You are on page 1of 18

TUGAS : EKOLOGI

PENGARUH PERLADANGAN BERPINDAH TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DI P. KABARUAN KEC. MANGARAN KAB. TALAUD.

Oleh : EVA MARTHINU

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA (UNJ) PROGRAM PASCASARJANA 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufik dan hidayahNya, saya dapat menyelesaikan tugas makallah mata kuliah ekologi yang berjudul PENGARUH PERLADANGAN BERPINDAH TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DI P. KABARUAN KEC. MANGARAN. Tugas ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada para pembaca. Dengan rasa hormat, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. DR.I.Made Putrawan, sebagai dosen pengampu mata kuliah Ekologi 2. Teman teman program studi PKLH Pasca Sarjana UNJ. Dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan oleh penyusun satu persatu, yang telah membantu dan mendukung saya dalam melaksanakan pembuatan tugas ini. Tugas ini tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak dalam keterkaitannya dengan perbaikan dari isi tugas ini sangat saya harapkan dan saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 2010.

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang Masalah
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hutan kayu dan non kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan UU No.41 tahun 1999 pasal 23, Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.Hutan memberikan pengaruh pada sumber alam yang lain.Hutan membentuk ekosistem yang stabil, sesuai dengan pasal 1 butir 3 UU Lingkungan Hidup Tahun 1982, Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi Suatu ekosistem mempunyai daya kemampuan yang optimal dalam keadaan berimbang.diatas kemampuan tersebut, ekosistem tidak lagi terkendali, dengan akibat menimbulkan perubahan perubahan lingkungan atau krisis lingkungan yang tidak lagi berada dalam keadaan lestari bagi kehidupan organisme. Sulit memisahkan satu faktor atau satu organisme didalam, tanpa mengganggu komponen ekosistem yang lain. Malahan setiap organisme merupakan lingkungan dari organisme yang lain. Oleh karena itu karena hutan merupakan ekosistem, maka dalam

memanfaatkannya haruslah memperhatikan batas kemampuannya dan tidak boleh sampai menyebabkan kerusakan yang pada akhirnya menggangu kestabilan organisme yang lain, karena sesungguhnya hutan adalah rumah mereka, dan dengan adanya hutan, daur biogeokimia terjaga,dll. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Pertanian tradisional yang dikenal dengan perladangan berpindah, merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan, selain pengrusakan hutan oleh para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) untuk industri kayu dan kelapa sawit, terutama diwilayah wilayah pedesaan. Hampir semua masyarakat pedesaan di negara Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, Diwilayah wilayah kepulauan yang terpencil pola bertani masih dilakukan dengan cara yang masih tergolong tradisional, yang dikenal dengan pertanian ladang berpindah. Pulau Kabaruan yang secara administratif terdiri dari 2 kecamatan dan sepuluh desa, secara keseluruhan memiliki luas wilayah 116 Ha, dengan mata pencaharian utamanya adalah bertani 80%, nelayan15%, 5%. mata pencaharian yang lain seperti pegawai, pedagang, buruh dll. Mayoritas dari penduduk yang bertani, 70% merupakan peladang berpindah, karena pola bertani yang sudah digeluti semenjak nenek moyang dulu, dengan system bercocok tanam yang dilakukan secara berpindah pindah, dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara membuka lahan hutan primer dan sekunder. Secara umum langkah langkah pengerjaan ladang berpindah dimulai dengan (a) Survey kesuburan tanah untuk menentukan lahan hutan yang tepat untuk dijadikan perladangan. Biasanya indikator kesuburan tanah yang umum dipakai adalah jenis tumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah. (b). Penebasan tumbuhan bawah (semak semak) untuk mempercepat proses pengeringan serasah, (c). Penebangan pohon, (d). proses pengeringan lahan kurang lebih 3 4 minggu. (e). Pembakaran dan pembersihan. (f).Penanaman dan pemeliharaan dengan jenis tanaman yang diinginkan seperti padi,, jagung, ketela pohon, talas, dsb, tanpa melakukan pencangkulan tanah terlebih dahulu. (g). Panen hasil. Usai panen, tanah ladang tersebut masih digunakan untuk bertani dengan jenis tanaman umumnya ketela pohon hingga suatu saat tanah tanah tersebut sudah tidak berarti lagi untuk ditanami ( miskin unsur hara). Jika keadaan tanahnya sudah pada kondisi seperti ini, biasanya mereka akan pindah dan membuka hutan yang baru lagi dengan keyakinan bahwa di areal hutan yang baru banyak mengandung humus yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman, sehingga diperoleh hasil yang pertanian yang lebih besar.

