You are on page 1of 20

DINASTI BANI UMAYYAH;

KEMAJUAN DI BIDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN, EKONOMI, ILMU DAN KEBUDAYAAN Oleh: Khairi Rusiani, Lc

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah peradaban Islam, umat islam pada abad pertama telah mengalami berbagai macam fase kepemimpinan. Pertama, nabi Muhammad saw sebagai seorang Rasul sekaligus sebagai seorang pemimpin Negara. Kedua, pengangkatan khalifah-khalifah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafa al-Rasyidun, menggantikan kepemimpinan nabi Muhammad dalam bidang pemerintahan, di mana mereka dipilih oleh para tokoh sahabat dan kemudian dibaiat oleh rakyat umum, melalui sistem musyawarah yang demokratis. Dan berikutnya yang ketiga, ialah ketika berdirinya dinasti Umayyah yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abu Sufyan, yang kemudian mengadopsi sistem monarki (kerajaan turun-temurun), di mana penguasa berhak menunjuk orang yang akan menjadi penggantinya kelak. Sistem seperti ini juga akan diadopsi oleh dinasti-dinasti Islam berikutnya. Sebuah dinasti, setelah terbentuk tentu akan mengalami masa-masa perkembangan sampai kepada kemajuan, dan akhirnya kemunduran dan kehancuran. Dalam makalah singkat ini penulis akan berusaha memberikan gambaran tentang kemajuan yang pernah dihasilkan oleh sebuah dinasti besar dalam Islam yang merupakan dinasti Islam pertama yang menganut sistem monarki dalam keberlangsungan pemerintahannya, yaitu dinasti Umayyah. B. Rumusan Masalah. Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis paparkan adalah berkaitan dengan hal-hal berikut:

1.

Dari mana nama Umayyah berasal dan bagaimanakah dinasti Umayyah bisa didirikan? Dalam hal ini penulis akan mencoba memaparkan sejarah bani Umayyah dan upaya-upaya Muawiyah dalam mendirikan dinasti Islam pertama tersebut.

2.

Sekilas tentang kondisi para khalifah Dinasti Umayyah, baik secara politik maupun sosial yang berkembang pada waktu mereka masing-masing.

3.

Apa saja kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam bidang administrasi pemerintahan, ekonomi, ilmu dan kebudayaan pada masa dinasti Umayyah?

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah Dinasti Umayyah mengambil nama keturunan dari Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf. Ia adalah salah seorang terkemuka dalam persukuan pada zaman jahiliyah, bergandeng dengan pamannya Hasyim ibn Abdi Manaf. Umayyah dan Hasyim berebut pengaruh dalam proses-proses sosial politik pada zaman Jahiliyah, namun Umayyah lebih dominan. Hal ini disebabkan karena ia merupakan pengusaha yang kaya dan memiliki banyak harta yang berlimpah. Padahal harta dan kekayaan menjadi faktor dominan untuk merebut hati di kalangan suku Quraisy, sehingga Hasyim tidak dapat mengimbangi keponakannya tersebut. Dari nama Umayyah tersebut, maka dinasti itu disebut Dinasti Umayyah. 1 Dinasti Umayyah mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Usman ibn Affan itu, semula akan dimenangkan oleh pihak Ali; tetapi melihat gelagat kekalahan itu, Muawiyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk kembali kepada hukum Allah. Dalam peristiwa tahkim itu, Ali telah terpedaya oleh taktik dan siasat Muawiyah yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Muawiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah, sekaligus raja. Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan bahwa dengan jatuhnya khalifah Ali dari kursi kekhalifahan, mulailah Dinasti Umayyah menancapkan kekuasaannya yang diprakarsai oleh tokoh utamanya, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan. Muawiyah tampil sebagai penguasa pertama

M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), cet. I, h. 113.

yang telah mengubah sistem pemerintahan Islam, dari sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi kepada sistem pemerintahan monarki absolut. Dinasti Umayyah berkuasa selama 89 tahun, yakni dari 661 M/41 H, sampai dengan 750 M/132 H. Selama kurun waktu tersebut terdapat 14 orang khalifah yang pernah memerintah. 2 Mereka adalah Muawiyah (661-680 M), Yazid I (680-683 M), Muawiyah II (683 M), Marwan (683-685 M), Abdul Malik (685-705 M), al-Walid I (705-715 M), Sulaiman (715-717 M), Umar II (717-720 M), Yazid II (720-724 M), Hisyam (724-743 M), al-Walid II (743-744 M), Yazid III (744 M), Ibrahim (744 M), dan Marwan II (744-750 M).3 B. Dinasti Umayyah; Khalifah demi Khalifah Keberhasilan Muawiyah mencapai ambisi mendirikan kekuasaan dinasti Umayyah disebabkan di dalam diri Umayyah terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator. Ia pandai bergaul dengan berbagai tempramen manusia sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya, bahkan bekas lawan politiknya sekalipun. Misalnya ia merangkul dan menawarkan kerja sama Amr Ibn Ash, seorang diplomat dan politikus ulung, mantan gubernur Mesir yang dicopot oleh Khalifah Usman. Upaya strategis yang ditempuh Muawiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan dinasti Umayyah antara lain sebagai berikut: Pertama, pembentukan kekuatan militer di Syria. Selama dua puluh tahun menjabat di Syria, suatu wilayah subur yang kuat ekonominya, Muawiyah berusaha mengkonsolidasikan seluruh kekuatan yang ada untuk memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Langkah strategis yang ditempuh selama menjabat gubernur Syria antara lain merekrut tentara bayaran baik dari masyarakat asli Syria, maupun dari imigran Arab yang mayoritas dari keluarganya sendiri, juga merekrut lawan-lawan politiknya yang cakap. Kedua, politisasi tragedi pembunuhan Usman. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali, Muawiyah berjuang memojokkan sang khalifah dengan melancarkan serangan dilematis yang sukar dicarikan jalan pemecahannya, bahwa Ali harus segera mengusut dan sekaligus menghukum pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Usman. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, maka ia dianggap bersekongkol dengan kaum pemberontak dan melindungi pembunuh Usman,

Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004) cet. I, h. 34. 3 M. Abdul Karim, Loc.Cit., Ajid Thohir, Ibid, 34-45.

sehingga Ali sendiri tergolong pihak yang terhukum, karenanya ia harus dicopot dari jabatannya sebagai khalifah. Ketiga, tipu muslihat dalam arbitrase. Ajakan arbitrase yang diusulkan oleh pihak Muawiyah merupakan bagian dari langkah strategis untuk memecah belah kekuatan Ali. Keputusan Ali menerima ajakan perundingan tersebut mengecewakan sebagian pengikutnya karena mereka merasa segera mencapai kemenangan dalam peperangan. Mereka membentuk kelompok Khawarij yang anti Ali. Lebih dari itu kelebihan Amr Ibn Ash dalam perundingan tersebut dalam kapasitasnya sebagai tokoh diplomasi dan politikus, semata-mata berusaha mengecoh diplomasi pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asari. Sehingga jelaslah bahwa sesungguhnya pihak Muawiyah tidak menawarkan arbitrase sebagai media perundingan damai, melainkan sebagai tipu muslihat belaka. Upaya-upaya strategis di atas cukup efektif dalam memperkuat dukungan dan posisi Muawiyah, sehingga pada akhirnya ia mengalahkan kekuatan Hasan Ibn Ali sekaligus menobatkan diri sebagai penguasa atas imperium muslim. Dengan ini tercapailah ambisinya mendirikan dinasti yang baru.4 Muawiyah dinobatkan sebagai khalifah di Iliya (Yerusalem) pada tahun 40 H./660 M. Dengan penobatannya itu, ibukota provinsi Syria, Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam.5 Dalam perjalanan sejarah berikutnya, Muawiyah berhasil mengubah sistem politik musyawarah yang sebelumnya dijadikan sebagai asas pengangkatan seorang khalifah pada masa Khulafa al-Rasyidun, menjadi sistem monarkis (turun-temurun), di mana pengangkatan seorang khalifah tidak lagi melalui musyawarah dan pembaiatan rakyat, tetapi ditunjuk oleh khalifah yang berkuasa dan didasari atas asas keturunan, dan kemudian para tokoh dan utusan dari provinsi diperintahkan datang dan mengucapkan baiat, seperti yang dilakukan oleh Muawiyah ketika menunjuk putranya Yazid, sebagaimana yang dikutip oleh K. Hitti. 6 Dalam hal ini K. Ali mengatakan, Muawiyah adalah penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem demokratis republik Islam menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Pada suatu pidato ia
Lihat Prof. K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), diterjemahkan dari buku aslinya, A Study of Islamic History oleh Ghufron A. Masadi, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2003), Cet. Ke-4, 2003. h. 249-253 5 Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 235. 6 Philip K. Hitti, Ibid., h. 244.
4

pernah menegaskan bahwa dirinya adalah seorang raja Islam yang pertama. Ia membentuk sistem kekuasaan berdasarkan garis keturunan dengan menunjuk anaknya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Sikapnya menunjuk putra mahkota ini akhirnya menjadi model dan diikuti oleh seluruh penguasa Umayyah sesudahnya. Bahkan model seperti ini juga diikuti secara persis oleh pemerintah dinasti Bani Abbasiyah dan dinasti lainnya di kemudian hari.7 Hal senada juga diungkapkan oleh para penulis Sejarah Peradaban Islam semisal Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto8 dan Fahsin M. Faal.9 Dalam hal pemerintahan monarki absolut yang diprakarsai oleh Muawiyah, Karen Armstrong dalam Sejarah Islam Singkat-nya memberikan komentar, Setelah pengalaman berabad-abad, barulah disadari bahwa monarki absolut merupakan satu-satunya cara efektif untuk memerintah sebuah kerajaan pra modern dengan perekonomian berbasis pertanian dan disadari juga bahwa ini jauh lebih memuaskan daripada oligarki militer, yang biasanya diwarnai perebutan kekuasaan di antara para komandannya. Gagasan menjadikan seseorang begitu istimewa sehingga yang kaya dan yang miskin sangat lemah di depan dia, jelas menjijikkan bagi kita yang hidup di era demokrasi, tetapi kita harus menyadari bahwa demokrasi baru mungkin dibangun dalam masyarakat industri yang mempunyai teknologi untuk mereproduksi sumber daya tanpa batas: dan ini bukan pilihan sebelum datangnya modernitas Barat. Dalam dunia pra-modern, seorang raja yang sangat kuat dan tidak mempunyai lawan sepadan tidak perlu ikut bertempur, dapat menyelesaikan perseteruan para pembesar, dan tidak punya alasan untuk mengabaikan permohonan orang-orang yang ingin membantu kaum miskin. Begitu kuatnya preferensi pada monarki in sehingga, sebagaimana akan kita lihat, bahkan ketika kekuasaan riil dipegang oleh para penguasa local di sebuah kerajaan besar, mereka tetap berpurapura tunduk di hadapan raja dan mengaku bertindak sebagai vasalnya. Para khalifah Umayyah memerintah sebuah kerajaan besar yang terus melebarkan daerah kekuasaannya. Mereka menyadari bahwa untuk menjaga perdamaian, mereka harus menjadi raja-raja absolute, tetapi bagaimana ini bias sejalan dengan tradisi Arab, di satu sisi, dan dengan egalitarianisme radikal Al-Quran di sisi lain?10 Masa kekuasaan Yazid sangat singkat yaitu pada 680-683. Ia dibaiat oleh rakyat dengan setengah hati terutama penduduk Mekah dan Madinah. Yazid memiliki kemampuan dalam memimpin perang yang lebih baik, jika dibandingkan dengan Hasan maupun Husein. Yazid memimpin perang melawan Bizantium sebanyak 27 kali (meskipun tidak berhasil menaklukkan

Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 262-263. Lihat Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta Timur, Penada Media:2003), h. 37. 9 Lihat Fahsin M. Faal, Sejarah Kekuasaan Islam (Jakarta: CV. Artha Rivena, 2008), h. 4. 10 Karen Armstrong, Sejarah Islam Singkat, (Yogyakarta: Elbanin Media, 2008), Penerjemah: Ahmad Mustofa dari buku asli Islam A Short Story, (London: Phoenix Press, 2002), cet.I, h. 54-55.
8

konstantinopel). Masa pemerintahannya meskipun monarki, namun masih terdapat Majelis Syura yang menandakan tetap demokratis. Para penguasa dinasti ini tetap memakai gelah khalifah, ada Dewan Syura, dan sebagai penguasa yang legitimet. Mereka masih membutuhkan pengakuan rakyat, meskipun demikian, kadar persentase demokrasi sangat tipis tidak seperti pembaiatan terhadap Khalifah Abu Bakar. Periode Yazid ditandai dengan tiga keburukan dan hanya berbuat satu kebaikan, yaitu pada tahun pertama masa kekuasaan Yazid Ibn Muawiyah, cucu Nabi, Husein terbunuh di Karbala menyebabkan golongan Syiah lahir secara sempurna dan menjadi penentang utama kekuasaannya. Tahun kedua, tentara Yazid menyerang habis-habisan kota Madinah dalam peperangan di Harra yang mengakibatkan citra pasukan Islam tercoreng di muka sendiri. 11 Pada tahun ketiga kekuasaannya, tentara Yazid menyerang dan membakar Kabah. Halhal tersebut dilakukan akibat dari tidak diakuinya Yazid sebagai khalifah dari para sahabat termasuk Husein, Abdullah ibn Zubair, dan terutama penduduk Madinah dan Mekah. Setelah pembantaian di Karbala, mereka berontak dan mengakui Abdullah ibn Zubair menjadi khalifah mereka. Pada masa pemerintahannya, Yazid hanya berbuat satu kebaikan, yaitu mengangkat kembali Uqbah ibn Nafi menjadi gubernur kedua kalinya di Ifriqiyah/Qayrawan. Saat penyerangan dan pengepungan terhadap Baitullah masih berlanjut. Tiba-tiba ada kabar bahwa Yazid meninggal dunia pada 24 September 683, maka para tentara tersebut kembali ke Damaskus. Penggantinya adalah Muawiyah II, putera Yazid, tetapi kurang tertarik dengan kekuasaan. Setelah beberapa bulan memangku jabatan kekhalifahan, Muawiyah II meninggal dunia. Dialah khalifah terakhir dari keluarga Abu Sufyan. Muawiyah II tidak punya putera, saudaranya Khalid ibn Yazid diabaikan oleh Marwan yang diakui oleh para pembesar dari kalangan Umayyah. Karena, saat itu negara membutuhkan seorang penguasa yang kuat.12 Melihat situasi dan kondisi negara akibat naiknya Marwan sebagai khalifah, yang mengakhiri kekuasaan dari keluarga Abu Sufyan, maka ia dengan segera mensahkan Abdul Malik sebagai pewaris tahta. Abdul Malik 685-705 M setelah menjadi khalifah, ia menghadapi banyak tantangan. Satu sisi muncul Muchtar sebagai pembela kematian Husein di Karbala, di sisi lain musuh utama Umayyah, Abdullah ibn Zubair masih menjadi khalifah yang mengendalikan Mekah dan Madinah (selama 9 tahun). Sementara itu orang Kufah juga menolak kedaulatannya. Di sisi lainnya lagi, Khawarij dan orang Syiah menggoyahkan pemerintahan Umayyah. Semua lawan ia hadapi dengan cara yang berbeda dan akhirnya dapat membasmi kesemuanya.
11 12

M. Abdul Karim, Op.Cit. h. 117-118. Ibid, h. 118.

Keberhasilan Abdul Malik yang terbesar jasanya adalah mengangkat Gubernur Jenderal Hajjaj ibn Yusuf. Saat menjelang wafat, Abdul Malik meninggalkan negara yang aman tenteram dan makmur, maka ia dijuluki sebagai pendiri Dinasti Umayyah yang kedua. Periode Abdul Malik mulai memasuki periode keemasan Dinasti Umayyah. Ia mengadakan berbagai pembaruan, di antaranya; menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals, dan pembaruanpembaruan lainnya.13 Setelah Abdul Malik wafat, Al-Walid I menjadi khalifah (705-715 M). Pada periodenya arus ekspansi Islam mencapai puncaknya yang telah dimulai pada masa al-Khulafa al-Rasyidun. Kebijakan pertama al-Walid I adalah memisahkan kembali wilayah Afrika Utara serta alMaghrib (Maroko) dari Mesir, jadi kedua wilayah tersebut berdiri sendiri yang diperintah oleh seorang gubernur yang diangkat oleh khalifah. Perlu dicatat, bahwa pada masa al-Walid I seluruh negara dibagi menjadi tiga wilayah besar Jazirah Arab dan sekitarnya dengan Gubernur Jenderal Umar II (Umar ibn Abdul Aziz), al-Masyriq (front Timur) dikepalai oleh Hajjaj ibn Yusuf, dan al-Maghrib (front Barat) di bawah komando Musa ibn Nusair. Masing-masing Gubernur Jenderal itu membawahi beberapa provinsi/gubernur. Walaupun al-Walid I kurang menguasai strategi perang, namun keberhasilannya dalam perluasan peta Islam terdorong oleh adanya para jenderal yang tidak tertandingi kemampuannya pada awal abad ke-8 M, seperti Musa ibn Nusair, Tariq ibn Ziyad, Qutaibah ibn Muslim, Hajjaj ibn Yusuf, dan Muhammad ibn Qasim.14 Periode al-Walid I terkenal dengan negara yang damai dan rakyat yang memperoleh jaminan keamanan.15 Setelah al-Walid I wafat, saudaranya, Sulaiman naik tahta sesuai dengan wasiat ayah mereka, Abdul Malik. Era Sulaiman dikenal kurang baik dibandingkan dengan pendahulunya (alWalid) dan penggantinya (Umar II). Para jenderal yang mengharumkan nama Islam di tiga benua semasa pendahulunya, justru dipecat oleh Sulaiman dengan tidak hormat. Seperti Musa dan Tariq dipecat dan diambil kekayaan mereka dengan alasan mereka tidak patuh perintah Sulaiman. Putera Musa, al-Aziz dibunuh dengan alasan menikahi janda Roderic. Kemenakan Musa, al-Ayub dipecat. Ibn Qasim dibunuh secara keji karena ia adalah kemenakan dan menantu Hajjaj. Hajjah pernah mengusulkan kepada al-Walid untuk pembatalan wasiat Abdul Malik dan mengangkat

13 14

Ibid, h. 118-119. Ibid, h. 120. 15 Ibid, h. 121.

puteranya Walid sendiri sebagai khalifah, namun al-Walid wafat dan Hajjaj pun wafat sebelum al-Walid wafat, maka kemarahannya jatuh kepada keluarga Hajjaj.

