You are on page 1of 46

Sarasehan Perempuan dan Politik

MENUMBUHKAN KESADARAN KRITIS PEREMPUAN DALAM PROSES DEMOKRASI

Kesadaran/berpikir Kritis = Pencerdasan


Memahami dan menganalisa persoalan yang ada serta mampu mengambil tindakan penanganannya (aksi). Perempuan (Orang dewasa) menjadi subyek aktif (bukan obyek/target) dengan kebebasan penuh mengambil keputusan bagi dirinya. Kesadaran kritis ini berbeda dengan kesadaran naif dan magis.

BIAS GENDER
APAKAH KONSEP-KONSEP POLITIK SEPERTI DEMOKRASI, KEWARGANEGARAAN, dan NASIONALISME KONSEP YANG NETRAL??? Konsep-konsep itu sangatlah bias gender. Hak-hak politik perempuan merupakan hak asasi yang paling mendasar.

Hak asasi manusia adalah bagian integral dari demokrasi. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan adalah sebuah sine qua non (syarat mutlak) di dalam demokrasi.

Perempuan: Hukum & Konvensi


Hak perempuan Indonesia tertulis dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa Semua warganegara adalah sama di hadapan hukum dan pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa dokumen internasional berkaitan dengan perempuan seperti Konvensi ILO tentang Upah No. 100 (1951/Law No.80/57) mengenai upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan (Law No.68/1968), CEDAW (Law No.7/1984), Konvensi PBB Menghilangkan Diskriminasi terhadap Perempuan (1990).

Perempuan dan Kursi DPR RI 1999 & 2004


16 parpol yang berhasil meraih kursi DPR.
Partai Golkar menghasilkan legislator perempuan terbanyak -17 orang dari128 kursi yang diraih th 2004. Angka itu meningkat 2% dibanding pemilu 1999 lalu yaitu16 orang, atau 16,6% dari 120 kursi. PAN , Pemilu 1999 34 kursi perempuan 1 (2,9%). Pemilu 2004 - 53 kursi perempuan 6 (11,3%) PPP, jumlah dan persentase perempuan tetap stabil seperti pada Pemilu 1999 lalu. PKB, Pemilu 1999 51 kursi perempuan 3 (5,9%). Pemilu 2004 - 52 kursi, - perempuan 7 (13,5%)

PDI Perjuangan, Pemilu 1999 - 153 kursi perempuan 16 (10,5%). Pemilu 2004 -109 kursi- perempuan 13 (11,9%). PKS, Pemilu 1999 7 kursi - perempuan 1 (14,35). Pemilu 2004 - 45 kursi - perempuan 3 (6,7%). PDS mendapat 3 legislator perempuan atau 23,1% dari 13 kursi yang diraihnya. Pemilu 2004 ini ada masih ada tujuh partai yang belum menghasilkan anggota DPR perempuan: PBB, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); PNI Marhaenisme, Partai Pelopor; Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI); Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pimpinan R Hartono; dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI).

Sejarah Perempuan dan Politik


Dalam sejarah Nusantara (untunglah kita memiliki bahasa yang netral gender tidak seperti bahasa Inggris yang bias gender sejarah adalah history karenanya kaum feminis menggantinya menjadi herstory kisah perempuan), telah muncul para ratu pemimpin kerajaan mulai dari jaman Hindu seperti Ratu Shima, Tribuana Tungga Dewi juga para Sultanat Aceh dan kemudian pahlawan perempuan yang mengangkat senjata melawan Belanda mulai dari Cut Nyak Dien, Cut Meuthia dari Aceh, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah, Kristina Martha Tiahahu dari Ambon. Penting untuk dicermati bahwa para perempuan ini adalah elit pada komunitas mereka yang diperoleh karena keturunan/darah, dan perkawinan, mereka bukan rakyat biasa.

Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda, Roehana


Pada periode modern, kita tahu muncul Kartini, dan juga ada Dewi Sartika di Jawa Barat, ada Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara yang bahkan lebih mendahului Kartini soal pendidikan perempuan, dan di Sumatera Barat ada Roehana Koeddoes yang aktif mendirian sekolah untuk anak perempuan dan seorang jurnalis handal dan mendirikan koran Soenting Melajoe. (Fitriyanti 2001, 95-98).

