You are on page 1of 7

REVITALISASI PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DI INDONESIA Pendahuluan Penegakan hukum di Indonesia berada kondisi yang memprihatinkan, hal

ini dapat dilihat dari berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum yang mengemuka ke publik. Ingatan publik pasti masih segar ketika terjadi perseteruan Cicak-Buaya yang melibatkan institusi KPK dan Kepolisian pada tahun 2009, Kasus rekening pejabat kepolisian yang tidak wajar, sampai dengan kasus mafia Pajak yang melibatkan aparat direktorat perpajakan, aparat kepolisian, Jaksa serta pegawai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), serta masih banyak lagi kasus yang makin membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan aparat penegak hukum semakin melemah. Selain itu perang terhadap Korupsi yang telah di gaungkan sejak reformasi pada tahun 1998, nyatanya menunjukkan hasil yang berkebalikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya angka korupsi dari tahun ke-tahun. Disis lain ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepoilisian menjadi dasar dibentuknya KPK pada Tahun 2002. Selain KPK lembaga lain yang dibentuk atas ketidakpercayaan terhadap kedua lembaga tersebut adalah Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kedua lembaga penegak hukum tersebut. Bahkan bagi Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang diatur langsung dalam UUD 1945 yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap kinerja Lembaga Peradilan. Setelah pemerintah membentuk lembaga-lembaga tersebut, angka penyelewengan penegakan hukun tidak juga menurun. Sebagai langkah lain, pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan Mafia hukum guna melakukan percepatan upaya pemberantasan mafia hukum. Segala upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah tidak juga menyelesaikan permasalahan mengenai degradasi yang dialami lembaga penegak hukum di Indonesia. Hal tersebut kemudian melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan upaya revitalisasi kelembagaan serta aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih baik, serta terciptanya iklim budaya hukum yang jauh lebih baik di Indonesia.

Hal tersebut diperburuk dengan tertangkap tangannya Oknum Jaksa dan Oknum hakim yang memperkeruh kisruh penegakan hukum, oknum jaksa dan hakim tersebut beralih kedudukan. Semula merupakan aparaty penegak hukum menjadi pelanggar hukum. Berita tak sedap ini yang membuat kita semua prihatin terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia baik dari sisi aparat penegak hukum, sistem penegakan hukum maupun lembaga penegakan hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep revitaslisasi terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat penting karena realiats yang terjadi dan penegakan hukum m erupakan tanggung jawab kita semua. Untuk mendapatkan gambaran sederhana tentang revitalisasi penegakan hukum maka akan tergambarkan di bawah ini. Pembahasan Dalam melakukan pembahasan mengenai revitaslisasi peran lembaga penegak hukum di Indonesia, maka perlu diketahui mengenai pengertian dari revitalisasi. Yang dimaksudkan dengan revitalisasi lembaga adalah upaya untuk menghidupkan kembali suatu lembaga yang telah mengalami kemunduran/degradasi. Dalam menjalankan penegakan hukum maka tidak dapat terlepas dari Sistem Peradilan Pidana (SPP). Penegakan Hukum Menurut SPP adalah sistem bekerjanya lembaga serta aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi atau kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum. Dalam SPP juga, diketahui bahwa terdapat empat kekuasaan penegakan hukum, yaitu: Kewenangan penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan; Kewenangan penuntutan yang dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan; Kewenangan mengadili dan menjatuhkan putusan pidana yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan; dan Kewenangan pelaksanaan putusan/pidana yang dilaksanakan oleh lembaga pelaksana putusan pengadilan. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah SPP Terpadu (integrated criminal

justice system). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa setiap lembaga dan aparat yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan, penuntutan, mengadili dan menjatuhkan putusan pengadilan serta melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan merupakan penegak hukum. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Kepolisian menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian juga merupakan lembaga penegak hukum yang menjalankan kewenangan melakukan penyidikan. Kejaksaan memiliki kewenangannya berdasarkan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Menurut pasal tersebut, kejaksaan memiliki fungsi sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Kejaksaan merupakan pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kekuasaan untuk mengadili dan memutuskan perkara. Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Eksistensi Lapas dituangkan melalui UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan,

maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Berbeda dengan Jaksa yang merupakan aparat penegak hukum pelaksana putusan pengadilan, Lapas merupakan lembaga penegak hukum yang menjalankan kewenangan melaksanakan putusan pengadilan. Sedangkan KPK merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 4 UU tersebut, lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan daya guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga yang unik Karena memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan dalam satu lembaga. Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas dan KPK harus dilihat sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga lembagalembaga tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Selain itu, keberadaan setiap lembaga harus dipandang sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana memerlukan sebuah sistem administrasi (hubungan horisontal dan vertikal) yang baik sesuai dalam struktur organisasinya. Setiap organisasi subsistem memiliki stuktur yang terdiri dari bagian-bagian (sub-subsistem) yang saling berhubungan atau berkaitan satu dengan yang lain. Sebuah mekanisme kesisteman maka apabila salah satu bagian tidak bekerja atau berfungsi dengan baik maka akan mempengaruhi kinerja bagian lainnya. Berdasarkan SPP Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas merupakan lembaga penegakan hukum yang telah ada sejak sebelum bergulirnya reformasi. Lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsinya sebagai sub-sistem dalam penegakan hukum baik sejak kemerdekaan Indonesia, pada masa reformasi sampai saaat ini. Selain itu terdapat juga sub-subsistem dari lembaga-lembaga tersebut. Sub-subsitem tersebut adalah LPSK dan PPATK yang menjalankan fungsinya sebagi pendukung dalam penegakan hukum. Selain terdapat persaingan antar lembaga penegak hukum, terdapat juga ketimpangan kewenangan serta anggaran dana yang dimiliki antar lembaga

