You are on page 1of 4

UJI FAAL PARU PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF Obstruksi saluran napas paru dapat disebabkan oleh berbagai kelainan

yang terdapat pada lumen, dinding atau di luar saluran napas. Kelainan pada lumen dapat disebabkan oleh sekret atau benda asing. Pada dinding saluran napas, kelainan bisa terjadi pada mukosanya akibat peradangan, tumor, hipertrofi dan akibat iritasi kronik; dapat juga terjadi kelainan yang menimbulkan bronkokonstriksi otot polos. Berbagai kelainan di luar saluran napas yang dapat menimbulkan obstruksi adalah penekanan oleh tumor paru, pembesaran kelenjar dan tumor mediastinum. Dua penyakit paru obstruktif yang sering menjadi masalah dalam penatalaksanaannya adalah penyakit asma bronkial dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Asma bronchial didefinisikan sebagai suatu sindrom klinik yang ditandai oleh hipersensitivitas trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Penyakit paru obstruktif kronik adalah kelainan yang ditandai oleh uji arus ekspirasi yang abnormal dan tidak mengalami perubahan secara nyata pada observasi selama beberapa bulan. PPOK merupakan penyakit yang memburuk secara lambat, dan obstruksi saluran napas yang terjadi bersifat ireversibel oleh karena itu perlu dilakukan usaha diagnostik yang tepat, agar diagnosis yang lebih dini dapat ditegakkan, bahkan sebelum gejaladan keluhan muncul sehingga progresivitas penyakit dapat dicegah. Pemeriksaan faal paru pada penyakit paru obstruktif mempunyai beberapa manfaat, yaitu membantu menegakkan diagnosis, melihat perkembangan clan perjalanan penyakit, menilai hasil pengobatan serta untuk menentukan prognosis penyakit. Berbagai uji faal paru dapat dilakukan, mulai dari pemeriksaan yang sangat mudah dan sederhana sampai pemeriksaan yang rumit dan memerlukan sarana serta fasilitasyang lebih canggih.

FAAL PARU UNTUK PENUNJANG DIAGNOSIS Diagnosis penyakit paru obstruktif kadang-kadang dapat ditegakkan berdasarkan anemnesis dan pemeriksaan fisik. Dan anemnesis sering ditemukan keluhan sesak napas dan batuk-batuk. Pemeriksaan fisik memperlihatkan tanda-tanda obstruksi seperti ekspirasi yang memanjang dan bising mengi. Tetapi bila kelainan minimal atau terdapat penyakit lain, maka diagnosis kadang-kadang sukar ditegakkan. Pada keadaan ini pemeriksaan. Mal paru sangat berguna untuk menunjang diagnosis. Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) dengan alat mini wright peak flow meter merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana. Penderita disuruh melakukan ekspirasi sekuat tenaga melalui alat tersebut. Apabila pada orang dewasa didapatkan angka APE kurang dari 200 1/menit berarti ada obstruksi saluran napas.
1

Dengan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal paru yaitu : ~ Kapasitas vital paksa (KVP) adalah jumlah udara yang bias diekspirasi maksimal secara paksa setelah inspirasi maksimal.
~ Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bias

diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama.


~ Rasio VEPl/KVP

~ Arus puncak ekspirasi (APE). Apabila nilai VEP1 kurang dari 80% nilai dugaan, rasio VEP1/KVP kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas. Bila digunakan spirometri yang lebih lengkap dapat diketahui parameter lain :
y

Kapasitas vital (KV), jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal.

Kapasitas paru total (KPT), yaitu jumlah total udara dalam paru pada saat inspirasi maksimal.

Kapasitas residu fungsional (KRF), yaitu jumlah udara dalam paru saat akhir ekspirasi biasa.

Volume residu (VR), jumlah udara yang tertinggal dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal.

Air trapping, selisih antara KV dengan KVP. Beberapa pemeriksaan faal paru dapat mendeteksi kelainan sebelum

gejala obstruksi timbul. Pemeriksaan ini lebih rumit, memerlukan waktu serta alat yang canggih. Pemeriksaan ini antara lain ialah pengukuran closing volume, volume of isotop dan dynamic lung compliance. Selain pemeriksaan volume paru atau ventilasi, pemeriksaan faal paru yang lain yaitu kapasitas difusi juga mempunyai arti diagnostik pada penyakit paru obstruktif. Pemeriksaan difusi biasanya dilakukan dengan menggunakan gas monoksida (CO) untuk menilai kemampuan paru menangkap oksigen dari alveoli dan melepaskan karbondioksida. Pada emfisema penurunan kapasitas, difusi merupakan hal yang karakteristik, sedangkan pada asma dan bronkitis kronik kapasitas difusi biasanya tidak menurun.

