You are on page 1of 14

Pemfigus, Impetigo Bulosa, dan Staphylococcal ScaldedSkin Syndrome

Journal Reading
Fauzan Ali Zainal Abidin Gracia Deswita Natalya F. Widiawati 0810221062 0810221078 0810221126

Sumber: Mechanisms of Disease Pemphigus, Bullous Impetigo, and the Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome John R. Stanley, M.D., and Masayuki Amagai, M.D., Ph.D. The New England Journal of Medicine October 26, 2006

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
1

JAKARTA 2011

Pemfigus, Impetigo Bulosa, dan Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome

Pemfigus yang disebabkan oleh autoantibodi, dan impetigo bulosa (termasuk bentuk generalisatanya yaitu staphylococcal scalded-skin syndrome) yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, penyakit-penyakit ini terlihat tidak berhubungan. Namun demikian, 200 tahun yang lalu sudah terpikirkan bahwa penyakit-penyakit ini memiliki kesamaan klinis untuk menyebut impetigo bulosa dan scalded-skin syndrome pada bayi yaitu pemfigus neonatorum. Pada review ini, kami menjelaskan bagaimana suatu mekanisme terjadinya penyakit kulit ini, dan menjelaskan patofisiologi molekular dari pemfigus juga yang menerangkan mekanisme terbentuknya lepuh pada impetigo bulosa dan pada staphylococcal scalded-skin syndrome. Di review ini, kami juga mendiskusikan bagaimana pemahaman baru mengenai patofisiologi pemfigus ini dapat mempengaruhi peningkatan diagnosis dan terapi dari penyakit yang mengancam jiwa ini. PEMFIGUS Terdapat 2 tipe mayor dari pemfigus, yaitu pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. Pasien dengan pemfigus vulgaris mempunyai kelainan kulit berupa lepuh dan erosi pada membran mukosa dan kulit. Terdapat dua subtipe dari pemfigus vulgaris: tipe dominan pada mukosa dan tipe mukokutaneus. Tipe dominan mukosa, lesinya terutama pada mukosa namun keterkaitannya pada kulit minimal, sedangkan tipe mukokutaneus lesi berupa lepuh dan erosi nya selain terdapat pada kulit juga ada keterlibatan pada mukosa. Pasien dengan pemfigus foliaseus memiliki kelainan kulit berupa skuama dan krusta erosi superfisial pada kulit tapi tidak ada keterlibatan dari membran mukosa. Lepuh pada pemfigus memiliki karakteristik berupa hilangnya adhesi sel pada epidermis bagian dalam, tepat di atas stratum basalis. Sedangkan pada pemfigus foliaseus, hilangnya adhesi sel terdapat pada lapisan epidermis lebih superfisial, tepat di bawah stratum korneum. Pada lapisan ini, terdapat tumpukan keratinosit mati yang membentuk sawar kulit. Pemeriksaan darah pada pasien pemfigus menunjukkan adanya ikatan antibodi IgG dengan permukaan keratinosit normal; pemeriksaan immunofluoresensi dapat menunjukkan ikatan ini. Pewarnaan immunofluoresensi dari sediaan kulit pasien pemfigus juga menunjukkan antibodi IgG pada
2

permukaan keratinosit. Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi terhadap sel pasien itu sendiri, sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh. Ketika IgG dari pasien pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru lahir, maka IgG ini Akan berikatan dengan permukaan keratinosit epidermal Dan menyebabkan lepuh yang memiliki gambaran histolgi yang sama pada pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus. Jadi, pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus memiliki kesamaan pada timbulnya lepuh yang disebabkan oleh autoantibodi yang mengganggu adhesi di antara keratinosit. Pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus dapat dibedakan secara klinis dengan keterlibatan dari membran mukosa, dan secara histologis dengan melihat lapisan kulit mana lepuh terjadi.