penegak hukum. Sebagai contoh dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah baik kepolisian maupun kejaksaan harus mendapatkan ijin dari presiden untuk melakukan penindakanterhadap indikasi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kewenangan KPK yang tidak membutuhkan ijin dari presiden untuk meakukan penindakan dalam kasus serupa. Ego-Sektoral juga merupakan factor yang menghambat terciptanya mekanisme kerja yang harmonis antar lembaga penegak hukum di Indonesia. memang setiap lembaga memiliki kewenangannya dan menjalankan fungsinya masing-masing yang bebas dari pengaruh dari pihak manapun. Hal tersebut menonjolkan indpendensi dari setiap lembaga penegak hukum yang ada namun, dalam penegakan hukum, setiap lembaga penegak hukum yang ada merupakan kesatuan sistem yang apabila salah satu subsistem tidak berjalan dengan baik, maka akan mengganggu jalannya susbsitem lain serta menimbulkan kekacauan dalan penegakan hukum sebagai sistem utama. Oleh karena itu, untuk mengurangi ego sektoral yang merupakan penghambat dalam hubungan antar lembaga, maka perlu dibentuk lembaga koordinasi antar lembaga penegak hukum guna membina hubungan yang harmonis antar lembaga penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum di Indonesia. Maka Revitalisasi terhadap penegakan hukum dapat dilihat secara konkrit melalui: Evaluasi secara menyeluruh. Perlu dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap lembaga penegak hukum yang ada. Evaluasi tersebut tidak hanya dilakukan pada lembaga, evaluasi dilakukan juga terhadap aparat penegaka hukum penegak hukum yang ada. Kembalikan setiap kewenangan pada lembaga yang berwenang. Pengembalian wewenang tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi Overlap tugas pokok dan fungsi kelembagaan antar lembaga penegak hukum yang ada. Berikan kekuasaan yang sama bagi setiap lembaga penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Setiap lembaga Baik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sebagai lembaga yang telah ada sejak kemerdekaan Indonesia maupun KPK, PPATK maupun LPSK sebagai lembaga yang berdiri karena arus reformasi seyogianya memuiliki yang bernaung di bawah lembaga

kewenangan yang sama berdasarkan Tupoksinya masing-masing. Sebisa mungkin hindari keistimewaan yang dimilki oleh salah satu lembaga. Koordinasi antar lembaga penegak hukum harus terjalin dengan baik. Hal tersebut saat ini telah dimulai dengan dibentuknya Mahkumjakpol yang terbentuk atas nota kesepahaman antara Kementrian Hukum dan HAM, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Diharapkan dengan adanya Mahkumjakpol koordinasi vertikal antar lembaga dapat tercipta dengan baik. Mahkumjakpol merupakan penghidupan kembali dari Mahkejakpol yang ada di tahun 1980an namun menurut Kemenkumham Patrialsi akbar, MahKumjakpol berbeda dengan Mahkejakpol karena dalam Mahkumjakpol koordinasi yang dilakukan hanya terkait masalah administrasi tidak terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh setiap institusi. Penguatan pelaksanaan kewenangan Supervisi oleh KPK. KPK memiliki kewenangan melakukan supervisi kelembagaan terhadap penegak hukum lainnya. Namun sampai saat ini kewenangan tersebut belum terlaksana dengan baik. Hal tersebut karena lembaga yang menjadi target supervisi oleh KPK berdasarkan UU KPK belum memiliki divisi tersendiri yang bertugas melakukan Koordinasi serta menindaklanjuti hasil supervisi yang dilakukan oleh KPK. Pembaruan Hukum Formil. DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan pembentukan Undang-undang, saat ini sedang berusaha melakukan pembaruan hukum formil terkait dengan lembaga penegak hukum diIndonesia. Antara lain perubahan atas UU KPK yang tengah dilakukan oleh Komisi III dan perubahan atas UU Kejaksaan dan UU MA yang tengah dilakukan oleh Badan Legislasi. 7. Pengawasan Selain telah terbentuknya Mahkumjakpol, DPR yang juga memiliki Fungsi pengawasan telah melakukan beberapa pengawasan terhadap kasus-kasu yang menarik perhatrian publik. Hal tersebut dibuktikan dengan membentu Panitia Kerja (Panja) Kasuis century, Panja mafia pajak, Panja Mafia Pemilu dan lainlain. Penutup Setelah melihat realitas penegakan hukum yang berlaku di Indonesia, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa perlu dilakukan revitalisasi terhadap peranan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia sesuai dengan SPP yang ada. Selain itu, dalam upaya revitalisasi perlu diberikan kepercayaan terhadap setiap lembaga penegak hukum yang ada, beghitu juga dengan sistem pendukung dari lembaga penegak hukum itu sendiri. Perlunya kesadaran masyrakat akan penghormatan terhadap putusan badan peradilan sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki kekuasaan mengadili menjatuhkan putusan terhadap pelangbgaran hukum perlu digalakkan. Hal tersebut guna meningkatkan kembali wibawa penegakan hukum secara keseluruhan dalam sebuah sistem yan menyeluruh.

You might also like