You are on page 1of 27

Manajemen Bencana Berbasiskan Masyarakat

Posted by: cheriatna on: September 29, 2007


y y

In: Manajemen Bencana | sumur artesis | sumur bor Comment!

Manajemen Bencana Berbasiskan Masyarakat Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat Oleh SOBIRIN Apakah terbayang oleh kita, manakala sedang ke luar kota naik mobil, tiba-tiba mobil kita diterjang tanah longsor kemudian terpental masuk ke sungai? Atau manakala kita sedang terlelap tidur di malam hari, tiba-tiba rumah runtuh karena gempa? Atau tiba-tiba rumah kita terendam air dan anggota keluarga kita terseret terbawa banjir? Apa yang tengah terjadi dengan alam di sekitar kita? Apakah kita salah mengelola alam atau kita tidak memahami bahasa dan pertanda alam? Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (NAD), gempa bumi di Garut, longsoran sampah di Leuwigajah, banjir di Bandung Selatan bahkan terbaru adalah gempa di Nias telah membuka mata dan hati kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Padahal, dalam hal penanggulangan bencana, kita memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk berdasar Keputusan Presiden (Kepres) nomor 3 Tahun 2001. Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Walaupun tugas dan fungsi dari Bakornas, Satkorlak dan Satlak PBP ini telah jelas diuraikan dalam Kepres tersebut, namun faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini sering kedodoran. Dirasakan selama ini, pemahaman terhadap manajemen bencana memang semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang sewaktu-waktu saja. Dapat dipastikan pemahaman dasar tentang manajemen bencana tidak dikuasai atau tidak dimengerti oleh banyak kalangan baik birokrat, masyarakat, maupun swasta. Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan bagaimana nanti saja. Padahal negara kita adalah negara yang memiliki ancaman bahaya bencana dengan klasifikasi sangat bervariasi dan sangat berat. Suatu ketika bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu terkaget-kaget dan mengatakan kecolongan. Pengalaman bencana terutama yang terjadi di NAD harus dapat kita pakai sebagai momentum untuk mereformasi manajemen bencana di Indonesia. Back to basic Pada hakekatnya yang disebut back to basic dalam manajemen bencana adalah ke waspadaan dan kesiapsiagaan untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan, yaitu memahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Manajemen bencana harus memenuhi persyaratan, yaitu aspek yang jelas (kelembagaan, organisasi, tata cara), fungsi yang berjalan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), dan unsur yang lengkap (sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan dan sejenisnya).

Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan. Jadi semua harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungan masing-masing, masyarakat mampu menolong dirinya sendiri. Jadi back to basic manajemen bencana adalah habluminallah, habluminannas, habluminalam. Mengingat negara kita adalah negara hukum dan negara bencana, maka dalam rangka back to basic ini ada hal yang perlu segera kita miliki, yaitu payung legal yang mantap dan komprehensif berupa undang-undang tentang kebencanaan dengan azas manfaat, keterbukaan, kebersamaan, dan kemandirian masyarakat, menuju reformasi manajemen bencana berbasis masyarakat. Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat. Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidak-berdayaan, dan berbagai tekanan dinamis lainnya. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya. Berbagai jenis ancaman bahaya, berdasar penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu bencana geologi, bencana iklim, bencana lingkungan, dan bencana sosial. Bencana geologi antara lain gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Bencana iklim antara lain banjir, kekeringan, dan badai. Bencana lingkungan antara lain pencemaran lingkungan (air, udara, tanah), eksploitasi sumber daya alam berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan di kawasan lindung, penerapan teknologi yang keliru, dan munculnya wabah penyakit. Bencana sosial antara lain kehancuran budaya, budaya tidak peduli, KKN, politik tidak memihak rakyat, perpindahan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi budaya, konflik dan kerusuhan. Banyak pihak telah mencoba menyusun siklus manajemen dengan maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan mudah diaplikasikan terutama oleh masyarakat umum. Sebagai contoh pihak United Nation Development Program (UNDP) dalam program pelatihan manajemen bencana yang diselenggarakan tahun 1995 dan 2003, menyusun siklus manajemen bencana dalam versi cukup sederhana. UNDP membagi manajemen bencana menjadi empat tahapan besar. Tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan. Pengalaman menunjukkan, dari keempat tahap tersebut justru tahap kedua yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh hiruk pikuk tetapi koordinasinya sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa manakala bencana itu terjadi, penanganan bencana selalu dilakukan dalam suasana kepanikan dan kebingungan. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang menjadi seksi repot, ada yang hanya menonton saja, bahkan ada yang berpura pura minta sumbangan tetapi untuk kepentingan pribadi. Pada tahap ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan rekonstruksi mulai berbau projek, banyak pihak yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama.

Bahasa rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, daratannya seluas 1.904.569 km2, lautannya seluas 3.288.683 km2, dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.508 pulau, dan jumlah penduduknya pada tahun 2000 sekitar 203.456.000 orang. Berdasar sejarah kebencanaan yang tercatat selama ini, mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, badai, kekeringan, maka Indonesia dapat dikatakan merupakan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang sangat tinggi. Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya-pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai. Oleh sebab itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, menuju manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya, dan mampu menolong diri sendiri. Cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat atau community based disaster management sudah menjadi visi dari negara-negara maju di muka bumi ini. Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD juga membuka mata dan hati kita betapa di muka bumi ini masih ada semangat perikemanusiaan dan gotong royong membantu para korban. Berdasar fakta tersebut, merealisasikan manajemen bencana berbasis masyarakat bukan hal yang mustahil, walaupun banyak kendala dan hambatan yang harus bersama-sama kita hadapi. Kelompok masyarakat sebagai pelaku utama manajemen bencana ini harus dapat diupayakan dari tingkat yang paling kecil yaitu kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih besar yaitu desa atau kelurahan, kecamatan, bahkan kota atau kabupaten. Terus terang, walaupun nantinya undang-undang kebencanaan ini telah terbit, namun masih perlu adanya prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat ini dapat terealisasi. Prasyarat ini antara lain adanya tokoh penggerak (dari aktivis atau tokoh setempat), konsep yang jelas, objek aktivitas yang jelas, kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis kearifan budaya setempat, dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat. Bahan untuk sosialisasi dan pelatihan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya bermacam-macam, sangat bervariasi. Pada dasarnya kita harus menciptakan bahan sosialisasi dengan bahasa rakyat, yang mudah dimengerti dan mud ah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap -tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan. Bentuk bahan sosialisasi berupa daftar pertanyaan atau matrik isian, misalnya, matrik analisis risiko bencana, matrik mengenal ancaman bahaya di sekitar kita, matrik mengenal kerentanan dan kapasitas, matrik rencana operasional dengan kerangka logis setempat. Pengisian daftar pertanyaan atau matrik isian dapat dilakukan pada saat pelatihan atau lokakarya di setiap RT atau RW atau desa. Tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan gladi berdasar skenario seolah -olah terjadi bencana. Gladi ini harus merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh masing -masing kelompok masyarakat. Lokakarya dan gladi ini adalah bentuk lain dari fungsi kontrol dalam manajemen bencana berbasis masyarakat. Sering gladi ini tidak serius diikuti oleh berbagai pihak, padahal gladi adalah bagian penting yang harus diikuti oleh segenap anggota masyarakat agar bila terjadi bencana maka situasi dapat diatas i tanpa kepanikan. Bagaimanapun juga, gladi tetap harus dilakukan dengan serius demi keselamatan diri dan semua pihak di kala bencana sebenarnya datang secara tiba-tiba. Marilah kita mencoba mengaplikasikan konsep manajemen bencana berbasis masyarakat ini di RT atau RW kita. Kalau menurut Aa Gym, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, mulai sekarang juga.

