You are on page 1of 23

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Disampaikan pada kuliah umum Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta

Oleh: Jesi Aryanto, SHI., MH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS YARSI JAKARTA 2011

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Sebelum membahas hukum acara peradilan agama, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui dan memahami asas -asas hukum Islam.Asas berasal dari kata bahasa Arab, asasun yang berarti dasar, pondasi.Jika dihubungkan dengan sistem berpikir, asas dapat didefinisikan sebag ai landasan berpikir yang sangat mendasar. Asas-asas umum hukum Islam adalah 1 : Asas Keadilan. Asas keadilan harus diteg akkan bukan hanya kualitas tetapi juga kuantitas, tidak hanya sama rata tetapi juga sesuai pada tempatnya. Asas Kepastian hukum. Hukum harus benar-benar ditegakkan dan yang salah dihukum. Asas manfaat. Tujuan dan manfaat suatu hukum harus jelas dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.

1.

2. 3.

Dalam Islam terdapat ssas -asas hukum perdata menjadi tumpuhan atau landasan untuk melindungi kepenti ngan pribadi seseorang, diantaranya 2: 1. Asas kebolehan (mubah) Dalam bermuamalah (perdata) pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya boleh sepanjang tidak ada ketentua n yang melarangnya. 2. Asas kemaslahatan hidup (kebaikan bagi kehidupan) 3. Asas kebebasan dan kesukarelaan (kebebasan berkehendak dan memilih) 4. Asas kekeluargaan dan kebersamaan (saling membantu dalam kebaikan) 5. Asas adil dan berimbang (hak disesuaikan dengan kewajiban) 6. Asas tertulis (dokumentasi) Asas-asas hukum dalam perkawinan, diantaranya 3: 1. Kesukarelaan (suka sama suka). 2. Persetujuan (tujuan yang sama). 3. Bebas memilih (menentukan pilihan). 4. Kemitraan suami -isteri. 5. Selamanya (sehidup semati), dan 6. Monogami (poligami bersyarat). Kemudian asas-asas hukum dalam kewarisan, diantaranya 4: 1. Ijbari (keharusan/otomatis). 2. Bilateral (kedua belah pihak). 3. Individual (hak perorangan). 4. Keadilan berimbang (hak dan kewajiban). 5. Akibat kematian (syarat warisan).

Prod. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), Ibid.,132 Ibid.,139 Ibid., 141

hlm. 128

2 3 4

A. Hukum Acara Peradilan Agama 1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama Hukum Acara Peradilan A gama (Ps. 54-91 UU 7/1989) 5adalah adalah hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum kecuali ditentuan lain oleh UU PA.Hukum acara disebut juga hukum formal, yaitu seluruh kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak sdan kewajiban -kwajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum acara perdata meteriil. Hukum acara perdata dapat pula disebut hukum proses, sebab hukum acara ini terdiri dari rangkaian cara -cara bertindak di depan pengaadilan, mulai dari memasukan gugatan/permohonan sampai selesai diputus dan dilaksanakan. 6 2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama a. HIR (Herziene Indonesisch Reglement) Jawa Madura b. RBG (Reglement Buitengewesten) Indonesia Lainnya c. UU No.20/1947 tentag Peradilan Ulangan di Jawa Madura d. UU No.14/1970 Jo 35/1999 Jo 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman e. UU No.14/1985 Jo 5/2004 tentang Mahkamah Agung f. UU No.7/1989 Jo 3/2006 tentang Peradilan Agama g. UU No.1/1974 tentang Perkawinan h. UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat i. UU No.13/1985 tentang Bea Meterai j. PP No.9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 k. PP No.10/1983 Jo 45/1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS l. Permendagri No.6/1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik m. PERMA No.2/1989 tentang Wali Hak im n. PERMA No.2/2003 Jo 1/2008 tentang Mediasi o. INPRES No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 3. Kewenangan Peradilan Agama Wewenang/kompetensi Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 s.d 53 UU No.7/1989 Jo.3/2006 tentang PA, terdiri dari kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Kewenangan relatif Peradilan Agama merujuk (Pasal 118 HIR/142 R.Bg Jo.Pasal 66 s.d 73 UU No.7/1989).Penentuan kompetensi relatif bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan/permohonan diajukan agar gugatan/permohonan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat HIR, yaitu: 1) Apabila Tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengdilan yang daerah hukumnya melipuuti tempat kediaman salah

Hukum Acara Peradilan Agama yang khusus diatur oleh UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama adalah melengkapi Hukum Acara yang diatur dalam HIR. Lihat: M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7/1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 191 6 H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajawaliGrafindo Persada, 2000), hlm. 8

seorang dari Tergugat; hal ini dikenal juga dengan asas ( actor sequitur forum rei ). 2) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengaadilan di tempat tingga Penggugat; 3) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada pengadilan diwilayah hukum dimana bar ang tersebut terletak; 4) Apabila ada tempat tingga l yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut Dengan demikian dapat disimpulkan kewenangan relatif, adalah: - Hukum Acara Peradilan Agama (PA). adalah Hukum Acara Perdata (HIR), Kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang. - Khusus Perceraian, Kewenangan Relatif Pengadilan Agama didasarkan kepada tempat tinggal isteri kecuali ; i. Isteri meninggalkan rumah tanpa i zin suami (PA di wilayah hukum Pemohon) ii. Isteri tinggal di luar negeri (PA di wilayah hukum Pemohon). - Dalam hal Para Pihak tinggal di Luar Negeri, Kewenangan Relatif Pengadilan Agama ada pada PA Jakarta Pusat atau PA yang mewilayahi tempat terjadinya perk awinan. Sedangkan kewenangan absolut Peradilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara -perkara antara orangorang yang beragama Islam dibidang -bidang/perkara perkara tertentu , diantaranya: a. Kewenangan di bidang perkawinan (penjelasan Pasal 49 UU No.3/2006) 1. Izin berpoligami ; 2. Izin perkawinan dibawah 21 tahun (orangtua/wali berbeda pendapat); 3. Dispensasi perkawinan; 4. Pencegahan perkawinan; 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah ; 6. Pembatalan perk awinan; 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami-isteri; 8. Perceraian karena thalak; 9. Gugatan pereraian; 10. Penyelesaian harta bersama; 11. Penguasaan anak -anak; 12. Penentuan Ibu memikul kewajiban biaya pemeliharaan anak , bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya; 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri, atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri; 14. Putusan tentang sahatau tidakseorang anak; 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. Pencabutan kekuasaan wali; 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;

