You are on page 1of 104

LAPORAN Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular

(Studi Kasus DBD)

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Deputi Bidang SDMdan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2006

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN (WABAH) PENYAKIT MENULAR


Studi Kasus DBD

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2006

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

Ringkasan Eksekutif
Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3) adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2) identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisis diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukan pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan workshop. Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan serta dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan. Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1) koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masingmasing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular. Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampir semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular ii

LAPORAN AKHIR

melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi dan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasus periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR) DBD fluktuatif. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulangan terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data. Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilans dan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belum terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata perawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan. Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak dilakukan. Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi. Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih belum sama. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus untuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasional umum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon) dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlamabatan turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan (3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. SOP. Hampir semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalam rangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikian kebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota inisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. Sarana. Walaupun kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya mesin fogging serta insektisida. Pengadaan insektisida dan mesin fogging di supply oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum siap. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKDKLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

iii

LAPORAN AKHIR

Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain keterbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi (PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi. Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang ke sarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal sektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan, bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi. Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup (1) Peningkatan koordinasi antar instansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah penyakit menular yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota , (2) Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program antar pusat daerah yang mencakup aspek perencnaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi), (3) Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, (4) Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilans dan penanggulangan wabah penyakit menular, malalui (i) Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun APBD, (ii) Penyempurnaan SOP sesuai local specific, (iii) Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis, validasi dan pengembangan respond system, dan sistem kewaspadaan dini (early warning system), (iv) Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan melibatkan peran aktif masyarakat, (5) Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi, (6) Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, (7) Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, (8) Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, (9) Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (10) Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD, (11) Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular iv

LAPORAN AKHIR

komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah. Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut mencakup aspek-aspek: (1) Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. (2) Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkan adanya Pusat Informasi Penanaganan DBD (DBD Center). Keberadaan data dan informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja pembangunan kesehatan, (4) Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan. Motivasi dankomitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif, (5) SOP, dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan dan distribusikan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

KATA PENGANTAR
Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia, khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasus penyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruh staf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas serta melibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi, masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalaman proses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkat Puskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi. Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalam penanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasus demam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan, dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di di tingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yang perlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkait lainnya. Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belum menggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji. Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secara terbuka dinantikan. Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasi kebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat. Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagi penataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifat akademis. Jakarta, Desember 2006 Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan 1. DR. Arum Atmawikarta, SKM, MPH 2. DR. Hadiat, MA 3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA 4. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM 5. Sularsono, SP, ME 6. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS 7. Inti Wikanestri, SKM 8. Nurlaili Aprilianti
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular vi

LAPORAN AKHIR

DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif - i Kata Pengantar - vi

BAB 1 : PENDAHULUAN - 1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 Latar Belakang - 1 Perumusan Masalah - 5 Tujuan dan Sasaran 5 Keluaran Kajian - 6 Ruang Lingkup Kajian - 6 Sistematika Penulisan - 6

BAB 2 : LANDASAN TEORI - 8


2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 Penyakit Menular di Indonesia 8 Surveilans Epidemiologi 8 Kebijakan Sistem Surveilans 10 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan 11 Penanggulangan Wabah Penyakit Menular 14 Epidemiologi Global Penyakit 16 Strategi Pengendalian Penyakit 18 Kejadian Luar Biasa 18 Penyakit Demam Berdarah 20

- Kendala Pencegahan DBD 21 - Tatalaksana Penanggulangan DBD 23 - Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD - 25 BAB 3 : METODOLOGI - 27
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 Kerangka Pemikiran 27 Disain Kajian - 29 Jenis dan Sumber Data 30 Responden Kajian 31 Lokasi Kajian 32 Teknik Analisis 32

BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN - 33


4.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD 33 4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rata (CFR) 33 4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD 35 4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD 41 Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD 41 4.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB 42 4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Kinerja Penangulangan KLB 46 (1) Tenaga - 46 (2) Dana 51 (3) Standar Operasi dan Prosedur 53 (4) Data 56 (5) Sarana 57
vii

4.2

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD 59 4.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum 59 4.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD 61 4.3.3 Koordinasi Antar Sektor 63

BAB 5 : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN - 65


5.1 Kesimpulan 65 5.2 Rekomendasi Kebijakan 68 5.3 Implikasi Kebijakan - 68

DAFTAR PUSTAKA - 70 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1: Instrumen Kajian 72 LAMPIRAN 2: Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan 76 LAMPIRAN 3 : Struktur Organisasi/Tim Pelaksana LAMPIRAN 4: Notulen Pembahsan Dengan Tim Pakar 81 LAMPIRAN 5 : Pokok-Pokok Pikiran Hasil Ekspose dengan Tim Ahli 83 LAMPIRAN 6 : Laporan Pelaksanaan Survey 86

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

viii

LAPORAN AKHIR

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 : Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 2 : Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD - 4 : Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan 12 : Responden Kajian 31 : Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi, Kab/kota, Rs dan Puseksmas 42 : Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas 44 : Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota 47 : Distribusi Jenis Tenaga di Rumah Sakit dan Puskesmas 48 : Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD 49 : Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD 50 : Distribusi Sumber Dana di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota 51 : Distribusi Sumber Dana di Rumah Sakit dan Puskesmas 52 : Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans dan Dinkes Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas 54 : Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas 55 : Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dnkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas 56 : Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB Propinsi, Dikes Kab/Kota, RS dan Puskesmas 57 : Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi, Kab/Kota , RS dan Puskesmas 58 : Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan di Dinkes Propinsi, Kab/Kota , RS dan Puskesmas 58 : Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan 60

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

ix

LAPORAN AKHIR

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 : Alusr Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit 10 : Skema Program Penanggulangan KLB 15 : Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di Lapangan) 24 : Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular 27 :Kerangka Konsep Kinerja Surveilans 28 : kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan 28 : Tahapan Pelaksanan Kajian 32 : IR & CFR DBD Tahun 1968-2004 33 : Perkembangan Kasus DBD Nasional Per bulan 34 : Kasus DBD Per Bulan di Indonesia, Tahuan 2005-20006 34 : Jumlah Kasus DBD di Indonesia Tahun 2005-2006 35 : Data Kasus DBD di Lokasi Kajian 44 : Data Kematian DBD di Lokasi Kajian 45 : Case Fatality Rate (CFR) DBD di Lokasi Kajian 46

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

DAFTAR SINGKATAN & DEFINISI ISTILAH 3M : Menguras, Menutup, Mengubur ABJ : Angka Bebas Jentik APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBD : Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Askeskin : Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional COMBI : Communication for Behavioral Impact CFR : Case Fatality Rate DAU : Dana Alokasi Umum DBD : Demam Berdarah Dengue Dekon : Dekonsentrasi DOP : Dana Operasional Puskesmas DPRD : Dewan Perwakilan Daerah Epidemiologi : Ilmu yang mempeljari penyebaran penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit pada manusia Epidemiologis: Orang yang ahli dalam ilmu epidemiologi FGD : Focused Group Discussion Gakin : Keluarga Miskin HIV/AIDS : Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IR : Incidence Rate ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut JPK-MM : Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat miskin KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi KLB : Kejadian Luar Biasa LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs : Millennium Development Goals P2B2 : Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang P2M : Pemberantasan Penyakit Menular PE : Penyelidikan Epidemiologi PHBS : Pola Hidup Bersih dan Sehat PI : Perencanaan dan Informasi PJB ; Pemeriksaan Jentik Berkala PKK : Pembinaan Kesejahteraan Kelaurga PKPS-BBM : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Pokjanal : Kelompok Kerja Operasional Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PP & PL : Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome SKD-KLB : Sistem Kesiapan Dini Kejadian Luar Biasa SOP : Standar Operasional Prosedur SDM : Sumber Daya Manusia SKM : Sarjana Kesehatan Masyarakat
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular xi

LAPORAN AKHIR

SPIRS SP2PT SST STP Surveilans

TBC TPA UGD UKS UPT Wabah WHO Yanmedik

: Sistem Pelaporan Rumah Sakit : Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas : Sistem Surveilans Terpadu : : Rangkaian kegiatan secara teratur dan terus menerus, secara aktif maupun pasif dalam mengamati, mengumpulkan, emnganalisis, dan menginterpretasi suatu fenomena peristiwa kesehatan pada manusia/masyarakat tertentu yang hasilnya dipakai untuk melakukan tindakan terhadap peristiwa kesehatan tersebut : Tuberculosis : Tempat Penampungan Air : Unit Gawat Darurat : Usaha Kesehatan Sekolah : Unit Pelaksanan Teknis : Suatu peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian suatu penyakit di suatu tempat tertentu, yang melebihi keadaan biasanya : World Health Organization : Pelayanan Medik

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

xii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
a. Kondisi Umum Pembangunan Kesehatan Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang ditandai dengan penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Pembangunan kesehatan selama ini secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat yang telah menunjukkan perbaikan seperti terlihat dari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (20022003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 25,8 persen (2002). Di samping kemajuan yang telah dicapai di atas, di masa datang pembangunan kesehatan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Philipina, status kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal. Disparitas status kesehatan masih cukup tinggi, baik ditinjau dari tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. AKB dan AKI lebih tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah. Selain itu, indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan suatu kesepakatan global, sebagai benchmarks untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang berkaitan dengan pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi separuh penduduk yang mengalami kelaparan, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4) menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS, (5) menekan penyebaran penyakit malaria dan TBC, (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial, dan (7) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih. Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

sektor kesehatan sendiri. Diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program. Untuk itu perlu dikembangkan subsistem surveilans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra. b. Penyakit Menular Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya. Tabel 1.1 Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 No Pasien Rawat inap % 1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,0 2 Demam berdarah dengue 3,7 3 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,9 4 Demam tifoid dan paratifoid 2,7 5 Cedera intrakanial 2,0 6 Tuberkulosis paru 1,9 7 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,9 8 Diabetes Melietus 1,9 9 Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah badan multiple 1,8 10 Pneumonia 1,6 Salah satu penyakit menular yang akhir-akhir ini menonjol adalah munculnya kasus polio di beberapa wilayah seperti Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Selatan. Polio merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya disebabkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan total. Satu dari 200 kasus infeksi virus akan menyebabkan kelumpuhan, 5-10 % pasien meninggal akibat kelumpuhan pada otot pernafasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Berbagai emerging diseases misalnya polio dan flu burung dapat terjadi antara lain karena tingginya mobilitas penduduk antar negara. Dengan demikian penularan penyakit antar negara (trans-nasional) ini dapat terjadi dengan mudah mengingat semakin mudahnya transportasi manusia, hewan dan lain-lain antar

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah dan ditangani sedini mungkin. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden). Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalam penanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu UU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi dan penghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan. Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku. Berbagai penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian DBD telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun yang kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan bahwa pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun pemberdayaan masyarakat. Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004, kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB 1968 angka kematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2 persen), Vietnam (0,3 persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan Filipina (1 persen). Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000 penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat 2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk pada tahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin dan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

kurangnya peran serta masyarakat. Ketiadaan vaksin merupakan penghambat utama eradikasi DBD. Meskipun demikian, saat ini perkembangan vaksin masih memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan ke manusia. Pemerintah sejak tahun 1993 telah berusaha membina peran serta masyarakat melalui berbagai kelompok kerja pemberantasan DBD di desa atau kelurahan. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan instrumen 3M (menguras, menutup, dan mengubur) sudah sering disosialisasikan namun hasilnya belum menggembirakan. Gerakan 3M selama 30 menit setiap minggu juga dicanangkan. Semuanya menyadari bahwa strategi hanya dapat diperoleh dengan melaksanakan analisis situasi berdasarkan aspek epidemiologi, entomologi, pengetahuan, dan sikap masyarakat.
Berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, rasio penderita DBD per 100.000 penduduk selama periode tahun 2001-2005 selalu menunjukkan diatas rasio yang ditargetkan. Data ini selain menunjukkan kecenderungan makin tingginya penderita DBD dari tahun ke tahun, juga masih belum optimalnya pengendalian penyakit yang dilakukan oleh Pemerintah. Tabel 1.2 Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD

TARGET DAN CAPAIAN PEMBERANTASAN DBD


60 RASIO 40 20 0 Target Realisasi

2001 5.7 21.66

2002 5 19.25

2003 4.5 24.34 TAHUN

2004 4 37.1

2005 10 43.31

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes, 2006

Kebijakan penanggulangan penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3) adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yang dihadapi antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan. Permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan wabah terutama berkaitan dengan aspek manajemen menyangkut kesiapan tenaga lapangan, dukungan logistik, fasilitas pendukung, dana serta sistem pelaporan. Berkaitan dengan desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan pembangunan (otonomi daerah), adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2005 telah memberikan pembagian kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberi dampak perubahan cukup signifikan terhadap peran pemerintah dan swasta dalam program dan pelayanan kesehatan. Adanya otonomi daerah ini juga berpengaruh terhadap peran dan tanggung jawab Kabupaten/Kota/Propinsi untuk mengembangkan diri sesuai masalah kesehatan masyarakat, kemampuan SDM dan sumber dana daerah.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang melandasi kajian ini antara lain adalah : 1. Faktor-faktor apa saja yang mwempengaruhi kinerja surveilans dan penaggulangan penyakit menular ? 2. Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit menular, mencakup aspek tenaga, dana, sarana, SOP dan data ? 3. Bagaimana peran dan tanggungjawab (kewenangan) pemerintah daerah dalam penanggulangan penyakit menular ?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Tujuan Tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan penyakit menular di pusat dan daerah. Tujuan khusus : 1. Identifikasi kinerja surveilans serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja surveilans penyakit menular 2. Identifikasi kinerja penanggulangan penyakit menular serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penanggulangan penyakit menular 3. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam penanggulangan penyakit menular Sasaran
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

Tersusunnya rumusan kebijakan upaya penanggulangan penyakit menular secara terpadu melalui optimalisasi sumberdaya yang tersedia sekaligus sebagai acuan bagi pelaksanaan program penanggulangan penyakit menular di pusat dan daerah.

1.4 Keluaran
Keluaran kajian adalah rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular yang mencakup aspek surveilans, penanganan wabah, serta tanggung jawab dan kewenangan antara pusat dan daerah.

1.5 Ruang Lingkup


Kajian ini difokuskan pada evaluasi kebijakan penanggulangan penyakit menular yang telah dilakukan selama ini. Lingkup kegiatan yang akan dilakukan dalam kajian ini antara lain, adalah : 1. Identifikasi kinerja surveilans yang mencakup (1) ketersediaan peta rawan KLB DBD, dan (2) pelaksanaan diseminasi informasi 2. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja surveilans mencakup kondisi tenaga, dana, data, sarana, dan SOP. 3. Identifikasi kinerja penanggulangan KLB DBD yang mencakup frekuensi KLB, jumlah kasus, jumlah kematian dan luas daerah terserang 4. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja penanggulangan KLB DBD mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP 5. Identifikasi peran dan tanggung jawab daerah dalam penanganan penyakit menular khususnya pada kasus DBD.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan dibuat dengan sistematika sebagai berikut: Bab I membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran kajian, keluaran serta ruang lingkup kajian. Bab II membahas tentang landasan teori mencakup pengertian dan hasil kajian yang sudah dilakukan. Bab III membahas tentang metodologi yang digunakan berkaitan dengan kerangka pemikiran, disain kajian, jenis, sumber, dan pengumpulan data serta metode analisis.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

Bab IV Hasil dan Pembahasan, mencakup Gambaran Umum Penanggulangan DBD, Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD, Indikator kinerja surveilans dan penanggulangan KLB, Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB, mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP. Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Penyakit Menular di Indonesia Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi, Kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya. Strategi pengendalian penyakit menular secara umum pada dasarnya sama, yakni menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh. Intervensi faktor resiko, misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku. Manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular juga memiliki dua perspektif: a. Epidemiologi global yakni perjalan penyakit antar benua. b. Epidemiologi lokal yang intinya dinamika tranmisi penyakit tertentu pada wilayah tertentu. Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi, merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan kawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarah dengue (pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai pada tikus diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertama kali di Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakan penyakit infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagai kabupaten (daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria. Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahun diselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukan monitoring kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yang dikenal sebagai Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Semua institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah, partner nonkesehatan, bergabung menjadi satu sistem. 2.2 Surveilans Epidemiologi

Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagai bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintehrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. Jejaring Surveilans Jejaring surveilans digunakan dalam Surveilans terpadu penyakit adalah a. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta peningkatan kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, unit surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans di Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans di Ditjen PPM & PL Depkes, termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel. Alur distribusi data dan umpan balik dalam dilihat dalam skema di bawah. b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program terkait pusatpusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans program pada masingmasing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM & PL Depkes termasuk Puskesmas Sentinel dan Rumah Sakit Sentinel c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatan kemampuan sumberdaya antara unit surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit Surveilans Ditjen PPM & PL Depkes. Surveilans Terpadu Penyakit merupakan proses kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis, sehingga membutuhkan dukungan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi serta dukungan sumberdaya yang memadai sebagai suatu program surveilans terpadu.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

LAPORAN AKHIR

Unit Surveilans Ditjen PPM & PL Depkes

Unit Surveilans Dinas Kesehatan Propinsi

Unit Surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota

Unit Surveilans Puskesmas

Unit Surveilans Rumah Sakit

Unit Surveilans Laboratorium

Gambar 2.1 Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit

2.3 Kebijakan Sistem Surveilans


Surveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam manajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasi epidemiologi agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secara optimal. Informasi epidemiologi yang berkualitas, cepat, akurat merupakan evidance atau bukti untuk digunakan dalam proses pengambilan kebijakan yang tepat dalam pembangunan kesehatan. Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

