You are on page 1of 40

1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Kedwibahasaan adalah suatu hal yang tidak aneh di Indonesia. Hal itu dikarenakan banyaknya suku, berbagai daerah yang masing-masingnya memiliki bahasa daerah tersendiri. Di Indonesia ada berbagai macam istilah bahasa, diantaranya bahasa ibu (mother tongue), bahasa daerah (native tongue), bahasa asing seperti bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa Mandarin, dan lain-lain, atau bahasa internasional (Bahasa Inggris), bahasa primer, ada pula yang menyebut bahasa pertama (first language) yang oleh MacLaughin diartikan sebagai bahasa yang secara kronologis pertama-tama dikuasai, dan bahasa kedua (second language) sebagai bahasa yang diperoleh sesudah bahasa pertama. Anak-anak bilingual memperoleh kemampuan berbahasa secara simultan sejak lahir atau sebelum usia 3 tahun. Contoh anak-anak yang bilingual adalah mendengar bahasa pertama dari ibu, dan bahasa yang lain dari ayahnya atau neneknya. Kehidupan di dunia ini tidak hanya diisi oleh anak-anak atau manusia umumnya, karena ternyata ada banyak manusia dengan karakteristik dan hambatan yang beragam. Manusia memang makhluk yang unik. Diantara keunikan itu sendiri tidak hanya unik dalam segi positif, namun juga unik dalam segi negatif atau kekurangan atau kelainan/ hambatan, misalnya kelainan yang dialami seseorang yang disebabkan adanya gangguan perkembangan, turunan, atau kecelakaan. Contohnya adalah anak dengan autism. Dalam makalah ini akan disajikan beberapa pengaruh yang dihadapi seseorang yang mengalami gangguan perkembangan, yaitu gangguan perkembangan bahasa pada anak autisme (di Indonesia, menurut Yayasan Autisme, tahun 1990 ada sekitar 60.000 anak dengan autisme), yang berkaitan dengan faktor kedwibahasaan sebagai ciri khas kehidupan manusia Indonesia yang multilinguistik.

2 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat penulis rumuskan beberapa permasalahan, diantaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. C. Bagaimana perkembangan bahasa dan bicara pada seseorang? Seperti apa anak autistik itu? Bagaimana karakteristik anak autistik? Apa itu kedwibahasaan? Apa saja faktor yang mempengaruhi kedwibahasaan? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan pada anak autistik? Apa saja penanganan yang dapat diberikan untuk mereka?

Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Untuk mengetahui perkembangan bahasa pada anak. Untuk mengetahui kategori, karakteristik, dan permasalahan anak Untuk mengetahui apa itu kedwibahasaan. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kedwibahasaan. Untuk mengetahui pengaruh kedwibahasaan pada anak autistik. Untuk mengetahui penanganan yang dapat diberikan bagi masalah

autistik.

kedwibahasaan, terutama pada anak autistik. D. Metode Penulisan Dalam membuat makalah ini penulis menggunakan metode kaji pustaka dari sumber buku, makalah, skripsi, tesis, dan data dari berbagai situs internet, materi kuliah orped, serta dari pengamatan pribadi penulis. E. Sistematika Penulisan Layaknya makalah yang lain, karangan ilmiah ini pun memiliki sistematika yang sama. Adapun susunannya adalah, halaman pertama cover makalah, halaman selanjutnya adalah kata pengantar, lalu daftar isi. Makalah dimulai dengan bab I, yaitu bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode, dan sistematika penulisan.

3 Bab II adalah landasan teoritis sebagai bab pendahuluan, yang dibagi dalam dua bagian, bagian pertama memaparkan tentang perkembangan bahasa dan bicara pada anak normal sebagai barometer dalam mengetahui kelainan perkembangan anak, lalu tentang proses pemerolehan bahasa, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan komunikasi. Bagian kedua adalah tentang gambaran umum anak autistik, yang dimulai dengan pengertian kata autisme, lalu jenis-jenis autisme, karakteristik anak autistik, faktor-faktor kemungkinan yang menyebabkan seseorang menjadi autis, dan penanganannya. Bab III adalah bab pembahasan, terdiri atas lima bagian. Bagian pertama memaparkan tentang kedwibahasaan, meliputi pengertian, dan beberapa cara mengukur kedwibahasaan. Bagian kedua adalah tentang penyebab kedwibahasaaan. Bagian ketiga adalah tentang komunikasi pada anak autistik. Bagian keempat memuat tentang pengaruh kedwibahasaan pada anak autistik, meliputi intelegensinya, fungsi kognitif, kesalahan bahasa, dan berbagai gangguan perkembangan. Bagian kelima adalah bagian terakhir yang memberikan beberapa cara penanganan kedwibahasaan pada anak autistik. Bab IV adalah bab penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran. Dan terakhir adalah daftar pustaka yang menunjukkan berbagai sumber yang digunakan dalam pembuatan makalah ini.

BAB II LANDASAN TEORITIS

Kata merupakan unsur pembentuk kalimat, jenis kata (part of speech) penggolongannya berbeda-beda dari satu tata bahasa dengan tata bahasa yang lain. Secara tradisional, jenis kata dalam tata bahasa Indonesia adalah kata kerja, kata sifat, kata ganti, kata sambung, kata depan, dan kata keterangan (Verhaar, 1982: 83 dalam Surjakusumah, 1987). Menurut Piaget, anak usia antara 4 sampai 7 tahun, bahasanya bersifat non-komunikatif atau egosentris, yaitu bahasa yang ditandai dengan: Repetition, yaitu berupa peniruan terhadap sesuatu yang baru di dengarnya, yang meliputi 1-2 % dari keseluruhan tuturan anak. Monologue, yaitu tuturan anak ketika sendirian namun berbicara keras, yang meliputi antara 5-15 % dari tuturan anak. Collective monologue, yaitu ketika dua anak atau lebih bersama-sama dan salah seorangnya berbicara sendiri (soliloquy), sedangkan yang lainnya tidak mendengarkan, yang meliputi 23-30 % tuturan anak. Menurut Piaget juga, dari keseluruhan tuturan anak, antara 37-39 % merupakan bahasa egosentris (Ginsburg dan Opper, 1969: 90 dalam Surjakusumah, 1987).

A. Perkembangan Bahasa Lennberg menyatakan bahwa anak pada usia 4 tahun sudah memiliki kemampuan berbahasa yang well established, yang sudah terbentuk dengan baik, dan

5 penyimpangan dari norm dewasa cenderung hanya dalam style dan bukan pada tata bahasa (Bolingor, 1975: 283 dalam Suryakusumah, 1987). Brown (1973) berhasil menemukan tahap-tahap penguasaan sintaksis pada anakanak dalam 5 tahap yang dijalani anak sejak usia 2-6 tahun, yaitu: Tahap satu, merupakan tahap tuturan satu dan dua kata yang merupakan ciri bahasa anak menjelang usia 2 tahun. Tahap dua, merupakan tahap tuturan yang ditandai dengan munculnya bentuk infeksi, yang merupakan cirri bahasa anak-anak pada usia 2,5 sampai 3 tahun. Tahap tiga, merupakan tahap penyusunan kembali kalimat-kalimat yang ditandai dengan kemampuan anak menyusun kembali kata-kata dalam sebuah kalimat untuk mengungkapkan gagasan atau maksud baru. Tahap empat, merupakan tahap kalijmat majemuk bertingkat dan kalimat yang diperluas, yang ditandai dengan kemampuan anak menggabungkan kalimat-kalimat untuk membentuk kalimat yang lebih kompleks pada usia antara 3 sampai 6 tahun. Tahap lima, merupakan tahap tuturan yang ditandai dengan munculnya kalimat compound atau kalimat majemuk setara (Faw, 1930, dalam Suryakusumah, 1987). Menurut Faw setelah usia 6 tahun, perkembangan bahasa anak masih terus berlangsung dalam bentuk; bertambah kompleksnya unit-unit kalimat yang digunakan dalam tuturan, terdapatnya pengecualian dari aturan-aturan sintaksis, dan

bertambahnya penggunan struktur sintaksis yang jarang digunakan dalam tuturan orang dewasa sekalipun. 1. Perkembangan Bicara dan Bahasa Perkembangan bicara dan bahasa pada anak normal perlu kita ketahui agar kita dapat melihat dimana letak perbedaan atau kelainan yang dialami oleh anak yang bersangkutan (sebagai barometer atau perbandingan).

