You are on page 1of 15

PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI

A. PENDAHULUAN
Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).

UUD 1945 > Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman > Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara. B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945 1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan. 2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang. 3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes dan fleksibel sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen). 4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang. 5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden. b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat. c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

C. TAHAP-TAHAP AMANDEMEN UUD 1945 a.Tahap pertama Sejak mei 1998 bangsa indonesia bertekad mereformasi berbagai bidang kehidupan kenegaraan. Salah satunya adlah reformasi hukum dan sebagai realisasinya adalah perubahan terhadap pasal-pasal di dalam UUD 1945. Perubahan pertama terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 oktober 1999 terhadap 9 (sembilan) pasal. Pada umumnya pasal-pasal yang diubah ditunjukan untuk mengurangi kewenangan presiden. Sebagai contoh Pasal 5 menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang sesuai persetujuan DPR. Kebalikanya sekarang ini justru DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Demikian pula pada pasal 14, sekarang ini kewenangan presiden dal;am memberi grasi dan rehabilitas harus memperhatikan pertimbangan MA,sedangkan untuk memberi amnesti dan abolisi hendalah memperhatikan pertimbangan DPR. b.Tahap kedua Perubahan kedua terhadap UUD 1945 dilakukan pad sidang tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000. Ada sejumlah 26 (dua puluh enam) pasal yang diubah dan ditambah. Secara garis besar perubahan itu mengenai pemerintah daerah (otonomi dareah),wilayah negara (berciri nusantara),DPR (fungsi dan hak DPR),warga negara dan pendudukl, hak asasi manusia (pasal 28 ditambah 10 pasal baru), petahanan dan keamanan negara (TNI dan POLRI) dan lambang negara (Bhineka Tunggal Ika),serta lagu kebangsaan Indonesia Raya. C.Tahap ketiga Perubahan ketiga UUD 1945,ditetapkan dalam sidang tahunan pada tanggal 10 Novenber 2001. Ada 23 (dua puluh tiga) psal yang diubah dan ditambah. Secara garios besar perubahan yang dilakukan mengenai hal-hal: Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut undang-undang. Nagara Indonesia adalah negara hukum. Wewenang MPR (mengubah dan menetapkan UUD,melantik Wapres,memberhentikan Presiden/Wapres dalam masa jabatanya. Presiden dan

Kepresidenan (syarat menjadi presiden/apres,pemilihan presiden lansung oleh rakyat dan pemberhentian presiden/wakil presiden). Pembentukan Mahkamah Konstitusi. Pelaksanaan perjanjian internasional. DPR tidak dapat dibekukan dan atau di bubarkan oleh persiden,angota DPR dipilih dari tiap daerah pemilihan melalui Pemilu dan sebagainya. Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali secara LUBER dan JURDIL untuk memilih DPR,DPD,Presiden dan Wapres serta DPRD. Peserta pemilu adalah partai politik. APBN ditetapkan setiap tahun dilaksanakn secara terbuka dan bertanggung jawab. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 2

Kekuasaan kehakiman dilakuakn Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawah nya. d.Tahap keempat Perubahan keempat UUD 1945 ditetapkan dalamsidang tahunan MPR pada tanggal 10 Agustus 2002. Ada 13 (tiga belas) pasal yang diubah dan ditambah serta 3 (tiga) Aturan Pasal Peralihan dan 2 (dua) Pasal aturan tambahan.Secara garis besar perubahan yang dilakukan mengenai hal-hal,sebagai berikut: MPR trdiri dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ada mekanisme jika presidenn dan wakil presiden berhalangan tetap. Persetujuan dalam pembuatan perjajian internasional. Penghapusan Dwan Pertimbangan Agung (DPA) dan sekaligus pembentukan Dewan Pwrtimbangan yang memberi nasehat kepada presiden. Penetapan mata uang dan pembentukan Bank sentral. Badan-badan yang berkaitan denagn kekuasaan kehakiman. Hak dan kewajiban warga negara dalam pendidikan dan kebudayaan. Perekonomian nasional dan kesejah teraan sosial. Mekanisme perubahan Undang-Undang Dsar 1945 oleh MPR. Aturan peralihan (pasal III) pembentukan Mahkamah Konstitusi. Aturan tambahan (pasal 1) tetang tugas MPR untuk meninjau materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR 2003. Aturan tambahan (pasal II) tentang isi Undang-Undang Dsar yang terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal. D. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. UUD 1945 TAP MPR UU/PERPU Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Menteri Instruksi Menteri UUD 1945 TAP MPR UU PERPU PP 3

