You are on page 1of 29

A. Kenakalan Remaja / Pelajar 1.

Definisi Kenakalan pelajar Sebelumnya, dalam konteks ini, kenakalan akan dibahas lebih pada ruang lingkup sekolah, sehingga penyebutan untuk tindakan menyimpang dari norma dan nilai masyarakat baik sekolah maupun tempat tinggal, akan disebut sebagai kenakalan pelajar. Sedangkan siswa sekolah setingkat SMA/SMK adalah mereka yang ratarata berumur 14 sampai 17 tahun, pernyataan ini sesuai dengan observasi peneliti di SMA PGRI Majalengka. Sebelum membahas pengertian kenakalan siswa akan lebih baiknya jika kita membahas tentang apa remaja, masa remaja menurut Mappiare (1982) dalam Psikologi Remaja karangan Mohammad Ali dan Mohammad Asrori dikatakan berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Jadi remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase mencari jati diri atau fase topan dan badai. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk.,1989 dalam karangan Muhammad Ali dan Muhammad Asrori.2006:9-10). Psikologi Remaja

Remaja, pada umumnya mempunyai beberapa ciri khas, yang pada masanya, pasti akan mengalami ciri-ciri tersebut, berikut beberapa ciri-ciri remaja awal (12/13-17 tahun) : 1. Status tidak menentu Pada masa ini, remaja dalam masyarakat tidak dapat ditentukan atau membingungkan. Pada suatu waktu ia diperlakukan seperti anak-anak, akan tetapi bila ia berkelakuan seperti anak-anak masyarakat. 2. Emosional Umumnya, masa remaja terjadi sturm und drang . Artinya suatu masa di mana terdapat ketegangan emosi dipertinggi yang disebabkan oleh perubahanperubahan dalam keadaan fisik dan bekerjanya kelenjar-kelenjar yang terjadi pada masa remajatersebut. Akan tetapi tidak setiap remaja mengalami stourm and stress ini dengan hebat, hanya demikianlah pada umumnya. 3. Tidak stabil keadaannya Remaja yang mengalami ketegangan-ketegangan, sebagaimana di atas, maka remaja dapat dikatakan tidak stabil keadaannya. Kegembiraan tiba-tiba berganti dengan kesedihan, percaya diri berubah menjadi rasa keraguan diri sendiri, altruisme berganti dengan egoisme. Ketidak stabilan ini akibat dari perasaan yang tidak pasti mengenai dirinya. tidak diperkenankan oleh sekelompok

4. Mempunyai banyak masalah Masalah ini timbul dari berbagai aspek, dapat terjadi dari aspek jasmaniahnya, yakni remaja sudah mulai memikirkan kondisi fisiknya, menginginkan fisik yang diidam-idamkannya, membandingkan diri dengan tokoh idolanya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, melaksanakan tugas-tugas amat penting bagi remaja agar mampu berupa menerima keadaan

perkembangannya

jasmaninya. Kemudian masalah dengan kebebasannya, yakni remaja yang masih dalam rangka mencari identitas diri menginginkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Mereka ingin sekali diakui eksistensinya dengan berbaga cara, hendaknya orang tua memberikan kesempatan pada anak remajanya untuk mengambil keputusan sendiri dan belajar bertanggung jawab. Kemudian masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai, yakni dalam pengambilan nilai-nilai yang nantinya akan dianut, remaja seringkali bertentangan atau berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Meskipun nilai yang dianut orang tua adalah sebagian besar benar. Akan tetapi mereka (remaja) lebih puas jika telah mendapatkan pengalaman sendiri. Adapun masalah lainnya yakni yang berhubungan dengan peranan wanita dan pria, kemudian masalah dengan lawan jenis, masalah dengan masyarakat, masalah dengan jabatan, dalam hal ini remaja membutuhkan kesempatan untuk membuat keputusan mengenai masa depannya sendiri disertai dengan bimbingan orang dewasa, dan yang terakhir masalah yang berhubungan kemampuan, seyogyanya remaja harus diberi cukup kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya mengerjakan sesuatu. Jika remaja dapat mengatasi persoalan-persoalannya tanpa terlalu banyak kesukaran