Perkembangan bahasa dan bicara menurut John Smith adalah sebagai berikut: No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Fase Motorik yang tidak teratur Meraban Menyesuaikan diri Yargon atau Kolalia Menggunakan bahasa yang benar Memperbanyak pembedaharaan Diajari kata-kata yang benar Diajari perkataan yang benar Diajari perkataan yang benar Usia 0-3 bulan 3-6 bulan 6-9 bulan 9-14 bulan 1-2 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun Keterampilan Gerakan tidak teratur, kaki, tangan, otot alat-alat bicara (menangis, menyeringai, bersuara refleks) Motorik tidak teratur, masih ada bunyi bahasa yang tidak mengandung arti, meniru, bertambah bahasa ibu, bereaksi pada suara, suara berulang ulang, mengoceh (babbling) Meniru, melatih diri, biara belum mempedulikan bahasa ynag mempunyai arti, mulai ada tanggapan suara dari luar, mulai bersuara vokal dan konsonan Deretan bunyi yang mengandung arti, cara pengucapan belum baik, arti kata-kata sangat luas mulai mengguanakan lambang atau simbol, bertambah vokal dan konsonannya. Menggunakan sistem-sistem pembentukan bahasa, bunyi yang sistematis, vokal : a, i,u, e, o, konsonan : m, n, p, t Mulai menyusun kalimat, banyak bertanya apa ini ? apa itu ?, ucapan belum sempurna (R, L, K, T) Pengucapan kalimat 3-5 kata, gagap dapat dideteksi Panjang kalimat sebanyak 4-6 kata Panjang kalimat 6 kata, mengandung semua unsur kalimat Keterangan

Anak tunarungu tidak ada reaksi Anak tunagrahita sudah terlihat kelainannya 2-3 perkataan 6-20 perkataan Perbedaharaan : 200-300 kata Perbendaharaan : 200-300 kata Perbendaharaan : 15001600 kata Perbendaharaan lebih dari 2000 kata.

Keterangan: Fase 1-4 adalah fase nonverbal.

7 2. Proses Pemerolehan Bahasa Bahasa diperoleh seseorang dengan berbagai cara, diantaranya adalah: a.Proses mendengar dari orang lain selain dirinya, b. Proses meniru, yaitu mengulangi dengan sengaja, sehingga perilaku atau bahasa tersebut menjadi bagian dari dirinya, c.Proses mengingat, yaitu setelah dia meniru, lalu diulang-ulang sampai kata tersebut memiliki maknanya sendiri dalam dirinya, d. Proses persepsi, yaitu kemampuan mengolah rangsangan yang diterima, pembedaharaan dilakukan dengan melakukan persamaan-persamaan, perbedaan-perbedaan, puzzle, dan lain-lain. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Komunikasi Berikut adalah bebarapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan komunikasi verbal anak, yaitu: a.Kondisi jasmani dan kemampuan motorik, b. Kesehatan umum, c.Kecerdasan, B. Autisme 1. Pengertian Kata autistik dan autisme berasal dari bahasa latin autos = aku yang artinya sendiri atau menyendiri, segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), autistik artinya terganggu jika berhubungan dengan orang lain. Dalam kamus psikologi umum ( 1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri. Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, biasanya telah tampak sebelum berumur 3 tahun, anak tidak dapat berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginanya. Keadaan ini mengakibatkan d. e. f. g. Sikap lingkungan, Sosial ekonomi, Jenis kelamin, Kedwibahasaan.

8 terganggunya hubungan dengan orang lain, sehingga akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Jumlah penderita autisme meningkat prevalensinya dari 1:5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner memperkenalkan istilah autisme menjadi 1:100 ditahun 2001, dimana peluang anak laki-laki untuk mendapatkan penyakit ini 3-4 kali lebih banyak ketimbang anak perempuan. Di Indonesia sendiri, menurut Yayasan Autisme, di tahun 1990 ada sekitar 60.000 anak menderita autisme. Kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Sekitar 80% anak autistik termasuk kategori mental retardation (MR atau hambatan perkembangan mental atau Tunagrahita), dengan jumlah terbanyak masuk kelompok MR ringan sampai sedang, dan jumlah yang lebih sedikit pada kategori MR berat. 2. Jenis-jenis Autisme Jenis-jenis Autisme (menurut Budiman, 1998 dalam Margono, 2002) adalah: a Autistic disorder, yaitu adanya kelemahan dalam interaksi sosial, komunikasi, permaianan imajinatif, memiliki perilaku keterkaitan atau minat dan aktivitas yang stereotip. b c Aspergers disorder, yaitu tidak terlihat keterlambatan bahasa, memiliki daya ingat menakjubkan, intelektual rata-rata, bahkan diatas rata-rata. Pervasive development disorders, not otherwhise specified (PDD, NOS), yaitu, bahwa mereka kesulitan dalam konsep abstrak, terbatas minatnya, cenderung atau terampil mengulang-ulang permainan atau simbol, mengalami
hambatan perkembangan kognitif, komunikasi, dan interaksi sosial, meskipun pada realitanya dilihat pada aspek inteligensi dan perkembangan bahasanya berbeda. PDD, NOS yang termasuk kategori MR jumlahnya lebih sedikit dibandingkan anakanak dengan autistik, yaitu sekitar 2-3%. Dari angka itu, 1,50% dari anak-anak dengan PDD, NOS mengalami hambatan perkembangan bahasa, dan 1,50% mempunyai intelegensi verbal (bahasa) dan nonverbal (performance) normal.

9 d Childhood Disintegrative Disorder, yaitu anak berkembang normal sampai uisa 2 tahun,, kemudian setelah itu kehilangan kemampuan yang dimilikinya termasuk bahasa. e Fragile X Syndrome, yaitu anak MR yang memiliki perilaku autistik, lambat perkembangan bahasanya, lemah kontak matanya, sering bertepuk tangan dan mengalami masalah jantung. f g Landau-Kleffner syndrome, yaitu anak menolak bersosialisasi dan berperilaku rutinitas serta bermasalah pada bahasa. Rett Syndrome, yaitu hilangnya kemampuan dalam berbicara, suka menggerakkan anggota badan secara berulang-ulang, hilangnya kemampuan yang pernah dimiliki, menggoncang-goncangkan tubuh dan menolak bersosialisasi. h Williams Syndrome, yaitu anak mengalami keterlambatan bahasa, menurunnya attention, dan masalah sosial. Mereka lebih dapat bersosialaisasi dengan orang lain dibandingkan dengan anak-anak autistik lainnya. Autisme atau autisme infantil ( Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943, seorang psikiatris Amerika (Budiman, 1998 dalam Margono, 2002). Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Pada awalnya istilah autisme diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleuer memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dengan penyandang autisme infantil. Pada skizofrenia, autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlansung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autisme infantile terdapat

10 kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi. 3. Karakteristik Anak Autistik Ciri khas autisme adalah bahwa mereka sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial yang terbatas, yang umumnya dikarenakan kecemasan, perasaan tidak terlindung, keraguan, rasa terasing, tetapi yang paling besar adalah karena ketidakmampuan mengerti situasi-situasi sosial. Perhatian mereka hampir tidak tertuju pada orang lain, melainkan pada benda-benda mati. Mereka tenggelam dalam penghayatanpenghayatan taktil-kinestetik, yaitu misalnya dengan bernafsu meraba-raba dirinya sendiri. Dalam bidang kognitif mereka mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, suatu pengamatan bentuk yang baik dan suatu perkembangan bahasa yang terhambat. Ada beberapa karakteristik dari anak autistik, dan kriteria-kriteria berikut juga dapat dijadikan pedoman dalam melihat gejala-gejala ke-autis-an seseorang, diantaranya adalah: 1) Mengalami gangguan dalam interaksi sosial. Gangguan ini ditunjukkan dengan: a.Gagal merespon nama sendiri, b. d. perhatian orang Tiak ada reaksi jika dipanggil, Menolak pelukan, sebagai balasannya dia malah menjerit-jerit, (shared attention) pada usia dini. dalam Joint attention sebuah obyek adalah atau c.Terlihat tidak mendengarkan, e.Terlihat tak peduli, kurangnya melakukan joint attention atau membagi perkembangan kemampuan sosial dimana dua orang biasanya anak-anak dan tua membagi pengalaman melihat mengobservasi suatu peristiwa. Ini termasuk kemampuan untuk menunjuk obyek dan mengikuti pandangan orang lain. keahlian ini penting artinya dalam perkembangan bahasa dan sosial kelak. f. Senang bermain sendiri dan asyik dengan dunianya sendiri (menyendiri), atau sebaliknya, sangat rewel dan sering menangis,

11 g. h. 2) Pasif, terlihat dari adanya sikap menerima saja, tidak giat, dapat Aktif tapi aneh, yaitu secara spontan dia mendekati orang lain, namun Mengalami gangguan dalam berkomunikasi, baik verbal maupun

memahami sesuatu tetapi tidak dapat mengungkapkannya kembali, interaksi tersebut sering hanya sepihak. nonverbal, terutama dalam pengertian dan penggunaan bahasa. Contohnya adalah: a.Lambat memulai bicara dibanding anak-anak lain (perkembangan bahasa terlambat), b. Kata-katanya sulit dipahami (berbicara seperti robot), dan sulit pula memahami kata-kata orang lain, c.Sukar menggunakan bahasa dalam konteks yang benar, d. Membeo, e.Nada suara monoton, f. Kehilangan kemampuan sebelumnya untuk mengucapkan kata atau kalimat, g. h. Tidak bisa memulai pembicaraan, Menggunakan kata saya dan kamu secara terbalik

i. Sering mengulang kata-kata yang baru di dengarnya tanpa maksud untuk berkomunikasi, echolalia, mengulang kata-kata atau frase, namun tak tahu bagaimana cara menggunakannya. 3) Mengalami gangguan perilaku (tingkah laku): a.Menunjukkan gerakan berulang (gerakan stereotatis, yaitu menggerakgerakkan tangan atau kaki), seperti menggerakkan tangan seolah terbang, b. Mengembangkan kegiatan atau ritual rutin secara spesifik, dia merasa terganggu jika rutinitasnya diintervensi, misalnya saat kita memindahkan obyek yang sedang menjadi fokusnya, c.Memainkan suatu permainan tidak sesuai fungsinya, suka memutar-mutar benda, misalnya memainkan atau memutar roda mobil mainan, d. kosong, e.Melakukan permainan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dan lain-lain yang dibawanya kemana-mana Berperilaku berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata

12 4) Gangguan dalam persepsi sensoris (sensitif terhadap rangsangan sensoris: cahaya, suara dan sentuhan) seperti mencium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dan sebagainya. 5) Gangguan perasaan atau emosi, dengan terjadinya ketawa sendiri, atau sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, atau marah sendiri tanpa sebab yang nyata, kurangnya empati, simpati, dan toleransi. 6) Mengalami gangguan dalam aktivitas imajinasi (kekakuan pola pikir) dan minat yang terbatas, sehingga terkesan tidak kreatif. Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap anak autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan yang diderita anak Pada beberapa anak autistik, masalah akan membaik seiring mereka dewasa. Beberapa anak, biasanya dengan kasus kerusakan ringan, dapat menjadi orang normal atau mendekati kehidupan normal. Bagi orang lain, ada perbaikan sedikit pada kemampuan bahasa atau sosial, dan saat mereka menginjak usia belasan bisa berarti pemburukan pada masalah tingkah laku. Dalam beberapa kasus, autisme berhubungan dengan Mental Retardasi (MR), yang umumnya pada kriteria Moderate Mental Retarded, IQ 3550. Hampir 75% penyandang autisme berada pada taraf intelegensi MR. Terjadi abnormalitas dalam perkembangan kognitif penyandang autisme. Sementara menurut Sleeuwen (1996) sekitar 60% anak-anak autistik menderita MR tingkat moderate (IQ 35-50) dan 20% anak mengalami MR ringan sedangkan 20% lainnya tidak mengalami MR dan memiliki IQ >70 (normal). MR dan autisme muncul bersamaan dari awal. Mayoritas anak-anak autistik yang juga mengidap hambatan mental, berarti mereka lambat menyerap pengetahuan atau keahlian baru. namun demikian beberapa anak dengan autisme memiliki kecerdasan normal, bahkan tinggi. Anak-anak ini belajar dengan cepat meski memiliki kesulitan komunikasi, menerapkan apa yang

13 diketahuinya dalam kehidupan sehari-hari dan menyesuaikannya dengan situasi sosial. Dalam jumlah yang amat kecil pada anak autistik adalah "autistic savants", atau ada juga yang menyebutnya pulau intelegensi, yang berarti mereka memiliki keahlian pada area atau bidang-bidang tertentu, seperti seni, musik, berhitung (matematika), menggambar, dan sebagainya. 4. Faktor Penyebab Autisme Jumlah penderita autisme dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan signifikan, dan salah satunya adalah apa saja faktor yang menyebabkan seseorang menjadi seorang autistik? Pertanyaan dapat dijawab dengan beberapa faktor berikut: a.Faktor psikogenik. Ketika autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner (teori Psikogenetik), autisme diperkirakan disebabkan karena faktor psikologis, yaitu perlakuan dan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan, yang orang tuanya bersikap dingin dan kaku pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosialnya. Namun penelitian-penelitian selanjutnya tidak menyepakati pendapat Kanner. Alasannya, teori psikogenik tidak mampu menjelaskan ketertinggalan perkembangan kognitif, tingkah laku maupun komunikasi anak autistik. Penelitian-penelitian selanjutnya lebih memfokuskan kaitan faktorfaktor organik dan lingkungan sebagai penyebab autisme. Kalau semula penyebabnya lebih pada faktor psikologis, maka saat ini bergeser ke faktor organik dan lingkungan.. b. Faktor biologis dan lingkungan. Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya penyebabnya bisa tidak sama. Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya kelainan atau keterlambatan dalam tahap perkembangan anak autistik sehingga autisme kemudian digolongan sebagai gangguan dalam perkembangan (developmental disorder). Hasil

14 pemeriksaan laboratorium, juga MRI dan EEG tidak memberikan gambaran yang khas tentang penyandang autisme, kecuali pada penyandang autisme yang disertai dengan gangguan kejang. Temuan ini kemudian mengarahkan dugaan neurologis terjadi pada abnormalitas fungsi kerja otak, dalam hal inineurotransmitter yang berbeda dari orang normal. Neurotransmitter merupakan cairan kimiawi yang berfungsi menghantarkan impuls dan menerjemahkan respon yang diterima. Jika autisme dikaitkan dengan kondisi kesehatan umum, ditemukan bahwa ada perbedaan aktivitas serotonin namun tidak begitu jelas terlihat. Namun hasil pemeriksaan EEG menunjukkan abnormalitas. Jumlah neurotransmitter pada penyandang autisme berbeda dari orang normal dimana sekitar 30-50% pada penderita autisme terjadi peningkatan jumlah serotonin dalam darah. Selanjutnya, penelitian mengarahkan perhatian pada faktor biologis, diantaranya kondisi lingkungan, kehamilan ibu, perkembangan perinatal, komplikasi persalinan, dan genetik. Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia atau logam dapat mengakibatkan munculnya zat-zat beracun seperti timah ( Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air raksa (Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam). Apabila tambalan gigi digunakan pada calon ibu, amalgam akan menguap didalam mulut dan dihirup oleh calon ibu dan disimpan dalam tulang. Ketika ibu hamil, terbentuklah tulang anak yang berasal dari tulang ibu yang sudah mengandung logam berat. Selanjutnya proses keracunan logam berat pun terjadi pada saat pemberian ASI dimana logam yang disimpan ibu ikut dihisap bayi saat menyusui. Sebuah vaksin, MMR (Measles, Mumps & Rubella) awalnya juga diperkirakan menjadi penyebab autisme pada anak akibat anak tidak kuat menerima campuran suntikan 3 vaksin sekaligus sehingga mereka mengalami kemunduran dan memperlihatkan gejala autisme. Sampai saat ini diduga faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung (siblings) anak penyandang autisme terungkap mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3% autis. Sementara penelitian pada anak kembar juga didapat hasil yang mendukung. Sayangnya harus diakui populasi anak kembar sendiri memang tidak banyak di masyarakat sehingga

15 menggunakan sample kecil . Penelitian pada kembar identik 1 telur menunjukkan bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk diagnosis autis bila saudara kembarnya autis. Beberapa faktor lainnya yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autisme kian besar), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat yang tak terkontrol selama kehamilan. Adapun penyebab autisme yang lain menurut data dari salah seorang pengajar mata kuliah orped PLB UPI adalah terjadinya kerusakan yang khas di dalam sistem limbik (pusat emosi), yaitu pada bagian otak (hipokampus, yaitu bagian yang bertanggung jawab untuk belajar dan daya ingat, serta amigdala, yang mengendalikan fungsi emosi dan agresi). 5. Penanganan Pertanyaan yang sering dilontarkan orang tua adalah apakah anaknya dapat secara total bebas dari autisme. Agak sulit untuk menerangkan pada orang tua bahwa autisme adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable), namun bisa diterapi (treatable). Maksudnya kelainan yang terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya dapat berbaur dengan anak-anak lain secara normal. Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak. b. Usia, diagnosis dini sangat penting karena semakin muda umur anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil. c. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya d. Bicara dan bahasa, 20% penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedang sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda. Mereka yang kemampuan bicaranya baik mempunyai prognosis yang lebih baik.

16 e. Terapi yang intensif dan terpadu, 4-8 jam sehari, dan peranan keluarga sangat penting untuk mendukung kerja psikiater, psikolog neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik (keberhasilan terapi ini). Penaganan yang penuh kasih sayang, konsekuen, tidak kenal jemu, dan dalam jangka waktu yang sangat cukup lama lah perbaikan dapat terjadi. Beberapa terapi yang dapat dijalankan antara lain : a) Terapi medikamentosa, pemberian obat berdasarkan diagnosis dan pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan pengenalan kerja obat. Saat ini pemakaian obat akan sangat membantu dan diarahkan untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya dengan pemberian obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat antidepressan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang dapat memberi keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi bahkan dihentikan. b) Terapi psikologis. Umumnya difokuskan untuk meningkatkan kemampuan kognitif (belajar), bahasa, dan komunikasi, self-help dan perilaku sosial serta mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki seperti melukai diri sendiri (self mutilation), temper tantrum dengan penekanan pada peningkatan fungsi individu dan bukan menyembuhkan dalam arti mengembalikan penyandang autis ke posisi normal, mengurangi perilaku maladaptive, kekakuan dan perilaku stereotype dengan meningkatkan interaksi penyandang autis dengan orang lain dan tidak membiarkannya hidup sendiri . Interaksi yang kurang justru akan menyebabkan munculnya perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini pemberian mainan yang bervariasi juga dapat mengurangi kekakuan ini. Anak autistik memiliki pola berpikir yang berbeda (perlu merangsang dan melatih anak melalui berbagai aspek yang disesuaikan dengan minat yang dimiliki anak), mereka mengalami kesulitan memahami lingkungannya. Oleh karena itu memberikan lingkungan terstruktur dan teratur merupakan titik awal dalam proses intervensi penyandang yang tetap dan ruang yang pasti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara ; jadwal harian terjadi dengan cara yang sama (perubahan-perubahan kecil juga diperlukan agar anak autis dapat meningkatkan fleksibilitas mereka), pengajaran dilakukan secara bertahap dan bila memungkinkan menggunakan alat peraga, proses pendidikan berlangsung secara individual(khusus).