10

LAPORAN AKHIR

Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan internasional. Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST) berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPIRS), yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan beberapa Sistem Surveilans khusus penyakit. Sistem surveilans tersebut perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pemerintah Pusat dan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhan informasi epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak menular. Beberapa produk hukum lain terkait dengan pelaksanaan surveilans epidemiologi adalah 1. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 2. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. 3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit yang dapat menimbulkan wabah, tatacara penyampaian laporannya dan tacara penanggulangan seperlunya. 4. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 242 tahun 2003 tentang Penetapan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya. 5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemilogi Kesehatan. 6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479 tahun 2003 tentang Surveilans Terpadu Penyakit. 7. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kewaspadan Dini KLB No. 949 tahun 2004. 2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

Kinerja penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebut merupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebut menunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikator-indikator tersebuat adalah sebagai berikut:

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

11

LAPORAN AKHIR

Tabel 2.1 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Masukan Tenaga Tingkat 1. Pusat Indikator Unit utama Departemen Kesehatan memiliki a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S3) b. 8 tenaga epidemiologi ahli (S2) c. 16 tenaga epidemiologi ahli (S1) d. 32 tenaga epidemiologi terampil UPT Departemen Kesehatan memiliki a. 2 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 4 tenaga epidemiologi ahli (S1) c. 4 tenaga epidemiologi terampil d. 1 tenaga dokter umum a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) c. 2 tenaga epidemiologi terampil d. 1 tenaga dokter umum a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atau terampil c. 1 tenaga dokter umum a. 1 tenaga epidemiologi ahli b. 1 tenaga epidemiologi terampil 1 tenaga epidemiologi terampil a. 1 paket jaringan elektromedia b. 1 paket alat komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya) c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer e. 4 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi f. 1 roda empat, 1 roda dua a. 1 paket jaringan elektromedia b. 1 paket alat komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya) c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer e. 1 paket formulir

2. Propinsi

3. Kabupaten/Kota

4. Rumah Sakit Sarana 5. Puskesmas 1. Pusat, Propinsi

2. Kabupaten/Kota

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

12

LAPORAN AKHIR

Proses Kegiatan Surveilans

Keluaran

f. 2 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi g. 1 roda empat, 1 roda dua 3. Puskesmas dan a. 1 paket komputer Rumah Sakit b. 1 paket alat komunikasi (telepon, faksimili, SSB) c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer e. 1 paket formulir f. 1 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi g. 1 roda dua 1. Pusat a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih b. Ketepatan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 12 kali atau lebih setahun d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih 2. Propinsi a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih b. Ketepatan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 12 kali atau lebih setahun d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih 3. Kabupaten/Kota a. Kelengkapan laporan unit pelapor sebesar 80% atau lebih b. Ketepatan laporan unit pelapor sebesar 80% atau lebih c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 4 kali atau lebih setahun d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih 1. Pusat Profil Surveilans Epidemiologi Nasional sebesar 1 kali setahun Profil Surveilans Epidemiologi Propinsi sebesar 1 kali setahun Profil Surveilans Epidemiologi Kabupaten/ Kota sebesar 1 kali setahun

Sumber: Inspektorat Jenderal Depkes RI, 2003

Selanjutnya Indikator Surveilans Kesehatan dijabarkan dalam Indikator Kinerja Penyelenggaraan terpadu Penyakit sebagai berikut: a. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebesar 90%
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

13

LAPORAN AKHIR

b. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota sebesar 80% c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STP sebesar 80% d. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100% e. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 90% f. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM & PL Depkes sebesar 100% g. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM & PL Depkes sebesar 90% h. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional sebesar 100% i. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional sebesar 100% j. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun k. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12 kali setahun l. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.

2.5

Penanggulangan Penyakit Menular

Penanggulangan penyakit menular merupakan bagian dari pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan penyakit menular, harus dilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu penanggulangan wabah harus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit wabah yang dapat menjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan malapetaka. Wabah penyebaran penyakit dapat berlangsung secara cepat, baik melalui perpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau karena jenis dan sifat dari kuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Kondisi lain yang dapat menimbulkan penyakit menular adalah akibat kondisi masyarakat dari suatu wilayah tertentu yang kurang mendukung antara lain kesehatan lingkungan yang kurang baik atau gizi masyarakat yang belum baik. Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannya memerlukan keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah dan masyarakat. Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen Pertahanan Keamanan, Departemen Komunikasi dan Informasi, Depatemen Sosial, Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektor dalam upaya penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

14

LAPORAN AKHIR

penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam penanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu. Penanggulangan wabah/KLB penyakit menular diatur dalam UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular, Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tentang Jenis Penyakit Tertentu Yang dapat Menimbulkan Wabah. Pada tahun 2000, Indonesia menerapkan secara penuh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yamg kemudian diikuti dengan terbitnya PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penanggulangan KLB. Undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian yang besar, yang juga berdampak pada pariwisata, ekonomi dan sosial, sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak terkait. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta kondisi rentan yang memperbesar resiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB.

Data & Informasi Penduduk dan Lingkungan

Perbaikan kondisi rentan KLB

Prioritas Penanggulangan KLB

SKD-KLB

KLB tidak Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat Penanggula ngan KLB

Data KLB dan Data Epidemiologi Lain

Kesiapsiagaan Menghadapi KLB

Gambar 2.2 Skema Program Penanggulangan KLB

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

15

LAPORAN AKHIR

2.6.

Epidemiologi Global Penyakit

Penyakit menular bersifat global. Misalnya, wilayah tropik secara umum memiliki karakteristik ekosistem sama, maka memiliki masalah yang sama seperti malaria. Peta endemisitas malaria terbentang dari Asia Tenggara, Afrika Tengah, hingga Amerika Latin. Dalam perspektif global, setiap sudut Kabupaten dan Kota di Indonesia harus dianggap sebagai bagian dari komunitas dunia. Maksudnya, kabupaten dan kota di Indonesia merupakan wilayah yang terkena resiko yang sama dalam perspektif global. Dengan demikian, kabupaten/kota terikat pada komitmen dunia. Penyebaran global memiliki potensi terjadinya pandemik. Seorang Kepala Dinas Kesehatan harus memahami benar apakah daerahnya termasuk lalulintas internasional atau bukan. Sebab, epidemiologi global harus pempelajari kejadian dan persebaran dalam perspektif dunia. Seperti asal datangnya penyakit, kemudian melalui apa penyakit tersebut datang. Sebagai contoh Avian influenza, KLB polio pada awal tahun 2005. Selain itu, migrasi berbagai binatang seperti migrasi burung antar benua bisa merupakan sumber pembawa penyakit. Atau perjalanan kelelawar yang dapat menyebarluaskan virus Nipah. Wilayah-wilayah yang merupakan jalur transmisi sebaiknya memiliki kapasitas dan aktif mengakses informasi. Misalnya, migrasi burung utara selatan dan sebaliknya, memiliki jalur barat yakni kawasan semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa. Sedangkan wilayah timur dari arah utara menyusur pantai timur China, Filipina, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, kemudian langsung ke selatan menuju Australia, serta sebaliknya. Demikian juga dengan daerah wisata internasional. Dalam hal ini Dinas Kesehatan, LSM, maupun masyarakat hendaknya memiliki kapasitas terhadap permasalahan epidemiologi global. Termasuk petugas yang mengawasi jalur-jalur penerbangan internasional, hendaknya meningkatkan kemampuannya untuk mengahadapi globalisasi penyakit menular. Lintas Batas Penyakit menular bersifat lintas batas, terutama penyakit menular melalui transmisi serangga atau binatang yang memiliki reservoir. Binatang umumnya memiliki habitat tertentu dan terkait dan batasan ekosistem. Penyakit menular juga dapat berpindah atau bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya melalui mobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai wahana transmisi. Dengan kata lain, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintah. Penyakit menular yang sifatnya relatif tertutup, lebih dipengaruhi oleh batasan ekosistem, ketimbang batasan administratif. Oleh karena itu, dua kabupaten berbatasan yang memiliki ekosistem penyakit yang sama wajib bekerjasama. Sedangkan wilayah yang sifatnya terbuka dengan teknologi transportasi jarak jauh, penyakit menular dipengaruhi mobilitas penduduk sebagai sumber penyakit. Hal ini memerlukan kerjasama global, dan mekanisme jaringan antar negara yang bersifat lintas batas. Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, harus memahami hal ini. Dengan kata lain,
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

16

LAPORAN AKHIR

dalam satu wilayah otonomi kabupaten, seorang kepala pengendalian penyakit harus mampu menemukan dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif. Yakni, penderita penyakit menular itu sendiri. Serta mengendalikan faktor risiko penyakit, dalam perspektif ekosistem maupun dinamika/mobilitas faktor risiko penyakit antar kabupaten, antar propinsi, antar negara. Untuk itu, memerlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah. Di lain pihak, desentralisasi berati mengharuskan manajemen penyakit menular melakukan pendekatan wilayah administratif. Di satu sisi, pendekatan wilayah kabupaten/kota membantu perencanaan dan pelaksanaan serta pelaksanaan program lebih fokus. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya hal-hal yang bersifat lintas batas berpotensi terabaikan. Desentralisasi juga memudahkan identifikasi faktor resiko yang bersifat lokal. Sehingga intervensi faktor resiko yang bersifat lokal lebih bisa mudah dikendalikan. Sebagai contoh, penularan Malaria di Kabupaten Banjarnegara berkenaan dengan nyamuk yang memiliki habitat kebun salak dan/atau kolam yang merupakan jamban keluarga, sekaligus sebagai mata air. Kemudian, di daerah Pacitan berkaitan dengan cekungan-cekungan padas di sungai-sungai, sedangkan di wilayah Riau risiko tertular malaria datang ketika sedang menyadap karet di pagi buta. Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya penyakit menular khas daerahnya, maka perlu identifikasi mitra kerja untuk menangani faktor risiko tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang harus diikutsertakan, mitra mana yang dianggap berkepentingan. Dengan demikian, secara teoritis Bupati atau Kepala Dinas Kesehatan secara efektif melakukan upaya pemberantasan penyakit menular yang bersifat spesifik lokal. Semua itu dituangkan dalam bentuk perencanaan yang didukung fakta (evidences) lokal, sehingga dapat meyakinkan pihak-pihak otoritas pendanaan seperti DPRD. Keterpaduan Untuk memvisualisasikan proses transmisi penyakit serta simpul manajemen, membutuhkan model manajemen penyakit menular berbasis wilayah kabupaten/kota. Didukung fakta hasil surveilans terpadu, untuk kepentingan perencanaan dan kegiatan berdasarkan keperluan (fakta). Analisis masing-masing faktor risiko dilakukan sekaligus dan terpadu melalui perencanaan. Kemudian keterpaduan dikaitkan dengan promosi kesehatan seperti penggunaan alat pelindung ketika bekerja, dan berbagai upaya lain secara bersama dengan lintas sektor. Keterpaduan pun termasuk penggunaan sumber daya, jadwal, penggunaan mikroskop, kendaraan, tenaga, intervensi holistik, antara stakeholder, antara penyakit. Bahkan keterpaduan surveilans yakni surveilans kasus sekaligus bersama-sama dengan faktor risiko terkait.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

17

LAPORAN AKHIR

2.7

Strategi Pengendalian Penyakit

Strategi pemberantasan penyakit menular berbasis wilayah memiliki pengertian bahwa setiap wilayah administrasi pembangunan (kabupaten/kota) pemberantasan penyakit menggunakan paket pendekatan strategi sebagai berikut : (1) Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasus Melakukan pencarian dan pengobatan secara intensif terhadap penderita, selain mengobati dan menyembuhkan penderita yang juga merupakan upaya pokok untuk menghilangkan sumber penularan dengan cara pemutusan mata rantai penularan. Dalam satu wilayah kabupaten dapat dilakukan secara intensif dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaan tenaga semi-profesional terlatih misalnya juru Malaria Desa, Juru Kusta, dan sebagainya. Di masa mendatang sebaiknya diciptakan petugas lapangan penyakit menular setara dengan bidan di desa untuk menekan angka kematian ibu. Untuk penyakit tertentu yang membutuhkan konfirmasi laboratorium lebih tinggi, memerlukan bantuan pemeriksaan yang dilakukan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Penyelidikan Penyakit (Labkes) terdekat yang secara regional harus tersedia. Untuk beberapa penyakit menular yang memerlukan pengobatan jangka panjang seperti halnya TBC, harus ada jaminan ketersediaan obat dan jaminan disiplin menelan obat. Oleh sebab itu, keluarga terdekat atau tokoh masyarakat setempat dapat meminta bantuan Pengawas Menelan Obat (PMO). (2) Memberikan Perlindungan Spesifik dan Imunisasi Manajemen pengendalian penyakit menular dapat dilakukan dengan cara memberikan kekebalan secara artifisial yaitu imunisasi. Cakupan imunisasi amat penting karena dapat mencegah penyakit dalam satu wilayah. Namun, tentu saja tidak semua penyakit menular dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu, perlu dilakukan upaya alternatif berupa pemberantasan penyakit yang berbasis lingkungan.

2.8 Kejadian Luar Biasa (KLB)


Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa pertama di Indonesia dilaporkan oleh David Beylon di Batavia (Jakarta) pada tahun 1779. Namun, demam berdarah dengue baru dikenal pada tahun 1968 dalam KLB di Jakarta dan Surabaya dengan angka kematian sangat tinggi sekitar 41,3 persen.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

18

LAPORAN AKHIR

Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota. Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota maka penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat dengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab I, Pasal 1). Kepala wilayah ketika mengetahui adanya tersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupa penanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1). Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berjenjang. Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabut ketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4, Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat (mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan Kepala Daerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLB hingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan Pemerintah Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabut KLB. Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazim disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusan upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan. Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya, adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit, terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas lingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya. Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting, tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pascaKLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan. Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian penyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumber penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

19

LAPORAN AKHIR

Setiap KLB-apakah itu bencana alam, bencana lingkungan karena ulah manusia, konflik sosial maupun timbulnya penyakit baru seperti SARS, Avian influenza, atau penyakit infeksi lama-selalu memiliki dua makna manajemen, yakni manajemen kesehatan masyarakat untuk mengendalikan jatuhnya korban berikutnya. Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah juga manajemen dua bagian penting yang tak terpisahkan, dan harus dilakukan secara simultan dalam waktu relatif singkat, yakni : a. Manajemen kasus. b. Manajemen public health (manajemen faktor risiko) Manajemen public health atau manajemen kesehatan masyarakat, pada hakekatnya adalah manejemen faktor risiko kejadian KLB. Manajemen kasus maupun faktor risiko mencegah timbulnya eskalasi yang lebih luas. Manajemen kasus menjadi amat penting, khususnya saat penanganan KLB penyakit menular, untuk mencegah terjadinya penularan penyakit lebih lanjut. Sebagai perwujudan demokratisasi pembangunan maka sejak tahun 2000, upaya-upaya kesehatan termasuk didalamnya manajemen KLB semuanya sudah di desentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tugas Pemerintah Nasional (Pusat) antara lain menyusun berbagai kebijakan nasional, perencanaan strategik, dan menetapkan sasaran nasional, menyusun guidlines petunjuk, standar. Sedangkan kewenangan pelaksanaan ada pada pemerintah Kabupaten/Kota, namun dalam hal KLB dan bencana dapat meminta bantuan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Bahkan bila dipandang perlu, Pemerintah Pusat dapat mengambil inisiatif melakukan penanganan KLB. Kurun waktu 2000-2005 banyak terjadi kejadian luar biasa. Mengapa hal tersebut terjadi? Pemberantasan penyakit menular memerlukan sistem manajemen. Sementara sistem lama telah dicabut, tetapi sistem baru belum established atau mapan. Untuk membangun sistem tersebut, memerlukan waktu. KLB pada dasarnya merupakan ujung dari sebuah proses. Kegagalan manajemen penyakit secara terintegrasi dalam satu wilayah, akan menimbulkan KLB. Oleh sebab itu, selama sistem atau kapasitas manajemen penyakit berbasis wilayah secara terintegrasi belum mapan, maka KLB akan terus menjadi ancaman. Di samping itu, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administratif seperti halnya kesehatan lingkungan, tetapi keduanya memiliki batas wlayah ekosistem. Satu foci penyakit menular entah itu demam berdarah, malaria, TBC, HIV/AIDS, filariasis, dan sebagainya, apabila dibiarkan berkembang, dengan mobilitas penduduk yang tinggi akibat krisis sosial, maka berpotensi menyebarkan KLB ke saentero Nusantara. Contohnya tahun 2005 yaitu penyakit polio. Hal ini tampak adanya kesimpang siuran menajemen penyakit menular pada saat dimulainya otonomi atau peralihan sistem tersebut.