Kemudian tanggal 26 Desember, yaitu tanggal kejadian bencana gempa dan tsunami di NAD, kita usulkan sebagai Hari Bencana Nasional, selain untuk memperingati bencana dahsyat yang menelan ratusan ribu jiwa, juga sebagai hari evaluasi atau kontrol sejauh mana kemajuan manajemen bencana berbasis masyarakat ini telah berhasil kita lakukan.*** Penulis Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Dunia Pompa : Dunia Pompa Air Bersih Sumur Bor Artesis Atasi Bau Kering Kuning Tercemar dan Keruh

Penanggulangan bencana alam oleh suatu masyarakat membutuhkan negara yang efektif dan masyarakat yang aktif. Pengalaman Indonesia, terutama setelah Reformasi 1998, menunjukkan bahwa penanganan bencana sosial seperti konflik dan KKN tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Di satu pihak terlihat pembiaran oleh negara terhadap KKN serta upaya tambal-sulam dalam mengatasi konflik sosial seperti yang terjadi di Ambon, Poso dan Kalimantan. Demikian pula, vitalitas masyarakat yang kurang tinggi menghasilkan ketidakberdayaan dalam mengatasi bencana. Akhirnya kita melihat terjadinya kombinasi bencana alam dengan bencana sosial (KKN) seperti yang terjadi pada kasus Liwa di Lampung dan Poso. Pada kedua kasus ini bencana alam diikuti oleh bencana sosial seperti KKN dan konflik. Keadaan ini sebagiannya dapat diakibatkan oleh faktor sejarah, di mana peran negara yang otoriter dan heg emonik telah menguras energi sosial masyarakat. Dengan kata lain, negara yang melayani dan masyarakat yang aktif akan lebih berhasil dalam menghadapi bencana alam. Penyebab lainnya adalah peran negara yang terlalu dominan dan kurang memberi kesempatan yang cukup bagi pihak masyarakat dan swasta untuk terlibat dalam organisasi penanggulangan bencana. Ini tidak menghasilkan organisasi dengan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi yang diperlukan oleh masyarakat, terutama dalam keadaan darurat. Di era globalisasi, kelemahan Indonesia dalam mengelola bencana sosial dan alam sebagian (besar) tertolong oleh negara lain dan komunitas internasional. Berbagai tekanan global mulai berpengaruh dalam penanganan bencana sosial seperti KKN dan penyelesaian konfli k. Rating korupsi yang tinggi membuat penanam modal dan lembaga internasional (seperti World Bank dan IMF) melakukan tekanan. Demikian pula penyelesaian berbagai konflik tidak terlepas dari campur tangan luar, baik berupa dukungan atau paksaan untuk proses perdamaian, misalnya dengan diberlakukannya embargo senjata. Dalam hal ini globalisasi telah pula membantu penanggulangan bencana alam di Aceh dan Sumut.

Artikel Lengkap: Editorial Matinya Manajemen Fokus 1. Manajemen Penanggulangan Bencana sebagai Konstruksi Sosial -- Iwan Gardono, PhD (Ketua Jurusan Sosiologi UI, tamat dari Harvard University, AS) 2. Perlunya UU Pencegahan dan Penanggulangan Bencana -- Usman Hamid, A Patra M Zen (Koordinator Kontras, Aktivis LSM) 3. Aksi Sosial dan Aksi Med ia dalam Menanggulangi Bencana -- Effendi Gazali, PhD (Staf Pengajar Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia, PhD dalam bidang Komunikasi Politik di Radboud University, Nijmegen (Belanda). 4. Pendidikan Anak dalam Situasi Darurat -- Muhammad Joni SH, MH (Anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak [Komnas PA], Jakarta) 5. Prinsip -prinsip Dukungan Psikososial Pascabencana -- Livia Iskandar -Dharmawan, Dr Kristi Poerwandari (Direktur Yayasan Pulih, Ketua Kajian Wanita UI) 6. Mengenal dan Mengantisipasi Ben cana Alam Geologis -- Budi Brahmantyo, PhD, Deny Juanda Puradimaja, PhD (Keduanya bekerja di Departemen Teknik Geologi FIKTM ITB) 7. Quo Vadis Manajemen Bencana Indonesia? -- Adi Fahrudin, PhD (Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS ), Bandung Laporan 8. Sebuah Negeri dengan Sejuta Bencana Mohammad Kholifan 9. Curiga atas Bantuan Internasional -- Elly Burhaini Faizal (Wartawati Harian Suara Pembaruan) Inspirasi 10. Harapan Masih Tersisa -- Buni Yani 11. AP Royani: Petani Perintis dari Cianjur 12. Nelly Izmi: Wanita Penggerak Usaha Bordir =========== Jurnal Aksi Sosial (JAS) lahir dengan inspirasi untuk merekam aksi -aksi sosial yang telah tumbuh dari berbagai kalangan. Upaya -upaya yang baik ini perlu ditumbuhkan agar menjadi inspi rasi, kemudian disebarkan, dengan harapan akan semakin banyak pihak melakukan langkah -langkah serupa untuk membantu sesama. JAS adalah media komunikasi untuk berbagi pengalaman dalam memperbaiki kondisi sosial kita. JAS diterbitkan oleh Program Magister Ma najemen Pembangunan Sosial UI bekerja sama dengan Departemen

Sosial RI. Majalah Tempo memberikan bantuan teknis keredaksian dan BD+A Design merancang desain grafisnya. Di samping Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial (MPS) UI dan Departemen Sosial RI, dua lembaga yang masih terkait dengan lembaga -lembaga tersebut ikut terlibat dalam penerbitan Jurnal Aksi Sosial. Keduanya adalah Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolution (CERIC) FISIP UI dan Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI. CERIC Universitas Indonesia CERIC adalah pusat studi hubungan antarkelompok dan penanggulangan konflik yang berada di bawah Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). CERIC ikut men gelola peminatan Analisa Konflik dan Pembangunan Perdamaian yang ditawarkan oleh Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial UI.

Didirikan pada Oktober 2000, CERIC didukung oleh para ilmuwan sosial dari Universitas Indonesia dan Ohio University yang me miliki minat dan kepedulian tinggi pada penelitian sosial. CERIC memandang perlunya upaya serius untuk menumbuhkan formulasi pengendalian konflik tanpa menggunakan cara -cara kekerasan. Untuk membuat strategi pengelolaan konflik secara damai di Indonesia, s edikitnya perlu dilakukan dua hal penting, yakni: 1) adanya penelitian yang transparan dan terfokus terhadap dinamika hubungan antarkelompok dan sumber-sumber terjadinya konflik, dan 2) adanya pelatihan-pelatihan tentang penanggulangan konflik dan mediasi kelompok yang ditujukan kepada seluruh anggota masyarakat, dari aparat pemerintah sampai pemimpin masyarakat. Balatbangsos Departemen Sosial RI Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) adalah sebuah lembaga setingkat Direktorat Jenderal di bawah Departemen Sosial RI yang bertugas melakukan pelatihan dan penelitian dalam bidang sosial. Balatbangsos menerbitkan sejumlah jurnal dan berkala, buku, dan terbitan -terbitan lainnya dalam usaha untuk mengkomunikasikan hasil penelitiannya. Balatbangsos adalah tulang punggung Departemen Sosial dalam bidang penelitian, pelatihan dan pengembangan. Kajian -kajian Balatbangsos diarahkan untuk memberikan kontribusi terhadap kebijakan makro Departemen Sosial. Penerbitan Jurnal Aksi Sosial, salah satunya, dimaks udkan untuk tujuan ini. =================

Undangan Menulis Perbincangan mengenai peran lembaga -lembaga non-pemerintah di Indonesia dalam menangani berbagai macam masalah sosial telah sering dilakukan. Namun itu tidak mengurangi pentingnya masalah ini untuk dibahas kembali. Terutama dalam tujuh tahun terakhir ketika berbagai persoalan seolah tiada henti menghantam Indonesia mulai dari krisis ekonomi, bencana alam, kebakaran hutan, pertikaian antaretnis dan agama, kriminalitas, narkoba, dan lain -lain hal yang sangat memerlukan penanganan segera. Dengan alasan inilah Jurnal Aksi Sosial edisi Juli-Desember 2005 mengangkat topik Peran Lembaga Non-Pemerintah dalam Penanganan Berbagai Masalah Sosial di Indonesia. Topik ini kami angkat untuk mendapatkan su atu gambaran kasar tentang siapa saja mengerjakan apa, atau lembaga mana mengerjakan bidang apa. Kami berharap dengan berbagai informasi yang terkumpul dalam berbagai artikel nanti, akan ada pemetaan kasar tentang lembaga -lembaga yang bergiat tersebut, seh ingga berbagai organisasi yang memerlukan partner kerja tidak kesulitan membuat jaringan kerja dalam menjalankan program -program mereka. Artikel terdiri dari: 1) uraian tentang profil, bidang kerja, dan sumber dana lembaga Anda, 2) program-program yang te lah dijalankan, 3) program-program yang dijadikan unggulan atau yang paling menonjol yang telah dijalankan lembaga Anda, 4) program-program paling berhasil atau paling gagal yang pernah dijalankan, dan 5) bagaimana masyarakat menilai kinerja lembaga Anda. Artikel harus memuat dan membahas secara mendalam setidaknya satu program yang mengandung unsur problem solving yang pernah dijalankan, yang terdiri dari bagian-bagian berikut ini: 1) deskripsi tentang program tersebut, 2) solusi yang ditawarkan terhadap masalah yang dihadapi dalam menjalankan program tersebut, dan 3) evaluasi terhadap solusi yang ditawarkan. Evaluasi membahas apakah solusi yang ditawarkan berhasil, dan mengapa berhasil; atau apakah solusi yang ditawarkan tersebut gagal, dan mengapa gagal. Panjang tulisan berkisar 10 -12 halaman kwarto diketik dengan program Microsoft Word, 1,5 spasi, menggunakan huruf Times New Roman 12 font. Naskah sudah harus diterima Redaksi paling lambat 7 September 2005. Redaksi menyediakan honor yang layak untuk setiap artikel yang diterbitkan. Naskah bisa dikirim ke Redaksi Jurnal Aksi Sosial pada alamat berikut:

MANAJEMEN BENCANA: Mengapa Tidak?


