imam Zakaria. Maria tinggal di sana selama tiga bulan (bdk. Luk 1:39-56).
Pesta ini dirayakan tanggal 31 Mei.

2. Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria

Kita tidak mempunyai informasi biblis dan historis tentang kapan dan di
mana Bunda Maria dilahirkan. Penyebutan nama Yoakim dan Ana
sebagai orangtuanya pun hanyalah berdasarkan tradisi dan Injil
Apokrief (Apokrief adalah buku-buku yang seringkali penuh legenda dan
merupakan jiplakan dari kitab-kitab asli yang termasuk Kitab Suci,
biasanya dibubuhi nama seorang tokoh Perjanjian Lama atau seorang
Rasul sebagai pengarangnya).
Perayaan ini berawal dari tradisi Gereja Timur dan mulai berkembang di
Gereja Barat sejak abad ke lima. Hari kelahiran Bunda Maria dirayakan
Gereja Katolik pada tanggal 8 September.

PERAYAAN-PERAYAAN YANG SETINGKAT PERINGATAN (MEMORIA)

1. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Ratu

Setelah diangkat ke surga dengan jiwa dan badannya, Bunda Maria


dinobatkan sebagai Ratu. Peringatan ini dirayakan tujuh hari setelah
Hari Raya Bunda Maria diangkat ke Surga, yaitu pada tanggal 22
Agustus. Apakah Bala Malaikat di surga memerlukan waktu tujuh hari
untuk mempersiapkan upacara penobatan Maria sebagai Ratu? Ini juga
merupakan ungkapan iman yang tidak bisa lagi dijelaskan secara logis
dan kronologis. Gereja kehabisan kosa kata
untuk mengungkapkan penghargaannya atas keistimewaan Bunda
Maria.

2. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Berdukacita

Kehidupan Bunda Maria tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Yesus.


Setelah merayakan Pesta Salib Suci, Gereja memperingati kedukaan
Maria yang antara lain karena penyaliban Putranya. Maka peringatan ini
dirayakan pada tanggal 15 September. Peringatan ini mulai dirayakan
tahun 1668 dan ditetapkan sebagai perayaan untuk seluruh Gereja oleh
Paus Pius VII pada tahun 1814 untuk mengenang penderitaan yang
dialaminya dalam masa pembuangan di Prancis.
Peringatan Bunda Maria Berdukacita dikenal juga dengan nama “Tujuh
Kedukaan Maria”. Ada begitu banyak kejadian dalam kehidupan Bunda
Maria yang menggambarkan penderitaannya, namun Gereja menyebut
tujuh yang lazim, yaitu: nubuat Simeon tentang suatu pedang yang akan
menembus jiwanya, pengungsian ke Mesir, Yesus hilang di Bait Allah
pada umur 12 tahun, Yesus ditangkap dan diadili, Yesus disalibkan dan
wafat, Yesus diturunkan dari salib, dan Yesus dimakamkan.

3. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Ratu Rosario

Pada abad-abad pertama, peringatan Maria selalu dikaitkan dengan


kehidupan Bunda Maria, namun sejak abad abad ke-12 Gereja
menambah perayaan Maria yang berkaitan dengan kejadian-kejadian
tertentu dalam kehidupan menggereja. Misalnya Peringatan “Maria Ratu
Rosario” yang jatuh pada tanggal 7 Oktober. Peringatan ini dirayakan
untuk mengenang kemenangan pasukan Katolik dalam perang Lepanto
pada abad ke-15. Kemenangan ini diyakini karena umat berdoa
memohon bantuan Bunda Maria dengan berdoa rosario. Tahun 1571
Paus Pius V menetapkan peringatan ini sebagai perayaan syukur dan
pada tahun 1716 Paus Clement XI menetapkannya sebagai perayaan
untuk seluruh Gereja.

4. Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Dipersembahkan kepada Allah

Persembahan Maria ke Kenisah juga tidak mempunyai informasi biblis,


selain bersumber pada tradisi dan Injil Apokrief. Dalam hal ini Gereja
boleh mengakui keunggulan Kitab Suci Al Quran yang memberikan
informasi yang agak memadai tentang masa kecil Maria (bdk. Q 4 atau
Sura Al Imran dan Q 19 atau Sura Al Maryam), termasuk
persembahannya ke Kenisah. Peringatan Santa Perawan Maria
dipersembahkan kepada Allah ini berawal dari tahun 543 untuk
mengenang pemberkatan Gereja Bunda Maria di Yerusalem. Tahun 1585
perayaan ini dimasukkan dalam Kalender Liturgi Gereja Barat dan
sekarang dirayakan sebagai pengakuan akan Bunda Maria yang
merupakan kenisah di mana Allah (Putra) berdiam. Gereja merayakan
peringatan ini pada tanggal 21 November.

Masih ada banyak peringatan lain yang dirayakan dalam liturgi Gereja
Katolik baik yang bersifat fakultatif maupun secara khusus dirayakan
oleh kelompok atau tarekat religius tertentu.

* Imam biarawan Serikat Maria Montfortan; Studi Teologi Dogmatik, khususnya


memperdalam Mariologi di Universitas Santo Thomas, Manila, Filipina.

sumber : Majalah Liturgi Vol. 17, No. 3, Mei-Juni 2006; diterbitkan oleh Komisi
Liturgi KWI

Angelus
Sebagian besar umat Katolik Roma mempunyai kebiasaan untuk
mengucapkan serangkaian doa tiga kali dalam sehari. Rangkaian doa
tersebut dikenal dengan “Doa Angelus” atau “Doa Malaikat Tuhan”
Angelus didaraskan pada jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 petang.
Nama Angelus diambil dari kata pertama dalam doa tersebut dalam
bahasa Latin, artinya “Malaikat”. Beginilah bunyinya: Angelus Domini
nuntiavit Mariae atau Malaikat Tuhan menyampaikan kabar kepada
Maria.

Doa Angelus mungkin adalah suatu cara bagi umat beriman untuk
berdoa bersama seperti dalam Breviary atau Ofisi, yaitu doa yang
didoakan oleh para imam dan para anggota komunitas suatu Ordo
Religius. Umat yang tidak dapat membaca, dapat menghafalkan doanya.

Doa Angelus sudah dimulai sejak tahun 1263 oleh Santo Bonaventura
dalam Sidang Umum Ordo Fransiskan. Doa ini berkembang dari abad ke
abad sampai dengan zaman Paus Yohanes XXII yang memberikan
indulgensi kepada orang yang mengucapkan Doa Angelus.

Paus Pius V dalam tahun 1571 memperbaharui dan melengkapi


bentuknya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada waktu itu, Doa
Angelus diucapkan pada dini hari untuk menghormati kebangkitan
Yesus, pada siang hari untuk menghormati sengsara Yesus dan pada
senja hari untuk menghormati peristiwa Inkarnasi.

Di Italia, Doa Kemuliaan ditambahkan sesudah setiap Salam Maria untuk


menghormati Tritunggal Mahakudus dalam hubungannya dengan Maria.

Paus Yohanes XXIII dalam catatannya tentang lonceng Angelus yang


didentangkan pada pada pagi hari menggambarkan, lonceng dini hari
merupakan tanda pergantian malam menjadi siang yang gemilang, pada
saat itu langit menunduk untuk bertemu dengan bumi.

Paus Paulus VI dalam ensiklik “Marialis Cultus” menulis, “Doa ini


sesudah berabad-abad tetap mempertahankan nilainya dan kesegaran
aslinya.” Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa Doa Angelus tak
perlu diubah sebab bentuknya sederhana, diangkat dari Injil, dan asal-
muasalnya berkaitan dengan doa perdamaian dan misteri Paska.

Banyak keluarga Katolik dengan setia mengucapkan Doa Angelus pagi,


siang dan malam hari. Juga di Indonesia, sejak puluhan tahun yang
lampau, bila mendengar lonceng Angelus berbunyi, umat langsung
meninggalkan segala kesibukannya untuk sejenak memanjatkan Doa
Angelus. Pada Masa Paskah, Doa Angelus diganti dengan Doa Ratu
Surga.

Dalam Doa Angelus, biasanya satu orang akan mengucapkan suatu


kalimat dan yang lain memberikan tanggapan. Mengapa kita tidak mulai
ikut mendoakannya juga?

Bapa Suci sendiri memimpin umatnya berdoa Angelus setiap hari


Minggu siang.

Beginilah doanya:

DOA RATU SURGA

Maria diberi kabar oleh malaikat Tuhan, bahwa ia akan mengandung dari
Roh Kudus.

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara


wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah,
doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan pada waktu kami mati.
Amin.

Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.

Salam Maria ....