Dulunya fase antar pembukaan ladang untuk kegiatan bercocok tanam dilakukan tiap 25 tahun, namun sekarang ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka semakin memperpendek fase pembukaan hutan untuk kegiatan perladangan menjadi 2-3 tahun saja. Sebenarnya perladangan berpindah merupakan adaptasi terbaik masyarakat yang tingkat teknologinya rendah terhadap kesuburan tanah yang rendah, akan tetapi apabila daur perladangan menjadi pendek misalnya dari 25 tahun menjadi 5 tahun atau kurang, terjadilah kerusakan. Hutan tidak dapat pulih lagi dan kesuburan tanah merosot ( Otto Soemarwoto, dalam bukunya Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 1997, hal.278). Jika kita bandingkan luas seluruh wilayah yang begitu sempit dengan segala fungsinya digunakan sebagai areal pemukiman, jalan, pendirian fasilitas umum, perkebunan dan untuk perladangan, bisa kita bayangkan berapa luas hutan yang hilang untuk keperluan ini, ditambah lagi penduduk makin hari makin bertambah,hutan makin terdesak dan sudah hampir habis, sedangkan sebagaimana kita ketahui betapa besar manfaat hutan sebagaimana yang dikemukakan Eugene P. Odum dalam bukunya Fundamentals of Ecology, edisi ketiga hal. 506 antara lain : sebagai penyeimbang ekosistem, kestabilan ekosistem, penghasil 0, pengikat energi surya, yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup yang lain, habitat satwa liar, daerah aliran udara dan air, tempat rekreasi, membantu peresapan aliran permukaan (run Off) ke dalam tanah, dalam hal ini melestarikan siklus hidrologi dimuka bumi. Konstribusi terbesar penyebab masalah diatas untuk pulau yang kecil seperti P. Kabaruan adalah Perladangan berpindah, karena disana tidak ada aktivitas pengusahaan hutan. Jika tidak ada solusi perlindungan hutan yang ada, bahaya besar akan mengancam masyarakat setempat pada khususnya dan akan mempengaruhi kehidupan dimuka bumi secara keseluruhan.Salah satu bahaya hilangnya hutan sebagaimana dikemukakan oleh Otto Hal ini mulai terlihat dampaknya pada penurunan debit air sungai, pada 5 tahun yang lalu masih berkisar 1,5 m 2,5m, sekarang tidak sampai 1m lagi.( data kec. Mangaran, 2008)

Bertolak dari uraian permasalahan diatas, penulis merumuskan judul : PENGARUH PERLADANGAN BERPINDAH BAGI KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DI PULAU KABARUAN KEC. MANGARAN KAB. TALAUD.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, maka rumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimanakah pengaruh aktivitas ladang berpindah terhadap kerusakan hutan di p. Kabaruan? 2. Bagaimanakah cara menanggulangi kerusakan ekosistem hutan di pulau Kabaruan? ekosistem

1.3. Maksud dan tujuan penulisan

1. Mengetahui pengaruh aktivitas pertanian dengan sistem ladang berpindah terhadap kelangsungan ekosistem hutan di pulau Kabaruan. 2. Mengetahui cara menaggulangi kerusakan ekosistem hutan di p. Kabaruan.

1.4. Metode penulisan

Penulis menggunakan metode studi pustaka dan browsing internet dalam penulisan makalah.

1.5. Manfaat penulisan 1. Sebagai informasi kepada masyarakat dan usaha untuk mengkaji masalah kerusakan ekosistem hutan yang dampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat di P. Kabaruan sekarang ini,agar bersama sama mencari alternatif pemecahannya.