17 c) Terapi wicara. Umumnya hampir semua penyandang autisme menderita gangguan bicara dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada penyandang autisme merupakan keharusan. Penanganannya berbeda dengan penderita gangguan bicara oleh sebab lain. Salah seorang tokoh yang mengembangkan terapi bicara ini adalah Lovaas pada tahun 1977 yang menggunakan pendekatan behaviouris - model operant conditioning (dalam Wenar, 1994). Anak yang mengalami hambatan bicara dilatih dengan proses pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis. d) Fisioterapi, Pada anak autisme juga diberikan fisioterapi yang berfungsi untuk merangsang perkembangan motorik dan kontrol tubuh. Selain itu ada beberapa terapi lainnya yang menjadi alternatif penanganan penyandang autis, seperti terapi musik yang meliputi bernyanyi, menari mengikuti irama dan memainkan alat musik sebagai media mengekspresikan diri. Terapi lainnya adalah Son- rise program, yaitu program yang berdasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak-anak autistik. Diciptakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosa menderita autisme tetapi karena program latihan dan stimulasi yang intensif dari orangtua anak dapat berkembang tanpa tampak adanya tanda-tanda autistik. Program Fasilitas Komunikasi. Meskipun sebenarnya bukan bentuk terapi, tetapi program ini merupakan metode penyediaan dukungan fisik kepada individu dalam mengekspresikan pikiran atau ide-idenya melalui papan alfabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer. Terapi vitamin juga dapat diberikan pada anak autistik terutama vitamin tertentu seperti B6 dalam dosis tinggi yang dikombinasikan dengan magnesium, mineral dan vitamin lainnya, serta penerapan Diet Khusus (Dietary Intervention) yang disesuaikan dengan cerebral alergies yang diderita anak autistik.

18

BAB III PEMBAHASAN

Manusia memakai bahasa dalam kehidupannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Adapun komunikasi melalui bahasa tersebut memiliki berbagai tujuan, diantaranya adalah untuk menyampaikan informasi (fungsi informatif bahasa), contoh dari fungsi ini adalah ilmu. Fungsi kedua bahasa adalah ekspresif, yaitu bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan rasa perasaan dan sikap, contohnya adalah bahasa dalam puisi, bahasa untuk mengungkapkan rasa sedih, sayang, semangat, dan lainlain. Fungsi bahasa yang lain adalah direktif, yaitu pemakaian bahasa untuk menyebabkan atau menghalangi suatu perilaku. Contohnya adalah perintah dan permintaan.

A. 1.

Kedwibahasaan Pengertian Kedwibahasaan Kedwibahasaan atau bilinguisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergiliran oleh seseorang (Rusyana, 1982: 62, dalam Surjakusumah, 1987), atau menurut Celce-Murcia (1985: 168, dalam Surjakusumah, 1987), kedwibahasaan adalah kemampuan yang berbeda-beda dalam keterampilan berbahasa produktif maupun reseptif dalam dua bahasa. Kedwibahasaan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa secara sempurna (Harding & Riley, 1986, dalam Tarigan, 1990: 7). Kedwibahasaan adalah

19 seseorang yang bisa menggunakan dua bahasa (Loveday, 1986, dalam Tarigan, 1990), atau suatu alat bebas atau wajib untuk mengefisienkan komunikasi dua arah anatar dua kelompok atau lebih yang mempunyai system linguistic yang berbeda (Van Overbeke, 1972, dalam Tarigan, 1990), atau kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakana di dalam bahasa kedua (E. Haugen, 1953, dalam Tarigan, 1990). Masih banyak pengertian kedwibahasaan, tetapi pada intinya kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang menggunakan dua bahasa, yang umumnya digunakan untuk kelancaran, keakraban berkomunikasi. Sepanjang sejarah, manusia senang bepergian melintasi baik perbatasan geografis maupun perbatasan bahasa dan kebudayaan. Maka, kontak kebahasaan sudah jadi bagian (penting) dari sejarah manusia. Sebagai lanjutan dari keadaan itu, sejumlah orang dari dulu mempelajari bahasa asing dan berdwibahasa, atau malah beraneka bahasa. Di banyak wilayah Afrika dan Asia, kedwibahasaan atau keanekabahasaan sudah menjadi biasa. Di Indonesia saja dapat dipastikan, kebanyakan orang dapat berbahasa Indonesia dan setidaknya satu bahasa daerah. Di masa penjajahan, sebagian juga dapat berbahasa Belanda (bahasa komunikasi kaum penjajah). Sejak awal pembentukan negara Indonesia sebagai negara kebangsaan (nationstate) bahasa sudah disadari para pendiri republik dan kesadaran itu tercermin dalam konstitusi yang dibuat para peletak dasar konstitusional NKRI. Di dalam Penjelasan Pasal 36 Bab XV Undang-undang Dasar (UUD) 1945, bahasa daerah dinyatakan sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional yang perlu dikembangkan. Bangsa Indonesia memiliki banyak kekayaan kultural, dan bahasa daerah adalah salah satunya.

20 Meski kedwibahasaan sudah mendarah daging di Nusantara, orang Indonesia sering tak begitu peduli. Kedwibahasaan dianggap tidak perlu diperhatikan sebab dengan sendirinya anak-anak akan berdwibahasa. Bahasa Indonesia diajarkan di sekolah dan melalui media masa, sedangkan bahasa daerah diajarkan di rumah, dan nanti ini semua ditambah dengan bahasa Inggris dan bahasa Arab atau yang lainnya. Akan tetapi, kenyataannya tidak segampang itu. Anak-anak di Nusantara, sejauh yang penulis amati dan pahami, sering diajarkan bahasa secara tak konsisten. Di rumah maupun di sekolah, bahasa yang digunakan kerap tidak hanya satu. Keadaan ini sendiri sebetulnya tidak apa-apa, sebaliknya sangat bermanfaat bagi anak-anak jika mereka mendengar lebih dari satu bahasa sejak kecil. Hanya saja, penggunaannya harus konsisten. Ditinjau dari segi individu dan psikologi, seseorang adalah pemain peran atau pengalih kode, yang hidup dalam dua masyarakat yang berbeda. Oleh karena itu kedwibahasaan juga menyangkut: a. menulis), b. Fungsi, yaitu menyangkut pemakaian bahasa sesuai dengan kepentingan individu berdasarkan jumlah dan variasi kontaknya, c.Interferensi, yaitu penggunaan ciri-ciri yang dimiliki suatu bahasa pada saat dwibahasawan bertutur atau menulis dalam bahasa yang lainnya (sesuai konteks), d. Alterasi atau alih kode, yaitu pertukaran atau perpindahan bicara, dan tujuan pembicaraan, Alih kode terjadi dalam masyarakat bahasa bilingual, multilingual maupun monolingual. Alih kode terjadi untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adanya tujuan tertentu. Campur kode terjadi dalam masyarakat bilingual, multilingual maupun monolingual. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi Tingkat, yaitu tentang bagaimana tingkat kedwibahasaan seseorang dalam setiap keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan

21 berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan atau tidak adanya padanan yang tepat. Anak usia sekolah di Bandung pada umumnya dapat berbahasa Sunda dan berbahasa Indonesia sama baik, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah dwibahasawan yang seimbang (Marat, 1983: 262, dalam Surjakusumah, 1987). Kedwibahasaan merupakan suatu hal yang wajar dalam situasi kebahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang kedudukannya sangat kuat, masih disertai bahasa daerah yang fungsi sosial dan budayanya terus dipelihara negara dan dijamin dengan Undang-undang. Tuntutan zaman menghendaki orang-orang yang berdwibahasa atau bahkan multibahasa (dwibahasa diartikan dua) menjadi dwibahasawan sejak kecil memiliki kekayaan batin dan akan menimbulkan penghargaan dan sikap positif terhadap bahasa dan budaya yang lain. Bahasa Indonesia memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan intelektual setiap anak, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa yang efektif, antara lain mengembangkan kemampuan-kemampuan verbal dengan mengguanakan kata-kata, frase-frase, dan kalimat-kalimat bahasa Indonesia. Oleh karena itu anak harus didorong untuk mengguanakan bahasa Indonesia dengan baik, baku, dan efektif. Guru sebagai model hendaknya menggunakan kata-kata yang tepat, kalimat-kalimat yang benar dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). 2. Beberapa Cara Mengukur Kedwibahasaan W.E. Lambert dalam Marat (2005:92) mengemukakan suatu cara untuk mengukur kedwibahasaan dengan mencatat hal-hal berikut: a.Waktu reaksi seseorang terhadap dua bahasa. Jika kecepatan reaksinya sama, maka dianggap sebagai dwibahasawan. Misalnya dalam menjawab pertanyaan yang sama, tetapi dalam bahasa yang berbeda (mengukur kemampuan dari segi ekspresinya).

