You are on page 1of 16

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Sejak berlangsungnya konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah lingkungan hidup nampaknya terus berkembang "menjadi isu global ". Negara-negara industri maju, khususnya di Amerika dan Eropa semakin meningkat kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan di seluruh bagian dunia. Sebaliknya negara-negara berkembang juga terpacu untuk terus menerus meningkatkan upaya dalam menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing 1. Namun, pada perkembangannya, ecolabeling ini juga menunai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro bergabung dalam satu wadah organisasi dan mendukung adanya ecolabelling yang mengelolah barang-barang industrial dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan dampaknya. Dalam hal ini, konsumen ditawarkan produk-produk yang ramah lingkungan dari proses produksi hingga proses penguraian ketika berakhir di pembuangan. Sedangkan, dari pihak yang kontra, adalah negara- negara yang dirugikan dalam hal ekonomi karena munculnya ecolabelling menjadi sebuah hambatan dagang. Hal ini pula yang menjadi sebuah kasus yang dapat di analisa dalam kerangka political ecology dan revolusi lingkungan. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Bagaimana perkembangan ecolabelling di negara-negara maju dan negara berkembang? 1.2.2 Apakah ecolabelling menjadi sarana dalam perlindungan terhadap lingkungan dari segala bentuk kerusakan lingkungan?

www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSIJAMBIeco/labeling.html/ECOLABELING.htm.

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 GAMBARAN UMUM ECOLABELLING Ekolabel atau ecolabelling merupakan salah satu syarat yang diterapkan pada perdagangan bebas dunia pada abad 21, sebagai tanda yang menerangkan bahwa produksi tersebut memenuhi persyaratan yang tidak merusak lingkungan. Barang atau produk yang tidak memiliki ecolabellingakan ditolak oleh negara konsumen, sehingga tidak dapat dipasarkan. Label yang terpasang tersebut juga menyatakan bahwa produk tersebut ramah lingkungan, dalam arti produk juga menyatakan bahwa produk tersebut ramah lingkungan, dalam arti produk dan proses produksinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. ecolabelling merupakan salah satu alat untuk pengawasi perdagangan sehingga produk yang diperdagangkan tidak akan merusak lingkungan. Ecolabelling timbul sebagai akibat desakan dari masyarakat konsumen yang semakin sadar akan lingkungan dan membutuhkan produk yang bersih dan tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Ketidakpedulian suatu negara terhadap ecolabelling akan mempersempit pangsa pasar produk-produk ekspornya karena semakin lama semakin banyak negara yang menerapkan standar tersebut. Sesungguhnya juga ecolabelling digunakan dengan maksud untuk mempengaruhi konsumen dalam membeli produk yang diinginkannya, sehingga akhirnya akan mempengaruhi pasar dan mempengaruhi produksi dan sistem produksi. Dengan demikian ecolabelling ini merupakan salah satu pendekatan begi pembanguna yang berkelanjutan. Pendekatan dengan ecolabelling ini telah diterapkan di beberapa negara dan akhir-akhir ini digunakan oleh blok-blok perdagangan seperti Masyarakat Ekonomi Eropa, General Agreement on tariffs and Trade, North America Free Trade, Asian Pasific Economic Community untuk mengatur perdagangan internasional. Gagasan mengenai ecolabelling ini akan mencakup seluruh daur hidup komoditi mulai dari lahir (saat barang itu dibuat) sampai ke kuburan

(saat barang tidak dipakai lagi), atau istilahnya, from cradle to grave. Dengan demikian syarat ecolabelling menjadi lebih berat daripada hanya menangani masalah limbah produksi. Para produsen diwajibkan memilih bahan baku yang pengambilannya tidak merusak lingkungan, proses produksi dan teknologinya juga tidak mencemari lingkungan dan setelah produk habis dipakai tidak juga merusak lingkungan. Adapun menurut Daniel C. Esty dalam bukunya yang berjudul Greening the GATT, program ecolabelling yag tersusun baik harus mencakup hal -hal berikut : a. harus mencakup spektrum yang luas meliputi isu-isu yang berhubungan dengan produk-produk yang telah ada dalam masyarakat dan digunakan oleh masyarakat. Dalam kasus produksi kayu tropis, hal ini menyangkut perhatian terhadap peranan hutan dalam menekan pencemaran karbon, erosi tanah, pencemaran air, dan hilangnya plasma nutfah. b. pemberian label harus mempertimbangkan pula dampak daur hidup produk, dan tidak cukup untuk satu jenis pencemaran atau satu kriteria konservasi. Sebaiknya kriteria diberikan untuk setiap jenis pencemaran secara terpisah dan tidak dijadikan satu indeks. Indeks tersebut harus ditentukan secara ilmiah dan bersifat kuantitatif c. kriteria yang digunakan harus mempertimbangkan perbedaan dalam sumberdaya

