You are on page 1of 17

RASA : INTI KEINDAHAN TARI TRADISI JAWA - GAYA SURAKARTA

Oleh: Katarina Indah Sulastuti, S.Sn., M.Sn.

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Abstraksi Tari merupakan sebuah ekspresi jiwa yang diwujudkan melalui bentuk gerak tubuh yang indah, dan menjadi lambang yang kuat yang digunakan oleh seseorang untuk menunjukkan dirinya bilamana mereka merasakan sesuatu gejolak dalam kehidupanya. Tubuh, merupakan kondisi fisik yang di dalamnya bersemayam jiwa, dengan batin yang selalu bergejolak membentuk sebuah emosi dari setiap rangsangan dan segala fenomena kehidupan. Pergolakan jiwa/batin kemudian diekspresikan melalui gerak tubuh, menjadi sebuah tarian bermakna, berupaya menerobos ke dalam batin dan mengantarkan penghayatan pada tingkat yang paling dalam yaitu rasa. Tari Jawa Surakarta merupakan representasi diri atau kelompok, yang diwujudkan melalui gerak sebagai media utama dan media pendukung lainnya, mengandung sebuah nilai dan makna. Bertujuan untuk memberi penghiburan pada diri/kelompok dan penontonnya. Di samping sebagai wahana penghiburan, tari Jawa Gaya Surakarta juga sebagai sarana legitimasi kekuasaan (di dalam lingkungan Keraton) dan untuk perenungan hidup, yang mampu menyentuh wilayah perasaan yang paling dalam. Pendahuluan Berbicara tentang rasa dalam seni tari Jawa berarti membicarakan hakekat yang terkandung di dalamnya, menyangkut inti dari sebuah keindahan yang diamati dari bentuk visualnya. Keindahan dalam suatu karya tari terwujud dari akumulasi semua unsur yang dibawakan oleh seniman secara total dan penuh penghayatan. Dalam dunia seni tari tradisional di wilayah budaya Surakarta, dikenal konsep hasta sawanda (delapan unsur yang menjadi satu kesatuan). Adalah konsep dalam tari tradisi Jawa sebagai pedoman bagi penari maupun penyusun tari untuk mewujudkan karya secara baik sehingga memenuhi kriteria indah.. Keindahan yang diwujudkan melalui bentuk visual dan auditif merupakan ekspresi dari penjiwaan 2

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

suasana tertentu. Penjiwaan ini yang sering disebut dengan rasa. Penjiwaan yang dilakukan oleh seorang seniman yang maksimal dan ekspresi visual yang mendasarkan pada aturan/konsep dalam komunitasnya akan dapat ditangkap secara baik oleh penghayat, sehingga transformasi rasa melalui wujud karya tari dapat terwujud. Dalam tradisi budaya Hindia/India (Hindu) dikenal estetika Hindu yang disebut sebagai rasa. Rasa yang termuat dalam Sad-angga, merupakan salah satu kriteria atau syarat yang terdiri dari enam (sad) bagian/rincian (angga) yang dapat digunakan sebagai ukuran keindahan. Kiranya kriteria keindahan itu dapat diterapkan dalam seni tradisi Jawa, mengingat kebudayaan Hindu pernah mempunyai peranan sebagai pengembang kebudayaan tradisi seperti di Jawa (Sedyawati, 1981:14). Terdapat bermacam-macam rasa sebagai ujung atau muara atau hakekat dari estetika (keindahan) tari tradisional Jawa Surakarta yaitu regu, sem, nges, sigrak, prenes, kenes, gecul, tregel, dan lain sebagainya. Namun pemahaman konsep konsep tersebut belum jelas dan dalam perwujudan gerak pada sebuah tari masih belum begitu jelas, mengingat dari berbagai rasa yang dapat dimunculkan melalui gerak tari, diwujudkan dalam vokabuler gerak abstrak. Butuh kepekaan yang luar biasa untuk mampu menterjemahkan nilai/makna yang dimaksud yaaitu menyaring untuk mampu memahami rasa yang ditampilkan melalui gerak tarinya. Hal serupa juga berlaku bagi pelaku/penari karena kekurang pahaman tentang rasa/penjiwaan. Banyak penari menari dengan sekedar melakukan rangkaian vokabuler gerak dan hanyut dalam iringan tarinya, tanpa merinci gerak-gerak yang semestinya mampu untuk lebih dicermati dalam upaya perwujudan rasa itu, sehingga rasa gerak yang mestinya bisa terwujud melalui pengendapan tertentu, tidak tercapai. Ada beberapa hal yang menjadi bahan perenungan berkaitan rasa dalam dunia tari yaitu : apa yang dimaksud dengan rasa dalam dunia 3