22 b. Kecepatan reaksi diukur dari bagaiomana seseorang melaksanakan

perintah-perintah yang diberikan dalam bahasa yang berbeda (melihat kemampuan dari segi reseptifnya). c.Kemampuan melengkapi suatu perkataan atu kalimat. Misalnya subjek diberi kata-kata yang tidak sempurna, kemudian ia harus menyempurnakannya. d. Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan secara spontan. Dalam hal ini subjek diberi kata yang sama tulisannya, tetapi berbeda pengucapan dalam dua bahasa. Misalnya tulisan nation harus dibaca oleh dwibahasawan Inggris-Perancis. Kemudian lihat pengucapannya, nasion (Perancis) atau nasjen (Inggris). B. Penyebab Kedwibahasaan Bahasa di Indonesia, yang digunakan untuk berkomunikasi, terbagi atas 3 golongan, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa setempat atau bahasa daerah, dan yang ketiga adalah bahasa asing (Nababan, 1992). Bahasa daerah adalah bahasa-bahasa asli selain bahasa Indonesia, yang dipakai di samping bahasa nasional, juga bahasa perhubungan interdaerah. 88% penduduk Indonesia

menggunakan salah satu bahasa-bahasa daerah sebagai bahasa ibu dari sejak dilahirkan dan kemudian mempelajari bahasa Indonesia di taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Indonesia yang terdiri atas daerah dan ciri khasnya masing-masing (terutama bahasa daerahnya) menyebabkan individu menjadi berdwibahasa, karena bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu (adanya Sumpah Pemuda dan semboyan Bhineka Tunggal Ika), dan bahasa daerahnya sendiri sebagai bahasa komunikasi antar sesamanya di daerahnya, juga demi keakraban. Selain dua bahasa tersebut, warga dituntut untuk dapat berbahasa asing (bahasa Inggris umumnya sebagai bahasa internasional), demi lancarnya komunikasi antar bangsa.

23 Bahasa Inggris juga sebagai penunjang kemajuan, tingkat kecerdasan masyarakat, dan sebagai alat dalam mengkaji ilmu, teknologi, dan kebudayaa yang datang dari luar, serta sebagai alat untuk mengenalkan Indonesia (kebudayaaan, produksi, ideologi, politik, sejarah, agama, dan sebagainya) ke luar (Nababan, 1992). Kedwibahasaan dapat terbentuk saat terjadi perkawinan atau pernikahan dengan istri atau suami yang berlainan suku, yang secara otomatis keduanya beradaptasi dengan bahasa-bahasa yang ada. Perkawinan antar suku juga dapat mendorong terjadinya pergeseran pemakaian bahasa sehari-hari ataupun pemakaian bahasabahasa daerah yang bercampur satu sama lain dalam lingkungan keluaraga. Profesi, jenjang pendidikan, dan mobilitas (umumnya yang antar propinsi) atau demografis juga dapat menjadikan seorang dwibahasawan yang berbeda-beda kemampuannya. Kiranya hal-hal tersebut yang menyebabkan atau menjadikan warga negara Indonesia menjadi para dwibahasawan. C. Komunikasi Anak Autistik Komunikasi adalah kegiatan yang lebih kompleks dari sekedar menggunakan bahasa atau bicara, sebab komunikasi merupakan suatu proses dimana terjadi pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Sussman (1999, dalam Margono, 2002), perkembangan komunikasi pada anak autistik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kemampuan berinteraksi, cara anak berkomunikasi, alasan di balik komunikasi yang dilakukan anak, dan tingkat pemahaman anak. Bahasa dibagi menjadi dua bagian, yang disebut reseptif atau pemahaman (contoh: menanyakan mana hidung?, atau konsep dasar lainnya sesuai usia anak), dan ekspresif atau pengungkapan secara verbal (berkata), misalnya dengan menanyakan ini apa?, dan anak menjawab sesuai usianya. Seperti telah disebutkan pada bagian pengertian autisme di atas, bahwa Autisme adalah suatu jenis gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, biasanya telah tampak sebelum usia 3 tahun, yang mengakibatkan anak tidak dapat berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginanya pada orang lain, sehingga akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Jadi, gejala autisme timbul

24 sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3-4 bulan. Bila ibu merangsang bayinya dengan mengerincingkan mainan dan mengajak bicara, maka bayi tersebut akan merespon dan bereaksi melalui ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin responsif terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada usia 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat kurang pada bayi autistik. Ia bersikap acuh tidak acuh dan seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Anak normal biasanya mulai menggumam atau mengoceh sekitar umur 6 bulan, pada usia 1 tahun mulai bicara dalam bentuk kata, dan merangkai 2 atau 3 kata dalam satu kalimat sebelum usia 18 bulan. Sedangkan anak autistik tidak mempunyai pola perkembangan bahasa seperti demikian. Bentuk komunikasinya bervariasi, ada yang tidak pernah bicara sampai usia 18 bulan, kadang-kadang kemampuan bicara mereka menghilang begitu saja. Anak autistik yang lancar bicara terkadang isi pembicaraannya sulit dipahami dan sering mengulang kata-kata yang sama dan tidak mempunyai arti atau makna, bahkan ada yang hanya meniru saja pembicaraan orang lain. Beberapa diantara mereka menunjukkan kebingungan atau tidak mengerti akan kata ganti, seperti konsep saya dengan kamu yang diucapnya, tidak mengerti saya dengan kamu dari apa yang diucapkan pembicara lain. Sebelum 2 atau 3 tahun, ketidaklancaran pemahaman menjadi lebih jelas, seperti pemahaman nama, cara merespon kata ya dan tidak, konsep jenis kelamin perempuan dan laki-laki, dan cara mengikuti perintah-perintah sederhana. Anak autistik hanya membeo atau tidak bicara sama sekali. Saat menginginkan sesuatu, merekat idak meraihnya sendiri, malah mengambil tangan orang dewasa yang ada di dekatnya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Saat orang tua tidak dapat memahami apa yang diinginkannya, anak akan marah, mengamuk, dan lain-lain.

D. Pengaruh Kedwibahasaan pada Anak Autistik

25 1. Kedwibahasaan dan Intelegensi

Sering orang berpendapat bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam situasi dwibahasa mengalami hambatan dalam perkembangan inteleknya (Marat, 2005: 93). Hal tersebut disebabkan karena anak-anak harus berpikir dalam bahasa yang satu dan berbicara dalam bahasa yang lain, sehingga menderita kesalahan mental. Begitu pula dengan hasil tes IQ yang rendah, terutama tes yang berkaitan dengan kemampuan bahasa. Akan tetapi studi Lambert yang telah mengontrol faktor sosial-ekonominya, mendapatkan hasil yang sebaliknya, dimana anak-anak dwibahasa IQ nya sedikit lebih tinggi daripada anak yang ekabahasa. Pada anak autistik, kedwibahasaan sebagian besar semakin menambah masalah kebahasaan, terutama karena anak autistik juga mengalami hambatan perkembangan bahasa dan kecilnya frekuensi berinteraksi dengan orang lain, terutama untuk berkomunikasi menggunakan bahasabahasa yang ada. Atau bila tidak begitu, anak autistik semakin mengesalkan orang tua karena mereka hanya mengulang-ulang kata atau kalimat tanpa maksud untuk berkomunikasi, (seperti dijelaskan dalam bab teoritis), sehingga orang tua yang memiliki anak autistik juga memerlukan terapi psikologis untuk menghadapi segala tingkah laku mereka. Tidak semua anak autistik mengalami gangguan dalam inlegensi maupun, karena ternyata seperti terdapat dalam bab pembahasan, anak autistic ada yang memiliki kelebihan tersendiri, yang sering disebut orang dengan autistic savants", atau

pulau intelegensi, yang berarti mereka memiliki keahlian pada area atau bidangbidang tertentu, seperti seni, musik, berhitung (matematika), menggambar, dan sebagainya. Contohnya adalah Daniel Tammet, seorang genius yang autistik. Ia mampu memecahkan persoalan matematik yang sangat rumit dalam sekejap, dan bisa menerangkan bagaimana cara melakukannya.Ia bisa bicara 7 bahasa dan sekarang

26 sedang menciptakan bahasa baru. Berikut adalah artikel yang memuat tentangnya (diambil dalam situs autisme):