2.9 Penyakit Demam Berdarah


Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

20

LAPORAN AKHIR

peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturutturut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, (3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat. Kendala Pencegahan DBD Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga (insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukan pada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

21

LAPORAN AKHIR

nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatan manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan. Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi pengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor dan mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat menimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar rumah. Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukan tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yang terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup efektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi kesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu, sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segera dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun, baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah saja tidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedes aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes aegypti mampu terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya. Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar tempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan fogging terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya. Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas. Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam darahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain. Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karena insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia maupun lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

22

LAPORAN AKHIR

merupakan sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam pelaksanaan PSN dan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan, misalnya, melalui GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk), sehingga setiap warga dapat saling melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya dari penularan DBD. Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesia menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporan adanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertamatama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempat tinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menunggu terjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan pada waktu populasi nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging, harus dicari penyebabnya, apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan, ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan. Tata Laksana Penanggulangan DBD Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya. Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

23

LAPORAN AKHIR

Penderita/tersangka DBD

Penyelidikan Epidemiologi (PE)

- Pemeriksaan Jentik - Pencarian Penderita Panas

Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas 3 orang dan ditemukamn jentik ( 25%)

Ya Penyuluhan PSN DBD Fogging radius 200m -

Tidak Penyuluhan PSN FDBD Larvasidasi

Gambar 2.3. Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di Lapangan)

Penanggulangan

Pemberantasan

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan KLB. Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

24

LAPORAN AKHIR

Pemeriksaan

Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan 3M, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD

Masyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagai contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini. Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD. Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

25

LAPORAN AKHIR

Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. Sejak dulu tidak ada yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan. Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti aegypti. Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakangerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diare dan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui...." Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti untuk memberantas demam kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang lalu di Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh Jenderal Gorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar-besaran di seluruh negeri. Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran struktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta. Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat yang rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar denda. Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang tersebut dipanggil dan didenda. Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakan inovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai Peraturan Daerah.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

26

LAPORAN AKHIR

METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Kajian ini dilandasi pemikiran adanya hubungan timbal balik antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dalam implementasi kebijakan penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) pelaporan. Faktor-faktor yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang. Faktor-faktor yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Implementasi kebijakan penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan. Berdasarkan landasan pemikiran diatas, kerangka pikir kajian digambarkan dalam skema berikut:

BAB 3

Kinerja Surveilans

DESENTRALISASI KEWENANGAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYAKIT MENULAR

Kinerja Penanggulangan

Gambar 3.1 Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penannggulangan Penyakit Menular

Kerangka pikir kajian tersebut selanjutnya dijabarkan dalam kerangka konsep kinerja surveilans dan kerangka konsep kinerja penanggulangan yang digambarkan dalam skema berikut:

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

27

LAPORAN AKHIR

Tenaga
1. 2. 3. 4. Jumlah , motivasi , Pengetahuan , Monev

Kerangka Konsep Kinerja Surveilans

Dana
1. 2. 3. 4. Jumlah , Sumber , Proses , jenis pengeluaran

Data
Kasus , Jentik , Vektor , Curah Hujan

Kinerja Surveilans DBD


Peta Rawan KLB DBD - Peta Rawan KLB DBD Diseminasi Informasi - Diseminasi Informasi - Pelaporan

Sarana
1. Transportasi , 2. Pengolah data, 3. Komunikasi

SOP
1. Pedoman (7 seri : modelpokjanal , 2. Peraturan

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Kinerja Surveilans

Tenaga
1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab, support), 2. Pengetahuan (Penyelidikan & Penanggulangan)

Kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan

Dana
1. Sumber (APBD, APBD, PHLN) 2. Proses, 3. Jenis pengeluaran

Data
Kasus, Jentik, Lingkungan (genangan), Prilaku (3M), Vektor, Curah Hujan, Logistik

Kinerja Penanggulangan KLB DBD


Frekuensi KLB Jumlah Kasus Jumlah Kematian Luas Daerah Terserang

Sarana
1. 2. 3. 4. 5. 6. Transportasi, Pengolah data, Komunikasi, Logistik, Obat, insektisida, alat penyemprotan

SOP
1. Pedoman, 2. Peraturan

Gambar 3.3 Kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

28

LAPORAN AKHIR

3.2 Disain Kajian


1. Kajian ini menggunakan metode penelitian survey explanatory, dimana data diperoleh melalui angket dan wawancara kepada sejumlah responden terpilih secara acak. Tujuannya adalah untuk memperoleh berbagai gambaran yang jelas dan diskripsi yang lengkap tentang variabel penelitian. 2. Variabel Penelitian Variabel penelitian mencakup 2 aspek, yaitu kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan No Variabel Parameter yang diukur

KINERJA SURVEILANS DBD Idependent Variabel 1 Kinerja Surveilans 1. Peta rawan KLB DBD 2 Diseminasi informasi 3. Pelaporan
Dependent Variabel

1. Jumlah 2. Sumber 3. Pengetahuan 4. Monitoring dan Evaluasi 2 Dana 1. Jumlah 2. Sumber 3. Proses 4. Jenis pengeluaran 3 Data 1. Kasus 2. Jentik 3. Vektor 4. Curah Hujan 4 Sarana 1. Transportasi 2. Pengolah data 3. Komunikasi 5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal) 2. Peraturan KINERJA PENANGGULANGAN KLB DBD
Idependent Variabel

Tenaga

Kinerja Penanggulangan KLB

1. Frekuensi KLB 2. Jumlah Kasus 3. Jumlah Kematian 4. Luas Daerah Terserang 1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab, support) 2. Pengetahuan (penyelidikan &

Dependent Variabel

Tenaga

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

29

LAPORAN AKHIR

Dana

Data

Sarana

SOP

penanggulangan) 1. Jumlah 2. Sumber 3. Proses 4. Jenis pengeluaran 1. Kasus 2. Jentik 3. Lingkungan (genangan) 4. Prilaku (3M) 5. Vektor 6. Curah hujan 7. Logistik 1. Transportasi 2. Pengolah data 3. Komunikasi 4. Logistik 5. Obat 6. Insektisida 7. Alat penyemprotan 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal) 2. Peraturan

3.3

Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder, baik dalam bentuk data kualitatif maupun kuantitatif. Data sekunder mencakup data berkaitan dengan profil kesehatan pusat, propinsi dan kab/kota, laporan tahunan tentang Penanggulangan Penyakit Menular (P2M), laporan tentang wabah, peraturan perundangan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Kesehatan, Keputusan Dirjen, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur. Data primer yang didapat melalui wawancara mendalam (indepth interview) di berbagai tingkat (Pusat, propinsi, kab/kota), pengisian kuesioner, serta focus group discussion. Untuk interpretasi hasil analisis data, dilakukan pula studi kepustakaan terutama kajian teoritis dari hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian ini

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

30

LAPORAN AKHIR

3.4

Responden Kajian

Responden Kajian mencakup 2 (dua) kelompok, yaitu (1) kelompok pelaksana yang terlibat dalam penanggulangan penyakit menular, serta (2) kelompok pakar, yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam penanggulangan penyakit menular. Kelompok Pelaksana yang menjadi responden mencakup Pusat: Dit Epidemiologi dan P2B2 Ditjen P2M, subdit arbovirosis, bagian PI dan kepegawaian, Yanmedik dan Binkesmas Dinas Kesehatan Propinsi: (1) Kasubdin P2M, (2) Seksi Surveilans, (3) P2B2, (4) Kabag Kepegawaian, (5) Kabag Keuangan, (6) Kasubag Umum Kabupaten Dinas Kesehatan: (1) subdin P2M, (2) unit surveilans, (3) unit penanggulangan P2B2, (4) unit kepegawaian, (5) unit umum Puskesmas : (1) Kepala Puskesmas, (2) petugas P2M, (3) staf Kesling Rumah Sakit: (1) Wakil Direktur Yanmed, (2) UGD, (3) Bag. Medical Record, (4) Lab. Rumah Sakit. Kelompok Pakar yang menjadi responden adalah (1) ahli epidemiologi dari Perguruan Tinggi, (2) ahli epidemiologi dari Departemen Kesehatan, (3) pakar lain dari WHO. Tabel 3.1 Responden Kajian
No 1 2 3 4 5 6 Propinsi/Kab Riau 1. Kota Pekanbaru 2. Kab. Siak Jawa Barat 1. Kota Bandung 2. Kab. Bogor Jawa Timur 1. Kota Surabaya 2. Kab. Gresik Kalimantan Timur 1. Kota Samarinda 2. Kota Balikpapan Sulawesi Selatan 1. Kota Makasar 2. Kab. Gowa Nusa Tenggara Barat 1. Kota Mataram 2. Kab Lombok Tengah TOTAL Dinas 5 3 2 3 2 2 1 1 2 2 1 2 2 1 2 3 2 3 47 PKM 4 5 3 2 3 4 2 2 4 4 4 6 43 Rumah Sakit 1 1 2 1 2 1 1 4 1 2 2 3 21 Bapp 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 15 Masy 1 1 20 1 1 18 1 1 13 2 1 20 1 1 25 2 0 13 122 Jml 26

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

31

LAPORAN AKHIR

3.5. Lokasi Kajian


Kajian ini dilaksanakan di 6 (enam) propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan karakteristik frekuensi terjadinya kejadian penyakit menular dari kelompok propinsi di Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur. Pada setiap propinsi di ambil 2 (dua) Kabupaten/Kota dengan kriteria pemilihan kabupaten adalah o Prevalensi kasus DBD yang tinggi dan rendah o 1 kab/kota terletak di ibu kota propinsi dan 1 kab/kota di luar kab/ibu kota propinsi Pada setiap kabupaten dipilih dua puskesmas dan 1 (satu) rumah sakit, dengan kriteria. o Prevalensi kasus DBD tinggi dan rendah o Puskesmas di ibukota kabupaten o Puskesmas di kecamatan di luar ibu kota kab/kota Dengan demikian jumlah sampel kabupaten/kota sebanyak 12 buah, 24 puskesmas, dan 12 rumah sakit

3.6 Teknik Analisis


Teknik analisis yang dilakukan dalam kajian ini adalah dengan melakukan analisis diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik berbentuk data sekunder maupun hasil wawancara mendalam. Selanjutnya data hasil pengumpulan di lapangan dikelompokan, diolah dan ditabulasikan untuk memudahkan dalam proses analisis. Analisis dan interpretsi selanjutnya data yang sudah dibuat dalam bentuk tabulasi serta berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden. Berdasarkan hasil analisis dan temuan yang didapat selanjutnya dilakukan pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD). mendapatkan rumusan hasil kajian lebih fokus. Hasil FGD disosialisasikan dalam bentuk workshop untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi serta implikasi kebijakan.

Pengumpulan Data
- Data Sekunder - Data Primer (kuesioner & wawancara)

Pengolahan Data
- Mengelompokkan - Mengolah - Mentabulasi

Analisis Data
- Interpertasi data - Interpretasi hasil wawancara

FGD Kesimpulan & Rekomendasi Kebijakan

Gambar 3.4 Tahapan Pelaksanaan Kajian

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

32

LAPORAN AKHIR

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD
4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR)

Berdasarkan data tahun 1968 sampai dengan tahun 2004, gambaran Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR) penyakit DBD ini dapat dilihat pada Gambar di bawah ini. Angka tertinggi IR terjadi pada tahun 1968, 1988, 1999 dan tahun 2004. Pada kurun waktu tahun 2000 2004 terjadi kecenderungan peningkatan IR. Jika diperhatikan gambaran IR dan CFR (gambar) antara kurun waktu 1968 sampai 2004, terlihat makin menurunnya CFR, hal ini dimungkinkan makin banyaknya kasus-kasus DBD yang tertangani. Dapat dilihat pada tahun 1998, peningkatan IR yang paling tinggi tidak mengakibatkan CFR meningkat di tahun yang sama. Kesadaran masyarakat mengenai kasus DBD dapat memperkecil peningkatan CFR, namun demikian, PHBS yang rendah masih menjadi salah satu pemicu tidak menurunnya kasus IR. Gambar 4.1 IR & CFR Tahun 1968-2004
IR & CFR DBD DI INDONESIA TAHUN 1968-2004
4 0.00 4 5.0 0

IR
3 5.00

CFR
4 0.0 0

3 0.00

3 5.0 0

3 0.0 0 2 5.00

CFR
2 5.0 0

I. R
2 0.00

2 0.0 0 1 5.00 1 5.0 0 1 0.00

1 0.0 0

5.00

5 .00

0.00 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 TAHUN

0 .00

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Apabila dilihat secara khusus per bulan selama kurun waktu 2003 - 2004, maka kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD lazimnya dimulai pada akhir bulan Desember sampai dengan terbanyak yang lazimnya terjadi pada sekitar bulan Februari Maret (lihat Gambar 1.7. di bawah ini). Tingginya curah hujan menyebabkan banyaknya genangan-genangan air yang memudahkan nyamuk untuk berkembangbiak, dan tidak terlaksananya program baik PSN
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

33

LAPORAN AKHIR

(Pemberantasan Sarang Nyamuk) maupun 3M mengakibatkan kecenderungan peningkatan kasus DBD.

Gambar 4.2 Perkembangan Kasus DBD Nasional Per Bulan PERKEMBANGAN KASUS DBD NASIONAL PER BULAN
30000

2003-2004

25000

20000

S SU KA

15000

KASUS

IK NA

10000

5000

0 JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR

2003

2004

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Sementara itu, data tahun 2005 2006, menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan kasus DBD per bulan hampir sama polanya dengan tahun 2003 2004, yaitu pada bulan akhir Desember (lihat Gambar 1.7.a). Hal ini ada kaitannya dengan pergantian musim kemarau ke musim hujan.
Gambar 4. 3 KASUS DBDPer Bulan di Indonesia, tahun 2005-2006 Kasus DBD PER BULAN DI INDONESIA
TAHUN 2005-2006
35,000

30,000

25,000

20,000

15,000

10,000

5,000

JAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDECJAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDES JAN FEB MARAPRMAY 2,004 2,005 14, 2006 11, 7,0 335

KASUS 9,41 19,8 30,0 6,77 2,79 1,76 1,27 1,10 908 992 1,59 2,94 6,4 10,9 7,61 5,03 5,65 5,35 5,03 8,52 6,99 7,61 10,7 15,3 18,

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

34

LAPORAN AKHIR

Gambar 4.4
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2005 & 2006
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2004 DAN 2005 (SITUASI SD TGLJuni 2006) (s/d 19 19 JUNI 2006)
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

2005 2006

Total sd Akhir Mei 2005: 35.686 Total sd Akhir Mei 2006: 50.935

1 2005 2006 6475

2 10916

3 7610

4 5033

5 5652 335

6 5357

7 5,034

8 8528

9 6997

10 7610

11

12

10712 15355

18,01 14,143 11,418 7,028

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Berdasarkan gambar 1.7; 1.7a; dan 1.8, seperti di atas, data tahun 2003 hingga Juni 2006, terlihat pola yang jelas mengenai kecenderungan peningkatan kasus DBD, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD pada akhir bulan Desember sampai dengan kasus terbanyak pada bulan Februari Maret. Hal ini menurut beberapa hasil analisa ada kaitannya dengan pergantian musim kemarau ke musim hujan. 4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD adalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke Tempat Penampungan Air (TPA). Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD ialah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilaksanakan oleh masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1) peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap penyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program. Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

35

LAPORAN AKHIR

(1) Pemberdayaan masyarakat, Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana. (2) Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD, Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian. (3) Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program, SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomic vektor, virology dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus dikuasai karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnan kebijaksanaan program P2 DBD. (4) Desentralisasi, Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota. Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang di atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi wilayah. (5) Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan penyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapat dibersihkan setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vektor sebagai penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan berbagai kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan agar semuanya dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasan penyakit DBD. Pokok-pokok program pemberantasan DBD mencakup (1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan 3M, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

36

LAPORAN AKHIR

penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD, (8) Penelitian. Implementasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan DBD di daerah lokasi kajian dilaporkan sebagai berikut: Propinsi Riau Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, komunikasi perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjut perencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintas program, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM) termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obatobatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggalian sumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan program P2M. Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus melalui pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen kasus diagnostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi, melalui perencanaan, pemantauan dan informasi program pemberantasan penyakit dan meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi. Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui penyuluhan intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan menyiapkan sarana pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan penanggulangan fokus, (2) pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapi sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3) meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala Pokjanal/Pokja DBD, pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan gerakan 3M. Hasil implementasi kebijakan. Strategi dan program adalah (1) pertemuan dengan tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberapa kesepakatan yang menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota, sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarkan dengan menggunakan pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Bila
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

37

LAPORAN AKHIR

terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan (3) Disamping Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat, diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah khususnya penyakit menular. Propinsi Jawa Barat Kebijakan penanggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitu mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan 3M, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD, (8) Penelitian. Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa Barat dilakukan melalui (1) pendekatan gerak cepat dan putus rantai, yaitu pada setiap kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan dan sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui managing vector and environment malalui gerakan 3M yang dilakukan secara lintas sektor dalam wadah Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui workshop tata laksana dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan partisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, fogging focus massal, dan melakukan CLEAN-UP lingkungan yang dipimpin oleh walikota selama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5) Pelibatan lintas sektor, (6) Sosialisasi Pola Hidup Bersih (PHBS). Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional, kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah yang harus diselidiki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi. Propinsi Jawa Timur Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2) kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masingmasing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen dari pimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilans epidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksanakan secara bekerjasama dengan masyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan kesehatan. Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus dan kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