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

tari tradisi Jawa Surakarta, bagaimana rasa itu dipahami sebagai inti dari keindahan karya tari dan bagaimana seniman tari tradisional di Surakarta mentransformasikan rasa melalui karya seni tarinya Paradigma Upaya mencari kejelasan tentang konsep rasa sebagai hakekat dari keindahan tari tradisi Jawa, dan mengidentifikasi unsur-unsur visual dari perwujudan nya, dapat di tegaskan bahwa studi ini masuk dalam bingkai paradigma etnosains. Menurut Stutervant (1961:99) dalam Heddy Shri Ahimsa Putra, menyatakan bahwa Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu, yang didefinisikan sebagai system of knowledge and cognition typical of a given cultural. Dalam hal ini ditekankan pada sistem atau perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan khas dari suatu masyarakat, karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat lain (2003:350). Pada dasarnya tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang mengenai rasa dalam tari tradisi Jawa. Karena rasa sebagai seni tari hakekat dari keindahan merupakan hal yang esensiil dari

tradisi Jawa. Untuk itu rasa menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui oleh seseorang maupun kelompok agar dapat mewujudkan perilaku atau melakukan suatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan itu. Yang menjadi perhatian utama disini adalah cara-cara, aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai, yang membolehkan atau melarang, serta mengarahkan atau menunjukkan bagaimana suatu halyakni pengembangan dan pementasan suatu jenis kesenian yang sudah dimilikiharus atau sebaiknya dilakukan dalam konteks suatu kebudayaan tertentu. Misalnya cara menari yang baik dalam pandangan orang Jawa (Ahimsa Putra, 2003:354).

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Studi ini pada prinsipnya mencoba untuk mendeskripsikan rasa sebagai esensi dari estetikadengan menghimpun pemahaman pelaku (seniman, masyarakat atau kelompok sosial) mengenai hal itu dan berbagai macam rasa yang ada dalam seni tari tradisi Jawa. Berbagai pengetahuan yang dihimpun akan dibandingkan satu dengan yang lain. Dari situlah akan dapat diketahui Hasil prinsip-prinsip secara universal yang dan jelas mendasari cara pandang mereka, cara menafsirkan, serta memahami aktifitas seninya. pendeskripsian detail diharapkan dapat dijadikan sebuah pedoman pengetahuan tentang rasa sebagai esensi estetika untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam melihat/menikmati/mengamati maupun melakukan tari tradisi yang bersangkutan. Deskripsi yang detail dan jelas dapat dilakukan dengan suatu strategi pendeskripsian yang tepat, agar dapat mencapai tujuannya. Teknik menghasilkan sebuah deskripsi yang baik harus atau sebaiknya ditentukan secara emic, yaitu mengikuti pandangan pemilik budayanya (dalam kajian ini berarti mengikuti pandangan pelakunya/seniman tarinya/penarinya) dan dalam melukiskannya perlu digunakan sarana pelukisan secara etic, yaitu pendeskripsian unsur pokok tari, dalam hal ini gerak, melalui sistem notasi laban (Ahimsa Putra, 2003:355). Pemahaman Tentang Rasa Rasa merupakan muara dari semua unsur yang ada dalam karya tari. Suatu pengertian yang dalam ilmu keindahan budaya Timur, Jawa khususnya, diartikan sebagai berpadunya ide yang digiring oleh serangkaian pengertian akal, dengan penerimaan inderia yang dilontarkan oleh wujud, gerak, atau suara terpola tertentu yang melambangkan pengertian-pengertian tersebut (Suhatmanto dalam Edy Sedyawati, 1981 : 20). Menurut Suseno; Batasan rasa yang dimaksud sebenarnya lebih dari sekedar pengertian kekuatan dorongan hati yang terungkap melalui 5

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

gerak

tari.