18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukp umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. Pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang yang ada dibawah kekuasaannya; 20. Penetapan asal usul seorang anak da penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. Pernyataan tentang sahnya perkawina n yang terjadi sebelu UU No.1/1974 tentang Perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang lain. b. Kewenangan diluar perkawinan 1. Waris (penjelasan Pasal 49 huruf b UU No.3/2006) a. Penentuan siapa yang menjadi ahli waris; b. Penentuan mengenai harta peninggalan; c. Penentuan bagian masing -masing ahli waris; d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan; e. Penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris 2. Penyelesaian sengketa dibidang Ekonomi Syari ah(Muamalat) (Pasal 49 UU No.3/2006) , yang meliputi sbb : a. Bank Syariah; b. Asuransi Syariah; c. Reasuransi Syariah; d. Reksa dana Syariah; e. Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; f. Sekuritas Syariah; g. Pembiayaan Syariah; h. Pegadaian Syariah; i. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah; j. Bisnis Syariah; k. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Dengan demikian dapat disimpulkan kewenangan peradilan agama dibidang ekonomi syariah meliputi: 1. Perbuatan atau kegiatan usaha yang dila kukan berdasarkan prinsip syariah 2. Yang menjadi acuan bukan pihak -pihaknya melainkan perbuatan/atau kegiatan usaha yang dijalankannya harus didasarkan prinsip-prinsip syariah. 3. Wasiat. Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. 4. Hibah.

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 5. Wakaf (UU No.41/2004 Jo Ps. 226 KHI) . Wakaf adalah perbutan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 6. Zakat Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh ora ng muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 7. Infaq; Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezki, atau menafkah sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah. 8. Dan Shadaqah. Shadaqah adalah memberikan sebagian harta/rezki kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, melainkan mengharap ridho Allah. c. Kewenangan Pengadilan Agama yan g lain Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 52 UU No.7/1989 Jo Pasal 52A UU No.3/2006 tentang PA, bahwa Pengadilan Agama memberikan Istbat kesaksian rukyat hilal dengan penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. B. Kompetensi dan tugas Hakim Pengadilan Agama 1. Kompetensi Hakim Pengadilan Agama Hakim pada Peradilan Agama harus betul -betul memahami hukum, tidak hanya hukum materil dan hukum formil perdata sebagaimana yang berlaku pada peradilan umum, melainkan juga mengetahui ketentuan -ketentuan khusus yang berlaku di Peradilan Agama (hukum Islam). 2. Tugas Hakim Pengadilan Agama Hakim Pengadilan Agama memiliki tugas dalam memeriksa , mengadili dan menyelesaikan suatu perkara sesuai yang menjadi kewenangan absolut dari Peradilan Agama (Pasal 49 UU No.3/2006) C. Pengajuan Gugatan dan Permohonan 1. Perbedaan Gugatan dan Permohonan a. Surat Gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh Penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara. b. Surat Permohonan adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh pihak orang yang berkepentingan terhadap

suatu hal yang tidak mengandung sengketa, dihadapan badan peradilan yang berwenang. Gugatan/permohonan pada prinsipnya Penggugat/Pemohon atau kuasanya. harus dibuat tertulis oleh

2. Jenis-jenis Gugatan dan Permohonan a. Gugatan: - Cerai (thalak dan gugat) - Hak Asuh Anak (Hadhonah) - Nafkah Anak/Bekas Isteri - Pembatalan Perkawinan - Sengketa Waris - Penyelesaian Pembagian HartaBersama b. Permohonan: - Itsbat Nikah(diajukan oleh suami isteri) - Penetapan Pertolongan Pembagian - Harta Peninggalan (P3HP) - Izin Poligami - Izin Kawin dibawah 21 tahun/dispensasi - Penetapan Asal -usul anak dan Adopsi D. Tata cara Pengajuan Gugatan 1. Tata cara Pemanggilan/Relaas 2. Upaya Menjamin Hak Ada beberapa bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh hukum, yaitu dengan 1. Permohonan Sita Adapun pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang -barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang -barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk menjamin hak-hak tersebut, maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang barang sengketa atau yang dijadikan jaminan. 2. Hakikat Sita Dari rumusan pengertian sita tersebut maka kita bisa lihat bahwa hakikat dari persitaan adalah: a. Sita merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh hakim. b. Sita bersifat eksepsional. c. Sita dilakukan atas permohonan pihak yang bersengketa. d. Sita untukmengamankan barang -barang sengk eta atau yang dijadikan jaminan. e. Tujuan akhir dari sita yaitu untuk menjamin agar putusan hakim nantinya, sekiranya tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan, dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. 3. Pelaksanaan Sita