Sabda sudah menjadi daging, dan tinggal di antara kita.

Salam Maria ....

Doakanlah kami, ya Santa Bunda Allah, supaya kami dapat menikmati


janji Kristus.

Ya Allah, karena kabar malaikat kami mengetahui bahwa Yesus Kristus


Putra-Mu menjadi manusia; curahkanlah rahmat-Mu ke dalam hati kami,
supaya karena sengsara dan salib-Nya, kami dibawa kepada
kebangkitan yang mulia. Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami. Amin.

DOA RATU SURGA (dalam Masa Paskah)


Ratu Surga bersukacitalah, alleluya,
sebab Ia yang sudi kau kandung, alleluya,
telah bangkit seperti disabdakan-Nya, alleluya!
Doakanlah kami pada Allah, alleluya!
Bersukacita dan bergembiralah, Perawan Maria, alleluya,
sebab Tuhan sungguh telah bangkit, Alleluya!

Ya Allah, Engkau telah menggembirakan dunia dengan kebangkitan


PutraMu, Tuhan kami Yesus Kristus. Kami mohon, perkenankanlah kami
bersukacita dalam kehidupan kekal bersama BundaNya, Perawan Maria.
Demi Kristus, pengantara kami. Amin.

sumber : 1. Kartu Doa Gereja Katolik Roh Kudus, Surabaya; 2. News For Kids, Rm
Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com; disesuaikan
dengan buku Puji Syukur; Komisi Liturgi KWI

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Kuasa Doa Satu Salam Maria

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu,


terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu,
Yesus.

Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini,


sekarang dan waktu kami mati. Amin.

Jutaan umat Katolik biasa mendaraskan Salam Maria. Sebagian


mendaraskannya dengan begitu cepat, bahkan tanpa memikirkan kata-
kata yang mereka ucapkan. Pernyataan-pernyataan berikut ini semoga
dapat membantu kita mendaraskannya dengan lebih khusuk.
Satu Salam Maria yang didaraskan dengan baik memenuhi hati Bunda
Maria dengan sukacita dan memperolehkan bagi diri kita sendiri rahmat-
rahmat luar biasa yang tak terkatakan, yang ingin dilimpahkan Bunda
Maria kepada kita. Satu Salam Maria yang didaraskan dengan baik
memperolehkan bagi kita jauh lebih banyak rahmat daripada seribu
Salam Maria yang didaraskan secara asal.

Doa Salam Maria bagaikan suatu tambang emas di mana kita senantiasa
dapat menggali darinya tanpa ia pernah menjadi habis. Sulitkah
mendaraskan Salam Maria dengan baik? Yang kita perlukan hanyalah
belajar memahami nilai dan artinya.

St. Hieronimus mengatakan bahwa “kebenaran yang terkandung dalam


Salam Maria begitu agung dan luhur, begitu mengagumkan, hingga tak
ada manusia atau pun malaikat yang dapat memahami sepenuhnya.”

St. Thomas Aquinas, Pujangga Gereja yang terkemuka, 'yang paling


bijaksana di antara para kudus dan yang paling kudus di antara para
bijaksana', seperti dinyatakan oleh Paus Leo XIII, berkhotbah selama 40
hari lamanya di Roma hanya tentang Salam Maria, membuat para
pendengarnya terpesona serta penuh sukacita.

Pastor F. Suarez, seorang imam Yesuit yang terpelajar dan kudus, ketika
sedang menghadapi ajal menyatakan bahwa dengan senang hati ia akan
menyerahkan seluruh dari banyak buku berbobot yang ia tulis, juga
seluruh karya sepanjang hidupnya, demi mendapatkan ganjaran dan
jasa dari satu doa Salam Maria yang didaraskan dengan khusuk dan
tulus.

St. Mechtilda, yang sangat mengasihi Bunda Maria, suatu hari sedang
berusaha keras untuk menggubah sebuah doa yang indah untuk
menghormati Bunda Maria. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya,
dengan tulisan emas di dadanya: “Salam Maria penuh rahmat.” Santa
Perawan berkata kepadanya, “Berhentilah, anakku terkasih, dari
usahamu itu, oleh sebab tidaklah mungkin engkau dapat menggubah
suatu doa yang dapat memberiku sukacita dan kebahagiaan seperti
Salam Maria.”

Seorang pria memperoleh sukacita luar biasa dengan mendaraskan


Salam Maria secara perlahan-lahan. Santa Perawan menampakkan diri
kepadanya dengan tersenyum dan mengatakan kepadanya hari serta
jam bilamana ia akan meninggal, serta memperolehkan baginya
kematian yang paling kudus dan bahagia. Setelah kematiannya,
sekuntum bunga bakung putih yang indah tumbuh dari mulutnya. Pada
daun-daun bunganya tertulis “Salam Maria”.

Cesarius menceritakan kisah serupa. Seorang biarawan yang rendah


hati dan kudus tinggal di sebuah biara. Daya tangkap dan daya ingatnya
begitu lemah hingga ia hanya dapat menghafalkan satu doa saja, yaitu
“Salam Maria”. Setelah kematiannya, sebatang pohon tumbuh di atas
kuburnya dan pada semua daun-daunnya tertulis: “Salam Maria”.

Kisah-kisah indah berikut ini menunjukkan kepada kita betapa tinggi


nilai devosi kepada Bunda Maria dan betapa besar kuasa doa Salam
Maria yang didaraskan dengan khusuk.

Setiap kali kita mengucapkan Salam Maria, kita mengulangi kata-kata


yang sama yang diucapkan Malaikat Agung St. Gabriel pada waktu
menyampaikan salam kepada Maria pada Hari Kabar Sukacita, yaitu
ketika ia menjadi Bunda Putra Allah.

Begitu banyak rahmat dan sukacita yang memenuhi jiwa Maria saat itu.

Sekarang, pada saat kita mendaraskan Salam Maria, kita


mempersembahkan sekali lagi segala rahmat dan sukacita tersebut
kepada Bunda Maria dan ia menerimanya dengan bahagia yang
mendalam.

Sebagai balasnya, ia membagikan sukacitanya itu kepada kita.

Suatu ketika, Yesus meminta St. Fransiskus Asisi untuk memberi-Nya


sesuatu. Orang kudus itu menjawab, “Tuhan terkasih, aku tak dapat
memberi-Mu apa-apa lagi, sebab aku telah memberikan segalanya
untuk-Mu, yaitu segenap cintaku.”

Yesus tersenyum dan berkata, “Fransiskus, berikan pada-Ku segenap


cintamu itu lagi dan lagi, setiap kali, cintamu itu mendatangkan
kesukaan yang sama bagi-Ku.”

Demikian juga dengan Bunda kita terkasih. Setiap kali kita mendaraskan
Salam Maria, Bunda Maria menerima dari kita segala sukacita dan
kebahagiaan yang sama seperti yang ia terima dari perkataan St.
Gabriel.

Allah yang Mahakuasa telah menganugerahkan kepada Bunda-Nya yang


Terberkati segala kemuliaan, keagungan, dan kekudusan yang
diperlukan untuk menjadikannya Bunda-Nya Sendiri yang paling
sempurna.

Namun demikian, Ia juga menganugerahkan kepada Bunda-Nya segala


pesona, cinta, kelemah-lembutan serta kasih sayang yang diperlukan
untuk menjadikannya Bunda kita yang paling terkasih. Bunda Maria
adalah sungguh-sungguh dan benar-benar Bunda kita.

Seperti anak-anak lari kepada ibunya ketika menghadapi bahaya untuk


minta perlindungan, demikian juga patutlah kita lari segera dengan
keyakinan tak terbatas kepada Maria.
St. Bernardus dan banyak para kudus lainnya mengatakan bahwa tak
pernah sekali pun terdengar pernah terjadi di suatu waktu atau pun
tempat bahwa Bunda Maria menolak mendengarkan doa anak-anaknya
yang di bumi.

Mengapakah kita tidak menyadari kebenaran yang sangat menghibur


hati kita ini? Mengapakah kita menolak cinta dan penghiburan yang
ditawarkan oleh Bunda Allah yang Manis kepada kita?

Adakah sikap acuh kita yang mengerikan, yang menjauhkan kita dari
pertolongan dan penghiburan yang sedemikian itu?

Mengasihi dan mengandalkan Maria berarti berbahagia di dunia


sekarang ini dan berbahagia kelak di Surga.

Dr. Hugh Lammer adalah seorang Protestan fanatik, dengan prasangka-


prasangka kuat menentang Gereja Katolik. Suatu hari ia menemukan
suatu penjelasan tentang Salam Maria dan membacanya. Ia begitu
terpesona olehnya hingga mulai mendaraskannya setiap hari. Tanpa
disadarinya, segala antipati dan kebenciannya terhadap Gereja Katolik
mulai lenyap. Ia menjadi seorang Katolik, seorang imam yang kudus dan
profesor Teologi Katolik di Breslau.