Rasa

dalam

hal ini

terkait

dengan sesuatu

yang

berhubungan dengan pandangan dan perilaku masyarakat Jawa yang membentuk ekspresi jiwa melalui kesenian. Dengan demikian rasa akan terbentuk dari segala hal yang berhubungan dengan masyarakat tersebut. Ekspresi jiwa tersebut lahir karena adanya pengaturan hubungan manusia dengan alam fisik sebagai jembatan untuk menuju pada alam batin/psikis. Kesinambungan hubungan antara alam fisik dan psikis itulah, disebut sebagai rasa bagi orang Jawa. Jelas di sini bahwaa rasa dalam hal ini adalah sama sekali bukan seperti rasa dalam bahasa Indonesia (dalam Bantolo 1999:130). Kata rasa dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa adalah berkenaan dengan berbagai hal; diantaranya: 1. berkaitan dengan indra perasa, misalnya rasa pedes/manis (pengecap/lidah) , rasa panas (perasa dari kulit tubuh), rasa kasap (biasanya untuk peraba/kulit telapak tangan). 2. berkaitan dengan keadaan batin/suasana batin, misalnya rasa sedih, rasa seneng, rasa ayem dan lain sebagainya, 3. berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menjiwai sesuatu hal, misalnya; rasa anteb, rasa tresna, rasa bergas, rasa agung dan lain sebagainya. Rasa merupakan satu kata yang memiliki berlapis-lapis makna. Makna itu melekat pada konteks kalimat bahkan pada konteks penuturnya. Untuk itu perlu pemahaman yang dalam dan pemaparan yang jelas mengenainya dalam kaitannya dengan konsep sebuah keindahan dalam lingkup budaya tertentu. Rasa dalam bahasa Sansekerta dinamakan bhava adalah sebuah emosi (emosi senang, kegembiraan, kesedihan, kemurkaan, kebulatan tekad, ketakutan, kebencian dan emosi kagum) muncul dari akumulasi situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi-reaksi keadaan batin para senimannya. Seorang seniman yang memerankan tokoh ksatria dengan emosi-emosinya menampilkan itu semua diatas pentas, sedangkan reaksi yang ditimbulkan para penonton adalah rasa. 6

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Kedelapan bhava bersejajar dengan delapan rasa yaitu rasa erotik, komik, patetik, marah, heroik, dahsyat, benci dan mengagumkan. Jadi kedelapan rasa itu sama dengan bhava, emosi-emosi yang muncul dalam pengalaman dan pengembaraan estetik (Hartoko, 1983:69). Dalam budaya India dikenal dengan istilah stayi yang pencapainnya melalui sembilan rasa sebagai suasana hati yaitu

navarasa. Sembilan rasa itu memiliki kategori sebagai berikut; hasya, raudra, bhibasta, bhayanayaka, vira, karuna, adbhuta dan santa (Enakhsi Bavnani dalam Bantolo 2002:100). Konsep rasa/bhava juga termuat dalam Sad-angga (enam (sad) bagian/rincian (angga) yang digunakan sebagai ukuran keindahan) yang menyatakan bahwa karya seni itu indah dan berhasil jika memenuhi enam (sad) syarat (untuk mengukur keindahan itu) yaitu; (1) Ruphabeda, artinya pembedaan bentuk, yang dimaksud adalah bahwa bentukbentuk yang digambarkan itu harus segera dapat dikenali oleh penonton; (2) Sadrsya artinya kesamaan dalam penglihatan. Maksudnya adalah bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang terkandung di dalamnya. (3) Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat, tampak dengan adanya patokan mengenai ukuran dari tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide tertentu, sebagai konsekuensi prinsip Sadrsya. (4) Warnikabhangga, yaitu penguraian dan pembuatan warna, dalam hal ini perlu diingat bahwa disetiap wujud seni warna warna. memberi (5) arti penting dalam sebagai pengetahuan perlambangan Bhawa diartikan

suasana sekaligus pancaran rasa, misalnya suasana sedih haruslah dinyatakan dengan jelas sehingga penikmat seni dapat dengan jelas menangkap rasa yang ingin diungkapkan. (6) Lawanya, bertarti keindahan, daya pesona, seperti bhava, ditentukan oleh bakat dan bukan semata karena latihan ketrampilan seniman. (Sedyawati, 1981). Dari sad-angga bisa ditarik sebuah pengertian bahwa keberhasilan suatu pertunjukan seni terletak pada seniman pelakunya, 7