Prestasi Sulaiman yang patut dicatat, yaitu ia membatalkan wasiat ayahnya dan mengangkat Umar II (Umar ibn Abdul Aziz) sebagai penggantinya.16 Semula Umar II dengan tegas menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh pendahulunya, Sulaiman. Karena terus didesak oleh kaum muslim, akhirnya ia menerima amanah umat tersebut yang menurutnya merasa tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang yang baru menerima anugerah jabatan, pasti seseorang mengucapkan alhamdulillah, sebagai anugerah Tuhan, justru Umar II sebaliknya; ia mengucap inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, seperti orang yang seketika itu ditimpa musibah. Setelah menjadi khalifah, ia kirim segala kekayaan ke kas negara, termasuk kekayaan pribadi ibu Negara, Fatimah binti Abdul Malik yang mendapat pemberian dari ayahnya. Di dalamnya terdapat kalung emas yang bernilai 10.000 dinar emas. Khalifah beralasan bahwa selama seluruh wanita negeri ini belum memiliki kemampuan memakai perhiasan seharga kalung emas yang dimiliki ibu negara, maka baginya dilarang Umar II untuk memakainya.17 Kebijakan Umar II dalam menata administrasi pemerintahan terfokus dalam dua karakteristik. Pertama, memberikan jaminan keamanan bagi rakyat, demi mewujudkan ketenangan dan keamanan, ia meninggalkan kebijakan-kebijakan para pendahulunya yang memfokuskan perluasan dan penguasaan negara. Kedua, demi mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik ia pribadi maupun kebijakan pemerintah yang netral dan berada di atas golongan, ras, dan suku. Saat Umar II berkuasa, situasi dan kondisi pemerintahan Umayyah dan sistem keuangan negara berada dalam pintu politik yang gawat dan riskan. Atas dasar kekuasaan Arab atas mawali dan dzimmi, menjadi pokok pijakan pemerintah bani Umayyah. Mereka menerapkan kebijakan pajak; kharaj, jizyah, dan pajak-pajak lain yang tidak manusiawi.18 Umar II menjadi khalifah, mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk memperbaiki dan mengatur urusan dalam negeri. Kebijakan yang ditetapkan; mengatur para penguasa dan pejabat daerah. Netral dan adil dalam pemberian kesamaan hak dan kewajiban kepada orang Arab dan mawali. Mereka yang tidak cakap, tidak mampu, ber-KKN, dan lalim, serta tidak memihak

16

17

Ibid, h. 122. Ibid, h. 123. 18 Ibid, h. 124-125.

kepada kepentingan rakyat, dipecat tanpa pandang bulu, dan mengangkat orang saleh dan jujur, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, serta berada di atas golongan, suku, dan ras.19 Bukan hanya memecat dan menghukum pejabat negara yang korup, tetapi kebijakan Umar II lebih dipusatkan untuk membangun negaranya secara moril. Ialah satu-satunya khalifah yang mampu meredam konflik antar golongan dan sekte. 20 Sebelum wafatnya, Umar II pun sudah memikirkan penggantinya yang lain daripada yang diwasiatkan Abdul Malik yakni Yazid ibn Abdul Malik. Ia sadar, Yazid tidak layak untuk memangku jabatan itu, tetapi sebelum ia melakukan apa yang sebaiknya dilakukannya dalam hal ini, pada 9 Februari 720 M, maut telah menyambutnya.21 Setelah Umar II wafat, penggantinya Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M), menyuruh isteri Umar II agar mengambil kembali kekayaannya dari kas negara yang telah dimasukkan suaminya. Namun, ia menolak karena merasa melanggar perintah suaminya. Sebagai penguasa, Yazid II sangat lemah dan tidak ada kemampuan untuk memerintah. Begitu ia naik tahta, seluruh negeri meledakkan kobaran api pemberontakan. Konflik antar suku dan ras yang paling menonjol terjadi di masanya yang menyebabkan Dinasti Umayyah sudah berada di ambang pintu kehancuran, ditambah lagi dengan gerakan Abbasiyyah yang sudah terjadi di mana-man. Akhirnya dalam kondisi kacau Yazid II wafat (724 M). Sebelum Yazid II wafat, telah ditetapkan saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik menjadi penggantinya. Saat Hisyam memangku jabatan, negara berada dalam keadaan serba kacau dan tidak aman sama sekali, namun ia-lah penguasa Umayyah terakhir yang masih dapat menghidupkan kembali keamanan dan ketentraman di negerinya. Jadi Hisyamlah khalifah Umayyah yang terbaik pasca Umar II. Para kepada daerah yang ditetapkan olah Yazid II yang korup dan lemah diganti dengan para gubernur yang memiliki kecakapan, baik di front Timur maupun di front Barat, daerah-daerah yang telah lepas dari naungan kekhalifahan Umayyah dapat ditaklukkan kembali. Hanya saja, tentaranya yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi, akhirnya gagal di Tours (Perancis) pada 732 M. Setelah wafatnya Hisyam (743 M), --Walid II ibn Yazid II menjadi khalifah secara mulus--, maka masa keemasan Dinasti Umayyah pun berakhir. Ia memecat pejabat dan kepala daerah yang diangkat semasa pemerintahan pendahulunya dan ia ganti dengan kemauan dan pilihannya sendiri. Hal ini menyebabkan negara yang ditinggal dalam keadaan aman, menjadi
19