Seorang imam diminta datang ke sisi pembaringan seorang yang


sedang menghadapi ajal dalam keputusasaan oleh karena dosa-
dosanya. Namun demikian, orang itu bersikukuh menolak mengakukan
dosa-dosanya. Sebagai usahanya yang terakhir, imam meminta si sakit
agar setidak-tidaknya ia mendaraskan Salam Maria. Sesudah
mendoakan Salam Maria, pria malang itu mengakukan dosanya dengan
tulus dan meninggal dengan kudus.

Di Inggris, seorang imam paroki diminta untuk pergi menemui seorang


wanita Protestan yang sedang sakit parah dan rindu menjadi seorang
Katolik. Ketika ditanya apakah ia pernah pergi ke Gereja Katolik, atau
apakah ia pernah belajar dari umat Katolik, atau apakah ia membaca
buku-buku Katolik, ia menjawab, “Tidak, tidak pernah.” Sejauh yang
dapat diingatnya ialah - ketika masih kanak-kanak - ia belajar dari
seorang gadis kecil tetangga yang Katolik doa Salam Maria, yang
kemudian dilakukannya setiap malam. Wanita itu kemudian dibaptis dan
sebelum meninggal boleh menikmati kebahagian menyaksikan suami
dan anak-anaknya dibaptis juga.

St. Gertrude mengatakan dalam bukunya, “Wahyu” bahwa ketika kita


mengucap syukur kepada Tuhan atas rahmat-rahmat yang Ia berikan
kepada seorang kudus tertentu, kita juga memperoleh bagian besar atas
rahmat-rahmat tersebut.

Jika demikian, rahmat-rahmat apakah yang tidak akan kita peroleh jika
kita mendaraskan Salam Maria sementara kita mengucap syukur
kepada-Nya atas segala rahmat tak terkatakan yang telah Ia
anugerahkan kepada Bunda-Nya Maria?

With Ecclesiastical Approval

“. . . Satu Ave Maria (Salam Maria) yang didaraskan tanpa perasaan


mendalam, tetapi dengan kehendak yang tulus dalam masa kekeringan,
jauh lebih bernilai di hadapanku daripada satu Rosario penuh yang
didaraskan di tengah penghiburan.”

Bunda Maria kepada Sr. Benigna Consolata Ferrero

“Seorang imam Yesuit yang kudus dan terpelajar, Pastor Suarez,


memahami dengan begitu mendalam nilai Salam Malaikat (Salam Maria)
hingga ia mengatakan bahwa ia akan dengan senang hati menyerahkan
segala ilmu yang diperolehnya demi memperoleh ganjaran dan jasa satu
Salam Maria yang didaraskan dengan pantas.”

St. Louis De Montfort, Rahasia Rosario, hal. 48

sumber : “The Power of One Hail Mary”; www.catholictradition.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauly Fongemie ~
Catholic Tradition.”

Salam Maria dan Rosario


oleh: P. Victor Hoagland, C.P.
Kita mengatakan Bapa “kami” dalam doa Bapa Kami. Dengan
mengatakan “kami”, kita menyatakan bahwa doa bukanlah suatu
tindakan yang kita lakukan seorang diri. Kita berdoa bersama dengan
yang lain.

Bersama siapakah kita berdoa? Kita berdoa bersama Yesus Kristus.


Yesus tidak hanya mengajar kita bagaimana harus berdoa, tetapi Ia juga
berdoa bersama kita serta mempersatukan doa-doa kita dengan doa-Nya
sendiri. Oleh karena kita berdoa bersama Dia, doa-doa kita seringkali
diakhiri dengan kata-kata sebagai berikut: “dengan pengantaraan Yesus
Kristus, Putra Tunggal Allah, Tuhan kita, yang hidup dan berkuasa untuk
selama-lamanya.” Kita berdoa bersama Yesus Kristus.

Bapa “kami” berarti kita berdoa bersama yang lain juga; sebagai contoh,
mereka semua yang telah dibaptis dalam nama Kristus. Doa Bapa Kami
hendaknya senantiasa mengingatkan umat Kristiani akan persatuan
mereka satu dengan yang lain, meskipun sayangnya, perbedaan-
perbedaan masih memisahkan gereja-gereja Kristen. Kita, umat Kristen,
percaya bahwa kita bersatu dalam doa; kita dapat berdoa bersama yang
lain serta saling mendoakan satu sama lain. Doa merupakan sumber
hidup yang mempersatukan kita semua.

Dalam Gereja Katolik, keyakinan bahwa kita bersatu dalam doa dengan
yang lain diungkapkan dalam doa kepada Bunda Maria, Bunda Yesus,
dan kepada para kudus. “Kita percaya akan persekutuan para kudus”
yang berdoa bersama kita dan bagi kita, dalam persatuan dengan Yesus
Kristus.

Doa yang indah bagi Bunda Maria dalam tradisi Katolik adalah doa
Salam Maria. Bagian pertama dari doa tersebut berkembang dalam abad
pertengahan ketika Maria, Bunda Yesus, menjadi perhatian umat
Kristiani sebagai saksi terbesar atas hidup, wafat serta kebangkitan
Kristus. Bagian awal doa merupakan salam Malaikat Gabriel di Nazaret,
menurut Injil Lukas:

Salam Maria,
penuh rahmat,
Tuhan sertamu,

Dengan perkataan tersebut, malaikat Tuhan menyatakan belas kasih


Ilahi. Tuhan akan menyertai Maria. Maria akan melahirkan Yesus Kristus
ke dunia.

Bagian selanjutnya, adalah salam yang disampaikan kepada Maria oleh


Elisabet, sepupunya, seperti ditulis dalam Injil St. Lukas:

terpujilah engkau di antara wanita,


dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Dan akhirnya, pada abad ke-15, bagian doa selanjutnya ditambahkan:

Santa Maria, bunda Allah,


doakanlah kami yang berdosa ini
sekarang dan waktu kami mati.

Bagian doa tersebut memohon kepada Maria, yang penuh rahmat serta
dekat dengan Putra-nya, untuk mendoakan kita orang berdosa,
sekarang dan saat ajal menjelang. Bersama dengan murid kepada siapa
Yesus mempercayakan ibunda-Nya di Kalvari dengan mengatakan
“Inilah ibumu!”, kita mengakui Bunda Maria sebagai bunda kita. Bunda
Maria akan senantiasa mendekatkan kita pada Kristus. Sejak dari
permulaan Bunda Maria mengenal-Nya; ia menjadi saksi atas hidup,
wafat dan kebangkitan Kristus; tidakkah Bunda Maria akan membantu
kita untuk lebih mengenal Putra-nya dan misteri hidup-Nya? Kita
mengandalkan belas kasih Bunda Maria kepada kita seperti yang ia
lakukan bagi pasangan pengantin di Kana, di Galilea. Kita
mempercayakan segala kebutuhan kita kepada Bunda Maria.

Pada akhir abad ke-16, kebiasaan mendaraskan 150 Salam Maria dalam
suatu rangkaian doa atau perpuluhan menjadi populer di kalangan umat
Kristiani. Dalam doa-doa tersebut, peristiwa-peristiwa hidup, wafat dan
kebangkitan Yesus direnungkan. Praktek doa itu sekarang dikenal
sebagai Doa Rosario.

Bunda Maria senantiasa menjadi teladan iman dan pelindung orang-


orang Kristen yang percaya. Ketika Malaikat Gabriel datang kepadanya,
ia percaya akan warta yang disampaikan malaikat dan tetap teguh pada
imannya tanpa ragu sedikit pun meskipun harus melewati pencobaan
gelap Kalvari. Bunda Maria mendampingi kita juga yang adalah saudara
dan saudari Putra-nya, sepanjang ziarah kita di dunia yang penuh
dengan kesulitan dan mara bahaya.

