Professional Documents
Culture Documents
Mama : Bunda
Artikel SP Maria
Devosi SP Maria
ARTIKEL SP MARIA
DEVOSI SP MARIA
Angelus
Jadi bagaimana mungkin Bunda Maria menjadi Bunda Allah jika Allah telah
ada sebelum Maria ada? Kalian dapat mengatakan bahwa Maria adalah
pintu masuk bagi Tuhan untuk memasuki dimensi Ruang dan Waktu. Yesus
memiliki dua sifat. Yesus sekaligus adalah Allah dan Manusia. Bunda Maria
adalah Bunda dari Manusia yang adalah Allah. Sama seperti sanaknya,
Elizabeth, yang adalah bunda dari orang yang menjadi Pembaptis.
Telah sejak dari abad ketiga, seperti dapat disimpulkan dari suatu
kesaksian tertulis kuno, umat Kristiani Mesir telah mendaraskan doa ini
kepada Bunda Maria, “Kami bergegas datang untuk mohon
perlindunganmu, ya Bunda Allah yang kudus, janganlah kiranya engkau
mengabaikan permohonan dalam kesesakan kami, tetapi bebaskanlah
kami dari segala yang jahat, ya Santa Perawan yang mulia” (dari Buku
Ibadat Harian). Istilah Theotokos muncul secara eksplisit untuk pertama
kalinya dalam kesaksian kuno ini.
sumber : “Church Proclaims Mary 'Mother of God'” Pope John Paul II; Copyright ©
1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
dari:
KEMULIAAN MARIA
Dosa, ketika merenggut rahmat ilahi dari jiwa kita, juga merenggut hidup
darinya. Sebab itu, ketika jiwa kita mati dalam dosa dan sengsara,
Yesus, Penebus kita, datang dengan kerahiman dan kasih yang tak
terhingga, guna memulihkan hidup yang hilang itu bagi kita dengan
wafat-Nya di atas salib, seperti yang Ia Sendiri nyatakan, “Aku datang,
supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan” (Yoh 10:10). Dalam segala kelimpahan, sebab, seperti
diajarkan para teolog, Yesus Kristus dengan karya penebusan-Nya
memperolehkan bagi kita berkat dan rahmat yang jauh lebih besar
daripada luka yang ditimbulkan Adam atas kita dengan dosanya; Ia
memulihkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan demikian menjadi
Bapa bagi jiwa kita, di bawah hukum rahmat yang baru, seperti
dinubuatkan nabi Yesaya, “Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes 9:5).
Jika Yesus adalah Bapa dari jiwa kita, maka Maria adalah bundanya,
sebab dengan memberikan Yesus kepada kita, ia memberikan hidup
sejati kepada kita, dan dengan mempersembahkan hidup Putranya di
atas Kalvari demi keselamatan kita, ia melahirkan kita ke dalam hidup
rahmat ilahi.
Dalam dua peristiwa yang berbeda, Bunda Maria menjadi bunda rohani
kita. Pertama kali ketika ia didapati layak mengandung Putra Allah dalam
rahimnya yang perawan, demikian dikatakan Albertus Magnus. St.
Bernardinus dari Siena mengajarkan bahwa ketika Santa Perawan
Tersuci, pada waktu malaikat menyampaikan kabar sukacita,
menyatakan kesediaannya untuk menjadi bunda dari Sabda yang kekal,
kesediaan yang dinantikan-Nya sebelum menjadikan Diri-Nya Putranya,
Bunda Maria dengan tindakannya ini memohonkan keselamatan kita
kepada Tuhan. Begitu khusuk ia dalam memohonkannya, hingga sejak
saat itulah ia, seolah-olah, mengandung kita dalam rahimnya, sebagai
seorang bunda yang paling penuh kasih sayang.
Kedua kalinya Bunda Maria melahirkan kita dalam rahmat adalah ketika
di Kalvari ia mempersembahkan kepada Bapa yang kekal dengan
dukacita yang begitu pedih di hati, hidup Putranya terkasih demi
keselamatan kita. Sebab itu, St. Agustinus menegaskan, dengan
bekerjasama dengan Kristus dalam kelahiran umat beriman ke dalam
hidup rahmat, ia dengan kerjasamanya ini juga menjadi bunda rohani
dari mereka semua yang adalah anggota-anggota Kepala, yaitu Yesus
Kristus. Inilah juga makna dari apa yang dikatakan mengenai Santa
Perawan dalam Kidung Agung, “aku dijadikan mereka penjaga kebun-
kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga” (1:6).
Sebab itu, dengarkanlah bunda kita yang memanggil kita dan berkata,
“Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari” (Ams 9;4). Kata
“Mama,” senantiasa ada dalam bibir anak-anak kecil, dan dalam segala
bahaya dan dalam segala ketakutan, mereka akan berteriak, “Mama!
Mama!” Bunda Maria yang termanis, bunda yang paling penuh kasih
sayang, itulah kerinduanmu yang sesungguhnya, yaitu agar kami
menjadi anak-anak kecil yang senantiasa menyerukan namamu dalam
segala bahaya, serta senantiasa mohon pertolongan darimu, oleh sebab
engkau rindu menolong serta menyelamatkan kami, sebagaimana
engkau telah menyelamatkan segenap anak-anakmu yang berlindung
kepadamu.
Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara
manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah
mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan
mereka satu dengan-Nya. Sebab, kepada mereka yang menerima-Nya, Ia
memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.
Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik - tubuh dan kepala -
adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan
dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala
dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya,
Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu
perawan, tetapi lebih dari satu perawan.
sumber : “Mary and the Church” from a sermon by Blessed Isaac of Stella
Ada suatu ayat dalam Injil yang mungkin membuat sebagian besar dari
kita terperanjat, sehingga diperlukan penjelasan. Ketika Yesus sedang
berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan
berkata kepada-Nya, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung
Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” (Luk 11:27). Yesus
membenarkan, tetapi bukannya tinggal dalam pujian perempuan ini, Ia
lalu mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Yesus berbicara tentang
kebahagiaan yang lebih besar. Kata-Nya, “Yang berbahagia ialah mereka
yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” Sekarang,
perkataan Yesus ini perlu kita pahami dengan baik, sebab banyak orang
yang sekarang ini beranggapan bahwa perkataan tersebut dimaksudkan
untuk merendahkan kemuliaan dan kebahagiaan Santa Perawan Maria
Tersuci; seolah-olah Yesus telah mengatakan, “Bunda-Ku berbahagia,
tetapi hamba-hamba-Ku yang sejati lebih berbahagia daripadanya.” Oleh
sebab itu, aku akan menyampaikan sedikit komentar atas ayat ini, dan
dengan ketepatan yang sepantasnya, sebab kita baru saja melewatkan
pesta Bunda Maria, hari raya di mana kita mengenangkan Kabar
Sukacita, yaitu, kunjungan Malaikat Gabriel kepadanya, dan
perkandungan ajaib Putra Allah, Tuhan dan Juruselamatnya, dalam
rahimnya.
Pertama, yang segera muncul dari apa yang saya katakan adalah ini:
bahwa selama berabad-abad para wanita Yahudi masing-masing
mengharapkan untuk menjadi ibunda sang Kristus yang dinantikan, dan
tampaknya mereka tidak menghubungkannya dengan kekudusan yang
lebih tinggi. Sebab itu, mereka begitu merindukan pernikahan; sebab itu
pernikahan dianggap sebagai suatu kehormatan yang istimewa oleh
mereka. Sekarang, pernikahan merupakan suatu penetapan Tuhan, dan
Kristus menjadikannya suatu sakramen - namun demikian, ada sesuatu
yang lebih tinggi, dan orang Yahudi tidak memahaminya. Seluruh
gagasan mereka adalah menghubungkan agama dengan kesenangan-
kesenangan dunia ini. Mereka tidak tahu, sesungguhnya, apa itu
merelakan dunia ini demi yang akan datang. Mereka tidak mengerti
bahwa kemiskinan lebih baik dari kekayaan, nama buruk daripada
kehormatan, puasa dan matiraga daripada pesta-pora, dan keperawanan
daripada perkawinan. Dan karenanya, ketika perempuan dari antara
orang banyak itu berseru mengenai kebahagiaan rahim yang telah
mengandung dan susu yang telah menyusui-Nya, Ia mengajarkan
kepada perempuan itu dan kepada semua yang mendengarkan-Nya
bahwa jiwa lebih berharga daripada raga, dan bahwa bersatu dengan-
Nya dalam Roh, lebih berharga daripada bersatu dengan-Nya dalam
daging.
Itu satu alasan. Alasan yang lain lebih menarik. Kalian tahu bahwa
Juruselamat kita selama tigapuluh tahun pertama hidup-Nya di dunia
tinggal di bawah satu atap dengan Bunda-Nya. Ketika Ia kembali dari
Yerusalem pada usia duabelas tahun dengan Bunda-Nya dan St Yosef,
dengan jelas dikatakan dalam Injil bahwa Ia tetap hidup dalam asuhan
mereka. Pernyataan ini merupakan pernyataan tegas, tetapi asuhan ini,
yang adalah kehidupan keluarga yang lazim, tidak untuk selamanya.
Bahkan dalam peristiwa di mana penginjil mengatakan bahwa Ia hidup
dalam asuhan mereka, Ia telah mengatakan dan melakukan hal yang
dengan tegas menyampaikan kepada mereka bahwa Ia mempunyai
tugas kewajiban yang lain. Sebab Ia meninggalkan mereka dan tinggal di
Bait Allah di antara para alim ulama, dan ketika mereka menunjukkan
ketercengangan mereka, Ia menjawab, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku
harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Ini, menurutku, merupakan
suatu antisipasi akan masa pewartaan-Nya, saat ketika Ia harus
meninggalkan rumah-Nya. Selama tigapuluh tahun Ia tinggal di sana,
tetapi sementara Ia dengan tekun menjalankan tugas kewajiban-Nya
dalam rumah tangga yang menjadi tanggung-jawab-Nya, Ia begitu
merindukan karya Bapa-Nya, saat ketika tibalah waktu bagi-Nya untuk
melaksanakan kehendak Bapa. Ketika saat perutusan-Nya tiba, Ia
meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, dan meskipun Ia sangat
mengasihinya, Ia tak mengindahkannya.
Dalam Perjanjian Lama, kaum Lewi dipuji karena mereka tidak kenal lagi
ayah ataupun ibu mereka ketika tugas dari Tuhan memanggil. Tentang
mereka dikatakan sebagai “berkata tentang ayahnya dan tentang
ibunya: aku tidak mengindahkan mereka; ia yang tidak mau kenal
saudara-saudaranya dan acuh tak acuh terhadap anak-anaknya”
(Ulangan 33). Jika demikian perilaku kaum imam di bawah Hukum,
betapa terlebih lagi yang dituntut dari Imam agung sejati dari Perjanjian
Baru guna memberikan teladan keutamaan tersebut yang didapati serta
diganjari dalam diri kaum Lewi. Ia Sendiri juga telah mengatakan:
“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak
layak bagi-Ku.” Dan Ia mengatakan kepada kita bahwa “setiap orang
yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki
atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau
ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan
memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19). Oleh sebab itu, Ia yang
menetapkan perintah haruslah memberikan teladan dan seperti telah
dikatakan-Nya kepada para pengikut-Nya untuk meninggalkan segala
sesuatu yang mereka miliki demi Kerajaan Allah, Diri-Nya Sendiri harus
melakukan segala yang Ia dapat, meninggalkan segala yang Ia miliki,
meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, ketika tiba saatnya Ia harus
mewartakan Injil.
sumber : “Our Lady In The Gospel” by Cardinal John Henry Newman; Copyright ©
1997 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1997; www.cin.org
Salah satu hal yang khas yang membedakan kita, umat Katolik, dari
saudara-saudari kita yang Protestan adalah cinta dan penghormatan yang
kita persembahkan kepada Bunda Yesus. Kita percaya bahwa Maria,
sebagai Bunda Allah, sudah selayaknya memperoleh penghormatan, devosi
dan penghargaan yang sangat tinggi. Salah satu dogma (dogma = ajaran
resmi gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus)
Gereja Katolik mengenai Bunda Maria adalah Dogma Dikandung Tanpa
Dosa. Pestanya dirayakan setiap tanggal 8 Desember. Masih banyak orang
Katolik yang belum paham benar mengenai dogma ini. Jika kalian bertanya
kepada beberapa orang Katolik, "Apa itu Dogma Dikandung Tanpa Dosa?",
maka sebagian besar dari mereka akan menjawab, "Yaitu bahwa Yesus
dikandung dalam rahim Santa Perawan Maria tanpa dosa, atau tanpa
seorang bapa manusia." Jawaban demikian adalah jawaban yang salah yang
perlu dibetulkan. Ya, tentu saja Yesus dikandung tanpa dosa karena Ia
adalah Allah Manusia. Tetapi Dikandung Tanpa Dosa adalah dogma yang
menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung dalam rahim ibunya, Santa
Anna, tanpa dosa asal. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia yang
dianugerahi karunia ini. Bunda Maria memperoleh keistimewaan ini karena
ia akan menjadi bejana yang kudus dimana Yesus, Putera Allah, akan masuk
ke dunia melaluinya. Oleh karena itu, Bunda Maria sendiri harus
dihindarkan dari dosa asal. Sejak dari awal mula kehadirannya, Bunda
Maria senantiasa kudus dan suci - betul-betul"penuh rahmat". Kita
menggunakan kata-kata ini ketika kita menyapa Maria dalam doa Salam
Maria, tetapi banyak orang yang tidak meluangkan waktu untuk memikirkan
apa arti sebenarnya kata-kata ini. Ketika Malaikat Gabriel menampakkan
diri kepada Bunda Maria untuk menyampaikan kabar sukacita, dialah yang
pertama kali menyapa Maria dengan gelarnya yang penting ini,
Seperti kita ketahui, Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang
diciptakan Tuhan. Tuhan memberikan kepada mereka apa saja yang mereka
inginkan di Firdaus, Taman Eden. Tetapi Allah berfirman bahwa mereka
tidak diperbolehkan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat. Lucifer, raja iblis, datang kepada mereka dan
membujuk mereka makan buah pohon tersebut. Adam dan Hawa memakan
buah itu; mereka tidak taat kepada Tuhan dan karenanya mereka diusir
dari Firdaus. Oleh karena dosa pertama itu, semua manusia yang dilahirkan
sesudah Adam dan Hawa mewarisi apa yang disebut "dosa asal". Itulah
sebabnya, ketika seorang bayi lahir, ia segera dibaptis supaya dosa asal itu
dibersihan dari jiwanya sehingga ia menjadi kudus dan suci, menjadi anak
Allah.
Diangkat ke Surga
(Maria Assumpta)
15 AGUSTUS : HR SP MARIA
DIANGKAT KE SURGA
Kaum Protestan tidak setuju dengan dogma Santa Perawan Maria Diangkat
ke Surga, meskipun mereka percaya bahwa kelak kita semua 'akan
diangkat bersama-sama' dan 'menyongsong Tuhan di angkasa' (1
Tesalonika 4:17). Sebaliknya, umat Katolik percaya bahwa Maria diberi
keistimewaan untuk lebih dulu diangkat ke surga. Dan mengapakah ia tidak
boleh menerima keistimewaan seperti itu, tubuhnya - yang merupakan
bejana kudus bagi bayi Yesus - dihindarkan dari kerusakan duniawi?
Tentunya kita masih ingat dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa
Dosa, yaitu bahwa Tuhan menciptakan Maria dalam rahim ibunya, Santa
Anna, tanpa noda dosa asal. Tuhan menghendaki demikian supaya Maria
dapat mengandung Yesus, yang adalah Putera Allah. Pada akhir hidup Maria
di dunia, Tuhan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang istimewa
baginya. Tubuhnya tidak dimakamkan, tetapi Tuhan mengangkat tubuhnya
ke surga. Inilah yang disebut Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Bunda Maria diangkat jiwa dan raganya ke surga agar ia dapat senantiasa
bersama dengan Yesus. Sungguh suatu karunia yang amat istimewa yang
dianugerahkan Tuhan kepada Maria, karena Tuhan amat mengasihinya.
Sekarang Maria adalah Ratu Surga dan Bumi.
Yohanes 20:30 "Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di
depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini."
Suatu bukti lain yang menguatkan bahwa Yesus tidak memiliki saudara dan
saudari kandung tampak dari ayat-ayat Kitab Suci yang mengisahkan saat-
saat menjelang ajal-Nya:
Yohanes 19:25-27 "Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara
ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat
ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada
ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-
Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam
rumahnya."
Jika saja benar bahwa Yesus memiliki saudara dan saudari kandung, maka
sesuai adat orang Yahudi, tentulah Yesus menyerahkan pemeliharaan ibu-
Nya kepada mereka. Tetapi yang terjadi ialah Yesus menyerahkan bunda-
Nya kepada St. Yohanes Rasul, yang sama sekali tidak ada hubungan darah
dengan-Nya. Ini adalah suatu bukti nyata bahwa Yesus tidak memiliki
saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan. Karena jika ada
saudara dan saudari kandung-Nya, tentulah Yesus meminta mereka untuk
merawat bunda-Nya setelah Ia wafat.
Perempuan Berselubungkan
Matahari
oleh: P. William P. Saunders *
Setelah gambaran tentang surga, bait suci dan tabut perjanjian, ayat
selanjutnya menggambarkan “perempuan berselubungkan matahari.”
Bunda Maria adalah Bunda Yesus, yang dikandungnya dari kuasa Roh
Kudus. Seperti dimaklumkan Malaikat Agung Gabriel, “Roh Kudus akan
turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau;
sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak
Allah.” (Luk 1:35). Hubungan antara Bunda Maria dan Bait Suci, tempat
yang mahakudus dan tabut perjanjian menjadi jelas.