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Menurut UU No. 10 Tahun 2004: 1. 2. 3. 4. 5. UUD 1945 UU/PERPU Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah

E. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945 1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya. 2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial. 4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal. 5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI Setelah Amandemen UUD 1945: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu -) Presiden -) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) -) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) -) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) -) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) -) Mahkamah Agung (MA) -) Mahkamah Konstitusi (MK). Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

Berkedudukan sama dan sejajar.

Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law. Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim. Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945. Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum. Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara 4

disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

MPR setelah amandemen UUD 1945


Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. Menghilangkan supremasi kewenangannya. Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN. Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu). Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD. Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu. Posisi dan kewenangannya diperkuat. Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU. Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah. Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu. Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK. Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja. Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR. 5

DPR setelah amandemen UUD 1945


DPD setelah amandemen UUD 1945

BPK setelah amandemen UUD 1945


PRESIDEN setelah amandemen UUD 1945

Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

Sebagai negara yang menganut ciri constitutional government sebagai unsur penting negara hukum, maka kekuasaan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, diatur dalam UUD 1945). Adapun beberapa hak atau kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden pasca Perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1. Mengajukan rancangan undang-undangan kepada DPR [Lihat Pasal 5 ayat(1)] 2. Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undangn mestinya [Lihat Pasal 5 ayat (2)] sebagaimana

3. Memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Lihat Pasal 7) 4. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angakatan Laut, dan Angkatan Udara (Lihat Pasal 10) 5. Dengan persetujuan DPR, menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain [Lihat Pasal 11 ayat (1)] 6. Membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembukaan undang-undang dengan persetujuan DPR [Lihat Pasal 11 ayat (2)] 7. Menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syaratnya dan akibatnya ditetapkan dengan undangundang (Pasal 12) 8. Mengangkat duta dan konsul dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 13 ayat (1)]

9. Menerima penempatan duta negara lain dengen memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 13 ayat (2)] 10. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Lihat Pasal 14 ayat (1)] 11. Memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 14 ayat (2)] 12. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang (Lihat Pasal 15) 13. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang (Lihat Pasal 16) 6

14. Mengangkat dan memberhentikan menteri negara (Lihat Pasal 17 ayat (2)] 15. Mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden menjadi undang-undang [Lihat Pasal 20 ayat (4)] 16. Mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD [Lihat Pasal 23 ayat (2)] 17. Meresmikan anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD [Lihat Pasal 23F ayat (1)] 18. Menetapkan hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan mendapatkan persetujuan DPR [Lihat Pasal 24A ayat (3)] 19. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [Lihat Pasal 24B ayat (3)] 20. Menetapkan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung tiga orang, oleh DPR tiga orang, dan oleh Presiden tiga orang [Lihat Pasal 24C ayat (3)] Hak Prerogratif atau Hak Mutlak yaitu hak yang dimiliki Presiden secara penuh dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak atau lembaga lain dalam penggunaannya.. Sebagai contoh, dari beberapa hak Presiden di atas, pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi merupakan hak mutlak di tangan Presiden. Walaupun Presiden diharuskan memerhatikan pertimbangan DPR atau MA, akan tetapi pertimbangan tersebut tidak mengikat dan tidak mutlak mempengaruhi hak penuh presiden sendiri. Begitupula dengan pengangkatan menteri-menterinya, merupakan hak mutlak Presiden. Adapun adanya ketentuan untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu terhadap beberapa hak mutlak Presiden, semata-mata untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan keputusan yang diambil lebih bersifat transparan dan relevan. Salah satu kemungkinan yang terjadi yaitu pemilhan Duta Besar dan Konsul yang seringkali dianggap sebagai hadiah atau pengasingan bagi tokoh-tokoh bangsa sebagaimana terjadi sebelum adanya Amandemen UUD 1945. Dengan adanya hal tersebut, walaupun Presiden mempunya hak prerogatif tetapi tetap ada rambu-rambu konstitusional yang harus ditaati. MAHKAMAH AGUNG setelah amandemen UUD 1945

Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)]. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang. Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI setelah amandemen UUD 1945


Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution). Mempunyai kewenangan: 1. Menguji UU terhadap UUD. 2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. 3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus sengketa hasil pemilu. 5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD. 6. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakilnya tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

G. Sistem Hukum dan Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945


Dengan empat tahapan amandemen konstitusi itu, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara kita untuk memperkuat sistem presidensiil. Pertama, hubungan antar lembaga negara bukan didasarkan pada hirarkis. Praktek ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Implementasi dari sistem ini adalah menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang salah satu fungsinya adalah memberikan cabang kekuasaan negara kepada lembaga negara lainnya, misalnya kekuasaan eksekutif kepada presiden, kekuasaan legislatif kepada DPR, dan kekuasaan yudikatif kepada MA. Konsekuensi pada sidang tahunan, presiden, DPR, MA, DPA dan BPK mempertanggungjawabkan kepada MPR. Praktek ketatanegaraan seperti ini didasarkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat. Konsekwensi dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah menjadi lembaga super bodi yang memiliki segala-galanya. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Hilangnya kata sepenuhnya pada pasal tersebut mempunyai implikasi yang sangat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sama dengan lembaga negara lainnya. Dengan demikian hubungan antar lembaga negara tidak didasarkan pada hirarkis atas-bawah, melainkan sejajar yang masing-masing lembaga negara menjalankan sebagaimana fungsinya. Kedua, pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun, namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya karena memerintah terlalu lama. Ketiga, pembatasan kewenangan Presiden. Sebelum dilakukan amandemen, kewenangan presiden dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat 8

(DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keempat, munculnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Utusan daerah dan utusan golongangolongan yang dulu dimaksud untuk menambah anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem proporsional melalui partai politik dengan teknik penentuan calon jadi berdasarkan BPP, sedangkan pencalonan DPD adalah perorangan dengan teknik penentuan calon jadi berdasar simple majority berdasarkan rangking perolehan suara. Inilah esensi DPR mewakili orang (people representation), sementara DPD mewakili ruang (sphere representation). Artinya, keterwakilan sesama anggota DPR harus mencerminkan kesederajatan dan keadilan. Tidak ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah anggota MPR dan pengertian ditambah dengan utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945. Kelima, amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga. Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat memanggil para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.

H. HAM Pasca Amandemen UUD 1945


Bagaimanapun, amandemen UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak problem 9

kebangsaan yang mustinya diatur langsung dalam UUD, namun tidak/belum dicantumkan di dalamnya. Sebaliknya, barangkali terdapat beberapa poin yang mustinya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Namun bukankah konstitusi harus tetap dan senantiasa hidup (living constitution) sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist), realitas dan tantangan masanya. UUD 1945 bukanlah sekedar cita-cita atau dokumen bernegara, akan tetapi ia harus diwujudnyatakan dalam berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Misalnya, kenyataan masih seringnya pelanggaran HAM terjadi di negeri ini. Taruhlah misalnya; kasus pembunuhan aktivis Munir, kasus penggusuran warga, jual-beli bayi, aborsi, dan seterusnya. Di bidang HAM masih banyak terjadi perlakuan diskriminasi antara si kaya dan si miskin, hukum memihak kekuasaan, korupsi dan kolusi di pengadilan, dan lain-lain. Demikian pula masalah kesenjangan sosial, busung lapar, pengangguran dan kemiskinan. Realitas kehidupan di atas hendaknya menjadi bahan refleksi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Pada posisi ini, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi. Meski demikian, amandemen UUD 1945 sesungguhnya telah memuat begitu banyak pasalpasal tentang pengakuan hak asasi manusia. Memang UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para pakar konstitusi, maupun politisi dan aktivis HAM. Dimasukkannya pasal-pasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument HAM internasional, di samping juga mensahkan undang-undang tentang HAM pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Terdapat 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut. Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis. Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada pasal Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan terkait 10

dengan implementai HAM yaitu: berkaitan dengan proses dan berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan. Sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945. Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM. Namun, penegakan HAM tidak akan terwujud hanya dengan mencantumkannya dalam konstitusi. Semua pihak berkewajiban mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menyadari penegakan HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia harus diawali dari level paling mikro, yaitu diri sendiri.