Gambar 1 Gambaran klinis, histologis, dan immunopatologis dari pemfigus. A. Kulit pasien dengan pemfigus vulgaris mukokutaneus menunjukkan erosi yang luas dikelilingi oleh erosi-erosi kecil, akibat dari lepuh epidermis dalam yang tidak beratap dan perluasan tepinya. B. Pasien dengan pemfigus foliaseus menunjukkan karakteristik bersisik dan berkrusta akibat dari pecahnya lepuh di epidermis bagian superfisial. C. Pada pemfigus vulgaris, lepuh intradermal disebabkan karena hilangnya adhesi antara keratinosit (akantolisis) yang terjadi di epidermis bagian dalam tepat di atas lapisan basal. D. Pada pemfigus foliaseus, lepuhnya terjadi di epidermis superfisial tepat di bawah lapisan korneum. E. Immunofluresensi indirek pada kulit manusia normal dengan menggunakan serum (dari seorang pasien pemfigus vulgaris-dominan mukosa) mengandung IgG anti-desmoglein 3 menunjukkan pewarnaan yang dalam pada epidermis.

F. Serum dari seorang pasien pemfigus foliaseus, mengandung autoantibodi IgG anti-desmoglein 1, mewarnai seluruh epidermis. G. Pewarnaan dermis menunjukkan IgG selalu berada pada lapisan dermis pada kulit normal. Tikus baru lahir diinjeksikan dengan IgG dari seorang pasien dengan pemfigus vulgaris mukokutaneus memiliki lepuh di kulit yang meluas. H. Gambaran histologis yang biasanya muncul pada pemfigus vulgaris. I. Deposit IgG in vivo pada permukaan keratinosit. DESMOGLEIN Gangguan adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus foliaseus dan juga pada pemfigus vulgaris, maka dimungkinkan autoantibodi pada pasien-pasien ini berikatan dengan molekul-molekul dan mengganggu adhesi nya di desmosom. Desmosom adalah struktur adhesi sel yang terutama dominan pada epidermis dan membran mukosa. Molekul-molekul transmembran yang terdapat pada desmosom ada dua golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan desmocollin. Kedua golongan protein ini berhubungan dengan cadherin, yaitu suatu molekul yang bertugas dalam pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena itu, desmoglein dan desmocollin disebut cadherin desmosom yaitu yang bertugas mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus foliaceus terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan pada pasien pemfigus vulgaris terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 3.

Gambar 2 Target desmoglein yang dituju oleh autoantibodi IgG pemfigus dan toksin eksfoliatif staphylococcus. 1. Gambaran desmosom pada hubungan adhesi interselular di epidermis. 2. Gambaran desmosom dilihat dari mikroskop elektron. 3. Desmosom terdiri dari dua komponen transmembran mayor, desmoglein (Dsg) dan desmocollin, yang berhubungan dengan plakoglobin. Plakoglobin juga berikatan dengan desmoplakin, yang kemudian berhubungan dengan filamen intermediate dari keratin dan desmosom di permukaan sel. Pada epitel skuamosa berlapis, Dsg1 dan Dsg3 adalah isoform desmoglein yang utama. Interaksi adhesi yang tepat di antara desmoglein dan desmocollin masih belum terungkap.