20

Ibid, h. 125. Ibid, h. 126. 21 Ibid, h. 127.

serba kacau. Keadaan ini menyerupai dengan kebijakan Umar II yang populis dan manusiawi digantikan oleh ayahnya, Yazid II. Al-Walid berusaha mengangkat kedua puteranya, yang masih belum baligh, menjadi putera mahkota. Hal ini menyebabkan terjadinya huru-hara dan kondisi negara yang tidak aman. Maka dalam kondisi ini, para bangsawan Umayyah turut campur tangan dan mengangkat Yazid III, cucu mendiang khalifah Abdul Malik menjadi khalifah Dinasti Umayyah XII (744 M). Yazid III membuat beberapa rencana yang baik, namun kesulitannya karena ia naik tahta atas dukungan suku Yaman membuat suku Mudhar gusar. Di samping itu, Yazid III tidak percaya dengan takdir buta yakni nasib manusia ditentukan oleh Allah (faham Jabariyah), maka ia dimusuhi oleh para ulama ortodoks. Akhirnya seluruh negeri menjadi kacau. Di sisi lain, gerakan Abbasiyyah sudah mulai terang-terangan dan menggoyahkan kedaulatan Dinasti Umayyah. Sementara Marwan II mulai mengampanyekan, dialah yang berhak sebagai khalifah, karena ia sebagai anak dari pendiri Umayyah (garis Hakam) setelah Muawiyah II (garis Abu Sufyan) wafat. Saat itu Yazid III jatuh sakit, maka kaum kerabatnya mengangkat Ibrahim, saudara khalifah menjadi penguasa XIII dari dinasti ini. Sebenarnya Ibrahim (744 M) hanya berkuasa sebentar. Oleh karena itu, sebagian sejarawan tidak mengakui Ibrahim sebagai khalifah, karena secara resmi tidak pernah diadakan acara pengukukan dan pengakuan rakyat. Setelah mendengar kematian Yazid III, Marwan II langsung menyerang dengan jumlah tentara yang banyak berhadapan dengan tentara Ibrahim di Lebahah yang terletak antara Damaskus dan Balbek. Ia berhasil mengalahkan pasukan Ibrahim. Akhirnya, Marwan yang semula gubernur Harran, dinobatkan menjadi khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah (744-750 M). Pada masa Marwan II keadaan negara serba sulit. Satu sisi terjadinya perang saudara dan persolah intern istana. Di sisi lain, ia menghadapi perlawanan dari berbagai pihak di antaranya pemberontakan di Palestina. Selain gencarnya gerakan Abbasiyyah, muncul Ibn Muawiyah, cicit dari Imam Jafar. Banyak pengikut Ibn Muawiyah yang mengakuinya sebagai khalifah yang akhirnya dengan susah payah dapat dikalahkan oleh Marwan (744 M). Golongan khawarij, di bawah pimpinan al-Zahak, menolak kedaulatan Marwan, namun akhirnya al-Zahak dan pasukannya juga dapat dikalahkan. Di samping itu, di Asia Kecil maupun di Syam, orang Yunani membuat onar dan menyerang kedua wilayah tersebut karena mereka memanfaatkan situasi negara yang dalam keadaan serba gawat.22

22

Ibid, h. 136-138.

10

Akhinya pada tahun 749 M, Marwan II dan tentaranya harus menghadapi kesatuan tentara Abbasiyah yang di dalamnya terdiri dari orang Syiah, Khawarij, dan kelompok serta suku-suku yang lain, termasuk mawali dari Afrika Utara yang selama ini disingkirkan para khalifah Umayyah. Dengan gabungan tentara itu, Abu al-Abbas mengangkat pamannya, Abdullah sebagai panglima perang. Pasukan Abbasiyah yang berjumlah besar berhadapan dengan tentara Marwan II di tepi sungai Dzab. Peperangan ini dinamakan Dzab II. Peperangan Dzab I terjadi pada masa Abdul Malik ibn Marwan ketika tentaranya mengahadapi Muchtar al-Tsaqafi (686 M) yang gencar melawan Umayyah untuk membalas dendam kematian Husein, cucu Nabi SAW. Pasukan Marwan II kalah, maka pada bulan April 750 M, Dinasti Abbasiyah resmi diumumkan dengan Abu al-Abbas Saffah sebagai khalifah pertama.23

C. Kemajuan-kemajuan yang Pernah Dicapai 1. Kemajuan di Bidang Administrasi Pemerintahan

Masalah utama yang dihadapi umat islam setelah berhasil menguasai wilayah yang luas yang terjadi semenjak masa Nabi hingga masa kekuasaan Bani Umayyah adalah mekanisme pemerintahan beserta perangkat yang diperlukan untuk kelancarannya. Perpindahan ibukota dari Kufah ke Damaskus memungkinkan terbentuknya sistem sentralisasi pemerintahan, karena Damaskus terletak di tengah wilayah Imperium Umayyah. 24 Hal ini ditambah lagi bahwa wilayah kekuasaan Islam meluas ke wilayah timur, sampai ke daerah Anak Benua India (sekarang wilayah Pakistan) dan perbatasan Tiongkok. Sementara itu wilayah di utara meliputi Aleppo, Asia Kecil (Turki), Cesnia (Cechnya), dan Armenia. Wilayahnya sampai ke timur laut, yaitu di Kawasan Seberang Sungai (ma Wara an-Nahr), termasuk Negara-negara yang sekarang disebut Turkmenistan, Kirgyztan, Uzbekistan, Kazakhstan, Afghanistan, dan Iran. Di bagian barat, Islam menguasai seluruh wilayah Afrika Utara, sampai ke Semenanjung Iberia (kini Spanyol dan Portugal), sebagian wilayah Prancis Selatan, serta pulau-pulau di Laut Tengah. 25 Hal-hal tersebut di atas menuntut perlunya perkembangan dan kemajuan administrasi pemerintahan yang kokoh. Adapun beberapa kemajuan di bidang administrasi pemerintahan pada masa dinasti Umayyah di antaranya sebagai berikut:
Ibid, h. 138. Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 330 25 Fahsin M. Faal, Op.Cit., h. 14.
24 23

