You are on page 1of 12

Level Hormon Pertumbuhan dan Insulin-like Growth Factor dan hubungannya dengan kelangsungan hidup anak dengan sepsis

bakteri dan septik syok

Tujuan: Meskipun perawatan pendukung telah ditingkatkan, mortalitas terhadap sepsis dan septic shock masih tinggi. Perubahan-perubahan yang multipel pada sistem neuroendokrin, paling tidak hanya sebagian saja, bertanggung jawab terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas. Penurunan level insulin-like growth factor yang bersirkulasi dan peningkatan level hormon pertumbuhan dilaporkan telah ditemukan

karakterisasinya di awal penanganan sepsis dan septic shock pada dewasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perubahan-perubahan poros growth hormone/insulin-like growth factor 1 pada sepsis dan septic shock dan menginvestigasi hubungan antara kedua hormon ini dan kelangsungannya. Metode: Lima puluh satu anak dengan sepsis (S), 21 anak dengan septic shock (SS) dan 30 anak yang sehat, umur- dan jenis kelamin anak disesuaikan (C) pada saat mendaftar pada studi ini. Level hormon pertumbuhan, insulin-like growth factor 1 dan level kortisol terhadap kelompok anak dengan sepsis dan septic shock diperoleh sebelum mereka menerima beberapa agent inotropik. Has il: Level hor mon pert u mbuha n adalah 32.3 1.5 IU/mL (range 456), 15.9 0.6 IU/mL (range 1128) and 55.7 2.7 IU/mL (range 2070) pada kelompok S, C dan SS, secara berturut-turut. Perbedaan antara level hormon pertumbuhan pada kelompok S dan C, kelompok S dan SS, dan kelompok C dan SS adalah signifikan (P < 0.001). Non-survivor (54.7 1.6 IU/mL) memiliki level 1.5

hormon pertumbuhan yang signifikan lebih tinggi daripada survivor (29.4 IU/mL) (P < 0.001). Level Insulin-like growth factor 1 adalah 38.1

2.1 ng/mL

(range 19100), 122.9 9.6 ng/mL (range 48 250) dan 22.2 1.9 ng/mL (range 10 46) pada kelompok S, C dan SS,secara berturut-turut, dan perbedaan antara level insulin-like growth factor 1 pada kelompok S dan C, S dan SS, dan kelompok C dan SS adalah signifikan (P < 0.001). Non-survivor (8.8 1.1 g/dL) memiliki level kortisol yang signifikan lebih rendah daripada survivor (40.9 2.1 g/dL) (P < 0.001). Kami mendeteksi perbedaan yang signifikan antara level kortisol pada non- survivor (19.7 1.8 g/dL) dan survivor (33.9 0.9 g/dL) ( P < 0.01). Kesimpulan: Terdapat peningkatan pada level hormon pertumbuhan dengan penurunan level insulin-like growth factor 1 pada anak selama kejadian sepsis dan septic shock dibandingkan dengan subjek yang sehat. Sebagai tambahan, bahkan terdapat peningkatan level hormon pertumbuhan yang sangat tinggi dan penurunan level insulin-like growth factor 1 yang lebih rendah pada non-survivor daripada survivor. Kami memperkirakan bahwa baik hormon pertumbuhan dan insulin-like growth factor 1 mungkin memiliki nilai prognostik yang potensial untuk bertindak sebagai marker pada sepsis bakteri dan septic shock pada anak-anak. Sepertinya terdapat data yang kurang mencukupi pada kelompok usia paediatric, studi-studi lain yang mencakup sejumlah besar dan menambahkan evaluasi mengenai sitokin dan insulin-like growth factor yang berprotein diperlukan untuk mengetahui hal ini lebih lanjut. Kata Kunci: anak; hormon pertumbuhan; insulin-like growth factor 1; sepsis.

Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi dengan agen-agen infeksius yang berbeda-beda. Jiak gejalanya tidak dikenal dan tidak ditangani secara dini, maka sepsis dapat berkembang menjadi sepsis yang lebih berat, septic shock dan

sindrom disfungsi organ yang multiple, dan bahkan menyebabkan kematian. Meskipun perawatan pendukung telah ditingkatkan, namun mortalitas dari sepsis dan septic shock masih tinggi. Pada penyakit pasien dewasa yang dalam kondisi kritis, khususnya pasien dengan sepsis, septic shock, luka bakar, operasi besar dan trauma multiple organ, kebanyakan sistem endokrin menjadi terganggu. Hal-ahal penting di antara semua ini adalah sistem kompleks yang berhubungan dengan hormon pertumbuhan growth hormone (GH), insulin-like growth factors (IGF) dan insulin-like growth factor-binding proteins (IGFBP). GH adalah hormon anabolik, yang mana akan meningkatkan metabolisme protein dan meregulasikan sistem imun dengan bantuan IGF-1 dalam keadaan katabolik, yang sangat penting dalam sepsis. Proses sintesis dan sekresi diinisiasi dan dimodulasi oleh GH. Sekresi GH diinduksi oleh stress pada seseorang, dan rerata dari level serum GH akan meningkat pada awal pengobatan sepsis. Pada penyakit kritis yang berlangsung lama, level GH dalam keadaan normal; meskipun terdapat 50% penurunan pada GH yang telah disekresikan pada pulse. Penurunan level IGF-1 yang bersirkulasi adalah suatu ciri khas yang ditemukan pada subjek dewasa yang dalam keadaan kritis. Hal ini kelihatannya akan menjadi sebuah hubungan paradoksial yang kompleks antara GH dan IGF-1 pada sepsis sebagaimana level IGF-1 hampir selalu rendah. Pengobatan GH biasa digunakan untuk meningkatkan outcome penyakit kritis pada pasien-pasien dewasa. Bagaimanapun, studi-studi klinis ini telah ditangguhkan oleh karena meningkatnya mortalitas yang dilaporkan pada beberapa studi yan dilakukan. Yang terbaik dari pengetahuan kami adalah belum ada studi literatur yang membahas tentang perubahan pada poros GH/IGF- 1 pada sepsis yang diderita anak, ecuali satu studi yang melakukan penelitian pada anak yang hanya dengan

meningococcal sepsis. Pada studi prospektif ini, tujuan penelitian kami adalah untuk mengukur level GH dan IGF-1 pada anak-anak selama bacterial sepsis dan septic shock di unit perawatan intensif anak (PICU), yang akan dibandingkan dengan anak-anak yang sehat, dan untuk menginvestigasi jika terdapat hubungan antara hormon-hormon ini dan kelangsungan hidup dan mortalitas. Dan juga, kami mengujikan pengaruh dari nutrisi, hypoglycaemia, indeks massa tubuh dan kortisol pada level GH dan IGF-1.

METODE Anak-anak dengan bacterial sepsis (S) dan septic shock (SS) memerlukan pengobatan perawatan intensif pada saat terdaftar dalam studi ini. Kelompok kontrol terdiri dari anak-anak yang sehat dengan usia- dan jenis kelamin-yang disesuaikan (C) dari Unit Anak-anak Sehat. Sepsis didefenisikan sebagai sindrom respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh bakteri yang telah terdokumentasikan dan telah dibuktikan melalui kultur darah positif dan paling tidak menampakkan ciri-ciri berikut ini: (i) temperatur tubuh, >38C atau < 36C; (ii) tachycardia, laju jantung >2 SD di atas normal; (iii) tachypnea, laju respirasi, >2 SD di atas normal atau pCO2 < 32 mmHg; (iv) jumlah leukosit, >12 109/L atau < 4 109/L; atau (v) neutrophils yang belum matang, menunjukkan >10%. Septic shock didefenisikan sebagai sepsis dengan bukti adanya hipoperfusi organ atau disfungsi dengan paling tidak ada dua parameter berikut ini: (i) asidosis metabolisme yang tidak dapat dijelaskan (pH < 7.3 atau basa yang lebih di bawah5 mmol\L atau level laktat plasma >2.0 mmol\L); (ii) arterial hypoxia (paO2 < 75 mmHg, paO2/FiO2 ratio < 250, saturasi oksigen transkutan < 92%) pada pasien tanpa penyakit kardiopulmonari yang jelas (iii) gagal ginjal akut (output urin ; < 0.5 mL/kg/h selama paling kurang 1 jam meskipun beban volume akut atau volume