Organisasi Perempuan Modern


Sejarah telah mencatat bahwa organisasi modern perempuan pertama adalah Poetri Mahardhika yang berdiri tahun 1912 dan juga kemudian adanya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada tahun 1928 yang kemudian dijadikan hari Ibu yang bagi sebagian aktivis perempuan lebih memilih untuk mengatakannya sebagai hari gerakan perempuan Indonesia. Menurut Saskia Wieringa (1995, 58) pada dekade 1920an untuk pertama kalinyalah perempuan Indonesia memobilisasi seputar kepentingan gender. Mereka mengangkat isu-isu sosial-budaya dan mengorganisir diri dalam basis agama atau wilayah serta di dalam berbagai gerakan politik. Sekolah untuk perempuan dan penerbitan dipublikasikan serta aksi-aksi atas nama buruh perempuan dan perempuan yang dilacurkan dilakukan. Diluar organisasi perempuan, ada juga ribuan perempuan yang aktif di gerakan sosialis-komunis, Sarekat Rakyat sayap merah dari Sarekat Islam seperti Raden Sukesih dan Munapsiah yang pernah dibuang sampai ke Boven Digul (Wieringa 1995, 61

Dinamika Kongres Perempuan dan Isteri Sedar


Kongres perempuan pertama ini diilhami oleh kongres pemuda kedua (Ohorella et.al. 1992, 19), akan tetapi kongres ini tidak menyebutkan dengan tegas sikap nasionalisme Indonesia. Karena hal ini, Sukarno muda yang ketika itu sudah menjadi ketua Partai Nasionalis Indonesia, kecewa dan mengkritik Kongres Perempuan I. Dalam suatu rapat dengan para perempuan nasionalis di Bandung tahun 1929 - yang diketuai oleh Suwarni Pringgodigdo kemudian menjadi Djojoseputro, setahun kemudian ia mendirikan Isteri Sedar Sukarno muda dengan sesumbar mengatakan sikapnya yang anti poligami dan menyerukan agar para perempuan menyokong perjuangan nasional. (Wieringa 1999, 123). Organisasi Isteri Sedar dianggap sebagai organisasi perempuan yang paling nasionalis dan pejuang yang gigih dan radikal dalam melawan poligami sebelum tahun 1942. Organisasi ini mengikuti garis non-kooperasi dalam berhubungan dengan pemerintah kolonial (Wieringa 1995, 74).

Mardi Wanita SK Trimurti


Mardi Wanita (1933) adalah organisasi perempuan lainnya yang punya sikap tegas bahkan dianggap paling radikal dalam sikap yang berkaitan dengan nasionalisme Indonesia. Organisasi ini punya kaitan erat dengan Partindo. Mereka terkena larangan mengadakan rapat. Ketuanya Sri Panggihan pernah dipenjara selama 50 hari karena menyelenggarakan rapat di sawah. Demikian pula SK Trimurti, aktivis Mardi Wanita lainnya pun pernah dipenjarakan. Pemerintah kolonial membubarkan Mardi Wanita dan Partindo pada tahun 1936. (Wieringa 1995, 74).

Kongres Perempuan Indonesia dan Hak Pilih


Dalam Kongres di Semarang tahun 1941, sebagai kongres terakhir sebelum pendudukan Jepang. Kongres mendeklarasikan mendukung penuh tuntutan GAPI: Indonesia membutuhkan parlemennya sendiri dan hak untuk menyiapkan diri secara militer akan datangnya perang. Perempuan Indonesia harus memiliki hak pilih penuh dan bahasa Indonesia harus diajarkan di sekolah menengah (Wieringa 1995, 83).

Masa Kemerdekaan Perempuan adalah Founders dari Republik Indonesia


Kita tahu bahwa dalam kemerdekaan Indonesia perempuan terlibat aktif sebagai founders (jangan sebut lagi founding fathers yang sangat bias gender namun gantilah menjadi founders karena ada SK Trimurti, Maria Ulfah Soebadio yang memberikan diri mereka untuk proklamasi). Setelah kemerdekaan pun perempuan terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan melalui berbagai organisasi perempuan dan juga bidang pekerjaan lainnya. Sejarah mencatat bahwa ketika Sukarno mempraktikkan poligami, terjadi konflik antara Sukarno dengan gerakan perempuan dan di dalam gerakan perempuan sendiri. Dan kemudian ketika terjadi pergantian rejim, salah satu organisasi perempuan terbesar dalam sejarah Gerwani dihancurkan oleh rejim militer.