38

LAPORAN AKHIR

pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3) penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resiko rendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintas program dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengan kinerja yang tidak baik. Pelaksanaan program penanggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLB melalui kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi KLB, mengamati indikasi pra-KLB misal cakupan program, status gizi, perilaku masyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyelidikan dan penanggulangan KLB, melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi, menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orang dan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikan sumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB, merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi cara pencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru. Propinsi Kalimantan Timur Kebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBD diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatan lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan (3) Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakat dan swasta. Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatan pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2) Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi. Pokok-pokok Program yang dilakukan mencakup Kewaspadaan Dini DBD; penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan, pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan vector; penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapi sarana pemerantasan vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens (pelatihan epidemiologi, pertemuan berkala Pokjanal/Pokja DBD, pelaksanaan gerakan 3M. Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBD melibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, beranggotakan kepala kepala dinas yang ketika diadakan rapat-rapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun 2005, APBD mengalokasikan dana 500 juta untuk penanggulangan KLB dan habis untuk penanggulangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, Kota Balikpapan memiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkes dan didanai oleh perusahaan minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapan selalu melaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memang DBD di Kota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dan surveillens baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

39

LAPORAN AKHIR

Propinsi Sulawesi Selatan Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular, khususnya penyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Materi yang disusun dalam prosedur tetap (Protap) ini adalah langkahlangkah penanggulangan DBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melalui penemuan dan pelaporan penderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaan DBD, pemantauan jentik berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD terhadap nyamuk dewasa dan jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melalui penyuluhan, gerakan PSN, abatisasi, dan fogging massal, (4) Peningkatan SDM, melalui pelatihan petugas kesehatan. Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antara lain (1) Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita, penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100 rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektor terkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLB menemukan jumlah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkan tahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus, (3) Peningkatan Sumber Daya Manusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit pada daerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota, pembinaan di 23 kab/kota. Propinsi Nusa Tenggara Barat Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa Tenggara Barat membuat pedoman operasional yang berisi step by step metodologi penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapat direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan dana surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutama untuk insentif tenaga kesehatan dan kader. Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota dan puskesmas. Namun terdapat gap pelaksanaan/penanganan KLB, dimana peran puskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil. Dengan demikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat dengan masyarakat tidak dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD. 4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD Kendala penting yang masih terjadi saat ini adalah kurang atau tidak adanya koordinasi dari instansi-instansi yang seharusnya terkait dalam menangani
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

40

LAPORAN AKHIR

DBD sehingga menimbulkan masalah tersendiri di lapangan. Penanganan DBD tidak semata-mata tugas Dinas Kesehatan, melainkan juga terkait dengan instansi lainnya. Instansi-instansi yang mengatur tata kota dan permukiman, kebersihan dan lingkungan hidup, bahkan Dinas Pendidikan, serta instansi penyedia sarana air bersih (PDAM) juga harus ikut pula berpartisipasi. Sebagai contoh, selama PDAM belum mampu menyediakan air bersih untuk seluruh penduduk, maka penduduk masih terpaksa menyiapkan bak mandi dan tandon-tandon air (yang dapat menjadi sarang nyamuk) untuk menampung air yang sering hanya menetes bahkan mampet. Karena itu, sarang-sarang nyamuk Aides akan tetap ada di sepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Dengan demikian, populasi nyamuk Aides dewasa yang mempunyai potensi menyebarkan virus dengue juga akan selalu dijumpai dan menjadi sumber penularan di sepanjang tahun. Kebijakan desentralisasi juga berpengaruh terhadap koordinasi antara pusat dan daerah dalam kewenangan penanganan DBD. Kebijakan tersebut terkait dengan anggaran kesehatan untuk pencegahan serta pemberantasan penyakit menular, yang memang membutuhkan biaya sangat tinggi. Dengan adanya kewenangan penanganan yang didaerahkan terkadang menyulitkan dalam koordinasi penganggaran. Pihak daerah seringkali kewalahan dalam penyediaan biaya operasional penanganan penyakit karena keterbatasan sumberdaya, baik dana maupun tenaga. Disisi lain adanya desentralisasi sumberdaya yang dimiliki, pemerintah pusat mengalami kendala dalam pendistribusiannya ke daerah. Hal ini menjadi faktor penghambat praktek penanganan kasus di lapangan.

4.2. Kinerja Surveilans dan Pe 4.3. 4.4. nanggulangan DBD


Kajian P2M KLB DBD dilakukan di enam propinsi, yaitu propinsi Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tiap propinsi dilakukan kunjungan dan wawancara terhadap 2 kabupaten/kota, dan di tiap kabupaten/kota tersebut, dilakukan kunjungan ke dinas kesehatan kabupaten/kota, 2 puskesmas dan 1 Rumah Sakit, serta melakukan wawancara ke Bappeda dan masyarakat. Beberapa kendala yang ditemukan di lapangan, diantaranya: 1. Sumber informan yang seharusnya dan pada saat yang bersamaan tidak berada di tempat sehingga dilakukan wawancara terhadap informan pengganti. 2. Responden yang diharapkan sebagai informan tidak sesuai, hal ini dikarenakan adanya perubahan posisi (rolling) yang terjadi beberapa bulan sebelum kunjungan. 3. Adanya intervensi dalam pemilihan responden di tingkat dinas. 4. Adanya intervensi dari pendamping (orang dinas) dalam wawancara di tingkat Kab/kota, puskesmas dan rumah sakit.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

41

LAPORAN AKHIR

5. Ketidaklengkapan data dikarenakan keterbatasan waktu dalam pengumpulan data 3 tahun terakhir (tahun 2003-2005). 6. Kesulitan pada proses wawancara di beberapa puskesmas dan RS dikarenakan waktu wawancara dilakukan pada saat jam kerja. 4.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB (1) Indikator Kinerja Surveilans Peta Rawan Indikator Kinerja Surveilans bisa dilihat dari peta rawan, DP-DBD, K-DBD, W2 DBD, dan W1. Indikator kinerja surveilans tersebut tidak sepenuhnya merupakan indikator surveilans. Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase keberadaan indikator tersebut di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas. Berdasarkan data tersebut terlihat 4 dari 5 dinkes propinsi memiliki peta rawan sebagai salah satu indikator kinerja surveilans. Begitu pula pada tingkat dinkes kab/kota, dari 12 dinkes kab/kota sebanyak 10 dinkes kab/kota atau 83,3% memiliki peta rawan. Tidak demikian dengan Rumah Sakit, dari sebanyak 12 rumah sakit kab-kota yang menjadi lokasi kajian, tak satupun memiliki peta rawan DBD. Hal ini dapat dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai unit rujukan yang berperan melakukan tindakan medis atas kejadian kasus. Sementara di Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dasar, peta rawan tidak tersedia disemua puskesmas. Dari 19 puskesmas yang dikunjungi, hanya 11 (52,4%) yang memiliki peta rawan. Tabel 4.1

Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas DINKES DINKES RUMAH INDIKATOR PUSKESMAS KAB/KOTA PROPINSI SAKIT (ntot =24, 5 miss) KINERJA (ntot =12, 6 miss) (nto= 5, 1 miss ) (ntot =12) Peta rawan DP-DBD K-DBD W2-DBD W1 jml 4 4 3 3 4 % 80.0 80.0 60.0 60.0 80.0 jml 10 7 6 9 9 % 83.3 58.3 50.0 75.0 75.0 jml 0 1 1 5 5 % 0.0 16.7 16.7 83.3 83.3 jml 11 9 12 15 12 % 52.4 42.9 57.1 71.4 57.1

Sumber: Data Lapangan, 2006 Selain peta rawan, indikator kinerja surveilans lainnya adalah DP-DBD, KDBD, W2-DBD dan W1. Dari tabel di atas tergambarkan di tingkat propinsi data tersebut hampir semuanya tersedia. Sedangkan di tingkat kab/kota indikator kinerja surveilans yang dimiliki dinkes kab/kota dan RS lebih banyak pada
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

42

LAPORAN AKHIR

indikator W2 DBD dan W1. Sedangkan di tingkat Puskesmas, keberadaaan datadata tersebut relatif tersedia, walau tidak semua puskesmas memilikinya. Di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, pengumpulan data surveilans dilakukan oleh dua bagian, seksi surveilans dan program pemberantasan penyakit (dalam hal ini program DBD/pemberantasan penyakit bersumber binatang). Surveilans hanya menerima laporan yang berkaitan dengan KLB, dalam hal ini laporan W1. Sementara, laporan peta rawan, W2, DP-DBD, dan K-DBD, diperoleh dari bagian program pemberantasan DBD. Sehingga, informasi mengenai ke lima indikator, merupakan gabungan dari bagian seksi surveilans dan program pemberantasan penyakit (DBD). Dari hasil keseluruhan memperlihatkan adanya persentase yang tinggi dalam hal kinerja ditingkat propinsi. Yang perlu diperhatikan adalah meskipun semua indikator terpenuhi, namun apakah laporan tersebut tepat waktu atau tidak. Seperti halnya di propinsi Riau, setelah kejadian KLB laporan W2 seringkali terlupakan untuk dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada tingkatan rumah sakit, ketiadaan indikator di atas karena pendekatan rumah sakit yang lebih kepada kuratif. Lokasi yang tercakup dalam peta rawan kadang kali tidak kecil. Di Samarinda, karena merupakan kota endemis, maka peta rawan adalah seluruh kota Samarinda itu sendiri. Diseminasi Informasi Kinerja surveilans juga diukur berdasarkan indikator diseminasi informasi seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Penerbitan bulletin kajian epidemiologi ternyata lebih banyak dilakukan oleh Dinkes propinsi. Demikian pula untuk pembuatan profil surveilans epidemiologi. Laporan umpan balik dari propinsi sudah dilakukan oleh sebagian dinkes propinsi, dinkes kab/kota dan puskesmas. Laporan umpan balik ke RS sangat jarang dilakukan. Pada level puskesmas, 76% puskesmas sudah menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota; sementara untuk rumah sakit hanya 1 buah rumah sakit saja yang menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota. Pada tingkat puskesmas, hanya pertanyaan mengenai adanya umpan balik dari kabupaten dan profil surveilans epidemiologi yang ditanyakan. Ke dua pertanyaan lainnya (penerbitan epidemiologi dan laporan umpan balik dari propinsi) tidak berkaitan langsung pada aktifitas puskesmas. Dalam pembuatan laporan, faktor ketepatan juga sangat penting. Di Dinkes kota Samarinda, meskipun kelengkapan laporan puskesmas mencapai 90-100%, namun ketepatannya hanya 60% saja. Pembuatan laporan pun tidak dilakukan setiap hari. Kadangkala diperlukan pengiriman informasi melalui short message system (sms dengan hand phone) untuk melaporkan kejadian BDB.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

43

LAPORAN AKHIR

Tabel 4.2 Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
INDIKATOR KINERJA DINKES PROPINSI (ntot=6) jml Penerbitan buletin kajian epidemiologi Laporan umpan balik dari propinsi Laporan umpan balik dari kab/kota (untuk RS & puskesmas) Profil survaeilans epidemiologi 3 % 75.0 DINKES KAB/KOTA ntot =12) jml 1 % 11.1 RUMAH SAKIT (ntot =12) jml 0 % 0.0 PUSKESMAS (ntot =24) jml 2 % 15.4

50.0

66.7

28.6

53.8

14.3

10

76.9

75.0

55.6

0.0

7.7

Sumber: Data Lapangan, 2006 (3) Indikator Kinerja Penanggulangan

Data Kasus Hasil kinerja surveilans dan penanggulangan diukur dengan penemuan kasus, angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Grafik diatas ini memperlihatkan dari ke 6 lokasi kajian. Gambar 4.5 Data Kasus DBD di Lokasi Kajian

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

44

LAPORAN AKHIR
DATA KASUS DBD DI LOKASI KAJIAN TAHUN 2003-2005
20000

15000

10000

5000

0 RIAU JABAR JATIM KALTIM SU LSEL N TB

2003 739 8932 4243

2004 1059 19012 8321 2276

2005 1897 18590 14796 3165 3164 1062

2628 198

4175 805

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006 Berdasarkan gambar tersebut terlihat propinsi Jawa Barat memiliki kasus DBD yang paling banyak, disusul dengan Propinsi Jawa Timur. Sedangkan kasus terendah terjadi di propinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data tersebut kecenderungan data selama tahun 2003-2005 menunjukkan peningkatan kasus di semua propinsi. Grafik ini adalah data yang diambil di Dinkes propinsi. Gambar 4.6 Data Kematian DBD di Lokasi Kajian
DATA KEMATIAN DBD DI LOKASI KAJIAN TAHUN 2003-2005
300 250 200 150 100 50 0 RIAU JABAR JATIM KALTIM SULSEL NTB 39 8

2003 6 201 59

2004 21 214 120 41 25 16

2005 32 285 254 82 59 15

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006 Sementara untuk jumlah kematian, grafik di atas memperlihatkan jumlah kematian tertinggi di Jabar disusul dengan Jatim. NTB adalah propinsi terendah
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

45

LAPORAN AKHIR

dalam jumlah kematian. Dari data yang dicatat dinkes propinsi selama tahun 2003-2005 menunjukkan sejumlah propinsi mengalami peningkatan jumlah kematian, yaitu di propinsi Riau, Jabar, Jatim, Kaltim, dan Sulsel. Salah satu penyebab tingginya kasus DBD adalah faktor geografis dan perilaku masyarakat. Seperti terjadi di Samarinda, di sana banyak perumahan penduduk yang tersebar di pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan petugas untuk memantau. Sementara Dinkes tidak memiliki kendaraan untuk menjangkaunya. Masyarakat pun memiliki kebiasaan menampung air hujan (tadah hujan) yang menambah habitat jentik. Tipe rumah panggung yang merupakan ciri masyarakat asli Kaltim turut menambah risiko pertumbuhan habibat jentik karena biasanya bagian bawah rumah tergenang air buangan rumah tersebut dan menjadi sarang nyamuk.

Gambar 4.7 Case Fatality Rate (CFR)DBD di Lokasi Kajian


CASE FATALITY RATE (CFR) DBD DI LOKASI KAJIAN TAHUN 2003-2005
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 RIAU JABAR JATIM KALTIM SULSEL NTB NAS 2003 0.81 2.25 1.39 0.00 1.48 4.04 1.5 2004 1.98 1.13 1.44 1.80 0.60 1.99 1.2 2005 1.69 1.53 1.72 2.59 1.86 1.41 1.36

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006 Untuk melihat kinerja penanganan kasus, khususnya pada rumah sakit yang berfungsi kuratif, dapat dilihat dengan indikator CFR. Indikator ini menunjukkan jumlah penderita DBD yang meninggal dari tiap 100 penderita DBD. Grafik di atas memperlihatkan pada tahun 2003, CFR tertinggi adalah NTB, bahkan di atas angka nasional. Pada tahun 2004 CFR di lokasi kajian terlihat rendah. Namun bila
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

46

LAPORAN AKHIR

dibandingkan dengan angka nasional, CFR sejumlah propinsi lebih tinggi. Pada tahun 2004, CFR yang paling tertinggi dimiliki oleh Riau dan NTB. Pada tahun 2005, angka CFR kembali meningkat di bandingkan tahun sebelumnya. Semua CFR berada di atas angka nasional. CFR tertinggi pada tahun 2005 adalah di propinsi Kaltim. Data pada grafik memperlihatkan pula adanya kenaikan CFR dari tahun 2003-2005 di sejumlah propinsi yaitu Jatim, Kaltim dan NTB. Sementara di propinsi lain CFR terlihat fluktuatif (naik dan turun). 4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Kinerja Penanggulangan KLB (1) Tenaga Tenaga adalah sumberdaya manusia dari pihak provider kesehatan yang terlibat langsung dalam kegiatan surveilans maupun penanggulangan KLB. Pada tingkat dinkes propinsi, komposisi jenis tenaga yang bertugas dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan terbanyak adalah S1 dan S2 Epidemiologi; sementara di tingkat dinkes kab/kota adalah dokter umum dan tenaga pendukung laibnya. Lulusan S1 dan S2 Epidemiologi lebih banyak berperan sebagai tenaga surveilans, sementara dokter umum berperan sebagai tenaga penanggulangan KLB. Yang dimaksud tenaga pendukung/lainnya adalah tenaga yang berprofesi/ berpendidikan perawat, lulusan SMA, lulusan D3, APK, kesehatan lingkungan/ sanitasi, manajemen kesehatan, staf administrasi, teknik lingkungan, tenaga fogging, ahli gizi, SKM, tenaga rekam medis, dokter gigi, dan kader kesehatan/posyandu. Tabel 4.3 Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota
DINKES PROPINSI JENIS TENAGA
SURVEILANS PENANGGULA NGAN KLB