Post :B Topic: Creati e tomo comments

MANAJEMEN, pada hakikatnya bisa diartikan dengan sat kalimat:singkat:seni melaksanakan pekerjaan dengan baik. Termasuk dalam pengertian seni tersebut adalah serangkaian kegiatan sejak: merencanakan, menerapkan, mengawasi, memelihara kesinambungan, sampaimengembangkan kegiatan yang bersangkutan. Rangkaian kegiatan tersebut bisa dilakukan oleh seseorang, beberapa, maupun banyak orang sekaligus. Dan sesuai fungsi fungsi yang ada, manajemen pun punya peringkat jabatan. Sejak pucuk pimpinan tertinggi hingga bawahan paling rendah - lengkap dengan ketentuan hak pengambilan keputusan, lingkup tanggungjawab, serta besarnya imbalan yang diperoleh masingmasing. Demikianlah manajemen dalam arti yang paling sederhana. Tapi lalu apa maksud judul tulisan di atas? Mengapa manajemen perlu dihubungkan dengan peristiwa bencana segala? Apakah bencana itu bisa di manaj atau dikelola dengan baik? Sebagai sebuah peristiwa yang tak terduga kapan datangnya, bencana ( i t ) memang sulittapi d bukan tidak mungkin-dikelola. Dari segi kurun waktunya, paling tidak bisa kita bedakan tiga tahap manajemen termaksud: pra atau sebelum, saat berlangsung, dan pasca terjadinya bencana. Pada masa sebelum terjadi, banyak hal yang bisa kita lakukan. Misalnya: mempelajari aneka jenis bencana (ba ik alam maupun manusiawi) berikut siklus atau pola terjadinya, membuat peta rawan bencana untuk berbagai wilayah di Indonesia, menyiapkan dan mengorganisasikan sumberdaya manusia yang terampil membantu para korban (baik kaum relawan maupun profesional),men stock bahan-bahan kebutuhan dan obat-obatan pokok bagi para korban, termasuk menyediakan aneka alat bantu yang diperlukan (perahu karet, baju pelampung, pemadam kebakaran, masker anti asap, dan lain -lain). Semasa bencana itu berlangsung, jelas lebih banyak lagi hal yang perlu dikelola: evakuasi para korban, membangun tempat penampungan sementara, menyelenggarakan dapur umum dan klinik darurat, menciptakan sistem informasi bencana terpadu, menghimpun dana dari masyarakat, menerima dan mengatur penyaluran arus bantuan yang datang ke pihak -pihak yang benar-benar memerlukan, bersiapsiap menghadapi bencana susulan, dan seterusnya. Sedangkan pada saat pasca bencana, juga tidak sedikit tugas lanjutan yang masih menantang: memanfaatkan surplus bantuan bila ada,merehabilitasi fasilitas umum dan sosial yang rusak, memukimkan kembali atau bila perlu mentransmigrasikan para korban, membangun solusi jangka panjang agar bencana serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang, dan lain sebagainya. Sekarang sebaliknya, apa saja yang mungkin terjadi apabila manajemen bencana termaksud kita abaikan? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak skenario penanganan bencana yang begitu sering terjadi di negeri kita. Sebuah konflik bernuansa SARA merebak, banjir bandang melanda, kemaraugersang tak kunjung berakhir, hutan terbakar, angin topan menerpa, gunung meletus, atau gempa bumi dahsyat berkekuatan sekian pada skala Richter terjadi. Fasilitas umum dan sosial porak -poranda, dan korban-korban pun berjatuhan baik manusia maupun harta-benda. Banyak penduduk kehilangan tempat tinggal, terlantar, menderita dan meninggal dunia. Syahdan, sebagaimana biasanya, berbagai pihak di masyarakat mulai berbondong -bondong hendak menolong para korban. Pasukan SAR (Search & Rescue), regu Palang Merah serta tim kesehatan pun diterjunkan. Permukiman darurat dibangun, dapur umum diselenggarakan dan pejabat dari pusat berdatangan meninjau. Kalangan media massa biasanya juga tak mau ketinggalan: membuka Dompet Sumbangan Pembaca, Rekening Peduli Pendengar ata Pemirsa masing-masing. Apabila jumlah korban u dan tingkat kerusakan yang terjadi sangat parah, status sebagai Bencana Nasional bisa saja dicanangkan

pemerintah, yang pada gilirannya akan mengundang pula bantuan dari negara-negara sahabat di luar negeri. Maka, seperti bisa diduga, arus bantuan yang beraneka-ragam pun berdatangan dari segala penjuru. Ada yang berupa bahan kebutuhan pokok, obat-obatan, pakaian, material bangunan dan juga uang. Kemudian dibentuklah sebuah panitia yang mewakili berbagai unsur terkait, dipimpin langsung oleh pejabat pemerintah setempat atau pusat. Sampai di sini cerita khayal tapi kerap terjadi ini saya akhiri. Karena dari titik inilah tak jarang terjadi bencana lain, berhubung belum cukup diterapkannya manajemen bencana termaksud dalam tulisan ini. Semua pihak cenderung bekerja sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang terarah dan terencana. Bahkan ada sementara pihak yang seolah ingin menjadi pahlawan, dan pada gilirannya lalu menuntut perolehan porsi anggaran terbesar. Jumlah maupun ragam bantuan yang datang tak pernah seimbang, berhubung tidak jelas informasi tentang apa-apa yang paling diperlukan para korban di lokasi-lokasi yang berbeda dari waktu ke waktu. Belum lagi kendala dan sulitnya mencapai daerah pusat bencana serta distribusi logistik yang semrawut. Sementara itu, korban manusia yang berjatuhan makin bertambah. Yang meninggal, sakit, atau yang semula sehat lalu ketularan penyakit dan meninggal, dan semacamnya. Semua ini belum terhitung kemungkinan adanya pihak-pihak yang memang sengaja mencari kesempatan di dalam kesempitan demi keuntungan pribadi. Ya, sejak dulu sampai kapan pun, penyakit korupsi tak pernah memandang tempat dan waktu. Bahkan peristiwa bencana sekali pun bisa saja menjadi ladang subur bagi pejabat maksud saya oknum-oknum pejabat yang bersangkutan. Bencana Nasional Ilustrasi fiktif di atas sekedar contoh dari banyak lagi kasus penanganan bencana yang semrawut di negeri kita, berhubung belum diterapkannya manajemen bencana dengan baik. Kasus nyata yang masih hangat terjadi adalah gempa bumi disertai gelombang pasang Tsunami yang melanda sebagian wilayah Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara (bahkan sejumlah negara tetangga lain di wilayah Asia Selatan), Minggu, 26 Desember 2004 lalu. Korban jiwa yang jatuh di Aceh saja sudah melewati angka 100.000-an, kerusakan harta-benda tak terhitung jumlahnya, sampai-sampai pemerintah pun telah menyatakannya sebagai Bencana Nasional lengkap dengan Hari Berkabung serta ajakan mengibarkan Bendera Setengah Tiang. Tahapan penanggulangannya pun dicanangkan, berawal dari tahap Darurat (2005), Rehabilitasi (2005-2006) sampai Rekonstruksi (2005-2009) yang telah menelan biaya trilyunan rupiah! Tak pelak lagi, sebenarnya pada saat terjadinya bencanalah keterampilan Manajemen Bencana bangsa kita diuji sebagaimana halnya Gempa Bumi dahsyat yang melanda Sumatera tanggal 30 September & 1 Oktober 2009 lalu. Mari kita simak bersama, betapa sibuknya berbagai pihak terkait jadinya. Berapa banyak bantuan diimbau atau ditodong, rekening Dompet Peduli dibuka, Malam Penghimpunan Dana diselenggarakan serta Iklan Turut Berdukacita dimuat atau ditayangkan orang? Berapa jumlah dan ragam tenaga relawan yang terlibat? Dan berapa besar arus aneka sumbangan yang mengalir dari masyarakat d i dalam maupun luar negeri ke wilayah bencana? Juga, adalah menarik untuk mengetahui, akankah berbagai kekisruhan tersebut dalam kisah fiktif di atas terulang kembali? Ataukah kita akan serta-merta berdalih, bahwa bencana kali ini berbeda, karena tingkat kerusakkan yang terjadi sangat parah, sehingga mana mungkin kita mampu mengelolanya? Ach! Lalu, apakah kalau bencana yang terjadi berskala kecil, kita sudah mampu mengelolanya dengan baik? Pertanyaan lain yang masih tersisa adalah: Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari rangkaian bencana yang pernah terjadi selama ini? Mampukah sebagai bangsa kita memetik hikmah daripadanya? Institut Bencana Indonesia