Patut diingat juga bahwa ketika St. Yohanes mendapat penglihatan ini,
tabut perjanjian telah hilang selama lebih dari 500 tahun. Nabi Yeremia
telah menyembunyikannya guna mencegah tabut perjanjian dijarah dan
dinajiskan oleh bangsa Babilon, dan menyatakan, “Tempat itu harus
tetap rahasia sampai Allah mengumpulkan kembali umat serta
mengasihaninya lagi.” (2 Mak 2:7). Dalam penglihatan ini, St. Yohanes
melihat tabut perjanjian, dan kemudian ia melihat Bunda Maria. Bunda
Maria membawa dalam rahimnya, Kristus, yang adalah Sabda Allah,
Imam Agung yang sejati dan Roti Hidup. Sungguh, Bunda Maria adalah
Tabut Perjanjian yang baru dari Perjanjian Baru, di mana Kristus sebagai
imam akan menumpahkan darah-Nya dalam kurban salib.
Melalui Hawa yang pertama, datanglah maut dan pintu gerbang surga
ditutup; melalui Maria, datanglah kehidupan kekal yang dimenangkan
oleh karya keselamatan Yesus. Hawa pertama disebut “ibu semua yang
hidup,” Bunda Maria adalah sungguh Bunda dari mereka semua yang
hidup secara rohani dalam keadaan rahmat.
Dan yang terakhir, setelah jatuhnya manusia ke dalam dosa, Tuhan
bersabda kepada ular, setan, “Aku akan mengadakan permusuhan
antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan
keturunannya ….” (Kej 3;15). Dalam Kitab Wahyu, setan digambarkan
sebagai seekor naga. Kata Ibrani `nahash' yang dipergunakan dalam
Kitab Kejadian dapat berarti baik ular maupun naga. Juga, permusuhan
antara Maria dan setan, antara keturunannya dan keturunan setan kita
temukan dalam Kitab Wahyu. Gambaran Hawa Baru dihadirkan pada
masa awal Gereja oleh St. Yustinus Martir, St. Ireneus dari Lyon,
Tertulianus, St. Agustinus, St. Yohanes dari Damaskus, sekedar
beberapa dari antara mereka, dan juga dipertegas dalam Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II, Bab VIII, yang berjudul,
“Santa Perawan Maria Bunda Allah”.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Woman Clothed with the Sun” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Sebab itu, kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga
pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara
melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi
menyelamatkan kita dari dosa.
Tetapi, gelar dan peran Mediatrix ini, sedikit pun tidak menyuramkan
atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60).
Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri,
dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan
Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada
Kristus. Konsili Vatikan menyatakan, “Pengantara kita hanya ada satu,
menurut sabda Rasul: 'Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus
Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua
manusia' (1 Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat
manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan
Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya.
Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia
tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan
ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada
pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba
segala kekuatannya dari padanya.” (LG 60). Bahkan dalam pesta
perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang
dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” karena ia tahu apa pun yang
Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria
mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
dari:
KEMULIAAN MARIA
RISALAT IX
Dukacita Maria
Dukacita Pertama: Nubuat Nabi Simeon
Dukacita Kedua: Melarikan Yesus ke Mesir
Dukacita Ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah
Dukacita Keempat: Perjumpaan Bunda Maria dengan
Yesus saat Ia Menjalani Hukuman Mati
Dukacita Kelima: Yesus Wafat
Dukacita Keenam: Lambung Yesus Ditikam dan
Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib
Dukacita Ketujuh: Yesus Dimakamkan
sumber : "Of the Dolours of Mary" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996
Catholic Information Network (CIN) - February 6, 1996; www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menye Dukacita Maria
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Point kedua. Ah, Bunda Maria bukan hanya Ratu Para Martir oleh karena
kemartirannya jauh lebih lama dari yang lainnya, tetapi juga karena
kemartirannya jauh lebih dahsyat dari segala kemartiran lainnya. Namun
demikian, siapa gerangan yang dapat mengukur kedahsyatannya? Nabi
Yeremia tampaknya tak dapat menemukan dengan siapa kiranya ia
dapat membandingkan Bunda Dukacita ini, ketika ia memikirkan
dukacitanya yang begitu hebat saat kematian Putranya, “Apa yang
dapat kunyatakan kepadamu, dengan apa aku dapat menyamakan
engkau, ya puteri Yerusalem? Dengan apa aku dapat membandingkan
engkau untuk dihibur, ya dara, puteri Sion? Karena luas bagaikan laut
reruntuhanmu; siapa yang akan memulihkan engkau?” Kardinal Hugo,
dalam sebuah uraian menanggapi pernyataan tersebut mengatakan “Oh
Santa Perawan, bagaikan laut kepahitan melampaui segala kepahitan,
demikian juga dukacitamu melampaui segala dukacita.” St. Anselmus
menegaskan, “andai saja Tuhan tidak memelihara hidup Maria dengan
mukjizat istimewa di setiap saat kehidupannya, dukacitanya yang begitu
dahsyat itu pastilah telah mengakibatkan kematiannya”. Bernardinus
dari Siena lebih jauh mengatakan, “dukacita Maria demikianlah dahsyat,
hingga jika saja dukacita itu dibagi-bagikan di antara manusia, masing-
masing bagian sudah cukup untuk menyebabkan kematian seketika.”
Jadi, semakin para martir kudus itu mencintai Yesus, semakin sedikit
mereka merasakan penderitaan dan kematian. Bayangan akan sengsara
Yesus yang tersalib saja sudah cukup untuk menjadi penghiburan bagi
mereka. Tetapi, apakah Bunda Dukacita kita juga terhibur oleh cintanya
kepada Putranya, dan apakah bayangan akan sengsara-Nya menghibur
hatinya? Ah, tidak! Justru Putranya yang menderita sengsara itulah
yang menjadi sumber dukacitanya, dan cintanya pada Putranya adalah
satu-satunya penganiayanya yang paling kejam. Kemartiran Maria
sepenuhnya adalah menyaksikan dan berbelas kasihan terhadap
Putranya yang terkasih dan yang tak berdosa, yang menderita begitu
hebat. Jadi, semakin besar cintanya kepada Putranya, semakin pilu dan
tak terhiburkan dukacitanya. “Karena luas bagaikan laut reruntuhanmu;
siapa yang akan memulihkan engkau?” Ah, Ratu Surgawi, cinta telah
meringankan penderitaan para martir lainnya serta memulihkan luka-
luka mereka; tetapi siapakah gerangan yang akan meringankan
dukacitamu yang pahit? Siapakah gerangan yang akan memulihkan
luka-luka keji yang mengoyak hatimu? “Siapa yang akan memulihkan
engkau?” Sebab, Putra yang dapat menjadi sumber penghiburan
bagimu, oleh karena sengsara-Nya, justru telah menjadi sumber
dukacitamu, dan cinta kasih yang engkau limpahkan kepada-Nya
sepenuhnya merupakan penyebab kemartiranmu. Jadi, seperti para
martir lain, demikian menurut Diez, semuanya dilambangkan dengan
alat-alat penyiksa mereka - St. Paulus dengan pedang, St. Andreas
dengan salib, St. Laurensius dengan alat pemanggang - Maria
dilambangkan dengan jenasah Putranya dalam pelukannya. Sebab
Yesus Sendiri-lah, dan hanya Ia sendiri, yang menjadi penyebab
kemartiran Maria, oleh karena begitu besar kasihnya kepada Putra-nya.
Richard dari St. Victor menegaskan dalam beberapa kata segala apa
yang telah aku katakan: “Bagi para martir lain, semakin besar cinta
mereka kepada Yesus akan semakin meringankan sengsara kemartiran
mereka; tetapi bagi Santa Perawan, semakin besar cintanya kepada
Yesus, semakin dahsyat sengsaranya dan semakin kejam
kemartirannya.”
Sebagai bukti atas janji-Nya ini, marilah kita lihat contoh berikut ini,
bagaimana ampuhnya devosi kepada dukacita Maria dalam membantu
jiwa memperoleh keselamatan kekal.
TELADAN
DOA
sumber : "Of the Dolours of Mary" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996
Catholic Information Network (CIN) - February 6, 1996; www.cin.org
Oleh sebab Yesus, Raja kita, dan Bunda-Nya yang Terkudus, tidak
menolak, demi kasih kepada kita, untuk menderita sengsara yang
demikian kejam sepanjang hidup mereka, maka pantaslah jika kita,
sekurang-kurangnya, tidak mengeluh jika harus menderita sesuatu.
Yesus yang tersalib, suatu ketika menampakkan diri kepada Sr
Magdalena Orsini, seorang biarawati Dominikan yang telah lama
menderita karena suatu pencobaan berat. Yesus memberinya semangat
untuk tetap, dengan sarana penderitaannya itu, bersama-Nya di salib. Sr
Magdalena menjawab dengan mengeluh, “Ya Tuhan, Engkau menderita
sengsara di atas salib hanya selama tiga jam saja, sementara aku
menanggung sengsaraku selama bertahun-tahun.” Sang Penebus
kemudian menjawab, “Ah, jiwa yang bodoh, apakah yang engkau
katakan? sejak saat pertama perkandungan-Ku, Aku menderita dalam
hati-Ku segala yang kelak Aku derita sementara Aku meregang nyawa di
atas salib.” Maka, jika kita juga menderita dan mengeluh, marilah kita
membayangkan Yesus dan Bunda-Nya Maria, sambil mengucapkan kata-
kata yang sama kepada diri kita sendiri.
TELADAN
DOA
Ya, Bunda Maria, bukan hanya sebilah pedang saja yang aku tikamkan
pada hatimu, melainkan aku menikamkannya sebanyak dosa-dosa yang
aku lakukan. Ah Bunda, bukan engkau yang tanpa dosa yang
seharusnya menanggung segala derita itu, melainkan aku, yang
bersalah atas begitu banyak dosa. Tetapi oleh karena engkau senantiasa
rela hati menderita begitu banyak demi aku, ya Bunda, demi jasa-
jasamu, perolehkanlah bagiku rahmat sesal mendalam atas dosa-
dosaku, dan ketekunan dalam menghadapi pencobaan-pencobaan
hidup. Rahmat-rahmat itu akan senantiasa menjadi terang bagi segala
kelemahan dan kekuranganku; oleh sebab aku seringkali lebih pantas
mendapatkan neraka. Amin.
sumber : "On the First Dolour, Of St. Simeon's Prophesy" by St. Alphonsus Liguori;
Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996;
www.cin.org
Bagaikan seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu
bersamanya kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak
panah yang telah melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah
nubuat memilukan Nabi Simeon, seperti yang telah kita renungkan
dalam dukacita pertama, Bunda Maria senantiasa membawa dukacita
sertanya oleh karena kenangan terus-menerus akan sengsara Putranya.
Hailgrino, menjelaskan baris bait ini, “Rambut di kepalamu, berwarna
ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna
ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan
sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari
luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya
Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara
Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau
sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan
demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria;
semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan
kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.
TELADAN
DOA
sumber : "On the Second Dolour, Of the Flight of Jesus to Egypt" by St. Alphonsus
Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996;
www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Ketiga
Ia, yang terlahir buta, merasa menderita karena tak dapat melihat terang;
tetapi ia, yang dulu biasa menikmati terang dan sekarang tak lagi dapat
menikmatinya karena menjadi buta, merasa jauh lebih menderita.
Demikian juga halnya dengan jiwa-jiwa yang malang, yang dibutakan
oleh gemerlapnya dunia ini, hanya sedikit mengenal Tuhan, mereka
menderita, tetapi sedikit saja, saat tak dapat menemukan-Nya. Tetapi,
sebaliknya, ia yang diterangi oleh terang surgawi, telah menjadi layak
karena kasih untuk menikmati kehadiran mesra yang Maha Pengasih. Ya
Tuhan, betapa pahit dukacitanya apabila ia mendapati dirinya terpisah
daripada-Mu! Sekarang, mari kita lihat betapa pastilah Bunda Maria
menderita karena pedang dukacita ketiga yang menembus jiwanya, yaitu
saat kehilangan Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari
kehadiran-Nya yang amat mempesona, sementara ia biasa
menikmatinya.
St Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan
St Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah
pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun,
Bunda Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa
sepengetahuannya tinggal di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung
menyadari hal itu, ia beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang
lainnya. Setibanya di Nazaret, ia mencari Putranya, tetapi tidak
mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke Yerusalem untuk mencari-Nya,
dan setelah tiga hari barulah ia mendapatkan-Nya. Sekarang marilah kita
merenungkan betapa gelisah Bunda yang berduka ini selama tiga hari
sementara ia mencari-cari Putranya. Bersama pengantin dalam Kidung
Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah
besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga
menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai
saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?”
“Yesus-ku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan
untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa
jantung hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-
kata ini bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi
makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata
kepadaku: `Di mana Allahmu?'” Sebab itu, Pelbart, bukan tanpa alasan
mengatakan bahwa `pada malam-malam itu Bunda yang berduka tidak
dapat memejamkan mata; terus-menerus ia meneteskan airmata,
memohon dengan sangat kepada Tuhan agar Ia menolongnya
menemukan Putranya.” Seringkali, selama masa itu, menurut St
Bernardus, Bunda Maria memanggil Putranya dengan menggunakan
kata-kata pengantin dalam bait ini, “Tunjukkanlah kepadaku, jantung
hatiku, di mana engkau menggembalakan domba, di manakah engkau
pada petang hari, agar aku segera pergi mencari.” Putraku, katakan di
manakah Engkau berada, agar aku tak lagi berkeliling mencari Engkau
dengan sia-sia.
Sebab itu, hanya dalam dukacita ini saja Bunda Maria mengeluh; secara
halus ditegurnya Yesus setelah ia menemukan-Nya, “Nak, mengapakah
Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan
cemas mencari Engkau.” Dengan kata-katanya ini Bunda Maria tidak
bermaksud mencela Yesus, seperti dituduhkan oleh mereka yang sesat,
melainkan hanya bermaksud mengungkapkan kepada-Nya kesedihan,
karena kasihnya yang mendalam kepada-Nya, yang ia alami selama
ketidakhadiran-Nya. “Bukan suatu celaan,” kata Denis Carthusian,
“melainkan suatu protes kasih.” Singkat kata, pedang dukacita ini
begitu kejam menembus hati Santa Perawan Tersuci. Beata Benvenuta,
rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan Bunda Tersuci dalam
dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar kerinduannya
dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan Bayi
Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati
kehadiran Kanak-kanak yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia
dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia
mohon pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya,
agar dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari
kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan,
“Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari
yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku.”
Lagipula, di dunia ini Bunda Maria tidak mencari yang lain selain Yesus.
Ayub tidak mengutuk ketika ia kehilangan segala miliknya di dunia:
kekayaan, anak-anak, kesehatan, kehormatan, dan bahkan diturunkan
dari tahta ke atas abu; tetapi karena Tuhan bersamanya, ia tetap
menerima keadaannya. St Agustinus menyatakan, “ia telah kehilangan
segala apa yang Tuhan berikan kepadanya, tetapi ia masih memiliki
Tuhan Sendiri.” Betapa menyedihkan dan menderitanya jiwa-jiwa yang
kehilangan Tuhan. Jika Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya
selama tiga hari, betapa terlebih lagi selayaknya para pendosa
menangis, mereka yang telah kehilangan rahmat Allah, dan kepadanya
Tuhan mengatakan, “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah
Allahmu.” Inilah akibat dosa; dosa memisahkan jiwa dari Tuhan, “yang
merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala
kejahatanmu.” Jadi, jika orang-orang berdosa memiliki segala kekayaan
dunia, tetapi kehilangan Tuhan, maka segalanya, bahkan yang ada di
dunia ini, menjadi sia-sia dan menjadi sumber penderitaan mereka,
seperti diakui Salomo, “lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan
usaha menjaring angin.” Tetapi kemalangan terbesar dari jiwa-jiwa yang
buta ini adalah, demikian menurut St Agustinus, “apabila mereka
kehilangan kapak, pastilah mereka pergi mencarinya; apabila mereka
kehiangan domba, pastilah mereka berusaha keras mencarinya; apabila
mereka kehilangan binatang beban, mereka tak dapat beristirahat; tetapi
ketika mereka kehilangan Tuhan mereka, yang adalah Yang Mahabaik,
mereka makan, minum dan beristirahat.”
TELADAN
DOA
sumber : "On the Third Dolour, Of the Loss of Jesus in the Temple" by St. Alphonsus
Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - March 3, 1996;
www.cin.org
Bunda Maria pergi bersama St Yohanes, dan dari darah yang tercecer di
tanah, ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda
Maria kepada St Brigitta, “Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia
telah lewat. Sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-
Nya.” St Bonaventura menggambarkan Bunda yang berduka mengambil
jalan pintas, menanti di sudut jalan agar dapat berjumpa dengan
Putranya yang sengsara saat Ia lewat. “Bunda yang paling berduka,”
kata St Bernardus, “berjuma dengan Putranya yang paling sengsara.”
Sementara Bunda Maria menanti di sudut jalan, betapa banyak ia
mendengar apa yang dikatakan orang-orang Yahudi, yang segera
mengenalinya, segala kata yang menyudutkan Putranya terkasih, dan
mungkin bahkan kata-kata yang mencela dirinya juga.
TELADAN
DOA
Bundaku yang berduka, demi dukacita luar biasa yang engkau derita
saat menyaksikan Putramu Yesus yang terkasih digiring menuju
pembantaian, perolehkanlah bagiku rahmat agar aku juga senantiasa
tekun dalam memikul salib-salib yang Tuhan anugerahkan kepadaku.
Alangkah bahagianya aku, seandainya aku tahu bagaimana
menyertaimu dengan salibku hingga ajal. Engkau bersama Putramu
Yesus - kalian berdua yang sama sekali tak berdosa - telah memikul
salib yang jauh lebih berat; layakkah aku, seorang pendosa, yang
pantas mendapatkan neraka, menolak memikul salibku? Ah, Santa
Perawan yang Dikandung Tanpa Dosa, darimu aku berharap
memperoleh pertolongan dalam memikul semua salibku dengan tekun.