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

namun karena keindahan itu sangat subyektif sifatnya, maka dengan demikian keberhasilan pertunjukan itu kiranya juga ditentukan oleh penontonya. Dalam arti bahwa ketika rasa sebagai elemen dasar dari estetika seni akan sampai/bisa tertangkap oleh penonton seperti yang dikehendaki senimannya maka pertunjukan itu berhasil. Namun ketika penonton tidak bisa menangkap sinyal estetik karena mungkin tidak memiliki bekal atau sensibilitas untuk menangkap rasa yang ingin disampaikan oleh seniman, maka pertunjukan itu menjadi tidak berhasil. Dengan demikian perlu dikaji lebih dalam akan adanya keterpaduan yang serasi diantara keduanya, mengingat rasa itu sendiri adalah sangat abstrak, ada di dalam jiwa yang paling dalam, sulit diukur dan sangat relatif (subyektif), maka kiranya perlu indikator-indikator yang jelas untuk dapat mengungkapkan rasa (bagi seniman) dan menangkap rasa (bagi penikmat) seni pertunjukan yang dimaksud. Bhawa dan lawanya, adalah suatu kualitas yang ditentukan oleh bakat ketrampilan/kemampuan dan pengalaman seniman. Berkenaan dengan Bhava yang berati suasana dari pancaran rasa atau emosi dibagi menjadi dua macam yaitu suasana atau rasa yang tetap bertahan dan (sthayi-bhava) yang berjumlah batin; dan 9 seperti; yang cinta, tawa, kesedihan, kemarahan, semangat, ketakutan, kemuakan, keheranan ketenangan/ketentraman mudah berubah (wyabhicar-ibhava) berjumlah 33 macam yang masing-masing bisa dikaitkan pada salah satu bhawa yang tetap. Kelima kriteria selain bhawa merupakan kriteria utama yang harus dilakukan oleh seniman dalam menopang perwujudan rasa yang hendak ditampilkan. Jadi kunci munculnya rasa sebagai hakekat estetika seninya itu adalah totalitas / pendalaman kelima kriteria dalam bingkai kriteria bhawa, atau bhawa adalah roh yang akan terpancar melalui pendalaman kelima angga itu, dan dari kesatuan utuh sad angga itu akan melahirkan rasa yang mampu ditangkap oleh penonton, apabila penonton paham dan mengenal indikator rasa itu. 8

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Dalam dunia seni tari tradisional Jawa-Surakarta juga dikenal konsep konsep keindahan untuk para penari dan penata tari, yang memberi semacam ketentuan atau kriteria yang harus dipahami untuk menentukan penari yang baik an banyak manfaatnya pula untuk penata tari, yang disebut Hastha Sawanda. Antara sad-angga dan hastha sawanda terdapat adanya persamaan, dimana keduanya merupakan aturan main bagi para pelaku seninya. Akan tetapi dalam sad-angga mempertimbangkan pula kepentingan penonton akan kemudahan penikmatan agar rasa bisa tercapai, baik dari seniman maupun oleh penonton. yang benar-benar dibawakan dengan penuh penjiwaan. Pola-pola gerak tari yang dilakukan dengan penuh penghayatan akan dapat memancarkan rasa yang dihayati oleh penari. Karena sebuah perenungan dan penghayatan terhadap sebuah nilai dalam karya tari akan mampu terbias melalui gerak tarinya. Jadi rasa itu tidak bisa muncul dengan sendirinya, tidak akan bisa terwujud hanya dengan melakukan gerak tari begitu saja. Melainkan harus dengan pengendapan dan penghayatan, sehingga dalam prosesnya akan memunculkan kemantapan teknik gerak dengan penuh penjiwaan secara komprehensip sehingga rasa itu pada penghayat. Rasa dalam sebuah karya tari terwujud dari akumulasi seluruh media yang mendukung sajian tarinya. Di samping tergantung pula pada kepekaan yang luar biasa dari penghayat untuk mampu menangkap sinyal-sinyal estetika itu. Kriteria keindahan karya tari dari Jawa Surakarta; bagi penari dikenal dengan nama Hasta Sawanda, memuat delapan ketentuan / aturan (sebagai satu kesatuan) yang harus dipahami untuk melakukan karya tari dengan baik. Delapan unsur itu adalah; (1) Pacak yaitu bentuk dan kualitas gerak hubungannya dengan karakter yang dibawakan, (2) 9 mampu memproyeksikan Rasa yang dipancarkan dapat ditangkap melalui presentasi gerak tubuh penari