11

a. Secara wilayah administrasi, kerajaan dibagi ke dalam beberapa provinsi, sesuai dengan pembagian pada masa imperium Bizantium dan Persia. Provinsi-provinsi itu adalah: (1) Syria-Palestina; (2) Kufah, termasuk Irak; (3) Bashrah, yang meliputi Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, mungkin ditambah Nejed dan Yamamah; (4) Armenia; (5) Hijaz; (6) Karman dan wilayah di perbatasan India; (7) Mesir; (8) Afrika kecil; (9) Yaman dan kawasan Arab Selatan. Secara bertahap beberapa provinsi digabung, sehingga tersisa lima provinsi yang masing-masing diperintah oleh seorang wakil khalifah.26 b. Pembentukan diwan-diwan (semacam departemen) yang pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz telah berjumlah sebanyak lima diwan. Pertama, Diwan al-Jund menangani urusan kemiliteran. Kedua, Diwan al-Rasail menangani urusan administrasi suratmenyurat. Ketiga, Diwan al-Barid menangani urusan pos. Keempat, Diwan al-Kharaj menangani urusan keuangan. Dan kelima, Diwan Khatam menangani urusan dokumentasi. Muawiyah merupakan penguasa muslim pertama yang merancang sistem pemerintahan ini. Diwan pertama dan Kedua telah dibentuk pada masa Umar Ibn Khattab. Diwan ketiga yakni Diwan al-Barid didirikan oleh Muawiyah, kemudian Abdul Malik

mengembangkannya menjadi sistem jaringan yang tersusun rapi ke seluruh wilayah negeri. Karena urusan pemerintahan semakin kompleks, Umar Ibn Abdul Aziz mendirikan diwan yang keempat dan kelima yakni Diwan al-Kharaj dan Diwan al-Khatam.27 Namun untuk yang terakhir ini Syalabi dan Fahsin M. Faal berpendapat bahwa diwan tersebut didirikan oleh Muawiyah.28 c. Menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara dan juga dalam catatan administrasi publik. Pada masa Nabi seluruh dokumen yang berkaitan perikehidupan bangsa Arab dicatat dalam bahasa Arab. Setelah bangsa Persia, Syiria, dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam, Khalifah Umar memperkenankan dokumen yang berkaitan dengan negeri-negeri tersebut tetap dicatat dalam bahasa mereka masing-masing. Akibatnya departemen keuangan negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non-muslim yang memahami bahasa mereka. Abdul Malik menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintah. Pertama kali kebijakan ini diterapkan di

Philip K. Hitti, Op.Cit., h. 280; bandingkan juga dengan Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 331-332 Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 330-331. 28 Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah & kebudayaan Islam 2, (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2002) h. 34; Fahsin M. Faal, Op.Cit., h. 5.
27

26

12

Syria dan Irak, belakangan juga diterapkan di Mesir dan Persia. 29 Ira M. Lapidus menyebutnya sebagai perkembangan identitas organisasional. Tambahnya, Sebuah generasi baru dari klien-klien Arab mencapai kekuasaan yang berpengaruh, sekalipun mereka hanya dididik menjadi pegawai dan agar setia kepada khalifah. Kelompok elite dari kalangan ahli tulis dan keturunannya ini memperkuat tulang punggung kesekretariatan imperium Arab-Muslim sampai abad kesepuluh.30

2. Kemajuan di Bidang Ekonomi Kemajuan di bidang ekonomi yang terbesar pada masa dinasti Umayyah adalah mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals.31 Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik, di mana untuk pertama kalinya khalifah mencetak mata uang logam sendiri menggantikan mata uang Bizantium dan Sasania. Mata uang Arab yang baru ini menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian, dan memperkenalkan model koin terbuat dari emas dan perak yang bertuliskan huruf Arab sebagai simbol kedaulatan negara, dan kemerdekaan
32

dari

kesamaan

kedudukan

dengan

beberapa

imperium

yang

terdahulu. Selain itu, juga telah dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan dan badan pertahanan negara.33

3. Kemajuan di Bidang Ilmu dan Kebudayaan a. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan Nabi Muhammad tidak hanya menganjurkan kegiatan pendidikan, melainkan beliau juga menjadikan pendidikan sebagai media penyebaran ajaran agama. Nabi menatar instruktor lalu mengirimkan ke berbagai penjuru Arab. Khulafa al-Rasyidun mengikuti jejak Nabi dan mengembangkan cakupan pendidikan. Selama masa itu cakupan pendidikan meliputi Tafsir, Hadits, Fiqh, dan pendidikan santri pra-Islam.

Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 283-284; lihat juga Philip K. Hitti, Op.Cit., h. 270; dan Fahsin M. Faal, Op.Cit., h. 11. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ke Satu dan Dua, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2000) (Judul Asli: A History of Islamic Societies, penerjemah: Ghufron A. Masadi), h. 87. 31 Fahsin M. Faal, Op.Cit. 32 Ira M. Lapidus, Op.Cit., h. 92-93. 33 Ajid Thohir, Op.Cit., h. 37
30