Amin.
sumber : "On the Fourth Dolour On the Meeting of Mary with Jesus, when He was
Going to Death" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information
Network (CIN) - March 20, 1996; www.cin.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic
Information Network”
Dukacita Kelima
Yesus Wafat
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Segera setelah Penebus kita yang sengsara tiba di Bukit Kalvari, para
algojo menanggalkan pakaian-Nya, dan menembusi tangan-tangan serta
kaki-kaki-Nya dengan “bukan paku-paku yang tajam, melainkan paku-
paku yang tumpul,” seperti dikatakan St Bernardus, agar lebih
menyiksa-Nya, mereka memaku-Nya pada kayu salib. Sesudah
menyalibkan-Nya, mereka memancangkan salib lalu membiarkan-Nya
mati. Para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan
Maria. Ia kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di
saat ajal, “Aku tidak meninggalkan-Nya,” demikian Santa Perawan
mengatakan kepada St Brigitta, “melainkan tinggal dekat kaki salib-
Nya.” “Tetapi, apakah gunanya bagimu, ya Bunda,” kata St Bonaventura,
“pergi ke Kalvari dan menyaksikan Putramu wafat? Tidakkah rasa malu
mencegah engkau pergi, sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkau
adalah Bunda-Nya. Setidak-tidaknya rasa ngeri yang mencekam
menyaksikan kejahatan yang sedemikian, penyaliban Tuhan oleh
makhluk ciptaan-Nya sendiri, mencegah engkau pergi ke sana.” Tetapi,
santo yang sama menjawab, “Ah, hatimu tidak memikirkan dukacitanya
sendiri, melainkan sengsara dan wafat Putramu terkasih,” dan oleh
sebab itulah engkau lebih suka hadir, setidaknya untuk berbelas kasihan
kepada-Nya. “Ah, Bunda yang sejati,” kata Abbas William, “Bunda yang
paling penuh cinta kasih, yang bahkan ngeri kematian tak dapat
memisahkanmu dari Putramu terkasih.” Tetapi, ya Tuhan, betapa suatu
pemandangan yang memilukan melihat Putra menanggung sengsara di
atas salib sementara di kaki salib Bunda yang berduka menanggung
segala siksa aniaya yang diderita Putranya! Dengarlah kata-kata yang
diungkapkan Bunda Maria kepada St Brigitta mengenai dukacita luar
biasa saat menyaksikan Putranya meregang nyawa di salib, “Yesusku
terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam
sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah
tertutup dan tak bercahaya; bibir-nya bengkak dan mulut-Nya
ternganga; pipinya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut
wajah-Nya sengsara: kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam
oleh darah, lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya
kaku, sekujur tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah.”
Segala sengsara Yesus ini adalah juga sengsara Maria, “setiap aniaya
yang diderita tubuh Yesus,” kata St Hieronimus, “adalah luka di hati
Bunda Maria.” “Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu,” kata St
Yohanes Krisostomus, “akan melihat dua altar di mana dua kurban
agung dipersembahkan; yang satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya
adalah hati Maria.” Tidak, lebih tepat jika kita mengatakannya bersama
St Bonaventura, “hanya ada satu altar - yaitu salib Putra, di mana,
bersama dengan kurban Anak Domba Allah ini, sang Bunda juga
dikurbankan.” Sebab itu, St Bonaventura bertanya kepada sang Bunda,
“Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di kaki salib? Tidak,
melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan, mengurbankan diri
bersama Putramu.” St Agustinus menegaskan hal yang sama, “Salib
dan paku-paku sang Putra adalah juga salib dan paku-paku Bunda-Nya;
bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga Bunda-Nya.” Ya, seperti
dikatakan St Bernardus, “Kasih mengakibatkan dalam hati Maria siksa
aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang ditembuskan pada tubuh
Yesus.” Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St Bernardus, “Pada saat
yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda mengurbankan jiwa-
Nya.”
Para ibu pada umumnya tidak tahan dan menghindarkan diri dari
menyaksikan anak-anak mereka mengalami sakrat maut, tetapi apabila
seorang ibu harus menghadapi kenyataan yang demikian, ia akan
mengusahakan segala daya upaya untuk meringankan penderitaan
anaknya; ia merapikan tempat tidurnya agar anaknya merasa lebih
nyaman, ia melayani segala kebutuhan anaknya, dengan demikian ibu
yang malang itu meringankan penderitanya sendiri. Ah, Bunda yang
paling berduka dari segala ibu! Ya Maria, engkau harus menyaksikan
sengsara Putramu Yesus yang sedang meregang nyawa; tetapi engkau
tak dapat melakukan sesuatu pun guna meringankan penderitaan-Nya.
Bunda Maria mendengar Putranya berseru, “Aku haus!” tetapi ia bahkan
tak dapat memberikan setetes air pun untuk melegakan dahaga-Nya
yang sangat. Ia hanya dapat mengatakan, seperti dikatakan St
Vincentius Ferrer, “Nak, ibu-Mu hanya punya airmata.” Ia melihat bahwa
di atas pembaringan salib, Putranya, yang digantung dengan tiga paku,
tak dapat beristirahat dengan tenang; betapa ingin ia merengkuh-Nya
dalam pelukannya guna meringankan penderitaan-Nya, atau setidak-
tidaknya Ia boleh menghembuskan napas terakhir-Nya dalam
pelukannya, tetapi hal itu tak dapat dilakukannya. “Dengan sia-sia,” kata
St Bernardus, “ia merentangkan kedua tangannya, tetapi tangan-tangan
itu kembali ke dadanya dengan kosong.” Ia menyaksikan Putranya yang
malang, yang dalam lautan sengsara-Nya mencari penghiburan, tetapi
sia-sia, seperti dinubuatkan nabi, “Aku seorang dirilah yang melakukan
pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang menemani Aku!”
Tetapi, siapakah di antara manusia yang mau menghibur-Nya, karena
mereka semua memusuhi-Nya? Bahkan di atas salib Ia dicela dan
dihujat oleh orang-orang di sekitarnya, “orang-orang yang lewat di sana
menghujat Dia …sambil menggelengkan kepala.” Sebagian berkata
kepada-Nya, “Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Yang
lain berkata, “Orang lain ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak
dapat Ia selamatkan!” Lagi, “Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib
itu.” Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, “Aku
mendengar sebagian orang mengatakan bahwa Putraku seorang
penjahat; sebagian lagi mengatakan bahwa Ia seorang penipu; yang
lainnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih pantas dijatuhi hukuman
mati selain daripada Dia; dan setiap kata yang mereka lontarkan
merupakan pedang-pedang dukacita baru yang menembusi hatiku.”
Tetapi, yang paling menambah beban duka yang diderita Bunda Maria
melalui belas kasihannya terhadap Putranya adalah ketika ia
mendengar-Nya mengeluh dari atas salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang
Kekal telah meninggalkan-Nya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?” Kata-kata ini, seperti diungkapkan Bunda Allah
kepada St Brigitta, tak pernah dapat, sepanjang hidupnya, lepas dari
ingatannya. Jadi, Bunda yang berduka menyaksikan Putranya Yesus
menanggung sengsara dari berbagai pihak; ia berhasrat menghiburnya,
tetapi tak dapat. Dan yang paling mendukakan hatinya ialah menyadari
bahwa dirinya sendiri, kehadiran dan dukacitanya, menambah sengsara
Putranya. “Dukacita,” kata St Bernardus, “yang memenuhi hati Maria,
bagaikan air bah membanjiri serta melukai hati Yesus.” “Begitu
hebatnya,” menurut santo yang sama, “hingga Yesus di atas salib lebih
menderita karena belas kasihan-Nya terhadap Bunda-Nya daripada
karena sengsara-Nya sendiri.” Kemudian ia berbicara atas nama Bunda
Maria, “Aku berdiri dengan mataku terpaku pada-Nya, dan mata-Nya
padaku, dan Ia lebih menderita karena aku daripada karena Diri-Nya
Sendiri.” Lalu, berbicara mengenai Bunda Maria yang berada di samping
Putranya yang meregang nyawa, ia mengatakan, “ia hidup dalam
kematian tanpa dapat mati.” “Di kaki salib Kristus, Bunda-Nya berdiri
separuh mati; ia tak berbicara, mati sementara ia hidup, dan hidup
sementara ia mati; ia tak dapat mati, sebab kematian adalah hidupnya
yang sesungguhnya.” Passino menulis bahwa Yesus Kristus Sendiri
suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino,
meyakinkannya bahwa saat di atas salib, begitu hebat dukacitanya
melihat Bunda-Nya berdiri di kaki salib dalam dukacita yang luar biasa,
hingga belas kasihan-Nya terhadapnya menyebabkan Ia wafat tanpa
penghiburan; begitu dahsyat dukacita itu hingga Beata Baptista, yang
dianugerahi pencerahan ilahi, merasakan luar biasanya sengsara Yesus
ini, berseru, “Ya Tuhan, jangan ceritakan lagi sengsara-Mu ini, sebab
aku tak mampu lagi menanggungnya.”
“Semua orang,” kata Simon dari Cassia, “yang saat itu menyaksikan
Bunda Maria diam seribu bahasa, tanpa sepatah kata pun keluhan, di
tengah dukacita yang begitu hebat itu, merasa tercengang.” Tetapi, jika
bibirnya tenang, tidak demikian halnya dengan hatinya, sebab tak henti-
hentinya Bunda Maria mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada
Keadilan Ilahi demi keselamatan umat manusia. Oleh sebab itu, kita tahu
bahwa dengan jasa-jasa dukacitanya, Bunda Maria bekerjasama dengan
Allah dalam melahirkan kita ke dalam kehidupan rahmat, dan dengan
demikian kita adalah anak-anak dari dukacitanya.
TELADAN
DOA
Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah wafat;
Putra yang begitu menawan dan yang begitu mengasihi engkau!
Menangislah, sebab engkau punya alasan untuk mengangis. Siapakah
gerangan yang mampu menghibur engkau? Hanya pikiran bahwa Yesus
dengan wafat-Nya menaklukkan neraka, membuka pintu gerbang surga
yang hingga saat itu tertutup bagi manusia, dan memenangkan banyak
jiwa-jiwa, yang mampu menghibur engkau. Dari atas tahta salib, Ia akan
berkuasa dalam begitu banyak hati, yang, takluk pada kasih-Nya, akan
mengabdi-Nya dengan sepenuh hati. Sementara itu, ya Bundaku,
janganlah menolak aku, ijinkan aku berada di dekatmu, menangis
bersamamu, sebab aku punya banyak alasan untuk mengangisi dosa-
dosaku dengan mana aku telah menghina-Nya. Ah, Bunda Belas
Kasihan, aku berharap, pertama-tama, melalui wafat Penebus-ku, dan
kemudian melalui dukacitamu, untuk memperoleh pengampunan serta
keselamatan abadi.
sumber : "On the Fifth Dolour, Of the Death of Jesus" by St. Alphonsus Liguori;
Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
Bunda yang berduka, khawatir kalau-kalau aniaya yang lain masih akan
ditimpakan atas Putranya, mohon pada Yusuf dari Arimatea untuk
meminta jenazah Yesus Putranya dari Pilatus, hingga setidak-tidaknya
setelah Ia wafat, ia dapat menjaga serta melindungi-Nya dari penghinaan
lebih lanjut. Yusuf pergi dan menyampaikan kepada Pilatus kesedihan
dan harapan Bunda yang berduka ini. St Anselmus yakin bahwa belas
kasihan terhadap sang Bunda telah melunakkan hati Pilatus dan
menggerakkannya untuk memberikan jenazah Juruselamat kita. Tubuh
Yesus kemudian diturunkan dari salib. O Perawan tersuci, setelah
engkau memberikan Putramu kepada dunia dengan cinta yang begitu
besar demi keselamatan kami, lihatlah, dunia sekarang mengembalikan-
Nya kepadamu; tetapi, ya Tuhan, dalam keadaan bagaimanakah engkau
menerimanya? Ya dunia, kata Maria, bagaimana engkau
mengembalikan-Nya kepadaku? “Putraku berkulit putih kemerah-
merahan, tetapi engkau mengembalikan-Nya kepadaku dalam keadaan
hitam lebam oleh bilur-bilur dan merah - ya! tetapi merah karena luka-
luka yang engkau timpakan atas-Nya. Ia elok dan menawan; tetapi
sekarang tak nampak lagi keelokan pada-Nya; tak ada lagi semarak-Nya.
Kehadiran-Nya memikat semua orang; sekarang Ia menimbulkan
kengerian pada semua yang melihat-Nya.” “Oh, betapa banyak pedang,”
kata St Bonaventura, “yang menembusi jiwa Bunda yang malang ini
ketika ia menerima jenazah Putranya dari salib! Marilah sejenak
membayangkan dukacita mendalam yang dialami ibu manapun ketika
menerima tubuh anaknya yang tak bernyawa dalam pelukannya.
Dinyatakan kepada St Brigitta bahwa tiga tangga disandarkan pada salib
untuk menurunkan Tubuh Kudus; para murid yang kudus pertama-tama
mencabut paku-paku dari tangan dan kaki-Nya, dan menurut
Metaphrastes, menyerahkan paku-paku itu kepada Maria. Kemudian
seorang dari mereka menopang tubuh Yesus bagian atas sementara
murid yang lain menopang tubuh Yesus bagian bawah; demikianlah Ia
diturunkan dari salib. Bernardinus de Bustis menggambarkan Bunda
yang berduka, sementara berdiri, merentangkan kedua tangannya untuk
merengkuh Putranya terkasih; ia memeluk-Nya dan kemudian duduk
bersimpuh di kaki salib. Mulut-Nya ternganga, mata-Nya tanpa cahaya.
Bunda Maria lalu memeriksa daging-Nya yang terkoyak dan tulang-
tulang-Nya yang menyembul; ia melepaskan mahkota duri dan
memandangi luka-luka mengerikan yang diakibatkan mahkota duri pada
kepala-Nya yang kudus; ia mengamati lubang-lubang di tangan dan
kaki-Nya seraya berkata kepada-Nya, “Ah, Putraku, seberapa
besarnyakah kasih-Mu kepada manusia; kesalahan apakah yang telah
Engkau lakukan terhadap mereka hingga mereka menyiksa-Mu demikian
keji? Engkau adalah Bapaku,” lanjut Bernardinus de Bustis atas nama
Maria, “Engkau adalah saudaraku, mempelaiku, sukacitaku,
kemuliaanku; Engkau adalah segala-galanya bagiku.” Putraku,
tengoklah dukacitaku, pandanglah aku; hiburlah aku; tetapi tidak,
Engkau tak lagi melihatku. Berbicaralah, sepatah kata saja, dan hiburlah
aku; tetapi Engkau tak lagi berbicara, sebab Engkau telah wafat.
Kemudian, berpaling pada alat-alat siksa yang keji, ia berkata, O
mahkota duri yang keji, O paku-paku yang kejam, O tombak yang tak
berbelas kasihan, bagaimanakah, bagaimana mungkin kalian
menganiaya Pencipta-Mu? Tetapi, mengapakah aku berbicara tentang
mahkota duri dan paku? Astaga! Para pendosa, serunya, kalianlah yang
telah memperlakukan Putraku begitu keji.
TELADAN
DOA
O Perawan yang berduka! Oh, jiwa yang sarat dengan kebajikan, namun
juga sarat dengan dukacita, karena dukacita yang satu dan yang lainnya
saling bergantian mendera hatimu yang berkobar-kobar dengan kasih
kepada Tuhan, sebab engkau hanya mengasihi Dia saja; ah Bunda,
kasihanilah aku, sebab bukannya mengasihi Tuhan, malahan aku
menghina-Nya terus-menerus. Dukacitamu, ya Bunda, membangkitkan
dalam diriku harapan akan pengampunan. Tetapi ini belumlah cukup;
aku rindu mengasihi Tuhan-ku; dan bagaimanakah aku dapat
memperoleh kasih ini lebih baik selain melalui engkau, yang adalah
Bunda Cinta Kasih? Ah, Bunda Maria, engkau menghibur semua orang,
hiburlah aku juga. Amin.
sumber : "On the Sixth Dolour, The Piercing of the Side of Jesus, and His descent
from the Cross" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1997 Catholic Information
Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
Yesus Dimakamkan
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Ketika seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita
dan mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan
menanggung segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu
meninggal dunia, sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah
ibunda yang berduka itu mengucapkan selamat berpisah kepada
anaknya; dan kemudian, sungguh, pikiran bahwa ia tak akan pernah
melihat anaknya itu lagi merupakan suatu dukacita yang melampaui
segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita Maria yang terakhir, yang
sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan wafat Putranya di salib
dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk terakhir kalinya,
Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di makam, tak akan
lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih di dunia ini.
Agar dapat memahami dengan lebih baik dukacita terakhir ini, kita akan
kembali ke Kalvari dan merenungkan Bunda yang berduka, yang masih
mendekap tubuh Putranya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Oh
Putraku, demikian ia berkata dengan kata-kata Ayub, Putraku, “Engkau
menjadi kejam terhadap aku.” Ya, oleh sebab segala sifat-Mu yang
agung, keanggunan-Mu, perilaku-Mu dan kebajikan-kebajikan-Mu, sikap-
Mu yang santun, segala tanda kasih istimewa yang Kau limpahkan
kepadaku, karunia-karunia khusus yang Kau anugerahkan kepadaku -
semuanya sekarang berubah menjadi dukacita, dan bagaikan begitu
banyak anak panah yang menembusi hatiku; semakin semuanya itu
memperdalam kasihku kepada-Mu, semakin kejam semuanya itu kini
memedihkan hatiku karena kehilangan Engkau. Ah, Putraku terkasih,
dengan kehilangan Engkau, aku kehilangan segalanya. St Bernardus
berbicara atas nama Bunda Maria, “Oh satu-satunya Allah yang Esa,
bagiku Engkau adalah Bapaku, Putraku, Mempelaiku: Engkau adalah
jiwaku! Sekarang aku direnggut dari Bapaku, menjadi janda dari
Mempelaiku, menjadi Bunda yang tak ber-Putra; yang merana karena
kehilangan Putra tunggalku, aku telah kehilangan segalanya.”
