You are on page 1of 9

Nama :M.

Wahyudi Heru P
NIM : E03207006
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Smt/jur/kls : II/TH/A

Filsafat Klasik; Antara Plato dan Aristoteles

Pendahuluan

Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut "filosofis"


dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan;
kedua, semacam penelitian yang biasa disebut "ilmiah" dalam pengertian yang
luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof
secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah
yang, sampai batas-batas tertentu, mencirikan filsafat.

Filsafat, sebagaimana yang disampaikan Bertrand Russell, adalah sesuatu


yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Semua pengetahuan yang
definitif adalah termasuk sains, sedangkan semua dogma, yang melampaui
pengetahuan definitif termasuk ke dalam teologi. Namun, di antara keduanya
terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, wilayah
tak bertuan ini adalah filsafat.

Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif


tidak bisa dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban yang meyakinkan dari para
teolog tidak lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana pada abad-abad
sebelumnya. Apakah dunia ini terbagi menjadi dua; jiwa dan materi, dan jika "ya",
apakah jiwa dan materi itu? Apakah jiwa tunduk pada materi, ataukah jiwa
dikuasai oleh kekuatan-kekuatan independen? Apakah alam semesta ini memiliki
kesatuan atau maksud tertentu?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan di


laboratorium. Teologi berusaha memberikan jawaban yang sangat definitif, namun
jawaban-jawaban tersebut mengundang kecurigaan pikiran-pikiran modern.
Mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jika bukan menjawabnya, adalah
urusan filsafat.

1
Filsafat dimulai di Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman
kuno, filsafat kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit
dan Roma jatuh. Periode kejayaan filsafat yang kedua adalah abad ke-11 – 14 dan
diakhiri dengan kebingungan-kebingungan yang berpuncak pada reformasi.
Periode ketiga, dari abadke-17 sampai sekarang.1

Di antara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun


modern, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh paling berpengaruh. Dengan
demikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah perlu
membicarakan pemikiran dari Plato dan Aristoteles. Tulisan ini berusaha untuk
memberikan gambaran singkat tentang pemikiran keduanya, khususnya ketiak
membicarakan tentang realitas yang sesungguhnya. Rujukan utama yang
digunakan penyusun dalam penulisan makalah ini adalah buku "History of
Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances
from the Earlies Times to the Present Day" karya Bertrand Russell, yang
diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dalam "Sejarah Filsafat Barat dan
Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang".

1
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004 (di terjemahkan dari
"History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances from
the Earlies Times to the Present Day" oleh Sigit Jatmiko, dkk), hal. xiii-xvi

2
Pembahasan

A. Biografi Plato dan Aristoteles

Deskripsi biografi Plato dan Aristoteles dianggap perlu dikemukakan karena


sangat mustahil untuk membicarakan pandangan seorang filsuf tanpa
membicarakan biografinya.

1. Plato

Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga bangsawan kota


Athena. Semenjak muda ia sangat mengagumi Socrates (470-399), seorang filsuf
yang menentang ajaran para sofis, sehingga pemikiran Plato sangat dipengaruhi
sosok yang di kemudian hari menjadi gurunya tersebut. Plato memiliki bakat yang
sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti hingga saat ini setidaknya 24
dialog Plato dianggap sebagai kesusastraan dunia. Sebagaimana Socrates, Plato
selalu mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk menuliskan pikiran-
pikirannya. Pada tahun 387 SM, Plato mendirikan sekolah filsafat yang
dinamakannya Akademia.1

Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya


mengenai realitas. Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia: dunia
yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia
pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya ialah dunia jasmani. Pemikiran
Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran
Heraklitus dan Parmenides.2 Pemikiran Plato inilah yang akan penyusun jadikan
sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.