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Pancad, proses peralian gerak yang serasi, (3) Ulat, yaitu pandangan mata dan ekspresi wajah yang sesuai dengan karakter peran yang dibawakan, (4) Lulut, penjiwaan gerak secara dalam sehingga penari melebur dalam gerak- gerak itu menyatu dengan penarinya (5) Luwes, yaitu kualitas gerak yang sesuai dengan karakter peran (6) Wiled, yaitu variasi gerak yang dikembangkan berdasarkan bakat penarinya (ketrampilan, interpretasi dan improvisasi (7) Irama, menunjuk alur garap tari secara keseluruhan dan hubungannya dengan iringanya midak, nujah, nggandhul, sejajar, kontras, cepat, lambatdan lain-lain. (8) Gendhing, menunjuk penguasaan pada iringan tari; menyangkut gendhing, tembang, antawecana dan lain sebagainya. Keindahan itu sangat subyektif sifatnya, keberhasilan pertunjukan selain ditentukan oleh senimannya kiranya juga ditentukan oleh penontonya. Pertunjukan itu berhasil ketika rasa (sebagai inti dari komunikasinya) sampai/bisa tertangkap oleh penonton. Namun ketika penonton tidak bisa menangkap sinyal estetik itu mungkin disebabkan karena tidak memiliki bekal atau sensibilitas untuk menangkap rasa yang ingin disampaikan oleh seniman, maka pertunjukan itu menjadi tidak berhasil. Konsep bagi seniman Hastha untuk Sawanda maupun sad-angga itu, nampaknya untuk dapat berupaya untuk menjembatani itu. Menawarkan beberapa aturan main mewujudkan keindahan mewujudkan karya dengan sempurna, sehingga rasa bisa sampai pada penghayatnya. sekaligus menawarkan pada penghayat syarat-syarat untuk mengukur keindahan itu. Keduanya merupakan kriteria agar esensi karya yang akan diwujudkan pengkarya terproyeksi pada penonton dengan baik. Konsepkonsep itu merupakan media yang bijak bagi penghayat seni tari tradisi untuk dapat melihat karya tari dari angel dan fokus yang tepat. Agar pengembaraan estetik mereka sampai pada titik muaranya yaitu rasa.

10

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Kedua konsep estetika dari dua wilayah budaya itu menekankan adanya bakat (kemampuan bawaan) yang harus dimiliki oleh seorang seniman. Konsep Sad Angga, seniman dituntut untuk melibatkan suasana hati sebagai sarana pancaran rasa Bhava (secara langsung), dan Lawanya (5-6), selain menunjuk secara teknis penguasaan ketrampilan tertentu (1-4). Syarat-syarat 1-4 akan sangat dipengaruhi oleh syarat 5-6 dan sebaliknya. Dan akan menentukan penonton untuk dapat menangkap pancaran rasa dari proses Bhava Lawanya melalui syarat 1-4. Kedelapan kriteria dalam Hastha Sawanda menekankan pada kemampuan/penguasaan teknis, disamping menuntut kemampuan yang bawaan seniman. Rasa itu diharapkan akan terpancar setelah seniman benar-benar menguasai dan menghayati ke delapan kriteria tawarkan sebagai delapan unsur yang menjadi satu kesatuan utuh. Meskipun tentang rasa tidak secara langsung/eksplisit disampaikan. Tetapi akumulasi dari delapan unsur tersebut akan memunculkan rasa. 1