Penyitaan dilakukan oleh panit era pengadilan agama, yang waji b membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitah ukan isinya kepada tersita bila dia hadir.Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara. 4. Unsur-unsur Dalam Penyitaan - pemohon sita - permohonan sita - obyek sita - tersita - hakim - pelaksana sita 5. Macam-macam Sita a. Sita conservatoir (Ps.227 HIR dan 261 RBg) Sita conservatoir (jaminan/tanggungjawab) adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan setatus kepemilikannya, atau dalam hal utang piutang atau tuntutan ganti rugi.Sita dapat dilakukan terhadap harta yang disengketakan status kepemilikannya, atau harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau tuntutan ganti rugi Permohonan sita harus ada alasan bahwa: - Tergugat dikhawatirkan akan memindahtangankan atau mengasingkan dan sebagainya barang -barang sengketa atau jaminan. - Terdapat tanda -tanda atau fakta-fakta yang mendasari kehawatiran itu. Tatacara sita conservatoir - Penggugat dapat mengajukan permoihonan sita bersama -sama (menjadi satu) dengan surat gugatan, mengenai pokok perkara. - Permohonan diajukan kepada pengadilan yang memeriksa perkara pada tingkat pertama. - Alasan tersebut disertai data -data atau fakta-fakta yang menjadi dasar kehawatiran. - Hakim mengeluarkan penetapan yang isinya menolak atau mengabulkan permohonan sita tersebut. - Apabila permohononan sudah ditolak tapi timbul hal -hal baru yang menghawatirkan, maka dapat mengajukan permohonan lagi. b. Sita revindicatoir (Ps.226 HIR dan 260 RBg) Sita revindicatoir ialah sita terhadap barang milik kreditur(penggugat) yang dikuasai oleh orang lain (tergugat).Sita revidicatoir bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin hak kebendaa n dari pemohon berakhir penyerahan barang yang disita.Pelaksanaan sita ini sama seperti sita conservatoir. c. Sita marital

Sita marital ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan.Dan sita ini diatur dalam pasal 78 huruf c UU.No. 7/1989 jo pasal 24 PP.No. 9/1975, pasal 95 Kompilasi Hukum Islam. Syarat-syarat sita marital, adalah: - Sita marital dapat dimohonkan oleh suami atau istri dalam sengketa perceraian, pembagian harta perkawinan dan pengamanan harta perkawinan. - Sita apat diletakkan at as semua harta perkawinan yang meliputi harta suami, istri dan harta bersama suami isteriyang disengketakan dalam pembagian harta bersama. - Sita marital dapat diajukan bersama -sama dalam pemeriksaan perceraian atau setelah perceraian terjadi. d. Sita Persamaan Istilah dalam bahasa belanda vergelind beslaag. ada yang memakai sita perbandingan, adapula yang memakai sita persamaan yang mana istilah ini dipakai oleh mahkamah agung. Dan sita persamaan ini diatur dalam pasal 463 RV. Tatacara sita persamaan , yaitu: Apabila juru sita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang yang akan disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka juru sita tidak dapat melakukan penyitaan sekalilagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk mempersamakan barang barang yang disita itu dengan berita acara penyitaan, yang untuk itu oleh pihak tersita harus diperlihatkan kepada jurusita tersebut. E. Tata cara Pemeriksaan Dalam Sidang dan Tahap -tahap Pemeriksaan 1. Gugatan Gugatan adalah memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara. a. Perubahan Gugatan ( Pasal 127 BRV) Penggugat boleh mengubah atau mengurangi tuntutan sepanjang pemeriksaan perkara, asal saja tidak merubah atau menambah het onder werp van den eisch Itu, juga dasar tuntutan (soepomo) . b. Pencabutan gugatan sangat mungkin terjadi pada sidang pertama atau kapan saja bahkan mungkin berlanjut sampai kepada pencabutan permohonan banding atau permohonan kasasi. Pencabutan gugatan boleh saja dilakukan selama tergugat belum mengajukan jawaban, atau dalam hal tergugat telah mengajukan jawaban maka pencabutan hanya dilakukan atas persetujuan tergugat. 2. Mediasi (perdamaian) (PERMA No.1/2008) Sebelum persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan po kok perkara dan Tergugat belum mengajukan jawaban dan eksepsi, majelis hakim terlebih dahulu melakukan upaya perdamaian (mediasi) dengan menunjuk seorang mediator. a. Apabila mediasi berhasil atau tercapai kesepakatan damai, maka dilanjutkan dengan akta perda maian atau sidang tidak dapat dilanjutkan ke persiangan. b. Tenggang waktu mediasi 40 hari dan dapat diperpanjang oleh hakim berdasarkan alasan yang kuat dan sah

c. Apabila mediasi dinyatakan gagal, maka persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara t anpa harus menunggu tenggang waktu 40 hari tersebuut. 3. Jawaban Dalam jawaban ini memuat tentang penolakan dan sanggahan sebagai bentuk upaya bagi Tergugat yang berhak mempertahankan haknya.Dalam hal ini Tergugat dapat mengajukan eksepsi (keberatan) berbare ngan dengan jawaban dan mengajukan gugatan balik (rekonpensi). 4. Replik Sidang replik adalah merupakan kesempatan yang diberikan oleh hakim kepada Penggugat untuk menanggapi jawaban Ter gugat sesuai dengan pendapatnya, atau tetap mempertahankan gugatannya dengan mengulangi, menegaskan dan melengkapi dengan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil -dalilnya gugatannya. 5. Duplik Sidang duplik merupakan jawwaban atau tanggapan dari replik, yang pada intinya Tergugat mengulangi dan menegask an kembali jawaban serta gugatan rekonvensinya (jika ada). 6. Pembuktian Setelah proses jawab menjawab diatas, dilanjutkan dengan agenda pembuktian untuk memperjelas duduk perkaranya. Penggugat an Tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan bukt i-bukti terkait dengan perkara tersebut. 7. Keterangan Saksi Setelah acara pebuktian telah diajukan oleh para pihak, dilanjutkan pemeriksaan keterangan saksi -saksi yang dianggap mengetahui, melihat terkait perkara yang bersangkutan, yang diajukan oleh para pihak.Pemeriksaan saksi bila diperlukan dapat diajukan Saksi Ahli (keterangan ahli) berdasarkan pengetahuan dan keahliannya. 8. Kesimpulan Pada tahap kesimpulan masing -masing pihak (Penggugat dan tergugat) diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan penda pat akhir tentang hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung. 9. Putusan Hakim Putusan merupakan pernyataan majelis hakim yang dituangkan secara tertulis dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil akhirdari pemeriksaan perkara. F. Eksepsi, Intervensi, dan Pilihan Hukum Dalam Waris 1. Tata cara Pengajuan Eksepsi Eksepsi7 adalah tangkisan/keberatan yang merupakan bantahanatau tangkisan dari tergugat yang diiajukannya ke pengadilan karena tergugat digugat oleh penggugat, yang tujuannya su paya pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena adanya alasan tertentu.
7