DOA
DOA ST BONAVENTURA
Pada tahun 1861, Kaiser Wilhelm I menduduki tahta Prussia, dan segera
menunjuk Otto von Bismark sebagai penasehatnya. Tujuan mereka
adalah mempersatukan segenap negeri yang berbahasa Jerman menjadi
satu negara. Bersama-sama, mereka mengambil sikap yang agresif dan
suka berperang. Guna memaksakan kehendak mereka sekaligus
menguji posisi di antara negara-negara sekitarnya, Prussia menyulut
tiga perang singkat: pertama, melawan Denmark pada tahun 1864,
menguasai Holstein; kedua, melawan Austria pada tahun 1866,
menempatkan Prussia di bawah kendali Jerman; dan yang terakhir,
melawan Perancis pada tahun 1870.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Mary as Our Lady of Hope” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com
Lukisan Bunda Penolong Abadi adalah sebuah ikon, dilukis di atas kayu
dan tampaknya berasal dari sekitar abad ketigabelas. Ikon ini (kurang
lebih 54 x 41,5 sentimeter) menggambarkan Bunda Maria, di bawah gelar
“Bunda Allah,” menggendong Kanak-Kanak Yesus. Malaikat Agung St
Mikhael dan Malaikat Agung St Gabriel, melayang di kedua pojok atas,
memegang alat-alat Sengsara - St Mikhael (di pojok kiri) memegang
tombak, bunga karang yang dicelupkan ke dalam anggur asam dan
mahkota duri, sementara St Gabriel (di pojok kanan) memegang salib
dan paku-paku. Tujuan dari sang pelukis adalah menggambarkan
Kanak-Kanak Yesus menyaksikan penglihatan akan Sengsara-Nya di
masa mendatang. Kegentaran yang dirasakan-Nya diperlihatkan melalui
terlepasnya salah satu sandal-Nya. Namun demikian, ikon ini juga
menyampaikan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, yang
dilambangkan dengan latar belakang keemasan (lambang kemuliaan
kebangkitan) dan dari cara dengan mana para malaikat memegang alat-
alat siksa, yaitu bagaikan memegang tanda kenang-kenangan yang
dikumpulkan dari Kalvari pada pagi Paskah.
sumber : “Straight Answers: Icon Invokes Mary's `Perpetual Help'” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Tengah mereka berlutut dan berdoa tiba-tiba langit yang tadinya gelap
berawan menjadi cerah. Angin yang selama beberapa jam membuat perahu
oleng mulai reda. Begitu juga gelombang laut pelan-pelan menjadi teduh.
Akhirnya kapal merapat di pelabuhan Roma. Semua penumpang selamat.
Pemilik lukisan langsung menuju ke rumah kawannya. Sayang, usia orang itu
tidak lama. Sebelum meninggal ia berpesan kepada kawannya untuk
menyerahkan lukisan kepada salah satu gereja di Roma. Kawannya melihat
lukisan itu indah, tetapi juga aneh. Tidak sebagaimana lukisan Bunda Maria
yang pernah ia lihat, lukisan ini memberi suatu pesan khusus yang sulit
dilupakan.
Lukisan Maria Penolong Abadi yang asli dilukis di atas kayu. Usianya kira-
kira 500 tahun. Paus Pius IX berpesan kepada para imam Redemptoris,
"Perkenalkanlah dia ke seluruh dunia". Sejak itu lukisan Maria Penolong
Abadi diperbanyak dan duplikatnya disebarkan ke seluruh dunia. Konsili
Vatikan II dalam salah satu butir penghormatan kepada Maria
memberikan nama Penolong Abadi (Perpetual Help). Pertimbangannya ialah
karena nama itu secara ajaib menonjolkan dan menekankan pengasuhan
keibuan yang dilakukan Maria terhadap Gereja yang kini masih berjuang di
dunia.
MAKNA GAMBAR
c Paraf Yunani untuk "Malaikat Agung Mikael". Ia dilukiskan sedang memegang lembing d
bunga karang alat sengsara Kristus.
d Mulut Maria digambar mungil sebagai lambang sedikit berbicara dan dalamnya kehidupa
kontemplasi Sang Perawan.
e Jubah Merah, warna yang dikenakan oleh para perawan pada zaman Kristus.
f Mantel Biru Tua, warna yagn dipakai para ibu di Palestina. Maria adalah perawan dan ib
g Tangan-tangan Kristus menggenggam erat ibu jari Bunda-Nya, menyatakan kepada kita
kepercayaan yang harus kita berikan di dalam doa-doa kepada Bunda Maria.
h Mahkota emas dilukis dalam gambar aslinya, merupakan tanda dari banyaknya doa yang
terkabul yang ditujukan kepada Bunda Maria yang disebut sebagai "Bunda Penolong Ab
i Paraf Yunani untuk "Malaikat Agung Gabriel". Ia memegang salib dan paku-paku.
j Mata Bunda Maria digambar besar, mata itu melihat tembus pada kebutuhan-kebutuha
dan mengundang permohonan-permohonan.
k Paraf Yunani untuk "Yesus Kristus".
l Tangan Kiri Bunda Maria menopang Kristus dengan eratnya, menyatakan kepada kita ja
yang kita peroleh dalam pengabdian terhadap Bunda Allah.
m Sandal yang terjatuh, suatu tanda bahwa bagi mereka yang merenungkan sengsara Kris
akan memperoleh penyelamatan dan memasuki jenjang pewaris-Nya yang abadi (Rut 4:7
Doa Novena
sumber : AVE MARIA No. 9 Juli 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia
Bunda
Pertolongan
Orang Kristen
Waktu itu Pimpinan Gereja tertinggi adalah Paus Pius V. Beliau menyerukan
kepada semua orang Katolik di Eropa untuk memohon bantuan Bunda Allah
dengan gelarnya Pertolongan Orang Kristen dengan berdoa rosario tanpa
henti. Umat Katolik menanggapi seruan Paus dan berdoa rosario 24 jam
terus-menerus.
Dalam saat-saat yang amat kritis, pada saat pertempuran berat sebelah
dan armada Kristen tak berdaya, tiba-tiba angin yang amat besar datang
dan bertiup menerjang armada Turki. Armada yang kuat itu tenggelam dan
hancur berantakan. Semestinya berita itu baru sampai di Roma beberapa
hari kemudian, tetapi aneh, Paus tiba-tiba berkata, "Marilah kita
mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah; kemenangan sudah
kita capai!" Kata-kata Paus itu dicatat dan disegel. Dua minggu kemudian
utusan Don Yuan tiba di Roma membawa berita gembira tersebut. Isinya
mengenai kemenangan tepat pada saat Paus mengumumkannya di Roma
yaitu tanggal 7 Oktober 1571.
"Beberapa menit yang lalu, saya bermimpi... Saya melihat suatu samudera
yang amat luas. Seluruhnya air yang ditutupi suatu formasi armada kapal-
kapal dalam keadaan siap tempur... Semua kapal dilengkapi persenjataan
berat dengan meriam, bom pembakar dan macam-macam persenjataan.
Ada sebuah kapal yang megah dan lebih agung dari kapal lainnya. Ketika
merapat, kapal-kapal lain langsung menghantam, menembakkan api dan
menyerangnya habis-habisan. Kapal raksasa yang agung itu dikelilingi
sebuah konvoi kapal kecil... Di tengah-tengah lautan yang tak berujung itu,
nampak dua tiang besar yang amat kokoh, dalam jarak yang agak jauh,
menjulang tinggi ke langit. Tiang yang satu menyangga sebuah patung
Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda. Di bawah kakinya terbaca huruf-
huruf besar yang jelas: PERTOLONGAN ORANG KRISTEN. Tiang yang
lainnya jauh lebih kokoh dan tinggi, menyangga sebuah Hosti dan di
bawahnya tertulis: KESELAMATAN BAGI UMAT BERIMAN.
Mari kita berusaha sekuat tenaga memanfaatkan kedua devosi ini serta
menganjurkannya kepada siapa saja, di mana saja untuk melakukan hal yang
sama!
sumber : AVE MARIA No. 8 Mei 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia
Artikel khusus.
Ratu Rosario
"Berdoalah Rosario setiap hari...
Berdoa, berdoalah sesering mungkin
dan persembahkanlah silih bagi para
pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada
akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda
akan menang."
Asal-usul Rosario
7 Oktober : Pesta SP Maria Ratu Rosario
15 Janji Maria
Keseluruhan Rosario terdiri dari lima belas misteri. Dalam satu misteri
didaraskan sepuluh Salam Maria untuk menghormati suatu misteri
dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Biasanya kita mendaraskan lima misteri sekaligus sambil
merenungkan suatu peristiwa.
Misteri-misteri dapat didoakan sebagian untuk kemudian dilanjutkan
kembali, hingga satu peristiwa lengkap didaraskan dalam hari yang
sama.
Di setiap misteri yang terdiri dari sepuluh Salam Maria, meditasi dapat
dilakukan di setiap manik-manik yang mewakili satu Salam Maria.
Namun baru pada tahun 1214, Gereja menerima dan mengakuinya dalam
bentuknya yang sekarang ini, serta mendaraskannya menurut metode
yang kita pakai sekarang ini. Doa ini diwariskan kepada Gereja oleh St.
Dominikus, pendiri Ordo Para Pengkotbah, yang menerimanya langsung
dari Bunda Perawan Terberkati sebagai sarana yang ampuh untuk
mempertobatkan kaum bidaah Albigensia dan pendosa-pendosa
lainnya. Sehubungan dengan itu saya mau menceritakan kepada anda
kisah St. Dominikus menerima Rosario Suci itu. Kisah ini ditemukan di
dalam buku termasyhur Beato Alan de la Roche berjudul De Dignitate
Psalterii.
(Sumber: “Rahasia Rosario”, judul asli: The Secret of the Rosary by St Louis-Marie
Grignion de Montfort, diterjemahkan oleh B. Mali, Penerbit Obor)
Don Yuan terkenal memiliki devosi yang sangat kuat kepada Bunda
Maria. Ketika tentara Katolik naik ke kapal untuk diberangkatkan ke
medan perang, mereka masing-masing diberi rosario di tangan kanan,
sementara tangan kiri mereka memegang senjata. Paus yang menyadari
aramada ini tidak ada artinya dibandingkan dengan armada Turki yang
jumlahnya tiga kali lipat, meminta agar seluruh penduduk Eropa berdoa
rosario. Di mana-mana orang berdoa rosario selama 24 jam terus-
menerus.
7 Oktober 1571 pukul 11.30 kedua armada itu mulai bertempur dengan
dahsyat hingga baru berakhir keesokan harinya pukul 5.30 sore.
Mukjizat terjadi di sana. Ketika pertempuran sedang berlangsung sengit,
tiba-tiba angin berubah arah sehingga menguntungkan pihak armada
Katolik. Armada Turki berhasil dikalahkan. Halifasha mati terbunuh.
Karena kemenangan rosario ini, maka tanggal 7 Oktober ditetapkan
sebagai Hari Raya Rosario.
Medali Wasiat yang dianugerahkan kepada kita menjadi tanda kasih sayang
serta pemeliharaan yang ditawarkan Bunda Maria kepada kita semua.
Mengenakan Medali Wasiat berarti menerima tawaran kasihnya.
Anak itu tersenyum, "Jangan khawatir, sekarang ini jam setengah dua
belas, semua orang sudah tidur ...ayolah, aku menunggumu."
Sr Katarina segera bangkit dan bersiap-siap lalu pergi bersama anak itu
yang selalu ada di sebelah kirinya dengan memancarkan sinar yang terang
benderang. Pintu kapel yang terkunci langsung terbuka oleh sentuhan anak
kecil itu. Sr Katerina amat takjub: di dalam gereja semua lilin dan lampu
telah menyala, seolah-olah akan dipersembahkan Misa tengah malam. Anak
itu menuntunnya ke altar. Kira-kira setengah jam lamanya Sr Katarina
berlutut di sana, ketika tiba-tiba terdengar olehnya gemerisik gaun
sutera. Anak itu berbisik, “Santa Maria ingin berbicara kepadamu”.
Tanggal 27 November 1830 jam setengah enam sore, Sr Katarina dan para
suster pergi ke Kapel untuk bermeditasi. Samar-samar terdengar
gemerisik gaun sutera. Sr Katarina mengarahkan pandangannya ke altar
dan di sana ia melihat Santa Perawan Maria berdiri di atas sebuah bola
besar. Gaun sutera Maria bersinar kemilau. Kerudung putihnya panjang
hingga ke kaki. Di bawah kerudung kepalanya, ia mengenakan sehelai renda
untuk mengikat rambutnya. Sebuah bola emas dengan salib di atasnya ada
ditangannya. Santa Maria menengadah mohon berkat Tuhan bagi benda itu.
Lalu tampaklah pada jari-jemarinya cincin permata yang beraneka warna
dan sangat indah. Permata ini memancarkan sinar gilang-gemilang.
Limpahan kemulian demikian terang hingga bola besar tempat Maria
berpijak tidak tampak lagi. Sr Katarina mengerti bahwa sinar cahaya
melambangkan rahmat yang dilimpahkan bagi mereka yang mencarinya;
mutiara-mutiara di jari-jemari Bunda Maria yang tidak memancarkan sinar
melambangkan rahmat bagi jiwa-jiwa yang lupa memintanya. Kemudian bola
itu menghilang. Tangan Maria terentang ke bawah dan terbentuklah suatu
bingkai yang lonjong dengan kata-kata mengelilingi kepalanya: “O Maria,
yang dikandung tanpa dosa, doakanlah kami yang berlindung padamu.”
Pada tahun 1836 Komisi Khusus yang ditunjuk oleh Bapa Uskup Agung
menyatakan bahwa penampakan Santa Perawan Maria di Kapel Biara
Puteri-Puteri Kasih di 140 Rue du Bac, Paris, Perancis adalah benar.
Kita pun diberi keistimewaan untuk mengenakan Medali Wasiat.
Mengenakannya berarti menerima tawaran perlindungan Bunda Maria yang
membawa kuasa Putera-nya, Yesus Kristus ke dalam hidup kita.
sumber : 1. AVE MARIA No. 3 April 1996; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia;
2. berbagai sumber
Kisah Penampakan
"Suatu hari saya dan dua gadis lain pergi ke pinggir sungai Gave. Tiba-tiba
saya mendengar bunyi gemerisik. Saya mengarahkan pandangan ke arah
padang yang terletak di sisi sungai, tetapi pepohonan di sana tampak
tenang dan suara itu jelas bukan datang dari sana. Kemudian saya
mendongak dan memandang ke arah gua di mana saya melihat seorang
wanita mengenakan gaun putih yang indah dengan ikat pinggang berwarna
terang. Di atas masing-masing kakinya ada bunga mawar berwarna kuning
pucat, sama seperti warna biji-biji rosarionya.
Saya bertanya kepada kedua gadis yang lain apakah mereka melihat
sesuatu, tetapi mereka mengatakan tidak. Tentu saja mereka ingin tahu
apa yang telah terjadi. Saya katakan kepada mereka bahwa saya melihat
seorang wanita mengenakan gaun putih yang indah, namun saya tidak tahu
siapa dia. Saya minta mereka untuk tidak menceritakan hal itu kepada
siapa pun. Mereka mengatakan saya bodoh karena memikirkan yang bukan-
bukan. Saya katakan bahwa mereka salah, dan saya merasa terdorong
untuk kembali lagi ke sana hari Minggu berikutnya.
Ketiga kalinya saya ke sana, wanita itu berbicara kepada saya dan meminta
saya untuk datang selama lima belas hari. Saya katakan saya bersedia
datang. Kemudian wanita itu meminta saya untuk menyampaikan kepada
romo agar sebuah kapel dibangun di sana. Ia juga meminta saya minum dari
sumber air. Saya pergi ke sungai Gave, satu-satunya sungai yang ada di
sana. Tetapi wanita itu menyadarkan saya bahwa bukan Gave yang ia
maksudkan. Ia menunjuk ke sebuah aliran air kecil di dekat situ. Ketika
saya sampai di sana, saya hanya dapat menemukan beberapa tetes air dan
banyak lumpur. Saya menadahkan tangan untuk mendapatkan lebih banyak
air, tetapi tidak berhasil. Karenanya saya menggali tanah. Saya berhasil
memperoleh beberapa tetes air, baru setelah usaha yang keempat saya
mendapatkan cukup air untuk diminum. Kemudian wanita itu menghilang dan
pulanglah saya ke rumah.
Saya datang setiap hari selama lima belas hari, dan setiap kali, kecuali hari
Senin dan Jum'at, wanita itu menampakkan diri. Ia meminta saya mencari
aliran sungai dan membersihkan diri di sana serta pergi ke pada romo
meminta agar sebuah kapel didirikan di sana. Saya juga harus berdoa,
katanya, untuk pertobatan orang-orang berdosa. Berkali-kali saya
bertanya kepadanya apa arti semua itu, tetapi wanita itu hanya tersenyum.
Akhirnya, dengan tangannya terentang dan matanya memandang ke langit,
ia berkata bahwa dialah "Immaculate Conception" (Yang Dikandung Tanpa
Dosa).
Selama lima belas hari itu, ia mengungkapkan tiga buah rahasia kepada
saya, tetapi saya tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun juga, dan
sejauh ini saya taat kepadanya."
13 Mei 1917 Pesta Bunda Maria dan Sakramen Mahakudus. Ketiga anak itu
sedang menggembalakan ternaknya di Cova da Iria, sebuah padang alam
yang amat luas, kira-kira satu mil dari desa mereka. Tiba-tiba mereka
melihat sebuah kilatan cahaya dan setelah kilatan yang kedua, muncul
seorang wanita yang amat cantik. Pakaiannya putih berkilauan. Wanita yang
bersinar bagaikan matahari itu berdiri di atas sebuah pohon oak kecil dan
menyapa anak-anak:
"Janganlah takut, aku tidak akan menyusahkan kalian. Aku datang dari
surga. Allah mengutus aku kepada kalian. Bersediakah kalian membawa
setiap korban dan derita yang akan dikirim Allah kepada kalian sebagai
silih atas banyak dosa -sebab besarlah penghinaan terhadap yang
Mahakuasa- bagi pertobatan orang berdosa dan bagi pemulihan atas
hujatan serta segala penghinaan lain yang dilontarkan kepada Hati Maria
yang Tak Bernoda?"