The Guardian, Sabtu 12 Februari 2005. Pewawancara : Richard Johnson. Daniel Tammet sedang bicara. Sambil bicara ia memperhatikan dan menghitung jahitan dikemeja saya. Sejak umur 3 tahun, ketika mendapat serangan kejang epilepsi, ia menjadi terpaku pada hitung-menghitung.Saat ini umurnya 26 tahun, dan ia bisa melakukan perhitungan matematik yang sangat rumit, mengalahkan kecepatan kalkulator. Namun Tammet adalah seorang anak autistik, ia tidak bisa menyetir mobil, bahkan tak bisa membedakan kanan dan kiri. Ia hidup dengan kemampuan dan ketidak mampuan yang luar biasa. Sejak mendapat serangan kejang epilepsi ia bisa melihat angka sebagai bentuk, dan warna sebagai rasa rabaan. Misalnya angka 2 sebagai suatu "gerakan" dan angka 5 sebagai "sambaran petir". "Bila saya mengkalikan angka, saya melihat 2 bentuk. Kedua bentuk itu berubah dan menyatu dan timbul bentuk ketiga. Itulah jawabannya. Itu merupakan khayalan mental seperti melakukan matematik tanpa harus berpikir " katanya. Tammet adalah seorang "savant", seorang individu autistik yang mempunyai kemampuan yang luar biasa. Diperkirakan bahwa 10% dari populasi autistik dan 1% dari populasi nonautistik mempunyai kemampuan ini, tapi tak ada seorangpun yang tahu mengapa. Para pakar berharap bahwa Tammet bisa membuka tabir ini. Prof. Alan Snyder dari "Centre for the Mind" di Australian National Institute di Canberra, menerangkan, mengapa Tammet menarik perhatian para pakar internasional. Para savants biasanya tidak bisa menceriterakan bagaimana cara mereka melakukan hal yang mereka lakukan. Daniel bisa menceriterakan apa yang dilihat dalam kepalanya. Hal tersebut sangat menggembirakan. Banyak teori beredar tentang savants. Snyder menganggap bahwa kita semua mempunyai kemampuan tersebut, hanya saja tidak tahu cara mengeluarkannya. Savants biasanya mengalami semacam kerusakan otak. Apakah ini suatu bibit dari demensia dikemudian hari ? Bisa timbul setelah mengalami trauma kepala, atau dalam hal Daniel setelah kejang. Kerusakan otak itulah yang memicu keluarnya kemampuan savant. Snyder berpenbdapat bahwa seorang yang normalpun bisa mengeluarkan kemampuan ini asal tahu caranya. Karena itu bekerja dengan Daniel sangat instruktif, katanya. Scan otak para autistic savants menunjukkan bahwa bagian otak kanan melakukan kompensasi untuk kerusakan bagian otak kiri. Kebanyakan savants mempunyai kesuliutan dalam berbahasa dan memahami (tugas otak kiri), namun mereka mempunyai kemampuan matematik dan daya ingat yang luar biasa (tugas otak kanan). Biasanya kemampuan berbahasanya terbatas, namun tidak demikian pada Daniel. Ia bahkan sedang menciptakan suatu bahsa baru yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa2 yang kaya dari Eropa Utara. Ia sudah menguasai bahasa perancis, jerman, spanyol, lithuania, Iceland dan esperanto. Bahasa barunya dinamakan bahasa "Manti". (semacam pohon) yang merefleksikan hubungan antar macam2 hal. Misalnya ibu : "ema" dan apa yang diciptakan oleh ibu adalah "ela" (kehidupan). Matahari :"paike", ciptaan matahari adalah :"paive" (siang). Tammet mengharapkan akan meluncurkan bahasa Manti tersebut di lingkungan akademis, bahasa tersebut merupakan penggalian pribadi dari kekuatan kata-kata dan hubungannya. Prof. Simon Baron-Cohen, direktur Autism Research Centre" (ARC) di Cambridge University sangat berminat tentang apa yang bisa diterangkan oleh "Manti" tentang autistic

27
savants. "Saya banyak mengenal autistic savants yang bicara berbagai bahasa asing, tapi sangat jarang yang bisa menceriterakan bagaimana melakukannya, apalagi menciptakan bahasa sendiri" katanya. Tammet berbicara dengan suara yang halus, ia malu-malu untuk menatap mata, sehingga ia tampak jauh lebih muda dari umurnya. Ia mempunyai rumah dipinggir pantai , tapi tidak pernah jalan-jalan kepantai oleh karena terlalu banyak kerikil yang harus dihitung. Ia tidak tahan bila ada suatu problema yang tidak ada penyelesaiannya. Ia juga tidak suka pergi berbelanja ke supermarket. Terlalu banyak rangsangan mental, katanya. Ia harus melihat setiap bentuk dan merabanya, setiap harga dan susunan sayur dan buah diperhatikannya. Ia jadi tidak bisa berpikir lagi mau beli keju yang mana. "Hal itu benar-benar membuatku tidak nyaman" katanya. Tammet tidak pernah bisa mengikuti jadwal kerja dari jam 9-17. Ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan rutin tersebut. Misalnya ia harus minum teh pada jam yang sama setiap hari. Ia sangat terpaku dengan urutan jadwal aktivitas setiap hari: seperti harus menggosok gigi sebelum mandi. Saya telah mencoba untuk lebih fleksibel, tapi malah merasa sangat tidak nyaman. Merasa diri bisa "menguasai lingkungan" sangat penting. Saya suka melakukan halhal dengan cara saya sendiri pada waktu yang tepat, jadi tidak mungkin bekerja dalam suatu kantor dengan aturan-aturan yang ketat. Ia mendirikan usaha sendiri dirumah: memberi kursus privat matematik dan bahasa melalui internet. Dengan demikian ia tidak perlu berinteraksi dengan orang secara langsung dan ia bisa mempunyai waktu utnuk merampungkan bahasa "manti"nya.

2. Kedwibahasaan dan Fungsi Kognitif Di Canada, telah dilakukan studi pada anak-anak usia 10 tahun mengenai hubungan kedwibahasaan dan fungsi kognitif, dari kelompok menengah menemukan bahwa anak-anak dwibahasa memperlihatkan performance yang lebih baik secara signifikan, antara lain dalam tes fleksibelitas mental, pembentukan konsep, melengkapi gambar, dan memanipulasi bentuk. Kelebihan ini disebabkan mereka mempunyai kemampuan dalam symbolic recognition yang baik karena mereka mempunyai dua simbol untuk setiap oibjek, dan mereka membuat konsepstualisasi kejadian-kejadian dalam lingkungannya bersandar hanya pada sifat-sifat umum saja, tanpa menggantungkan diri pada simbol-simbol linguistik. (Paul & Lambert, 1962, dalam Marat, 2005: 93) Dapat disimpulkan bahwa anak dwibahasa memperoleh flexiblelity set yang berguna dalam tugas-tugas berpikir yang berbeda, dimana dituntut adanya originalitas dan daya temu (inventiveness), yang berarti kedwibahasaan mempunyai efek positif terhadap funsi kognitif. Tetapi perlu dingat bahwa penelitian tersebut baru saja dimulai sehingga pendapat tersebut perlu diperkuat dengan hasil-hasil penelitian berikutnya.

28

3. Kesalahan Bahasa Kesalahan bahasa dapat terjadi baik itu dengan kedwibahasaan maupun karena kekurang pahaman masyarakat awam pada bahasa yang baik dan benar. Kesalahan bahasa dapat kita lihat dari taksonomi bahasanya (taksonomi linguistik) itu sendiri, yang meliputi: a.Kesalahan fonologi, yang mencakup ucapan bagi bahasa lisan, dan ejaan bagi bahasa tulis, yang menyimpang dari ucapan baku atau bahlana menimbulkan perbedaan makna. Contohnya adalah saudara diucapkan sodara, Rabu menjadi Rebo, alasan menjadi alesan, makin menjadi mangkin, telur menjadi telor, dan lain lain. Contoh untuk kesalahan ejaan adalah mengetengahkan ditulis mengketengahkan, orang tua menjadi orangtua, pertanggungjawaban menjadi pertanggung jawaban, melihat-lihat menjadi melihatdan lain-lain. b. Kesalahan morfologi, yang mencakup prefiks, infiks, sufiks, konfiks, simulfiks, dan perulangan kata. c.Kesalahan sintaksis, yang mencakup frasa, klausa, dan kalimat, yang menyebabkan kesalahan atau penyimpangan struktur dan ketidaktepatan pemakaian partikel. d. Contoh: Demikianlah agar Anda maklum, dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Seharusnya: Demikianlah agar Anda maklum, dan atas perhatian Anda saya ucapkan terima kasih. Kesalahan leksikon atau kesalahan pemilihan kata yang tidak atau kurang tepat. pilihan kata.

29 Persetujuan itu disetujui pada hari Minggu yang lalu, seharusnya: Persetujuan itu ditandatangani pada hari Minggu yang lalu. Menyetujui: Kepala Desa Kecis. Seharusnya: Disetujui oleh: Kepala Desa Kecis.