Sejarah Perempuan Berpolitik di Ruang Publik Masa Soekarno


Pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.

Masa Soeharto
Masa Orde Baru (era Soeharto) terjadi pemilihan umum dari tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 (6 kali) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah tertentu elit. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/ kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat.

KETIDAKADILAN GENDER
Bentuk, posisi, kondisi, atau sifat yang memperlakukan pola hubungan yang tidak adil atau diskriminatif berdasarkan jenis kelamin yang sering kali terkait dengan kelas sosial, agama/kepercayaan, kelompok budaya, aliran politik, bentuk tubuh, usia dan suku bangsa.

BENTUKBENTUK-BENTUK KETIDAKADILAN GENDER


SUBORDINASI
Sebuah posisi atau peran yang merendahkan nilai peran yang lain Contoh: Masih sedikitnya perempuan yang bekerja dalam peran pengambil keputusan dan menduduki peran penentu kebijakan

Adanya status perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dibandingkan laki-laki Pekerjaan reproduktif hanya merupakan tanggung jawab perempuan Kontribusi perempuan, yang umumnya melakukan pekerjaan domestik, pengasuhan anak, pekerjaan rumah tangga, pertanian subsisten, pekerjaan pengelolaan komunitas dan pekerjaan-pekerjaan sektor informal dianggap rendah sehingga tidak diperhitungkan dalam penghitungan Produk Domestik Bruto

MARJINALISASI
Peminggiran peran ekonomi dan politik perempuan (dan laki-laki) yang mengakibatkan proses pemiskinan terhadap mereka
Contoh: Kerja perempuan dalam rumah tangga tidak dinilai/diperhitungkan Perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Kalaupun memiliki akses, perempuan tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya tersebut Untuk pekerjaan yang sama perempuan mendapatkan upah yang lebih rendah dari laki-laki.

Perempuan tidak memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan karir karena keterbatasan waktu maupun kurang mendapatkan dukungan dari suami Perempuan tidak mendapatkan dorongan atau setidaknya kebebasan kultural dan politik untuk memilih kariernya dan mendapatkan sanksi sosial jika dianggap kurang dalam melakukan pekerjaan domestik Perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama masuk ke lapangan pekerjaan apapun dan dimanapun karena dibatasi oleh kemampuan reproduksinya

Laki-laki miskin kulit hitam disubordinasi oleh perempuan kaya kulit putih kasus di Afrika Selatan ketika masa apartheid Perempuan tidak setara dengan laki-laki di depan hukum dalam hal memperoleh waris, harta gono gini dan pengajuan cerai apabila mendapat perlakuan tidak adil dari suami

Feminisasi Kemiskinan
Proses memiskinkan perempuan baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Feminisasi kemiskinan berkaitan erat dengan proses marjinalisasi (peminggiran) karena prosesproses pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat miskin khususnya perempuan. Misalnya perempuan tidak mendapatkan akses pekerjaan yang layak sehingga perempuan rentan menjadi korban trafficking atau penipuan kerja di dalam maupun di luar negeri.

BEBAN GANDA
Masuknya perempuan di sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga.
Contoh: Walau perempuan bekerja mencari nafkah tetapi peran dan tanggung jawab reproduksi dan domestik berupa pemeliharaan dan pengasuhan anak serta pekerjaan rumah tangga lainnya tetap ditangan perempuan Di tempat kerja menjalankan peran produksi/publik dirumah menjalankan peran reproduksi/domestik Di komunitas menjalankan peran pengelolaan komunitas

Laki-laki di Aceh setelah tsunami mengalami perubahan peran gender karena kehilangan istri. Mereka harus melakukan kerja-kerja domestik selain kerja produktif dan komunitas. Laki-laki yang berperan sebagai orangtua tunggal (walaupun kebanyakan dapat mengalihkan tanggung jawab pada keluarga perempuan atau saudara perempuan mereka).