Dalam rangka menjawab pertanyaan terakhir itu, izinkanlah saya melontarkan sebuah usul sebagai penutup tulisan ini, yang bisa kiranya dijadikan salah satu hikmah termaksud. Bukan, hikmah yang saya maksud bukan berupa ajakan introspeksi ke dalam diri sambil merenungkan kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat seperti syair lagu terkenal Ebiet G. Ade: Untuk Kita Renungkan. Usul saya kiranya lebih inovatif konstruktif ke luar, guna meningkatkan kemampuan kita menghadapi ancaman bencana di masa depan. Yaitu: perlunya segera didirikan semacam wadah independen yang khusus bertujuan mengkaji dan mengelola aneka bencana di negeri kita. Secara terpisah-pisah memang sudah ada lembaga yang bertujuan serupa baik resmi maupun swasta seperti: Tim SAR (Search & Rescue), Palang Merah Indonesia, Brigade Siaga Bencana (DepKes), Bakornas (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam) berikut seluruh perwakilannya di daerah, Kelompok Pencinta Alam, dan berbagai LSM terkait lainnya. Namun seperti sering terbukti, masing-masing baru disibukkan setelah bencana terjadi, tak ada upaya pra-maupun-pasca penanganannya, di samping jejaring kerjasamanya pun belum terkoordinasi secara efektif. Apalagi mereka umumnya kurang ditangani secara profesional, sistem keuangannya belum terbuka, bahkan tak jarang lembagalembaga tersebut cenderung dimiliki oleh oknum pendiri atau pejabat pimpinan bersama kroninya. Di lain pihak, wawasan kita tentang bencana pun umumnya masih menyempit ke hanya jenis-jenis bencana alam. Padahal negeri kita juga punya potensi rawan bencana sosial-kemanusiaan, termasuk konflikkonflik bernuansa SARA yang di antaranya bahkan masih mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang! Institut Bencana Indonesia (Indonesian Disasters Institute untuk sementara sebut saja demikian) yang saya maksud adalah sebuah wadah khusus yang bertujuan melakukan serangkaian kegiatan sejak antisipasi, penanggulangan serta rehabilitasi pasca aneka bencana di seluruh tanah air tercinta. Statusnya harus independen, bukan instansi resmi (agar mekanisme kerjanya tidak terlalu birokratis), bukan pula onderbouw partai politik tertentu (agar tidak dijadikan alat kampanye), maupun terikat pada organisasi keagamaan mana pun. Dan meskipun bergerak di sektor nirlaba, sistem keuangannya harus transparan, diaudit secara teratur dan boleh diperiksa oleh siapa saja manakala diperlukan. Untuk mampu melaksanakan misinya, tim Institut Bencana Indonesia termaksud jelas harus diisi oleh sumberdaya manusia terpilih dan diketuai seorang yang memiliki keterampilan manajerial tinggi dan sekaligus punya kualitas kepemimpinan terpuji. Soal kebutuhan dana awal rasanya tidak sulit diperoleh, mungkin dengan menyisihkan sebagian kecil anggaran penanggulangan bencana yang ada, atau dari hasil sumbangan sukarela pihak-pihak yang terpanggil di masyarakat. Tapi soalnya lalu: adakah di antara putera-puteri terbaik Indonesia yang merasa terpanggil mengemban tugas mulia tersebut? Dan mengapa tidak? Manajemen Bencana ditinjau dari Perspektif Bantuan Sosial Dikirim oleh andriana - pada Friday, 28 September 2007 Disaster Management atau manajemen bencana atau penanggulangan bencana yang menjadi konsentrasi Departemen Sosial RI harus sesuai dengan atau mengacu pada visi dan misi Departemen itu sendiri. Dalam hal ini penanggulangan bencana harus terkait dengan perubahan sikap dan tingkah laku sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial menuju keberfungsian sosial baik individu, kelompok maupun komunitas dan lingkungannya khususnya korban bencana. Lebih lanjut tentang hal ini Drs. ANDI HANINDITO-Kasubdit. Tanggap Darurat DEPSOS RI menguraikan secara mendalam dan ilmiah dengan judul "MANAJEMEN BENCANA DITINJAU DARI PERSPEKTIF BANTUAN SOSIAL" yang akan disampaikan pada The 5th Asia Crisis Management Conference Di Jakarta tanggal 24 Oktober 2007

A.Pengertian Manajemen Bencana Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. 1. B.Tujuan Manajemen Bencana Secara umum, manajemen bencana ditujukan untuk : 1. 1.Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup 2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban 1. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman. 1. 4.Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana. 1. 5.Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut. 1. 6.Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan 1. C.Prinsip Utama Manajemen Bencana 1. 1.Tidak ada dua bencana yang sama (there are no two disasters alike), walaupun jenis bencana dan lokasinya sama. 1. 2.Efektivitas dan efisiensi manajemen bencana ditentukan oleh penguasaan akan karakteristik setiap bencana serta kejelasan aspek-aspek kunci sebagai berikut : 1. a.Sasaran dan bentuk bahaya yang akan terjadi 1. b.Sumber-sumber lokal yang tersedia 1. c.Bentuk-bentuk organisasi manajemen bencana yang dibutuhkan. 1. d.Perencanaan pemenuhan kebutuhan bila bencana terjadi. 1. e.Tindakan yang harus dilakukan oleh sektor serta titik masuknya dalam siklus manajemen bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi). 1. f.Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan personel manajemen bencana secara berlanjut. 1. g.Kesejahteraan personel-personel bencana.

1. 3.Uang tunai merupakan bentuk bantuan manajemen bencana yang paling baik. 1. D.Mekanisme Manajemen Bencana Mekanisme manajemen bencana terdiri dari : 1. 1.Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana dan kerapkali disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, terdiri dari keluarga, organisasi s osial informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong royongan, arisan dan sebagainya) serta masyarakat lokal. 1. 2.Mekanisme eksternal atau formal, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh untuk Indonesia adalah BAKORNAS PB, SATKORLAK PB dan SATLAK PB. 1. E.Bantuan Sosial adalah seluruh dukungan untuk : 1. 1.Pemenuhan kebutuhan fisik, mental dan sosial korban bencana seoptimal mungkin sesuai kondisi aktual setempat. 1. 2.Peningkatan kemampuan, motivasi dan peranan korban bencana dalam berbagai kegiatan restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi. 1. 3.Pemecahan masalah-masalah psikososial korban bencana serta memulihkan dan meningkatkan peranan-peranan sosialnya. 1. 4.Pencegahan dan mitigasi berbagai kerugian yang dialami korban bencana dalam kejadian bencana di masa datang. 1. 5.Peningkatan dukungan semua unsur masyarakat secara berlanjut dalam penanganan darurat, restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi. 1. F.Bentuk dan Jenis Bantuan Sosial 1. 1.Bentuk Bantuan Sosial 1. a.Fisik 1. b.Non Fisik 1. 2.Jenis Bantuan Sosial 1. a.Siap Pakai 1. b.Olahan 1. c.Tambahan/ Pelengkap 1. G.Penerapan Manajemen Bencana Bidang Bantuan Sosial