"Ya, kami mau," jawab Lucia mewakili ketiganya. Dalam setiap penampakan,
hanya Lucia saja yang berbicara kepada Bunda Maria. Jacinta dapat
melihat dan mendengarnya, tetapi Fransisco hanya dapat melihatnya saja.
Wanita itu juga meminta anak-anak untuk datang ke Cova setiap tanggal 13
selama 6 bulan berturut-turut dan berdoa rosario setiap hari.
13 Juni 1917 ketiga anak itu pergi ke Cova. Pada kesempatan itu Bunda
Maria mengatakan bahwa ia akan segera membawa Jacinta dan Fransisco
ke surga. Sedangkan Lucia diminta tetap tinggal untuk memulai devosi
kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Ketika mengucapkan kata-kata ini,
muncullah dari kedua tangan Maria sebuah cahaya. Di telapak tangan
kanannya nampak sebuah hati yang dilingkari duri, Hati Maria Yang Tak
Bernoda yang terhina oleh dosa manusia.
"Bila kelak, pada suatu malam kalian melihat suatu terang yang tak dikenal,
ketahuilah bahwa itu adalah 'Tanda' dari Tuhan untuk menghukum dunia,
karena banyaklah kejahatan yang telah kalian lakukan. Akan terjadi
peperangan, kelaparan dan penganiayaan terhadap Gereja dan Bapa Suci."
"Dalam bulan Oktober aku akan membuat suatu tanda heran, agar semua
orang percaya."
Kemudian dengan wajah yang amat sedih Bunda Maria berbicara dengan
suara yang mengiba:
sumber : 1. Maria dari Fatima, Rm Petrus Pavlicek OFM - Wina; 2. AVE MARIA No.
10 September 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia
Ketika Juan tiba di kediaman Uskup, Juan harus menunggu lama karena
dihalang-halangi para penjaga yang dengan penuh rasa ingin tahu berusaha
mengambil mawar-mawar dari mantol Juan. Namun, begitu mereka
mengulurkan tangan, mawar-mawar itu seperti terpateri di mantol Juan
sehingga mereka tidak dapat mengambilnya. Di hadapan Uskup, Juan
membuka tilmanya dan mawar-mawar pun berjatuhan ke lantai. Di tilma
Juan terlukis gambar Bunda Allah dalam pakaian Indian. Tangannya
terkatup dalam sikap berdoa, rambutnya yang hitam lembut terurai sampai
ke bahunya. Wajahnya bulat oval dengan matanya setengah tertutup.
Senyum merekah di bibirnya. Uskup Juan de Zumarraga jatuh berlutut.
Airmata mengalir membasahi pipinya ketika ia berdoa mohon ampun karena
kurang percaya. Kemudian Uskup membawa tilma Juan Diego ke dalam
kapel dan meletakkannya di depan Sakramen Mahakudus.
Di kemudian hari, diadakan penyelidikan yang cermat dan teliti atas lukisan
di mantol Juan Diego. Besarnya lukisan itu kurang lebih 1,50 meter. Bunda
Maria mengenakan mantol berwarna hijau kebiru-biruan berhiaskan 46
bintang emas, tiap-tiap bintang brujung delapan. Jubah Bunda Maria
berwarna merah jambu dengan sulaman bunga-bunga berbenang emas,
sangat indah. Tepian leher dan lengan bajunya dilapisi kulit berbulu halus
yang putih metah. Sebuah bros dengan salib hitam di tengah-tengah
menghiasi lehernya. Di sekeliling tubuhnya bergemerlapanlah gelombang
dari cahaya emas di atas latar belakang merah padam. Di pupil mata kanan
Bunda Maria tergambar tiga sosok, yaitu Juan Diego, Juan Gonzalez -
penerjemah, dan Uskup Zumarraga. Lukisan Santa Perawan Maria dari
Guadalupe kini ditempatkan di Basilika Santa Perawan Maria dari
Guadalupe di Mexico City yang didirikan pada tahun 1977.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 Paus Pius XII mengumumkan Bunda Maria
dari Guadalupe sebagai “Ratu semua orang Amerika.”
Pada tanggal 9 April 1990 Juan Diego dinyatakan Beato oleh Paus Yohanes
Paulus II di Vatikan dan pada tanggal 31 Juli 2002 dinyatakan Santo oleh
paus yang sama di Basilika Santa Perawan Maria Guadalupe, Mexico.
Santo Juan Diego dilahirkan pada tahun 1474, di Tlayacac,
Cuauhtitlan, sebuah dusun sekitar 14 mil sebelah utara
Tenochtitlan (Mexico City). Nama aslinya ialah
Cuauhtlatoatzin, artinya “Elang Berbicara”. Ia seorang
Indian yang miskin. Apabila berbicara kepada Bunda Maria,
Juan Diego menyebut dirinya sebagai “bukan siapa-siapa”.
Bunda Maria sering memilih untuk menampakkan diri kepada
orang-orang seperti Juan, orang yang bersahaja dan rendah
hati.
Juan Diego adalah seorang yang taat dan saleh, bahkan sebelum dibaptis.
Ia penyendiri, karakternya tertutup, cenderung tenggelam dalam
keheningan, sering bermati raga dan biasa berjalan kaki dari dusunnya ke
Tenochtitlan sejauh ± 14 mil (= 22,5 km), untuk menerima pelajaran iman
Katolik. Isterinya, Maria Lucia, jatuh sakit dan meninggal dunia pada tahun
1529. Juan Diego kemudian pindah dan tinggal bersama pamannya, Juan
Bernardino, di Tolpetlac, yang lebih dekat jaraknya dari gereja
Tenochtitlan.
Juan Diego wafat pada tanggal 30 Mei 1548 dalam usia 74 tahun. Paus
Yohanes Paulus II memuji Juan Diego karena imannya yang bersahaja,
yang senantiasa terpelihara oleh ajaran agama. Paus menetapkannya
sebagai teladan kerendahan hati bagi kita semua.
Kita juga jangan lupa bahwa Juan Diego tumbuh dewasa di bawah
penindasan Aztec. Praktek keagamaan Aztec, termasuk kurban manusia,
memainkan peranan yang penting dan menarik dalam kisah ini. Setiap
kota utama Aztec mempunyai sebuah kuil piramid, sekitar 100 kaki
tingginya, di mana di atasnya didirikan sebuah altar. Di atas altar ini,
para imam Aztec mempersembahkan kurban manusia kepada dewa
Huitzilopochtli, yang disebut “Penggemar Jantung dan Penegak Darah,”
dengan memotong dan merenggut keluar jantung yang berdenyut dari
para kurbannya, pada umumnya laki-laki dewasa, tetapi seringkali pula
kanak-kanak. Para imam mengunjukkan tinggi-tinggi jantung yang
berdenyut itu agar dapat dilihat semua orang, meminum darahnya,
menendang tubuh yang tak bernyawa itu hingga terlempar ke bawah
tangga piramid, dan kemudian memotong kedua tangan dan kaki
kurban, lalu memakan dagingnya. Mengingat Aztec menguasai 371 kota
dan hukum menuntut 1.000 kurban manusia bagi setiap kota dengan
sebuah kuil piramid, maka lebih dari 50.000 manusia dikurbankan setiap
tahunnya. Di samping itu, ahli sejarah Mexico kuno, Ixtlilxochitl,
memperkirakan bahwa satu dari setiap lima kanak-kanak menjadi
kurban dari praktek keagamaan yang haus darah ini.
Pada tahun 1487, ketika Juan Diego baru berusia tigabelas tahun, ia
harus menjadi saksi atas suatu peristiwa yang paling mengerikan:
Tlacaellel, seorang pemimpin Aztec yang berusia 89 tahun, meresmikan
kuil piramid matahari yang baru, yang dipersembahkan kepada dua
dewa utama dari dewa-dewa Aztec - Huitzilopochtli dan Tezcatlipoca,
(dewa neraka dan kegelapan) - di pusat Tenochtitlan (kelak Mexico City).
Kuil piramid ini 100 kaki tingginya dengan 114 anak tangga untuk
mencapai puncaknya. Lebih dari 80.000 laki-laki dikurbankan sepanjang
suatu periode empat hari empat malam lamanya. Orang hanya dapat
membayangkan curahan darah dan tumpukan mayat dari kurban yang
demikian. (Sementara jumlah kurban tampak mencengangkan, bukti
menyatakan bahwa dibutuhkan hanya 15 detik saja untuk memotong
jantung keluar dari setiap kurban.)
Pada tahun 1520, Hernan Cortes melarang kurban manusia. Ia
menyingkirkan kedua berhala dari kuil piramid, membersihkan
bebatuannya dari darah dan mendirikan sebuah altar yang baru. Cortes,
pasukannya dan P Olmedo kemudian mendaki anak-anak tangga
dengan Salib Suci dan lukisan Santa Perawan Maria dan St Kristoforus.
Di atas altar baru ini, P Olmedo mempersembahkan kurban Misa Kudus.
Di atas apa yang dulunya merupakan tempat kurban kafir yang keji,
sekarang dipersembahkan kurban tak berdarah, yang sejati dan abadi
dari Tuhan kita. Tetapi, tindakan ini memicu suatu perang habis-habisan
dengan kaum Aztec, yang pada akhirnya berhasil dimenangkan oleh
Cortes pada bulan Agustus 1521.
Sekarang kembali ke kisah kita. Pagi hari itu, 9 Desember 1531, Juan
Diego sedang dalam perjalanan ke Misa; pada waktu itu 9 Desember
adalah Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa di
seluruh Kerajaan Spanyol. Sementara ia menyusuri jalanan di Bukit
Tepeyac, ia mulai mendengar suatu alunan musik nan merdu, dan ia
melihat seorang perempuan cantik rupawan, yang memanggil namanya,
“Juanito, Juan Dieguito.” Ia datang mendekat, dan perempuan itu
mengatakan,
Sebagai tanda bagi uskup, Maria meminta Juan Diego untuk pergi ke
puncak bukit dan memetik bunga-bunga. Maka, pergilah ia ke puncak
bukit yang kering dan gersang itu - tempat di mana hanya kaktus
tumbuh - dan mendapati bunga-bunga mawar seperti yang tumbuh di
Castille, tetapi tak didapati di Mexico. Ia mengumpulkan bunga-bunga
mawar dalam tilmanya, yaitu suatu mantol seperti poncho, dan
membawanya kepada Maria yang menatanya dan memintanya untuk
menyampaikannya kepada uskup.
Di samping itu, semestinya tilma pastilah sudah lama rusak. Tilma tidak
dilapisi lapisan pelindung. Semua yang berasal dari serat kaktus
pastilah akan rusak dalam jangka waktu 100 tahun, teristimewa apabila
tidak terlindung dari polusi, nyala lilin, dan serupa itu. Walau demikian,
tilma tetap seperti semula.
Ini merupakan juga simbol dari kemenangan ilahi atas agama kafir. Sinar
matahari adalah simbol dari dewa Aztec Huitzilopochtle. Sebab itu,
Bunda Maria berdiri di depan sinar matahari menunjukkan bahwa ia
memaklumkan Allah yang benar, yang lebih besar dari Huitzilopochtle
dan yang mengungguli kuasanya.
Bunda Maria juga berdiri di atas bulan. Bulan melambangkan malam dan
kegelapan, dan ini berhubungan dengan dewa Tezcatlipoca. Lagi, Bunda
Maria berdiri di atas bulan memaklumkan kemenangan ilahi atas
kejahatan.
Wajah Bunda Maria, dengan warna kulitnya, rambut dan mata berwarna
gelap, mencerminkan sosok seorang Indian. Kedua matanya juga
memandang ke bawah, mengungkapkan kerendahan hati dan belas
kasihan. Pula, dalam ikonografi Indian, seorang dewa memandang lurus
ke depan dengan mata terbuka lebar; jadi, gambar di sini menunjukkan
bahwa Maria tidak mengklaim diri sebagai Tuhan, melainkan hanya
sebagai utusan-Nya dan sebagai Bunda yang mengasihi.
Bunda Maria didukung oleh seorang malaikat, lambang kerajaan di
kalangan bangsa Indian. Sebagian orang menafsirkan gambar ini
sebagai suatu tanda bahwa Bunda Maria memaklumkan suatu era baru
yang akan datang.
Busana Bunda Maria juga memiliki makna istimewa. Warna merah muda
dari gaun Bunda Maria memiliki dua penafsiran, sebagai lambang fajar
dari suatu era yang baru, atau sebagai tanda kemartiran iman. Bros
emas di bawah lehernya melambangkan kekudusan. Dan yang terakhir,
pita sekeliling pinggangnya adalah lambang keperawanan. Namun
demikian, pita yang bersimpul ini memiliki beberapa makna lainnya
dalam budaya Indian Asli: pita bersimpul ini adalah nahui ollin, bunga
dari matahari, yang adalah simbol kelimpahan, kesuburan dan
kehidupan baru. Letak pita yang tinggi dan perut Bunda Maria yang
tampak membuncit membuat sebagian orang berkesimpulan bahwa ia
sedang mengandung.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
Salah satu dari musibah awal yang menimpa Pompeii terjadi pada tahun
79, ketika Gunung Vesuvius meletus dengan dahsyat. Gunung berapi itu
menghancur-luluhkan kota Romawi tersebut serta menguburnya dengan
abunya selama berabad-abad. Di kemudian hari, kota yang bekembang
sekitar satu mil jauhnya dari reruntuhan tersebut juga
mengalami musibah, ketika pada tahun 1659 suatu
wabah malaria yang ganas menyerang kota dan
membunuh hampir seluruh penduduk di sana.
“Tidak saja lukisan itu telah dimakan rayap, tetapi wajah Madona adalah
wajah wanita desa yang kasar … secuil kanvas hilang tepat di atas
kepalanya… mantolnya retak. Tak ada yang dapat dikatakan tentang
figur-figur lainnya yang mengerikan. St. Dominikus tampak seperti
seorang idiot jalanan. Di sebelah kiri Santa Perawan adalah St. Rosa. Di
kemudian hari, saya mengubahnya menjadi St. Katarina dari Siena…
Saya ragu-ragu apakah sebaiknya menolak atau menerima pemberian
ini.”
Sementara gereja masih dalam tahap dibangun, terjadi tiga mukjizat luar
biasa. Yang pertama menyangkut seorang anak berusia dua belas tahun,
Clorinda Lucarelli, korban serangan epilepsy ganas. Kerabatnya yang
putus asa berjanji untuk membantu pendirian gereja jika Clorinda
sembuh dari penyakitnya. Gadis kecil itu sembuh pada hari lukisan
dipamerkan dalam suatu upacara penghormatan. Dua dokter
menyatakan di bawah sumpah bahwa kesembuhan Clorinda semata-
mata merupakan mukjizat.
Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario dari Pompeii diberkati oleh
Kardinal La Valletta, Duta Kepausan dari Paus Leo XIII, pada bulan Mei
1891. Pada tanggal 19 Februari 1894, Bartolo Longo dan isterinya
menyerahkan Gereja SP Maria dari Pompeii kepada Paus Leo XIII. Sejak
saat itu kepausan mengambil alih perawatan Gereja. Pada tahun 1934,
atas perintah Paus Pius XI, sebuah basilika baru yang besar mulai
dibangun. Basilika selesai pada tahun 1939 dan diresmikan atas nama
Paus Pius XII oleh Kardinal Magliones, Sekretaris Negara Bapa Suci.
Paus St. Pius X sebelumnya telah menyampaikan dukungannya bagi
gereja dan devosi kepada Santa Perawan Maria dari Pompeii.
Pada tahun 1965, setelah restorasi lukisan yang ketiga kalinya, Paus
Paulus VI mengatakan dalam homilinya, “Sama seperti gambar Santa
Perawan telah diperbaiki serta diperindah …, demikian juga hendaknya
gambar Maria dalam diri segenap umat Kristiani haruslah dipulihkan,
diperbaharui, serta diperkaya.” Pada akhir perayaan yang khidmat
tersebut, Paus Paulus VI menempatkan dua mahkota baru di atas kepala
Yesus dan Maria, mahkota berhias intan permata yang dipersembahkan
sebagai ucapan syukur oleh abdi-abdi Maria.
Devosi
Bartolo Longo, yang dulunya abdi Setan, petobat yang hidup saleh,
pengacara terhormat dan pemenang hati anak-anak yatim piatu ini,
hidup hingga usianya yang ke-85 tahun. Orang kudus ini wafat pada
tanggal 5 Oktober 1926. Makam Bartolo Longo dan isterinya dapat
ditemukan dalam ruang bawah tanah tempat ziarah.
dari Vatikan, pada hari ke-16 bulan Oktober, dalam tahun 2002, awal
tahun ke-25 pontifikat saya.”
Meditasi
Tetapi, apa itu Gereja? Gereja dalam latar belakang lukisan tersebut
dilukis dengan garis-garis biasa dan sederhana. Tahtanya terbuat dari
kayu, bukan kayu berukir indah seperti yang pada waktu biasa terdapat
dalam rumah-rumah orang kaya, melainkan kayu orang miskin. Kaki
Madonna bertumpu di atas alas sederhana, bukan alas beludru.
Sejak itu, Yulia menerima banyak pesan dari Yesus dan dari Bunda Maria dengan selang waktu yang tak tetap. T
Yulia menerima lebih dari satu pesan pada hari yang sama; di lain waktu, dengan selang waktu beberapa minggu
bahkan bulan sebelum ia menerima pesan berikutnya. Terkadang, Yulia menerima pesan-pesan tersebut dalam e
lain waktu, saat ia sadar. Pesan terakhir diterima Yulia pada tanggal 16 Februari 2003.
3. MINYAK WANGI
Minyak dengan bau harum mewangi yang kuat, serupa (tapi tak sama) dengan harum mawar, mulai memancar d
Bunda Maria pada tanggal 24 November 1992 dan berlangsung terus-menerus selama tepat 700 hari hingga tang
Oktober 1994. Selama rentang waktu itu, Kapel di mana patung ditempatkan hingga sekarang, secara terus-men
dipenuhi bau harum. Baru-baru ini, minyak wangi menetes beberapa kali ke atas tanah di Bukit Santa Perawan M
dekat Naju ketika Yulia dan para peziarah melakukan Jalan Salib.