DINKES KAB/KOTA
SURVEILANS PENANGGULA NGAN KLB

Jml S2 Epidemiologi S1 Epidemiologi Dokter umum Epidemiologi terampil


9 15 5 4

%
20.9 34.9 11.6 9.3

jml
1 3 4 2

%
4.8 14.3 19.0 9.5

jml
3 14 4 8

%
8.6 8.6 8.6 8.6

jml
5 17 65 6

%
2.7 9.1 34.9 3.2

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

47

LAPORAN AKHIR

Analis Laboratorium Pendukung/lainnya Jumlah

0 10 43

0.0 23.3 100.0

1 10 21

4.8 47.6 100.0

0 6 35

8.6 8.6 8.6

35 59 187

18.8 31.7 100.5

Sumber: Data Lapangan, 2006 Di Rumah Sakit, dokter umum paling banyak terlibat dalam kegiatan surveilans maupun penanggulangan. Hal yang sama juga ditemukan pada tingkat puskesmas. Banyaknya tenaga dokter untuk penanggulangan di tingkat kabupaten/kota dikarenakan pelaksana operasional penanggulangan KLB berada di tingkat kabuapten/kota. Sehingga, tenaga dokter yang ada, adalah semua dokter yang berada di puskesmas. Sementara di tingkat puskesmas maupun rumah sakit, tenaga dokter masuk dalam kategori sebagai pengumpul data, dimana mereka sebagai pemeriksa pasien, maupun sebagai tenaga klinis pada saat penanggulangan. Sementara, peran propinsi hanya sebagai koordinator, sehingga sumber daya yang bersifat klinis tidak banyak tersedia. Seperti halnya di dinas kesehatan propinsi Riau, kepala seksi surveilans adalah seorang dokter dengan pendidikan strata dua epidemiologi. Sehingga, dalam pengelompokkan dimasukkan dalam tenaga yang mempunyai latar belakang S2 Epidemiologi. Tabel 4.4 Distribusi Jenis Tenaga di RS dan Puskesmas
RS JENIS TENAGA SURVEILAN S jml S2 Epidemiologi S1 Epidemiologi Dokter umum Epidemiologi terampil Analis Laboratorium Pendukung/lainnya Jumlah 1 3 31 45 2.2 6.7 68.9 100.0 0 33 13 65 0.0 50.8 20.0 100.0 5 2 17 44 11.4 4.5 38.6 100.0 0 18 118 179 0.0 10.1 65.9 100.0 2 1 7 % 4.4 2.2 15.6 PENANGGU LANGAN KLB jml 1 0 18 % 1.5 0.0 27.7 PUSKESMAS SURVEILA NS jml 0 5 15 % 0.0 11.4 34.1 PENANGGU LANGAN KLB jml 0 4 39 % 0.0 2.2 21.8

Sumber: Depkes RI, 2006

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

48

LAPORAN AKHIR

Untuk penanggulangan, terlihat jumlah tenaga dokter umum yang banyak. Hal ini dikarenakan tenaga dokter yang diasumsikan oleh responden adalah tenaga dokter yang berada di puskesmas (seluruh puskesmas), yang langsung berada di bawah institusi dinas kesehatan kabupaten/kota dan terlibat sebagai tim penanggulangan. Sementara bila dokter umum tidak terlibat dalam kegiatan penanggulangan seperti yang terjadi di kabupaten Lombok Tengah, karena mereka berasumsi bahwa yang dimaksud dengan tim penanggulangan adalah tim penanggulangan yang berada di dinas kesehatan kabupaten itu sendiri. Sementara itu untuk tenaga laboran/laboratorium, ada hal yang menarik dari pernyataan dinas kota pekan baru, kalau sudah terjadi KLB, untuk apa tenaga laboran?. Hal ini mungkin yang menyebabkan tidak adanya laboran di tingkat dinas kabupaten/kota. Selain itu, laporan kasus yang masuk biasanya penderita sudah dari rumah sakit, sehingga sudah terlihat hasil laboratoriumnya. Tenaga laboran cenderung banyak di RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan, seperti terjadi di RS Mataram. Di tingkat Puskesmas, tenaga perawat atau sanitarian sering dijadikan petugas yang merangkap sebagai tenaga surveilans dan penyelidikan epidemiologi (PE). Di lapangan juga ditemukan masih adanya perbedaan persepsi tentang tenaga surveilans dan tenaga penanggulangan. Di puskesmas Pekanbaru Kota, Puskesmas Tambak Rejo, dan Puskesmas Kota Mataram berpendapat bahwa tenaga surveilans merupakan tenaga tersendiri, yaitu orang yang melakukan rekap data. Sehingga dokter-dokter tidak dianggap bukan tenaga surveilans. Hal yang berbeda di puskesmas lainnya, yang berasumsi bahwa dokter juga merupakan tenaga surveilans. Ketiadaan tenaga epidemiologi pada tingkat rumah sakit salah satunya disebabkan karena sudah adanya tim pokja DBD seperti yang ada di di RSUD Mataram. Di rumah sakit ini yang mengumpulkan data adalah bagian rekam medis yang bertugas mengumpulkan dan merekap data. Namun, ada pula RS yang mengkategorikan dokter sebagai tenaga surveilans seperti di rumah sakit daerah Siak. Jumlah tenaga dirasakan masih kurang, seperti yang terjadi di propinsi Sulawesi Selatan. Pada Dinas Kesehatan kabupaten atau kota, satu tenaga berperan sebagai tenaga DBD merangkap tenaga untuk program malaria dan zoonosis. Bahkan di tingkat puskesmas, satu tenaga juga merangkap sebagai tenaga untuk program DBD, malaria, filariasis dan zoonosis. Perawat atau sanitarian puskesmas sering merangkap sebagai tenaga surveilans dan tenaga penyelidikan epidemiologi (PE). Selain jumlah, kualifikasi tenaga masih kurang. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah pelatihan di dalam atau di luar negeri seperti terjadi di Jabar. Usaha lain yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakan pertemuan/lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupun penanggulangan penyakit. Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M. Khusus Jawa Barat sebagai daerah P2M pengetahuan praktis tenaga surveilans dan penanggulangan melebihi pengetahuan bersifat formal

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

49

LAPORAN AKHIR

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang surveilans oleh tenaga surveilans, sejumlah sampel dari daftar tenaga diambil. Pengetahuan ini diukur dengan persepsi terhadap 40 pertanyaan tentang surveilans. Tiap pertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk hingga baik). Data menunjukkan bahwa total skor persepsi surveilans berkisar dari 93-181; rerata 150 dan median 156. Berdasarkan cut off 156 untuk kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa 85% dari 21 sampel tenaga mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Cut off dipilih median karena distribusi data tidak normal. Tabel 4.5 Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD Total % Tinggi 18 85.7 Rendah 3 14.3 Total 21 100.0 Sumber: Data Lapangan, 2006 Berdasarkan tabel di atas tergambarkan bahwa pengetahuan para petugas (responden) terhadap pengetahuan surveilans cukup baik. Dari sejumlah responden yang ditanya, 85,7 % responden menyatakan cukup memahami tentang pengetahuan surveilans, dan 14,3menyatakan kurang memahami. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemahaman aparat terhadap program surveilans cukup baik. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang penanggulangan oleh tenaga penanggulangan, 19 sampel dari daftar tenaga diambil. Pengetahuan ini diukur dengan persepsi terhadap 36 pertanyaan tentang penanggulangan DBD. Tiap pertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk hingga baik). Data menunjukkan bahwa total skor persepsi penanggulangan berkisar dari 86-156; rerata 127 dan median 128. Berdasarkan cut off 128 untuk kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa hanya 53 % dari 19 sampel tenaga mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Tabel 4.6 Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD Tingkat Pengetahuan Tinggi Rendah Total Sumber: data Lapangan, 2006 Total 10 9 19 % 52.6 47.3 100.0

Berdasarkan data di atas dapat digambarkan bahwa persepsi responden terhadap pengetahuan berkaitan dengan penanggulangan DBD cukup baik, yaitu 52,6% responden memiliki pengetahuan tinggi dan 47,3% responden memiliki pengetahuan rendah. Apabila dibandingkan persepsi responden terhadap
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

50

LAPORAN AKHIR

pengetahuan berkaitan dengan surveilans dan pengetahuan berkaitan dengan penanggulangan, terlihat persentase responden lebih tinggi dalam pemahaman surveilans. Hal ini menandakan terutama pada praktek di lapangan, dimana sebagian responden adalah tenaga aparat dinas dan tenaga puskesmas yang memiliki informasi dalam praktek kegiatan surveilans. Sedangkan praktek penanggulangan dipahami lebih banyak oleh tenaga medis di rumas sakit sebagai unit rujukan dalam kasus penanganan DBD. Pengetahuan dalam penyelidikan dan penanggulangan KLB DBD sudah bagus, sesuai dengan standar. Namun pemahaman ditingkat kabupaten/kota secara general terhadap penanggulangan KLB belum optimal. Dalam operasional di lapangan sudah baik karena mereka langsung cepat tanggap untuk menangani KLB dan mencegah penyebaran lebih luas, namun dalam sistem pelaporan mereka masih ada masalah. Setiap terjadi KLB, kabupaten/kota sering lupa untuk mengirimkan laporan W2 (mingguan), yang sebenarnya merupakan salah satu tools untuk melakukan evaluasi. Kalau tidak diminta oleh propinsi, kabupaten/kota tidak mengirimkan. Data di atas juga menggambarkan masih adanya persoalan berkaitan dengan tenaga dalam penanganan DBD khususnya dalam hal koordinasi. Masih banyak ditemukan masalah kurangnya atau lemahnya koordinasi untuk pemberantasan DBD. Di Sulsel terdapat Pokjanal yang terdiri dari lintas sektor. Namun setiap usulan dana dari APBD untuk kegiatan Pokjanal sering tidak mendapat persetujuan Pemda karena urusan DBD dianggap urusan dinas kesehatan. Adanya otonomi daerah pun malah mempersulit koordinasi. Seperti terjadi di Sulsel, masing-masing kabupaten atau kota dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya terkesan tidak memerlukan bantuan dinkes propinsi. (2) Dana

Masalah pembiayaan dalam penanggulangan penyakit DBD menjadi permasalahan yang dihadapi setiap tahunnya oleh Dinas Kesehatan karena alokasi anggaran yang bersumber dari APBD tidak/belum mencukupi sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, meskipun sudah teralokasi namun sebagian besar alokasi anggaran dipergunakan untuk pengadaan obat dan peralatan (investasi) tidak berupa biaya operasional. Hal tersebut berdampak pada pembiayaan untuk operasional Puskesmas dalam upaya penanggulangan KLB. Dari hasil kunjungan lapangan ke Puskesmas diketahui bahwa dana atau anggaran yang dipergunakan untuk operasional penanggulangan penyakit menular di Puskesmas adalah sebagian besar mempergunakan dana operasional yang diperoleh dari program asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin). Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan DBD di lokasi kajian terlihat pada tabel di bawah ini. Sebagian besar dana ternyata berasal dari APBD. Untuk puskemas, dana yang bersumber APBN sangat kecil. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang ada, dimana dana APBN berkaitan dengan operasional di Puskesmas terbatas pada dana perbantuan untuk penguatan kapasitas. Tabel 4.7
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

51

LAPORAN AKHIR

Distribusi sumber dana di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota


DINKES PROPINSI SUMBER DANA SURVEILANS jml APBD APBN Lainnya 4 3 0 % 100.0 75.0 0.0 PENANGGULA NGAN KLB jml 5 4 0 % 100.0 80.0 0.0 DINKES KAB/KOTA SURVEILAN S jml 7 1 2 % 100.0 14.3 28.6 PENANGGULA NGAN KLB jml 10 1 3 % 100.0 10.0 30.0

Sumber: Data Lapangan, 2006 Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan di tingkat dinkes propinsi bersumber dari APBN (dekonsentrasi) dan APBD propinsi. Sedangkan di tingkat dinkes kab/kota, selain berasal dari APBN (dalam bentuk dana tugas perbantuan) dan APBD propinsi dan APBD kab/kota, juga berasal dari sumber lainnya. Sumber dana lain tersebut didapat dari kelompok masyarakat yang peduli terhadap penanganan kesehatan masyarakat, seperti dalam pelaksanaan fogging fokus, penyediaan bahan-bahan pendukung untuk promosi kesehatan, serta partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan penyuluhan, khususnya di lingkungan RT/RW melalui posyandu. Yang dimaksud dengan sumber dana lainnya adalah swadaya RS, swadaya masyarakat, dan swadana puskesmas. Sementara di tingkat puskesmas, sumber dana untuk pelaksanaan opersional penanggulangan DBD juga bersumber dari APBN dan APBD serta sumber lainnya. Dana APBN didapat dalam bentuk dana dekonsentrasi yang disalurkan melalui APBD propinsi. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan peningkatan kapasitas, seperti pelatihan tenaga puskesmas, serta peningkatan manajamen puskesmas. Begitupula dana APBD, selain untuk peningkatan kapasitas puskesmas, sebagian dana diberikan untuk pembelian bahan operasional, seperti insektisida, peralatan fogging, pembelian insektisida, larvasida, upah kader, transport supervisor, penanggulangan kasus, jasa kader, jasa dokter, biaya perawatan, pembelian obat-obatan, pembelian bahan bakar/solar, biaya akomodasi, biaya transfusi darah, pembuatan laporan, fogging, penyuluhan, pembelian mesin, penyelidikan epidemiologi, dan penanggulangan fokus. Kader merupakan salah satu tenaga yang terlibat dan dibiayai dengan dana kegiatan surveilans dan penanggulangan KLB. Salah satu peran kader jumantik adalah mendampingi petugas puskesmas dalam melakukan pemeriksaan di 20 rumah sekeliling rumah penderita jika ada kasus DBD. Berdasarkan wawancara dengan beberapa kepala puskesmas di lapangan, sumber dana untuk kegiatan surveilans berasal dari dana operasional puskesmas (DOP). Bila tidak mencukupi menggunakan dana program, seperti JPK-MM. Tidak ada dana yang spesifik diperuntukkan untuk kegiatan surveilans, sebagian besar kegiatan operasional surveilans dan penanggulangan DBD mengggunakan dana
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

52

LAPORAN AKHIR

operasional umum yang ada di puskesmas. Hal tersebut karena dalam prakteknya kegiatan operasional di lapangan dilakukan oleh semua petugas puskesmas. Tabel 4.8 Distribusi Sumber Dana di RS dan Puskesmas
RS SUMBER DANA SURVEILANS jml APBD APBN Lainnya 1 1 0 % 100.0 100.0 0.0 PENANGGUL ANGAN KLB jml 4 0 1 % 100.0 0.0 25.0 PUSKESMAS SURVEILAN S jml 3 1 6 % 42.9 14.3 85.7 PENANGGUL ANGAN KLB jml 8 1 10 % 57.1 7.1 71.4

Sumber: Data Lapangan, 2006 Operasional surveilans di tingkat propinsi menggunakan dana APBN murni maupun Dekon, serta dana APBD. Sedangkan untuk tingkat kabupaen/kota, hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kota atau APBD sharing. Di kota Surabaya bahkan terkadang menggunakan dana pribadi, bila dana yang diusulkan belum turun. Untuk tingkat puskesmas, rata-rata penggunaan operasional surveilans berasal dari APBD. Walaupun beberapa puskesmas terkadang menggunakan dana JPKMM sebagai tambahan. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Hanya rumah sakit Gresik yang menyatakan adanya dana surveilans, yaitu berasal dari APBN dan APBD (Gakin). Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon) dan APBD. Hal ini karena adanya kebijakan setiap propinsi mendapatkan dana Rp. 2 milyar yang berasal dari dana dekon (APBN) khusus untuk penanggulangan KLB. Untuk tingkat kabupaten/kota penggunaan dana terbanyak berasal dari APBD baik APBD murni, maupun APBD-ABT yang diajukan sebagai tambahan. Namun tidak menutup kemungkinan pendanaan dapat juga berasal dari APBN, seperti halnya kabupaten Gresik. Sementara untuk puskesmas, selain dana penanggulangan dari APBD, seringkali harus menggunakan dana tambahan dari PKPS-BBM (JPKMM) maupun Askeskin karena seringnya dana terlambat dicairkan. Tidak jarang puskesmas juga harus menggunakan dana swadaya masyarakat atau pribadi. Seperti ditemukan di puskesmas Duduk Sampeyan dan puskesmas Kebomas. Alokasi dana terbanyak adalah untuk obat dan peralatan (investasi), seperti terjadi di Sulsel. Sehingga wajar saja jika digunakan sumber lain. Masalah lain dalam aspek dana berkaitan dengan proses pencairan yang dirasakan prosesnya selalu lama dan terlambat. Contoh di Jawa Barat DIPA
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

53

LAPORAN AKHIR

seringkali terlambat. Proporsi anggaran untuk preventiv (surveilans) dan kuratif (penanggulangan) tidak seimbang. Lebih banyak dana dikucurkan untuk kuratif. Di propinsi Kalimantan Timur yang merupakan daerah endemis DBD, peran swasta dalam kontribusi dana belum optimal. Bahkan meskipun sudah dibentuk Yayasan Penanggulangan DBD dengan SK Walikota dan didanai oleh perusahaanperusahaan minyak, DBD masih merupakan masalah besar di Kaltim. (3) Standar Operasi dan Prosedur (SOP)

Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular, khususnya penyakit DBD, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkah penanggulangan DBD sebagai berikut: 1. Kewaspadaan Dini; (a) penemuan dan pelaporan penderita; (b) penangggulangan focus; (c) bulan kewaspadaan DBD; (d) pemantauan jentik berkala; 2. Pemberantasan Nyamuk Penular DBD; (a) terhadap nyamuk dewasa; (b) terhadap jentik nyamuk; 3. Penanggulangan KLB; (a) penyuluhan; (b) Gerakan PSN; (c) abatisasi; (d) fogging massal; 4. Peningkatan SDM; antara lain pelatihan petugas kesehatan. Pedoman yang bersifat teknis di lapangan diwujudkan dalam bentuk SOP. Keberadaan SOP penting untuk panduan petugas. Pelaksanaan SOP kegiatan surveilans dilakukan berdasarkan pedoman dan peraturan. Pada tingkat dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota keberadaan SOP dalam bentuk peraturan dan pedoman cukup baik. Sedangkan di tingkat puskesmas dan RS masih sangat rendah. Sementara SOP kegiatan penanggulangan KLB tampaknya sudah cukup banyak dimiliki di semua level. Tabel 4.9 Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