1. 1.Bidang Bantuan Sosial merupakan salah satu aspek strategis dalam penanggulangan bencana. 1. 2.Pelaksanaan bidang bantuan sosial yang menjadi bagian dari penanggulangan bencana tidak bisa dilakukan secara parsial dan harus utuh dalam satu kesatuan yang saling terkait karena pendekatan-pendekatan yang digunakan bidang bantuan sosial dalam penanggulaangan bencana berpedoman pada manajemen kebencanaan yang terbagi dalam siklus penanggulangan bencana yaitu sebelum, saat dan sesudah. 1. 3.Pedoman untuk melaksanakan bidang bantuan sosial dalam penanggulangan bencana adalah bagian dari kebijakan sosial (Social Policy) yang di dalamnya ditentukan prinsip-prinsip umum untuk menentukan pilihan dan membuat keputusan pada kondisi yang tidak/ belum diketahui atau kondisi yang mungkin akan terjadi di masa mendatang 1. 4.Implementasi Bidang Bantuan Sosial dalam penanggulangan bencana dirumuskan dalam bentuk program penanggulangan bencana bidang bantuan sosial. 1. 5.Program penanggulangan bencana bidang bantuan sosial meliputi : 1. Bantuan Sosial yaitu berbentuk perlindungan dan pertolongan dengan fokus untuk dampak bencana temporer (Temporary Impact) 1. Rehabilitasi Sosial, yaitu berbentuk fisik dan non fisik dengan fokus untuk dampak bencana permanen (Permanent Impact) 1. Pemberdayaan Sosial yaitu berbentuk penguatan dan pengembangan dengan fokus untuk dampak bencana berkelanjutan (Sustainable Impact) 1. 6.Hasil yang diharapkan dari seluruh proses kegiatan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial adalah terpenuhinya kebutuhan korban bencana agar dapat hidup secara wajar. 1. 7.Agar proses kegiatan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berjalan sistemik dan holistik maka harus menempatkan sasaran dan pengguna sebagai subyek sekaligus pelaku aktif yaitu masyarakat itu sendiri. Untuk itu masyarakat perlu ditingkatkan kapasitas kemampuannya agar lebih mampu mengelola dirinya dan potensi-potensi yang dianggap dapat mendukung kebutuhannya sendiri secara proporsional. Dalam hal ini peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator 1. 8.Peran dan tanggung jawab masyarakat yang dimainkan dalam sistem penanggulangan bencana harus tertuang dalam kebijakan pemerintah untuk penanggulangan bencana melalui Program CBDM (Community Based Disaster Management). 1. 9.Beberapa Alasan tentang Pentingnya Program CBDM 1. 9.Beberapa Alasan tentang Pentingnya Program CBDM 1. Cakupan wilayah yang tersebar dan luas

1. Keterbatasan kemampuan Pemerintah 1. Potensi dan sumber-sumber yang dimiliki masyarakat sangat besar tapi belum dikelola secara profesional 1. Efektivitas pelaksanaan penanggulangan bencana dengan sistem pemerintahan desentralisasi adalah untuk memperkuat dan memperluas potensi Front Liner sebagai ujung tombak 1. Efisiensi pengerahan sumber-sumber bantuan, akses sistem jaringan komunikasi dan informasi serta jalur koordinasi dapat dilakukan menggunakan sistem komando terutama pada saat tanggap darurat / emergency dengan memberdayakan, mendelegasikan serta menempatk peran orangan orang kunci dari unsur masyarakat yang terlatih untuk mengambil keputusan secara cepat dan tidak terganggu mekanisme birokrasi. 1. 10.Manfaat Program CBDM 1. Memperkuat ikatan psikologis yang secara tidak langsung akan memperkokoh tingkat emosional antar individu 1. Memperkecil tingkat ketergantungan kepada Pemerintah 1. Meningkatkan budaya gotong royong dan kebersamaan 1. Mempercepat proses tindakan/ reaksi terutama pada saat bencana terjadi 1. Mempermudah menyamakan persepsi tentang resiko/ bahaya bencana 1. Mengaktifkan potensi dan sumber-sumber lokal 1. Memperkuat persatuan dan solidaritas nasional 1. 11.Strategi Program CBDM 1. Membangun sentra-sentra komando berbasis komunitas 1. Menetapkan orang-orang kunci 1. Melakukan kegiatan-kegiatan bermuatan materi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat secara periodik melalui pelatihan, penyuluhan, gladi dan simulasi Penutup
y

y y

Indikator keberhasilan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial sangat ditentukan oleh peran masyarakat itu sendiri, sebab seluruh proses kegiatannya di setiap wilayah atau daerah tidak akan sama karena sangat dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan budaya setempat. Seluruh ketentuan/ pedoman dan aturan yang terkait dengan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial harus aplikatif, fleksibel dan dinamis Pekerjaan utama yang paling berat oleh Pemerintah pada saat ini adalah merubah Main Set Masyarakat dari ketergantungan menjadi mandiri dalam penanggulangan bencana sebelum bantuan dari luar datang (to help them self)

Prosedur & Tahapan Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat / Komunitas

(Kajian Team Artha Graha Peduli Merapi) 1. PRA BENCANA Merencanakan dan melaksanakan kegiatan Ronda (pemantauan, informasi dankomunikasi). Mengamati perkembangan aktivitas gunung Merapi ,saling menginformasikan dan mengkomunikasikan perkembangan. Merencanakan dan Mensosialisasikan Kesepakatan tanda bahaya Kentongan, sirine, peluit atau apa yang disepakati. Merencanakan dan Mensosialisasikan Kesepakatan jalur evakuasi Disepakati jalur mana yang akan dilewati untuk penyelamatan. Merencanakan dan Mensosialisaasikan Kesepakatan Tujuan/Tempat Pengungsian Disepakati tujuan pengungsian ke tempat yang lebih aman. Mensosialisasikan Persiapan Masing Masing Keluarga Yang diselamatkan : surat-surat berharga, ternak, pakaian secukupnya.

2.

SAAT BENCANA Ada Jaminan Hidup Layak di Pengungsian yang di Rencanakan (tersedia sarana MCK, air, pangan, papan, sandang perlengkapan, kesehatan dan rasa aman)

3.

PASCA BENCANA Ada Jaminan Kembali Ketempat Asal Search And Rescue

PEMANFAATAN SUMBER DAYA MASYARAKAT / KOMUNITAS YANG ADA

1.

PRA BENCANA a. Perangkat Komunikasi & Informasi : Peralatan Komunikasi (HT, Telepon Dll) Denah Jalur Pengungsian yang dipahami dan dimengerti oleh masyarakat.

Alat Penyampaian Tanda Bahaya Yang di Sepakati ( kentongan , sirene ,dll ) Tempat Tujuan Pengungsian Yang di Sepakati Sosialisasi Melalui Selebaran, Penyuluhan, Pelatihan Sederhana. Menginformasikan Bahaya Merapi. b. Membantu Pengorganisasian Masyarakat Siskamling + Pengamatan Aktivitas Gunung Merapi Kerjasama dengan Perangkat Desa Setempat , PEMDA , LSM Mempersiapkan/Membuat Alat Penyampai Tanda Bahaya Yang di Sepakati Mempersiapkan Alat Bantu Transportasi Mempersiapkan/Membuat Alat Bantu Penerangan (obor, senter, dll)

2.

SAAT BENCANA 1. Menyediakan PPPK (tenaga medis dan obat-obatan) 2. Membantu Evakuasi 3. Membantu Distribusi Bantuan Dengan Mekanisme Kesepakatan Yang Jelas Langsung Ke Komunitas 4. Controlling dan Monitoring : Analisa keadaan dan tentukan diam di tempat atau mengungsi. Persiapan penerangan PPPK Keamanan Pendataan pengungsi Kerukunan antar warga dijaga

3.

PASCA BENCANA 1. Evakuasi korban 2. Trauma Healing 3. Advokasi 4. Evaluasi : Evaluasi analisa keadaan lingkungan tempat tinggal penduduk Pemulihan keadaan pasca bencana.