alam dan lingkungan yang ada di masing-masing negara. Sebagai misal ketentuan agar produk kertas di indonesia mengandung bahan yang dapat didaur ulang. Padahal sebagian besar penduduk dalam keadaan miskin, adalah tidak tepat. Sebaliknya negara lain mengikuti ketentuan perlunya daur ulang bahan-bahan kertas yang dihasilkan atau yang diimpor. d. konsep baku mutu untuk ecolabelling harus dapat dikomentari oleh berbagai pihak

yang akan terlibat dalam perjanjian lingkungan internasional mengenai ecolabelling. Untuk melaksanakan sistem ecolabelling ini diperlukan suatu lembaga yang independen sifatnya. Lembaga ecolabelling ini harus mempunyai kredibilitas tinggi sehingga apa yang diputuskannya akan diterima oleh masyarakat luas. 2.2 NEGARA PENGEMBANG ECOLABELLING

Salah satu negara pelopor adanya ecolabelling adalah negara Jerman yang terdapat Blue Angel pada tahun 1977. Sebagai organisasi yang mendorong ecolabelling Blue Angel berkampanye tentang ecolabelling dan mengajak beberapa perusahaan secara sukarela untuk menggunakan label ramah lingkungan ini. Dalam prakteknya, secara garis besar ekolabel terdiri dari tiga tipe berikut: Tipe 1: voluntary, multiple criteria based practitioner programs Tipe 2: self declaration environmental claims Tipe 3: quantified product information label Dari tiga tipe yang ditentukan tersebut, ecolabelling semakin berkembang di seluruh di dunia. Salah satu organisasi yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dan kerjasama antar lembaga penyelenggara program ekolabel terutama tipe 1 yaitu Global Ecolabelling Network. Ecolabelling tipe 1 merupakan ecolabelling yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang independen untuk melihat jalannya sebuah produksi barang. Prinsip yang digunakan oleh Global Ecolabelling Network ini adalah from cradle to grave yang bersifat multi criteria. Beberapa tahap yang masuk di ekolabel tipe 1 ini adalah sebagai berikut: Pemilihan kategori produk dan jasa Pengembangan dan penetapan kriteria ekolabel Penyiapan mekanisme dan sarana sertifikasi, termasuk pengujian, verifikasi dan evaluasi serta pemberian lisensi penggunaan logo ekolabel Dari sebuah situs www.ecolabelindex.com, saat ini telah terdapat 377 lembaga ecolabelling di seluruh dunia yang mendukung program dan kebijakan negara-negara untuk penggunaa label ramah lingkungan di tiap produknya. Bahkan dalam sebuah laporan yang berjudul Global Ecolabel Monitor 2010, telah disebutkan bahwa saat ini tidak hanya produsen saja yang harus memahami ecolabelling, tetapi juga para konsumen. Dari konsumen generasi ketiga di Amerika saja hampir sekitar 20-30% membeli produk green yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan elektronik. Dan Beberapa negara yang telah memiliki lembaga ecolabelling adalah sebagai berikut: 1. Energy Star milik Amerika Serikat 2. Blue Angel milik Jerman