adekuat intravaskular tanpa penyakit ginjal sebelumnya); atau (iv) tiba-tiba mengalami gangguan status mental baseline. Komite etik lokal telah menyetujui penelitian ini dan informed parental consent telah diperoleh. Sampel darah diperoleh dari jalur arterial dalam satu jam pada saat admisi di PICU sebelum pemberian agen-agen inotropik. Konsentrasi serum glukosa diukur dengan metode oksidase enzimatik (Glucosio GOD-PAP; Roche, Mannheim, Germany). Hipoglikemia didefenisikan sebagai level serum glukosa di bawah 40 mg/dL. Level serum kortisol diukur melalui competitive luminescence immunoassay (kisaran normal range = 525 g/dL). Sampel serum untuk GH dan IGF- 1 dibekukan segera dan disimpan sementara pada suhu20C. GH (Bi Source hGH-IRMA, Nivelles, Belgium; konsentrasi minimal yang dapat terdeteksi = 0.80 IU/mL) dan IGF-1 (Immunotech IGF-I IRMA; Bechman Coulter, Paris, France; konsentrasi minimal yang dapat terdeteksi = 0.2 ng/mL) diukur dengan immunoradiometric assay. Indek massa tubuh dihitung dengan menggunakan rumus: berat badan (kg)/tinggi badan(m2). Seluruh pasien diobati dengan antibiotik-antibiotik spektrum luas, sesuai dengan cairan dan inotropik. Total nutrisi parenteral (TPN) dimulai pada hari kedua pengobatan dan dilanjutkan selama periode penelitian. HASIL Terdapat 51 anak pada kelompok S. Dari 51 anak, terdapat 25 anak laki-laki (49%) dan 26 anak perempuan (51%) yang berusia rata-rata 33.5 5.7 bulan (range 5 120 bulan).

Kelompok C terdiri dari 30 anak; 15 anak perempuan (50%) dan 15 anak laki-laki (50%) dengan usia rerata adalah 35.9 5.8 bulan (range 6 120 bulan). Dua puluh satu

anak terdiri dari 11 anak perempuan (52%) dan 10 anak laki-laki (48%), yang terdaftar di kelompok SS. Rerata usia pada kelompok ini adalah 36.8 5.9 bulan (range 5 108

bulan) (Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan antara usia dan jenis kelamin dari ketiga kelompok (P > 0.05). Pasien-pasien baik pada kelompok S dan SS tidak dapat makan secara oral mulai dari 48 hingga 60 jam setelah admisi rumah sakit. Indeks massa tubuh pada kelompok S (14.6 0.4) dan SS (13.9 0.38) tidak lebih rendah secara signifikan 0.54; P > 0.05). Bagaimanapun, 0.47; P < 0.001)

dibandingkan dengan kelompok C (15.7 perbedaan antara survivor (14.3.

0.4) dan non-survivor (12.7

signifikan secara statistik (P < 0.001). Terdapat 87 pasien dengan kultur darah positif. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa (18/87), Klebsiella pneumonia (14/87), Staphylococcus aureus (12/87) dan Escherichia coli (9/87) baik pada kelompok S dan kelompok SS. Dua puluh lima anak (49%) dengan S dan 15 anak (71.4%) dengan SS membutuhkan ventilasi mekanis di samping terapi-terapi suportif lainnya (P < 0.001). sebelas pasien (21.6%) dari kelompok S meninggal setelah tinggal dengan rerata lama perawatan selama 3 hari dan 15 pasien (7 1.4%) dari kelompok SS meninggal setelah sepuluh jam setelah admisi (P < 0.00 1). Kami tidak menemukan perbedaan antara umur survivor dan non-survivor. Tidak terdapat perbedaan secara statistik antara durasi lama rawat inap untuk kelompok survivor S dan SS (P > 0.05), meskipun durasi pemakaian ventilasi mekanik lenih lama pada kelompok S (6.27 dengan kelompok SS (3.4 0.49 days) dibandingkan

0.27 hari; P < 0.005), barangkali disebabkan oleh laju

mortalitas yang tinggi pada kelompok terakhir (Tabel 1). Pada saat admisi, 11 anak dari kelompok S dan 12 dari kelompok SS menderita hypoglycaemia (konsentrasi glukosa serum 25 40 mg/dL). Perbedaan antara level glukosa pada survivor (61.6 3.5 mg/dL) dan pada non-survivor (31.7 1.5

mg/dL) adalah signifikan (P < 0.001).