PATOGENESIS ANTIBODI ANTIDESMOGLEIN Adanya antibodi antidesmoglein menyebabkan terbentuknya lepuh. Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi terhadap desmoglein 1 atau desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu, gambaran histologis dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga muncul pada lesi tersebut. Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat menyerap antibodi patogen dari serum penderita pemfigus. Titer dari IgG autoantibodi anti-desmoglein 1 dan anti-desmoglein 3 berhubungan dengan aktivitas penyakit. Serum pemfigus bisa juga berikatan dengan antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein 3, namun gambaran klinis dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya. Misalnya, autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi silang dengan desmoglein 4, namun antibodi ini tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada serum penderita pemfigus dapat berikatan dengan antigen lain, seperti reseptor asetilkolin, tapi antigen-antigen ini tidak tidak menyebabkan terbentuknya lepuh. KOMPENSASI DESMOGLEIN Pasien pemfigus yang memiliki perbedaan secara klinis mempunyai sifat antibodi antidesmoglein. Pola autoantibodi ini, dan distribusi dari isoform desmoglein pada epidermis dan membran mukosa, menunjukkan kompensasi desmoglein dapat menjelaskan lokalisasi lepuh pada pasien pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. Teori kompensasi desmoglein berdasarkan dua pengamatan: yaitu autoantibodi antidesmoglein 1 atau antidesmoglein 3 menginaktivasi hanya desmoglein yang cocok, dan desmoglein 1 atau desmoglei 3 fungsional sendiri biasanya cukup untuk adhesi sel-sel. Kompensasi desmoglein telah divalidasi secara penelitian pada model pemfigus tikus baru lahir. Penyuntikan autoantibodi anti-desmoglein 1 ke dalam tikus yang gen desmoglein 3 nya telah dihapus menyebabkan lepuh pada daerah yang dilindungi oleh desmoglein 3 pada tikus normal. Sebalikanya, tikus transgenik yang direkayasa gen desmoglein 3 pada lokasi jaringan yang secara normal hanya mengekspresikan gen desmoglein 1, maka jaringannya terlindungi dari terbentuknya lepuh akibat antibodi anti-desmoglein 1. Ekspresi transgenik dari desmoglein 1 pada daerah yang secara normal hanya mengekspresikan desmoglein 3 dapat mengkoreksi adhesi sel-sel oleh karena hilangnya gen pada tikus yang telah mati. Oleh karena distribusi desmoglein pada kulit bayi baru lahir mirip dengan distribusi desmoglein pada membran mukosa, kompensasi desmoglein menjelaskan mengapa lepuh biasanya tidak terbentuk pada bayi baru lahir yang ibunya menderita pemfigus foliaseus, walaupun autoantibodi dapat melintasi sawar plasenta dan berikatan dengan epidermis janin.

Gambar 3 Kemiripan gambaran klinis dan histologis antara pemfigus foliaseus dan Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. A. Pasien dengan pemfigus foliaseus B. Pasien dengan Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome memiliki sisik dan erosi superfisial berkrusta. C. Gambaran histologis dari lepuh pada Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome, termasuk hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial, tepat di bawah stratum korneum. Gambaran histologis dari lepuh pada pemfigus foliaseus yang sulit dibedakan dengan gambaran pada Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. D. Tikus baru lahir diinjeksikan dengan autoantibodi IgG anti-desmoglein 1 dari penderita pemfigus foliaseus mendapatkan lepuh di epidermis superfisial dengan gambaran histologis yang identik. E. Tikus baru lahir diinjeksikan dengan toksin dari S. Aureus mendapatkan lepuh di epidermis superfisial dengan gambaran histologis yang identik.

AUTOANTIBODI PEMFIGUS DAN HILANGNYA ADHESI KERATINOSIT Inaktivasi Desmoglein Beberapa peneliti mengatakan bahwa antibodi pemfigus bekerja dengan memulai cascade proteolitik yang memotong molekul sel permukaan secara nonspesifik. Pada penelitian selanjutnya hipotesis ini tidak disetujui. Terbukti bahwa antibodi anti-desmoglein 3 dan anti-desmoglein 1 menginaktivasi desmoglein secara spesifik. Lesi yang disebabkan oleh antibodi ini sangatlah mirip
1