dan ketegangan, pada saatnya, dia akan mampu memperkembangkan rasa percaya diri dan mampu menghadapi segala persoalan. 5. Masa yang kritis Masa remaja sekaligus masa yang kritis, disebabkan karena dalam masa ini ditentukan apakah anak dapat menghadapi persoalan -persoalannya dengan baik atau sebaliknya. Di mana kemampuan tersebut dapat mempengaruhi kelak saat ia dewasa. Remaja yang sudah dipersiapkan menghadapi persoalan -persoalan dan bagaimana perannya untuk menghadapi persoalannya di masa yang akan datang, umumnya akan lebih berhasil dari pada anak yang senantiasa dilindungi (Elfi Yuliani R. 2005: 186-189). Selanjutnya, jika anak remaja tersebut tidak dapat menyesuaikan dirinya sendiri maupun dengan masyarakat atau lingkungannya tersebut, maka akan terjadi tindakan-tindakan yang tidak patut untuk dilakukan seperti tindakan asusila atau amoral, misalnya: membantah saat diberitahu orang tua (melawan orang tua), tidak patuh saat di sekolah pada guru dan tindakan yang melanggar hukum, misalnya: mencuri atau bahkan membunuh. Sehingga remaja yang melakukan tindakan anti susila tersebut disebut dengan Juvenile Deliquency. Masalah kenakalan siswa mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak

terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (Juvenile Deliquency) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat. Jenis-jenis kenakalan siswa yaitu : penyalahgunaan narkoba, seks bebas, tawuran antara pelajar. (http:google//www.g-

excess.com/id/kenakalan-remaja-faktor-penyebab-dan-tips-menghadapinya.html).

Pendapat orang tentang apa yang dimaksud dengan kenakalan tidak sama. Berbeda menurut lingkungan dan situasi di mana anak-anak itu hidup. Mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kelakuan nakal oleh orang yang hidup dikota-kota besar, berlainan dengan yang dianggap nakal oleh orang yang hidup di desa-desa. Pandangan itu mungkin juga berbeda dari satu orang kepada orang yang lain. Sesuai dengan kemajuan pikirannya masing-masing. Maka sebagian masyarakat yang menganggap anaknya nakal, apabila si anak berani menjawab atau membantah kata orang tuannya, atau apabila anak sering berkelahi dengan anak anak lain atau dengan saudara-saudaranya. Akan tetapi sebaliknya, ada pula masyarakat umum yang menyangka persoalan di atas biasa saja, bahkan mungkin dipandangnya wajar apabila anaknya sering bertengkar dan berkelahi. kelakuan Ada

dan kebiasaan tertentu yang dipandang sebagai kelakuan yang

digolongkan kepada kenakalan, misalnya mencuri, merampok, menodong, membunuh, melanggar kehormatan dan sebagainya. Kemudian yang oleh hukum dipandang sebagai suatu tindak pidana yang harus dihukum, jika yang melakukan tidak pidana tersebut anak-anak yang belum dewasa belum berakal sempurna, tanpa adanya kesengajaan, maka dipandang sebagai perbuatan nakal atau

kenakalan, dan di kembalikan pada orang tua sie anak. Namun jika anak -anak tersebut melakukan kejahatan di atas dengan adanya kesengajaan dan berencana maka hukumannya adalah 2/3 dari ancaman hukuman maksimal maksimal. Terlepas dari itu semua kita harus melihat ketentuan Pasal 45 KUHP yang menyebutkan: Dalam hal penuntutan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan:

Memerintahkan supaya yang bersangkutan dikembalikan pada orangtuanya, walinya atau pemeliharannya tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap, atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah

(http://amisiregar.multiply.com/journal/item/39/Kenakalan_Anak). Mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, di mana anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 Tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan termasuk anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyebutkan mengenai sanksi terhadap anak, ditentukan berdasarkan pembed aan umur anak yaitu bagi anak yang masih berumur 8 tahun-12 tahun hanya dikenakan tindakan seperti dikembalikan pada orang tua, ditempatkan pada organiasasi sosial, atau diserahkan pada Negara, sedangkan terhadap anak yang

telah mencapai 12 -18 tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial anak. (http://amisiregar.multiply.com/journal/item/39/Kenakalan_Anak) Jika kenakalan itu ditinjau dari segi agama, maka jelas apa yang disuruh dan apa yang dilarang. Segala kelakuan dan tindakan yang terlarang dalam agama, jika dilakukan oleh orang yang sudah dewasa, dia akan berdosa dan diakhirat nanti dihukum. Tapi jika tindakan itu dilakukan oleh anak-anak yang belum

baligh/belum mencapai kematangan seksui, untuk laki-laki 15 tahun dan untuk perempuan ditandai dengan masa haid pertama, maka tanggung jawab dosa masih belum bisa dipikulkan kepada anak. Karena kelakuan dan perbuatan jahat si anak, dianggap sebagai akibat dari pendidikan orang tua yang salah kepada si anak. Jika didikan dan perlakuan yang diterimanya sejak kecil itu baik, tentu ia akan tetap baik. Sedangkan menurut Drs. B Simanjutak, S.H istilah kenakalan siswa (juvenile delinquency) secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan delinquency berarti kejahatan. Jadi pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak. Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti sosial yang mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif (Sudarsono.2004:10). Pengertian secara etimologi telah mengalami pergeseran, akan tetapi hanya menyangkut aktivitasnya, yakni istilah kejahatan (delinquency) menjadi kenakalan. Kenakalan siswa dalam konsep

psikologi adalah Juvenile delinquency yang berasal dari Bahasa Inggris. Kata

Delinquency

berasal dari bahasa latin, delinquere yang berarti mengingkari,

dalam arti luas dapat diinterpretasikan sebagai pengingkaran atau penyimpangan terhadap pola-pola tingkah laku yang telah diterima disuatu masyarakat (Widiyanti dan Anoraga, 1987:24). Jika ditinjau dari segi agama, kenakalan siswa merupakan perbuatan yang terlarang dan bila perbuatan tersebut dilakukan oleh remaja maka, akan mendapatkan sanksi dosa dan hukuman di akhirat. Namun jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anak yang belum baligh, maka yang bertanggung jawab atas perbuatan anaknya adalah orang tua karena hal ini

dianggap sebagai kesalahan pendidikan orang tua (Zakiyah Daradjat, 1986:112). Dari segi ilmu kesehatan mental kenakalan siswa merupakan ungkapan dari ketegangan perasaan (tension), kegelisahan dan kecemasan atau tekanan batin (frustasion) (Zakiyah Daradjat, 1986:113). Kenakalan siswa meliputi semua

perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanakkanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi (http:google//www.g-excess.com/id/kenakalan-remajafaktor-penyebab-dan-tipsmenghadapinya. Html). Psikolog Drs. Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari juvenile

delinquency sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan tersebut merupakan kejahatan dan perbuatan melawan hukum, yang mana seseorang yang melakukannya masih dalam masa remaja

sehingga disebut sebagai kenakalan anak / remaja (juvenile delinquency) (Sudarsono,2004:11). Selanjutnya Dr. Fuad Hasan merumuskan definisi delinquency sebagai perbuatan anti-sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Dalam arti yang lebih luas, pengertian kenakalan siswa ialah perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti-sosial, anti-susila dan menyalahi norma-norma agama. Paham kenakalan siswa dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidahkaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus). Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja (siswa) tersebut bersifat anti-sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong delik (tindak kriminil/pidana) pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka pada orang tua, sesama saudara saling bermusuhan. Di samping itu dapat dikatakan kenakalan siswa atau siswa jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya, misalkan remaja Muslim yang enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, remaja Kristen enggan melakukan

sembahyang/kebaktian. Dalam KUUHP pasal 489 digunakan kata kenakalan sebagai terjemahan baldadigheid (bahasa belanda) yang berarti semua perbuatan orang yang

berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, kesusahan yang dapat dikenakan salah satu pasal KUUHP. Dengan kata lain semua tindakan yang tidak dapat dikenakan pada salah satu KUUHP dimasukkan dalam kelompok pengertian kenakalan. Berdasarkan KUUHP maka kenakalan merupakan suatu tindak pidana, sama dengan kejahatan. Seperti diketahui bahwa kejahatan merupakan tindak pidana yang dirumuskan sebagai perbuatan anti sosial yang oleh Negara dipidanakan. Dilihat dari hukum pidana bahwa suatu kejahatan harus mengandung unsur : ada perbuatan manusia, perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum. Asas nullum delictum sine praevia lege oenali, merupakan pembatas, harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, artinya orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penggunaan predikat anak serta umur anak dalam kegiatan sehari-hari (preilmiah) belum jelas, sebab tidak jarang kita mendengar anak SD, SMA, Anak fakultas hukum. Penggunaan istilah anak dalam pemakaian kejahatan anak belum meyakinkan berdasarkan pengamatan sehari-hari mereka yang bertingkah laku Juvenile ini kira-kira berumur 15-18 tahun (tingkat akhir SMP-SMA). Dalam menggambarkan umur ini sering digunakan istilah remaja (Simanjutak,1984:287288). Paradigma kenakalan siswa (siswa) lebih luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya. Kenakalan siswa tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga. Contoh yang sangat sederhana dalam hal ini adalah pencurian oleh remaja,

perkelahian di kalangan anak didik kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, mengganggu wanita di jalan yang pelakunya adalah remaja. Demikian juga sikap anak yang memusuhi orang tua dan sanak saudaranya. Atau perbuatan-perbuatan lain yang lebih tercela seperti menghisap ganja,

mengedarkan pornografis dan coret-coret tembok pagar yang tidak pada tempatnya. Kenakalan siswa mengacu pada suatu rentan perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (melarikan diri dari rumah) hingga tindakan -tindakan kriminal (seperti mencuri) (Santrok, John w. 2002:22). Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan-penyimpangan perilaku remaja di atas dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) M.Gold dan J.Petronio (Wainer,1980:497) dalam Sarlito Wirawan (1991) menjelaskan bahwa kenakalan siswa adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai sanksi / hukuman. Dalam definisi tersebut di atas faktor yang penting adalah unsur pelanggaran hukum dan kesengajaan serta kesadaran anak itu sendiri tentang konsekuensi dari pelanggaran itu. Dalam hubungan ini, Sarlito Wirawan cenderung untuk membuat berbagai penggolongan terhadap tingkah laku remaja yang menyimpang ini. secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga dan lain-lain) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang. Tetapi jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana,

barulah disebut sebagai kenakalan. Dengan demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak masih berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susila dan agama, maka perbuatan anak tersebut dapat digolongkan ke dalam kenakalan siswa (juvenile delinquency) dengan ketentuan yang berlaku. 2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja / Siswa Siswa bermasalah meskipun jumlahnya tidak lebih dari 5%, tetap menjadi perhatian lembaga bimbingan dan konseling di sekolah. Namun tidak semua masalah siswa dapat dibantu guru pembimbing, berhubung keterbatasan

kemampuan professional. Karena itu perlu dipilah-pilah mengenai kasus-kasus siswa bermasalah kira-kira sebagai berikut : a) Kenakalan Ringan Seperti membolos, malas, kesulitan belajar bidang studi tertentu, bertengkar, berkelahi dengan teman satu sekolah, merokok, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus-kasus ini pada umumnya mampu dibimbing oleh wali kelas dan guru-guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah / konselor (ahli bimbingan konseling) dan mengadakan kunjungan rumah (home visit). b) Kenakalan Sedang Seperti gangguan emosional, berpacaran dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar karena gangguan di keluarga, minum

minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Dalam kasus sedang, mampu dibimbing oleh guru pembimbing dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah, ahli/professional, polisi, staf guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konsferensi kasus (case conference). c) Kenakalan Berat Seperti gangguan emosional berat (neurosi), kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswi hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus ini mampu dengan mengadakan referal (alih tangan) kepada ahli psikologi dan psikister, polisi, ahli hukum. Sebelumnya diadakan konferensi kasus (Sofyan S Willis,2007:31-32). Persoalan-persoalan akan tidak sedemikian berat dirasakan oleh anak remaja bilamana dia dapat membicarakannya dengan orang tua atau gururnya. Akan tetapi banyak anak remaja yang tidak mau membicarakan persoalan -persoalannya dengan orang dewasa. Mereka khawatir bahwa orang-orang dewasa tidak akan mengerti persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai bentuk kenakalan siswa yang lain menurut Kartini Kartono yakni terdapat 16 kategori yaitu: 1. Kebut-kebutan (balapan liar) di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain. 2. Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman milik masyarakat. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.