29

13

Cabang-cabang pendidikan berkembang semakin banyak pada masa Dinasti Umayyah, seperti pendidikan sejarah, tata bahasa, geografi, dan berbagai sains, sekalipun pada masa awal dinasti ini hanya terdapat satu lembaga pendidikan di Badira (perkampungan di dekat Madinah) di mana kalangan bangsawan Arab dari berbagai penjuru datang mempelajari bahasa dan pembacaan syair. Mereka juga diajari berenang, memanah dan merangkak. Orang-orang terpelajar pada saat itu disebut kamil. Lama-lama sistem pendidikan berkembang dan akhirnya masyarakat umum terlibat dalam kegiatan kependidikan. Selanjutnya diperkenalkan tata tertib mempelajari kitab suci al-Quran di masjid-masjid, dan diperkenalkan juga sistem penunjukan guru-guru privat untuk memberi pelajaran al-Quran di rumah-rumah. 34 Ibu kota dinasti Umawiyyah pindah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam yang telah penuh dengan peninggalan kebuyaan maju sebelumnya. Daerah kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa al-Rasyidun, telah pula menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurasan, terus ke timur sampai ke benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahpur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster. Setelah masuk islam para ilmuwan itu telah memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istana khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka, sedikit banyak, mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.35 Adapun kemajuan yang tampak di bidang ilmu pengetahuan pada masa dinasti Umayyah di antaranya ialah: 1) Penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Usaha ini dimulai oleh Khalid Ibn Yazid yang merupakan cucu dari Muawiyah. Prof. K. Ali mengatakan, Khalid Ibn Yazid merupakan pakar sains kimia dan kedokteran yang menulis beberapa karya dalam bidang ini. Ia diduga sebagai orang pertama yang menerjemahkan bahasa Yunani ke bahasa Arab.36 Sementara Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto berpendapat bahwa Khalid hanyalah memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan
34

35

Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 336-337. Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Op.Cit., h. 37-38. 36 Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 338.

14

kedokteran ke dalam bahasa Arab. 37 Namun demikian, kedua-duanya sepakat bahwa penerjemahan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Arab adalah merupakan inisiatif dari Khalid Ibn Yazid. 2) Pendirian rumah sakit yang dikenal dengan sebutan bimaristan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat dan perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat studi kedokteran. Rumah sakit ini didirikan oleh khalifah al-Walid Ibn Abdul Malik. 38 3) Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi (secara tidak resmi sebenarnya sudah ada pribadi-pribadi yang sejak zaman sahabat telah membukukannya)39 4) Kajian ilmiah tentang bahasa dan tata-bahasa Arab. Termasuk di dalamnya pembaharuan ragam tulisan bahasa Arab. Kebijakan ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah Abdul Malik. Bahwa di dalam bahasa Arab terdapat dua kelemahan. Pertama, bahasa Arab hanya mengandung huruf konsonan saja, yang mana setiap hurufnya dapat diucapkan dalam beberapa bunyi vocal. Hal ini menyulitkan bagi non-Arab dalam memahami dan mengucapkan bahasa Arab. Kelemahan kedua adalah bahwa beberapa huruf Arab mempunyai kesamaan bentuk, seperti antara huruf dal dan dzal, shad dan dhad, sin dan syin, dan lain-lain. Hajjaj ibn Yusuf, pejabat tinggi Abdul Malik yang mahir dalam seni menulis bahasa Arab, memperkenalkan tanda vokal dan menerapkan tanda-tanda titik untuk membedakan beberapa huruf yang sama bentuknya. Pembaharuan ini menjadikan bahasa Arab lebih sempurna dan sekaligus menghilangkan kesulitan bagi pembaca luas, khususnya bagi mereka yang berkebangsaan non-Arab.40 Seiring dengan berkembangnya kajian tentang bahasa Arab, berkembang pula kajiankajian keislaman seperti kajian tentang tafsir al-Quran, dan juga Hadits nabi Muhammad saw. Namun yang cukup mengherankan, justru para ilmuwan yang muncul para masa Dinasti Bani Umayyah ini kebanyakan adalah dari kalangan mawali (non-Arab). Di antara mereka ialah Sibawaihi, al-Farisy, dan al-Zujaj dalam bidang nahwu; al-Zuhry, Abu Zubair Muhammad Ibn Muslim, Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam bidang Hadits; Ikrimah dan Mujahid Ibn Jabbar dalam bidang tafsir.41

37

38

Lihat Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Op.Cit., h. 39. Ibid. 39 Ibid, hal 40. 40 Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 283-285. 41 Lihat Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Op.Cit. h. 44.

15

b. Kemajuan di Bidang Kebudayaan Bidang Arsitektur Penguasa dinasti Umayyah, pada umumnya, mahir dalam seni arsitektur. Mereka mencurahkan perhatian demi kemajuan ini. Hasilnya adalah sejumlah bangunan megah. Masjid Baitul Maqdis di Yerusalem yang terkenal dengan Kubah Batunya (Qubbah alShakhra) didirikan pada masa Abdul Malik tahun 691 M. merupakan peninggalan arsitektur terindah. Ia adalah masjid pertama yang ditutup dengan kubah di atasnya.42 Mihrab, cerukan pada dinding masjid sebagai penunjuk arah salat, belakangan ditambahkan dalam struktur bangunan masjid yang meniru arsitektur gereja. Al-Walid dan gubernurnya, Umar ibn Abdul Aziz, biasanya dipandang sebagai orang pertama yang memperkenalkan struktur tersebut, ada pula yang menisbatkannya kepada Muawiyah. Masjid Madinah adalah masjid pertama yang memiliki mihrab. Inovasi sekuler di dalam masjid yang dinisbatkan kepada Muawiyah adalah pembuatan maqshurah, sebuah ruangan berpagar di dalam masjid sebagai tempat khusus untuk khalifah. Seperti halnya mihrab, menara juga baru diperkenalkan pada masa dinasti Umayyah. Dengan demikian, Syria merupakan tempat kelahiran menara masjid. Di sana, menara mengambil bentuk menara jam setempat, atau menara gereja, yang berbentuk segi empat.43 Pada tahun 705, putra Abdul Malik, al-Walid, mengambil alih kawasan gereja Romawi di Damaskus yang dibangun untuk Santo Yahya, pada mulanya merupakan kuil Jupiter, dan membangun masjid besar yang diberi nama Umayyah. 44 Dr. Syalabi menjadikannya sebagai peninggalan abadi al-Walid dalam pembangunan, beliau menambahkan, Masjid ini dipandang sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Bahkan sampai dewasa ini masjid tersebut masih tetap berbicara tentang kebesaran al-Walid dan kesungguhannya bekerja.45

Prof. K. Ali, Op.Cit., h. 338-339. Philip K. Hitti, Op.Cit., h. 327-328. 44 Ibid., h. 332. 45 Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah & kebudayaan Islam 2, Op.Cit., h. 73.
43