I. Pembagian kekuasaan negara menurut beberapa ahli, yaitu:


1. Montesquieu [LEsprit des Lois, 1748] membagi dalam 3 (tiga) cabang: a. Legislatif (the legislative function) b. Eksekutif (the executive or administrative function) c. Yudisial (the judicial function) 2. John Locke membaginya dalam 3 (tiga) fungsi: a. Fungsi Legislatif b. Fungsi Eksekutif c. Fungsi Federatif 3. van Vollenhoven membagi menjadi 4 (empat) fungsi (catur praja): a. Regeling (pengaturan) b. Bestuur (eksekutif) c. Rechtspraak (peradilan); dan d. Politie (fungsi ketertiban). Teori mengenai pembagian kekuasaan (divison of power atau distribution of power) pada dasarnya berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perjalanannya, telah berkembang berbagai versi yang digunakan oleh para ahli lainnya terkait dengan peristilahannya. Sebelum adanya amandemen UUD 1945, perspektif yang digunakan oleh banyak ahli Indonesia yaitu konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang bersifat vertikal. Sedangkan setelah amanedemen UUD 1945, perspektif yang digunakan yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances. Oleh karena itu, Konstitusi kita kini tidak dapat lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legisaltif, eksekutif dan judisial secara mutlak. Dalam hubungannya dengan antar lembaga negara, cabang-cabang kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini saling mengendalikan dan menjadi penyeimbang satu sama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip checks and balances. Misalnya, telah hadirnya mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) di tangan Mahkamah Konstitusi, atau tidak terdapatnya lagi 11

lembaga negara dengan status tertinggi melainkan semua lembaga negara memiliki status dan derajat yang sama.

I.Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Indonesia (-) Kelebihan Sistem Pemerintahan indonesia


Jika ingin membahas tentang sitem pemerinahan negara Republik Indonesia di awal kemerdekaan dan sebelum amandemen UUD 1945,maka kita harus merujuk pada Pokok-Pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik indonesia yangdisebut dengan istilah Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan RI sebagaimana tercantum dalam penjelasan UUD 1945,yaitu sebagai berikut: a). Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) Ini berarti Negara Indonesia bersendikan hukum ,berdasarkan hukum bukanberdasarkan kekuasaan. Oleh karena itu,seluruh lembaga-lembaga negara dan pemerintah dalam melaksanakan tugas nya haruslah dilandasi hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. b) sitem konstitusional Pemerintahan berdasar atas sitem konstitusi (hukum dasar) segala kebijakan negara dan cara melaksanakan sistem kenegaraan RI haruslah didasarkan pada konstitusi. c) Kekuasan negara tertinggi di tangan MPR Kedaulatan rakyat di tangan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Tugas dan wewenang MPR adalah sebagai berikut: 1. Mengubah dan menetapkan UUD 2. Melantik presiden dan wakil presiden 3. Memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatanya. d) Presiden ialah penyelengara pemerintahan negara yang tertinggi Dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara,tanggung jawabpenuh ada ditangan presiden. Ini karena presiden bukan saja dilantik oleh MPR,namun juga dipercaya dan diberitugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa GBHN atau ketetapan MPR lainya. e) Presiden tidak bertanggung jawab pada DPR Artinya kedudukan pesiden tidak tergantung pada DPR. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalamkabinet parlementer,dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. f) Menteri negara adalah pembantu presiden,menteri negara tidak bertanggung jawab pada DPR. Menteri-Menteri negara dipilih,diangkat,dan diberhentikan oleh Presiden. Para menteri merupakan 12

pembantu presiden dan brtanggung jawab pada presiden. Kedudukan para menteri tidak tergantung pada DPR,melainkan tergantung pada presiden. Presiden mempunyai hak Prerogratif terhadap kabinet. g) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab pada DPR,bukan berati diktator atau tidak terbatas. Selain harus bertanggung jawab pada MPR,presiden juga harus memperhatikan dengan sunggu-sungguh pendapat dan suara DPR,karea DPR mempunyai hak pengawasan terhadap pemerintah.