3. Perkelahian antar gank, antar kelompok, antar sekolah antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa. 4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacammacam kedurjanaan dan tindak asusila. 5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan

pembunuhan dan menyembelih korbanya, mencekik, meracun dan tindak kekerasan serta pelanggaran lainya. 6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan seks bebas atau (mabuk-mabukkan hebat dan menimbulkan keadaan yang kacau balau) yang menggangu lingkungan. 7. Perkosaan, agresivitas seksual, pembunuhan dengan motif seksual atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seseorang. 8. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius, drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan. 9. Tindak-tindak immoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng alingaling, tanpa rasa malu, dengan cara yang kasar, ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas,

geltungsrieb (dorongan menuntut hak) dan usaha-usaha kompensasi lainya yang sifatnya kriminal. 10. Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan sadistis. 11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas. 12. Komersilalisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan oleh ibu-ibu yang tidak menikah. 13. Tindak radikal dan ektrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak remaja. 14. Perbuatan asosial, anti sosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak dan remaja psikopatik, psikotik, neurotik dan menderita gangguan-gangguan jiwa lainya. 15. Tindakan kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitis lethargical) dan ledakan meningitis serta post-encephalistics, juga luka dikepala dengan kerusakan pada otak adakalanya membuahkan kerusakan mental sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri. 16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior (Kartini Kartono.1986:21-23). Menurut Gunarsa dalam jenisnya kenakalan siswa dibagi menjadi dua antara lain:

1. Kenakalan semu, merupakan tingkah laku yang dalam kehidupan seharihari disebut sebagai perilaku keterlaluan, tetapi sebenarnya masih berada dalam batas normal. Batas-batas yang dilampaui dalam kenakalan ini hanyalah peraturan orang tua dan peraturan yang berlaku di lingkungan remaja tinggal. Adapun bentuk-bentuk kenakalan semu ini adalah: berbohong, dan pergi tanpa ijin kabur. 2. Kenakalan sebenarnya merupakan tingkah laku yang melanggar nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral sehingga merugikan diri sendiri maupun orang lain. Salah satu bentuk kenakalan sebenarnya ini adalah mencuri (Singgih Gunarsa,1976:15 & 19). Bentuk-bentuk kenakalan siswa ini bersifat inventarisasi kenakalan yang sudah terjadi dan yang diperkirakan bakal terjadi. Pada prinsipnya bentuk-bentuk kenakalan siswa terbagi menjadi 2 yakni: a. Kenakalan siswa yang bersifat pelanggaran norma-norma sosial dan norma-norma yang lain yang tidak diatur dalam KUHP atau undangundang lainnya. b. Pelanggaran atau kejahatan yang diatur dalam KUHP atau udang-undang lainnya. Secara terperinci bentuk dari kenakalan siswa yang bersifat pelanggaran norma sosial diantara adalah: 1. Pergi tanpa pamit orang tua dan berani pada orang tua 2. Tidak sopan

3. Menjelekkan nama keluarga 4. Suka keluyuran 5. Suka berbohong 6. Memiliki alat-alat yang dapat membahayakan orang lain. 7. Membolos sekolah 8. Menentang guru 9. Berkeliaran malam hari 10. Suka bergaul dengan orang-orang yang berupaya jelek, seperti germo, penjudi dan lain-lain. 11. Menjadi pelacur. 12. Naik bus ramai-ramai tanpa bayar 13. Minum-minuman keras 14. Nonton film tanpa membayar 15. Suka membaca buku cabul dan sadis 16. Hidup di tempat kemalasan atau kejahatan 17. Berpakaian tidak senonoh 18. Menghias diri secara tidak wajar 19. Dan lain-lain

Bentuk kenakalan yang melanggar undang-undang yang diatur dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan :

1. Yang melanggar terhadap keamanan

umum

bagi orang, barang dan

kesehatan (pasal 489-520 KUHP), seperti melakukan kenakalan yang dapat mendatangkan bahaya, kerugian dan kesusahan, antara lain: mabukmabukan, mengganggu ketentraman orang tidur, bergelandanganan tanpa pekerjaan, pengemisan, menjadi makelar tuna susila dan bermain judi. 2. Demikian juga menganggap remeh petugas Negara (pasal 521 dan 528 KUHP), pelanggaran kesusilaan (pasal 532 dan 547 KUHP), membiarkan kecelakaan lalu lintas di jalanan, pelanggaran tanah dan halaman dan sebagainya (Remaja dan Agama 18-19). Selanjutnya, (Sarlito Wirawan,1991) menjelaskan bahwa kenakalan siswa merupakan penyimpangan-penyimpangan perilaku dari atau yang melanggar hukum. Jensen (1985:417) dalam Psikologi Remaja karangan Sarlito Wirawan membagi kenakalan siswa menjadi 4 jenis, yaitu: 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain; perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi; perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain; pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagi pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara

minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya (Sarlito Wirawan.1991:200-201). Pada usia mereka (remaja), perilaku-perilaku yang dilakukan memang belum melanggar hukum dalam arti sesungguhnya, karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur hukum secara terperinci. Akan tetapi jika kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya di kantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Dengan demikian, segala bentuk yang membahayakan baik bagi remaja itu sendiri maupun orang lain dapat dikategorikan sebagai perilaku menyimpang dalam bentuk kenakalan, meskipun tidak terperinci dalam aturan hukum di keluarga maupun sekolah, akan tetapi kenakalan atau perilaku penyimpangan tersebut harus ada penanggulangan yang berkesinambungan dan konsisten agar kelak, jika remaja itu sudah dewasa, tidak melakukan lebih parah lagi dari bentuk-bentuk pelanggaran tersebut. Remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Di samping terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berlangsung secara mulus atau steril dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus atau searah

dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. B. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja / Siswa Kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak puber dan adolesence itu disebut pula sebagai delinquency yakni kejahatan, kedurjanaan, kedursilaan, pelanggaran. Pada umumnya, delinquency merupakan produk dari konstitusi

defektif mental dan emosi-emosi. Yaitu mental dan emosi dari anak muda belum matang, yang labil dan jadi rusak/defektif, sebagai akibat proses-kondisionering oleh lingkungan yang buruk. Tindak kriminil ini lebih banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda tanggung usia pubertas dan adolesence daripada anak-anak gadis. Pada umumnya tingkah laku kriminil tersebut merupakan mekanismekompesatoris atau Geltungsbedrufnis, yang dirasakan sebagai kebutuhan untuk penuntutan pengakuan EGO-nya, juga untuk kompensasi, pembalasan dari rasarasa inferior/minder. Untuk kemudian di tebus dengan tingkah laku sok dan hebat-hebat, agar AKU-nya tampil menonjol (Kartini Kartono. 1986:224). Kemungkinan timbulnya kenakalan remaja, bukan karena murni dari dalam diri remaja itu sendiri, tetapi mungkin kenakalan itu merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarganya. Bahkan orang tua sendiri pun tidak mampu mengatasinya, akibatnya remaja menjadi korban dari keadaan keluarga. Jadi dalam kategorinya, penyebab kenakalan itu sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : 1. Faktor Intern

Kenakalan siswa yang sering terjadi di dalam masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan siswa tersebut timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara tertentu. Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu sebagian besar juga berasal dari keluarga. Adapun keadaan keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home), keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan. Menurut Turner dan Helms (1995) dalam Agus Dariyo (2004) faktor kenakalan remaja dari segi intern adalah kondisi keluarga yang berantakan, merupakan cerminan adanya ketidak -harmonisan antar intern keluarga (suami,istri dan anak). Dalam suasana ketidak-harmonisan ini membuat anak berada pada kondisi tidak merasakan perhatian,

kehangatan kasih sayang, ketentraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya. Akibat yang ditimbulkan, mereka (anak) melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain, yang menyimpang dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah (Agus Dariyo. 2005:109-110).