Selama berabad-abad telah banyak umat Kristiani mengakui bahwa


Salam Maria dan Rosario merupakan sumber rahmat rohani. Doa rosario
adalah doa yang sederhana sekaligus mendalam. Rosario dapat
dilakukan siapa saja, pengulangan kata-katanya mendatangkan
kedamaian bagi jiwa. Renungan akan kisah hidup Yesus dalam
peristiwa-peristiwa gembira, cahaya, sedih, maupun mulia dimaksudkan
agar diamalkan dalam hidup kita sendiri. Melalui peristiwa-peristiwa
tersebut, kita berharap untuk “meneladani apa yang diteladankan dan
memperoleh apa yang dijanjikan”.

sumber : “The Hail Mary and the Rosary” by Fr. Victor Hoagland, C.P.; Copyright
1997-1999 - The Passionist Missionaries; www.cptryon.org/prayer

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Victor
Hoagland, CP.”
Mengapa Berdoa Rosario?
oleh: P. Francis J. Peffley

Apa itu doa? Doa ialah berbicara dengan Tuhan; mengangkat hati serta
pikiran kita kepada Tuhan. "Doa adalah kunci Surga." - St. Agustinus

Mengapa kita berdoa? Kita berdoa agar kita dapat masuk Surga. St.
Agustinus mengatakan: “Sama seperti tubuh tidak dapat hidup tanpa
makanan, demikian juga jiwa kita tidak dapat hidup secara rohani tanpa
doa.” St. Alfonsus mengatakan: “Ia yang berdoa, diselamatkan; ia yang
tidak berdoa, celaka!” Doa sangat besar kuasanya. (Yak 5:16-18, 2Raj
20:1-6).

Siapa yang berdoa? Yang berdoa ialah orang yang ingin berbahagia
selamanya bersama Tuhan di surga.

Kapan kita berdoa? Kita berdoa senantiasa, siang dan malam.

Di mana kita berdoa? Kita berdoa di rumah, di kamar kita (Mat 6:1-6),
di Gereja dengan keluarga kita (Mat 21:13), atau di mana saja. Dengan
doa kita dapat menguduskan saat-saat senggang kita, kita dapat berdoa
ketika sedang berjalan-jalan di taman, mengendarai mobil atau naik bis
dan mempersembahkan waktu luang kita itu kepada Tuhan.

Apakah Tuhan selalu menjawab doa-doa kita? Ya. Ada tiga bentuk
jawaban doa - ya, tidak, dan tunggu. Tidak ada doa yang tidak dijawab
dan tidak ada doa yang tidak didengarkan. St. Thomas Aquinas
mengajarkan: "Tuhan tidak mengabulkan apa yang kita minta dalam doa
jika permintaan kita itu tidak baik bagi keselamatan kita." Kita harus
bertanya apa kehendak Tuhan bagi kita. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan
Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu.” (Mat 6:31-33) “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh
dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:26). Tuhan memenuhi
kebutuhan kita, tetapi tidak keserakahan kita.

Bagaimana kita dapat berdoa dengan baik? Konsentrasi (Mat


6:7,8), Iman (Ibr 11:6), Kerendahan hati (Yak 4:6, lihat juga Mat 6:1-6,
Lukas 18:9-14). Prioritas yang Benar (Luk 22:42), Devosi (Mat 15:8),
Kesungguhan (Luk 22:43,44), Ketekunan (Luk 11:5-10 / Luk 18:1-8, Mat
24:13), dan dengan tidak jemu-jemu. Kita wajib berdoa sekurang-
kurangnya 15 menit setiap hari. Di dunia ini kita mempersiapkan diri
untuk tinggal bersama Tuhan selama-lamanya. Karena Tuhan adalah
Pribadi yang paling penting dalam hidup kita, kita wajib berbicara
kepada-Nya setiap hari. Setiap harinya kita menghabiskan lebih banyak
waktu sekedar untuk makan, bersantai dan menikmati hiburan. Jiwa kita
jauh lebih penting daripada tubuh kita. Dan Tuhan pastilah jauh lebih
penting daripada siapa pun atau apa pun juga dalam hidup kita, jadi Ia
layak mendapatkan prioritas utama. Berapa banyak kita harus berdoa?
Kitab Suci mengatakan: - selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu (Luk
18:1, 1Tes 5:17, Ef 6:18 dan Kis 6:4).

Mengapa Tuhan menghendaki kita berdoa kepada Bunda Maria?


Kita berdoa kepada Bunda Maria karena ia adalah Bunda Allah dan doa-
doanya sangatlah besar kuasanya (Yoh 2:1-11). Ketika kita berdoa Salam
Maria, kita menggabungkan penyembahan kepada Tuhan dan
penghormatan kepada Bunda Maria. Kita menyatukan doa-doa kita
kepada Tuhan dengan doa-doa Bunda Maria kepada Tuhan. Kita tidak
menyembah Bunda Maria, kita hanya menyembah Tuhan saja. Ketika
kita berdoa kepada Bunda Maria, kita menghormatinya sebagai Bunda
Allah dan sebagai Bunda Rohani kita (Why 12:17, Yoh 19:26,27). Saat
kita amat membutuhkan pertolongan, kita tidak saja berdoa sendiri
kepada Tuhan secara langsung, tetapi kita juga meminta orang lain
berdoa bagi kita dan bersama kita. Ketika kita berdoa Rosario, kita
didukung oleh Bunda Maria, Bunda Allah yang Kudus, yang berdoa
kepada Tuhan bagi kita dan bersama kita. Tuhan menghendaki kita
menghormati Bunda Maria karena perannya yang istimewa dalam karya
keselamatan Allah. Tuhan menghendaki Bunda Maria ambil bagian
dalam penebusan umat manusia, sama seperti Hawa ambil bagian dalam
jatuhnya umat manusia ke dalam dosa. Sama seperti seorang Bapa
dipenuhi sukacita karena cinta dan penghormatan yang diberikan orang
kepada anak-anaknya, demikian juga Allah Bapa dipenuhi sukacita dan
menghendaki kita menghormati puteri-Nya, Maria, Bunda PuteraNya,
Yesus.

Mengapa kita wajib berdoa Rosario? Karena doa Rosario telah


didaraskan serta dianjurkan selama berabad-abad oleh para Paus dan
santo/santa besar, dan juga karena pengaruhnya yang baik - sama
seperti pohon yang baik menghasilkan buah yang baik (Mat 7:17). Juga,
karena ke-15 Janji Bunda Maria bagi umat Kristiani yang berdoa Rosario
dan karena Bunda Maria menampakkan diri di Lourdes dan di Fatima
untuk meminta kita berdoa rosario. Rosario telah menyelamatkan serta
mengubah ribuan jiwa, mengapa tidak menggunakannya untuk
menyelamatkan jiwamu?

Bagaimana kita berdoa Rosario? Dengan merenungkan ke-15


misteri, dengan mendaraskan sepuluh Salam Maria pada manik-
maniknya serta satu Bapa Kami dan Kemuliaan di setiap misteri.

Bagaimana kita merenungkan misteri-misteri Rosario? Kita


merenungkan misteri-misteri rosario dengan menggunakan imajinasi
kita untuk menghadirkan misteri yang sedang kita renungkan di
hadapan kita. Kemudian sambil membayangkan imajinasi yang hadir di
pikiran, kita mengucapkan doa Salam Maria. Sementara merenung, kita
mengulang-ulang doa kita, sama seperti yang dilakukan Yesus (Mat
26:44). Dalam berdoa Rosario, pada dasarnya kita mengatakan, “Yesus
dan Bunda Maria, aku mencintaimu” berulang-ulang kali. Sementara kita
melakukannya, kita bertumbuh dalam cinta kepada Tuhan. Mengatakan,
“Aku mencintaimu” tidak pernah basi. Jika kita sungguh-sungguh
mencintai, pernyataan cinta seperti itu akan semakin memperdalam
cinta kita.

Bagaimana kita dapat mulai berdoa Rosario setiap hari? Dengan


mendoakan hanya satu misteri dengan sepuluh Salam Maria setiap hari,
hingga kita merasa rindu untuk berdoa lebih banyak.

sumber : "Why Pray the Rosary" by Father Peffley; Father Peffley's Web Site;
www.transporter.com/fatherpeffley

"Rosario
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan a

adalah doa yang penuh kuasa


bagi perdamaian"
oleh: Cindy Wooden
Catholic News Service, 16 Oktober 2002
VATIKAN CITY (CNS) -- Rosario adalah doa yang penuh kuasa untuk
perdamaian, untuk keluarga, serta untuk merenungkan peristiwa-
peristiwa dalam hidup Yesus, demikian kata Paus Yohanes Paulus II
dalam surat apostolik yang baru diterbitkannya.

Sementara memuji mereka yang dengan setia berdoa rosario dengan


merenungkan peristiwa-peristiwa seperti yang biasa dipakai selama ini,
paus juga menganjurkan tambahan lima “peristiwa cahaya” - yaitu masa
perutusan Yesus di hadapan orang banyak - untuk lebih menekankan
fokus rosario pada Kristus.

Paus Yohanes Paulus II menandai peringatan 24 tahun pelantikannya


sebagai paus pada tanggal 16 Oktober dengan menandatangani surat
apostolik “Rosarium Virginis Mariae” (“Rosario Santa Perawan Maria”),
pada saat mengadakan audiensi umum mingguan.