42

16

Maka, dengan peninggalannya tersebut ditambah lagi dengan peninggalanpeninggalan lain di bidang arsiterkur, Hitti menyebutnya sebagai arsitek terbesar Umayyah. 46 Bidang Senirupa dan Musik Gambaran paling awal dari senirupa Islam adalah lukisan di Qushayr Amrah, yang menampilkan karya para pelukis Kristen. Pada dinding-dinding tempat peristirahatan dan pemandian al-Walid I di Transyordania terdapat gambar enam raja, termasuk Roderick, raja Visigot (Gotik Barat) Spanyol yang terakhir. Qayshar (Caesar) dan Najasyi (Najasi) dilukis di atas dua gambar itu, dan Chosroes (dalam bahasa Yunani) berada di atas yang ketiga. Pengaruh Sasania terlihat jelas dalam lukisan. Gambar-gambar simbolis lainnya melukiskan Kemenangan, Filsafat, Sejarah dan Puisi.47 Adapun dalam bidang musik, tercatat bahwa generasi pertama biduan Islam, yang dipelopori oleh Thuways, terdiri dari orang-orang permissif. Thuways memiliki banyak murid, yang paling terkenal di antaranya adalah Ibn Suraij (634-726), yang dipandang sebagai salah satu dari empat penyanyi terbesar Islam. Di samping tenar karena memperkenalkan suling Persia, sebuah riwayat juga menyebutnya sebagai orang pertama yang melibatkan anak-anak dalam pertunjukan musik. Ibn Suraij adalah seorang merdeka, keturunan Turki, dan karirnya didukung oleh Sukaynah, anak al-Husayn yang terkenal dengan kecantikannya. Ia memiliki banyak guru, di antaranya adalah seorang mawla Mekah kulit hitam bernama Said ibn Misjah (atau Musajjah, w. 714). Said, musisi pertama Mekah dan mungkin yang terbesar pada masa dinasti Umayyah, diriwayatkan telah melakukan perjalan ke Syria dan Persia, dan menjadi orang pertama yang menerjemahkan lagu-lagu Bizantium dan Persia ke bahasa Arab.48

47

Lihat Philip K. Hitti, Op.Cit., h. 276. Ibid., h. 339. 48 Ibid., h. 343.

46

17

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Dari pemaparan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa kemajuan-kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Bani Umayyah setidaknya dapat dibagi ke dalam tiga kategori; administrasi pemerintahan, ekonomi, serta ilmu dan kebudayaan. Adapun kemajuan-kemajuan tersebut antara lain: 1. Kemajuan di bidang administrasi di antaranya ialah pembagian wilayah adminsitrasi kerajaan ke dalam beberapa provinsi, terbentuknya diwan-diwan (semacam departemen); diwan alJund (urusan kemiliteran), diwan al-Rasail (urusan administrasi surat-menyurat), diwan alBarid (urusan pos), diwan al-Kharaj menangani urusan keuangan, serta diwan Khatam (urusan dokumentasi), ditambah lagi dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara dan juga dalam catatan administrasi publik. 2. Kemajuan di bidang ekonomi yang terbesar pada masa dinasti Umayyah adalah mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan. 3. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan di antaranya meliputi: penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, pembukuan hadits-hadits Nabi, pendirian rumah sakit yang dikenal dengan sebutan bimaristan; yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat dan perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat studi kedokteran, serta kajian ilmiah tentang bahasa dan tata-bahasa Arab, termasuk di dalamnya pembaharuan ragam tulisan bahasa Arab.

18

4. Adapun kemajuan di bidang kebudayaan meliputi kemajuan di bidang arsitektur, seni rupa dan musik. Peninggalan-peninggalan arsitektur Dinasti Umayyah yang menunjukkan kemajuan di bidang ini di antaranya adalah: pembuatan maqshurah, sebuah ruangan berpagar di dalam masjid sebagai tempat khusus untuk khalifah yang dinisbatkan kepada Khalifah Muawiyah, Qubbah al-Shakhra (Kubah Batu) pada Masjid Baitul Maqdis di Yerusalem oleh Khalifah Abdul Malik, Masjid Umayyah yang dibangun oleh Khalifah al-Walid, serta pembuatan Mihrab, cerukan pada dinding masjid sebagai penunjuk arah salat, belakangan ditambahkan dalam struktur bangunan masjid yang meniru arsitektur gereja. Al-Walid dan gubernurnya, Umar ibn Abdul Aziz, biasanya dipandang sebagai orang pertama yang memperkenalkan struktur tersebut. Dalam bidang senirupa ditandai dengan terdapatnya lukisan-lukisan di Qushayr Amrah, yang menampilkan karya para pelukis Kristen. Sedangkan dalam bidang musik, ditandai dengan munculnya generasi pertama biduan Islam, yang dipelopori oleh Thuways. Adapun hikmah yang dapat diambil dari berdiri dan berkembangnya Dinasti Umayyah di antaranya adalah meluasnya penyebaran agama Islam bahkan sampai ke benua Eropa, dan berkembangnya ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan keislaman yang meliputi kajian terhadap al-Quran dan al-Hadits, tafsir, bahasa Arab, dan kajian keislaman lainnya, maupun ilmu pengetahuan umum seperti ilmu kimia dan kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), diterjemahkan dari buku aslinya, A Study of Islamic History, Penerjemah: Ghufron A. Masadi, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2003

Armstrong, Karen. Sejarah Islam Singkat, Yogyakarta: Elbanin Media, 2008, Penerjemah: Ahmad Mustofa dari buku asli Islam A Short Story, London: Phoenix Press, 2002.

19

Fahsin, M. Faal. Sejarah Kekuasaan Islam Jakarta: CV. Artha Rivena, 2008.

Hitti, Philip K. History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ke Satu dan Dua,diterjemahkan dari buku aslinya, A History of Islamic Societies, Penerjemah: Ghufron A. Masadi, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2000

Syalabi, Ahmad. Sejarah & kebudayaan Islam 2, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru,

2002.

Sunanto, Hj. Musyrifah. Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Timur: Penada Media, 2003.

Jakarta

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

20

You might also like