dengan lesi yang disebabkan oleh inaktivasi desmoglein 3 atau desmoglein 1. Sebagai contoh, gambaran patologis dari kulit tikus yang telah mati dengan inaktivasi gen Dsg3 mirip dengan pasien yang menderita pemfigus vulgaris dan dengan tikus-tikus yang telah diinjeksikan dengan antibodi anti-desmoglein 3. Begitu juga pada tikus-tikus dan manusia, toksin eksfoliatif yang memecah desmoglein 1 secara spesifik menyebabkan lepuh yang identik dengan lepuh yang disebabkan oleh antibodi anti-desmoglein 1 pada kasus pemfigus foliaseus. Berdasarkan temuan ini bersama dengan teori kompensasi desmoglein mengarah kepada bahwa antibodi pemfigus hanya menginaktivasi desmoglein targetnya secara spesifik dan tidak menyebabkan hilangnya fungsi generalisata dari adhesi molekul permukaan sel. Efek Langsung dan Tidak Langsung dari Antibodi Pemfigus Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara langsung atau tidak langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus memblok adhesi sel dengan mengganggu transinteraksi desmoglein secara langsung (misalnya, interaksi desmoglein dari satu sel dengan sel itu sendiri atau dengan desmocollin pada sel sebelahnya). Penelitian telah menunjukkan bahwa fragmen autoantibodi pemfigus yang berisi domain antigen-binding saja dan kekurangan regio efektor dari antibodi dapat menstimulasi timbulnya lepuh pada tikus percobaan. Selain itu juga, oleh karena kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel untuk bereaksi silang mungkin yang menyebabkan gangguan adhesi sel. Selanjutnya, sebuah antibodi IgG anti-desmoglein 3 monoklonal tikus percobaan yang berikatan dengan permukaan N-terminal adhesif menginduksi lesi pemfigus vulgaris pada tikus percobaan, dimana antibodi monoklonal yang lain bereaksi dengan bagian yang kurang penting dari desmoglein 3 secara fungsional tidak menyebabkan lesi pada tikus percobaan. Sebaliknya, hasil dari penelitian terbaru yang menggunakan pengukuran daya atom satu molekul, sebuah metode biomekanik yang mengukur derajat dari ikatan protein, menunjukkan bahwa antibodi anti-desmoglein 1 IgG pada serum penderita pemfigus foliaseus tidak mengganggu secara langsung dengan transinteraksi desmoglein 1 adhesif. Pada sistem ekstraselular ini, ikatan dari desmoglein 1 kepada sel itu sendiri tidak dihambat oleh antibodi antidesmoglein 1 yang patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa inaktifasi fungsional langsung dari desmoglein tidak cukup untuk menyebabkan timbulnya lepuh dan bahwa autoantibodi pemfigus dapat bekerja melalui mekanisme sinyal yang lebih rumit. Penambahan IgG dari serum penderita pemfigus vulgaris ke keratinosit yang dibiakkan menginduksi beberapa sinyal, temasuk peningkatan kalsium dan inositol 1,4,5-trifosfat intraselular, aktivasi dari protein kinase C, dan fosforilasi dari desmoglein 3, yang kemudian menyebabkan terjadinya internalisasi dari desmoglein 3 di permukaan sel, dengan deplesi resultante desmoglein 3 pada desmosom. IgG pemfigus vulgaris juga dilaporkan dapat menginduksi aktivasi jalur sinyal yang menyebabkan terjadinya reorganisasi dari sitoskeleton, apoptosis keratinosit, atau keduanya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengklarifikasi apakah mekanisme sinyal
2

seperti disebutkan di atas terlibat dalam pembentukkan lepuh in vivo, karena kebanyakan dari penelitian pada transduksi sinyal dilakukan secara in vitro dengan memakai keratinosit biakan. IMPETIGO BULOSA DAN STAPHYLOCOCCAL SCALDED-SKIN SYNDROME Pemphigus Neonatorum Pemphigus neonatorum merupakan kondisi bayi yang mengalami pemphigus eksfoliativa dan kosakata pemphigus neonatorum ini biasa digunakan sebagai diagnosis oleh dokter pada abad ke 18 dan abad ke 19. Pemphigus neonatorum sebenarnya merupakan impetigo bulosa atau staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Persamaan antara pemphigus eksfoliativa, impetigo bulosa, dan SSSS adalah pada patofisiologi pemphigus yang dapat menyebabkan kelainan tersebut. Top of Form
n _t id UTF-8 2 1