Sumber : The Jakarta consulting Group Manajemen Bencana (Jun06) A.B. Susanto*

Saat kita bersiap-siap menghadapi letusan gunung Merapi, ternyata yang muncul justru gempa tektonik yang mempunyai daya rusak yang dahsyat dan banyak memakan korban jiwa. Memang inilah ciri sebuah bencana, tidak dapat sepenuhnya diprediksi. Dan sampai beberapa hari gempa yang melanda Yogya dan Jawa Tengah lewat, penanganan korban masih amaburadul. Solidaritas masyarakat kuat, bantuan sudah menumpuk, tetapi banyak yang belum dapat tersalurkan kepada yang membutuhkan. Artinya masalahnya terletak dalam manajemen bencana. Manajemen bencana berangkat dari keterbatasan manusia dalam memprediksi dan menghadapi bencana, berupa strategi dan kebijakan dalam antisipasi, pencegahan, dan penanganan bencana. Tujuannya, mencegah, memprediksi dan mengantisipasi bencana sebatas kemampuan serta meminimalkan kerugian. Proses manajemen bencana melibatkan empat tahapan, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan ( preparedness), tanggapan (response), dan pemulihan (recovery). Mitigasi merupakan pencegahan dampak bencana sampai pada tahap minimal. Kebijakan mitigasi dalam manajemen bencana ini adalah sebuah kebijakan jangka panjang, bersifat strukural maupun non struktural. Kebijakan yang bersifat struktural menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Sedangkan kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan. Dalam tahap preparedness disusun rencana aksi yang harus dilakukan apabila bencana terjadi. Kebijakan preparedness yang biasa dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana adalah pelatihan terhadap petugas medis dalam memberikan pertolongan pertama, pembangunan dan pelatihan sistem peringatan akan terjadinya bencana yang dikombinasikan dengan tempat tinggal darurat dan rencana evakuasi, penyediaan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan dalam keadaan darurat, dan lain sebagainya. Berbagai peristiwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, semakin menunjukkan pentingnya penyusunan rencana aksi yang diperlukan guna meminimalkan dampak buruk yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana.

Dibutuhkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang kuat, serta kemampuan membangun komunikasi dan melakukan pendekatan yang efektif dengan masyarakat di daerah rawan bencana. Tujuannya untuk membantu warga dalam melakukan antisipasi dan menyusun rencana yang diperlukan bila bencana terjadi. Pendekatan dan komunikasi yang akan dibangun dengan warga setempat harus memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat sehingga mampu menghasilkan hubungan yang bersifat saling percaya antara pemimpin dan warga masyarakat setempat. Untuk mendukung rencana aksi ini, kunci utamanya adalah koordinasi, yang telah terbukti menjadi kelemahan kita selam ini. Diharapkan setiap pihak dapat saling berhubungan dalam suasana yang kondusif, serta saling mengisi dan memanfaatkan kekuatan masing-masing agar dapat meminimalkan risiko kerugian. Tak kalah penting adalah tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan untuk terlaksananya rencana aksi ini. Juga perlu diperhatikan mekanisme penyaluran sumberdaya yang dibutuhkan tersebut dan otoritas mana saja yang harus dilibatkan dalam proses penyalurannya. Sumberdaya yang disalurkan haru dipastikan s tepat sasaran dan dimanfaatkan secara optimal dan transparan. Peluang bagi partisipasi seluruh komponen masyarakat harus dibuka seluas-luasnya, dengan cataatan tetap harus ada koordinasi. Tahapan berikutnya adalah tahapan response, yang melibatkan mobilisasi tenaga emergency yang dibutuhkan untuk memberikan pertolongan pertama, seperti tenaga medis, polisi, dan tenaga sukarelawan. Tenaga emergency terlatih yang didukung oleh rencana aksi yang disusun pada tahap sebelumnya memudahkan koordinasi upaya penyelamatan. Pada tahap ini kemampuan tenaga emergency menjadi sangat penting, karena mereka dituntut untuk memberi bantuan, bukan hanya secara fisik dan medis, tetapi juga memberikan dorongan yang bersifat psikologis. Perlu dibuka peluang yang seluas-luasnya bagi tenaga emergency yang mampu dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana ini. Dalam situasi ini tugas pemimpin adalah membantu koordinasi tenaga-tenaga emergency yang ada sehingga mereka dapat bekerja sebagai sebuah tim yang saling mendukung. Tahap terakhir adalah tahap recovery, yaitu bagaimana membangun kembali daerah yang terkena bencana agar pulih kembali. Usaha recovery berkaitan dengan pembangunan bangunan dan aset yang hancur, terutama infrastruktur vital. Diantaranya menghitung nilai kerugian yang diderita akibat bencana dan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan kembali. Tahap recovery ini juga saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali manajemen bencana yang telah diterapkan, sebagai masukan untuk menerapkan manajemen bencana yang lebih baik. Tahap recovery ini juga merupakan peluang emas untuk melakukan perubahan dalam aspek-aspek kehidupan lainnya. Misalnya banjir dan longsor membuka peluang untuk membenahi tata wilayah dan masalah penggundulan hutan. Bukankah orang lebih bersedia menerima perubahan apabila terjadi peristiwa buruk yang menimpa mereka dan memaksa mereka melakukan perubahan? Manajemen bencana bukan hanya tindakan kuratif setelah bencana terjadi saja, tetapi juga berupa tindakan preventif berupa antisipasi dan action plan. Dan tidak dapat hanya bertumpu kepada kebijakan yang bersifat struktural belaka, tetapi mesti melibatkan pula kebijakan non struktural. Semoga kekurangan kita kali ini dapat kita evaluasi untuk menyusun manajemen bencana yang lebih baik.

Sumber: For justice and humanity, Sep 12 06 MENANTI LAHIRNYA UU MANAJEMEN BENCANA* Heru Susetyo Staf Pengajar Fakultas Hukum UI & Peneliti Manajemen Bencana

Musibah gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 silam adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut. Belum habis luka tsunami mendera bangsa, pada akhir 2005 dan awal 2006 tanah air ini kembali dilanda bencana banjir di Jember, Situbondo, Pantura, juga bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung, Banjarnegara, Kebumen, dan lain-lain. Kesemuanya menelan korban jiwa yang tak sedikit. Belum lagi kerugian materil seperti rumah, bangunan , lahan dan tanaman produktif, hewan ternak, dan harta berharga lainnya. Di sisi lain, kita melihat bahwa negara ini selama enam puluh tahun usianya te rkesan begitu jumawa. Karena, sampai hari ini kita belum memiliki Undang-Undang (UU) ataupun kebijakan terpadu yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (disaster management act). Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 2009 pemerintah dan DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan Undang-Undang tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami 2004 terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan. Pertanyaannya sekarang, kapan UU ini akan lahir? Mengapa setelah memasuki tahun kedua setel h a tsunami UU ini belum juga lahir? Apa signifikansi dari kelahiran UU ini?

Kebijakan Penanganan Bencana di Indonesia Salah satu pangkal permasalahan dari ketidakefektifan penanganan bencana adalah minimnya kebijakan dan regulasi di tingkat pusat mengenai penanganan bencana. Regulasi yang ada hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001. Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 1). Kemudian, musibah kebakaran hutan dan gangguan asap di Sumatera dan Kalimantan pada 1997-1998, bencana kekeringan di Papua, dan eksodus besar-besaran warga Timor Leste ke Timor Barat menyusul konflik pasca jajak pendapat, membuat pemerintah berfikir bahwa Keppres No. 43 tahun 1990 tidak efektif lagi. Akhirnya, Keppres ini disempurnakan dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.

Namun demikian, Keppres No. 106 tahun 1999 menjadi tidak efektif lagi, setelah Departemen Sosial yang menjadi leading sector dalam penanganan pengungsi dibubarkan, yang disusul kemudian dengan pembubaran Kantor Menko Kesra dan Taskin, Karena Bakornas PBP kehilangan ketuanya. Hal ini telah menyebabkan adanya kevakuman kepemimpinan Bakornas PBP yang menyebabkan kevakuman mekanisme koordinasi yang selama ini telah berjalan sangat baik dalam penanganan berbagai bencana dan dampak kerusuhan termasuk pengungsi. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP. Keppres ini merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 106 tahun 1999. Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan; (2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan, kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan-kegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP, 2001 : 2).