Menurut Moeljatno Lamya dalam pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan siswa, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi

perkembangan si anak. Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken homosemu, (quasi broken home) ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Dalam kaitan ini Drs. Bimo Walgito menjabarkan lebih jelas lagi bahwa; tidak jarang orang tua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Dapat dipahami, jika orang tua kembali dari kerja, anak-anak sudah bermain di luar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi; orang tua datang anak sudah tidur, dan seterusnya. Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan perkembangan anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak muda mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat dengan mudah mendorong anak menjadi delinkuen (Sudarsono,2004:130). Dalam konteks keluarga sebagai penyebab delinquency anak telah memberikan gambaran yang cukup jelas, bahwa tidak dapat sepenuhnya memberikan pengawasan pada pihak sekolah atau lingkungannya saja, tapi perlu adanya peran masyarakat (lingkungan hidup) yang juga layak untuk perkembangan anak-anak untuk tidak melakukan tindakan imoril

atau asusila. Masalah lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat membangun atau sebaliknya merusak, kepribadian manusia. Terlebih terhadap anak-anak (remaja). Sebabnya, pada saat itu mereka belum memiliki bentuk dan pola pemikiran tertentu, serta tidak memiliki kemampuan untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah (Ali Qaimi,2002:259). Sehingga peran orang tua dan masyarakat dalam membentuk generasi muda yang unggul dan tangguh serta tidak mudah terpengaruh sisi buruk pergaulan sangat penting. Perilaku nakal remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri adapun faktor internal adalah sebagai berikut : a. Krisis identitas Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja

memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. b. Kontrol diri yang lemah Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku nakal . Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku

sesuai dengan

pengetahuannya.(http:google//www.g-excess.com/id/kenakalan-

remaja-faktor penyebab-dan-tips-menghadapinya.html). Untuk mengubah suatu perilaku, termasuk perilaku yang tidak

dikehendaki seperti kenakalan dan penyalahgunaan narkotika, perlu memahami sumber dan penyebabnya. Mengenai sumber dan penyebab tingginya perilaku nakal dan penyalahgunaan narkotika dapat dari faktor pribadi; Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak, bisa menjadi sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan konstitusi, potensi, bakat atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses perkembangan, kematangan atau perangsang dari lingkunagn menjadi actual, muncul atau berfungsi (Singgih Gunarsa, Yulia Singgih.G: 183). 2. Faktor Ekstern Konteks sekolah, dari ajang pendidikan merupakan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Di kota-kota besar di Indonesia masa remaja masih merupakan masa di sekolah terutama pad masa -masa permulaan. Dalam masa tersebut pada umumnya remaja duduk di bangku sekolah menengah pertama atau yang lebih setingkat. Adapun di desa-desa terutama pelosok-pelosok masih dijumpai banyak anak remaja yang sudah tidak sekolah lagi, meskipun mereka pada umumnya dapat menikmati pendidikan sekolah dasar. Selama mereka menempuh pendidikan formal di sekolah, akan terjadi interaksi antara remaja dengan sesamanya, juga interaksi antara remaja dengan pendidik. Interaksi

yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental sehingga anak remaja menjadi delinkuen. Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik, misalnya penghisap ganja, cross boys dan cross girl yang memberikan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Dalam sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada teman yang lain. Sesuai dengan keadaan semacam ini sekolah -sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delinkuen. Pengaruh negatif yang menangani langsung proses pendidikan antara lain kesulitan ekonomi yang dialami pendidik dapat mengurangi perhatian anak didik. Pendidikan sering tidak masuk, akibatnya anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi pendidik marah pada muridnya. Biasanya guru marah apabila terjadi sesuatu yang

menghalangi keinginan tertentu. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau sumber rejekinya dan sebangsanya dalam keadaan bahaya. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan siswa (juvenile delinquency) (Sudarsosno,2004:129130). Faktor penghambat ini bisa bersifat internal dan eksternal. Faktor penghambat yang bersifat ekternal adalah yang berasal dari lingkungan. Iklim lingkungan yang