Produksi Toksin Exfoliativa oleh Staphylococcus Infeksi kulit stafilokokus merupakan penyakit kulit yang paling umum terjadi pada anak-anak. Pada penelitian, lebih dari 30 tahun yang lalu menunjukkan bahwa lepuh pada impetigo bulosa dan SSSS disebabkan oleh toksin eksfoliativa yang dikeluarkan oleh staphylococcus. Ditemukan dua besar serotipe dari toksin tersebut yang dapat menyebabkan SSSS adalah toksin A dan toksin B. Pada pasien dengan impetigo bulosa, toksin lepuh memproduksi secara lokal di lokasi infeksi, sedangkan pada kasus SSSS beredar secara sistemik atau di seluruh tubuh yang dapat menyebabkan lepuh di lokasi yang jauh dari lokasi infeksi. Risiko kematian dari SSSS adalah kurang dari 5% pada anak, tapi pada orang dewasa, sindrom ini biasanya terjadi pada mereka yang memiliki penyakit imunosupresi, dan risiko kematian sebesar 60%. Toksin eksfoliativa yang disuntikkan ke tikus neonatal menyebabkan lepuh khas impetigo bulosa dan SSSS. Tepatnya bagaimana toksin eksfoliativa menyebabkan lepuh masih merupakan kontroversial selama bertahun-tahun. Namun, saat toksin exfoliative A dan toksin exfoliative B di-cloning ke tikus neonatal, mereka ditemukan memiliki sekuens asam amino dan struktur kristal yang diduga dari protease serin. Dalam solusio struktur kristal ini sedikit tidak teratur dalam satu ikatan peptida di bagian katalitik yang jika diputar 180 ke arah yang berlainan untuk membentuk sebuah kantong katalitik aktif. Temuan ini menunjukkan bahwa toksin eksfoliativa mungkin tidak aktif sebagai protease, kecuali jika terikat dengan substrat tertentu yang mampu mengakibatkan terbentuknya kantong katalitisasi. ginjal atau yang mengalami

Substrat spesifik untuk toksin eksfoliativa tetap sukar dipahami selama beberapa tahun. Namun, empat petunjuk penting dari penelitian terhadap pemphigus eksfoliativa menunjukkan bahwa substrat tersebut mungkin desmoglein. 1. Bentuk klinis SSSS ( dari bentuk lesinya, Impetigo bulosa) mirip dengan pemphigus eksfoliativa. 2. Pada kasus SSSS, lepuh yang disebabkan oleh toksin eksfoliativa hanya muncul pada kulit, bukan pada selaput mukosa (merupakan distribusi yang sama dengan lesi disebabkan pemphigus eksfoliativa). 3. Lepuh Impetigo bulosa dan SSSS secara histologis dapat dibedakan dengan pemphigus eksfoliativa. 4. Penyuntikan antibodi IgG pemphigus eksfoliativa atau toksin eksfoliativa ke tikus neonatal menyebabkan lepuh dengan bentuk dan histologis yang identik. Petunjuk ini menunjukkan bahwa toksin eksfoliativa, seperti IgG pemphigus eksfoliativa, memungkinan desmoglein 1 sebagai target. Jika desmoglein 1 yang secara spesifik dibelah oleh toksin eksfoliativa, lalu (seperti dalam pemphigus eksfoliativa) kompensasi dari desmoglein akan menjadi lokalisasi dari lepuh pada impetigo bulosa dan SSSS yang hanya terjadi pada lapisan epidermis yang dangkal, tidak pada selaput lendir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toksin eksfoliativa membelah desmoglein 1, namun tidak terjadi pada desmoglein 3, pada keratinosit manusia dan pada keratinosit kulit tikus neonatal. Toksin Exfoliative juga membelah desmoglein rekombinan 1, tetapi tidak pada desmoglein 3 atau E-kaderin interselular adhesi, dalam larutan solusio, menunjukkan efek proteolitik langsung dari toksin. Selain itu, toksin eksfoliativa secara efisien membelah peptida tertentu yaitu desmoglein 1 pada tingkat pengikatan kalsium, dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut pada tingkat konformasi (yaitu toksin tidak bisa bersatu desmoglein 1 yang didenaturasi). Kemampuan toksin membelah desmoglein 1 juga tergantung pada asam amino yaitu sekitar 100 residu dari proses pembelahan. Temuan ini menunjukkan bahwa toksin exfoliative membelah desmoglein 1 dengan mekanisme key-in-lock yang umum pada enzim proteolitik dengan kekhasan substrat yang terbatas. Mekanisme luar biasa ini secara efisien menargetkan satu molekul (desmoglein 1) yang memungkinkan staphylococcus untuk tumbuh di bawah barrier epidermis yang secara umum cukup untuk menularkan melalui kontak kulit.