Penanganan Bencana di Dunia Internasional Kritik terhadap kebijakan penanggulangan bencana Indonesia seperti tercantum di atas adalah ketentuannya yang tidak operasional. Tidak memberikan landasan bertindak yang jelas. Yang ada adalah pedoman dan strategi-strategi umum. Itupun dituangkan dalam bentuk Keppres. Bakornas PBP juga ditaburi oleh para pejabat tinggi negara yang tidak jelas apakah benar-benar dapat bekerja efektif ataukah hanya sekedar portofolio saja. Kesan elitisnya lebih terlihat daripada efektifitasnya. Bandingkan dengan India. Pada tingkat negara bagian Gujarat saja telah memiliki Gujarat State Disaster Management Policy (GSDMP) yang dikeluarkan oleh Gujarat State Disaster Management Authority. Regulasi ini mengatur secara lengkap prinsip-prinsip penanganan bencana lengkap dengan langkahlangkah penanganan di tahap sebelum bencana (pre disaster phase), selama bencana ( impact phase), dan pasca bencana (post disaster phase). Ini baru di tingkat negara bagian, belum di tingkat negara federal nya. Afrika Selatan, republik yang baru sembuh dari diskriminasi rasial selama berpuluh tahun, juga memiliki kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif, yaitu Disaster Management Act 2002. Kebijakan ini mengatur hubungan antar lembaga pemerintah (intergovernmental structures), hirarki penanganan mulai dari pusat (national disaster management centre), propinsi (provincial disaster management centres), hingga kota/ kabupaten (municipal disaster management centre). Jangan lagi apabila dibandingkan dengan negara maju. Pemerintah negara bagian Queensland, Australia memiliki department of emergency services. Departemen ini memiliki the Disaster Management Act 2003 dan memiliki struktur hierarkhis mulai dari state government agencies, district, hingga local disaster management group.

UU Manajemen Bencana Amat Mendesak Rasanya tak ada alternatif lain bagi Indonesia dalam hal penanganan bencana selain mempercepat proses lahirnya UU Manajemen Bencana. Kami memantau bahwa banyak sekali pihak -pihak yang sebenarnya telah memberi masukan bahkan membantu membuatkan draft UU tersebut ke DPR.

Disamping itu, pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberap a NGO internasional yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan. Selain itu, secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) Karena, tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia yang kemudian mengungsi dan terlantar di negara lain. Selain pengungsi, masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons - IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara. Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU Manajemen Bencana atau dibuatkan Undang -Undang tersendiri. Rujukannya adalah pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998. Apabila semua upaya di atas tidak dilakukan. Kita khawatir buruknya penanggulangan bencana ini akan terus melembaga dan berdampak pada penanganan-penanganan selanjutnya. Karena banjir demi banjir, dan tanah longsor demi tanah longsor juga terus terjadi. Akhirnya, kredibilitas pemerintah semakin terpuruk dan masyakat, utamanya korban bencana, akan terus hidup dalam ketidakpastian, kemiskinan, kelaparan, dan ketidakberdayaan. Haruskah kita terus menerus menanggung dosa kolektif ini?
Telah dimuat di jurnal Hukum Indonnusa Esa Unggul

Chromatic health system and disaster management Jumad, 18 Februari 2011

Pri sip D s r Manajemen Bencana Pengertian Bencana


World Health Organization mendefinisikan bencana sebagai "fenomena ekologis cukup besar yang terjadi tiba-tiba sehingga membutuhkan bantuan dari luar." The American College of Emergency Physicians (ACEP) menyatakan bahwa sebuah bencana telah terjadi "ketika kekuatan merusak dari alam atau buatan manusia melampaui sebuah area atau komunitas tertentu untuk mendapatkan perawatan kesehatan." Definisi lain juga ada, namun secara umum menyebutkan bahwa ada kekacauan besar sehingga organisasi, infrastruktur dan sumber daya setempat tidak dapat kembali seperti sedia kala setelah kejadian tersebut tanpa bantuan dari pihak luar. Menurut UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Manajemen bencana merupakan suatu disiplin ilmu yang menyangkut seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4)

mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomi. Bidang ilmu ini berhubungan dengan persiapan sebelum terjadi bencana, tanggap bencana (mis. evakuasi gawat darurat, karantina, dekontaminasi massa, dll) serta mendukung dan membangun kembali masyarakat setelah bencana alam atau bencana buatan manusia terjadi. Jadi manajemen gawat darurat merupakan proses berkelanjutan dimana semua individu, kelompok dan komunitas mengelola risiko dalam usaha untuk menghindari atau memperbaiki akibat bencana yang merupakan hasil dari risiko.

Tahapan Manajemen Bencana

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu:Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan serta peringatan dini; 1. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan Search and Rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian; 2. Kegiatan pasca bencana yang kencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Referensi lain membagi proses manajemen gawat darurat menjadi empat tahap: mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan.

Kegiatan Pra Bencana


- Mitigasi

Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah risiko -risiko yang ada berkembang menjadi bencana secara keseluruhan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi efek bencana ketika terjadi. Tahap ini berbeda dari tahapan lain karena menitikberatkan pada langkah -langkah jangka panjang untuk megnurangi atau menghilangkan risiko. Tindakan-tindakan mitigatif dapat berupa struktural maupun non-struktural. Tindakan-tindakan struktural menggunakan penyelesaian teknologi seperti bendungan atau kanal untuk mengontrol banjir. Tindakan non-struktural mencakup legislasi, perencanaan penggunaan lahan dan asuransi. Mitigasi juga mencakup peraturan mengenai evakuasi, sanksi bagi yang menolak peraturan (seperti evakuasi wajib), dan mengkomunikasikan risiko potensial kepada masyarakat. Mitigasi merupakan metode yang murah untuk mengurangi dampak risiko, namun hal ini tidak selalu disukai. Impleme ntasi strategi mitigasi dapat dipandang sebagai bagian proses pemulihan jika dilakukan setelah terjadi bencana. Aktivitas yang mendahului mitigasi adalah identifikasi risiko. Penilaian risiko fisik merujuk kepada proses identifikasi dan evaluasi bahaya. Persamaan di bawah menunjukkan bahwa bahaya (hazard) dikalikan dengan kerentanan populasi terhadap bahaya tersebut (populations' vulnerability to that hazard) menghasilkan risiko. Semakin tinggi risiko, semakin perlu kerentanan tersebut dijadikan target usaha-usaha mitigasi dan kesiapsiagaan. Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. 1. Penilaian bahaya (hazard assessment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, kemungkinan kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedu unsur mitigasi lainnya; a

2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan (prepraredness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan la ngkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktural), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur dari bencana (mitigasi struktural). Mitigasi tidak hanya menyelamatkan jiwa dan mengurangi kerugian-kerugian harta benda, akan tetapi juga mengurangi konsekuensi merugikan dari bahaya-bahaya alam terhadap aktivitas-aktivitas dan institusi-institusi sosial. Jika sumber-sumber mitigasi terbatas, maka harus ditargetkan pada elemen-elemen yang paling rentan dan mendukung tingkat aktivitas masyarakat yang ada.Penilaian kerentanan merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan menunjukkan kerawanan terhadap kerusakan fisik dan kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber-sumber daya untuk pemulihan yang cepat. Untuk mengurangi kerentanan fisik elemen-elemen yang lemah bisa dilindungi atau diperkuat. Sementara untuk mengurangi kerentanan institusi sosial dan aktivitas ekonomi, infratruktur perlu dimodifikasi atau diperkuat.

aan
Pada tahap kesiapsiagaan, pemerintah atau pihak berwenang mengembangkan rencana aksi ketika bencana terjadi. Langkah-langkah kesiapsiagaan yang umum dilakukan mencakup:
y y y y y

Rencana komunikasi dengan metode dan istilah yang mudah dimengerti Perawatan dan pelatihan pelayanan gawat darurat yang memadai, termas sumber daya manusia massa uk seperti tim gawat darurat yang ada di masyarakat Pengembangan dan pelatihan metode peringatan gawat darurat masyarakat digabung dengan tempat perlindungan gawat darurat serta rencana evakuasi Cadangan, inventaris dan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan bencana Mengembangkan organisasai masyarakat yang terdiri dari awam terlatih

Aspek lain dari kesiapsiagaan adalah perkiraan korban bencana, penyelidikan berupa berapa banyak korban jiwa atau cedera yang mungkin jatuh dari suatu kejadian bencana tertentu. Perencanaan bencana dapat dibagi ke dalam perencanaan eksternal dan internal. Banyak komunitas yang memiliki rencana yang terinci yang ketika diuji ditemukan bahwa rencana tersebut berdasarkan asumsi yang keliru ataupun sama sekali tidak dapat diterapkan pada konteks respons awal.