4. HARUM MAWAR
Kadang kala harum mawar yang kuat memenuhi Kapel sepanjang malam saat diadakan doa malam; di lain waktu
muncul sesaat saja. Sebagian orang mencium harum ini dari air yang berasal dari sumber mata air di Bukit SP M
buku yang mencatat pesan-pesan kasih, dari foto-foto, dsbnya. Sebagian lainnya mencium harum mawar semen
mereka menuliskan kesaksian mereka. Kadang, harum tersebut hanya tercium oleh orang-orang tertentu saja (y
mungkin sedang mengalami pertobatan atau penyembuhan fisik).
5. MUKJIZAT EKARISTI
Mukjizat Ekaristi meliputi perubahan rupa dari Ekaristi Kudus menjadi Daging dan Darah yang kelihatan mata. M
terjadi lewat Yulia, di Gereja Paroki Naju dan Kapel, di Bukit Santa Perawan Maria di Naju, di Gereja Katedral di S
Malaysia, di sebuah kamar hotel di Roma, di Gereja St. Fransiskus di Lanciano - Italia, di Gereja St. Antonius di K
Hawai, dan di kapel pribadi Bapa Suci di Vatikan. Yang paling akhir terjadi di Gereja Paroki Naju pada tanggal 19
1996.
7. STIGMATA
Luka-luka berdarah yang kelihatan muncul secara ajaib pada tubuh Yulia (telapak tangan, kaki dan lambung) beb
kali. Stigmata bertahan selama beberapa hari dan kemudian lenyap. Biasanya, stigmata terjadi saat Yulia sedang
mengalami sengsara Yesus di Salib. Para dokter memeriksa kondisi Yulia dan menyatakan bahwa luka-lukanya d
pendarahannya tidak dapat dijelaskan secara medis.
Banyak orang mendapatkan kembali cinta kasih dan kedamaian dalam keluarga-keluarga mereka serta kembali p
Sakramen-sakramen Gereja.
Sore hari pada Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus tanggal 28 Juni
1973, Sr Agnes mendapati suatu luka berbentuk salib muncul di telapak
tangan kirinya. Luka ini menimbulkan rasa sakit yang luar biasa hingga
Sr Agnes mengatakan, “Tak akan pernah aku dapat melupakan rasa
sakit itu.” Pada tanggal 5 Juli 1973, suatu lubang kecil muncul di
tengahnya darimana darah mulai memancar. Malaikat pelindungnya
menampakkan diri dan membimbingnya untuk melakukan silih kepada
Hati Yesus yang Mahakudus bagi dosa-dosanya dan bagi dosa-dosa
segenap umat manusia.
Patung ini, yang tingginya kira-kira tiga kaki, diukir dari sebatang kayu
utuh yang kering dan keras tanpa sambungan, menggambarkan Santa
Perawan Maria berdiri di depan sebuah salib, dengan kedua tangannya
direntangkan ke arah bawah. Di bawah kaki patung, terdapat sebuah
bola yang menggambarkan dunia. Saburo Wakasa, seorang pemahat
Jepang beragama Budha, memahat patung ini sekitar tigapuluh tahun
yang lalu dengan mempergunakan sehelai kartu bergambar “Bunda
Segala Bangsa” sebagai model, sembari menambahkan profil wajah
khas perempuan Jepang dalam patungnya.
Sr Agnes mengenang saat itu, “Aku merasa bahwa patung kayu itu
menjadi hidup dan hendak berbicara kepadaku … Ia bermandikan
cahaya yang cemerlang … dan pada saat yang sama, suatu suara yang
merdu tak terperi menembusi telingaku yang sama sekali tuli.”
Rasa sakit yang diderita Sr Agnes terus berlanjut hingga pada suatu
Jumat siang tanggal 27 Juli, menjadi begitu hebat nyaris tak
tertahankan. Ia pergi ke kapel guna mendapatkan penghiburan dan
prostratio dalam doa. Sejenak kemudian, ia mendengar suara malaikat
pelindungnya, “Penderitaanmu akan berakhir hari ini.” Malaikat
kemudian menghilang dan rasa sakit di tangannya lenyap seketika;
lukanya telah sembuh sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikit
pun.
Luka di tangan patung Bunda Maria tetap tinggal hingga kurang lebih
dua bulan tiga minggu lamanya dan lenyap dengan sendirinya pada
tanggal 29 September 1973.
Menjelang akhir Mei 1974, suatu fenomena lain terjadi. Sementara gaun
dan rambut patung tetap tampak sebagai kayu alami, tetapi wajah,
kedua tangan dan kaki Bunda Maria berubah warna menjadi gelap,
coklat kemerah-merahan. Delapan tahun kemudian, ketika sang pemahat
datang untuk melihat patung ukirannya, tak mampu ia menyembunyikan
rasa terkejutnya. Hanya bagian-bagian tubuh Santa Perawan yang
kelihatan saja yang berubah warna, dan bahkan wajahnya pun telah
berubah ekspresi.
Mukjizat Penyembuhan
Ny Teresa Chun Sun Ho, seorang ibu rumah tangga Korea Selatan,
divonis menderita kanker otak pada tahun 1981. Kesehatannya semakin
memburuk hingga ia jatuh koma dalam keadaan vegetatif. Keluarga,
sanak saudara dan sahabat memohon dengan sangat kepada Santa
Perawan Maria dari Akita demi kesembuhannya, dengan menempatkan
selembar foto patung Bunda Maria yang menangis di samping
bantalnya. Pada tanggal 4 Agustus, tengah malam, sementara Ny Teresa
Chun masih dalam keadaan koma, Bunda Maria menampakkan diri
kepadanya dalam suatu penglihatan; ia tampak persis sama seperti di
Akita. Teresa disembuhkan sama sekali dari penyakitnya. Berikut
kesaksian Ny Teresa Chun, “Bunda Maria yang kudus dari Akita, yang
membopong seekor anak domba putih dalam gendongannya,
menampakkan diri kepadaku, ketika aku masih tergolek tak berdaya di
pembaringan, dan menghembusi dahiku sebanyak tiga kali. Aku melihat
bulu anak domba bergerak dan bergoyang-goyang karena kuatnya
hembusan Bunda Tersuci.” Mukjizat ini diakui kebenarannya oleh Dr Gil
Song Lee dalam suatu sertifikat kesehatan yang kemudian dikirimkan ke
Tahta Suci.
Berikut ketiga pesan Santa Perawan Maria dari Akita seperti yang
disampaikannya kepada Sr Agnes Sasagawa:
6 Juli 1973
Sudi terimalah persembahan diriku yang hina ini. Pakailah aku seturut
kehendak-Mu demi kemuliaan Bapa dan keselamatan jiwa-jiwa.
Bunda Allah yang Tersuci, janganlah pernah biarkan aku terpisah dari
Putra Ilahimu. Sudi belalah dan lindungilah aku sebagai Anak
Kesayanganmu. Amin.”
“Berdoalah banyak-banyak bagi Paus, para Uskup dan para Imam. Sejak
pembaptisanmu, engkau telah senantiasa dengan setia berdoa bagi
mereka. Teruslah berdoa banyak … banyak sekali. Katakanlah kepada
superiormu segala yang terjadi hari ini dan taatilah dia dalam segala hal
yang ia katakan kepadamu. Ia telah memintamu untuk berdoa dengan
tekun.”
3 Agustus 1973
“Bahkan dalam suatu biara sekulir pun doa diperlukan. Jiwa-jiwa yang
rindu berdoa sudah berada di jalan bersatu bersama. Tanpa terlalu
terikat pada bentuk, setialah dan bertekunlah dalam doa demi
menghibur sang Tuan.”
“Adakah yang engkau pikirkan dalam hatimu itu benar? Adakah engkau
sungguh memutuskan untuk menjadi batu yang dibuang? Novisku,
engkau secara terus terang rindu untuk menjadi milik Kristus, menjadi
mempelai yang pantas bagi sang Mempelai, engkau berkaul dengan
sadar sepenuhnya bahwa engkau harus tergantung pada Salib dengan
tiga paku. Ketiga paku ini adalah kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.
Dari ketiga itu, ketaatan adalah fondasinya. Dalam penyerahan diri
secara total, berikanlah dirimu dibimbing oleh superiormu. Ia akan tahu
bagaimana memahamimu dan mengarahkanmu.”
13 Oktober 1973
“Apakah masih ada sesuatu yang hendak engkau tanyakan? Hari ini
adalah yang terakhir kalinya aku berbicara kepadamu dalam suara yang
hidup. Sejak saat ini engkau akan taat kepada dia yang diutus kepadamu
dan kepada superiormu.”
Penampakan Pertama
Para Visioner
Penampakan-Penampakan Berikut
Perjalanan Mistik
Nubuat dan Peringatan
Pesan-Pesan Bunda Maria
Persetujuan Resmi Gereja
Penampakan Pertama
“Puteriku.”
“Aku di sini.”
“Aku pergi ke lorong, dan melihat seorang perempuan yang amat cantik
jelita. Aku berlutut, membuat Tanda Salib dan bertanya, `Siapakah
engkau?'”
“Bunda sang Juruselamat, jika sungguh engkau itu yang telah datang
untuk memberitahukan kepada kami bahwa di sini, di sekolah ini, iman
kami lemah, maka engkau sungguh mengasihi kami. Aku sungguh
dipenuhi sukacita bahwa engkau menampakkan diri kepadaku.”
Para Visioner
Pada tangal 12 Januari 1982, Bunda Maria mengabulkan doa mereka dan
menampakkan diri kepada Anathalie Mukamazimpaka (1965), berasal
dari sebuah keluarga Katolik, seorang anggota Legio Maria. Pesan-
pesan yang disampaikan Bunda Maria kepadanya, yang berakhir pada
tanggal 3 Desember 1983, berpusat pada doa dari hati, matiraga,
penyerahan diri kepada Tuhan, dan kerendahan hati. Begitu Anathalie
juga mendapatkan penampakan, sebagian besar komunitas menerima
penampakan Bunda Maria sebagai kebenaran.
Selain ketiga siswi di atas, ada empat orang lainnya yang menyatakan
diri mendapatkan penampakan Bunda Maria juga. Mereka adalah:
Stephanie Mukamurenzi (1968); Agnes Kamagaju (1960); Segatashya
(1967), seorang anak laki-laki kafir yang kemudian mendapat nama
kristen Emanuel; Vestine Salima (1960), seorang wanita muslim. Namun
demikian, hingga kini hanya tiga orang saja yang diakui secara resmi
oleh Gereja, yaitu: Alphonsine Mumureke, Anathalie Mukamazimpaka
dan Marie Claire Mukangango.
Penampakan-Penampakan Berikut
Perjalanan Mistik
Salah satu alasan kuat yang membuat otoritas Gereja yang berwenang
mengakui penampakan Kibeho sebagai otentik adalah penglihatan akan
genosida di Rwanda yang terjadi 12 tahun kemudian. Dalam suatu
penampakan pada tahun 1982 yang berlangsung hingga delapan jam
lamanya, Bunda Maria memperlihatkan kepada para visioner apa yang
akan terjadi di negeri mereka apabila mereka tidak berbalik kepada
Allah. “Suatu sungai darah, orang-orang yang saling membunuh satu
sama lain, mayat-mayat bergelimpangan tanpa seorang pun
menguburkan mereka, pepohonan dilalap api, tubuh-tubuh tanpa
kepala.” Mereka menangis dengan begitu pedih dan pilu hingga
mengguncangkan hati khalayak ramai yang berkerumun di sana.
Nubuat ini tampaknya tak masuk akal, namun, pada musim semi 1994,
pecah suatu perang sipil yang paling tragis serta mengerikan. Para
pemimpin kaum Hutu mengorganisir suatu genosida yang sistematik
yang merenggut nyawa sekitar 800.000 kaum Tutsi dan kaum Hutu
moderat; suatu pembantaian besar-besaran yang sebagian besar
dilakukan dengan parang. Orang-orang tak bersalah, termasuk anak-
anak, dibantai secara keji. Kamp pengungsian terbesar berada di
Kibeho. Pada tanggal 14 April 1994, seluruh suku Tutsi yang
bersembunyi di sebuah gereja paroki di sana, sekitar 4.000 orang, tewas
oleh granat-granat yang meledak dalam bangunan gereja yang
kemudian terbakar hangus. Hanya dalam waktu tiga bulan saja, April
hingga Juni 1994, sekitar 1.000.000 orang tewas, sebagian besar
dipenggal kepalanya dan tubuhnya dicampakkan ke dalam Sungai
Kagea (= sungai darah). Anathalie selamat, Alphonsine juga berhasil
selamat walau seluruh keluarganya tewas terbunuh; sementara Uskup
Gahamanyi dan Marie Claire termasuk di antara korban tewas dalam
perang sipil ini. Di kemudian hari, Alphonsine menjadi seorang biarawati
rabiah sementara Anathalie tinggal di Rwanda mengurus tempat ziarah
Santa Perawan Maria Berdukacita yang kemudian dibangun di tempat
penampakan.
Inti pesan-pesan Bunda Maria adalah doa dari hati, silih, puasa, tobat,
berdoa Rosario, dan persiapan menyambut kedatangan Yesus kembali.
“Dunia telah berbalik melawan Allah. Kita harus bertobat dan memohon
pengampunan.”
“Yang aku minta dari kalian adalah tobat. Apabila kalian mendaraskan
kaplet ini (Rosario Tujuh Duka SP Maria), dengan merenungkannya,
maka kalian akan mendapatkan kekuatan untuk bertobat. Sekarang ini,
banyak orang yang tidak tahu lagi bagaimana memohon pengampunan.
Mereka memakukan kembali Putra Allah pada Salib. Sebab itu aku
menghendaki datang dan mengingatkannya kembali kepada kalian,
khususnya di sini di Rwanda, sebab di sini aku masih mendapati orang-
orang sederhana yang tidak terikat pada kekayaan ataupun uang.” (31
Mei 1982)
“Meski aku adalah Bunda Allah, aku rendah hati dan bersahaja. Aku
senantiasa menempatkan diriku di tempat kalian. Aku mengasihi kalian
apa adanya. Tak pernah aku mencela anak-anakku yang kecil. Apabila
seorang kanak-kanak tidak dicela oleh ibundanya, maka ia akan
mengatakan kepada ibundanya segala sesuatu yang ada dalam hatinya.
Aku bersuka hati apabila anakku bersukacita bersamaku. Sukacita itu
merupakan tanda yang paling indah dari kepercayaan dan kasih. Sedikit
saja orang yang mengerti misteri kasih Allah. Ijinkanlah aku, sebagai
Bunda kalian, memeluk segenap anak-anakku dengan penuh kasih
sayang agar kalian boleh mempercayakan kerinduan-kerinduanmu yang
terdalam kepadaku. Ketahuilah, bahwa aku menyampaikan segala
kerinduan hatimu kepada Putraku, Yesus, Saudara-mu.”
Pada suatu hari Sabtu siang, 19 September 1846, dua orang anak -
Maximin Guiraud (berusia 11 tahun) dan Melanie Calvat (berusia 14
tahun) - sedang menggembalakan domba milik majikan mereka dekat La
Salette di pegunungan Alpen, Perancis. Dampak Revolusi Perancis yang
telah meneror Gereja, darah yang tertumpah sepanjang masa
berkuasanya Napoleon, meningkatnya sekularisasi pemikiran
masyarakat dan maraknya kekacauan politik yang menyelimuti Eropa
telah mengakibatkan kerusakan serius atas iman masyarakat. Di paroki
La Salette, sedikit dan semakin sedikit saja umat yang ikut ambil bagian
dalam Misa Kudus dan sakramen-sakramen diacuhkan. Kutuk dan
sumpah serapah menggantikan doa; kebejadan moral menggantikan
kemurnian; ketamakan dan kesenangan diri menggantikan kesalehan
dan matiraga.
Jika umatku tidak taat, aku akan harus terpaksa melepaskan lengan
Putraku. Lengan-Nya begitu berat, begitu menekan, hingga aku tak lagi
dapat menahannya.
Berapa lama aku telah menderita demi kalian! Jika aku tidak
menghendaki Putraku meninggalkan kalian, aku harus memohon
dengan sangat kepada-Nya tanpa henti. Tetapi, kalian nyaris tidak
mengindahkan hal ini. Tak peduli betapa baiknya kalian berdoa di masa
mendatang, tak peduli betapa baiknya kalian berbuat, kalian tidak akan
pernah dapat memberikan kepadaku ganti atas apa yang telah aku
tanggung demi kalian.
Aku memberikan kepada kalian enam hari untuk bekerja. Hari ketujuh
Aku peruntukkan bagi DiriKu Sendiri. Namun, tak seorang pun hendak
memberikannya kepada-Ku. Inilah yang menyebabkan lengan Putraku
berat menekan.
Apabila panenan rusak, itu adalah karena kesalahan kalian sendiri. Aku
telah memperingatkan kalian tahun lalu lewat kentang-kentang. Kalian
mengacuhkannya. Malah sebaliknya, ketika kalian mendapati bahwa
kentang-kentang itu telah membusuk, kalian bersumpah serapah, dan
kalian mencemarkan nama Putraku. Kentang-kentang itu akan terus
rusak, dan pada waktu Natal tahun ini tak akan ada lagi yang tersisa.
Apabila ada pada kalian jagung, maka tak akan ada gunanyalah
menabur benih. Binatang-binatang liar akan melahap apa yang kalian
tabur. Dan semuanya yang tumbuh akan menjadi debu ketika kalian
mengiriknya.
Suatu bencana kelaparan hebat akan datang. Tetapi sebelum itu terjadi,
anak-anak di bawah usia tujuh tahun akan diliputi kegentaran dan mati
dalam pelukan orangtua mereka. Orang-orang dewasa akan harus
membayar hutang dosa-dosa mereka dengan kelaparan. Buah-buah
anggur akan menjadi busuk, dan biji-bijian akan menjadi rusak.”