54

LAPORAN AKHIR

SOP

DINKES PROPINSI jml % 5 3 83.3 100.0

DINKES KAB/KOTA jml 11 4 % 91.7 57.1 jml

RS % 57.1 14.3

PUSKESMAS jml 12 0 % 50.0 0.0

Pedoman Peraturan

4 1

Sumber: Data Lapangan, 2006 SOP dalam rangka penanggulangan KLB di Dinkes propinsi, kab/kota, rumah sakit maupun puskesmas yang ada mencakup peraturan SKD-KLB, pedoman SKD-KLB, pedoman penyelidikan KLB, pedoman penanggulangan KLB, pedoman cara pelaporan, laporan penyakit potensi KLB, dan laporan kondisi rentan KLB. Penyusunan SOP dimaksud dilakukan dengan melibatkan lintas program. Tabel 4.10 Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES PROPINSI jml Peraturan SKD-KLB Pedoman SKD-KLB Pedoman penyelidikan KLB Pedoman Penanggulangan KLB Pedoman Cara Pelaporan Laporan Penyakit Potensi KLB Laporan Kondisi Rentan KLB 5 5 5 5 5 4 4 % 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 80.0 80.0 DINKES KAB/KOTA jml 7 9 10 10 7 9 4 % 63.6 81.8 90.9 90.9 63.6 81.8 36.4 jml 3 3 2 3 2 2 3 RS % 75.0 75.0 50.0 75.0 50.0 50.0 75.0 PUSKESMA S jml 7 8 15 13 13 11 8 % 36.8 42.1 78.9 68.4 68.4 57.9 42.1

SOP

Sumber: Data Lapangan, 2006 Propinsi belum membuat SOP sendiri, selama ini masih mengikuti pedoman dari pusat. Kedepan propinsi juga akan menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar operasional (SOP) agar SOP bisa operasional di lapangan. Di tingkat kabupaten/kota SOP yang ada selain mengadopsi dari pusat juga mengadopsi SOP yang dibuat oleh Dinkes propinsi.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

55

LAPORAN AKHIR

Dari Tabel 4.10 tergambarkan keberadaan SOP di masing-masing tingkatan. Seperti halnya SOP dalam rangka kegiatan surveilans, pada kegiatan penanggulangan, setiap dinkes propinsi dan kabupaten/kota memiliki cukup lengkap pedoman dan peraturan sebagai landasan operasional penanggulangan penyakit. Namun demikian SOP dimaksud tidak secara lengkap dimiliki oleh puskesmas. Rumah sakit memiliki SOP penanggulangan cukup baik dibandingkan SOP surveilans. Hal ini dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai unit rujukan dalam penanganan kasus penyakit menular termasuk kasus DBD. Walaupun keberadaan SOP dimaksud cukup lengkap hampir pada setiap tingkat unit pelayanan kesehatan, namun demikian keberadaan pedoman belum tentu digunakan. Seperti halnya di RSU Ujung Berung, di propinsi Jawa Barat SOP yang ada dianggap kurang operasional karena tidak sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang ada di lapangan. Upaya yang dilakukan dalam melakukan operasionalnya dilakukan dengan membuat SOP yang lebih rinci dan sederhana menjabarkan SOP yang dibuat dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota. Yang menarik adalah di RSUD Mataram yang juga merupakan rumah sakit pendidikan dan memilki tim pokja DBD, hanya laporan kondisi rentan KLB yang mereka miliki. Namun mereka juga membuat standar operasional dalam pertolongan pasien DBD yang tidak terdapat dalam ke-enam SOP tersebut. (4) Data

Ketersediaan data, baik pada kegiatan surveilans maupun penanggulangan KLB sangat penting. Data untuk surveilans yang dibutuhkan mencakup kasus, jentik, vektor dan curah hujan. Dari ke-4 data tersebut ternyata hanya data kasus yang tersedia di semua tingkatan. Data jentik yang sangat penting pun tidak tersedia kecuali pada level puskesmas. Jumlah puskesmas yang memiliki data tersebut sangat sedikit. Ketiadaan data di tingkat RS dikarenakan fungsi rumah sakit yang lebih sebagai kuratif. Informasi data surveilans diperoleh berdasarkan data dari seksi surveilans, yang notabene tidak melakukan pengumpulan data jentik, vektor maupun curah hujan. Baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Adapun informasi jentik dan curah hujan dilakukan oleh seksi pemberantasan penyakit (program DBD) yang bekerjasama dengan sanitasi. Oleh karena informasi yang diperoleh berasal dari seksi surveilans, maka ketiga data tersebut tidak ada. Sementara di bagian pemberantasan penyakit sendiri juga terdapat bagian surveilans, yang melakukan pengumpulan data rutin DBD. Oleh karena itu bukan berarti dalam surveilans data mengenai jentik dan vektor tidak ada, informasi mengenai jentik dan vektor tidak bisa didapatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari informasi penanggulangan yang merupakan perpaduan informasi dari seksi surveilans dan pemberantasan. Tabel 4.11 Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

56

LAPORAN AKHIR

DATA

DINKES PROPINSI jml % 100.0 0.0 0.0 0.0

DINKES KAB/KOTA jml 6 0 0 1 % 100.0 0.0 0.0 16.7 jml 4 0 0 0

RS % 80.0 0.0 0.0 0.0

PUSKESMAS jml 11 2 0 0 % 100.0 18.2 0.0 0.0

Kasus Jentik Vektor Curah hujan

3 0 0 0

Sumber: Data Lapangan, 2006 Data yang dibutuhkan untuk penanggulangan DBD mencakup kasus, jentik, lingkungan/genangan, perilaku 3M, vektor, curah hujan dan logistik. Terlihat pada tabel di bawah ini bahwa data yang paling banyak tersedia adalah data kasus dan jentik. Tampaknya di dinkes propinsi dan dinkes kab/kota, data lebih lengkap tersedia dibandingkan di tingkat RS dan puskesmas. Tabel 4.12 Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES PROPINSI jml Kasus Jentik Lingkungan/genan gan Perilaku 3M Vektor Curah hujan Logistik 5 3 1 0 1 1 2 % 100.0 60.0 20.0 0.0 20.0 20.0 40.0 DINKES KAB/KOTA jml 12 12 4 2 1 1 4 % 100.0 100.0 33.3 16.7 8.3 8.3 33.3 jml 5 0 0 0 0 0 2 RS % 71.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 28.6 PUSKESMAS jml 18 7 1 0 1 2 5 % 94.7 36.8 5.3 0.0 5.3 10.5 26.3

DATA

Sumber: Data Lapangan, 2006 Di Dinkes Kota Bandung Jawa Barat kegiatan surveilans dilakukan secara manual dengan cara pengumpulan data, pencatatan dan pelaporan. Sementara pelaporan yang dilakukan Puskesmas dikirim langsung oleh petugas puskesmas ke dinas kesehatan kota sesuai format yang ditentukan dalam bentuk manual. Sharing informasi antar petugas bidang/unit puskesmas dilakukan dalam bentuk rakor bulanan, sekaligus ajang tukar informasi dan pengalaman serta upaya pemecahan masalah yang ditemukan.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

57

LAPORAN AKHIR

Temuan lain yang di dapat di lapangan adalah tidak dikumpulkannya data jentik, vektor, dan curah hujan. Selain itu ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten masih rendah. Juga belum dilakukan analisis data baik di tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat /diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Selama ini propinsi tidak pernah mempermasalahkan validitas data yang dilaporkan. Untuk pengecekan data biasanya menyamakan informasi yang berasal dari media massa. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan. (5) Sarana Ketersediaan sarana penunjang kegiatan surveilans terlihat pada tabel berikut ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah sarana masih sangat terbatas. Kepemilikan sarana transportasi dan pengolah data, dari level puskesmas hingga dinkes propinsi berkisar 11-50% saja. Sementara untuk sarana komunikasi sudah lebih baik; meskipun untuk level RS dan puskesmas masih perlu ditambah. Tabel 4.13 Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES PROPINSI jml Transportasi Pengolah data Komunikasi 3 3 6 % 50.0 50.0 100.0 DINKES KAB/KOTA jml 4 5 10 % 36.4 41.7 83.3 jml 1 4 6 RS % 11.1 44.4 66.7 PUSKESMAS jml 11 9 14 % 50.0 40.9 63.6

SARANA

Sumber: Data Lapangan, 2006 Bila di lokasi kajian lain, peralatan pengolah data sudah menggunakan komputer, tidak halnya di Puskesmas Benteng Hilir yang masih menggunakan cara manual. Padahal di puskesmas lainnya, sudah disediakan komputer. Faktor geografis rupanya menentukan jenis alat komunikasi dan dipakai. Di propinsi Jawa Timur, semua wilayah dapat dijangkau dengan telepon, sementara di NTB tidak hanya memanfaatkan telepon sebagai alat komunikasi, tetapi juga SSB. Di kabupaten Lombok Tengah yang menggunakan SSB sebagai sarana komunikasi karena belum adanya kabel telepon. Di propinsi Riau, sarana komunikasi menggunakan telepon, walaupun tidak semua wilayah dapat dijangkau dengan fasilitas telepon. Untuk kegiatan penanggulangan KLB, ketersediaan/kepemilikan sarana yang diperlukan terlihat sudah jauh lebih baik daripada ketersediaan/kepemilikan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

58

LAPORAN AKHIR

sarana untuk kegiatan surveilans. Namun, untuk insektisida, obat, alat penyemprot dan alat penyuluhan masih kurang tersedia di semua level. Tabel 4.14 Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES PROPINSI jml Transportasi Pengolah data Komunikasi Obat Insektisida Alat penyemprot Alat Penyuluhan 4 5 5 4 5 3 0 % 80.0 100. 0 100. 0 80.0 100. 0 60.0 0 DINKES KAB/KOTA jml 10 10 9 4 11 12 7 % 83.3 83.3 75.0 33.3 91.7 100.0 58.3 jml 2 5 4 4 2 0 4 RS % 33.3 83.3 66.7 66.7 33.3 0.0 66.7 PUSKESMAS jml 12 13 14 9 13 8 10 % 66.7 72.2 77.8 50.0 72.2 44.4 55.6

SARANA

Sumber: Data Lapangan, 2006 Sarana yang dimiliki ada yang statusnya tidak khusus untuk kegiatan surveilans atau penanggulangan KLB. Artinya bisa digunakan juga untuk kegiatan lainnya. Umumnya sarana yang demikian adalah untuk jenis transportasi. Selain itu, kondisinya pun belum tentu bagus. Di Dinkes Kota Samarinda, Kaltim, misalnya, alat transportasi untuk surveilans dalam kondisi rusak. Berkaitan dengan jumlah dan jenis sarana, dalam kenyataannya terdapat variasi di berbagai dinkes propinsi, maupun dinkes di kab/kota, rumah sakit dan puskesmas. Di propinsi Jabar, yaitu di Dinas Kesehatan Kota Bandung, tersedia 3 mobil, sementara di Dinkes Kabupaten Bogor hanya 1 mobil; dan di Puskesmas Bojong Gede selain ada 1 mobil juga tersedia 1 motor. Kondisinya pun belum tentu bisa digunakan. Misalnya di Dinkes Kota Samarinda tersedia 2 motor, tetapi hanya 1 yang bisa digunakan. Untuk alat komunikasi, karena tidak adanya fasilitas kantor, seringkali digunakan fasilitas pribadi seperti handphone, seperti yang terjadi di Dinkes Kabupaten Gowa dan Puskesmas Palangga di Sulsel. Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya fogging fokus serta insektisida. Pengadaan insektisida dan fogging fokus untuk beberapa propinsi di kirim oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum siap. Satu hal yang unik adalah ketiadaan sarana senter. Senter digunakan untuk surveilans khususnya dalam penemuan jentik dari rumah ke rumah. Bahkan yang
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

59

LAPORAN AKHIR

sangat menyedihkan, di puskesmas Temindung Kaltim penggantian biaya batere untuk senter hanya setahun sekali saja. 4.3 Peran dan Tanggung Jawab Penanggulangan Penyakit DBD Pemerintah Daerah dalam

4.3.1 Kewenangan Daerah dan Standar Pelayanan Minimum Sejak diberlakukannya paket UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004) telah terjadi perubahan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147 tahun 2000, maka tugas Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional, pedoman, standar, petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah, sementara fungsi-fungsi yang bersifat operasional sudah harus diserahkan kepada daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Penerapan UU tersebut, khususnya di bidang kesehatan belum disikapi dengan utuh, sehingga terkesan tidak tuntas dalam bertindak. Ini disebabkan adanya kegamangan dalam peran dan tanggungjawab di masing-masing jenjang ataupun instansi di pemerintahan. Selanjutnya pasal 12 UU No. 32/2004 menyatakan bahwa fungsi yang telah dilimpahkan kepada daerah tersebut termasuk tanggung jawab daerah untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan, termasuk pembiayaan, sarana dan ketenagaan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimum (SPM). Untuk itu daerah wajib menyediakan pelayanan dasar yang dianggap esensial bagi kesejahteraan penduduk, termasuk di bidang kesehatan. SPM yang sekarang ini berlaku adalah daftar yang ditetapkan dalam Keputusan Menkes No. 1457/2003 (saat ini sedang dilakukan proses revisi). Dalam daftar tersebut ada 9 kewenangan wajib (KW) dan 31 jenis kegiatan/pelayanan/program, seperti dalam tabel di bawah. Tabel 4.15 Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan
No 1 Kewenangan Wajib (KW) Pelayanan Dasar No 1 2 3 4 5 6 7 8 Standar Pelayanan Minimum (SPM) KIA Kesehatan anak pra-sekolah 7 sekolah KB Imunisasi Pengobatan dan perawatan dasar Kesehatan Jiwa Kesehatan kerja *) Kesehatan usila *) Pemantauan pertumbuhan balita Pelayanan gizi

Giji Masyarakat

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

60

LAPORAN AKHIR 3 4 Rujukan dan Pelayanan Penunjang Pencegahan dan Penyakit Menular Pemberantasan 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Pelayanan obstetri dan neonatal emergency dasar Pelayanan emergency Surveilans dan pengendalian KLB kurang gizi Pencegahan dan pengobatan polio Pencegahan dan pengobatan TBC Pencegahan dan pengobatan infeksi saluran nafas Pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS Pencegahan dan pengobatan DBD Pencegahan dan pengobatan Diare Pencegahan dan pengobatan Malaria *) Pencegahan dan pengobatan Kusta *) Pencegahan dan pengobatan Filaria *) Kesehatan lingkungan Pengendalian vektor Hygiene dan sanitasi tempat umum Promosi Kesehatan Promkes dan pengendalian penyalahgunaan obat Pengadaan obat dan bahan medis Obat generik Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan perorangan Pembiayaan kesehata penduduk miskin dan risti

5 6 7 8 9

Kesehatan Dasar

Lingkungan

dan

Sanitasi

Promosi Kesehatan Pengendalian Napza Pelayanan Farmasi Pembiayaan kesehatan, kesehatan perorangan dan auransi kesehatan

18 19 20 21 22 23 24 25 26

Sumber: Depkes RI, 2006 *) Hanya di kab/kota tertentu

Berdasarkan hasil analisis tentang daftar SPM tersebut disebutkan bahwa kriteria yang tersirat dalam 3 kegunaan SPM seperti disebutkan dalam UU No. 32/2004 belum seluruhnya terakomodir. Tiga pelayanan dasar menurut UU tersebut adalah (1) hak konstitusi penduduk, (2) kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat, keamanan dan ketertiban umum serta integritas dan kesatuan nasional, (3) komitmen nasional terhadap kesepakatan dan konvensi internasional. Pelaksanaan SPM di tingkat kabupaten/kota ternyata menimbulkan kebingungan dan masalah. Pertama, penghitungan kebutuhan biaya untuk semua pelayanan dalam daftar SPM tersebut menghasilkan suatu jumlah yang tidak dapat ditanggung oleh banyak daerah. Ada daerah beranggapan bahwa pemerintah pusat harus menanggung selisih biaya yang tidak bisa ditanggung pemerintah daerah. Kedua, banyak daerah mengalami kesulitan menterjemahkan target nasional dalam target daerah. Misalnya, tidak banyak kabupaten/kota yang memiliki data dasar tentang prevalens penyakit, masalah kesehatan kerja, TBC dan penyakit lainnya, sehingga kesulitan dalam menetapkan target untuk Indonesia Sehat 2010. Ketiga, tidak mudah menterjemahkan target 2010 dalam target tahunan. Dalam kenyataan, banyak kabupaten/kota yang menetapkan target programnya atas dasar plafond anggaran yang akan diterima untuk tahun bersangkutan.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