KEKERASAN BERBASIS GENDER


Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Pembedaan karakter sering memunculkan tindakan kekerasan. Bentuk kekerasan antara lain berupa tindakan kekerasan fisik, kekerasan psikologis (emosional), kekerasan seksual, pengabaian ekonomi atau kekerasan lainnya. Pelaku kekerasan bukan hanya individu, tetapi juga dilakukan oleh institusi keluarga, masyarakat bahkan negara. Kekerasan terhadap perempuan dalam pembangunan seringkali berwujud pengabaian hak-hak mereka yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan yang bias gender

Penculikan anak laki-laki untuk dijadikan tentara (kasus Rwanda). Perkosaan/kekerasan seksual yang dilakukan oleh tentara laki-laki Amerika di Guantanamo terhadap tahanan laki-laki yang diduga teroris.

STERIOTIPE/PELABELAN
Pemberian label atau cap yang dikenakan kepada seseorang sehingga menimbulkan anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam hubungan sosial dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan sebuah tindakan dari satu kelompok ke kelompok lainnya atau didasari pada perbedaan kelas, ras, suku budaya, suku bangsa maupun jenis kelamin. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang. Pada umumnya pihak yang lebih kuat atau dominan dapat lebih punya daya dalam membangun steriotipe pihak lainnya

Contoh: Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dibayar sebagai pekerja lajang dengan anggapan setiap perempuan adalah pencari nafkah tambahan meskipun secara de facto harus menafkahi keluarga Perempuan sebagai pekerja reproduktif dan pengelolaan komunitas Sempitnya kesempatan kerja dimanapun dan kapanpun, karena anggapan bahwa perempuan lemah dan tidak berdaya sehingga banyak halangan dalam bekerja. Anggapan bahwa perempuan penurut, tidak berani protes sehingga diminati sebagai pekerja menjadi buruh karena pasti mau dibayar lebih murah.

Laki-laki tidak boleh menangis dan dianggap cengeng seperti perempuan bila menangis Karena dianggap sebagai pencari nafkah utama, laki-laki yang berperan dalam kerja domestik atau bekerja di rumah dianggap bukan laki-laki yang bertanggungjawab dan sering gunjingan tetangga Belis (mahar) sering membebani keluarga lakilaki

Trafiking (perdagangan orang)


Sasaran utama trafiking adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini didasarkan pada stereotipe perempuan yang lemah, penurut, tidak banyak menuntut, dan anggapan bahwa memang tugas perempuan untuk melayani laki-laki (menjadi orang/anak yang dilacurkan). Dalam konteks trafiking, perempuan dan anak-anak dipekerjakan di dalam keluarga sebagai pekerja rumah tangga, penjaga toko, di pabrik-pabrik sebagai buruh dan bahkan sebagai orang/anak yang dilacurkan.

Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk/GNTPPB (2004-2008)


Ada kriteria-kriteria lainnya, namun dalam konteks ini dipilih tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang ditentang oleh kelompokkelompok konservatif. Kriteria Operasional Mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau mendukung, membiarkan berlangsungnya KDRT. Seperti menganiaya isteri, anak, atau pekerja rumah tangga/PRT (kekerasan fisik) menelantarkan isteri dan anak-anak (kekerasan ekonomi), memaksa berhubungan seks tanpa kehendak isteri (kekerasan seksual). Termasuk KDRT adalah melakukan kekerasan dalam bentuk poligami. Melakukan tindak kekerasan seksual atau mendukung, membiarkan atau bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan, seperti perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan bentuk-bentuk tindakan lainnya yang menyerang integritas tubuh dan seksual perempuan.

Melakukan kekerasan ekonomi terhadap perempuan seperti menggusur rumah/lahan pekerjaan perempuan, tidak membayar upah yang layak sesuai kerja mereka, PHK sewenang-wenang dan tindakan lainnya yang meminggirkan perempuan secara ekonomi yang berdampak pada kemiskinan terhadap perempuan atau menghilangkan sama sekali akses dan kontrol mereka terhadap sumber-sumber ekonomi. Melakukan, mendukung, membiarkan, bertanggung jawab atau menarik keuntungan dari perdagangan perempuan dan anak. Seperti membuat perempuan dan anak terjerat ke dalam pelacuran atau kerja eksploitatif/perbudakan di pabrik, menjadikan perempuan dan anak sebagai TKW tanpa perlindungan kerja serta bentukbentuk tindakan lainnya, mulai dari merekrut, menampung, mengirim, dan memulangkan ke daerah asalnya.