“Tidak, kami nyaris tak pernah berdoa sama sekali,” gumam mereka.
Marilah kita berpaling kepada Santa Perawan Maria dari La Salette dan
mendaraskan Memorare kepadanya:
(Dialog seperti tertulis di atas diambil dari “The Lady in Tears,” oleh
Msgr. John S. Kennedy dalam A Woman Clothed with the Sun.)
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and professor
of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in
Alexandria.
Pada tahun 1861, Kaiser Wilhelm I menduduki tahta Prussia, dan segera
menunjuk Otto von Bismark sebagai penasehatnya. Tujuan mereka
adalah mempersatukan segenap negeri yang berbahasa Jerman menjadi
satu negara. Bersama-sama, mereka mengambil sikap yang agresif dan
suka berperang. Guna memaksakan kehendak mereka sekaligus
menguji posisi di antara negara-negara sekitarnya, Prussia menyulut
tiga perang singkat: pertama, melawan Denmark pada tahun 1864,
menguasai Holstein; kedua, melawan Austria pada tahun 1866,
menempatkan Prussia di bawah kendali Jerman; dan yang terakhir,
melawan Perancis pada tahun 1870.
Pada pukul 8.30 petang, orang banyak menyanyikan, “Ave, Maris Stella,”
dan salib lenyap. Lagi, Bunda tersenyum dan dua salib putih kecil
nampak di kedua pundaknya. Ia merentangkan tangannya ke bawah,
seperti yang terlihat dalam gambar-gambar Santa Perawan Maria
Dikandung Tanpa Dosa. Sebuah selubung putih secara perlahan-lahan
menutupi Bunda Maria dari kaki hingga ke mahkota. Sekitar pukul 8.45
petang, anak-anak mengatakan, “Sudah selesai.” Bunda Maria telah
menghilang.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Mary as Our Lady of Hope” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com
Menurut tradisi St Lukas yang melukis ikon tersebut pada daun meja
kayu buatan St Yosef, yang dibawa serta oleh Bunda Maria ketika ia
pindah ke Efesus dan tinggal dalam pemeliharaan St Yohanes Rasul.
Ingat bahwa St Lukas mencatat dalam Injilnya kisah terperinci mengenai
kabar sukacita, Maria mengunjungi Elisabet, Natal, Yesus
dipersembahkan di Bait Allah, dan Yesus diketemukan dalam Bait Allah,
yang tidak kita dapati dalam Injil-Injil lainnya, dan yang pastilah ia
ketahui dari Bunda Maria sendiri. St Helena disebut sebagai yang
menemukan ikon ini pada awal tahun 300-an. Theodorus Lector (± 530)
menyebutkan tentang keberadaan ikon Hodegetria dalam sebuah gereja
di Konstantinopel sebelum tahun 450.
Pada tahun 988, ikon ini menjadi milik Puteri Anna, puteri Kaisar
Byzantine Basilus II dan isteri St Vladimir dari Kiev (± 975-1015), yang
telah dipertobatkan dalam iman dan menjadi penguasa Rusia pertama
yang memeluk kekristenan. Pada tahun 1382, Pangeran Ladislaus
Opolczyk membawa ikon ke kastilnya di Belz. Di kemudian hari, ia
bermaksud memindahkan ikon ke tempat kelahirannya, yakni kota
Opala. Dalam perjalanan ke Opala, ia dan mereka yang menyertainya
singgah dan bermalam di Czestochowa, sebuah kota di sebelah selatan
pusat Polandia di Sungai Warta. Keesokan harinya, kuda-kuda yang
dipasangkan pada kereta yang membawa ikon menolak bergerak maju,
yang ditafsirkan Pangeran Ladislaus sebagai suatu tanda ajaib bahwa
ikon harus tinggal di Czestochowa. Karenanya, ia mempercayakan ikon
dalam pemeliharaan para biarawan Paulite (Ordo Pertapa dari St
Paulus), yang memiliki sebuah biara di Jasna Gora (= Bukit Terang).
Pada tahun 1386, Raja Jagiella (dikenal juga sebagai Wladyslaw II)
membangun sebuah gereja yang lebih indah bagi biara. Laporan-laporan
pertama mengenai mukjizat seputar penghormatan kepada ikon didapati
tertanggal 1402. Sekitar pada masa yang sama, umat beriman mulai
menyebut Maria sebagai “Penyembuh yang Sakit, Bunda Belas Kasihan
dan Ratu Polandia.” Segera saja, ratusan peziarah berdatangan demi
menghormati ikon dan memohon bantuan doa Bunda Maria.
Sebab itu, pada tahun 1430, kaum Hussite (kaum bidaah pengikut John
Hus yang menyangkal devosi kepada Bunda Maria dan penghormatan
ikon-ikon) menyerang tempat ziarah. Salah seorang dari kelompok
Hussite mencemarkan ikon dengan pedangnya; ia menorehkan tiga
goresan pada pipi kanan Bunda Maria. Setelah menorehkan goresannya
yang terakhir, orang Hussite itu sekonyong-konyong jatuh terkapar dan
mati seketika. Sesungguhnya, peristiwa ini mendorong devosi yang
terlebih lagi kepada Santa Perawan Maria dari Czestochowa.
Pada tanggal 14 September 1920, pada Pesta Salib Suci, pasukan Rusia
telah berada di Sungai Vistula, siap menyerbu Polandia. Menurut tradisi,
pasukan Rusia melihat suatu penampakan Santa Perawan Maria dari
Czestochowa di langit, hingga akhirnya mereka mengundurkan diri.
Peristiwa ini dikenal sebagai “Mukjizat Vistula.”
Pada tanggal 26 Agustus 1982, pada perayaan Santa Perawan Maria dari
Czestochowa, Paus Yohanes Paulus II merayakan peringatan 600 tahun
kedatangan ikon dan penghormatan ikon Santa Perawan Maria dari
Czestochowa di Polandia. Dari kapelnya di Castel Gandolofo, yang
memajang lukisan Santa Perawan Maria dari Czestochowa, di altar
utama, ia menyampaikan suatu pesan istimewa kepada saudara-saudari
setanahair, yang pada waktu itu tengah berjuang demi kemerdekaan dari
tirani komunis, “Saudara-saudari sebangsa yang terkasih! Betapapun
sulitnya kehidupan masyarakat Polandia sepanjang tahun ini, kiranya
kesadaran ini lekat dalam diri kalian bahwa hidup ini dipeluk oleh Hati
sang Bunda. Seperti ia menang dalam Maximilianus Kolbe, Ksatria dari
Immaculata, demikian pula kiranya ia menang dalam kalian. Kiranya hati
sang Bunda menang! Kiranya Bunda dari Jasna Gora menang dalam
kita dan melalui kita! Kiranya ia menang bahkan melalui penderitaan dan
kekalahan kita. Kiranya ia memastikan bahwa kita tidak akan berhenti
berusaha dan berjuang demi kebenaran dan keadilan, demi kebebasan
dan martabat dalam hidup kita. Tidakkah kata-kata Maria, “Apa yang
dikatakan (Putraku) kepadamu, buatlah itu!” berarti demikian pula?
Kiranya kuasa dengan sepenuhnya dinyatakan dalam kelemahan, sesuai
nasehat Rasul orang Kafir dan seturut teladan saudara sebangsa kita,
Pastor Maximilianus Kolbe. Ratu Polandia, aku di dekatmu, aku
mengenangkanmu, aku berjaga!”
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a
professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School
in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Our Lady of Czestochowa” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com
Artikel khusus.
Katekese tentang Santa
Perawan Maria
oleh: St. Yohanes Maria Vianney
Hati Bunda yang amat lemah-lembut ini sepenuhnya adalah cinta dan
belas kasihan; ia hanya menginginkan kita bahagia. Kita hanya perlu
datang kepadanya agar ia mendengar kita. Putra memiliki keadilan-Nya,
tetapi Bunda tak memiliki apa-apa kecuali kasih sayangnya. Tuhan
begitu mengasihi kita sehingga Ia rela wafat bagi kita; tetapi dalam hati
Kristus ada keadilan-Nya, yang adalah atribut Allah; dalam hati Santa
Perawan Tersuci, tak ada yang lain selain belas kasihan. Putranya siap
menghukum mereka yang berdosa, Maria menengahi, ia menahan
pedang keadilan, memohon dengan sangat pengampunan bagi pendosa
yang malang. “Ibu,” demikian Kristus berkata kepada Bunda-Nya, “Aku
tak dapat menolak apa pun permohonanmu. Bahkan jika neraka
bertobat, engkau akan beroleh pengampunan baginya.”
Ave Maria adalah doa yang tak pernah membosankan. Devosi kepada
Perawan Tersuci begitu nikmat, begitu manis dan begitu menyegarkan
jiwa. Apabila kita membicarakan masalah-masalah duniawi atau politik,
kita akan merasa bosan; tetapi apabila kita membicarakan Perawan
Tersuci, kita akan selalu bersemangat. Semua orang kudus memiliki
devosi yang mendalam kepada Bunda Maria; tak ada rahmat datang dari
surga tanpa melalui tangan-tangannya. Kita tak akan dapat masuk ke
dalam rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintunya; nah, Perawan
Tersuci adalah penjaga pintu Surgawi.
Segala yang diminta Putra dari Bapa diberikan kepada-Nya. Segala yang
diminta Bunda dari Putra, demikian juga, diberikan kepadanya. Jika kita
menggenggam sesuatu yang harum, maka tangan kita akan
mengharumkan apa saja yang disentuhnya: biarlah doa-doa kita
melewati tangan-tangan Perawan Tersuci; ia akan mengharumkan doa-
doa kita. Aku pikir bahwa pada akhir dunia Perawan Tersuci akan sangat
tenang dan damai; tetapi sementara dunia berakhir, kita menarik-
nariknya ke segala penjuru …. Perawan Tersuci bagaikan seorang
ibunda dengan begitu banyak anak - ia terus-menerus sibuk memeriksa
dan memelihara anak-anaknya satu persatu.
Maria disebut “Benteng Gading”. Gelar ini juga digunakan dalam Kidung
Agung (Kid 7:4) yang menggambarkan pengantin terkasih. (Ungkapan
serupa, “Istana Gading” digunakan dalam Mazmur 45:9, untuk alasan
yang sama). Kedua ilustrasi tersebut menubuatkan hubungan
perkawinan antara Kristus dan pengantin-Nya, Gereja, seperti
disampaikan dalan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus. Di sini
patut kita ingat, seperti diajarkan dalam Vatikan II, bahwa Maria adalah
“serupa Gereja”: Ia mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melalui dia,
Juruselamat kita masuk ke dalam dunia ini. Gereja, “oleh menerima
Sabda Allah dengan setia pula - menjadi ibu juga. Dan sambil
mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus
secara perawan mempertahankan imannya, keteguhan harapannya, dan
ketulusan cinta kasihnya” (Lumen Gentium no. 64).
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Litany of the Blessed Virgin Mary” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic
Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Kita, orang Katolik, percaya dan yakin bahwa Bunda Maria “tetap
perawan selamanya.” Ketekismus Gereja Katolik menegaskan,
“Pengertian imannya yang lebih dalam tentang keibuan Maria yang
perawan, menghantar Gereja kepada pengakuan bahwa Maria dengan
sesungguhnya tetap perawan, juga pada waktu kelahiran Putera Allah
yang menjadi manusia” (No. 499). Ajaran ini, keperawanan Maria yang
abadi menurut tradisi telah dibela dan dipelajari dalam tiga bagian:
Maria mengandung Kristus (virginitas ante partum); Maria melahirkan
Kristus (virginitas in partu); dan Maria tetap perawan setelah kelahiran
Kristus (virginitas post partum). Rumusan ini dipergunakan oleh banyak
bapa Gereja - St. Agustinus, St. Petrus Chrysologus, Paus St. Leo
Agung, St. Gregorius Nazianze dan St. Gregorius Nyssa. Sebagai
contoh, Katekismus mengutip penjelasan St. Agustinus: Bunda Maria
“tetap perawan, ketika ia mengandung Puteranya, perawan ketika ia
melahirkan-Nya, perawan ketika ia menyusui-Nya. Selalu perawan.” (No.
510).
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
Karena alasan-alasan ini, kita percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan
kepada setiap kita akan keikutsertaan dalam hidup yang kekal, termasuk
kebangkitan badan, digenapi dalam diri Maria. Sebab Maria bebas diri
dosa asal dan segala konsekuensinya (salah satunya adalah kerusakan
badan setelah kematian), sebab ia ikut ambil bagian secara intim dalam
hidup Tuhan dan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dan
sebab ia ada saat Pentakosta, maka model dari pengikut Kristus ini
sungguh pantas ikut ambil bagian dalam kebangkitan badan dan
kemuliaan Tuhan di akhir hidupnya.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College
in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
Penampakan: Haruskah
Percaya?
oleh: P. William P. Saunders *
Wahyu yang telah Tuhan berikan kepada semua orang sepanjang segala
abad ini dipelihara dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Kitab Suci adalah
Sabda Tuhan yang dicatat dalam tulisan oleh penulis manusia dengan
inspirasi dari Roh Kudus; tak akan ada kitab atau ayat yang akan
ditambahkan ataupun dikurangkan dari Kitab Suci. Tradisi Suci adalah
warisan Sabda Allah, yang dipercayakan Yesus kepada para rasul; para
rasul dan penerus mereka, dengan dibimbing dan diterangi Roh Kudus,
yang disebut Kristus sebagai Roh Kebenaran, telah memelihara,
menjelaskan dan mewartakannya dengan setia. Salah satu contoh
Tradisi Suci adalah Kredo Nicea. Keduanya, Kitab Suci dan Tradisi Suci,
membentuk satu warisan wahyu ilahi, “sebab keduanya mengalir dari
sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi
satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (Konstitusi Dogmatis
tentang Wahyu Ilahi, No. 9).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and dean of
the Notre Dame Graduate School of Christendom College.
Artikel khusus.
Mengapa Kita Menghormati
Bunda Maria?
Sepanjang bulan Mei, Gereja meminta
kita untuk memberi perhatian secara
lebih istimewa kepada Santa Perawan
Maria, Bunda Allah. Bunda Maria
sangat berarti bagi kita karena
beberapa alasan:
Kita tidak boleh lupa bahwa Yesus adalah sungguh Allah. Yesus juga
sungguh Manusia, dan Ia bangga menjadi manusia. Yesus sering menyebut
diri-Nya, “Anak Manusia.” Dalam bahasa Ibrani ungkapan tersebut berarti
“manusia”. Karena Yesus tidak dapat dibagi menjadi dua: Yesus yang Allah
dan Yesus yang Manusia, maka bunda-Nya juga disebut Bunda Allah.
MARIA:
Persoalan yang tak pernah
selesai?
Kita kenal ungkapan ini: "Bicara tentang Maria, tak akan ada habisnya!"
Pada tgl 13 April 2001, ketika orang Katolik berbondong-bondong ke
gereja untuk upacara cium salib, sebagian orang pergi ke satu tempat di
Surabaya ini untuk melihat kebenaran berita "Maria yang menangis air
mata madu". Berita ini tidak terlalu heboh. Mungkin karena orang mulai
bosan dengan sensasi-sensasi seperti ini. Tetapi untuk saya, berita ini
menarik buat direnungkan. Kenapa demikian? Karena belum selesai kita
dikejutkan dengan berita: "Maria menangis air mata darah", tiba-tiba kita
dihadapkan dengan berita "air mata madu". Lalu saya berpikir praktis:
"Bunda Maria ini dari tahun ke tahun koq makin aneh?" Atau yang aneh
itu siapa? Maria-nya atau orang-orangnya yang aneh? Menurut catatan
sejarah gereja, sudah terjadi banyak penampakan Santa Maria. Ada yang
sudah diakui secara resmi oleh gereja, yang lain masih dalam proses
penyelidikan. Gereja selalu mengambil sikap "hati-hati", tidak terlalu
cepat mengakui semua penampakan itu.
Pada bulan Mei dan Oktober, ribuan bahkan jutaan orang Katolik
berziarah dan berdoa menghormati secara khusus Bunda Maria. Gereja
menghimbau agar setiap anggotanya menaruh hormat yang penuh
terhadap Bunda Gereja ini. Ada dua hal ekstrim yang harus dijauhkan
dalam sikap seseorang terhadap devosi kepada Bunda Maria. Yang
pertama adalah godaan untuk melebih-lebihkan peran Ilahi dalam karya
penyelamatan. Dalam argumen ini Allah tidak perlu kerja-sama
manusiawi. Manusia tidak punya peran apa-apa. Sehingga tidak seorang
manusia pun, termasuk Maria, bisa layak dihormati. Karena,
penghormatan seperti itu akan mengurangi kemuliaan yang hanya
ditujukan kepada Allah. Akibat dari ekstrim ini muncul apa yang kita
sebut "Mariophobia". Godaan yang kedua yakni melebih-lebihkan peran
manusiawi dalam karya penyelamatan sampai melalaikan peran Ilahi.
Argumen ini menegaskan bahwa Allah membutuhkan sarana untuk
menghadirkan diri. Dan sarana paling nyata adalah Yesus Putra-Nya
yang lahir dari rahim Maria. Akibat yang muncul dari ekstrim ini, orang
berkeyakinan bahwa sarana saja sudah cukup. Hormati Maria saja
sudah lumayan atau ungkapan lazimnya "Mariocentricisme".
dikutip dari : “Semoga Saya Melihat”; Kumpulan Suara Gembala Gereja Katolik
Gembala Yang Baik, Surabaya
Kita tahu bahwa para penulis besar dari abad pertama seperti St.
Ignatius dari Antiokhia, St. Yustinus Martir, St. Ireneus, dan lain-lain
telah menulis dan mengakui bahwa Maria adalah Perawan dan Bunda
Allah. Setelah Konsili Nicea (325 CE), tulisan-tulisan tentang Bunda
Maria makin berkembang, bukan hanya di Gereja Timur melainkan juga
di Gereja Barat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kontroversi tentang
Kristus sebagai Allah yang secara tidak langsung berhubungan dengan
Maria sebagai Bunda Allah. Perkembangan akan cinta dan devosi
kepada Kristus dan BundaNya memberikan Maria tempat yang istimewa
dalam liturgi dan hal ini semakin nyata setelah Konsili Efesus. Namun
kapan persisnya devosi kepada Maria dimasukkan dalam liturgi Gereja,
tidak dapat diketahui dengan pasti.