Bapa Suci memaklumkan Tahun Rosario hingga bulan Oktober


mendatang, serta meminta setiap orang untuk berdoa rosario dengan
lebih sering, dengan penuh cinta dan dengan pemahaman bahwa doa
rosario akan mempersatukan mereka dengan Bunda Maria serta
menghantar mereka kepada Yesus.

Kelima peristiwa baru yang dianjurkan Bapa Suci adalah:

Yesus Dibaptis di Sungai Yordan


Yesus Menyatakan Diri-Nya dalam perjamuan nikah di Kana
Yesus Mewartakan Kerajaan Allah serta Menyerukan Pertobatan
Yesus Dipermuliakan
Yesus Menetapkan Ekaristi

Paus Yohanes Paulus II juga mengungkapkan cintanya yang istimewa


akan doa-doa Maria dan menyampaikan saran-saran bagaimana umat
beriman dapat berdoa rosario dengan lebih baik.

“Rosario telah menyertai saya di saat-saat suka dan di saat-saat duka,”


tulisnya. “Dalam rosario saya selalu menemukan penghiburan.”

Hanya selang dua minggu setelah pengangkatannya sebagai Bapa Suci


pada tahun 1978, ia mengatakan, “Sejujurnya saya mengakui: Rosario
adalah doa favorit saya.”

Dan, katanya, “mengenang kembali segala kesulitan yang juga menjadi


bagian dari pelaksanaan tugas perutusan saya, saya merasa perlu
untuk menyampaikan sekali lagi, sebagai suatu undangan yang hangat
kepada siapa saja untuk mengalami secara pribadi bahwa: Rosario
sungguh `meningkatkan irama hidup manusia', dan menjadikannya
selaras dengan `irama' hidup Tuhan sendiri.”

Bapa Suci meminta bantuan setiap orang untuk menanggapi “krisis


rosario” yang ditandai dengan kelalaian mengajarkannya kepada anak-
anak serta keragu-raguan -yang didukung oleh beberapa teolog- bahwa
rosario itu kuno, takhyul atau pun anti-ekumene.

Terutama setelah “serangan yang mengerikan” tanggal 11 September


2001, paus mengatakan: menggairahkan kembali doa rosario merupakan
sumbangan umat Katolik yang amat berharga bagi perwujudan
perdamaian dunia.

Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa rosario memberi “rasa


damai bagi mereka yang mendoakannya,” membimbing mereka untuk
memandang wajah Kristus dalam diri sesama, untuk peka terhadap
kesedihan serta penderitaan sesama, serta membangkitkan kerinduan
untuk menjadikan dunia “lebih indah, lebih adil, lebih selaras dengan
rencana Tuhan.”

“Sekarang ini, saya hendak mempercayakan diri kepada kuasa doa


rosario …. sebagai sumber damai di dunia dan sumber damai dalam
keluarga,” tulisnya.

Rosario, kata paus, adalah dan akan selalu merupakan doa dari dan bagi
keluarga.

Mendaraskan doa rosario bersama-sama dalam keluarga akan


mempersatukan mereka dengan Keluarga Kudus, membawa harapan-
harapan serta persoalan-persoalan mereka kepada Tuhan, serta
memusatkan perhatian mereka kepada gambaran kehidupan Kristus,
dan bukannya gambar televisi, katanya.
Berbicara tentang praktek doa rosario, Paus Yohanes Paulus II
mengatakan bahwa rosario mengulang-ulang doa yang sama dengan
tujuan merenungkan serta memusatkan pikiran, dan bukannya
mendatangkan kejenuhan.

Pertama-tama, katanya, biji-biji rosario janganlah dipandang sebagai


“barang jimat,” tetapi sebagai sarana untuk melambangkan
“perenungan serta usaha terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan
Kristiani.”
Biji-biji rosario juga dapat “mengigatkan kita akan begitu banyaknya
persahabatan dan ikatan persatuan serta persaudaraan yang
mempersatukan kita dengan Kristus.”

Peristiwa-peristiwa rosario, meskipun bukan pengganti bacaan Kitab


Suci, haruslah menghantar pikiran kita kepada Kristus dan kepada
peristiwa-peristiwa lain dalam hidup-Nya, demikian kata paus. Sebagian
orang mungkin akan merasa tertolong dengan gambar atau ikon Kitab
Suci dari peristiwa yang sedang direnungkan, atau setidak-tidaknya,
dengan menggambarkan peristiwa -peristiwa tersebut dalam pikiran
mereka.

Paus Yohanes Paulus II juga menganjurkan agar umat membaca ayat


Kitab Suci yang berhubungan dengan peristiwa yang direnungkan,
bukan sebagai sarana untuk mengingat kembali informasi yang ada,
“tetapi untuk mengijinkan Tuhan berbicara.”

Seringkali terjadi, pada waktu berdoa rosario, kata paus, umat beriman
lupa bahwa bagian penting dari suatu doa kontemplasi adalah
keheningan; karenanya baik pada waktu mendaraskan doa rosario
secara pribadi atau pun bersama-sama dalam suatu kelompok,
dianjurkan untuk berhenti sejenak dalam keheningan setelah suatu ayat
dibacakan.

Sementara sepuluh Salam Maria dalam suatu peristiwa merupakan


“elemen paling penting” dalam rosario, paus meminta umat beriman
untuk lebih memperhatikan pendarasan doa Bapa Kami dan Kemuliaan,
doa-doa yang menghantar umat kepada Allah Bapa dan kepada Allah
Tritunggal.

Bapa Suci menganjurkan bahwa jika rosario didaraskan dalam suatu


kelompok, Kemuliaan sebaiknya dinyanyikan “sebagai suatu cara untuk
memberikan penekanan yang pantas kepada Tritunggal Mahakudus
yang amat penting dalam semua doa Kristiani.”

Paus Yohanes Paulus II juga meminta umat beriman untuk sekali-kali


berhenti serta memandang salib yang tergantung pada rosario mereka.

“Hidup dan doa umat beriman berpusat pada Kristus,” tulisnya. Sama
seperti Rosario, “segala sesuatu berasal dari Dia, segala sesuatu
menghantar kita kepada Dia, segala sesuatu, melalui Dia, dalam
persatuan dengan Roh Kudus, menuju kepada Bapa.”

Rosario itu doa yang fleksibel, katanya. Ujud-ujud doa khusus dapat
diucapkan pada akhir setiap peristiwa; sebagian dapat dinyanyikan;
sebagai penutup, berbagai kelompok yang berbeda dalam usia, budaya
serta etnis dapat memilih doa atau lagu-lagu Maria yang sesuai.

Terutama ketika berusaha menghidupkan doa rosario bagi anak-anak,


beberapa penyesuaian juga diperkenankan, katanya: “Mengapa tidak
mencobanya?”

sumber : "Rosary is powerful prayer for peace, pope says in apostolic letter" by
Cindy Wooden; Catholic News Service; Copyright (c) 2002 Catholic News
Service/U.S. Conference of Catholic Bishops; www.catholicnews.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic News
Service”
rtikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA:
www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

ROSARIO
dalam Terang Kitab Suci
oleh: P. Victor Hoagland, C.P.

Pengantar Rosario dalam terang Kitab Suci untuk anak-anak

Bagaimana Berdoa Rosario?

Pengantar Peristiwa-peristiwa Gembira

Merenungkan Peristiwa-peristiwa Gembira:


"Peristiwa-peristiwa Gembira mengingatkan kita agar senantiasa
bersukacita."

1. Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel

2. Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya

3. Yesus dilahirkan di Betlehem

4. Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah

5. Yesus diketemukan dalam Bait Allah

Pengantar Peristiwa-peristiwa Cahaya

Merenungkan Peristiwa-peristiwa Cahaya:


"Peristiwa-peristiwa Cahaya mengingatkan kita agar meneladani Yesus,
sang Terang Dunia."

1. Yesus dibaptis di Sungai Yordan

2. Yesus menyatakan Diri-Nya dalam perjamuan nikah di Kana

3. Yesus mewartakan Kerajaan Allah serta menyerukan pertobatan

4. Yesus dipermuliakan

5. Yesus menetapkan Ekaristi

Pengantar Peristiwa-peristiwa Sedih

Merenungkan Peristiwa-peristiwa Sedih:


"Kisah-kisah sengsara Yesus hendak mengatakan kepada kita agar tidak
menyerah - bahkan dalam situasi yang amat buruk sekalipun. Tuhan
akan menolong kita agar mampu melewatinya; Tuhan akan menguatkan
kita agar mampu melangkah maju."