Ibid., hlm.106

Eksepsi terdiri dari eksepsi relatif dan eksepsi absolut , keduanya hanya menyangkut prosesual perkara, yang merupakan tangkisan tergugat yang hanya menyangkut prosesual perkara.Sedangkan eksepsi materi perkara adalah tangkisan atau bantahan terhadap pokok perkara. a. Eksepsi relatif (relatief exceptie/distributief exeptie ) Yaitu mengenai kewenangan relatif Pengadilan Agama dalam memeriksa suatu perkara.Sesuai dengan ketentuan pasal 125 (2), 133, 136 HIR, hanya boleh diajukan oleh tergugat pada sidang pertama, baik lisan maupun secara tertulis. b. Eksepsi absolut (absolute exceptie/attributief exceptie ), yaitu mengenai kewenangan peradilan lain yang berwenang dalam memeriksa suatu perkara. Ketetuan pasal 134 HIR mengatur bahwa eksepsi absolut dapat diajukan kapan saja (PA, PTA, MA) dan akan diadili sekaligus bersama-sama dengan pokok perkara secara keseluruhan c. Eksepsi materi perkara ( verweer ten principale ), yaitu mengenai segala sesuatu materi perkara yang diajukan yang tidak mem enuhi syarat peraturan perundang -undangan, sehingga petitum gugatan tidak dapat dikabulkan. 2. Tata cara Pengajuan Intervensi a. Intervensi 8diatur dalam pasal 279 -282 Rsv (Reglement of de rehtsvorering/Hukum Acara Perdata Eropa di Indonesia). Intervensi disebut juga (interventie: Belanda) adalah turut campur tangannya pihak ketiga, yaitu siapapun yang berkepentingan selain dari pihak -pihak yang sedang berperkara, yang melibatkan ke dalam suatu per kara yang sedang berjalan. Karena kepentingannya akan terganggu jika tidak mencampuri proses, atau dengan mencampuri proses tersebut akan dapat mempertahankan hak -haknya. 1. Pihak ketiga (intervenient) kemungkinan akan membela Penggugat atau Tergugat (voeging), dan atau netral tidak memihak (tussenkomst). Contoh voeging: A (suami) bercerai dengan B (isteri), lalu B menggugat A tentang harta perkawinan yang berupa sebuah rumah berikut tanahnya, padahal tanahnya milik A bersama C, lalu C turut ke dalam proses di pihak A. Contoh tussenkomst: B dan C sengketa harta waris yang ditinggalkan ayah mereka A, sehingga B menggugat C, padahal harta yang digugat B tersebut milik D yang diperolehnya dari A melalui hibah ketika A masi h hidup, lalu D turut ke dalam proses sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sendiri. 2. Penggugat dan tergugat semula, tetap sebagai penggugat dan tergugat dalam pokok perkara, sedangkan pemohon intervensi disebut penggugat insidental. 3. Jika penggugat insid ental memihak kepada penggugat, maka tergugat semula merangkap sebagai tergugat insidental. 4. Jika penggugat insidental membela kepentingannya sendiri, maka penggugat dan tergugat semula menjadi tergugat insidental.

Ibid., hlm. 109

Permohonan intervensi (gugatan insidenta l) dari pihak ketiga harus diajukan kepada majelis hakim yang sedang memeriksa perkara yang bersangkutan, pada waktu penggugat dan tergugat sedang jawab menjawab sebelum tahap pembuktian. b. Vrijwaring Vrijwaring 9 sama dengan intervensi yang diatur dalam Pas al 70-76 Rsv. Vrijwaring artinya penanggungan, yaiitu ketika proses sedang diperiksa oleh majelis hakim, tergugat merasa perlu meminta agar pihak ketiga ditarik diikutsertakan ke dalam proses untuk menanggung tergugat. Contoh: B membeli sebidang kebun dari A yang menurut A adalah miliknya sebagai maskawin dari suaminya sewaktu mereka kawin d ahulu. Tibatiba B digugat oleh C karena menurut C adalah miliknya. B mengajukan permohonan kepada pengadilan (majelis hakim) yang memeriksa perkara agar A ditarik ke da lam proses untuk mennggung B. Dari contoh tersebut, C selaku penggugat semula, tetap disebut penggugat. B selaku tergugat semula, disebut penggugat insidental, sedangkan A pihak ketiga yang dipanggil disebut tergugat insidental. Permohonan (gugatan insidental) harus dipertimbangkan terlebih dahulu oleh majelis hakim, apakah diterima atau ditolak dalam putusan sela , cukup dicatat dalam Berita Acara Sidang tanpa putusan tersendiri. Permohonan vrijwaring diajukan kepada majelis hakim ketika tergugat semula (penggugat insidental), mengajukan jawaban pertama seperti mau mengajukan gugatan rekonvensi. 3. Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Waris a. Pilihan hukum dalam perkawinan Perkawinan dilakukan berdasarkan hukum Islam bagi orang -orang yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Sedangkan bagi orang-orang yang bergama non Islam dilakukan berdasarkan agamanya masing-masing di Kantor Catatan Sipil (KCS) setempat. b. Pilihan hukum dalam sengketa waris Pada penjelasan umum UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, angka 2 mengatakan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa waris dapat menggunakan hak opsi (pilihan hukum) apakah di Peradilan Umum atau di Peradilan Agama, yaitu : Para pihak sebelum berperkara da pat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian waris. Kemudian, Pasal 49 UU No.7/1989 mengataka n bahwa Pengadilan Agama bertugas dan ber wenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara ora ng-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah.Selanjutnya, pada Pasal 50 menyebutkan bahwa mengenai sengketa hak milik (obyek sengketa) dalam perkara sebagai mana Pasal 49 harus diputus lebih dahulu oleh Peradilan Umum.
9