Kita tidak mempunyai informasi biblis dan historis tentang kapan dan di
mana Bunda Maria dilahirkan. Penyebutan nama Yoakim dan Ana
sebagai orangtuanya pun hanyalah berdasarkan tradisi dan Injil
Apokrief (Apokrief adalah buku-buku yang seringkali penuh legenda dan
merupakan jiplakan dari kitab-kitab asli yang termasuk Kitab Suci,
biasanya dibubuhi nama seorang tokoh Perjanjian Lama atau seorang
Rasul sebagai pengarangnya).
Perayaan ini berawal dari tradisi Gereja Timur dan mulai berkembang di
Gereja Barat sejak abad ke lima. Hari kelahiran Bunda Maria dirayakan
Gereja Katolik pada tanggal 8 September.
Masih ada banyak peringatan lain yang dirayakan dalam liturgi Gereja
Katolik baik yang bersifat fakultatif maupun secara khusus dirayakan
oleh kelompok atau tarekat religius tertentu.
sumber : Majalah Liturgi Vol. 17, No. 3, Mei-Juni 2006; diterbitkan oleh Komisi
Liturgi KWI
Angelus
Sebagian besar umat Katolik Roma mempunyai kebiasaan untuk
mengucapkan serangkaian doa tiga kali dalam sehari. Rangkaian doa
tersebut dikenal dengan “Doa Angelus” atau “Doa Malaikat Tuhan”
Angelus didaraskan pada jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 petang.
Nama Angelus diambil dari kata pertama dalam doa tersebut dalam
bahasa Latin, artinya “Malaikat”. Beginilah bunyinya: Angelus Domini
nuntiavit Mariae atau Malaikat Tuhan menyampaikan kabar kepada
Maria.
Doa Angelus mungkin adalah suatu cara bagi umat beriman untuk
berdoa bersama seperti dalam Breviary atau Ofisi, yaitu doa yang
didoakan oleh para imam dan para anggota komunitas suatu Ordo
Religius. Umat yang tidak dapat membaca, dapat menghafalkan doanya.
Doa Angelus sudah dimulai sejak tahun 1263 oleh Santo Bonaventura
dalam Sidang Umum Ordo Fransiskan. Doa ini berkembang dari abad ke
abad sampai dengan zaman Paus Yohanes XXII yang memberikan
indulgensi kepada orang yang mengucapkan Doa Angelus.
Beginilah doanya:
Maria diberi kabar oleh malaikat Tuhan, bahwa ia akan mengandung dari
Roh Kudus.
sumber : 1. Kartu Doa Gereja Katolik Roh Kudus, Surabaya; 2. News For Kids, Rm
Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com; disesuaikan
dengan buku Puji Syukur; Komisi Liturgi KWI
Doa Salam Maria bagaikan suatu tambang emas di mana kita senantiasa
dapat menggali darinya tanpa ia pernah menjadi habis. Sulitkah
mendaraskan Salam Maria dengan baik? Yang kita perlukan hanyalah
belajar memahami nilai dan artinya.
Pastor F. Suarez, seorang imam Yesuit yang terpelajar dan kudus, ketika
sedang menghadapi ajal menyatakan bahwa dengan senang hati ia akan
menyerahkan seluruh dari banyak buku berbobot yang ia tulis, juga
seluruh karya sepanjang hidupnya, demi mendapatkan ganjaran dan
jasa dari satu doa Salam Maria yang didaraskan dengan khusuk dan
tulus.
St. Mechtilda, yang sangat mengasihi Bunda Maria, suatu hari sedang
berusaha keras untuk menggubah sebuah doa yang indah untuk
menghormati Bunda Maria. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya,
dengan tulisan emas di dadanya: “Salam Maria penuh rahmat.” Santa
Perawan berkata kepadanya, “Berhentilah, anakku terkasih, dari
usahamu itu, oleh sebab tidaklah mungkin engkau dapat menggubah
suatu doa yang dapat memberiku sukacita dan kebahagiaan seperti
Salam Maria.”
Begitu banyak rahmat dan sukacita yang memenuhi jiwa Maria saat itu.
Demikian juga dengan Bunda kita terkasih. Setiap kali kita mendaraskan
Salam Maria, Bunda Maria menerima dari kita segala sukacita dan
kebahagiaan yang sama seperti yang ia terima dari perkataan St.
Gabriel.
Adakah sikap acuh kita yang mengerikan, yang menjauhkan kita dari
pertolongan dan penghiburan yang sedemikian itu?
Jika demikian, rahmat-rahmat apakah yang tidak akan kita peroleh jika
kita mendaraskan Salam Maria sementara kita mengucap syukur
kepada-Nya atas segala rahmat tak terkatakan yang telah Ia
anugerahkan kepada Bunda-Nya Maria?
Bapa “kami” berarti kita berdoa bersama yang lain juga; sebagai contoh,
mereka semua yang telah dibaptis dalam nama Kristus. Doa Bapa Kami
hendaknya senantiasa mengingatkan umat Kristiani akan persatuan
mereka satu dengan yang lain, meskipun sayangnya, perbedaan-
perbedaan masih memisahkan gereja-gereja Kristen. Kita, umat Kristen,
percaya bahwa kita bersatu dalam doa; kita dapat berdoa bersama yang
lain serta saling mendoakan satu sama lain. Doa merupakan sumber
hidup yang mempersatukan kita semua.
Dalam Gereja Katolik, keyakinan bahwa kita bersatu dalam doa dengan
yang lain diungkapkan dalam doa kepada Bunda Maria, Bunda Yesus,
dan kepada para kudus. “Kita percaya akan persekutuan para kudus”
yang berdoa bersama kita dan bagi kita, dalam persatuan dengan Yesus
Kristus.
Doa yang indah bagi Bunda Maria dalam tradisi Katolik adalah doa
Salam Maria. Bagian pertama dari doa tersebut berkembang dalam abad
pertengahan ketika Maria, Bunda Yesus, menjadi perhatian umat
Kristiani sebagai saksi terbesar atas hidup, wafat serta kebangkitan
Kristus. Bagian awal doa merupakan salam Malaikat Gabriel di Nazaret,
menurut Injil Lukas:
Salam Maria,
penuh rahmat,
Tuhan sertamu,
Bagian doa tersebut memohon kepada Maria, yang penuh rahmat serta
dekat dengan Putra-nya, untuk mendoakan kita orang berdosa,
sekarang dan saat ajal menjelang. Bersama dengan murid kepada siapa
Yesus mempercayakan ibunda-Nya di Kalvari dengan mengatakan
“Inilah ibumu!”, kita mengakui Bunda Maria sebagai bunda kita. Bunda
Maria akan senantiasa mendekatkan kita pada Kristus. Sejak dari
permulaan Bunda Maria mengenal-Nya; ia menjadi saksi atas hidup,
wafat dan kebangkitan Kristus; tidakkah Bunda Maria akan membantu
kita untuk lebih mengenal Putra-nya dan misteri hidup-Nya? Kita
mengandalkan belas kasih Bunda Maria kepada kita seperti yang ia
lakukan bagi pasangan pengantin di Kana, di Galilea. Kita
mempercayakan segala kebutuhan kita kepada Bunda Maria.
Pada akhir abad ke-16, kebiasaan mendaraskan 150 Salam Maria dalam
suatu rangkaian doa atau perpuluhan menjadi populer di kalangan umat
Kristiani. Dalam doa-doa tersebut, peristiwa-peristiwa hidup, wafat dan
kebangkitan Yesus direnungkan. Praktek doa itu sekarang dikenal
sebagai Doa Rosario.
sumber : “The Hail Mary and the Rosary” by Fr. Victor Hoagland, C.P.; Copyright
1997-1999 - The Passionist Missionaries; www.cptryon.org/prayer
Apa itu doa? Doa ialah berbicara dengan Tuhan; mengangkat hati serta
pikiran kita kepada Tuhan. "Doa adalah kunci Surga." - St. Agustinus
Mengapa kita berdoa? Kita berdoa agar kita dapat masuk Surga. St.
Agustinus mengatakan: “Sama seperti tubuh tidak dapat hidup tanpa
makanan, demikian juga jiwa kita tidak dapat hidup secara rohani tanpa
doa.” St. Alfonsus mengatakan: “Ia yang berdoa, diselamatkan; ia yang
tidak berdoa, celaka!” Doa sangat besar kuasanya. (Yak 5:16-18, 2Raj
20:1-6).
Siapa yang berdoa? Yang berdoa ialah orang yang ingin berbahagia
selamanya bersama Tuhan di surga.
Di mana kita berdoa? Kita berdoa di rumah, di kamar kita (Mat 6:1-6),
di Gereja dengan keluarga kita (Mat 21:13), atau di mana saja. Dengan
doa kita dapat menguduskan saat-saat senggang kita, kita dapat berdoa
ketika sedang berjalan-jalan di taman, mengendarai mobil atau naik bis
dan mempersembahkan waktu luang kita itu kepada Tuhan.
Apakah Tuhan selalu menjawab doa-doa kita? Ya. Ada tiga bentuk
jawaban doa - ya, tidak, dan tunggu. Tidak ada doa yang tidak dijawab
dan tidak ada doa yang tidak didengarkan. St. Thomas Aquinas
mengajarkan: "Tuhan tidak mengabulkan apa yang kita minta dalam doa
jika permintaan kita itu tidak baik bagi keselamatan kita." Kita harus
bertanya apa kehendak Tuhan bagi kita. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan
Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu.” (Mat 6:31-33) “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh
dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:26). Tuhan memenuhi
kebutuhan kita, tetapi tidak keserakahan kita.
sumber : "Why Pray the Rosary" by Father Peffley; Father Peffley's Web Site;
www.transporter.com/fatherpeffley
"Rosario
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan a
Rosario, kata paus, adalah dan akan selalu merupakan doa dari dan bagi
keluarga.
Seringkali terjadi, pada waktu berdoa rosario, kata paus, umat beriman
lupa bahwa bagian penting dari suatu doa kontemplasi adalah
keheningan; karenanya baik pada waktu mendaraskan doa rosario
secara pribadi atau pun bersama-sama dalam suatu kelompok,
dianjurkan untuk berhenti sejenak dalam keheningan setelah suatu ayat
dibacakan.
“Hidup dan doa umat beriman berpusat pada Kristus,” tulisnya. Sama
seperti Rosario, “segala sesuatu berasal dari Dia, segala sesuatu
menghantar kita kepada Dia, segala sesuatu, melalui Dia, dalam
persatuan dengan Roh Kudus, menuju kepada Bapa.”
Rosario itu doa yang fleksibel, katanya. Ujud-ujud doa khusus dapat
diucapkan pada akhir setiap peristiwa; sebagian dapat dinyanyikan;
sebagai penutup, berbagai kelompok yang berbeda dalam usia, budaya
serta etnis dapat memilih doa atau lagu-lagu Maria yang sesuai.
sumber : "Rosary is powerful prayer for peace, pope says in apostolic letter" by
Cindy Wooden; Catholic News Service; Copyright (c) 2002 Catholic News
Service/U.S. Conference of Catholic Bishops; www.catholicnews.com
ROSARIO
dalam Terang Kitab Suci
oleh: P. Victor Hoagland, C.P.
4. Yesus dipermuliakan
2. Yesus didera
Doa-doa Dasar:
Syahadat Para Rasul
Tanda Salib
Bapa Kami
Kemuliaan
Salam Maria
Catatan:
“Rosario Dalam Terang Kitab Suci” telah dicetak dan disebarluaskan
oleh Karya Kepausan Indonesia. Bagi yang berminat memiliki buku
tersebut, dapat memesannya dengan mengganti biaya cetak sebesar Rp
3.000 /eks ke Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia, Jl. Cut Meutia
10, Jakarta 10340, Telp & Fax: 021 31924819; e-mail: kki-kwi@kawali.org
Bayi Yesus menampakkan diri kepada Lucia kembali pada tahun 1926
dan, atas permintaannya, Yesus memberikan persetujuan bahwa
“praktek devosi ini dapat dilakukan pada hari Minggu sesudah Sabtu
Pertama, karena alasan-alasan tertentu, selama para imam
mengijinkan.” Yesus juga mengatakan kepada Lucia bahwa Sakramen
Tobat dapat dilakukan dengan tenggang waktu delapan hari dari hari
devosi, asalkan orang tersebut berada dalam keadaan rahmat. Di
Vatikan, Paus Yohanes Paulus II secara pribadi memimpin doa Rosario
pada hari Sabtu Pertama pada waktu menerima-Nya, dengan ujud untuk
mempersembahkannya bagi pemulihan Hati Maria Yang Tak Bernoda.
sumber : "The First Saturdays of Reparation" by Father Peffley; Father Peffley's Web
Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Yang menarik, pada tahun 1482, peringatan ini secara resmi dimasukkan
dalam Misale Romawi dengan gelar “Santa Perawan Maria Bunda
Berbelas Kasihan,” (Our Lady of Compassion) dengan menekankan
besarnya cinta kasih Bunda Maria yang diperlihatkannya dalam
sengsara bersama Putranya. Kata `compassion' berasal dari kata Latin
`cum' dan `patior' yang artinya “menderita bersama”. Dukacita Bunda
Maria melampaui dukacita siapa pun oleh sebab ia adalah Bunda Yesus,
yang bukan hanya Putranya, melainkan juga Tuhan dan Juruselamatnya;
Bunda Maria sungguh menderita bersama Putranya. Pada tahun 1727,
Paus Benediktus XIII memasukkan Peringatan Santa Perawan Maria
Bunda Berbelas Kasihan dalam Penanggalan Romawi, yang jatuh pada
hari Jumat sebelum Hari Minggu Palma. Peringatan ini kemudian
ditiadakan dengan revisi penanggalan yang diterbitkan dalam Misale
Romawi tahun 1969.
Dengan menekankan belas kasihan Bunda Maria, Bapa Suci kita, Paus
Yohanes Paulus II, mengingatkan umat beriman, “Bunda Maria yang
Tersuci senantiasa menjadi penghibur yang penuh kasih bagi mereka
yang mengalami berbagai penderitaan, baik fisik maupun moral, yang
menyengsarakan serta menyiksa umat manusia. Ia memahami segala
sengsara dan derita kita, sebab ia sendiri juga menderita, dari Betlehem
hingga Kalvari. 'Dan jiwa mereka pula akan ditembusi sebilah pedang.'
Bunda Maria adalah Bunda Rohani kita, dan seorang ibunda senantiasa
memahami anak-anaknya serta menghibur dalam penderitaan mereka.
Dengan demikian, Bunda Maria mengemban suatu misi istimewa untuk
mencintai kita, misi yang diterimanya dari Yesus yang tergantung di
Salib, untuk mencintai kita selalu dan senantiasa, dan untuk
menyelamatkan kita! Lebih dari segalanya, Bunda Maria menghibur kita
dengan menunjuk pada Dia Yang Tersalib dan Firdaus!” (1980).
PENDAHULUAN
TUJUH RAHMAT
MANFAAT
MADAH STABAT MATER DOLOROSA
DOA-DOA
DOA KEPADA SP MARIA BERDUKACITA
MEDITASI TUJUH DUKA SP MARIA oleh St Alfonsus
Maria de Liguori
PERINGATAN SP MARIA BERDUKACITA
PENDAHULUAN
Tujuan dari Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria adalah mendorong
persatuan dengan sengsara Kristus melalui persatuan dengan sengsara
istimewa yang ditanggung Santa Perawan sebab ia adalah Bunda Allah.
Dengan mempersatukan diri dengan, baik Sengsara Kristus dan
Dukacita BundaNya yang Tersuci, kita masuk ke dalam Hati Yesus dan
menghormatinya dengan terlebih lagi; Yesus dihormati dengan terlebih
lagi sebab kita begitu menghormati BundaNya.
Injil Yohanes 19:25 mengatakan, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan
saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” Atas
amanat wasiat Kristus dari atas salib, Bunda Maria dimaklumkan
sebagai Bunda seluruh umat manusia.
Maria mempunyai tiga kekasih dalam Hatinya yang Tak Bernoda: Tuhan,
Putranya, dan jiwa-jiwa. Ia begitu mengasihi dunia hingga ia
menyerahkan Putra tunggalnya. Seperti dikatakan St Bernardus,
“Pedang tidak akan sampai kepada Yesus apabila ia tidak terlebih
dahulu menembusi hati Maria.” Maria mencintai jiwa-jiwa; dan di Kalvari,
setelah menanggung sengsara yang begitu keji, ia memperoleh ganjaran
menjadi bunda segenap umat manusia.
1. Menyadari nilai suatu jiwa, yang begitu tak ternilai hingga dibayar
dengan Kurban Agung di Kalvari.
2. Giat berkarya bagi jiwa-jiwa, melalui pewartaan, menunaikan kewajiban
hidup, dan berdoa bagi orang-orang berdosa.
3. Berdoa senantiasa, hidup dalam persatuan dengan Tuhan; siapa pun
yang memiliki hati serupa dengan Hati Yesus dan Hati Maria, akan
bekerja demi keselamatan jiwa-jiwa.
Apabila kita berdosa, kita membuat Santa Perawan berduka, sebab dia
adalah sungguh Bunda kita, Bunda rohani kita, dan ia merawat kita
seperti merawat Bayinya, lebih dari dua ribu tahun yang lalu.
Quis est homo qui no fleret Bunda Kristus yang terkasih memandang,
matrem Christi si videret dalam sengsaranya yang sungguh dahsyat,
in tanto supplicio Siapakah yang lahir dari seorang perempuan yang tidak
Quis non posset contristari akan menangis?
piam matrem contemplari Bunda Kristus yang terkasih merenungkan,
dolentem cum filio piala sengsara yang harus direguknya,
adakah yang tak hendak berbagi sengsara dengannya?