3. Green Label milik Singapura 4. European Union Ecolabel Program milik organisasi Uni Eropa 5. Australian Environmental Choice milik Australia, dsb. 2.3 ECOLABELLING DI INDONESIA Dalam bidang kehutanan, isu lingkungan hidup global menjadi salah satu bahan diskusi utama dalam sidang Council ke 8 International Tropical Timber Organization (ITTO) yang berlangsung di Bali pada tahun 1990. Salah satu hasil penting dari sidang tersebut adalah komitmen untuk terlaksananya pengelolaan hutan yang lestari paling lambat pada tahun 2000. Mulai tahun 2000, akan dilakukan pemberian label atau sertifikat bagi produk-produk yang terbuat dari kayu tropis. Label dimaksud adalah pertanda yang memberikan keterangan bahwa kayu yang dipergunakan untuk membuat produk tertentu berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan pihak swasta kehutanan dan lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perkembangan hutan dan kehutanan, segera mempersiapkan diri dan melakukan antisipasi. Tujuan Ecolabelling Ecolabelling secara umum memiliki dua tujuan yaitu: o Bagi konsumen adalah selain memberikan informasi kepada konsumen agar konsumen dapat membuat pilihan berdasarkan informasi tersebut, juga agar konsumen dapat membedakan antara produk ramah lingkungan dengan yang tidak. o Bagi produsen adalah untuk memberi kesempatan kepada produsen mendapat penghargaan atas usahanya memelihara lingkungan hidup dan menciptakan insentif pasar bagi produsen untuk menekan pengeluaran biaya.

Persiapan dan antisipasi ini menyangkut aspek legal dan institusional. Termasuk aspek legal adalah pembuatan peraturan-peraturan, sedangkan aspek institusional menyangkut wadah kelembagaannya. Dibentuklah kemudian apa yang dinamakan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang dipimpin oleh Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prop.Emil Salim.

Sifat kerja Lembaga ini independen, tidak terikat dengan lembaga atau instansi pemerintah manapun, dan diberikan kewenangan untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan pengelolaan kelestarian hutan tropis Indonesia. Sejak dibentuknya LEI pada tahun 1994, lembaga ini aktif melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah perkembangan hutan dan kehutanan. Ekolabel adalah label, tanda atau sertifikat pada suatu produk yang memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis dengan tanpa bertanda ekolabel. Daur hidup produk mencakup perolehan bahan baku ,proses pemuatan, pendistribusian, pemanfaatan, pembuangan serta pendaurulangan. Informasi ekolabel ini digunakan oleh pembeli atau calon pembeli dalam memilih produk yang diinginkan berdasarkan pertimbangan aspek lingkungan dan aspek lainnya. Di lain pihak, penyedia produk mengharapkan penerapan label lingkungan dapat mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian produk. Sertifikasi Ekolabel Indonesia mempunyai visi dan misi yakni perangkat efektif untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, kepentingan masyarakat dan peningkatan efisiensi serta daya saing, kemudian diharapkan terwujudnya sinergi pengendalian dampak negatif sesuai dengan daur hidup produk dan mendorong permintaan dan pemberian terhadap produk ramah lingkungan. Sertifikasi Ekolabel Indonesia dikembangkan berdasarkan acuan yang telah berkembang yakni ISO 14024 (environmental labels and declarations - Type I ecolabelling - Principles and guidelines), ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No 2 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan baku mutu lingkungan), konvensi internasional dan standar-standar terkait dengan produk serta Benchmarking dengan kriteria sejenis pada program ekolabel lainnya. Selanjutnya beberapa kelembagaan dan pihak terkait yang berkepentingan yakni, Kementerian Negara Lingkungan Hidup merumuskan penerapan ekolabel di Indonesia, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengesahkan kriteria (standar) ekolabel, Komite Akreditasi Nasional mengakreditasi lembaga sertifikasi ekolabel (LSE) dan LSE mengevaluasi dan menerbitkan sertifikat ekolabel.