UJI BRONKODILATOR

Uji bronkodilator adalah suatu pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator untuk menilai reversibilitas penyakit. Di Rumah Sakit Persahabatan uji bronkodilator dikerjakan sebagai berikut :
y

Dilakukan pengukuran APE atau VEP1 pada pasien yang telah dibebaskan dari bronkodilator sebelumnya. Pemakaian teofilin

dihentikan selama 12 jam, untuk lepas lambat 24 jam. Beta 2 agonis oral dibebaskan 12 jam dan beta 2 agonis inhalasi 8 jam.
y

Kemudian diberikan inhalasi beta -2 agonis sebanyak 8 semprot memakai alat nebuhaler atau volumatik.

15

menit

setelah

pemberian

inhalasi bronkodilator, dilakukan

pemeriksaan faal paru kembali. Ditentukan persentase kenaikan nilai APE atau VEP1, (reversibilitas) dengan rumus berikut :

apabila nilainya lebih besar dari 15% dianggap masih reversibel.

FAAL PARU UNTUK MENILAI PERKEMBANGAN PENYAKIT Pemeriksaan faal pant berguna untuk menilai beratnya obstruksi yang terjadi, dengan demikian dapat ditentukan beratnya kelainan. Pemeriksaan ulangan sesudah pengobatan dapat memberikan informasi perbaikan kelainan. Pada asma obstruksi yang terjadi pada saat serangan dapat menjadi normal dengan atau tanpa pemberian obat-obatan. Apabila faal paru sesudah pemberian bronkodilator masih menunjukkan obstruksi mungkin pemberian obat belum optimal. Oleh karena itu dosis obat atau obat lain dapat ditambahkan. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang terus berlanjut secara perlahan (slowly progressing) dan dalam perjalanannya terdapat fase eksaserbasi akut. Penurunan nilai VEP1 dengan bertambahnya umur pada orang normal rata-rata 28 ml setiap tahun. Pada orang dengan PPOK penurunan ini lebih besar yaitu berkisar antara 50-80 ml. Setiap terjadi fase eksaserbasi maka nilai faal paru akan lebih menurun, nilai ini tidak akan

kembali ke nilai dasar setelah fase eksaserbasi di lewati. Oleh sebab itu pada penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan agar fase eksaserbasi ini tidak terjadi atau bila terjadi diusahakan seminimal dan sesingkat mungkin agar penurunan faal paru tidak makin berat. Pemeriksaan faal paru secara berkala perlu dilakukan pada penderita asma dan PPOK, yaitu untuk melihat laju perkembangan penyakit, serta untuk menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan sesudah pemberian

bronkodilator berguna untuk melihat apakah obat telah dipakai secara optimal. Di samping itu juga berguna untuk menurunkan dosis obat ke tingkat serendah mungkin tetapi masih memberikan efek bronkodilatasi yang diinginkan.

FAAL PARU UNTUK MENENTUKAN PRONOGSIS Pada penderita PPOK derajat obstruksi saluran napas sangat menentukan prognosis penyakit. Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi dan terdapatnya kor pulmonale. Obstruksi yang makin berat memperburuk prognosis. Hal ini akan diperberat bila terdapat

hiperkapnia, kapasitas difusi paru yang kurang dari 50% nilai dugaan, nadi pada waktu istirahat lebih dari 100 kali/menit dan kor pulmonale. Nilai VEPI/KVP merupakan indikator yang kurang berarti untuk menduga survival dibandingkan dengan nilai VEP1 atau persentase dugaan VEP1 pada penderita PPOK. Ini disebabkan oleh karena pada pemburukan penyakit nilai KVP juga ikut menurun. Meskipun nilai VEPl/KVP merupakan parameter untuk menentukan obstruksi jalan napas, tetapi merupakan parameter yang kurang baik dalam menggambarkan derajat atau keparahan penyakit. Untuk menduga survival penderita PPOK, nilai VEP1 sesudah pemberian bronkodilator lebih baik dipakai sebagai parameter dibandingkan dengan nilai VEP1 sebelum pemberian.

You might also like