2. Diharapkan pembaca dapat membantu memberi masukan pada pemerintah untuk segera menanggulangi masalah kerusakan ekosistem hutan di p. Kabaruan yang diduga sebab utamanya adalah ladang berpindah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ladang berpindah. Salah satu contoh sistem bercocok tanam yang dominan didaerah tropis adalah ladang berpindah ( Dale dan De Blois, 2006). Menurut Cofler (1997), ladang berpindah merupakan sebuah system pertanian yang terus berpindah dari satu ladang ke ladang lainnya dengan membuka ladang baru dan meninggalkan ladang yang sebelumnya telah dimanfaatkan. Sistem pertanian tersebut terus berjalan dari generasi ke generasi, yang dikenal dengan nama lain seperti tebang bakar ( Hardjasaputra, 2005). Sistem perladangan berpindah dimulai dengan melakukan penebangan dikawasan hutan, kemudian pada musim kemarau, lahan dibakar dengan tujuan untuk pembersihan lahan. Ketika musim hujan, lahan mulai ditanami dengan tanaman semusim hingga dua kali musim tanam dan setelah itu lahan diberakan hingga waktu yang tidak ditentukan. Pada saat diberakan, lahan ditumbuhi oleh semak belukar yang akan membentuk hutan sekunder dan dalam waktu sangat lama akan kembali membentuk hutan primer. Seiring berjalannya waktu, petani akan mengelola ladang yang dimiliki sebelumnya dengan menggunakan cara tebang bakar kembali. Menurut Otto Sumarwoto, 1997), Perladangan berpindah mempunyai macam macam variasi. Pada dasarnya terdiri atas membuka sebidang hutan, dan menanami lahan hutan yang telah dibuka selama dua atau tiga tahun. Selanjutnya dibiarkan dan membuka lahan hutan yang baru ditempat lain dan seterusnya. Pengelolaan ladang lanjutan tersebut merupakan suatu lanjutan dari system perladangan berpindah yang mengubah fungsi lahan yang diberakan menjadi bentuk tutupan lahan lainnya. Bentuk pemanfaatan lahan sangat tergantung pada keputusan petani dengan berbagai faktor yang mendasarinya(Fox, 2000). Secara garis besar ditemukan paling sedikit ada empat faktor yang mendasari keputusan petani dalam penggolongan lahan hutan. Keempat jenis pengaruh itu adalah pengaruh ekonomis, pengaruh ekologis, pengaruh social,dan pengaruh cultural.pengaruh ekonomis mencakup variabel variabel ekonomi, seperti fluktuasi harga, akses pasar, modal,dan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Pengaruh ekologis meliputi kualitas tanah, topografi lahan, dan perilaku tanaman. Pengaruh social meliputi status social hubungan hubungan social.

Pengaruh kultural menncakup pengetahuan, kepercayaan dan nilai nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan. 2.2. Ekosistem Satuan yang mencakup semua organism ( yakni komunitas) didalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan, keanekaragaman biotic, dan daur daur bahan yang jelas ( yakni pertukaran bahan bahan antara bagian bagian yang hidup dan yang tidak hidup) didalam system, merupakan system ekologi atau ekosistem ( E.P. Odum, edisi ketiga,1996). Konsep ekosistem merupakan dan harus merupakan konsep yang luas, fungsi utamanya didalam pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib, ketergantungan, dan hubungan sebab musabab, yakni perangkaian komponen komponen untuk membentuk satuan fungsional. Ekosistem dapat dipahami dan dipelajari dalam pelbagai ukuran. Kolam, danau, sebidang hutan atau bahkan kultur laboratorium (mikroekosistem) merupakan satuan satuan yang baik untuk dipelajari. Selama komponen komponen pokok ada dan bekerja bersamaan untuk mencapai semacam kemantapan fungsional, bahkan seandainya hanya untuk waktu yang kesatuannya itu dapat dianggap suatu ekosistem. Menurut UU Lingkungan Hidup 1982, ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar hubungan( Zoeraini Djamal Irwan, 1996). Jadi konsep ekosistem menyangkut semua hubungan dalam suatu komunitas dan disamping itu juga semua hubungan antara komunitas dan lingkungan abiotiknya.Setiap ekosistem memiliki sifat sifat yang khs disamping yang umum dan secara bersama sama dengan ekosistem lainnya mempunyai peranan terhadap ekosistem keseluruhannya. singkat,