Ekolabel Indonesia lahir dengan latar belakang bahwa tuntutan konsumen pada perdagangan Internasional semakin meningkat, pola konsumsi dunia juga cenderung mengarah pada Green Consumerism, misalnya di Jepang dikenal dengan sistem Green Purchase Law (Green Koo Nyu Hq) yang diberlakukan mulai April 2006, demand series produk yang berbasis pada kayu baik domestik maupun impor harus dilengkapi dokumen asal usul kayu; dan untuk saat ini pengecekan difokuskan pada 5 jenis barang yang bahan dasarnya menggunakan kayu yaitu kertas, alat tulis, bahan Interior dan Furniture. Di Jepang sendiri ekolabel dikenal dengan nama Eco-Mark yang ditangani oleh Japan Environment Association (JEA) dan merupakan anggota Global Ecolabelling Network yang saat ini telah memiliki 26 anggota dari seluruh dunia. Perbedaan skema sertifikasi ekolabel di Indonesia dengan skema lain di luar negeri, misalnya Jepang adalah tidak diperlukannya verifikasi kepada industri di Lapangan. Komite cukup menilai dokumen yang dikirimkan oleh aplikan, demikian pula akreditasi laboratorium penguji bukan menjadi fokus utama. Kejujuran dan kepercayaan data yang diberikan merupakan kunci utama. Bila ada penyalahgunaan pemakaian logo, perusahaan harus menarik produk di pasar dan bayar denda serta berakibat reputasi perusahaan jatuh, bahkan dapat berakibat perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi. Di Indonesia terdapat sebuah lembaga milik swasta yang diakui oleh berbagai institusi baik nasional maupun internasional untuk melakukan sertifikasi di Indonesia yaitu, PT Mutuagung Lestari (MUTU Cerification) adalah lembaga sertifikasi swasta nasional yang berpengalaman memberikan jasa sertifikasi untuk sistern manajemen mutu (ISO 9000), sistern manajemen lingkungan (ISO 14000), Sertifikasi Hutan Lestari, Sertifikasi Pangan (HACCP), kalibrasi alat, setting laboratorium (ISO Guide 17025) dan diakreditasi oleh beberapa lembaga akreditasi yakni Komite Akreditasi Nasional (KAN), United Kingdom Accreditation Services (UKAS), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), dan telah memperoleh pengakuan dari MAFF - The Ministery of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan sebagai satu-satunya ROCB-Registered overseas Certifying Body di Asia untuk melakukan kegiatan sertifikasi produk dengan tanda JAS (Japanese Agriculture Standard). Dalam pelaksanaannya, sertifikat dapat diberikan setelah dilakukan pengujian-pengujian berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pengujian ini meliputi kegiatan-kegiatan administratif

adalah tertib penataan dan pembuatan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan, sedangkan kegiatan teknis dilapangan meliputi perencanaan, tata cara pemungutan, sampai dengan pengolahan. Kedua macam kegiatan tersebut harus merupakan suatu rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip manajemen hutan lestari. Kriteria dan Indikator untuk melihat dan membuktikan apakah suatu pengelolaan hutan sedang atau telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan kelestarian hutan, diperlukan berbagai syarat atau kriteria dan indikator atau ciri-ciri. Kriteria dan indikator hutan lestari ini pada mulanya dikeluarkan sebagai upaya para ahli kehutanan seluruh dunia (atas sponsor ITTO) untuk menguji apakah hutan yang dikelola selama ini telah benar-benar ditujukan berdasarkan azas kelestarian? Buah pikir para ahli kehutanan tersebut kemudian dituangkan dalam suatu komunike bersama yang merupakan salah satu hasilpenting dalam sidang Council ke 8 yang diselenggarakan di Bali pada tahun 1990. Kriteria dan indikator yang diperkenalkan ITTO kemudian berkembang lebih jauh lagi karena ditemukannya hal-hal yang kurang sesuai/tepat dengan kondisi yang berbeda untuk setiap type hutan yang ada di seluruh bagian dunia. Selain ITTO, paling tidak terdapat empat kelompok inisiatif yang juga mencoba merumuskan kriteria dan indikator hutan lestari. Inisiatif-inisiatif tersebut dilahirkan baik melalui lembaga internasional maupun melalui konperensi internasional. Forest Stewardship Council (FSC), misalnya, merumuskan 9 prinsip kriteria dan indikator hutan lestari. Kemudian "Helsinki process" yang diadopsi oleh Ministrial Conference on Protection of Forest di Eropa merumuskan 6 kriteria dan 27 indikator hutan lestari. Selanjutnya "Montreal process" yang dikukuhkan di Santiago mengeluarkan 7 kriteria dan 67 indikator untuk konservasi dan pengelolaan hutan-hutan temperate dan boreal. Selanjutnya untuk daerah Amazon di Amerika Latin dikenal adanya "Tarapoto proposal" sebagai hasil perjanjian kerjasama Amazon (Amazon Cooperation Treaty, ACT) yang merumuskan 12 kriteria dan 77 indikator untuk pengelolaan hutan lestari di wilayah Amazon. Untuk daerah hutan kering (dry zone) di wilayah Afrika, FAO dan UNEF memunculkan 7 usulan kriteria dan 47 indikator hutan lestari. Di Indonesia, tidak ketinggalan pihak swasta kehutanan yang tergabung dalam Asosiasi

Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) telah secara aktif memperkenalkan konsep kriteria dan indikatornya yang merupakan buah pikir para pakar kehutanan. Kriteria dan indikator yang diusulkan APHI tersebut sampai saat ini masih terus dibahas dan diuji cobakan di lapangan. Selanjutnya, LEI juga tidak ketinggalan mengeluarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu dimensi kawasan, dimensi produksi dan rentabilitas hutan, dimensi efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan, dimensi profesionalisme manajemen, dan dimensi rentabilitas usaha. Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang pertama kali diperkenalkan ITTO. Berdasarkan kacamata ITTO, untuk dapat terlaksananya manajemen hutan lestari, maka terdapat lima pokok kriteria yang harus dipenuhi, yaitu : 1. Forest Resource Base, yaitu terjaminnya sumber-sumber hutan yang dapat dikelola secara lestari. 2. The Continuity of Flow of Forest Products, yaitu kontinuitas hasil hutan yang dapat dipungut berdasarkan azas-azas kelestarian. 3. The level of Environmental Control, yang secara sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak-dampaknya yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan lingkungan. 4. Social and Economic Aspects, yaitu dengan memperhitungkan pengaruhpengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Dalam tingkat nasional, juga memperhitungkan peningkatan pendapatan penduduk dan negara dalam arti luas. 5. Institutional Frameworks, yaitu penyempurnaan wadah kelembagaan yang dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Institutional frameworks juga mencakup pengembangan sumber daya manusia, serta kemajuan penelitian, ilmu dan teknologi yang kesemuanya turut mendukung terciptanya manajemen hutan lestari. Kelima kriteria yang diperkenalkan ITTO tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk ciri-ciri atau indikator yang kesemuanya mengarah kepada terlaksananya kriteria

pertama (Forest Resource Base), maka indikator berikut ini merupakan tanda- tanda yang diperlukan dalam pelaksanaan manajemen hutan yang lestari. 1. Tersedianya tata guna hutan yang komprehensif yang secara penuh mempertimbangkan tujuan-tujuan pengelolaan hutan dan kehutanan. 2. Tercukupinya luas hutan permanen, yaitu hutan tetap yang dipertahankan fungsinya sebagai hutan. Luas hutan yang permanen akan mendukung target dan sasaran pembangunan hutan dan kehutanan. 3. Ditetapkannya target dan sasaran pembangunan hutan tanaman, distribusi kelas umur, dan rencana tanaman tahunan. Kriteria dan indikator yang disusun LEI pada prinsipnya merupakan hasil modifikasi kriteria dan indikator rumusan ITTO dan FSC. Menurut, LEI tujuan kelestarian hutan hanya akan dapat dicapai apabila tiga fungsi utama kelestarian hutan tetap terjaga. Pertama adalah kelestarian hasil hutan; kedua, kelestarian fungsi ekologis, dan ketiga, kelestarian fungsi sosial budaya. Walaupun kriteria dan indikator yang diperkenalkan ITTO telah berkembang begitu jauh, namun masih perlu dikaji ulang maksud dan tujuannya, karena pada hakekatnya

merupakan temuan pertama para ahli kehutanan sedunia yang mencoba merumuskan kriteria dan indikator sampai kepada level unit manajemen yang terkecil. Secara umum, Eco Labelling menuntut bahwa setiap produk dagangan harus telah didasarkan pada kelestarian sumber daya dan ekosistem dari lingkungan hidup. Dimulai dari pengambilan bahan baku (misalnya kayu), pengangkutan bahan baku ke pabrik, proses dalam pabrik, pengangkutan produk pabrik ke konsumen, pemakaian produk dan pembuangan sampahnya (bekas pakai dari produk) secara keseluruhan tidak mencemari lingkungan(akrab lingkungan). Sertifikasi Eco-Labelling di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam bentuk suatu sertifikat atau Eco-Labell yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari suatu konsensi hutan yang dikelola secara lestari. Walaupun memang perlu diakui sertifikasi Eco Labelliing ini bukanlah hal yang murah, ini akan mengakibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang belum terlalu mapan akan tergilas. Sebab Negara di Eropa dan Amerika sudah memasukan sertifikat Eco Labelling syarat komoditi,