Ibid., hlm. 112

Namun setelah UU No.7/1989 diubah dengan UU No.3/2006 sebagaimana telah dijelaskan dalam konsiderannya alenia ke -2 yang menyatakan bahwa pilihan hukum (hak opsi) yang dipergunakan dalam pembagian warisan sebagaimana penjelasan UU No.7/1989 dinyatakan dihapus, sehingga terdapat kepastian hukum. Sedangkan mengenai sengketa hak milik (obyek sengketa) sebagaimana Pasal 50 ayat (2) UU No.3/2006 sepanjang subyek sengketa antara orang -orang beragama Islam maka menjadi kewenangan Peradilan Agama. G. Pembuktian Dalam Peradilan Agama 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian menurut istilah dalam bahasa Arab Al -Bayinah yang berarti suatu yang menjelaskan. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya AtTuruq al-Hukmiyah mengartikan bayyinah sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.Secara terminologi, pembuktian berarti memberi keterangan dengan dalil hi ngga meyakinkan. Prof. Dr. Supomo, 10 menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian dalam arti luas, berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat -syarat bukti yang sah, sedangkan dalam arti terbatas berarti pemuktian i tu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah oleh Tergugat. Prof. Sudikno Mertokusumo, 11 pembuktian adalah cara meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa yang sebenarnya. Kebenaran pristiwa itulah yag akan menjadi dasar bagi hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Retnowulaan Sutantio, SH, 12 pembuktian adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil -dalil yang menjadi dasar gugat, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Dalam hukum Islam, tingkatan keyakinan dapat dikategorikan sbb: a. Yakin (meyakinkan terbukti 100%) b. Zhaan (sangkaan yang kuat/t erbukti 75-99%) c. Syubhaat (ragu-ragu/50%) d. Waham (sangsi/pembuktian lemah/<50%) 2. Beban Pembuktian Dalam hal pembagian beban pembuktian telah diatur dalam pasal 163 HIR, 285 R.Bg, 1865 BW, yang menyatakan bahwa: Barang siapa yang mengatakan mempunyai sesuatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk atau meneguhkan haknya atau untuk membantah

Seperti dikutip oleh Gatot Supramono, SH, Dalam Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Jakarta: Alumni 1993), hlm. 15 11 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 101 12 Ny. Retnowula Sutantio dan Iskandar Oerifkartawinata, Hukum Aara Perdata Dalam Teori dan Praktek (Bandung: CV Mandar Maju, 2002), hlm. 59

10

adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Apabila Penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukan, maka ia harus dikalahkan, dan apabila Tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya maka ia juga harus dikalahkan. Jadi apabila saah satu pihak dbebani dengan pembuktian dan tidak dapat membuktikannya maka ia dikalahkan sebagai risiko pembuktian. 13Oleh karena itu, hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang dan patut. Teori Pembuktian: a. Teori pembuktian bersifat menguatkan ( bloot affirmatief ) Barang siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan mengingkari atau menyangkalnya.Dan hal-hal negatif tidak mungkin dibuktikan ( negativa non sunt probanda ). b. Teori hukum subyektif Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa -peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak ( rechtserzeugende tatsachen ). Sedangkan Tergugat harus membuktik an adanya peristiwa=peristiwa umum, dan adanya peristiwa khusus yang bersifat menghalang -halangi (rechtvernichhtende tatsachen ) dari Penggugat. Kelemahan teori ini adalah memberikan kelonggaran kepada hakim untuk mengalihkan beban pembuktian. c. Teori hukum obyektif, adalah pembuktian sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang -undang. d. Teori hukum publik, adalah mencari kebenaran terhadap suatu peristiwa merupakan kepentingan publik. e. Teori hukum acara Teori ini berdasarkan asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. 3. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatannya Macam-macam bukti dalam hukum Islam, antaralain sebagai berikut: a. Ikrar (pengakuan); b. Syahadah (saksi); c. Yamin (sumpah); d. Nukul (penolakan sumpah); e. Maktubah (bukti tertulis) ; f. Qarinah (tanda-tanda). Alat-alat bukti yang digunakan di Pengadilan Agama ( Pasal 54 UU No.7/1989, 164 HIR, 284 R.bg , 1866 BW), sebagai berikut : a. Bukti tertulis (surat atau tulisan) Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285 -305 R.bg, 1867, 1894 BW. Alat bukti surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran atau isi hati se seorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

13

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1992), hlm. 105

b.

c.

d.

e.

Alat bukti surat atau tulisan dibagi menjadi 2 macam , yaitu : 1. Akta, adalah surat yang diberi tandatangan, yang beisikan tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang sengaja dibua t untuk pembuktian. 14 Akta dibagi dua macam, yaitu: a. Akta otentik, adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditentukan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak berkepentinga n, ditempat dimana pejabat berwenang menjalankan tugasnya. b. Akta dibawah tangan, adalah akta yang sengaja dbuat untuk pembuktiian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. 2. Surat-surat lain selain akta, adalah segala tulisan yang bukan akta. Keterangan saksi (139-152, 168-172 HIR, 165 -179 R.Bg, 1902 -1912 BW) Saksi adalah orang yang memberikan keterangann di muka persidangan, dengan memenuhi syarat -syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, ia alami sendiri ( ratio sciendi ) sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Sedangkan pendapat atau dugaan ( ratio concludendi ) bukanlah merupakan kesaksian. Persangkaan hakim (Pasal 137 HIR, 310 R.Bg, 1915 -1922 BW) Persangkaan ( vermoedens, presumptions ) merupakan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suat peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti baik berdasarkan undang -undang maupun kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Pengakuan (Pasal 174-176 HIR, 311-313 R.Bg, 1923-1928 BW) Pengakuan disebut juga bekentenis (Belanda), dan confession (Inggris) yang artinya adalah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat di muka sidang bahwa apa yang dituntut dari pihak lawannya adalah benar. 1. Pengakuan murni ( aveu pur et-simple), adalah pengakuan sederhana dan sesuai dengan tuntutan lawan. 2. Pengakuan dengan kualifikasi ( gequalificeerde bekentenis aveu qualifie ), pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. 3. Pengakuan dengan klausa (geclausuleerde bekentenis aveu complexe), adalah pengakuan yang disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Sumpah (155-158, 177 HIR, 182 -185, 314 R.Bg, 1929 -1945 BW). Sumpah adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan menyebut nama Tuhan, dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan yang tidak benar akan dihukum oleh -Nya. Macam-macam sumpah adalah:

14

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996), hlm. 178

f.