2.3. Hutan dan pengaruhnya terhadap lingkungan

Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1967 pasal 1 butir 1, tentang ketentuan ketentuan pokok kehutanan, dimana hutan diartikan sebagaisecara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkunagannnya. Kemudian hutan ditetapkan berdasarkan fungsinya seperti : (a). Hutan lindung, ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengatur tata air, pencegahan bencana banjir, dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. (b). Hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya yang khas, termasuk alam hewan, dan alam nabati, perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan disebut cagar alam. (c). Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional disebut suaka margasatwa. Menurut Roehajat Emon Soeriaatmadja, hutan member pengaruh pada sumber alam yang lain.pengaruh ini mempunyai tiga factor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu iklim, tanah, dan pengadaan air bagi berbagai wilayah, misalnya wilayah pertanian. Nicholson, 1930; Paterson,1956, dalam R.E Soeraatmadja, melakukan penelitian perbandingan tentang keadaan hutan yang masih utuh dan yang sudah ditebang dalam kaitannya dengan keadaan iklim. Didapatlah satu kesimpulan bahwa hutan memang mempunyai pengaruh terhadap iklim setempat (iklim mikro). Pada hutan yang sudah ditebang curah hujan memang kurang. Hutan juga memberi pengaruh melunakkan iklim. Penebangan hutan menimbulkan amplitude variasi iklim yang lebih besar dari panas ke dingin, dan dari basah ke kering, sehingga menyebabkan daerah itu kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman.

BAB III

PEMBAHASAN
3.1.Pola bertani perladangan berpindah dan pengaruhnya terhadap ekosistem hutan di p. Kabaruan.

Secara astronomis pulau Kabaruan terletak pada 12643 BT - 126BT dan 332 Lu 345 Lu, dengan luas wilayah 116 Ha. Berdasarkan letaknya, pulau Kabaruan beriklim tropis yang senantiasa dipengaruhi oleh keadaan perairan laut yang mengelilinginya. Dengan demikian curah hujan merata sepanjang tahun, Selanjutnya keadaan temperature di pulau Kabaruan rata rata perbulan bervariasi antara 25c - 26c.Berdasarkan kondisi curah hujan dan iklim tersebut menunjukkan di p. Kabaruan aktivitas penduduk dibidang pertanian dapat berlangsung sepanjang tahun. Pertumbuhan penduduk , tingkat pendidikan dan mata pencaharian, akan berpengaruh pada pemanfaatan ruang. Karena luas suatu daerah tidak bertambah, maka dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio manusia lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi oleh taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakat Meningkatnya jumlah penduduk berarti bertambahnya beban tanggungan, keadaan ini bila berlaku pada masyarakat agraris yang umumnya berpendidikan rendah, akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam pemanfaatan lahan pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan dari data yang diperoleh, besarnya beban tanggungan untuk penduduk pulau Kabaruan mencapai 52%, dengan laju pertumbuhan penduduk pertahun 1,1% (data kecamatan kabaruan, 2000).Ini berarti pada tahun tahun mendatang jumlah penduduk di pulau Kabaruan akan lebih besar, sehingga lahan yang diperlukan akan lebih luas. Kondisi ini bila dikaitkan dengan pola bertani yang dilakukan penduduk p. Kabaruan hingga saat ini yaitu perladangan berpindah, maka areal hutan yang tersisa terancam keberadaannya, apalagi dominan mata pencaharian penduduknya dibidang pertanian, walaupun pemusatan penduduk berada pada wilayah pesisir. Hal ini berpengaruh pada penggunaan tanah terutama untuk bidang pertanian selain pemukiman, yakni dari luas wilayah 116 Ha, dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sekitar 77 Ha