terutama kayu, masuk ke negaranya. Namun dampak negative ini masih relatif kecil jika dibandingkan benefit atau manfaat yang dirasakan baik secara ekonomi maupun lingkungan. Pada sisi ekonomi benefit ini dirasakan oleh UKM yang bersertifikat, khususnya yang memproduksi furniture kayu dan diekspor ke pasar Amerika dan Eropa. Dini Rahim, senior koordinator home furnishing Senada (konsultan yang didanai USAID), ia mengatakan kalau UKM Indonesia mengikuti prosedur dan tahapan dalam modul sustainable practises, maka produk furnitur buatan Indonesia akan semakin diterima pasar global. Apalagi, persaingan furnitur di pasar dunia makin ketat. Kalau mengandalkan desain, mungkin desain dari Italia lebih bagus. Kalau mengandalkan harga murah, mungkin harga dari China lebih murah. Jadi, salah satu cara agar furnitur Indonesia mendapatkan hati di konsumen dunia adalah dengan adanya label dan sertifikasi produk, . Adanya Sertifikat Eco Label akan membentuk kepercayaan pada komoditi kayu yang diekspor adalah komoditi yang ramah lingkungan. Hal tersebut dirasakan betul oleh PT Jawa Murni Lestari, UKM yang bergerak di bidang home furnishing. Selama krisis finansial yang mendera dunia belakangan ini, omzet perusahaan anjlok sampai 20%. Tetapi, karena perusahaan mengantongi sertifikasi, permintaan dari pasar luar negeri terus berdatangan. Walhasil, ketika perusahaan lain kolaps karena gonjang-ganjing ekonomi dunia, mereka masih bertahan. Bahkan, berhasil meraih laba bersih 1,13%. Pada prespektif Lingkungan, kebijakan Eco label yang mengharuskan komoditi kayu yang diperdagangkan adalah kayu yang mulai dari proses pangambilan bahan baku sampai pemasaran produk dilakukan denagn ramah lingkungan. Bahkan ada beberapa Negara memastikan terlebih dahulu kayu tersebut bukanlah kayu hasil ilegalloging. Sehingga adanya eco label bisa menekan ilegalloging yang cukup merebak di berbagai daerah di tanah air. Perusahaan Penerap Ekolabel di Indonesia PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mills. PT. Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) PT Riau Andalan Pulp and Paper PT. DIAMOND RAYA TIMBER PT. INTRACAWOOD MANUFACTURING

PT. SARI BUMI KUSUMA Unit Seruyan PT. ERNA DJULIAWATI PT. SUMALINDO LESTARI JAYA UNIT II PT. SARPATIM

2.4 DAMPAK ECOLABELLING DI INDONESIA Dalam perkembangan ecolabelling, terdapat beberapa dampak yang dirasakan di Indonesia. Dari ketiga aspek dibawah ini, maka dapat diketahui dampak ecolabelling di Indonesia,yakni: 1. Ekonomi y Untuk memperoleh sertifikat ecolabelling ini bukanlah suatu hal yang terjangkau dimana hal ini dapat membunuh Usaha Kecil Menengah (UKM) yang belum begitu mapan. Mengingat bahwa negara negara di Eropa maupun Amerika

sudah menetapkan sebuah standard dimana ecolabelling merupakan syarat mutlak bagi sebuah komoditi untuk masuk ke negaranya terutama kayu. y Poin diatas menunjukkan bahwa ada sedikit sisi negative yang masih harus dirasakan oleh beberapa UKM di Indonesia yang sifatnya masih belum terlau mapan. Namun melihat sisi ekonomi benefitnya, hal yang menguntungkan akan dirasakan oleh UKM UKM yang bersertifikat. Khususnya bagi yang bergerak di

bidang kayu atau furniture yang kemudian dipasarkan ke Amerika dan Eropa. Produk furniture buatan Indonesia akan diterima secara global apabila UKM Indonesia mengikuti prosedur dan tahapan dalam modul sustainable practices karena mengingat bahwa Eropa dan Amerika menetapkan standard ecolabelling pada setiap komoditi yang masuk ke negaranya. Hal ini juga tidak bisa lepas dari persaingan produksi yang ketat dengan negara negara lain seperti misalnya