GNTPPB belum memasukkan dengan jelas tentang:


pengabaian hak ekonomi terhadap Pekerja Rumah Tangga (bagaimana para caleg dalam mempekerjakan PRT) kekerasan terhadap perempuan oleh negara (state violence) seperti yang pernah/sedang terjadi di Timor Leste, Aceh, Papua, Mei 1998. Perlu ditracking, politisi yang punya sejarah mendiskriminasi orang karena suku, agama dan kepercayaan, ras/warna kulit, pandangan/ideologi politik, orang dengan kemampuan berbeda (diffable). Soal ini bisa dikaitkan dengan pelanggaran ham, bukankah mendiskriminasi merupakan pelanggaran ham?

Perempuan Pilih Perempuan yang Bagaimana?


Tindakan affirmative yang dipraktikkan dengan kuota 30% penting dan memang harus diperjuangkan. Namun motto perempuan memilih politisi perempuan jelas dipakai juga oleh prostatus-quo. Dalam konteks 2004, Golkar dengan Nurul Arifin, Tutut dengan Partai Karya Peduli Bangsa, para pejabat lama yang berjuang muncul dalam pemilihan DPD. Seolah-olah perempuan sama dan satu, tidak ada perbedaan. Ini mengaburkan adanya perbedaan dalam kelas sosial, sejarah politik termasuk kepentingan politik yang berbeda: yang satu prostatus-quo yang menginginkan Indonesia kembali ke masa represif-militeristik yang komunistophobi, homophobi, yang Ibuisme negara dengan Panca Dharma Wanita dan PKK yang tidak demokratis/egaliter.

Agenda Reformasi 1998: Kerangka Politik Indonesia Baru


Menurut Fadjroel Rachman (Kompas, Selasa 13 Mei 2008) bahwa agenda reformasi telah gagal secara sistemik (1) Mengadili KKN Soeharto, keluarga, dan kroni (paling hanya mampu menyeret Tommy Soeharto dan Bob Hasan ke Nusa Kambangan pada masa pemerintahan Gus Dur); (2) Mengadili pelanggaran HAM berat dari mulai peristiwa 1965, Timor TImur, Aceh, Papua, Tanjung Priok, Talangsari, 27 Juli 1996, hingga Trisakti, 13-14 Mei, Semanggi I dan II (kita tahu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gagal dibentuk ini adalah cermin masih kuatnya Orbaisme juga misalnya sudah sepuluh tahun berlalu tapi jaksa belum menyidik kerusuhan Mei 1998 bahkan sebagian berkas pencari fakta lenyap!);

(3) Mencabut dwi fungsi ABRI dan praktiknya di politik, bisnis dan territorial; (4) Membubarkan atau menegakkan hukum lustrasi terhadap lembaga Negara dan individu dari partai politik Orba antidemokrasi (kita tahu Golkar masih kuat bercokol bersama kelompok Islam garis keras setiap tahun mengkampanyekan anti komunis baik dengan cara memasang spanduk maupun dengan cara kekerasan); (5) Amandemen total dan progresif dari UUD 1945 menjadi konstitusi demokratis.

Reformasi Separuh Hati


Kita juga tahu memang telah terjadi sebagian perubahan seperti misalnya adanya pemilihan langsung untuk bupati, gubernur dan presiden. Masyarakat boleh mendirikan partai baru bahkan dapat mendirikan partai lokal. Ada perempuan-perempuan yang menjadi Bupati (seperti Rustriningsih yang menjadi Bupati perempuan pertama di Indonesia tahun 2000 di Kebumen dan Bupati perempuan lainnya yang sayangnya masih orang Golkar) dan sudah ada yang menjadi Gubernur di Banten yaitu Ratu Atut Chosiyah.

Ada perubahan
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga mulai dikikis dengan dihapusnya kebijakan seperti Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang melarang orang Cina melaksanakan ibadah dan adat istiadatnya di muka umum oleh Gus Dur. Sudah ada Bupati etnis Tionghoa yaitu Basuki Tjahaja Purnama yang terpilih sebagai Bupati Belitung Timur pada tahun 2005.