4. Mengalami Berbagai Gangguan Perkembangan Jalannya komunikasi pada anak autistik semakin terhambat. Jangankan kedwibahasaan, komunikasi berbahasa dan berbicara normalnya itu sendiri sudah mengalami gangguan. Hal itu terlihat dari komunikasi yang sering tidak nyambung, tidak mampunya mereka memahami perkataan orang lain, dan adanya pembicaraan sepihak serta ciri-ciri anak autistik lainnya. Kedwibahasaan akan mempengaruhi perkembangan kebahasaan anak, ada yang menjadi semakin tulalit, tetapi ada juga yang genius seperti Tammet, yang dapat berbicara dan 7 bahasa dan bahkan dapat menciptakan bahasa sendiri. Bahasa-bahasa yang aneh dari mereka semakin berpengaruh pada interaksi sosialnya. Pengaruh berikutnya adalah perkembangan bahasa dan komunikasi yang memang sulit menjadi semakin terhambat (terutama saat masih dalam tahap mendengar dan menerima pesan). Anak akan semakin menyendiri karena anak semakin tidak mengerti tentang konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Anak menjadi bingung dan memilih untuk lebih baik diam dan membiarkan segalanya berlalu begitu saja. Bicara anak autistik yang aneh seperti itu termasuk dalam kategori terganggu. Menurut Van Riper, Bicara dikatakan terganggu bila berbicara itu membawa perhatian yang tidak menyenangkan pada si pembicara, komunikasi itu

30 sendiri terganggu, atau menyebabkan si pembicara menjadi kesulitan untuk menempatkan diri (terlihat aneh, tidak terdengar jelas, dan tidak menyenangkan). Kecerdasan anak menjadi terhambat perkembangannya karena anak autistik yang sering berkutik tentang satu konsep saja sulit, apalagi dia harus berkomunikasi dengan macam-macam bahasa yang memiliki bunyi, tulisan dan bacaannya berbeda, membuatnya terlalu keras berpikir dan melelahkan pikiran, sehingga terkadang mereka lebih senang dengan kesendirian yang dimilikinya dan terkadang mengulang kata-kata yang dianggapnya menarik atau terlalu rumit, tetapi tanpa maksud untuk berkomunikasi, mereka hanya menyeracau atau membeo. Perubahan makna kata yang satu dengan yang lain (interferensi, salah satunya) akan semakin sering terjadi baik karena logat pembicara, maupun karena mereka salah tanggap terhadap kata-kata yang berbeda.

D. PENANGANAN Kenyataan membuktikan bahwa orang yang memiliki kemampuan dwibahasa ataupun multibahasa lebih lancar dalam bahasa yang satu daripada yang lainnya. Para dwibahasawan lebih sering menggunakan satu bahasa pada satu kelompok dan bahasa yang lainnya pada kelompok yang lain. Para ahli membedakan dwibahasa dalam dua tipe, yaitu Compound Bilingualism, yaitu hasil belajar dua bahasa dalam satu situasi yang sama oleh orang yang sama. Misalnya bahasa A dan B dipelajari seorang anak dari ibu dan bapaknya secara bergantian. Dalam hal ini kemungkinan terjadinya interfernsi bahasa lebih besar. Jenis yang kedua adalah Coordinate Bilingualism, yaitu hasil belajar dua bahasa yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Misalnya di sekolah anak berbicara memakai bahasa A dan di rumah dengan bahasa B, atau dengan ibu bahasa A, dengan teman berbicara dengan bahasa B (penggunaanya konsisten, tidak campur aduk). Metode pertama yang dikemukakan supaya anak-anak di kemudian hari jadi mahir berdwibahasa dan tidak bermasalah daalm bahasa adalah yang dalam bahasa Perancis disebut une personne, une langue (Grammont 1902, dalam kompas, 2006) satu

31 orang, satu bahasa. Metode ini baik diterapkan di keluarga yang orang tuanya memakai lebih dari satu bahasa. Seorang ayah dari Jawa bisa pakai bahasa Jawa dengan anaknya, sedangkan ibu yang dari Bali dapat memakai bahasanya sendiri dengannya. Yang penting, orang tua konsisten dan tidak campur-campur bahasanya jika berbicara dengan anaknya supaya anak dapat membeda-bedakan bahasa-bahasa yang diajarkan kepadanya. Metode lain mengusulkan supaya suatu keluarga memakai bahasa minoritas di rumah dan bahasa mayoritas di luar rumah. Metode ini bisa diterapkan oleh sebuah keluarga Bali yang bertempat tinggal di Jawa Barat misalnya. Ayah dan ibu memakai bahasa Bali di rumah dengan anak-anak, sedangkan bahasa Jawa (dan nanti bahasa Indonesia) diajarkan di luar rumah. Dengan metode ini, kekonsistenan juga sangat penting supaya anak-anak tidak bingung (Sebuah usulan untuk orang tua: berbahasa dengan konsisten dengan anak-anak upaya mereka nanti jadi orang yang berdwibahasa secara sadar). Love approach bagi penanaganan anak autistik yang bermasalah dalam beberapa aspek ini, terutama kedwibahasaan adalah cara penanganan yang terbaik. Pendekatan dengan cinta ini diberikan orang tua atau keluarganya pada anaknya, dalam bentuk kesabaran, keuletan, kerutinan, dan bimbingan yang sesuai agar anak mau mandiri dan maju serta berperilaku normal, menghilangkan kebiasaan-kebiasaan anehnya. Metode terapi, terutama terapi wicara sangatlah diperlukan untuk menunjang perkembangan bahasa anak autistik. Bagi terapis, pemahaman patokan perkembangan maupun tingkatan bahasa dan bicara pada anak akan sangat membantu dalam menganalisa kemampuan anak dari berbagai macam sisinya. Terapis dapat membantu anak dalam hal phonology (bahasa bunyi), semantics (kata), termasuk pengembangan kosakata, morphology (perubahan pada bentuk kata), syntax (kalimat), termasuk tata bahasa, discourse (pemakaian bahasa dalam konteks yang lebih luas), metalinguistics (bagaimana cara bekerjanya suatu bahasa), dan pragmatis (bahasa dalam konteks sosial) Perlunya terapis wicara adalah agar anak proses bicara anak lebih berkembang sesuai program yang dibuat (sekomunikatif mungkin), menambah perbendaharaan kata anak, mengajarkan dan memperbaiki kemampuan anak untuk berkomunikasi seara verbal yang baik dan fungsional, (termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, kata benda, kata kerja, dan lain-lain kemampuan memulai pembicaraan.) membantu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan linguistik lainnya, serta membantu alternatif permasalahan dari keautisan anak seperti apraxia, dan lain-lain.

32 Terapis wiara dapat memberikan informasi tentang perkembangan linguistik yang wajar sesuai komunikasi yang normal. Dalam metode pelaksanaannya dapat digunakan gambar atau simbol sebagai kode bahasa atau dengan bahasa isyarat yang memang tidak terlalu dianjurkan karena kemunkinan pengguanaanya sebagai cara lain, atau karena kalau anak masih kecil ditakutkan akan terhambat perkembangan bahasanya, atau anak belum banyak menerima verbal training. Yang jelas mengajarkan bahasa pada anak harus sesuai umur anak dan segala kemampuan yang diajarkan haruslah digeneralisasikan ke orang lain dan situasi lainnya, sehingga kemampuan yang di dapat bisa terpakai oleh anak secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Apabila orang tua menginginkan anaknya berbahasa yang benar, baik itu ekabahasa maupun dwibahasa, dapat pula diterapkan pola permainan yang menarik, seperti menempelkan bacaan pintu dan door pada pintu (pintu dalam bahasa Inggris), dan benda-benda lain sesuai namanya (jangan lupa memberitahu anak bahwa tulisan itu bacaaannya adalah itu). Tempelkan bacaan tersebut sekitar satu minggu, lalu setelah satu minggu, ajak anak untuk bermain dengna meminta memasangkan labellabel sebelumnya (yang pernah tertempel di sekitar rumah) pada tempat yang seharusnya, seperti terpasang pada minggu sebelumnya. Cara ini selain melatih daya ingat anak, juga melatih anak untuk dapat membaca bacaan sederhana. Cara lainnya adalah dengan melatih dahulu pengucapan dan ketepatan baca anak, seperti anak diminta untuk membaca: kuku kaki kiriku kaku-kaku, atau dengan satu biru, dua biru, tiga biru,....., sepuluh biru, dan lain sebagainya untuk melatih konsentrasi anak. Dan terakhir, apabila tingkat keautisan anak berat, sebaiknya orang tua memakai satu bahasa dahulu, baru saat anak sudah mendapatkan konsep-konsep sederhana dari suatu kata atau kalimat, maka anak boleh dikenalkan dengan bahasa lainnya, dengan cara yang menarik, agar anak tertarik.