atau 67%. Dari data tersebut juga terlihat bahwa , areal hutan yang tersisa kini tinggal 3,0 Ha (2,6%). Penyebab utamanya adalah penebangan areal hutan untuk kepentingan ladang berpindah yang dilakukan penduduk untuk memenuhi tuntutan hidup sehari hari. Realitas memang menunjukkan bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi yang kuat dengan kerusakan ekosistem hutan, terutama pada pulau pulau kecil Dampaknya sangat signifikan.Beberapa dampak yang dapat dikemukakan adalah : (a). tejadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa hamper 100% sungai yang terdapat pada pulau pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis, bahkan pada musim kemarau banyak sungai mengalami kekeringan. Selain itu pada musim penghujan, selalu terjadi banjir dan erosi yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan laut, sehingga terjadi pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut.(b).Terjadi penurunan drastic kesuburan tanah. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa areal areal lahan bekas berladang, telah menjadi semak belukar ataupun padang ilalang yang sulit ditumbuhi lagi oleh pepohonan , Pada pulau- pulau kecil dengan ekosistem yang miskin vegetasi atau lahannya terbuka, maka ketika musim penghujan, banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut, sehingga terjadi penurunan kesuburan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah terbuka berbeda 40% - 60% terhadap lahan hutan primer. (c). Terjadi perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro, dimana suhu meningkat rata rata sebesar 1 - 3C dengan penurunan kelembaban relative sebesar 5% - 10%. Selain itu dari aspek iklim makro telah terjadi perubahan pola musim, dimana musim penghujan dan musim kemarau sudah tidak konstan sesuai kalender musimnya.(d). Terjadi gangguan habitat satwa, dimana ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan tempat makan, minum,bermain, tidur, berkembang biak, menjadi tempat yang tidak nyaman lagi bagi satwa tersebut, sehingga terjadilah migrasi ke tempat lain. Hal ini terbukti dengan langkanya beberapa satwa yang menjadi kebanggan wilayah setempat seperti burung Nuri, Tekukur, dll, yang dulunya begitu kita masuk hutan terdengar kicauan merdunya bersahut sahutan, sekarang hampir tidak terdengar lagi.Begitu juga dengan binatang liar lainnya seperti ular phyton, biawak, populasinya sudah sangat minim. (5). Terjadi penurunan biodiversitas, yang secara umum disebabkan oleh perladangan yang dilakukan dengan cara tebang habis dan bakar, sehingga banyak spesies langkah atau endemik yang ikut musnah. Hal ini sejalan dengan konsep ekologi dalam buku E.P. Odum, edisi ketiga, hal 10.menguraikan

betapa pentingnya tumbuhan dalam rantai makanan (level tropic) dimana tumbuhan merupakan pengikat energi surya kemudian dirubah menjadi energi kimia (karbon, merupakan sumber makanan bagi makhluk hidup lainnya dimuka bumi, Bisa dibayangkan jika hutan terus ditebang untuk kebutuhan jangka pendek manusia, maka kestabilan keanekaragaman hayati akan terganggu dan lambat laun mengurangi jumlah spesies yang hidup disitu. Hal ini sejalan dengan azas dasar ilmu lingkungan yang ketujuh Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam lingkungan yang mudah diramal. Artinya lingkungan yang stabil secara fisik merupakan sebuah lingkungan yang terdiri atas banyak spesies, dari yang umum hingga yang jarang dijumpai, semuanya itu dapat melakukan penyesuaian ( secara evolusi) kepada tingkat optimum lingkungannya. Sedangkan lingkungan yang tidak stabil, hanya dihuni oleh spesies yang relatif sedikit jumlahnya, dengan kepadatan rata rata yang kurang lebih serupa. Perladangan berpindah biasanya menggunakan masa istirahat lahan ( masa bera) 5 10 tahun. Artinya selama itu, lahan ditinggalkan dan dibiarkan membentuk hutan sekunder (Aong) . Lahan ini biasa didominasi oleh vegetasi berupa Maccaranga spp dan terdapat juga beberapa spesies asli dari hutan yang dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut, maka lahan yang sama akan dibuka kembali untuk berladang pada periode ke 2. Setelah periode ini, Aong ( hutan sekkunder) mulai sulit untuk terbentuk, karena lahan mulai didominasi oleh alang alang ( Imperata cylindrical), sehingga secara umum, jika sistem pengulangan ini dilakukan sampai periode ke 3, biasanya lahan sudah didominasi alang alang. nitrogen),dan