Media Relatif Bebas


Pemberangusan media boleh dibilang menurun drastis. Media massa menjamur baik cetak maupun elektronik. Walau kita juga tahu ketika Soeharto meninggal, kita melihat bahwa media elektronik masih memuja-mujanya sebagai pahlawan. Seniman memang sekarang bebas berekspresi namun kita juga tahu bahwa politik identitas menguat dan formalisasi agama juga berhadapan dengan kebebasan berpikir dan berekspresi (Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi).

Soal PKI? Dan Komisi-Komisi


Memang Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sehingga bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan keturunannya dapat mencalonkan dan dipilih, contohnya Ribka Tjiptaning Proletariyati, putri seorang aktivis PKI di Solo menjadi anggota DPR RI. Reformasi juga melahirkan 64 komisi dibawah eksekutif dan 12 komisi independen seperti Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Negara. Komisi ini sebagian dibentuk untuk pengawasan internal lembaga tertentu tapi banyak pihak menilai belum efektif dan sering membuat ruwet pengelolaan birokrasi.

Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan Desentralisasi juga telah membuat anggaran pendapatan dan belanja daerah bisa membengkak menjadi tiga atau empat kali lipat namun anggaran besar ini tidak serta merta mengangkat kesejahteraan rakyat. Selain kita melihat juga perdaperda yang dihasilkan selain untuk menaikkan pendapatan daerah juga perda-perda yang bertentangan dengan Konstitusi dan Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yaitu perda-perda formalisasi agama seperti pengharusan perempuan dengan dress-code tertentu dan juga pemberlakuan jam malam buat perempuan.

Dan tentu saja, Soeharto gagal disidangkan secara pidana karena keburu meninggal bulan Januari lalu. Soeharto seolah dibiarkan lolos dengan berlalunya waktu. Pihak Kejaksaaan Agung memang masih ada upaya untuk mengadilinya dalam perkara perdata. Kita juga tahu dalam soal kebebasan beragama, pihak garis keras lenggang kangkung, bisa membakari kelompok minoritas seperti Ahmadiyah atau beberapa waktu lalu dan beberapa kali pernah melarang orang Kristen beribadat atau mengusirnya dari kampung dan menutup jalan. Mereka baru ditangkap pasca 1 Juni setelah terjadi pembiaran selama bertahun-tahun atas aksi kekerasan yang dilakukan.

Selain kasus pelanggaran hak asasi manusia di atas, kasus Munir masih menjadi dark number case, dan memang militerisme masih kuat di Indonesia. Komnas Ham memanggil para petinggi militer dianggap tidak sopan dan arogan. Padahal para petinggi militer inilah yang memegang kendali kuasa ketika masa itu. Merekalah musuh dari demokrasi. Yang kita hadapi sekarang juga adalah harga-harga bahan pokok dan BBM yang naik, sudah tiga kali SBYJK menaikkan harga BBM selama masa pemerintahan mereka. Situasi ini menimbulkan kerinduan akan masa Pak Harto yang harganya stabil dan lebih gampang hidup. Ini seperti orang tua yang ingin kembali ke jaman normal atau kolonial. Sikap yang ingin mengembalikan statusquo, asal kenyang dan enak, diinjak atau ditindas pun tidak apa-apa.

Penutup - Refleksi
Dengan berkaca secara kritis pada situasi maka kita harus menatap masa depan (memilih menggunakan hak politik) dengan cerdas-kritis dan berhitung cermat dan praktis seperti siapa atau partai mana yang memastikan anggaran pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (anti hutang anti kapitalisme) yang jelas dan besar alokasi anggarannya untuk kepentingan rakyat kecil (dan pro perempuan).

Juga dengan memegang prinsip-prinsip keadilan (anti KKN), kesetaraan, demokrasi (bukan semata yang prosedural), penegakan hukum (bukan hanya formalitasnya tapi hukum yang substantif dan menjadi bagian dari penegakan hak asasi manusia dan sesuai dengan Konstitusi), berkomitmen pada lingkungan hidup yang hijau, nir kekerasan serta non-diskriminatif untuk menciptakan Indonesia yang setara-adil, makmur-sejahtera, damai-berbeda dan beragam/pluralis.

You might also like