ketika kita berbisara masalah desain, maka Italia lebih bagus, kalau mengandalkan harga murah produk produk Cina lebih murah. Jadi salah satu

cara agar furniture Indonesia mendapatkan tempat yang baik di mata konsumen

global, maka harus menyertakan label dan sertifikasi produk. Dengan adanya ecolabelling ini akan membangun sebuah kepercayaan bahwa kayu yang

digunakan adalah kayu yang ramah lingkungan dimana dalam prosesnya sudah melalui tahap tahap yang berwawasan lingkungan. 2. Politik y Merupakan politik dagang negara maju untuk memproteksi atau menanggulangi pesaingan dengan negara pengeskpor kayu tropis khususnya negara berkembang y Dengan adanya Liberalisasi perdagangan yang dikenal dengan istilah free trade terdapat dua anggapan yaitu adanya kebebasan dalam pertukaran arus barang atau jasa yang terjadi antar negara secara bebas tetapi dengan adanya ecolabelling maka hal ini justru akan menimbulkan hambatan dagang karena tidak semua negara negara di dunia mau menerima barang yang didalamnya negara

tidak disertai sertifikasi label yang ramah lingkungan (ecolabelling). Seperti yang dilakukan Amerika dan Eropa dimana mereka memberikan syarat mutlak bagi barang barang yang masuk ke negara mereka harus disertai standar

ecolabelling. y Dengan dibuatnya peraturan mengenai ecolabelling ini akan membantu mengurangi perusakan lingkungan terutama yang dilakukan oleh peusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan untuk tujuan komersial. Dimana hal tersebut akan memberikan dampak negative terhadap masyarakat baik dalam taraf nasional maupun internasional. 3. Lingkungan : y Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia dengan luas 144 juta hektar. Indonesia juga dikenal sebagai salahsatu negara yang mengalami tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia dimana hal ini disebabkan adanya illegal logging dan pemanfaatan hutan untuk memenuhi kebutuhan ekspor dalam rangka meningkatkan pendapatan devisa negara. Dengan adanya ecolabelling setidaknya mampu menekan terjadinya illegal

logging yang sering disalahgunakan oleh perusahaan

perusahaan yang

mengantongi sertifikat HPH/HPHI. Karena untuk mendapatkan sertifikat yang berwawasan dan ramah lingkungan dibutuhkan penebangan yang disertai syarat syarat ecolabelling yang mengaharuskan perusahaan untuk melakukan penebangan legal.

BAB 3 KESIMPULAN
Ecolabelling merupakan sebuah label ramah lingkungan yang berprinsip from cradle to grave dengan pengertian bahwa barang-barang yang diproduksi sangat aman dan ramah lingkungan pada saat pemakaian barang hingga setelah barang tersebut tidak digunakan lagi. Label ramah lingkungan ini, banyak difungsikan pada produk-produk komersial dan menjadi sebuah standarisasi khusus pada produk tersebut. Sehingga, secara jangka panjang, para konsumen semakin banyak menggunakan produk-produk komersial yang berimage ramah lingkungan dan aman di konsumsi. Namun, pada perkembangannya negara-negara yang mengembangkan ecolabelling ini adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Mereka memberikan standarisasi untuk produk-produk yang akan masuk kekawasan mereka tersebut. Hal ini kemudian, yang menjadikan suatu hambatan perdagangan bagi negara-negara berkembang yang belum memiliki sertifikasi label ramah lingkungan. Sehingga, dari sisi politik dan ekonomi yang diuntungkan adalah negara-negara maju. Karena banyak pula organisasi internasional yang terlibat dalam pengeluaran hukum dan kebijakan yang mendukung ecolabelling dengan alasan dalam perlindungan alam dan lingkungan.

Daftar Pustaka
http://www.globalecolabelling.net/categories_7_criteria/gen_common_core_criteria/ http://www.energystar.gov/ http://www.ecolabelindex.com/ecolabel/blue-angel www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSIJAMBIeco/labeling.html/ECOLABELING.htm.

You might also like