33

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Autisme merupakan gangguan perkembangan pada masa anak yang jumlahnya saat ini semakin meningkat. Diperlukan pemeriksaan yang terpadu dari berbagai ahli untuk mendiagnosa gangguan dengan tepat. Diagnosa yang tepat akan menghasilkan prognosa dan intervensi yang tepat. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Intervensi pada penyadang autisme mencakup pemberian obat (terapi medikamentosa), terapi psikologis (tata laksana perilaku) yang memfokuskan pada menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak dikehendaki dan membentuk tingkah laku yang dikehendaki, terapi wicara dan fisioterapi. Disamping itu dikenal juga beberapa alternatif terapi lainnya seperti terapi musik, son rise program, dan lain-lain. Kunci keberhasilan terapi adalah keterlibatan orangtua dalam proses terapi sehingga dikenal dengan home training atau home base program. Hal ini disebabkan peningkatan kemampuan pada penyandang autis bersifat lambat dan ada saatnya kemampuan yang telah diperoleh tersebut hilang. Orang tua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing dan membesarkan anak autis. Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Prognosa yang cukup baik terdapat bagi anak autis yang mampu bicara sebelum usia 5 tahun dan memiliki tingkat intelegensi rata-rata. Mereka dapat bersekolah di sekolah normal pada saat remaja dapat melanjutkan pendidikan ke

34 perguruan tinggi (memang jumlahnya tidak banyak hanya sekitar 10 persen, namun hal ini menimbulkan harapan bagi penyandang autis). Konseling tidak hanya diberikan pada anak autistiknya saja, tetapi orang tua atau keluarga juga perlu untuk mendapat beberapa konseling psikologis. Pentingnya konseling keluarga adalah untuk mengurangi stress pada keluarga penderita autisme. Setelah seorang anak didiagnosa autisme, adalah penting bahwa tidak hanya anak tersebut yang mendapatkan pertolongan, namun juga orang tua. Orang tua perlu diberikan pengertian mengenai kondisi anak dan mampu menerima anak mereka yang menderita autis. Mereka juga dilibatkan dalam proses terapi (Home training). Konsep yang ada dalam home training ini adalah orang tua belajar dan dilatih untuk dapat melakukan sendiri terapi yang dilakukan psikolog atau terapis. Terapi tidak hanya dilakukan oleh terapis tetapi juga oleh keluarga di rumah. Terapi yang intensif akan meminimalisir kemungkinan hilangnya kemampuan yang telah dilatih dan dikuasai anak. Kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dalam dua atau lebih bahasa,yang dimaksudkan sebagai lancarnya komunikasi, dan demi keakraban. Kedwibahasaan tidak selamanya berdampak negatif atau mengganggu segala aspek perkembagan anak, karena pada kenyataanya walaupun sedikit, ada anak autistick yang memiliki kelebihan dalam berhitung, berbahasa, seni, dan lain-lain, seperti Danniel Tammet, seorang autis yang dapat berbicara dalam tujuh bahasa, bahkan dapat menciptakan bahasa sendiri. Pada anak normal umunya, kedwibahasaan bahkan memberikan hasil positf pada segi intelegensi dan kognitifnya, mereka lebih kreatif dan lebih cepat dalam menerima informasi, lebih peka pada lingkungan, dan lain-lain. Tearapi wicara yang konsisten, intensif, dan teratur sangat penting untuk anak autistik terutama untuk pembenaran konsep dan perbendaharaan kata dan kalimat anak. Demikianlah gambaran sekilas mengenai hubungan kedwibahasaan pada anak autistik, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. B. Saran Anak- anak dengan autisme dengan berbagai jenis karakteristiknya menunjukkan problem dalam kisaran luas dengan derajat yang berbeda-beda. Umumnya, mereka bermasalah pada tiga area perkembangan krusial, yaitu masalah sosial, bahasa dan tingkah laku. Dalam kasus yang paling berat autisme ditandai dengan tingkah laku tidak biasa dan berulang, kadang-kadang termasuk melukai diri sendiri dan sikap

35 agresif. Anak dengan autisme mungkin membutuhkan perawatan dan perawatan seumur hidup, bergantung pada seberapa berat kondisinya. Anak dengan autisme sebaiknya diterapi dengan intensive interventions pada tahun-tahun pertama kehidupannya, atau segera setelah penyakit ini diketahui sejak dini. Pemeriksaan terhadap anak penyandang autisme secara terpadu perlu dilakukan. Tim yang terdiri dari ahli psikologi anak, dokter anak, dokter neurologis serta ahli pendidikan. Anak autistik yang pada umumnya mengalami hambatan dalam bahasa, sebaiknya segera ditangani dengan benar. Untuk masalah kedwibahasaan, jika memang kedwibahasaan itu malah semakin menghambat perkembangna anak, maka sebaiknya hentikan dahulu kedwibahasaan tersebut, baru setelah anak cukup mengerti suatu konsep dalam satu bahasa, maka ia boleh dijadikan dwibahasawan, tapi pengajarannya pengajarannya. Kedwibahasaan dapat menimbulkan berbagai kesalahan bahasa, dan ada beberapa yang perlu diperbaiki (selektif), yaitu jika kesalahan selalu berulang, yang menimbulkan kesalahpahaman, dan yang sifatnya global. Yang dapat memperbaikinya adalah orang tua (terutama untuk kedwibahasaannya), para guru, sesama pelajar, dan pelajar yang tetap dalam bimbingan guru. Maka gunakanlah bahasa, terutama bahasa Indonesia yang baik dan benar. harus intensif dan konsisten, baik dalam waktu maupun

36

DAFTAR PUSTAKA

Guntur, Prof.Dr. Henry Tarigan dan Drs.Djago Tarigan. (1990). Pengajaran Analasis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung. Margono. (2002). Strategi Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Anak Autistik di Sekolah Umum. Bandung. Makalah. Marat, Prof.Dr. Samsunuwiyati, Psi. (2005). Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama. Nababan, P.W.J, dkk. (1992). Survei Kedwibahasaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Riyanti, Nina. (2003). Program Komunikasi Diri Bagi Anak Autistik dengan Media Compic di TK Bintang Harapan Bandung. Bandung. Skripsi. Sabir, Evi dan Gitawan, BSc.(2003). Gangguan Bahasa dan Bicara pada Anak dengan Autistik Spectrum Disorder (ASD). Dalam makalah lengkap Konferensi Nasional AutismeTowards a Better Life for Individuals. Jakarta.

Surjakusumah, Yoyo. (1987). Segi-segi Kosakata, Tata Bahasa, dan Kedwibahasaan dalam Tuturan Berbahasa Indonesia Anak-anak Taman Kanak-kanak. Bandung. Tesis.

www.google.com www.kompas.co.id

37 www.autism society org. 2002 www.mayoclinic.com

PENGARUH KEDWIBAHASAAN PADA ANAK AUTISTIK


Diajukan sebagai tugas akhir mata kuliah bahasa Indonesia semeter II Dosen: Dra.Tatat Hartati M.Ed MAKALAH

38 oleh Puji Hartati 054783

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2006

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut-pengikut-Nya yang setia hingga akhir zaman nanti. Semoga makalah yang berjudul PENGARUH KEDWIBAHASAAN PADA ANAK AUTISTIK ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian, bagi penulis khususnya yang pengetahuan tentang kebahasaan dan ke-autis-annya masih terbatas. Penulis menyadari bahwa walaupun makalah ini telah selesai, tetapi karena keterbatasan yang dimiliki, maka karya ini masih banyak kekurangannya, baik dari penulisan maupun dari segi isinya. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang ada. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan dan perhatiannya, seperti orang tua tercinta atas segala kasih sayangnya, bapak-ibu guru semasa bangku persekolahan, bapak-ibu dosen UPI, terutama Ibu Dra.Tatat Hartati M.Ed selaku dosen kelas mata kuliah bahasa Indonesia, temanteman tersayang, Mas Uki, Fajar dan Novi atas izin peminjamannya, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis mohon maaf bila terdapat suatu kekeliruan dalam makalah ini, karena manusia tidak luput dari

39 kesalahan. Hanya pada Allah-lah kebenaran berada, dan hanya kepada Allah jua-lah kita mengharap ridha dan maghfirahnya. Wassalammualaikum wr.wb.

Bandung, 23 Mei 2006

PUJI HARTATI

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ..... i DAFTAR ISI ....ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....... 1 B. Rumusan Masalah ...... 2 C. Tujuan Penulisan .... 2 D. Metode Penulisan ........................... 2 E. Sistematika Penulisan .... 2 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Perkembangan Bahasa ..... 4 1. Perkembangan Bicara dan Bahasa .. 5 2. Proses Pemerolehan Bahasa .... 7 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Komunikasi . 7 B. Autisme ............................................... 7 1. Pengertian .. . 7 2. Jenis-jenis Autisme .. 8 3. Karakteristik Anak Autistik ... 10 4. Faktor Penyebab Autisme . 13 5. Penanganan .... 15 BAB III PEMBAHASAN

40 A. Kedwibahaasan .. 18 1. Pengertian .. 18 2. Beberapa Cara Mengukur Kedwibahasaan ... 21 Penyebab Kedwibahasaan . 22 Komunikasi Anak Autistik ........ 23 Pengaruh Kedwibahasaan pada Anak Autistik . 24 1. Kedwibahasaan dan Intelegensi ...... .. 24 2. Kedwibahasaan dan Fungsi Kognitif ...... .. 27 3. Kesalahan Bahasa .... . 28 4. Mengalami berbagai Gangguan Perkembangan ..... .. 29 Penanganan .. ................................. 30

B. C. D.

E.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan...... 33 B. Saran ... 34 DAFTAR PUSTAKA ... 36

You might also like