3.2. Cara Penanggulangan Mengatasi berbagai dampak yang dikemukakan, berikut ini akan direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu : (a). Harus ada kemauan pemerintah baik pusat maupun daerah,untuk menangani pemasalahan maraknya aktivitas perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang sesuai sasaran dan terarah dalam .rangka

penanggulangannya. Bagaimanapun juga, pemerintah telah diperhadapkan pada realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem hutan.(b). Diperlukan regulasi berupa peraturan daerah yang dapat mengatur tentang pelaksanaan dan

pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan batasan dan prosedur praktek perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekwensi dari adanya peraturan daerah berarti, akan diatur pula sanksi sanksi terhadap pelanggaran pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat dillakukan secara terkontrol. (3). Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa, perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model utama yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap, dan model agroforestry. Berdasarkan ketiga model ini,bila dikaji lebih jauh, ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak berhasil karena persoalan budaya. Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka.Selain itu pertanian menetap juga sulit diterapkan karena membutuhkan modal yang besar bagi penerapannya.Sementara itu model agroforestry nampaknya lebih mudah dan diaplikasikan, karena membutuhkan sedikit saja modal, tetapi hutan dapat dilestarikan dengan baik.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Salah satu contoh sistem bercocok tanam yang dominan didaerah tropis adalah ladang berpindah. ladang berpindah merupakan sebuah system pertanian yang terus berpindah dari satu ladang ke ladang lainnya dengan membuka ladang baru dan meninggalkan ladang yang sebelumnya telah dimanfaatkan. Sistem pertanian tersebut terus berjalan dari generasi ke generasi, yang dikenal dengan nama lain seperti tebang bakar Sistem perladangan berpindah dimulai dengan melakukan penebangan dikawasan hutan, kemudian pada musim kemarau, lahan dibakar dengan tujuan untuk pembersihan lahan. Ketika musim hujan, lahan mulai ditanami dengan tanaman semusim hingga dua kali musim tanam dan setelah itu lahan diberakan hingga waktu yang tidak ditentukan Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuhan yang berisi antara lain pohon, semak semak, paku pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara kita Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas dan beraneka ragam jenisnya dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi akibat pembakaran hutan, penebangan liar, akttivitas pertanian, dll. Untuk pulau pulau kecil di Indonesia seperti diantaranya P. Kabarua kec. Mangaran, kerusakan hutan pada umunya lebih disebabkan oleh aktivitas pertanian yang masih tradisional yang biasa disebut perladangan berpindah. Ciri perladangan berpindah adalah melakukan pembabtan hutan untuk keperluan bertani yang dilakukan secara berpindah pindah jika lahan itu tak menghasilkan lagi. Pembakaran merupakan bagian dari aktivitas ladang berpindah yang juga berdampak menyebabkan kerusakan hutan.

Perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model utama yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap, dan model agroforestry. Berdasarkan ketiga model ini,bila dikaji lebih jauh, ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak berhasil karena persoalan budaya. Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka.Selain itu pertanian menetap juga sulit diterapkan karena membutuhkan modal yang besar bagi penerapannya.Sementara itu model agroforestry nampaknya lebih mudah dan diaplikasikan, karena membutuhkan sedikit saja modal, tetapi hutan dapat dilestarikan dengan baik. 4.2. Saran Mengingat hutan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, sementara populasi manusia yang terus meningkat sangat mempengaruhi aktivitas pemanfaatan lahan. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan kelestarian ekosistem hutan dilain pihak dgn tidak menghalangi penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dilematis memang dan sulit untuk menanggulanginya, namun untuk meminimalisasi persoalan ini, maka pemerintah bersama seluruh masyarakat harus bersama sama saling bergandengan tangan untuk memecahkan masalah ini. Salah satu usaha yang bisa mengurangi masalah ini antara lain : 1. Menyediakan alternatif mata pencaharian lain selain bertani bagi masyarkat setempat oleh pemerintah. 2. Memberikan strategi penyuluhan dibidang pertanian, terutama untuk pertanian yang menetap, agar tidak terjadi pertanian berpindah pindah yang merusak hutan. 3. Pengembangan model Agroforestry.

DAFTAR PUSTAKA

1. E.P.Odum,1996, Dasar Dasar Ekologi, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

2. Roehajat Emon Soeriaatmadja, 1997, Ilmu Lingkungan, ITB, Bandung.

3. Zoer aini Djamal Irwan,1992, Prinsip Prinsip Ekologi,PT. Bumi AksaraJakarta.

4. M. Daud Silalahi,1996, Hukum Lingkungan, PT Alumni, Bandung.

5. Suripin, 2001, Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air, Andi, Semarang.

You might also like