(-) Kelemahan Sistem Pemerintahan indonesia


Isi UUD 1945 yang telah menjadi landasan bernegara di indonesia, pada dasarnya memiliki beberapa keurangan yang menyebabkan pemanipulasian Undang-Undang oleh penguasa negara. Dalam implementasi pemerintahan presidensial sebelum perubahan UUD 1945 periode tahun 1999-2002 selalu mengalami sejumlah resiko. Beberapa diantaranya sebagai berikut: 1. Kecenderungan otoriter danterciptanya negara kekuasaan,maklumat,penpres,surat peritah pada periode 1945-1949 dan 1959-1966,serta sulit merialisasikan negara hukum. 2. legitimasi pemerintahan negara bukan melalui mekanisme consent by the governed atau berupa direch mandate. 3. Timbul kerancuan konstitusional dan institusional pemerintahan negara periode 19591966. misalnya,penetapan dan keputusan presiden menjadi dasr konstitusional pemerintahan negara dan pembentukan lembaga-lembaga negara setelah dekrit 5 juli 1959. 4. Krisis politik dan sulitnya melakukan suksesi kepala negara dan kepal pemerintah pada periode 1945-1966 dan1966-1998. 5. Kontrol ketat pemeritah terhadap sistem demokrasi perwakilan melalui pemaksaan fusi partai, mekanisme recall, litsus,kontrol kebeasan pers. 6. Pemerintahan negara mampu memperthankan negara berdaulat,namun belum mencapai negara adil dan negara makmur. 7. merdeka,bersatu,dan

Lemah nya perlindungan HAM, baik hak politik maupun ekonomi,sosial,dan budaya.

13

J. PENUTUP Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas tertentu sama dengan proses legalisasi kearah perilaku penyimpangan. Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan, terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran. Model sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga negara menggambarkan model interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan dalam konsep fungsional. Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi tindak lanjut. Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan negara terus menerus berinteraksi dalam kesatuan sumber yang secara terus menerus terlibat dalam lingkungannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat dikontrol oleh semua pihak. Penekanan yang perlu menjadi komitmen semua penyelenggara negara adalah bagaimana mengembangkan sistem yang transparan dalam rangka mengupayakan penyelenggaraan negara yang transparan dan bertanggungjawab serta mampu mengubah praktek yang dapat menghambat pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan negara yang aktif dan konstruktif dalam mekanisme dan fungsi pada struktur kelembagaan akan menjadikan pola teknis operasional yang merupakan terobosan penting dalam perspektif menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada hukum. Kualitas penyelenggaraan negara akan mudah diwujudkan melalui pembenahan sistem yang transparan dan mampu mengubah sistem yang dipandang dapat mencemari penyelenggaraan negara yang murni dan konsekuen. Terahir, kesadaran kolektivitas dari penyelenggaran negara dan masyarakat untuk membangun sistem penyelenggaraan negara yang transparan menjadi syarat mutlak berhasilnya suatu negara. Penyelenggara negara dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan dalam rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan serta tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya membangun dan kontrol akan membangun sistem dan mekanisme yang bertanggung jawab. Kesadaran kolektifitas dari masyarakat, kelompok, dan organisasi sosial akan membangun kerangka struktural fungsional yang optimal dan menunjang upaya mengedepankan kedaulatan rakyat dalam kerangka negara hukum.

14

DAFTAR PUTAKA Tim penyusun.2006.Pendidikan dan kewaranearaan SMA Jilid 3.Jakarta;ERLANGGA Asshiddiqie, Jimly. tentang UUD 1945 setelah Amandemen berserta keterangannya. http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pascaamandemen. http://www.legalitas.org

15

You might also like