1 4 6 3 Sad Angga 55 2 7

2 3

Hastha Sawanda

Transformasi Penghayatan Rasa ke dalam Tari Dikatakan oleh beberapa empu tari di Surakarta bahwa terjadi penurunan kualitas penari dari waaktu ke waktu. Menurut para empu, penaripenari kini bermacam-macam; tidak sadar bahwa bentuk karya tari tradisi yang dan pola gerakan yang sama memiliki sifat 11

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

pembawaanya yang harus dibedakan sesuai dengan tokoh yang diperankan. Salah satu contoh kasus adalah; misalnya dalam kiprahan Klana topeng itu mesti harus dibedakan dengan kiprahan dalam Gatutkaca, dan lain sebagainya. Yang sering terjadi adalah bahwa para penari hanya sekedar melakukan gerakgerak tari, sehingga tiap-tiap bentuk tari yang dibawakan terkesan sama, yang membekan kostum/busananya saja. Hal tersebut mungkin terjadi karena para penari kurang bisa menghayati/menjiwai gerak yang dibawakannya. Artinya kurang adanya pendalaman yang lebih pada penghayatan; sebagai upaya untuk menampilkan rasa sebagai esensi karya tari Jawa. Pertunjukan tari tradisi secara utuh adalah penampilan sebuah visualisasi gerak oleh tubuh sebagai media ekspresi penghayatan rasa. Jadi bukan sekedar penyajian gerak-gerak tari. Namun harus disertai dengan perenungan, pengendapan dan penghayatan yang dalam mengenai latar belakang karya yang bersangkutan. Ketepatan gerak yang dilakukan disertai dengan penghayatan rasa yang dalam akan menghasilkan penyajian tari yang mantap. Perwujudan rasa sangat bergantung pada kepekaan penari pada kondisi tertentu dari sebuah karya tari yang dibawakannya. Kondisi kondisi rasa yang dimaksud hendaknya selalu di upayakan untuk selalu di pahami dan dihayati agar penari dapat melatih sensibilitas mereka. Termasuk juga penghayatan pada gendhing tarinya, karena keduanya tidak bisa dipisahkan (Santoso Prabowo, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa:
Gending itu juga memacu rasa, kalau kita kaji lebih jauh bahwa tanpa ada musik pun itu bisa kalau penarinya menyadari betul tentang ekspresi terus penggunaan energine piye; itu akan bisa muncul tapi neng Jawa itu kan harus terpadu dengan rasa gendinge. Mula wong-wong biyen itu untuk menimbulkan energi murni itu malah dengan keadaan kosong perut mula nganggo pasa, mula nganggo mutih, ada laku spiritual. Laku spiritualnya mungkin pasa mau ya, ana sing mutih dan sebagainya. Sebenarnya itu kalau dikaitkan sing saiki boleh percaya atau tidak

hanya

12

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

itu merupakan bentuk konsentrasi bentuk perenungan bentuk penghayatan rasa kuwi mau; apapun rasane ya tapi ada proses itu; jadi ana konsentrasi yang cukup lama untuk merenung untuk pengendapan akan muncul penghayatan rasa mau. Meskipun berbeda-beda jelas wong itu penafsiran kok, tapi penafsiran masing-masing ini itu kan beda-beda ya. Tapi ketika itu dengan satu lingkup budaya sing pendukungnya banyak iki isoh dadi muncul sak rasa ngono lho ngerti ra sing tak karepke?. Mungkin aku yen gerak lumaksana alus ki regu; trus kana beda neh; beda neh; beda neh. Karena itu disepakati regu mungkin akan muncul bahwa lumaksana alus ki regu. Tapi jelas berbeda-beda, nah ini akan didukung rasa gendinge yen Jawa ngono. Soalnya tidak lepas dari itu, tapi lepas dari gending itu, tergantung bagaimana penari itu mau proses konsentrasinya, perenungannya dan sebagainya itu. Mungkin perbedaan gerak itu akan mempengaruhi perbedaan rasa, tetapi tidak harus begitu. Meski gerake luwih okeh belum tentu menimbulkan rasa yang dimaksud; karena itu tergantung kemampuan penari pemahaman penari kesadaran penari terhadap tubuh sebagai alat eskpresi kuwi. Prosese isoh melalui konsentrasi, perenungan menurut orang-orang itu dalam keadaan perut kosong ora makan ora ngombe itu energinya bisa lebih murni ngono lho; ada yang bilang begitu. Mula kadang-kadang pasa sik. Tapi sebenarnya itu memberikan kesempatan untuk, contohnya bedaya ketawang itu. Pasa sik sewengi disengker sebenarnya merupakan bentuk pengendapan itu. Untuk menghayati bahwa bedaya ketawang kudu ngene paling ora ngrasakke ngene-ngene wis mulai di siapkan; jadi tekan harine bedaya ketawang kuwi mereka wis siap berasil atau tidak tergantung ya, tapi paling nggak ada persiapan ke arah itu. Tapi itu sekarang jarang dilakukan. (dalam Indah, Katarina, 2006).