61

LAPORAN AKHIR

4.3.2 Peran Pemerintah daerah dalam Penanggulangan DBD Pemberantasan penyakit demam berdarah dengue (DBD) sangat tergantung pada peran besar pemerintah daerah, yang langsung menghadapi masyarakat. Daerah diharapkan lebih aktif menggerakkan masyarakatnya untuk menjaga lingkungan masing-masing. Peran daerah dalam penanggulangan DBD antara lain dilakukan dengan tindakan preventif seperti (1) mengeluarkan surat edaran kewaspadaan penyakit DBD kepada semua kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, (2) kampanye gerakan pembersihan sarang nyamuk, (3) penyebaran poster, ceramah klinik penyegaran tata laksana kasus, maupun membahas penanganan dan antisipasi DBD. Pemerintah Provinsi memfasilitasi teknis dan pengamatan DBD di daerah endemis, membagikan bubuk abate dan malathion untuk pengasapan ke kabupaten/kota, selain juga memberikan bantuan cairan infus. Kebijakan pemerintah melalui PSN dalam mengendalikan tempat perindukan telah ditetapkan dan disosialisasikan melalui berbagai media. Usaha promosi kesehatan secara konvensional telah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pemberantasan DBD, namun belum diikuti dengan perbaikan sikap. Belajar dari negara tropis lainnya yang telah mengembangkan inovasi pemberdayaan masyarakat melalui COMBI (Communication for Behavioural Impact) menunjukkan bahwa sebelum menetapkan intervensi, perlu didasari pada suatu formative research yang mengungkap hal-hal yang dibutuhkan masyarakat (Park 2004, WHO 2003). Inovasi ini masih belum menjadi fokus perhatian dalam kegiatan PSN di Indonesia. Di propinsi pemantauan kasus terus dilakukan, para bupati dan wali kota disurati untuk mengantisipasi DBD, termasuk kampanye di media massa. Pemerintah Provinsi juga mendistribusikan abate, malathion, cynoft, dan filter paper ke kabupaten/kota. Selain itu juga dilakukan penyuluhan dan gerakan 3 M (menguras, menimbun, dan menutup tempat-tempat potensial perindukan nyamuk). Strategi penanganan DBD dilakukan dengan pengumpulan data kasus DBD dari RS, puskesmas, klinik swasta, pengumpulan data morbiditas kasus DBD yang lalu (tiga-lima tahun) yang akan dipakai sebagai data dasar. Pengumpulan data lapangan dengan mengunjungi rumah penderita, dan pencarian kasus baru, serta pengamatan terhadap perilaku masyarakat disertai penaburan abate 10 gr/100 lt pada TPA di setiap rumah penduduk dengan radius 400 meter persegi dari rumah kasus. Dinkes mengembangkan sistem kerja deteksi dini, yaitu mengidentifikasi berbagai kasus penyakit yang timbul, mulai dari gejala, penyebab, dan daerah sebarannya, terutama daerah rawan endemi. Pelaporan dini, pada tahap ini dilakukan Puskesmas sebagai ujung tombak dalam tindakan darurat mengatasi berbagai permasalahan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

62

LAPORAN AKHIR

Kebijakan desentralisasi semakin rumit ketika harus dilaksanakan di sektor kesehatan yang mencakup area kegiatan luas dan yang selama ini didominasi peran pemerintah pusat. Sebelum desentralisasi alokasi anggaran kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model negosiasi ke propinsi-propinsi. Setelah desentralisasi kebijakan sektor kesehatan menghadapi apa yang disebut anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak hanya ke propinsi melainkan sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota di Indonesia. Secara implisit DAU kesehatan dianggap sudah termasuk dalam formula tersebut walaupun sebenarnya secara eksplisit tidak ada. Praktis sektor kesehatan harus berjuang di tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk mendapatkan anggaran. Dengan demikian daerah harus merencanakan dan menganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkannya.

4.3.3 Koordinasi antar sektor Koordinasi dengan instansi terkait di tingkat Kabupaten/Kota setelah adanya desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan ada kesan masing-masing Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak memerlukan bantuan/koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi. Koordinasi yang sulit terlihat dari lambatnya mekanisme pelaporan kasus KLB, meskipun prosedur pelaporan ada dan telah baku. Masalah penanggulangan KLB semakin sulit penanganannya manakala mekanisme pelaporan tidak berjalan baik, meski prosedur telah ada dan baku. Masalah lemahnya koordinasi lintas program dan lintas sektor, masih dijumpai dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit. Di tingkat Propinsi, pelaksanaan tugas kelompok kerja operasional (Pokjanal) DBD tingkat Propinsi, yang merupakan salah satu wadah koordinasi antar instansi/lintas sektor, tidak/belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan tidak adanya dukungan pendanaan dari masing-masing instansi terkait yang tergabung dalam Pokjanal DBD. Setiap usulan rencana kegiatan dan pembiayaan kegiatan Pokjanal DBD yang diajukan oleh masing-masing instansi terkait di luar kesehatan sering tidak mendapat persetujuan untuk mendapat dana APBD dari Pemerintah Daerah setempat, dengan pertimbangan antara lain bahwa urusan penyakit menular DBD adalah urusan dinas kesehatan, tidak melibatkan instansi di luar kesehatan. Pemberdayaan lintas sektor dalam menjalankan Pokja/Pokjanal DBD yang telah dibentuk, belum optimal. Pada umumnya, sektor kesehatan masih dipandang sebagai aktor dan inisiator utama dalam pencegahan DBD. Hal ini sejalan dengan temuan Siregar (2003) tentang tidak adanya hubungan bermakna antara fogging, abatisasi, PSN dan PJB dalam menurunkan insidens DBD di Kota Medan, karena tenaga Pokja DBD tidak aktif. Hal ini diperkuat oleh Halstead (2000) mengenai sukses dan kegagalan pengendalian penyakit DBD. Metode konvensional promosi kesehatan melalui KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan advokasi telah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, namun belum berhasil
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

63

LAPORAN AKHIR

memperbaiki perilaku. Communication for Behavioural Impact (COMBI) menawarkan pendekatan dinamis untuk mengubah perilaku dalam pengembangan sosial (Kusriastuti, 2004; Parks, 2004: Umniyati, 2004). Adanya usulan mengenai pembentukan dan pengaktifan Tim Epidemiologi Kota sebagai wahana untuk penelusuran penyakit berbasis lingkungan, diharapkan dapat merangkum berbagai pihak terkait dari lintas program pemberantasan penyakit, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan maupun lintas sektor dari lingkungan dan dinas tata kota. Semua petugas sektor kesehatan memiliki panduan mengenai tata laksana penanggulangan penyakit DBD yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI, bahkan seorang di antara enam Kepala Puskesmas yang diwawancarai, menindaklanjutinya dengan menyusun protap pelaksanaan di lapangan. Mekanisme PSN-DBD terhadap masyarakat diakui berjalan dengan baik, walaupun tidak di seluruh tempat. Diakui oleh para petugas kesehatan adanya peminatan masyarakat yang lebih tinggi terhadap fogging bila dibandingkan dengan PSN. Walaupun demikian hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat mengakui PSN melalui 3M lebih baik dan lebih murah daripada pengasapan. Hampir seluruh petugas memahami takaran larutan untuk fogging dan mengatakan bahwa fogging fokus dilaksanakan hanya setelah ada kasus, tidak dilakukan sebelum masa penularan. Petugas dinas kesehatan mengemukakan esensi intensifikasi penyuluhan mengenai PSN-DBD pada masa rendah penularan penyakit

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

64

LAPORAN AKHIR

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
(1) Kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1) koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular. (2) Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan i. Peta rawan, hampir semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia. ii. Diseminasi informasi dilakukan melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi dan dinkes kabupaten/kota. iii. Sistem Pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%. iv. Jumlah Kasus periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR) DBD fluktuatif. (3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulangan terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data. i. Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilans dan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belum terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata perawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

65

LAPORAN AKHIR

Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak dilakukan Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi. ii. Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih belum sama, Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M. iii. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan penanggulangan penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus untuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasional umum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon) dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlambatan turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan (3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. iv. SOP. Hampir semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalam rangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikian kebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota inisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. v. Sarana. Walaupun kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya fogging fokus serta insektisida
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

66

LAPORAN AKHIR

pengadaan insektisida dan fogging fokus di supply oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum siap vi. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten/kota masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat /diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data. (4) Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana. Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain (1) keterbatasan tenaga, (2) Keterbatasan dana, (3) ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiolegi (PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklanjuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan pengobatan akibat terlambat merujuk (5) Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang baru. i. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan),

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

67

LAPORAN AKHIR

ii. Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal sektor maupun lintas sektor. iii. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan, bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.

5.2

Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup 1. Peningkatan koordinasi antar instansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan penyakit menular, 2. Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program antar pusat daerah yang mencakup aspek perencanaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi), 3. Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, 4. Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilans dan penanggulangan penyakit menular, malalui a. Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun APBD, b. Penyepurnaan SOP sesuai local specific, c. Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis, validasi dan pengembangan respond system, dan sistem kesiapan dini (early warning system), d. Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan melibatkan peran aktif masyarakat, 5. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi, 6. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, 7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, 8. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, 9. Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit. 10. Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

68

LAPORAN AKHIR

11. Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah. 5.3 Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut

Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut yang diperlukan mencakup

1. Aspek Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya


kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. kesehatan seperti askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pola pendanaan diharapkan dapat lebih fleksibel dan dimungkinkan untuk kebutuhan KLB dalam bentuk multiyears fund.

2. Aspek Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan

3. Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan

dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan. Keberadaan data dan informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja pembangunan kesehatan. pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif. opersional tenaga lapangan.

4. Aspek Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para

5. Aspek SOP, dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

69

LAPORAN AKHIR

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS Anies.2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah Menanggulangi Penyaki Menular. Jakarta: Elex Media Komputindo Anies. 2005. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Bappenas. 2005. Progress Report on The Millenium Development Goals Chin, JMES. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Modul Surveilans Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pencegahan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia dan dan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Standar Pengawasan Program Bidang Kesehatan. Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) Hadinegoro, Sri Rezeki, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen P2M & PL, Departemen Kesehatan RI Halstead, Scott B. Successes and Failures in Dengue Control-Global Experience, Dengue Bulletin Volume 24, December-2000 [cited 9 Juli 2005] Available from : http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332 Kusriastuti, Rita. 2006. Kebijakan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Subdit Arbovirosis, Ditjen PP & PL Depkes RI Muninjaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC Noor, Nur Nasry. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Reka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rekacipta. Parks, Will & Linda Lloyd.2004. Planning social mobilization and communication for dengue fever prevention and control, World Health Organization Santoso, Gempur. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

70

LAPORAN AKHIR

Siregar, Sari Nurhamida. 2003. Analisa Penatalaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam menurunkan Insidens DBD dan Menentukan Kebijakan Operasional di Kota Medan, Universitas Airlangga. Soerawidjaja, Resna A.. dan Azrul Azwar. 1989. Penanggulangan Wabah Oleh Puskesmas. Jakarta : Bina Putra Aksara. Sulastomo. 2003. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama World Health Organization. 2001. Panduan Lengkap Pencegahan & Pengendalian Dengue dan Deman Berdarah Dengue. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Peraturan Perundangan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Penyakit Menular Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

71

LAPORAN AKHIR

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

72

LAPORAN LAMPIRAN 1 AKHIR

RANCANGAN INSTRUMEN KAJIAN


I. Tujuan
a. Identifikasi faktor-faktor yang menghambat system informasi manajemen surveilans penyakit menular b. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam penanggulangan
penyakit menular

c. Identifikasi langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan penyakit menular

II. Kerangka Konsep


SURVEILANS INPUT PROSES Koordinasi kegiatan pengumpulan Validasi Pengolahan data Analisis data Supervisi pengumpulan Supervisi pengolahan OUTPUT

Tenaga Dana Sarana Pengetahuan yang benar Pelatihan Metoda pengumpulan data Potensi komunitas

Identifikasi masalah Penyelidikan sebab masalah Diseminasi

PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR INPUT PROSES OUTPUT

III.

Tenaga Sarana Dana Protap Pengetahuan ttg Wabah & Penanggulangan Pelatihan Definisi Operasional Informasi surveilans Pengambilan Keputusan SURVEILANS Potensi komunitas Input

Koordinasi lintas sektor Upaya perbaikan kondisi rentan Sistem kewaspadaan dini Penyelidikan & Penanggulangan wabah Kesiapsiagaan menghadapi wabah

Wabah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

73

LAPORAN AKHIR

1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan surveilans yang meliputi jumlah pelaksana dan tingkat pendidikan serta lamanya bekerja di surveilans. 2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber dana kegiatan surveilans. 3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yang diperlukan dalam melakukan kegiatan surveilans. 4. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang survailans penyakit menular. 5. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentang surveilans penyakit. 6. Metoda pengumpulan data merupakan keberadaan tata laksana kegiatan pengumpulan data dan kesesuaian dengan fungsinya. 7. Partisipasi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti: tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan surveilans. Proses 1. Koordinasi kegiatan pengumpulan merupakan kerjasama tim surveilan dengan komunitas dan koordinasi di dalam tim itu sendiri dalam melakukan pengumpulan data 2. Validasi merupakan kesesuaian proses kegiatan dengan SOP yang sudah ada. 3. Pengolahan data merupakan ketapatan waktu dan keakuratan suatu data di olah. 4. Analisis data merupakan ketepatan penggunaan teknik analisa data. 5. Supervisi pengumpulan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses pengumpulan data. 6. Supervisi pengolahan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses pengolahan data. Output 1. Identifikasi masalah merupakan hasil analisis data yang sudah diproses untuk mengetahui kemungkinan munculnya/timbulnya kejadian (morbiditas/mortalitas) penyakit menular. 2. Penyelidikan sebab masalah merupakan proses identifikasi sumber/penyebab timbulnya masalah 3. Diseminasi merupakan ketepatan waktu penyebaran dan kelengkapan informasi surveilans kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pengambil keputusan). Kelengkapan diukur berdasarkan SOP yang ada PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR Input 1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan penanggulangan wabah yang meliputi jumlah pelaksana dan latar belakang pendidikan serta lamanya bekerja. 2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber dana kegiatan. 3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yang diperlukan dalam melakukan kegiatan penanggulangan wabah. 4. Protap merupakan keberadaan peraturan yang sesuai dengan fungsinya dalam kegiatan. 5. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang karakteristik dan kegiatan penanggulangan penyakit menular. 6. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentang penanggulangan penyakit.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

74

LAPORAN AKHIR

7. Informasi Surveilans merupakan hasil output system surveilans yang sudah diolah dan dianalisis dengan melihat ada dan tidaknya informasi, ketepatan dan kelengkapan data, dan ketepatan waktu yang diterima oleh pihak-pihak pengambil keputusan. 8. Pengambilan Keputusan merupakan individu yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan penanggulangan. 9. Potensi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti: tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan penanggulangan wabah. Proses 1. Koordinasi lintas sektor merupakan kerjasama antar pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penanggulangan wabah. 2. Upaya perbaikan kondisi rentan merupakan upaya pencegahan melalui perbaikan keadaan yang menjadi sebab timbulnya kerentanan. 3. Sistem kewaspadaan dini merupakan pelaksanaan pemantauan terus menerus terhadap munculnya kerawanan yang terjadi pada unsur-unsur dasar penyebab terjadinya suatu wabah, dan peningkatan jumlah penderita yang merupakan indikasi adanya kemungkinan meletusnya suatu wabah. 4. Penyelidikan merupakan proses kegiatan kajian penyelidikan pendahuluan dan laporan awal, penyelidikan awal dan laporan perkembangan wabah (periodik), dan penyilidikan wabah yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab (Dinas kesehatan dan pusat). 5. Pelayanan pengobatan merupakan upaya pengobatan terhadap kelompok yang berisiko. 6. Pencegahan merupakan upaya memutus mata rantai penularan. 7. Surveilans Ketat merupakan upaya pemantauan kecenderungan wabah. Output 1. Wabah tidak menjadi masalah kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

75

LAPORAN AKHIR

IV. Draft Instrumen


Instrumen yang akan dirancang adalah instrument untuk wawancara mendalam (indepth interview) dan instrument observasi (check list). Sumber Informan adalah petugas yang terkait dengan pelaksanaan surveilans dan penanggulangan penyakit menular, yaitu: 1. Tingkat Pusat antara lain P2M, Yanmedik dan Binkesmas 2. Tingkat Provinsi antara lain: 3. Tingkat Kabupaten antara lain: kepala dinas kesehatan, kasubdin P2M, seksi surveilance, Bappeda, Biro Kesra 4. Puskesmas: Kepala Puskesmas, petugas P2M, staf Kesling 5. Masyarakat anatar lain: : Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel.,Pustu/polindes, Kader Kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

76

LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 2 PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN


A. Penyempurnaan Proposal Dalam rangka memperkaya proposal telah dilakukan beberapa kegiatan mencakup (1) pelaksanaan brainstorming dengan Tim Pakar, (2) Ekspose Tim Ahli, serta (3) Diskusi Internal. (1) Brainstorming dengan Tim Pakar Pelaksanaan brainstorming dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 28 Pebruari 2006. Tim yang diundang dalam acara brainstorming adalah nara sumber dari kajian ini serta beberapa pakar lainnya, yaitu - Dr. Broto Warsito, MPH - Dr. Indrijono Tantoro, MPH, Setditjen P3L Depkes - Prof. Dr. Sukirman, Ahli Gizi IPB - Dr. Dadi Argadiredja, MPH, Fakultas Kedokteran Unpad - Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D, Balitbang Depkes - Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia - Dr. Dedi M. Masykur Riyadi, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas Brainstorming dengan tim pakar dimaksudkan untuk mendapatkan wawasan yang lebih jelas mengenai penanggulangan penyakit menular. Masukan yang diharapkan dari pelaskanaan brainstorming mencakup perbaikan konsep, kerangka pemikiran, rumusan masalah serta tujuan dan sasaran penelitian. Dalam aspek metodologi masukan dari brainstorming yang diharapkan berkiatan dengan aspek runga lingkup kajian, pemilihan lokasi peneltian, penetapan responden, serta variabel kajian Hasil brainstorming selengkapnya pada LAMPIRAN 2. (2) Ekspose Tim Ahli Ekspose Tim Ahli dilaksanakan pada tanggal 5 April 2006 Ekspose Tim Pakar dimaksudkan untuk menggali lebih dalam lagi berbagai aspek yang berkaitan dengan Penanggulangan Penyakit Menular, mencakup aspek Review tentang Kajian Penyakit Menulat (Aspek Metodologi Kajian, oleh Prof. Dr. dr. Soedarto Romoatmojo, FKM-UI Tinjauan Umum tentang Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular di Indonesia (Kebijakan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

77

LAPORAN AKHIR

Yang Akan datang, oleh Dr. Indriono, Setditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Kebijakan Umum Departemen Kesehatan dan/atau Nasional dalam Upaya Penanggulangan Penyakit Menular, oleh Kepala Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Depkes Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas, oleh Direktur Bina Kesehatan Komunitas, Depkes Penanggulangan penyakit Menular di Rumah Sakit Kabupaten/Kota, oleh Direktur Bina Pelayanan Medik dasar, Depkes Tinjauan terhadap Kebijakan Surveilans Epidemiologi. Teori dan Praktek dalam Penanggulangan Penyakit Menular, ole Direktur Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra, Depkes. Kebijakan Penanggulangan Wabah DHF, oleh Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Depkes

Pokok-pokok Pikiran hasil Ekspose Tim Ahli selengkapnya dalam LAMPIRAN-3. (3) Diskusi Internal Diskusi internal dilakukan pada berbagai kesempatan diskusi yang diselenggarakan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Diskusi inernal dilakukan diantara anggota Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan dengan melibatkan Tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Diskusi internal dilakukan dalam rangka menyempurnakan kerangka acuan kajian dengan mengakomodasi berbagai masukan yang didapat dalam pertemuan brainstorming tim pakar maupun dari hasil ekspose tim ahli. Dalam diskusi internal juga dilakukan kesepakatan akhir berkaitan dengan disain kajian, metodologi serta teknis pelaksanaan survei lapangan, serta rencana analisis data dan informasi dan bentuk laporan kajian. Dalam diskusi internal juga dibahas berbagai pertauran perundangan yang berkaitan dengan penanggulangan penyakit menular, sekaligus dibahs tentang aspek kewenangan dari masing-masing tingkatan. (B) Pembahasan Disain Riset Pembahsan disain riset yang dilakukan mencakup aspek (1) penetapan lokasi kajian, (2) penentuan sampel dan responden, (3) perumusan kuesioner, serta (4) teknik analisis data. Penetapan Lokasi Kajian Lokasi kajian ditetapkan di 6 propinsi dengan kriteria pemilihan propinsi didasrkan pada ferkuensi dan jumlah kasus Keadaan Luar Biasa (KLB) penyakit.
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

78

LAPORAN AKHIR

Berdasarkan hasil pembahasan dengan kriteria di atas, ditetapkan propinsi yang akan menjadi lokasi kajian adalah 1. Propinsi Riau 2. Propinsi Sumatera Selatan 3. Propinsi Kalimantan Timur 4. Propinsi Sulawesi Selatan 5. Popinsi Jawa Timur 6. Propinsi Nusa Tenggara Barat Pada setiap porpinsi ditetapkan sampel 2 kabupaten . Pada setiap kabupaten ditetapkan 2 kecamatan/puskesmas Penetapan Responden Pada setiap Propinsi dan Kabupaten ditetapkan 4 orang responden mencakup Kepala Dinas/Subdinas Kepala Rumah Sakit/Bagian P2M Kepala Puskesmas pada 2 kecamatan Perumusan Kuesioner Rumusan Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup Pengelompokkan didasarkan pendekatan sistem serta berdasarkan kalster variabel dari konsep penanggulangan penyakit menular, mencakup (1) aspek surveilans dan (2) aspek penanggulangan wabah Kuesioner bersifat terbuka akan dilakukan dalambentuk interview dan wawancana mendalam Kuesioner dalam bentuk tertutup akan disampaikan kepada responden untuk mengisi Kuesioner Pada LAMPIRAN 1 Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data yang bersumber dari responden dilakukan analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan cara mengelompokkan, mengolah, mentabulasikan dan menginterpertasikan data C. Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner Uji Coba Kuesioner dilakukan dalam rangka menguji sejauhmana materi pertanyaan dan isian dalam kuesioner dapat dijawab sesuai dengan tujuan kajian. Uji coba juga dilakukan untuk melihat kesesuaian, konsistensi dari materi kuesioner sehingga runtut dan dapat dijawab dengan baik oleh responden. Aspek realibilitas dan vailiditas materi kuesioner juga menjadi target uji coba. Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner dilakukan di Kota Depok, pada tanggal 3-11 Juli 2006, dengan responden adalah petugas di lingkungan Dinas Kesehatan,
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

79

LAPORAN AKHIR

Puskesmas serta Rumah Sakit yang menangani bidang penyakit menular, khususnya terkait dengan penanganan surveilans dan penaggulangan penyakit Demam Berdarah (DHF). Hasil uji coba kuesioner selanjutnya dianalisa untuk kemudian dijadikan bahan perbaikan. Hal lain yang juga menjadi masukan dari pelaksanaan uji coba kuesioner adalah berkaitan dengan (1) perijinan dalam pelaksanaan wawancara, (2) penetapan kontak person di lapangan, (3) penetapan waktu wawancara yang sesuia sehingga tidak berbebnturan dengan agenda lain bagi petugas di lapangan. Laporan umum hasil uji coba kuesioner dalam LAMPIRAN .... D. Pembahasan Dengan FGD Pembahasan dengan Forum Group Disscussion dilakukan untuk mendapatkan masukan dan penyempurnaan konsep kajian, mencakup aspek (1) Tujuan, (2) Lingkup Kajian, (3) Metode Kajian, termasuk lokasi, variabel serta parameter kajian. Beberapa masukan dari FGD adalah Responden perlu ditambah tidak hanya unsur aparat (institution base), dan fasilitas kesehatan (facility based), tetapi juga dari unsur masyarakat (community based) Unsur institusi selain Dinkes juga ditambah Bappeda Bagaimana menemukan sistem penanggulangan yang cepat (efektif dan efesien) dengan mempertimbangkan sistem pelaporan (survailans) yang ada dan cenderung birokratis Masalah kewenangan penanganan perlu diperjelas (otorisasi) antara kewenangan pusat, propinsi, kabupaten/kota. Namun pusat tepat take a lead Perlu kejelasan antara survailans dan penanggulangan: mekanisme kerja serta proses pengambilan keputusannya E. Pelaksanaan Survey Lapangan Sesuai dengan lokasi kajian yang telah ditetapkan, survey lapangan dilakukan di 6 (enam) provinsi, yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan Survey di masing-masing propinsi dilakukan di 2 (dua) kabupaten, dan pada masing-masing kabupaten dilakukan wawancara mendalam serta pengisian kuesioner pada dinas kesehatan, Bappeda, 2 puskesmas, 1 rumah sakit dan tokoh/perwakilan warga masyarakat. Jadwal dan Tim pelaksana dari Survei Lapangan dalam LAMPIRAN .....

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

80

LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 3
Struktur Organisasi/Tim Pelaksana PENANGGUNG JAWAB Dr. Dedy M. Masykur Riyadi, Deputi SDM dan Kebudayaan TPRK 1. 2. 3. 4. 5. Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH Dr. Hadiat, MA Dadang Rizki Ratman, SH, MPA. Sularsono, SP, ME. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM

NARA SUMBER 1. 2. 3. 4. 5. Dr. Broto Wasisto, MPH Dr. Indrijono Tantoro, MPH Dr. Dadi Argadiredja, MPH Prof. Dr. Soekirman Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D.

TIM PENDUKUNG 1. Nurlaily Aprilianti 2. Sulaeman

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

81

LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 4

NOTULENSI PEMBAHASAN DENGAN TIM PAKAR


KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR
Jakarta, 28 Februari 2006

Fokus yang akan diteliti


Umum, Case Study : DBD

Kriteria Lokasi Kajian


Endemis dan Non Endemis Sedang ada KLB dan tidak ada KLB Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas dan Desa, Rumah Sakit terpilih

Responden
Pusat: P2M, Yanmedik dan Binkesmas Propinsi: Kadinkes, Kasubdin P2M, Seksi Surveilance, Bappeda, Biro Kesra Kabupaten : idem Puskesmas : Kepala Puskemas, petugas P2M, staf Kesling Desa: Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel., Pustu/polindes, Kader Kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

82

LAPORAN AKHIR

Design Penelitian: Case Control Variabel Penelitian:


Peraturan perundang-undangan (pusat, propinsi, kab/kota) Managerial/sistem (pusat, propinsi, kab/kota & kec) Operasional (puskesmas ke bawah)

Cara Pengumpulan Data


data sekunder data primer : wawancara mendalam di berbagai tingkat (Pusat s/d kab/kota) dan focus group discussion di tingkat Kecamatan dan desa

Perlu diperhatikan
Kaitan antara JUDUL, PERUMUSAN MASALAH, PERTANYAAN PENELITIAN, TUJUAN, SASARAN dan REKOMENDASI

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

83

LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 5

POKOK-POKOK PIKIRAN EKSPOSE TIM AHLI


Kajian Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
Jakarta, 5 April 2006

I. METODOLOGI KAJIAN
1. Pendekatan kajian:
policy review dengan fokus pada management oriented system model Identifikasi terhadap faktor penghambat dan diakhiri dengan rekomendasi kebijakan

2. Jenis Penelitian: Penelitian Operasional 3. Sampling: Non Propability Sampling 4. Ruang Lingkup: Umum dengan case DBD

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

84

LAPORAN AKHIR

II. TINJAUAN KABIJAKAN


1. Kebijakan yang ada belum fokus 2. Pemahaman terhadap produk hukum yang ada masih rendah 3. Kebijakan peraturan perundangan dapat diikuti oleh stakeholder: Kepmen Perpres 4. Dalam Renstra Depkes Penanggulangan Wabah masuk dalam 2 strategi utama: (1) memberdayakan masy. u/ hidup sehat dan (2) peningkatan sistem surveilans 5. Ketentuan yang ada belum dilaksanakan secara optimal di tingkat operasional akibat keterbatasan dana, sarana, tenaga dan koordinasi 6. Infrastruktur Puskesmas untuk surveilans ditingkatkan : Poskesdes Vs Pustu

III. PRAKTEK PENANGGULANGAN DI LAPANGAN PUSKESMAS Surveilans di Puskesmas belum Optimal Koordinasi lintas sektor belum terintegrasi Keterbatasan tenaga yang kompeten Kontribusi utama Puskesmas dalam penanggulangan wabah PP dalam jejaring pelayanan, tenaga, sarana, sistem pencatatan RUMAH SAKIT Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belum terbangun Insentif petugas perlu menjadi perhatian Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

85

LAPORAN AKHIR

IV. KEBIJAKAN SURVEILANS


1. Daerah berperan dalam pengambilan keputusan menentukan prioritas masalah maupun penanggulangan 2. Perlu Advokasi untuk dukungan legal aspek pelaksanaan dilapangan 3. Pelaksanaan SKD-KLB belum optimal 4. Surveilans faktor resiko selain surveilans penyakit 5. Dukungan tenaga, sarana dan anggaran

V. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DBD


1. Penguatan komitmen semua pihak 2. Pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan 3. Optimalisasi dan profesionalisme Sumber Daya (SDM dan dana) 4. Penguatan program: evidence based, prioritisasi 5. Manajemen terpadu berbais wilayah: Jumantik, desa siaga 6. Fleksibilitas pencairan dana KLB 7. Mobilisasi Sosial Gerakan Masyarakat 3M

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

86

LAPORAN AKHIR

LAPORAN PELAKSANAAN SURVEY KAJIAN KEBIJAKAN PENYAKIT MENULAR 1. Responden Kajian


No 1 2 3 4 5 6 Propinsi/Kab Riau 1. Kota Pekanbaru 2. Kab. Siak Jawa Barat 1. Kota Bandung 2. Kab. Bogor Jawa Timur 1. Kota Surabaya 2. Kab. Gresik Kalimantan Timur 1. Kota Samarinda 2. Kota Balikpapan Sulawesi Selatan 1. Kota Makasar 2. Kab. Gowa Nusa Tenggara Barat 1. Kota Mataram 2. Kab Lombok Tengah TOTAL Dinas 5 3 2 3 2 2 1 1 2 2 1 2 2 1 2 3 2 3 47 PKM 4 5 3 2 3 4 2 2 4 4 4 6 43 Rumah Sakit 1 1 2 1 2 1 1 4 1 2 2 3 21 Bapp 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 15 Masy 1 1 20 1 1 18 1 1 13 2 1 20 1 1 25 2 0 13 122 Jml 26

2. Kesimpulan Hasil Survey PROPINSI RIAU Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, imunisasi, perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjut perencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintas program, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM) termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obatobatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggalian sumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan program P2M. Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus melalui pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen kasus diganostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi, melalui
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

87

LAPORAN AKHIR

perencanaan, pematauan dan informasi program pemberantasan penyakit dan meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi. Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui penyuluhan intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan menyiapak sarana pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan penanggulangan fokus, (2) pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapi sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3) meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala Pojanal/Pokja DBD, pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan gerakan 3M. Hasil implemnatsi kebijakan. Strategi dan program adaah (1) pertemuan dengan tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberpa kesepakatan yang menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota, sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarakan dengan menggunakan pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Nbila terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan. (3) Disamping Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat, diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah khususnya penyakit menular.

PROVINSI JAWA BARAT Kebijakan penannggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitu mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan 3M, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD, (8) Penelitian. Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa Barat dilakukan melalui (1) pendekatan gerak cepat dan putus rantai, yaitu pada setiap
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

88

LAPORAN AKHIR

kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan dan sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui managing vector and environment malalui ger kan 3M yang dilakukan secara linta sektor dalam wadah Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemamampuan tenaga kesehatan dalam penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui workshop tata laksana dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan partisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, foggig focus massal, dan melakukan CLEAN-UP lingkungan yang dipimpin oleh wali kota selama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5) Pelibatan lintas sektor, (6) Sosialissi Pola Hidup Bersih (PHBS). Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional, kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah yang harus diselediki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi. PROVINSI JAWA TIMUR Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2) kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masingmasing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen dari pimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilans epidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksnakan secara bekerjasama dengan masyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan kesehatan. Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus dan kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2) pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3) penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resiko rendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintas program dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengan knerja yang tidak baik. Pelaksanaan program penannggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLB melalui kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi KLB, mengamati indikasi pra-KLB misala cakupan program, status gizi, perilaku masyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyususnan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyeldikan dan penanggulangan KLB, melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi, menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orang dan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

89

LAPORAN AKHIR

sumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB, merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi cara pencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru. PROVINSI KALIMNATAN TIMUR Kebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBD diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatan lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan (3) Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakat dan swasta. Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatkan pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2) Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi. Pokok-pokok Program yang dilakukan mencakup Kewaspadaan dini DBD; penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan, pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan vector; penyediaan insektiside dan larvasida, melengkapi sarana pemerantasan vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens (pelatihan epidemiologi, pertemuan berkala Pokjanal/Pokja DBD, pelaksanaan gerakan 3M. Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBD melibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, beranggotakan kepala kepala dinas yang ketika diadakan rapatrapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun 2005, APBD mengalokasikan dana 500 juta untuk peanggulangan KLB dan habis untuk penanggukangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, Kota Balikpapan memiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkes dan didanai oleh perusahaahn2 minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapan selalu melaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memang DBD di Kota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dan surveillens baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir. PROVINSI SULAWESI SELATAN Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular, khususnya penyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupten/Kota.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

90

LAPORAN AKHIR

Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkah penanggulangan DBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melalui penemuan dan pelaporan penderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaan DBD, pemantauan jentik berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD terhdap nyamuk dewasa dan jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melalui penyuluhan, gerakan PSN, abatisasi, dan fooging massal, (4) Peningkatan SDM, melalui pelatihan petugas kesehatan. Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antara lain (1) Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita, penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100 rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektor terkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLB menemukan jumah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkan tahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus., (3) Peningkatan Sumber Daya Manusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit pada daerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota, pembinaan di 23 kab/kota. PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa Tenggara Barat membuat pedoman operasional yang berisi step by step metodologi penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapat direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan dana surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutma untuk insentif tenaga kesehatan dan kader. Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota dan puskesmas. Namun terdapat gap pelaksanaan/penanganan KLB, dimana peran puskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil. Dngan demikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat edngan masyarakat tidak dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

91

You might also like