1. Yesus berdoa kepada Bapa-Nya di surga dalam sakrat maut

2. Yesus didera

3. Yesus dimahkotai duri

4. Yesus memanggul salib-Nya (ke Gunung Kalvari)

5. Yesus wafat disalib

Pengantar Peristiwa-peristiwa Mulia

Merenungkan Peristiwa-peristiwa Mulia:


"Tuhan memberi kita hidup baru yang tak akan berkesudahan."

1. Yesus bangkit dari kematian

2. Yesus naik ke surga

3. Roh Kudus turun atas para Rasul

4. Maria diangkat ke surga

5. Maria dimahkotai di surga

Doa-doa Dasar:
Syahadat Para Rasul
Tanda Salib
Bapa Kami
Kemuliaan
Salam Maria

Catatan:
“Rosario Dalam Terang Kitab Suci” telah dicetak dan disebarluaskan
oleh Karya Kepausan Indonesia. Bagi yang berminat memiliki buku
tersebut, dapat memesannya dengan mengganti biaya cetak sebesar Rp
3.000 /eks ke Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia, Jl. Cut Meutia
10, Jakarta 10340, Telp & Fax: 021 31924819; e-mail: kki-kwi@kawali.org

sumber : “A Scriptural Rosary for Children” by Fr Victor Hoagland, C.P. ; Copyright


2002 - The Passionist Missionaries - All rights reserved;
www.cptryon.org/prayer/child/rosary

disesuaikan dengan : 1. Alkitab Deuterokanonika; diterjemahkan oleh Lembaga


Alkitab Indonesia - Lembaga Biblika Indonesia; 2. Puji Syukur; disusun oleh Komisi
Liturgi KWI

ayat-ayat Kitab Suci: dikutip dari Alkitab Deuterokanonika; copyright Lembaga


Alkitab Indonesia

Devosi Sabtu Pertama untuk


Pemulihan
oleh: P. Francis J. Peffley
Pada tanggal 13 Juli 1917, Bunda Maria menampakkan diri untuk ketiga
kalinya kepada anak-anak dari Fatima: Jacinta Francisco, dan Lucia.
Bunda Maria memperlihatkan kepada mereka suatu penglihatan yang
amat mengerikan tentang neraka dan berkata: “Kalian telah melihat
neraka, ke mana jiwa-jiwa para pendosa yang malang itu akan pergi.
Untuk menyelamatkan mereka, Tuhan menghendaki agar di dunia
diadakan devosi kepada Hati-ku Yang Tak Bernoda….. Aku akan datang
untuk meminta Komuni pemulihan pada hari Sabtu Pertama.”

Pada tanggal 10 Desember 1925, Bunda Maria menampakkan diri


bersama Kanak-kanak Yesus kepada Lucia, yang pada waktu itu menjadi
postulan (masa percobaan, persiapan masuk biara sebelum masa
novisiat) Dorothean di Pontevedra, Spanyol. Bunda Maria berkata
kepada Lucia: “Puteriku, pandanglah Hati-ku yang dikelilingi oleh duri-
duri, yang setiap saat ditusukkan oleh orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih, dengan hujatan-hujatan serta rasa tidak tahu
terimakasih mereka. Setidak-tidaknya engkau, berusahalah untuk
menghiburku, dan menyebarluaskan bahwa aku berjanji untuk
menolong pada saat ajal dengan segala rahmat yang dibutuhkan bagi
keselamatan jiwa, kepada mereka semua yang pada Sabtu Pertama
selama lima bulan berturut-turut: pergi menerima Sakramen Tobat,
menerima Komuni Kudus, mendaraskan lima peristiwa Rosario, serta
menemaniku selama 15 menit dengan merenungkan peristiwa-peristiwa
Rosario, dengan ujud untuk pemulihan Hati-ku Yang Tak Bernoda.

Bayi Yesus menampakkan diri kepada Lucia kembali pada tahun 1926
dan, atas permintaannya, Yesus memberikan persetujuan bahwa
“praktek devosi ini dapat dilakukan pada hari Minggu sesudah Sabtu
Pertama, karena alasan-alasan tertentu, selama para imam
mengijinkan.” Yesus juga mengatakan kepada Lucia bahwa Sakramen
Tobat dapat dilakukan dengan tenggang waktu delapan hari dari hari
devosi, asalkan orang tersebut berada dalam keadaan rahmat. Di
Vatikan, Paus Yohanes Paulus II secara pribadi memimpin doa Rosario
pada hari Sabtu Pertama pada waktu menerima-Nya, dengan ujud untuk
mempersembahkannya bagi pemulihan Hati Maria Yang Tak Bernoda.

Dalam penampakan Tuhan Yesus selanjutnya pada tahun 1930, Lucia


bertanya kepada-Nya mengapa Ia menghendaki devosi lima Sabtu
pertama, dan bukannya sembilan atau tujuh sebagai penghormatan atas
Tujuh Duka Maria. “Puteri-Ku,” jawab-Nya, “alasannya sederhana.”
Yesus mengatakan kepada Lucia bahwa ada lima jenis penghinaan serta
hujatan yang dilontarkan terhadap Hati Maria Yang Tak Bernoda:

1. Hujat menentang Maria Yang Dikandung Tanpa Dosa


2. Hujat menentang Maria tetap perawan selamanya
3. Hujat menentang Maria Bunda Allah serta menolak untuk menerima Maria sebagai Bun
segenap umat manusia
4. Hujat yang dilakukan oleh mereka yang berusaha secara terang-terangan menanamka
rasa acuh, benci serta memandang hina Bunda Yang Dikandung Tanpa Dosa dalam ha
anak-anak.
5. Hujat yang dilakukan oleh mereka yang menghina Bunda Maria secara langsung deng
gambar-gambar kudusnya.

Suster Lucia, dalam sepucuk surat kepada ibunya, menekankan akan


pentingnya Devosi Sabtu Pertama sebagai sarana untuk memberikan
penghiburan kepada Bunda Maria. Sr Lucia menulis: “Saya berharap
bahwa ibu akan menjawab saya dengan mengatakan bahwa ibu
mempraktekan devosi Sabtu pertama serta melakukannya dengan cara
yang terbaik, sehingga semua orang yang datang ke rumah ibu turut
mempraktekkannya pula. Ibu tidak akan pernah dapat memberikan
penghiburan kepadaku yang lebih besar daripada ini….Hiburlah Bunda
Surgawi kita dengan devosi Sabtu pertama serta berusahalah agar
orang-orang lain pun ikut menghibur Bunda Maria juga, dan dengan
berbuat demikian, ibu akan membuatku amat bahagia.”

Ketika kita memenuhi segala persyaratan sederhana yang diminta bagi


devosi Sabtu Pertama dengan semangat pemulihan, kita membantu
meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh penghinaan-
penghinaan terhadap Hati Maria Yang Tak Bernoda. Kita juga
memperoleh keuntungan dari penyembuhan Tuhan atas dosa, dan kita
mulai mengikuti jalan damai-Nya.

Pada saat ini, dilakukan usaha di seluruh dunia untuk menjawab


permintaan Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas devosi Lima Sabtu
Pertama untuk Pemulihan. Di Amerika Serikat, di setiap keuskupan
dilakukan usaha untuk memulai devosi Sabtu Pertama di setiap paroki,
dan di banyak paroki di Amerika Serikat praktek devosi ini telah
dilakukan.

Sesungguhnya orang banyak dapat melihat perubahan-perubahan yang


menggembirakan yang terjadi di Eropa Timur dan belahan-belahan bumi
lainnya sebagai hasil dari meningkatnya praktek devosi Sabtu Pertama
atas permintaan Bunda Maria dari Fatima. Keikutsertaan dalam devosi
Sabtu Pertama dapat dilakukan baik secara bersama-sama maupun
secara pribadi. Jika devosi dilakukan secara bersama-sama, Rosario
dapat didaraskan sebelum atau sesudah Misa Sabtu pagi atau Misa
Sabtu sore. Renungan akan peristiwa-peristiwa Rosario dapat dilakukan
secara pribadi.

sumber : "The First Saturdays of Reparation" by Father Peffley; Father Peffley's Web
Site; www.transporter.com/fatherpeffley

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J.
Peffley.”