Fenomena menurunya kualitas penari tersebut; diantaranya disebabkan karena sistem transformasi rasa yang kurang mendalam, sehingga rasa yang menjadi inti dari keindahan tari tidak mampu terproyeksikan. Proses komunikasi yang dilakukan melalui sebuah karya tari diperlukan pemahaman konsep-konsep secara dalam. Sehingga deskripsi secara verbal tentang konsep tersebut menjadi hal yang sangat urgen. Konsep di dalam karya tari yang maksudkan dalam hal ini menyinggung tentang sebuah pemahaman yang dalam terhadap sebuah koreografi yaitu penghayatan inti karya tarinya.

13

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Sebuah

penghayatan

terhadap

bentuk

tari

bersifat

sangat

subyektif dan individualistik. Hal tersebut sangat bergantung oleh faktor internal dan ekternal subyek yang menghayatinya. Penari yang berkualitas dituntut tidak hanya menguasai bentukbentuk tari secara teknik saja melainkan diharapkan sampai pada penghayatan prinsipnya :
Tari adalah sebuah seni yang ditampilkan oleh individu atau kelompok manusia yang terwujud dalam waktu dan ruang yang di dalamnya tubuh manusia merupakan instrumennya sedangkan gerak sebagai medianya. Gerakan tari digayakan dan keseluruhan kerja tari dicirikan dengan bentuk dan struktur. Tari biasanya ditampilkan dengan iringan musik atau yang lainnya dan memiliki tujuan utama untuk mengekspresikan perasaan dan emosi batin meskipun tari juga sering ditampilkan untuk tujuan sosial, ritual, hiburan atau tujuan-tujuan lainnya (Makna dan Tujuan Tari ; 24)

emosi/jiwa

tari

dan

rasa

tarinya.

Karena

pada

John Martin menyatakan sebagai berikut:


Tari dibagi menjadi dua kategori besar yakni tari yang ditampilkan untuk melepaskan emosi para penari secara individu tanpa memperhatikan minat yang mungkin muncul dari penontonnya, dan tari yang ditampilkan untuk menghibur penonton baik untuk menampilkan ketrampilan, menceritakan sebuah dongeng, menampilkan rancangan yang menarik atau mengkomunikasikan pengalaman emosional (Makna Tujuan Tari : 26).

Di dalam tari Jawa (Surakarta) banyak sekali dikenal istilah-istilah yang sulit dipahami secara nyata. Istilah-istilah yang dimaksud adalah istilah dalam kaitannya dengan pemahaman emosi/penghayatan rasa dari suatu bentuk tari/gerak tari. Informasi verbal yang dimaksud adalah ; regu, sem, nges, sigrak, prenes, kenes, gecul, tregel, dan lain sebagainya Istilah-istilah itu biasanya digunakan untuk menunjuk rasa tari yang sifatnya sangat absurd sangat relatif dan menjadi informasi yang sangat konseptualistik sifatnya sehingga sulit untuk diseskripsikan secara verbal. Istilah istilah tersebut kiranya perlu dijelaskan dan dipertajam maknanya dengan suatu cara tertentu agar pembelajar