2. Aristoteles

Aristoteles (384-322) berasal dari Stagyra di daerah Thrace, Yunani Utara. Ia


belajar di sekolah filsafat yang didirikan Plato dan tinggal di Akademi hingga
Plato meninggal dunia. Dua tahun kemudian Aristoteles diangkat sebagai guru
pribadi Alexander Agung, barulah setelah Alexander Agung dilantik sebagai raja
1
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta, Kanisius,1979, hal. 12. Lihat pula Bertrand
Russell,….. , hal. 142-143
2
Ibid, 14

3
ia mendirikan sekolah yang dinamakannya Lykeion. Sebagaimana Plato yang
sangat mengagumi gurunya, Aristoteles pun sangat mengagumi Plato sebagai
pemikir dan sastrawan meskipun dalam filsafatnya Aristoteles menempuh jalan
yang berbeda. Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa
ini bukan ucapan Aristoteles- "Amicus Plato, magis amica veritas" yang artinya:
"Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku" – ungkapan ini
terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih
mencintai kebenaran”.1

Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam terhadap pandangan Plato


mengenai konsep idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang dikemudian
hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternative bagi ajaran Plato mengenai idea-
idea.2 Sekalipun demikian tidak dapat disangsikan Aristoteles tetap berutang budi
kepada Plato karena dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.

B. Pemikiran Plato

Diantara pemikiran Plato yang terpenting adalah teorinya tentang ide-ide,


yang merupakan upaya permulaan yang mengkaji masalah tentang universal yang
hingga kini pun belum terselesaikan.3 Teori ini sebagian bersifat logis, sebagian
lagi bersifat metafisis. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976),
Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Heraklitus dengan pendapatnya
Permenides, menurut Heraklitus segala sesuatu selalu berubah, hal ini dapat
dibenarkan menurut Plato, tapi hanya bagi dunia jasmani (Pancaindra), sementara
menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat
berubah, ini juga dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya berlaku pada dunia
idea saja.

Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu memiliki nama yang
sama, mereka tentunya juga memiliki satu "ide" atau "forma" bersama. Sebagai
contoh, meskipun terdapat banyak ranjang, sebetulnya hanya ada satu "ide"
ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin hanyalah penampakan dan tidak
1
Ibid, 14
2
Bertnens, …., hal. 15
3
Bertrand Russell,….. , hal. 141

4
"real". Demikian pula pelbagai ranjang partikular pun tidak real, dan hanya tiruan
dari "ide", yang merupakan satu-satunya ranjang yang real dan diciptakan oleh
Tuhan. Mengenai ranjang yang satu ini, yakni yang diciptakan oleh Tuhan, kita
bisa memperoleh pengetahuan, tetapi mengenai pelbagai ranjang yang dibuat oleh
tukang kayu, yang bisa kita peroleh hanyalah opini.1

Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato adalah, bahwa orang
yang memiliki pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang "sesuatu", yakni
"sesuatu" yang eksis, sebab yang tidak eksis berarti tidak ada. Oleh karena itu
pengetahuan tidak mungkin salah, sebab secara logis mustahil bisa keliru.
Sedangkan opini bisa saja keliru, sebab opini tidak mungkin tentang apa yang
tidak eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula tentang yang eksis, sebab
ini adalah pengetahuan. Dengan begitu opini pastilah tentang apa yang eksis dan
yang tidak eksis sekaligus.2

Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia yang
tampil pada indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia abadi yang
supra-inderawi; sebagai misal, opini berkaitan dengan benda-benda partikular
yang indah, sementara pengetahuan berkaitan dengan keindahan itu sendiri. Dari
sini Plato membawa kita pada perbedaan antara dunia intelek dengan dunia
inderawi. Plato berusaha menjelaskan perbedaan antara visi intelektual yang jelas
dan visi persepsi inderawi yang kabur dengan jalan membandingkannya dengan
indera penglihatan. Kita bisa melihat obyek dengan jelas ketika matahari
menyinarinya; dalam cahaya temaram penglihatan kita kabur; dan dalam gelap
gulita kita tidak dapat melihat sama sekali. Menurutnya, dunia ide-ide adalah apa
yang kita lihat ketika obyek diterangi matahari, sedangkan dunia dimana segala
sesuatu tidak abadi adalah dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato
memberikan sebuah tamsil, yakni tamsil tentang gua.

Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki pengetahuan filsafat bisa
diibaratkan sebagai narapidana dalam gua, yang hanya bisa memandang ke satu
1
Ibid, hal. 165-166
2
Ibid, hal. 164

5
arah karena tubuhnya terikat, sementara di belakangnya ada api yang menyala dan
di depannya ada dinding gua. Mereka hanya dapat melihat bayang-bayang yang
dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api. Mereka hanya bisa menganggap
bayang-bayang itu sebagai kenyataan dan tidak dapat memiliki pengertian tentang
benda-benda yang menjadi sumber bayang-bayang.

Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia gambarkan sebagai


seorang yang mampu keluar dari gua tersebut dan dapat melihat segala sesuatu
yang nyata dan sadar bahwa sebelumnya ia tertipu oleh bayang-bayang. Namun
ketika ia kembali ke gua untuk memberitahukan kepada teman-temannya tentang
dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat bayang-bayang secara jelas jika
dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga di mata teman-temannya ia
tampak menjadi lebih bodoh daripada sebelum ia bebas.1

Demikianlah pemikiran Plato mengenai realitas yang sebenarnya. Teori Plato


tentang ide-ide tersebut, menurut penyusun, mengandung sekian kesalahan yang
cukup jelas. Kendati demikian, pemikiran itu pun menyumbangkan kemajuan
penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama yang menekankan masalah
universal, yang dalam pelbagai bentuknya, masih bertahan hingga sekarang.

C. Pemikiran Aristoteles

Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia


yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda
jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori hilemorfisme (Hyle
= Materi, Morphe = bentuk). Menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki
dua hal yaitu bentuk dan materi. Sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki
dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk
misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu
sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam
pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika
untuk memperkukuh dimungkinkannya ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam
setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya
1
Ibid, 169-170

6
tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk. Bentuk adalah jiwa, dan
karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekuensinya adalah bahwa
apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.

Lebih lanjut, Aristoteles mengajukan sebuah argumen yang sangat baik


untuk menyanggah teori idea Plato. Argumen yang paling kokoh adalah tentang
"orang ketiga"; jika seorang manusia adalah manusia karena ia menyerupai
manusia ideal, maka masih harus ada manusia lainnya lagi yang terhadapnya
manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.1

Kini kita sampai pada pernyataan baru, yang pada mulanya akan terkesan
sulit. Dikatakan bahwa jiwa adalah "forma" dari tubuh. Dalam sistem pemikiran
Aristoteles, jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi sesuatu, yang memiliki
kesatuan dan tujuan. Tujuan mata adalah untuk melihat, namun mata tidak dapat
melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, yang melihat adalah jiwa.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk


mencapai pengetahuan yang sempurna. Ini sangat berbeda dari Plato. Berbeda dari
Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih
"hilemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan
pengejawantahan material ("hyle") sesuatu dari bentuk ("morphe") yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang
bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin:
"potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu
dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam
jenis yang sama. Pertentangan Herakleitus dan Parmendides diatasi dengan
menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah.2

3
Kesimpulan

1
Ibid, hal. 219
2
Ibid, hal. 224
3
Ibid, hal. 224

7
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato dan Aristoteles di atas,
dapat kita simpulkan adanya perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya
tentang realitas hakiki. Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya
merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang terhadap apa
yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu
masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman
(pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti
sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan
tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan
sebagainya.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif


sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap
oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi,
yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi,
"becoming").

Sedangkan Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-


balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah"
(menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup
selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi
idea kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati,
mengalami) sejumlah kuda. idea kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-
kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda.
Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut


Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang
menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata
kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya
bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadaran oleh pendengaran
dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia

8
kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada
manusia tidak ada idea bawaan.

Demikian sedikit ulasan tentang pemikiran Plato dan Aristoteles, sebagai dua
tokoh terbesar dalam sejarah filsafat dunia.

You might also like