Perencanaan Eksternal Perencanaan penanggulangan bencana perlu dibuat dengan menggabungkan temuan di lapangan dengan teori ataupun penelitian mengenai bencana sehingga rencana bencana yang kadang dibuat berdasarkan asumsi

yang keliru dan tidak terbukti kebenarannya tidak terjadi. Contohnya, para perencana secara logis berpikir bahwa pasien yang paling parah akan diangkut pertama kali pada saat bencana, pada kenyataannya hal ini tidak terjadi pada banyak kejadian. Dalam mengembangkan rencana bencana, perlu diingat bahwa tidak mun gkin untuk merencanakan semua kemungkinan; oleh karena itu, rencana harus relatif umum sehingga dapat dikembangkan. Sebagian besar bencana yang dapat ditangani menggunakan sumber daya lokal atau regional mengakibatkan korban jiwa kurang dari 100 dan kurang dari 500 cedera berat. Jika rencana dikembangkan untuk bencana skala yang lebih besar, rencana perlu fokus pada 48 jam pertama pasca bencana hingga bantuan nasional atau pusat dapat tiba dan mengatasi tingkat fatalitas yang tinggi selama 24 jam pertama.

Perencanaan Internal Perencana bencana rumah sakit harus mempertimbangkan skenario yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk kemungkinan bahwa bencana dapat melibatkan rumah sakit. Untuk kejadian langka tersebut, aspek aspek keterlibatan rumah sakit seperti dekontaminasi massa, triase multipel dan area pemeringkatan (staging area) di dalam rumah sakit, serta persediaan peralatan dan perlengkapan yang memadai harus diantisipasi. The Joint Comission on Accreditation of Hospitals (JCAHO) mensyaratkan rumah-rumah sakit untuk melatih rencana bencana secara berkala dan membentuk komisi bencana. Komisi ini perlu terdiri dari departemen penting dalam rumah sakit, termasuk administrasi, pelayanan keperawatan, keamanan, komunikasi, laboratorium, pelayanan dokter (termasuk tapi tidak terbatas pada kedokteran gawat darurat, bedah umum, dan radiologi), rekam medis serta perawatan mesin dan peralatan pendukung operasional rumah sakit. Rencana bencana rumah sakit sebaiknya mencakup protokol dan kebijakan yang memenuhi kebu tuhan berikut:
y y y y y y y

Pengenalan dan notifikasi Penilaian kemampuan rumah sakit Pemanggilan kembali petugas Pembangunan pusat kendali fasilitas Perawatan rekam medis yang akurat Hubungan masyarakat Penyediaan kembali kebutuhan rumah sakit

Kegiatan Saat Bencana

Respons
Tahap respons mencakup mobilisasi pelayanan gawat darurat dan first responders yang diperlukan ke tempat bencana. Hal ini mencakup gelombang pertama pelayanan gawat darurat inti seperti pemadam kebakaran, polisi, dan petugas medis beserta ambulans. Rencana gawat darurat yang dilatih dengan baik yang dikembangkan sebagai bagian dari tahap kesiapsiagaan memungkinkan koordinasi penyelamatan yang efisien. Dimana diperlukan usahasearch and rescue

dapat dilakukan pada tahap awal. Tergantung cedera yangdialami, suhu di luar, dan akses terhadap udara dan air, sebagian besar korban bencanca akan mati dalam 72 jam setelah terjadi bencana.

Aktivasi

Notifikasi dan Respons Awal Pada tahap ini, organisasi yang terlibat dalam respons bencana dan populasi yang mungkin terkena dampak diberitahukan. Jika bencana diantisipasi, tahap ini terjadi sebelum bencana. Ini berarti masuk ke dalam tahapan pra bencana. Banyak tempat di area bencana yang memerlukan waktu lebih dari 24 jam untuk melakukan evakuasi secara keseluruhan. Pengaturan komando dan penilaian lokasi kejadian Begitu tahap aktivasi telah dimulai, struktur komando dan staf yang telah diatur sebelumnya untuk merespons bencana perlu diatur kembali dan jaringan komunikasi awal dibangun. Ini merupakan salah satu langkah penting yang diambil begitu bencana terjadi. Secara historis, waktu berharga dapat hilang selama respons bencana pada saat sistem pusat berkoordinasi dengan usaha -usaha respons disiapkan. Selama tahap ini, laporanlaporan awal mengenai penilain lokasi kejadian keseluruhan mulai berdatangan. Untuk bencana yang statis, aset respons yang diperlukan mungkin perlu ditentukan. Kadang, fakta awal yang diketahui adalah bahwa bencana merupakan proses yang terus berjalan. Namun, bahkan fakta ini penting dalam menentukan apakan bantuan luar diperlukan, masih membutuhkan waktu untuk mengaktivasi sumber-sumber daya tersebut.

Implementasi
Search and Rescue Tergantung pada struktur dan fungsi sistem komando, search and rescue dapat berada pada komando pemadam kebakaran, pelayanan gawat darurat medis, atau polisi atau suatu unit tersendiri. Pada insiden yang secara geografis tertutup, usaha search and rescue cenderung gamblang. Pada bencana yang lebih besar, khususnya yang tengah berlangsung atau melibatkan aktivitas terorisme, pendekatan kooperatif diperlukan dan aksi seach and rescue sendiri harus diorganisir untuk memastikan cakupan daerah yang cukup dan menyeluruh. Ekstrikasi, triase, stabilisasi dan transpor Di banyak negara ekstrikasi telah berevolusi menjadi fungsi dan tugas pemadam kebakaran. Sebagai tambahan tim khusus penyelamatan teknis dan perlindungan, pemadam kebakran lebih memiliki pengalaman dengan gedung runtuh dan bahaya sekunder (mis. banjir, kebakaran) dibanding organisasi lain. Konsep triase melibatkan identifikasi dan pemilahan korban dengan cedera yang mengancam jiwa untuk meudian diberikan proritas untuk dirawat. Gambaran lengkap triase jauh di luar jangkauan tulisan ini. Petugas medis biasa memberikan perawatan yang ekstensif dan definitif untuk tiap pasien. Ketika bertemu dengan banyak pasien pada waktu bersamaan pada keadaan bencana, mudah untuk megnalami kewalahan, bahkan bagi pekerja bencana yang berpengalaman. Triase harus dilakukan pada tingkat berbeda dan pasien harus d inilai ulang setiap langkah dari proses itu.

Transpor korban harus diatur dan dijalankan untuk menyalurkan korban ke fasilitas yang mampu menerimanya. Berdasarkan pengalaman, mayoritas individu yang terluka berat dibawa hanya kepada satu atau dua fasilitas penerima, yang kemudian kewalahan. Ini terjadi ketika fasilitas lain siap menerima pasien.

Kegiatan Pasca Bencana Pemulihan


Tujuan dari tahap pemulihan adalah mengembalikan daerah yang terkena bencana kembali ke keadaan semula. Hal ini berbeda dari tahap respons dalam hal fokus; usaha-usaha pemulihan berhubungan dengan masalah dan keputusan yang harus dibuat setelah kebutuhan penting dipenuhi. Usahausaha ini terutama berhubungan dengan aksi yang melibatkan pembangunan kembali bangunan yang hancur, penge rjaan kembali dan perbaikan infrastuktur penting lainnya. Aspek penting dari usaha pemulihan yang efektif adalah memanfaatkan 'jendela kesempatan' untuk mengimplementasikan langkah -langkah mitigatif yang mungkin kurang disukai. Penduduk dari daerah yang te rkena bencana lebih mudah menerima perubahan mitigatif ketika bencana masih segar dalam ingatan.

~kn

Diposkan oleh KurniawanAris di 20:47 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

0 komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Daily Calendar Mengenai Saya

KurniawanAris Lihat profil lengkapku

Yahoo News Top Stories Pengi ut Arsip Blog


y

2011 (10) Februari (10) o  PENANGANAN KORBAN MENINGGAL PADA BENCANA  HUKUM PRAKTIK KEDOKTERAN  Stres Terkait Bencana Alam : Insiden, Tanda Tanda ...  Prinsip Dasar Manajemen Bencana  Post Traumatic Stress Disorder  GOOD MEDICAL PRACTICE  Perubahan Iklim Berdampak pada Kesehatan Global  KONSEP DASAR KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)  Sistem Kesehatan Nasional, Daerah Komponen Siste...  ASURANSI

You might also like