Gambar 4 Teori kompensasi desmoglein dan letak pembentukan lepuh pada pemfigus, impetigo bulosa, dan Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. 1. Gambar segitiga dan persegi menunjukkan distribusi Dsg1 dan Dsg3 pada kulit dan membran mukosa. Autoantibodi IgG Anti-Dsg 1 pada serum dari penderita pemfigus foliaseus menyebabkan lepuh superfisial pada kulit. Pada epidermis bagian bawah atau membran mukosa tidak terbentuk lepuh karena Dsg3 menunjang adhesi sel-sel pada area-area tersebut. 2. Pada impetigo bulosa dan staphylococcal scalded-skin syndrome, toksin eksfoliatif yang diproduksi S. Aureus bekerja seperti pisau molekul spesifik-Dsg1 dan secara eksklusif memotong Dsg1 tapi tidak memotong Dsg3, sehingga hanya menimbulkan lepuh pada epidermis superfisial karena Dsg3 mengkompensasi area yang lain. 3. Serum dari pasien dengan pemfius vulgaris dominan-mukosa mengandung hanya IgG anti-Dsg3, yang menyebabkan lepuh mukosa dan erosi di mana tidak ada kompensasi yang signifikan oleh Dsg1.
1

DIAGNOSIS DAN TERAPI Impetigo Bulosa dan Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome SSSS kadang menyerupai penyakit lepuh luas lain, nekrolisis epidermis toksik (NET), yang biasanya disebabkan oleh reaksi obat. Kedua penyakit tersebut dapat dibedakan dengan cepat dengan cara biopsi spesimen beku, dimana pada kasus SSSS didapatkan lepuh epidermis superfisial, dan pada kasus NET didapatkan lepuh terjadi pada subepidermal dengan nekrotik keratinosit. Pengobatan pasien dengan impetigo bulosa atau SSSS biasanya dengan antibiotik, tapi harus diingat bahwa kasus yang disebabkan oleh S. aureus dilaporkan telah resisten methicillin. Pemfigus Keberadaan autoantibodi IgG yang terikat pada permukaan keratinosit atau desmogleins adalah standar utama untuk diagnosis pemphigus serta untuk membedakannya dari penyakit vesikobullosa atau penyakit pustular yang lain. Sampai saat ini, immunofluoresensi langsung (pada kulit pasien) atau immunofluoresensi tidak langsung (dalam serum dari pasien) merupakan metode standar untuk mendeteksi antibodi yang mengikat permukaan keratinosit. Namun, ELISA dengan menggunakan desmoglein 1 rekombinan dan desmoglein 3 sebagai antigen akan jauh lebih sederhana dan lebih dapat diukur dari pada dengan metode immunofluoresensi. ELISA untuk mengidentifikasi antibodi terhadap desmoglein 1 dan desmoglein 3 dapat digunakan tidak hanya untuk mendiagnosis jenis pemphigus tetapi juga dapat untuk membedakan subtipe pemphigus vulgaris. Skor ELISA, yang menunjukkan fluktuasi paralel pada aktivitas pemphigus vulgaris dan pemphigus eksfoliativa, berguna untuk pemantauan aktivitas penyakit, perencanaan tappering terapi kortikosteroid, dan meramalkan beratnya atau kekambuhan penyakit sebelum gejala klinis muncul. Secara umum, pemphigus dapat ditekan dengan menekan sistem kekebalan tubuh untuk menekan respon autoimun. Namun, terapi lebih yang lebih bertarget lebih mungkin. Sebagai contoh, laporan kasus baru menunjukkan bahwa rituximab, antibodi anti-CD20 monoklonal yang menargetkan sel B (limfosit dewasa yaitu sel plasma yang memproduksi antibodi), sangat efektif dalam mengobati pasien dengan pemphigus merupakan lebih standar daripada terapi dengan imunosupresif. Hal tersebut memungkinan sebagai fokus perkembangan terbaru untuk penatalaksanaan yang lebih spesifik pada pemphigus yaitu pada autoantibodi host, terutama jika populasi autoantibodi patogen pada penyakit ini tidak beragam. Tingkat keanekaragaman telah dipelajari, yang memungkinkan dilakukannya kloning antibodi antidesmoglein monoklonal dari pasien dengan pemphigus. Metode ini telah digunakan dalam studi pada satu pasien dengan pemphigus vulgaris dan satu pasien dengan
3