1. Sumpah suppletoir , adalah sumpah pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi pembuktian dalam peristiwa yang menjadi sengketa. 2. Sumpah penaksiran, adalah sumpah yang diperitahkan oleh hakim karena jabatannya untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. 3. Sumpah Decisoir, adalah sumpah pemuts yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak lawannya. Pengetahuan hakim (dalam praktiknya sering digunakan). Contoh: Hakim melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar -benar ada kerusakan barang atau obyek sengketa. 15

H. Putusan/penetapan Hakim 1. Pengertian Putusan /penetapan hakim a. Putusan Hakim, adalah sebagaimana Penjelasan Pasal 60 UU No.7/1989 mendefinisikan tetang putusan sbb: Putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa . Menurut Drs. H. A. Mukti Arto, SH, putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). 16 Sedangkan menurut Drs. H. Roihan A. Rasyid, SH mendefinisikan bahwa putusan adalah vonnis (Belanda) atau al -Qadau (Arab) yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara (Penggugat dan Tergugat).Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau jurisdictio contenstiosa. 17 b. Penetapan Hakim, adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pe meriksaan perkara permohonan (voluntair) (Penjelasan Pasal 60 UU No.7/1989). 18 Penetapan tersebut disebut juga Istbat (Arab), Beschiking (Belanda), atau dikena dengan sebutan jurisdictio voluntaria (bukan peradilan yang sesungguhnya) karena hanya bersifat permohonan tanpa sengketa. 2. Macam-macam Putusan Mengenai macam-macam putusan tidak diatur secara tersendiri oleh HIR, namun putusan setidaknya dapat dilihat dari 4 (empat) aspek (Mukti Arto), yaitu19:
15 Ny. Retnowula Sutantio dan Iskandar Oerifkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek (Bandung: CV Mandar Maju, 2002), hlm. 61 16 Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 245 17 H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 195 18 Penjelasan Pasal 60 UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan definisi penetapan sebagai berikut: yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan. 19 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 157

a. Aspek fungsi mengakhiri perkara 1. Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri persidangan, baik yang telah melalui semua proses persidangan maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan yang belum/tidak menempuh semua t ahap pemeriksaan, seperti: a. Putusan gugur b. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet c. Putusan tidak menerima d. Putusan menyatakan PA tidak berwenang memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan banding, kecuali undang undang menentukan lain 2. Putusan Sela Putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan (dicatat dalam BAP). Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela bisa dilakukan di awal pemeriksaan perkara (dapat diajukan upaya kasasi) atau bersama -sama dengan putusan akhir (dapat diajukan upaya banding). Adapun contoh perkara yang dapat dilakukan dengan putusan sela, diantaranya: a. Putusan Pemeriksaan Prodeo b. Putusan Pemeriksaan Eksepsi Tidak Berwenang c. Putusan Sumpah Suppletoir d. Putusan Sumpah Decisoir e. Putusan Sumpah Penaksir ( Taxatoir ) f. Putusan Gugat Provisionil g. Putusan Gugat Insidentil (Intervensi) Dalam Rv, putusan sela, dikenal juga dengan: a. Putusan praeparatoir Putusan sela yang merupakan persiapan untuk putusan akhir, tidak berpengaruh terhadap pokok perkara/putusan akhir. Contoh: Penggabungan perkara, penolakan pengunduran pemeriksaan saksi (dicatat dalam BAP). b. Putusan Interlocutoir Putusan sela yang memerintah kan pembuktian, contoh pemeriksaan saksi, pemeriksaan obyek sengketa. c. Putusan Insidentil Putusan sela yang berhubungan dengan insident, misal tentang gugat prodeo, eksepsi tidak berwenang. d. Putusan Provisionil Putusan sela yang menjawab gugatan/tuntutan provisionil.Tuntutan provisionil adalah t untutan yang diajukan oleh Penggugat untuk mengatur sesuatu yang mendesak dan perlu seketika diatasi karena sifatnya tidak dapat menunggu sampai pada putusan akhir . Contoh : menghentikan produksi b. Hadir atau tidakn ya para pihak