Santa Perawan Maria


Berdukacita
oleh: P. William P. Saunders

Pada bulan September kita memperingati Santa Perawan Maria


Berdukacita. Dapatkah dijelaskan makna dan asal-mula peringatan ini?
~ seorang pembaca di Fairfax

Gelar “Bunda Dukacita” diberikan kepada Bunda Maria dengan


menitikberatkan pada sengsara dan dukacitanya yang luar biasa selama
sengsara dan wafat Kristus. Menurut tradisi, sengsara Bunda Maria ini
tidak terbatas hanya pada peristiwa-peristiwa sengsara dan wafat
Kristus; melainkan meliputi “tujuh dukacita” Maria, seperti yang
dinubuatkan Nabi Simeon yang memaklumkannya kepada Maria,
“Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau
membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda
yang menimbulkan perbantahan - dan suatu pedang akan menembus
jiwamu sendiri -, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”
(Lukas 2:34-35). Tujuh Dukacita Bunda Maria meliputi Nubuat Simeon,
Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir; Kanak-kanak Yesus Hilang dan
Diketemukan di Bait Allah; Bunda Maria Berjumpa dengan Yesus dalam
Perjalanan-Nya ke Kalvari; Bunda Maria berdiri di kaki Salib ketika Yesus
Disalibkan; Bunda Maria Memangku Jenasah Yesus setelah Ia
Diturunkan dari Salib; dan kemudian Yesus Dimakamkan. Secara
keseluruhan, nubuat Simeon bahwa sebilah pedang akan menembus
hati Bunda Maria digenapi dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh
sebab itu, Bunda Maria terkadang dilukiskan dengan hatinya terbuka
dengan tujuh pedang menembusinya. Dan yang terpenting ialah bahwa
setiap dukacita diterima Bunda Maria dengan gagah berani, dengan
penuh kasih, dan dengan penuh kepercayaan, seperti digemakan dalam
Fiat-nya, “jadilah padaku menurut perkataan Tuhan,” yang
diucapkannya pertama kali dalam peristiwa Kabar Sukacita.

Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita mulai populer pada abad


keduabelas, meskipun dalam berbagai gelar yang berbeda. Beberapa
tulisan didapati berasal dari abad kesebelas, teristimewa di kalangan
para biarawan Benediktin. Pada abad keempatbelas dan kelimabelas,
peringatan dan devosi ini telah tersebar luas di kalangan Gereja.

Yang menarik, pada tahun 1482, peringatan ini secara resmi dimasukkan
dalam Misale Romawi dengan gelar “Santa Perawan Maria Bunda
Berbelas Kasihan,” (Our Lady of Compassion) dengan menekankan
besarnya cinta kasih Bunda Maria yang diperlihatkannya dalam
sengsara bersama Putranya. Kata `compassion' berasal dari kata Latin
`cum' dan `patior' yang artinya “menderita bersama”. Dukacita Bunda
Maria melampaui dukacita siapa pun oleh sebab ia adalah Bunda Yesus,
yang bukan hanya Putranya, melainkan juga Tuhan dan Juruselamatnya;
Bunda Maria sungguh menderita bersama Putranya. Pada tahun 1727,
Paus Benediktus XIII memasukkan Peringatan Santa Perawan Maria
Bunda Berbelas Kasihan dalam Penanggalan Romawi, yang jatuh pada
hari Jumat sebelum Hari Minggu Palma. Peringatan ini kemudian
ditiadakan dengan revisi penanggalan yang diterbitkan dalam Misale
Romawi tahun 1969.

Pada tahun 1668, peringatan guna menghormati Tujuh Dukacita Maria


ditetapkan pada hari Minggu setelah tanggal 14 September, yaitu Pesta
Salib Suci. Peringatan ini kemudian disisipkan dalam penanggalan
Romawi pada tahun 1814, dan Paus Pius X menetapkan tanggal yang
permanen, yaitu tanggal 15 September sebagai Peringatan Tujuh Duka
Santa Perawan Maria (yang sekarang disederhanakan menjadi
Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita). Penekanan utamanya di
sini adalah Bunda Maria yang berdiri dengan setia di kaki salib di mana
Putranya meregang nyawa; seperti dicatat dalam Injil St. Yohanes,
“Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di
sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: `Ibu, inilah, anakmu!'
Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: `Inilah ibumu!'” (Yohanes
19:26-27). Konsili Vatikan Kedua dalam Konstitusi Dogmatis Tentang
Gereja menulis, “…ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya.
Di situlah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan
Putranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri
dengan korban-Nya, yang penuh kasih menyetujui persembahan korban
yang dilahirkannya.” (#58).

St. Bernardus (wafat tahun 1153) menulis, “Sungguh, ya Bunda Maria,


sebilah pedang telah menembus hatimu…. Ia wafat secara jasmani oleh
karena kasih yang jauh lebih besar daripada yang dapat dipahami
manusia. Bunda-Nya wafat secara rohani oleh karena kasih seperti yang
tak dapat dibandingkan selain dengan kasih-Nya.” (De duodecim
praerogatativs BVM).

Dengan menekankan belas kasihan Bunda Maria, Bapa Suci kita, Paus
Yohanes Paulus II, mengingatkan umat beriman, “Bunda Maria yang
Tersuci senantiasa menjadi penghibur yang penuh kasih bagi mereka
yang mengalami berbagai penderitaan, baik fisik maupun moral, yang
menyengsarakan serta menyiksa umat manusia. Ia memahami segala
sengsara dan derita kita, sebab ia sendiri juga menderita, dari Betlehem
hingga Kalvari. 'Dan jiwa mereka pula akan ditembusi sebilah pedang.'
Bunda Maria adalah Bunda Rohani kita, dan seorang ibunda senantiasa
memahami anak-anaknya serta menghibur dalam penderitaan mereka.
Dengan demikian, Bunda Maria mengemban suatu misi istimewa untuk
mencintai kita, misi yang diterimanya dari Yesus yang tergantung di
Salib, untuk mencintai kita selalu dan senantiasa, dan untuk
menyelamatkan kita! Lebih dari segalanya, Bunda Maria menghibur kita
dengan menunjuk pada Dia Yang Tersalib dan Firdaus!” (1980).

Oleh sebab itu, sementara kita menghormati Bunda Maria, Bunda


Dukacita, kita juga menghormatinya sebagai murid yang setia dan
teladan kaum beriman. Marilah kita berdoa seperti yang didaraskan
dalam doa pembukaan Misa merayakan peringatan ini: “Bapa,
sementara PutraMu ditinggikan di atas salib, Bunda-Nya Maria berdiri di
bawah kaki salib-Nya, menanggung sengsara bersama-Nya. Semoga
Gereja-Mu dipersatukan dengan Kristus dalam Sengsara dan Wafat-Nya,
sehingga beroleh bagian dalam kebangkitan-Nya menuju hidup baru.”
Dengan meneladani Bunda Maria, semoga kita pun dapat
mempersatukan segala penderitaan kita dengan sengsara Kristus, serta
menghadapinya dengan gagah berani, penuh kasih dan kepercayaan.

sumber : “Straight Answers: Mother of Sorrows” by Fr. William P. Saunders;


Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington
Catholic Herald.”

Devosi Tujuh Duka Santa


Perawan Maria
persetujuan resmi Paus Pius VII tahun 1815

PENDAHULUAN
TUJUH RAHMAT
MANFAAT
MADAH STABAT MATER DOLOROSA
DOA-DOA
DOA KEPADA SP MARIA BERDUKACITA
MEDITASI TUJUH DUKA SP MARIA oleh St Alfonsus
Maria de Liguori
PERINGATAN SP MARIA BERDUKACITA

PENDAHULUAN

Tujuan dari Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria adalah mendorong
persatuan dengan sengsara Kristus melalui persatuan dengan sengsara
istimewa yang ditanggung Santa Perawan sebab ia adalah Bunda Allah.
Dengan mempersatukan diri dengan, baik Sengsara Kristus dan
Dukacita BundaNya yang Tersuci, kita masuk ke dalam Hati Yesus dan
menghormatinya dengan terlebih lagi; Yesus dihormati dengan terlebih
lagi sebab kita begitu menghormati BundaNya.

Tujuh Dukacita Santa Perawan Maria diambil dari peristiwa-peristiwa


yang dicatat dalam Kitab Suci. Devosi ini memiliki sejarah yang panjang,
meskipun tidak secara resmi disebarluaskan Gereja hingga awal abad
kesembilanbelas. Sebelum persetujuan resmi Paus Pius VII, Ordo
Servite mendapatkan ijin pada tahun 1668 untuk merayakan Peringatan
Santa Perawan Maria Berdukacita; Ordo Servite banyak berupaya dalam
mempopulerkan Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria.