14

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

dapat memahaminya dengan baik. Karena sebuah presentasi tari bukan hanya terbatas pada praktek gerak-gerak namun harus disertai dengan penjiwaan isinya, lebih berhasil agar penyajian tari dapat menjadi lebih hidup. dan hal berkualitas. dalam Selanjutnya lalu yang mengenai proses Dengan demikian memungkinkan proses transformasi konsep menjadi transformasi yang sifatnya dua arah, yaitu upaya seniman dalam menjiwai pada sesuatu hidupnya rasa ) mentransformasikan terjadi dua arah, penjiwaanya ke dalam karya yang pada akhirnya harus dikomunikasikan penghayatnya (komunikasi memerlukan pengkajian lebih lanjut. Penutup Rasa dalam tari menjadi sebuah inti/roh dalam pertunjukannya. Sehingga tanpa penghayatan yang dalam mengenainya penyajian tari terasa kering dan tidak bernyawa. Rasa, pada hakekatnya merupakan suatu obyek yang tidak begitu abstrak. Meskipun sifatnya subyektif interpretatif, namun demikian rasa sebenarnya sangat mungkin untuk dijelaskan secara nyata, bukan melalui definisi dan arti kata, akan tetapi melalui indikator-indikator tertentu untuk memahaminya. Rasa adalah sesuatu yang consiousness, dan masingmasing personal memiliki takaran yang sangat relatif. Sebagai sesuatu yang consiousness, namun penjabarannya belum dipahami secara jelas, karena itu perlu dikaji lebih dalam untuk mencari kejelasan dan deskripsi secara jelas. Dari deskripsi yang dapat dihimpun dari para pelaku seni memungkinkan akan didapatkan sebuah conclusion. Yang berarti sebuah agreement reached dalam komunitas seniman tari di wilayah Surakarta. Sebuah kesepakatan yang unconsiousness yang berhasil di deskripsikan secara jelas akan dapat memberi pemahaman yang jelas pula pada generasi penerus selanjutnya. 15

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Pemahaman tentang rasa sangat diperlukan agar proses transformasi timbal balik berjalan dengan lancar sehingga tujuan penyajian tari tradisional di Surakarta ini yaitu sebuah penyajian tari yang penuh penghayatan rasa sebagai inti dari komunikasi gerak tercapai. Karena kualitas penari terghantung dari kemampuannya melakukan gerak tari dengan kemantapan rasa yang terkandung di dalamnya, bukan hanya melakukan rangkaian gerak-gerak tari yang tanpa makna. Daftar Pustaka Abdulsyani. 1994. Sosiologi: Skematik, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara. Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2003. EtnoartFenomenologi Seni untuk Indiginasi Seni,. Dalam Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Dewa Ruci. STSI Surakarta. Vol. 1, NO.3, April 2003. Ahimsa Putra, Heddy Shri (editor).2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press. Bunemou, Marc. 1998. Rasa In Javanese Musical Aesthetic. UMI:USA Bantolo, Wasi. 2003. Alusan pada Tari Jawa. Dalam Jurnal Pengkajian an Penciptaan Seni Dewa Ruci. STSI Surakarta. Vol. 1, NO.3, April 2003. Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta:Yayasan Kanisius. Kaplan, David dan Manner, Albert A. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. --------------. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press. --------------. 1996. Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta. --------------. 1997. Metode-metode Gramedia Pustaka Utama. Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Linton, Ralph. 1984. The Study of Man. Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars. 16

Rasa : Inti Keindahani Tari Tradisi Jawa Surakarta Katarina Indah S

Moleong, I. Lexy. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Dewi Citrawati. dalam Kompas. Edisi Minggu, 21 Oktober 2001. Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers. Rustopo [Ed.]. 1991. Gendhon Humardani Pemikiran dan Kritiknya, Surakarta: STSI Press. Royce, Anya Peterson. Anthropologi Tari. Indiana Univerdity Press. Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Soetarno. 1997. Nilai-nilai Tradisional Versus Nilai-nilai Baru dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jawa Masa Kini. Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Sumartono.2003. Estetika Multikulturalis dan Seni Rupa Indonesia. dalam Jurnal Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta Ekspresi.Volume 7, Tahun 3, 2003.

17

You might also like