pemphigus eksfoliativa (data tidak dipublikasi); hasilnya menunjukkan bahwa populasi antibodi antidesmoglein dalam kedua kasus tersebut sangat terbatas, sebagaimana dikarenakan oleh kurangnya keragaman rantai panjang pada populasi antibodi monoklonal. Hal tersebut kontras dengan populasi antobodi antibakteri biasa, yang dibangun dari array besar rantai panjang dan rantai pendek. Kemungkinan pola struktural umum antara autoantibodi pada pemphigus bisa diimplikasikan secara klinis untuk terapi bertarget terhadap subpopulasi antibodi yang bertentangan dengan penekanan secara umum produksi antibodi. Akhirnya, pengertian tentang bagaimana sel T dan sel B berkontribusi pada respon antidesmoglein dapat meningkatkan dasar terapi yang lain. Pada tikus percobaan dengan pemphigus vulgaris telah dikembangkan transfer sel T dan sel B dari Dsg3/ tikus yang gagal pada penelitian ini, dimana desmoglein 3 bertindak sebagai antigen asing, ke dalam Rag2-/- tikus yang mengalami immunodefisiensi yang mengekspresikan desmoglein 3. Penerima sel T dan sel B dari Dsg-/- tikus memproduksi 3 antibodi anti desmoglein, dan lesi pemphigus vulgaris yang aktif. Sel T dan sel B penting untuk produksi antibodi maupun bentuk dari lepuh. Hasil ini tetap dengan pendapat dengan peningkatan kejadian dari autoreaktif sel T berperan dalam meregulasi produksi dari autoantibodi IgG patogen dalam manusia. Selain itu, regulasi sel T desmoglein 3 spesifik akhir-akhir ini menunjukkan adanya keterkaitan pada pemeliharaan toleransi perifer pada desmoglein 3 di orang normal. Jadi, manipulasi dari sel T yang aktif pada kondisi respon immun fisiologis dan patologis bisa memberikan pilihan yang menjanjikan untuk terapi pemphigus. KESIMPULAN Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyempurnakan pemahaman kita mengenai mekanisme patogenik dari pemphigus. Pengetahuan ini akan memberikan dasar untuk mengembangkan terapi yang dapat ditoleransi, lebih bertarget dan lebih baik untuk bentuk dan perkembangan penyakit ini.Simak Baca secara fonetik

You might also like