Level kortisol serum adalah 30.8 1.5 g/dL (range 7 46 g/dL) dan 10.4

0.8 g/dL (range 20 45 g/dL), 29.4 1.5 g/dL (range 2 19 g/dL) pada

kelompok S, C dan SS, secara berturut-turut. Perbedaan antara kelompok SS dan S (P < 0.005), dan SS dan C (P < 0.00 1) berbeda signifikan (Tabel 2; Gbr. 1). Non-survivor (19.7 1.8 g/dL) memiliki level kortisol secara signifikan lebih rendah daripada 0.9 g/dL; P < 0.01) (Tabel 3; Gbr. 2). 1.5 IU/mL (range 14 56 2.7 IU/mL

survivor (33.9

Level hormon pertumbuhan adalah 32.3 IU/mL), 15.9

0.7 IU/mL (range 11 28 IU/mL) dan 55.7

(20 70 IU/mL) pada kelompok S, C dan kelompok SS, secara berturut-turut. Perbedaan antara level GH pada kelompok S dan kelompok C (P < 0.001), kelompok S dan SS (P < 0.001), dan kelompok C dan SS (P < 0.00 1) adalah signifikan (Tabel 2; Gbr. 3). Non-survivor (54.7 1.6 IU/mL) memiliki level GH yang secara signifikan 1.5 IU/ mL; P < 0.001) (Tabel 3; Gbr. 9.6

lebih tinggi daripada s ur vivor (29.4 4). Level IGF-1 adalah 38.1

2.1 ng/mL (range 19 100 ng/mL), 122.9

ng/mL (range 48 250 ng/mL) dan 22.2

1.9 ng/mL (range 10 46 ng/mL) pada

kelompok S, C dan kelompok SS, secara berturut-turut, dan perbedaan antara evel IGF-1 pada kelompok S dan C (P < 0.001), S dan SS (P < 0.001), dan kelompok C dan SS adalah signifikan (Tabel 2; Gbr. 5). Non-survivor (8.8 1.1 ng/dL) memiliki

level IGF- 1 yang s ecara signifikan lebih rendah daripada survivor (40.9 2.1 ng/dL; P < 0.001) (Tabel 3; Gbr. 6). Kami tidak menemukan perbedaan gender pada level GH dan IGF- 1. Kami menemukan korelasi yang baik antara level GH dan level IGF-1 pada kelompok non-survivor dan survivor (r = 0.473, P = 0.015; r =

0.639, P < 0.001) (Gbr. 7). Kami tidak menemukan korelasi antara GH dan kortisol atau IGF- 1 dan kortisol pada kelompok non-survivor dan survivor.

DISKUSI Hormon pertumbuhan adalah salah satu kelompok dari sistem neuro-endokrin yang disekresikan dalam responnya terhadap sepsis dalam upaya untuk meningkatkan sintesis protein, menurunkan pemecahan protein dan mengurangi penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Pada studi yang kami lakukan saat ini, kami menemukan level GH yang lebih tinggi pada kelompok S dan SS jika dibandingkan dengan anak-anak yang sehat pada kelompok C. Di samping itu, level GH bahkan lebih tinggi dan level IGF-1 lebih rendah pada kelompok SS daripada kelompok S. Juga terdapat perbedaan yang signifikan antara level GH dan IGF-1 pada survivor dan non-survivor. Untuk pengetahuan terbaik kami kecuali pada penelitian yang telah dilakukan oleh Lin et al. yang membahas tentang anak-anak dengan meningococcal sepsis, ini adalah laporan pertama yang mendeskripsikan perubahan pada poros GH/IGF- 1 pada sepsis dan septic shock yang disebabkan oleh bakteri yang berbeda-beda pada anak. Di samping itu, studi ini adalah studi pertama yang membandingkan antara GH dan IGF-1 pada anak-anak dengan sepsis dan septic shock. Sepsis dihubungkan dengan tingginya mortalitas bahkan pada unit-unit perawatan intensif yang telah modern. Hal ini diperkirakan bahwa 400.000 pasien yang berkembang menjadi sepsis setiap tahun, dengan mortalitas sebesar 20 hingga 50%. Diperkirakan 50% dari pasien ini berkembang menjadi sepsis yag berat dan/atau septic shock. Ini disebabkan karena katabolisme yang meningkat dan menurunnya pertahanan tubuh host. Mekanisme yang bertanggungjawab untuk peningkatan dalam katabolisme protein dan pertahanan tubuh host pada sepsis sangat kompleks dan tidak belum dapat dipahami seutuhnya. Melimpahnya mediator-mediator seluler dan sistemik yang tidak lagi terkontrol, seperti interleukin, tumor necrosis factor, nitric oxide dan

