You are on page 1of 11

Dasar-dasar Teknologi DNA Rekombinan

Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom dan DNA vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi, pembentukan molekul DNA rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul DNA rekombinan. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. pengertian teknologi DNA rekombinan, 2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan, 3. tahapan-tahapan kloning gen , 4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan 5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan. Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat -sifat asam nukleat seperti yang telah dibahas pada Bab II.

Pengertian Teknologi DNA Rekombinan

Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970 -an

berkembang suatu teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau pe mbentukan suatu produk. Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan , atau dengan istilah yang lebih populer rekayasa genetika , ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikata kan sebagai kloning gen . Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.

Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan mempelajari masing -masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.

Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1). Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA

rekombinan, reisolasi mole kul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.

Isolasi DNA

Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, bekuleleh maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan -bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium bufer nonosmotik, sedangka n bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X -100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan remukan sel harus dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase . DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkoho l atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl (lihat Bab II).

Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom

jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.

Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela -sela basa molekul DNA. DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.

Enzim Restriksi

Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau b akteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (ke turunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfe ksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10 -4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K

mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.

Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam stra in K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat -tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.

DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwarisk an dan harus dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi.

Metilasi hanya terjadi pada salah satu d i antara kedua untai molekul DNA. Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.

Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dip elajari. Selanjutnya, enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi
tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies

bakteri lainnya.

Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kem udian dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II . Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesie s dan strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.

Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat -sifat umum yang penting sebagai berikut:

1.

mengenali urutan tertentu sepanjang emp at hingga tujuh pasang basa di

dalam molekul DNA 2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat

tempat pengenalannya

3. basa.

menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan

Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim restriksi beserta tempat pengenalannya. Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing -masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf -huruf tambahan, jika ada, berasal

dari nama strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama. Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5 yang runcing karena masing masing untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung
kohesif .

Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5 yang tumpul karena masing -masing untai tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3.

Ligasi Molekul molekul DNA

Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatib el. Artinya, fragmen-fragmen DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah berbentuk linier.

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen -fragmen DNA secara in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DN A ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai enzim T 4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung -ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3. Dengan untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA ligase. Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37C. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung -ujung lengket akan menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut. Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15C dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).

Pada reaksi ligasi antara fragmen -fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100g/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari u jung 5 pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan

enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3 seperti telah disebutkan di atas.

Transformasi Sel Inang

Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa frag men-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut se lain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalam i perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.

Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain -strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi E.coli.

Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid (CaCl 2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan -kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl 2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl 2 pada suhu 0 hingga 5C. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45C selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl 2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil. Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak tidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl 2 akan menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini ke mudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.

Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan

Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.

Cara seleksi sel transforman a kan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal, (2) sel inang di masuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inan g hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi. Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi
berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang

teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainn ya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan

You might also like