tidak kondusif itu, seperti ketidakstabilan dalam kehidupan sosial politik, krisis ekonomi, perceraian orang tua, sikap dan perlakuan orang tua yang otoriter atau kurang memberikan kasih sayang dan pelecehan nilai-nilai moral atau agama dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Iklim lingkungan yang tidak sehat tersebut, cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangn remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi. Dalam kondisi seperti inilah, banyak remaja yang meresponnya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar dan bahkan amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras, penyelahgunaan obat terlarang, tawuran dan pergaulan bebas (Yusuf Syamsu.2008:209-210). Dalam lingkungan masyarakat, anak remaja sebagai bagian dari anggota kelompok masyarakat tersebut selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang dominan adalah akselerasi perubahan sosial yang ditandai dengan peristiwaperistiwa yang sering menimbulkan ketegangan seperti persaingan dalam perekonomian, pengangguran, mass media, dan fasilitas rekreasi. Pada dasarnya kondisi ekonomi global memiliki hubungan yang erat dengan timbulnya kejahatan. Di dalam kehidupan sosial adanya kekayaan dan kemiskinan

mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia, sebab kedua hal tersebut akan mempengaruhi keadaan jiwa manusia termasuk anak-anak remaja. Dalam kenyataan ada sebagian anak remaja miskin yang memiliki perasaan rendah diri dalam masyarakat sehingga anak-anak tersebut melakukan perbuatan melawan

hukum terhadap hak milik orang lain, seperti pencurian, penipuan, dan penggelapan. Biasanya hasil dari perbuatan tersebut mereka gunakan untuk bersenang-senang, seperti membeli pakaian yang bagus-bagus, nonton film dan makan yang serba lezat. Dalam hal ini ada kesan bahwa perbuatan delinkuen tersebut timbul sebagai kompensasi untuk menyamakan dirinya dengan kehidupan para keluarga kaya yang biasa hidup gemerlapan dan berfoya-foya. Kemiskinan keluarga ekonomi lemah bukanlah penyebab satu-satunya bagi timbulnya kenakalan siswa akan tetapi memiliki titik singgung di dalamnya. Di kalangan masyarakat sudah sering terjadi kejahatan seperti : pembunuhan, penganiayanan, pemerkosaan, pemerasan, gelandangan dan pencurian. Kejahatan tersebut dilakukan oleh penjahat dari tingkat umur yang beragam, terdiri dari orang usia lanjut, orang dewasa dan anak remaja. Bagi anak remaja keinginan/ kehendak untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena bacaan, gambargambar dan film. Bagi mereka yang mengisi waktu senggangnya dengan bacaanbacaan yang buruk (misalnya novel seks) maka hal itu akan berbahaya, dan dapat mengahalang-halangi mereka untuk berbuat baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberi rangsangan seks terhadap remaja. Rengsangan seks akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak remaja. mengenai film hiburan (termasuk video cassette) adakalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut memberi pengaruh yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak remaja. misalnya film detektif yang penuh dengan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan mudah mempengaruhi perilaku anak remaja

dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi yang serba distruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap anak remaja (Sudarsono.2004:131-132). Adapun Faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya kenakalan siswa adalah sebagai berikut : a. Keluarga Perceraian orang tua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan siswa. b. Teman sebaya yang kurang baik. c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik. (http:google//www.g-excess.com/id/kenakalan-remaja-faktor-penyebab-dan-tipsmenghadapinya.html). Menurut Kartini Kartono, pengaruh luar lainnya yang ikut menstimulir tingkah laku kriminil ialah : teman-teman sebaya yang mempunyai kecenderungan kriminil. Kelompok anak-anak muda berandalan dan kriminil, biasanya terdiri atas anak-anak pubertas dan adolesence yang tengah kebingungan dan mengalami banyak konflik bathin yang tidak terpecahkan. Ataupun terdiri atas anak muda yang ditolak orang tuanya, yang merasa terpojok dan terlupakan oleh masyarakat. Kemudian mereka akan menggerombol/berkelompok, dan membuat semacam

perkumpulan yang senasib dengan mereka dan melakukan kegiatan-kegiatan yang membahayakan banyak orang, meski ada juga yang melakukan hal positif, tapi tidak sedikit pula yang melakukan tindakan-tindakan negatif (Kartini Kartono, 1986:223).

You might also like