1. Putusan Gugur (Ps.124 HIR/148 R.Bg) Apabila Penggugat/Pemohon tidak hadir setelah 3 kali dipanggil secara patut dan tanpa alasan yang sah, sedangkan Tergugat/Termohon hadir dalam sidang dan mohon keputusan. 2. Putusan Verstek (Ps.125 HIR/49 R.Bg) Putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/Termohon tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut.Sedangkan Tegugat/Termohon tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan, serta Penggugat mohon keputusan. Putusan verstek hanya menilai secara formil belum memeriksa secara meterill kebenaran dalil -dalil gugat. 3. Putusan Kontradiktoir Putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu atau para pihak.Dalam hal ini baik Penggugat maupun Tergugat pernah hadir dalam persidangan.Putusan ini dapat diajukan banding. c. Isi gugatan/perkara 1. Tidak menerima gugatan Penggugat (negatif) Gugatan Penggugat/Pemohon tidak dapat diterima ( Niet Onvankelijk Verklaart/N.O) karena tidak memenuhi syarat hukum formil maupun materil, misal: gugatan dg alasan Ps.19 PP No.9/1975 diajukan sebelum waktu 2 (dua) tahun sejak Tergugat meninggalkan kediaman bersama, atau gugatan kabur/tidak jelas (obscur libel) . 2. Menolak gugatan Penggu gat untuk seluruhnya (negatif) Putusan ini merupakan putusan akhir setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, yang ternyata dalil -dalil gugatan tidak terbukti. 3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya (positif dan n egatif) 4. Megabulkan gugatan untuk seluruhnya (positif). Setiap petitum harus didukung paling tidak oleh 1 (satu) dalil gugat. Selain itu, terdapat juga beberapa putusan (Drs. Abdul Manan, SH dalam Jurnal Mimbar Hukum), yaitu: 1. Putusan damai( akte perdamaian), 2. Putusan gugatan digugurkan , 3. Putusan gugatan dibatalkan, 4. Putusan dihentikan (Aan Hanging) d. Akibat hukum 1. Putusan Diklaratoir Putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut huku m. Contoh: putusan yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum atau keadaan.status hukum seseorang. Putusan ini tidak merubah/menciptakan hukum baru, melainkan memberikan kepastian hukum berupa penetapan atau beschiking ), 2. Putusan Konstitutif Putusan yang menciptakan keadaan/menimbulkan hukum baru. Contoh: putusan perceraian, pembatalan perkawinan, dll. 3. Putusan Kondemnatoir

Putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.Atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan. Putusan ini dalam hal telah memperoleh kekuatan hukum tetap memerlukan eksekusi (upaya paksa/ ekecution force )) apabila piihak terhukum tidak mau secara sukarela melaksanakan isi putusan. Kemudian dalam hal Vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta). Putusan tersebut biasanya berupa penghukuman untuk: a. Menyerahkan suatu barang; b. Membayar sejumlah uang; c. Melakukan suatu perbuatan tertentu; d. Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan; e. Mengosongkan tanah/rumah. 3. Isi Putusan Mengenai isi surat putusan 20 diatur dalam Pasal 178, 182 -185 HIR, surat putusan minimal mencakup beberapa point, diantaranya sebagai berikut: a. Bagian kepala putusan; - Judul dan nomor putusan (PUTUSAN/SALINAN PUTUSAN dan No.111/Pdt.G/2011/PAJS. - Kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Ps. 57 (2) UU No.7/1989), kemudian dilanjutkan dengan tulisan yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Ps. 40 (1) UU No.14/1970). b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara; - Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang telah memeriksa dan mengadii dalam tingkat pertama, perkara gugatan cerai antara Kumbang dan Bunga - Apabila gugatan bersifat kumulatif, maka cukup menyebut induk perkaranya. Misal: perkara gugat cerai/cerai thalak. c. Identitas para pihak; - Identitas Penggugat/Pemohon (nama, bin/binti, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, dan sebagai Penggugat/Pemohon. - Identitas Tergugat/Termohon (nama, bin/binti, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, dan sebagai Penggugat/Pemohon. - Jika kumulasi Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon disebut sebagai Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon ke berapa (Penggugat I, Penggugat II, Tergugat I, Tergugat II, dst). - Jika ada proses conventie, reconventie, atau intervensi, vrijwaring, maka status pihak harus disebut, misal: sebagai Tergugat dalam Reconventie. d. Duduk perkara (posita); - Isinya dikutip dari gugatan Penggugat, jawaban Tergugat, alat bukti, keterangan saksi, dan hasi l dari berita acara sidang selengkapnya secara singkat, jelas dan tepat kronologis. e. Tentang pertimbangan hukum;
Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 165
20

Pertimbangan majelis hakim yang menjadi dasar dalam pengambilan putusannya yang berdasarkan duduk perkara (posita), dengan diawali kata menimba ng. f. Dasar hukum; - Dasar hukum putusan dapat berupa peraturan perundang -undangan maupun hukum syariah. Misal: UU No.1/1974, lembaran negara, atau al-Quran dan al -Hadis. g. Diktum atau amar putusan; - Diktum didaahului dengan kata MENGADILI. - Isi diktum atau amar putusan bisa beberapa point tergantung pada petita (tuntutan) Penggugat duulunya. h. Bagian kaki putusan; - Merupakan kata penutup dari putusan, misal: Demikianlah Putusan pengadilan Agama - Tanggal musyawarah majelis hakim berbeda (lebih awal) dari tanggal sidang pembacaan putusan. i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya. - Pada putusan asli, semua hakim dan panitera harus membubuhkan tanda tangan. Sedangkan pada salinan putusan, hakim dan panitera hanya ttd (tertanda) atau dto (ditandatangan i oleh). - Pada bagian bawahnya legal isir (ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan distempel); - Pada bagian bawah sekali tertera rincian biaya perkara. - Salinan putusan diberikan/disampaikan kepada para pihak atau untu digunakan dalam melakukan upaya hu kum selanjutnya (banding, kasasi, peninjauan kembali (PK)). - Salinan asli tetap disimpan oleh Pengadilan Agama, disatukan dalam berkas perkara yang sudah di minitur. 4. Tanggal dan Pengucapan Putusan Tanggal musyawarah majelis hakim berbeda (lebih awal) dari tanggal sidang pembacaan putusan. Misal: tanggal musyawarah majelis hakim, 20 Januari 2011 dan tanggal putusan diputus/dibacakan di depan sidang 26 Maret 2011. 5. Penandatanganan Putusan Pada putusan asli, semua hakim dan panitera harus membubuhkan tanda tangan.Sedangkan pada salinan putusan, hakim dan panitera hanya ttd (tertanda) atau dto (ditandatangani oleh). 6. Pemberitahuan Putusan Pemberitahuan putusan diberitahukan kepada para pihak melalui relaas pemberitahuan isi putusan.Selanjutnya, s alinan putusan diberikan/disampaikan kepada para pihak atau untu k digunakan dalam melakukan upaya hukum selanjutnya (banding, kasasi, peninjauan kembali (PK)). I. Upaya Hukum 1. Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum adalah upaya yang dilakukan oleh pencari keadilan terhadap putussan pengadilan tingkat pertama kepada pengadilan tinggi, mahkamah agung yang dinilai suatu putusan itu terdapat kekeliruan dan kekhilafan,