prostaglandin, dan perubahan pada fungsi akhir organ, dan juga perubahan-perubahan yang multiple pada sistem neuro-endokrin meskipun paling tidak hanya sebagian , bertanggung jawab untuk tingginya morbiditas dan mortalitas dalam sepsis dan septic shock. GH dan banyak sitokin lainnya memiliki famil reseptor yang sama dan membagi sejumlah jalur-jalur signaling post-reseptor yang sama. Untuk alasan ini, tingginya level sitokin dan GH dapat menginduksi aktifitas yang berlebihan atau disregulasi dari reseptor-reseptor atau mesenjer yang penting selama transduks sinyal. Pada studi kali ini, meningkatnya level GH menunjukkan adanya korelasi dengan level interleukin (IL)-6 dan tumour-necrosis factor- (TNF-) pada anak-anak non-surviving dengan meningococcal sepsis. Sebagaimana halnya dengan level IL atau TNF- yang telah kami ukur, kami tidak dapat menjawab tentang hubungan antara mediator-mediator dengan GH dan IGF- 1. Kami tidak mampu untuk membahas tentang perubahan-perubahan pada hormon adrenocorticotropic /sumbu cortisol, akan tetapi secara statistik level kortisol yang terdeteksi lebih rendah pada pasien non-surviving pada studi yang kami lakukan ini yang dapat mengindikasikan suatu kemungkinan peran untuk hypoadrenalism bersama-sama dengan perubahan pada GH/IGF-1 terhadap laju mortalitas. Selama penyakit dalam keadaan kritis, kortisol memainkan peranan yang penting pada metabolisme asam-asam lemak, glukosa dan protein. Suti-studi yang dilakukan pada dewasa menunjukkan adanya peningkatan level kortisol pada sepsis. Kami menemukan level kortisol yang secara signifikan lebih rendah pada pasien -pasien dengan septic shock; pada sisi lain, tidak terdapat perbedaan pada level kortisol antara pasien yang mengalami sepsis dan kontrol. Joosten et al. juga telah melaporkan adanya penurunan pada level kortisol pada anak-anak dengan septic shock yang disebabkan oleh meningococcaemia.

Kami berpendapat bahwa durasi rasa lapar dan perbedaan yang ringan pada indeks massa tubuh antara anak-anak yang surviving dan non- surviving dapat mempengaruhi level GH dan IGF-1. Total level IGF- 1 mengalami penurunan selama periode puasa, namun sebaliknya terjadi pada GH. TPN dapat menjadi kurang efektif dari pada nutrisi enteral dalam menjaga dihasilkannya IGF-1, dan bahkan pada saat TPN tersedia, level IGF-1 secara abnormal menurun. Meskipun kami berusaka melakukan untuk memperbaiki kesetimbangan nutrisi, defisit kalori total yang terjadi dan intake protein dapat mempengaruhi level GH dan IGF-1. Hypoglycaemia diamati pada pasien yang akan dapat menjadi faktor kontribusi untuk meningkatkan level GH. Level plasma GH ditemukan dalam batasan normal pada anak-anak dengan HIVseropositive yang bebas dari infeksi aktif atau lenyakit liver pada saat studi berlangsung, dan hal ini berlaku sama dengan anak-anak yang sehat. Lin et al. melaporkan rerata level GH yang sangat tinggi pada anak-anak dengan GH meningococcal sepsis. Data yang kami peroleh dan perhatin kami tentang level GH meningkat meskipun jika agen infeksius menyebabkan sepsis. Studi-studi pada dewasa yang sakit dengan kritis menyatakan adanya level GH yang tinggi tanpa mempertimbangkan outcome pasien. Lin et al. telah menunjukkan bahwa level GH plasma sangat dihubungkan dengan fatal outcome pada meningococcal sepsis. Sama halnya dengan, akan tetapi dengan jumlah pasien yang sangat banyak, kami menemukan perbedaan yang sangat signifikan antara level GH pada survivor dan non- survivor pada kejadian bacterial sepsis dan septic shock. Lin et al. melaporkan bahwa anak-anak yang berusia lebih muda akan memiliki faktor prognosis yang buruk. Level independen GH dan IGF-1pada anak yang berusia lebih muda selalu memiliki faktor prognostik yang buruk pada anaka-anak dengan