Pada Abad Pertengahan, Teologi Katolik memusatkan diri terutama pada


Sengsara Kristus; namun demikian, di samping Manusia Sengsara, umat
beriman senantiasa juga merenungkan dukacita Ratu Para Martir.
Devosi kepada Kristus yang Tersalib dan kepada Santa Perawan Maria
Berdukacita berkembang seiring. Di Kalvari, dalam satu pengertian,
terdapat dua altar besar, yang satu adalah Tubuh Yesus, dan yang lain
adalah Hati Maria yang Tak Bernoda. Kristus mempersembahkan Tubuh-
Nya; Bunda Maria mempersembahkan hatinya, jiwanya sendiri. Setiap
tanggal 15 September, sehari sesudah Pesta Salib Suci, Gereja
mengenangkan belas kasih Santa Perawan Maria dalam Peringatan
Santa Perawan Maria Berdukacita; namun tepat juga dalam tahun liturgi,
teristimewa dalam Masa Prapaskah, kita menghormati Dukacita Santa
Perawan Maria.

Maria tidak diceritakan dalam kisah-kisah Injil mengenai Transfigurasi


ataupun masuknya Yesus dengan jaya ke Yerusalem, tetapi ia
diceritakan ada di Kalvari. Maria memahami benar apa Kehendak Allah
dan ia setia serta taat, bekerjasama dengan Putranya sebagai Co-
redemptrix. Ia telah mempersiapkan kurban bagi persembahan dan
sekarang ia mempersembahkan-Nya di altar Kalvari.

Injil Yohanes 19:25 mengatakan, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan
saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” Atas
amanat wasiat Kristus dari atas salib, Bunda Maria dimaklumkan
sebagai Bunda seluruh umat manusia.

Maria mempunyai tiga kekasih dalam Hatinya yang Tak Bernoda: Tuhan,
Putranya, dan jiwa-jiwa. Ia begitu mengasihi dunia hingga ia
menyerahkan Putra tunggalnya. Seperti dikatakan St Bernardus,
“Pedang tidak akan sampai kepada Yesus apabila ia tidak terlebih
dahulu menembusi hati Maria.” Maria mencintai jiwa-jiwa; dan di Kalvari,
setelah menanggung sengsara yang begitu keji, ia memperoleh ganjaran
menjadi bunda segenap umat manusia.

Maria adalah Rasul, sebab ia adalah Co-redemptrix: Lihatlah Maria di


Kalvari, ia berduka dan berdoa; ia berdiri, bagaikan seorang yang
mempersembahkan kurban.
St Ambrosius mengatakan, “Aku membaca bahwa ia berdiri, tetapi aku
tidak membaca bahwa ia menangis.” Ketika Maria menyerahkan Putra
tunggalnya bagi kita, ia menyerahkan semuanya bagi kita. Sebab itu,
dengan tepat dapat dikatakan: “Lihatlah hati ini yang begitu mengasihi
segenap umat manusia hingga tak menyisakan sedikitpun bagi mereka.”

TUJUH RAHMAT DARI DEVOSI INI

1. Aku akan menganugerahkan damai dalam keluarga mereka.


2. Mereka akan mendapatkan pencerahan mengenai misteri-misteri ilahi.
3. Aku akan menghibur mereka dalam kesesakan dan aku akan menyertai
mereka dalam karya mereka.
4. Aku akan memberikan apapun yang mereka minta sepanjang tidak
bertentangan dengan kehendak Putra ilahiku atau menodai kekudusan
jiwa-jiwa mereka.
5. Aku akan membela mereka dalam pertempuran rohani melawan musuh
neraka, dan aku akan melindungi mereka di setiap saat hidup mereka.
6. Aku akan memberikan pertolongan yang kelihatan di saat ajal mereka;
mereka akan memandang wajah Bunda mereka.
7. Aku memperolehkan rahmat ini dari Putra Ilahiku, bahwa mereka yang
menyebarluaskan devosi kepada airmata dan dukacitaku, akan
direnggut langsung dari kehidupan duniawi ini ke kebahagiaan surgawi
yang abadi, sebab segala dosa mereka telah diampuni, dan Putraku
serta aku akan menjadi penghiburan dan sukacita abadi mereka.

MANFAAT DEVOSI KEPADA BUNDA DUKACITA

1. Menyadari nilai suatu jiwa, yang begitu tak ternilai hingga dibayar
dengan Kurban Agung di Kalvari.
2. Giat berkarya bagi jiwa-jiwa, melalui pewartaan, menunaikan kewajiban
hidup, dan berdoa bagi orang-orang berdosa.
3. Berdoa senantiasa, hidup dalam persatuan dengan Tuhan; siapa pun
yang memiliki hati serupa dengan Hati Yesus dan Hati Maria, akan
bekerja demi keselamatan jiwa-jiwa.

Apabila kita berdosa, kita membuat Santa Perawan berduka, sebab dia
adalah sungguh Bunda kita, Bunda rohani kita, dan ia merawat kita
seperti merawat Bayinya, lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Adalah kehendak Yesus bahwa kita merenungkan Sengsara-Nya,


berdevosi kepada-Nya dan memperbaharui duka kita atas dosa. Adalah
kehendak-Nya juga, seperti yang diterangkan dengan jelas oleh Gereja,
bahwa kita merenungkan belas kasih Maria dalam Sengsara-Nya.

Misa Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita memasukkan madah


tradisional, Stabat Mater, yang menurut tradisi syair-syairnya
dimasukkan ke dalam 14 Perhentian Jalan Salib. St Bonaventura
dianggap sebagai pencipta madah ini. Kami menyajikannya di bawah ini
secara keseluruhan baik dalam bahasa Latin maupun terjemahan bebas
dalam bahasa Indonesia. Di akhir renungan Tujuh Duka, akan kita dapati
dua doa kepada Santa Perawan Maria Berdukacita: satu oleh St
Bonaventura dan yang lainnya oleh St. Alfonsus Maria de Liguori.

STABAT MATER DOLOROSA


LATIN INDONESIA

Stabat mater dolorosa Dekat Salib,


iuxta crucem lacrimosa berdiri Bunda yang berduka berurai airmata,
dum pendebat filius dekat dengan Yesus, akhirnya.

cuius animam gementem Walau sukacita jiwa telah sirna,


contristantem et dolentem didera derita, dirundung duka,
pertransivit gladius masih pula sebilah pedang menembusinya.

quam tristis et afflicta fuit Oh betapa pilu dan pedih.


illa benedicta mater unigenti Adakah itu Bunda yang terberkati,
quae maerebat et dolebat et tremebat dari seorang Putra yang tunggal!
dum videbat Wahai ratapan bisu yang tak kunjung henti,
nati poenas incliti wahai mata pudar, yang tak pernah lagi bersinar
dari Putra menawan yang penuh sengsara!

Quis est homo qui no fleret Bunda Kristus yang terkasih memandang,
matrem Christi si videret dalam sengsaranya yang sungguh dahsyat,
in tanto supplicio Siapakah yang lahir dari seorang perempuan yang tidak
Quis non posset contristari akan menangis?
piam matrem contemplari Bunda Kristus yang terkasih merenungkan,
dolentem cum filio piala sengsara yang harus direguknya,
adakah yang tak hendak berbagi sengsara dengannya?

Pro peccatis suae gentis Oleh sebab dosa-dosa bangsa-Nya sendiri,


vidit Iesum in tormentis ia melihat-Nya tergantung dalam kehinaan
et flagellis subditum hingga Ia menyerahkan RohNya;
vidit suum dulcem natum dihancur-binasakan, dinistakan, dikutuk, dihujat;
morientem desolatum ia memandang Putranya yang lemah lembut,
dum emisit spiritum sekujur tubuh-Nya terkoyak payah berlumuran darah
akibat penderaan.
Eia mater fons amoris Wahai, engkau Bunda sumber belas kasih.
Me sentire vim doloris Sentuhlah rohku dari atas sana,
fac ut tecum lugeam jadikan hatiku serupa hatimu.
Fac ut ardeat cor meum Buatlah aku merasa seperti engkau merasa;
in amando Christum Deum buatlah jiwaku bernyala-nyala dan lebur
ut sibi complaceam dalam kasih Kristus, Tuhan-ku.
Sancta mater istud agas Bunda Tersuci, tembusilah hatiku.
crucifixi fige plagas Dalam hatiku, biarlah setiap luka memulihkan
cordi meo valide Juruselamat-ku yang tersalib.
tui nati vulnerati Perkenankanlah aku berbagi bersamamu sengsara-Nya;
tam dignati pro me pati Ia, yang dihukum mati demi dosa-dosaku,
poenas mecum divide Ia, yang wafat disiksa demi aku.
Fac me vere tecum flere Perkenankanlah airmataku berbaur dengan airmatamu,
crucifixo condolere meratapi Dia yang meratapi aku,
donec ego vixero setiap hari sepanjang masa hidupku.
sumber : “The Seven Dolors”; Catholic Tradition; www.catholictradition.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:


“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Tradition”

You might also like