sehingga perlu diajukan upaya ukum unntuk dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang tinggi. 2. Jenis Upaya Hukum a. Upaya hukum biasa (Banding dan Kasasi) b. Upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali (PK)) 3. Upaya Banding/Judek Judicio (Memori Banding atau Kontra Memori Banding) Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat bandi ng oleh Pengadilan Tinggi Agama, karena merasa belum puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama. 21 Tujuan utama pemeriksaan tingkat banding untuk mengoreksi dan meluruskan segala kesalahan dan kekeliruan penerapan hukum, tata cara mengadili, penilaian fakkta dan pembuktian. Tata cara permohonan banding (Pasal 7 -15 UU No.20/1947), yaitu : a. Tenggang waktu permohonan banding 14 hari setelah putusan diucapkan, atau 14 hari sejak putusan diberitahukan kepada pemohon banding; b. Permohonan banding diajukan melalui pengadilan tingkat pertama (PA) oleh pihak berperkara atau kuasanya yang sah (surat kuasa khusus); c. Permintaan banding bisa dilakukan dengan lisan dan secara tertulis; d. Biaya permhnan banding dibebankan kepada Pemohon banding; e. Registrasi permohonan banding, akta banding, dan memori banding (bukan syarat mutlak); f. Pemberitahuan (inzage) kelengkapan berkas (s iap kirim) disampaikan kepada kedua belah pihak; g. Tenggang waktu mengajukan memori banding tidak terbatas; h. Memori banding dan kontra memori banding harus dismpaikan kepada kedua belah pihak. 4. Upaya Kasasi/Judex Factie (Memori Kasasi atau Kontra Memori Kasasi) Pemeriksaan tingkat kasasi adalah pemeriksaan tentang penerapan hukum dari suatu putusan hakim. Pemeriksaan hanya terbatas pada apa yang dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan tingkat pertama.22 Kasasi diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penetapan putusan pengadilan dibawahnya, mengenai: a. Kewenangan pengadilan b. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan tingkat I/II dalam memeriksa dan memutus perkara. c. Kesalahan atau kelalaian dalam cara-cara mengadili menurut syarat syarat yang ditentukan peraturan perundang -undangan. Syarat-syarat dan Prosedur Kasasi, yaitu: a. Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi
Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 178 22 Ibid., hlm 182
21

b. Tenggang waktu pengajuan kasasi 14 hari sejak putusan banding diberitahukan secara resmi. c. Membuat memori kasasi (syarat mutlak) d. Membayar biaya kasasi e. Permohonan kasasi disampaikan kepada panitera Pengadilan Agama yang bersangkutan. 5. Upaya Peninjauan Kembali (Akta Peninjauan Kembali (PK)) Peninjauan kembali 23 (request civiel ) yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketahui terdapat hal -hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan menjadi lain. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No.14/1970 Jo Pasal 66-76 UU No.14/1985) kepada Mahkamah Agung (Pasal 23 (1) UU No.4/2004). Alasan-alasan peninjauan kembali (PK), adalah: a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihhak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus oleh hakim yang dinyatakan palsu. b. Apabila perkaranya yang setelah diputus ditemukan bukti -bukti baru (novum) yang bersifat menentukan yang pada waktu dperiksa tidak ditemukan. c. Apabila teah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. d. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Syarat dan tata cara permohonan PK , yaitu: a. Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli waris, atau wakilnya yag secara khusus diberikan kuasa. b. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Membuat permohonan peninjauan kembali dengan memuat alasan alasannya. d. Diajukan oleh pemohon kepada Mah kamah Agung melalui Ketua pengadilan agama yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditemukan bukti baru (novum). J. Pelaksanaan Putusan dan Jenisnya 1. Jenis Pelaksanaan Putusan a. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR dan 208 R.Bg); b. Putusan yang menhukum ssalah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR dan 259 R.Bg); c. Putusan yang menhukum salah satu pihak untuk mengosong kan suatu benda tetap yang disebut dengan eksekusi riil (Pasal 1033 Rv). d. Eksekusi riil dalam bentuk penjuaan lelang (Pasal 200 (1) HIR dan 218 (2) R.Bg). 2. Pelaksanaan Putusan
23

Ibid., hlm 183

a. Putusan Cerai Thalak adalah Ikrar Th alak dan dikeluarkan Akta Cerai oleh PA b. Putusan lainnya dilaksanakan oleh PA berd asarkan diktum Putusan PA. c. Terkait pelaksanaan putusan PA mengenai harta (Gono -gini/waris) putusan dilaksanakan oleh PA berdasarkan diktum p utusan dan jika tidak dapatdilaksanakan secara riil dilakukan LELANG . 3. Eksekusi Putusan yang dapat dieksekusi 24 adalah yang memenuhi syarat -syarat untuk dieksekusi, adalah: a. Putusan telah berkekuatan huku m tetap, kecuali dalam hal: - Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu ( uitvoerbaar by vooraad ); - Pelaksanaan putusan provisi; - Pelaksanaan akta perdamaian; - Pelaksanaan eksekusi (grose akta). b. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukrela meskipun ia telah diberikan peringatan ( aan maning ) oleh Ketua Pengadilan Agama. c. Putusan hakim bersifat comdemnatoir . Sedangkan putusan declaratoir, constitutief tidak diperlukan eksekusi. d. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua pengadilan Agama. 4. Tata cara sita eksekusi a. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan; b. Berdasar surat perintah Ketua Pengadilan Agama . Surat perintah tersebut dikeluarkan apabila: - Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah; dan - Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan. c. Dilaksanakan oleh Panitera tau Juru sita; d. Peaksanaan eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi; e. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi; f. Membuat berita acara eksekusi; g. Ketidakhadiran tersita tidak menghalangi eksekusi

24

Ibid., hlm. 174

You might also like