sepsis dan septic shock. Di samping itu, kisaran usia yang mencakup pada studi lebih luas. Studi-studi yang dilakukan pada dewasa telah memperlihatkan perbedaan gender yang mana lebih banyak ditemukan pada wanita terhadap level GH/IGF-1 selama sepsis. Kami tidak mendeteksi kesamaan dalam perbedaan jenis kelamin pada pasien -pasien kami dan pada kelompok kontrol, barangkali hal ini disebabkan karena faktanya hampir dari seluruh pasien kami pada masa pra-pubertas. Beberapa laporan menginvestigasi level basal GH dan IGF-1 pada pasien dewasa yang mengalami sepsis, dan keadaan katabolik lainnya, yang menyatakan adanya level GH normal bersamaan dengan menurunnya level IGF-1. Bagaimanapun, seluruh studi lain yang telah dilakukan yang membahas mengenai sepsis dan septic shock pada pasie dewasa atau pada hewan coba, telah menunjukkan adanya peningkatan pa a d level GH dan menurunnya level IGF-1. Perbedaan antara level IGF-1 pada septic, septic shock dan anak-anak yang sehat sangat mengesankan pada penelitian ini. Kami menemukan level IGF-1 yang menurun tajam pada sepsis dan septic shock. Hubungan yang paradoksial antara GH dan IGF-1 dapat mengindikasikan adanya gangguan pada transduksi sinyal GH, yang mana dapat terjadi pada level GH reseptor atau lada jalurjalur signaling intrasellular, yang sebagian besar terjadi di hati. GH mungkin tidak penting untuk produksi dan sekresi IGF-1. IGF-1 ditemukan pada jaringan ekstrahepatik dan pada hewan-hewan yang telah di-hipofisektomi. Penemuan ini menyatakan adanay sekresi parakrin dan/atau autokrin IGF-1 yang mungkin terjadi di samping terjadinya sekresi endokrin. Selanjutnya, rendahnya level serum IGF-1 mungkin mengintensifkan produksi GH dengan mengurangi penghambatan feedback dari sekresi pituitary GH. Penlitian yang dilakukan oleh OLeary dan koleganya pada tikus telah memperlihatkan

adanya kecenderungan terhadap peningkatan hepatic GH binding dan resistensi GH, yang mana tidak dihubungkan dengan menurnnnya jumlah reseptor GH. Pada studi yang kami lakukan, level GH yang paling tinggi terdeteksi bersamaan dengan level IGF-1 terendah. Kami berpendapat bahwa baik defesiensi IGF-1 dan resistensi GH hepatik yang diperantarai oleh endotoxindapat menjadi faktor yang bertanggung jawab untuk hubungan paradoksial antara GH dan IGF-1. Di samping adanya perubahan pada level GH/IGF-1 axis, terdapat peningkatan yang signifikan pada level IGFBP-1 pada penyakit yang kritis. Koelasi negatif terlihat antara level IGFBP- 1 yang tinggi dan kelangsungan hidup yang telah dilaporkan. Namun sayangnya, kami tidak mengevaluasi level IGFBP pada studi ini. Sebagai kesimpulan, kami telah memberikan bukti-bukti lanjut untuk peningkatan level GH dan menurunnya level IGF- 1 pada anak-anak selama sepsis dan shock. Sebagai tambahan, kami bahkan menemukan level GH yang lebih tinggi dan level IGF- 1 yang lebih rendah pada non-survivor daripada survivor. Kami memperkirakan bahwa baik GH dan IGF-1 memiliki nilai prognostik yang potensial untuk berperan sebagai marker pada sepsis dan septic shock pada anak-anak.

You might also like