You are on page 1of 66

BAB III HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Untuk menghasilkan suatu undang-undang yang mampu mengakomodasikan kebutuhan pengaturan pengelolaan ruang udara nasional yang teraplikasi dalam proses kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pengendalian, pembinaan dan pengawasan yang saling terkait dan berkesinambungan, maka dilakukan tinjauan terhadap masalah yang dihadapi dan kebutuhan akan pengaturan tersebut. Selain itu harus dipastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak bertentangan dan tetap sejalan (harmonis) dengan peraturan perundangan lainnya.

A.

Kedaulatan atas Ruang Udara Nasional Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut42. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara.

Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir hak menguasai oleh negara atas sumber daya alam yang ada di bumi,
42

Lihat: LAPAN, Studi Kebijaksanaan Kedirgantaraan tentang Pokok-pokok Kedirgantaraan Nasional , 1999, hal. 33-34.

-128-

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara. Istilah dikuasai dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti dimiliki oleh negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.43 Sesuai Konvensi Chicago Tahun 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh
43

Walaupun menggunakan terminologi istilah yang berbeda dengan Naskah Akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional (menggunakan istilah ruang angkasa untuk menyebut ruang udara), namun UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memuat beberapa pengaturan yang selaras tentang penguasaan kekayaan alam oleh negara, sebagaimana termuat dalam Pasal-pasal UU No.5/1960 berikut ini: Pasal 2: (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 ayat 2 Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah: a. hak guna air, b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c. hak guna ruang angkasa.

-129-

atas ruang udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 198244. Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum internasional dan telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 198545, menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajiban menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia- ALKI (archipelagic sea lane passages) yang merupakan jalur lintas damai bagai kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan wilayah perairan, mencakup: (1) laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; (2) perairan kepulauan, yaitu semua perairan yang terletak pada

44

Upaya untuk mewujudkan pengakuan kedaulatan atas ruang udara di wilayah teritorial negara kepulauan, tidak terlepas dari asas-asas kepulauan (archipelago principles) yang termuat dalam dokumen A/AC.138/SC.II/L.15., sebagai hasil pembicaraan empat negara (Fiji, Indonesia, Filipina dan Mauritius) dalam Sidang UN Seabed Committee pada bulan Maret-Mei tahun 1972 di New York, khususnya asas kedua yang menegaskan: Negara kepulauan berdaulat atas perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik antara pulau-pulau terluar. Kedaulatan ini tidak saja meliputi perairan tetapi mencakup juga dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) serta ruang udara di atas perairan kepulauan itu (lihat Mochtar Kusumaatmaja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut III, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & PT Alumni, Bandung, 2003, hal.5-8). Lihat Undang-undang RI No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut).

45

-130-

sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; (3) perairan pedalaman, yaitu perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan. Undangundang lain yang terkait dengan wilayah kedaulatan adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam undangundang tersebut secara umum dinyatakan bahwa wilayah perairan Indonesia juga mencakup Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal46. Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum di atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi nasional. Dalam penjelasan Pasal 5 disebutkan, bahwa wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

46

Lihat Undang-undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan. Uraian tentang batas laut teritorial dan ZEE, dapat dilihat pada beberapa literatur, antara lain: Made Pasek Dianta, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 14-16; N.H.T. Siahaan & H. Suhendi, Hukum Laut Nasional Himpunan Peraturan Perundang-undangan Kemaritiman, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989, hal. 18-34 & 319-334; S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 15-16 & 45-47.

-131-

Bentuk lain wujud dari penyelenggaraan kedaulatan atas wilayah udara nasional Indonesia, adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran pesawat udara yang terbang pada kawasan terlarang baik nasional maupun asing sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992, bahwa pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara atau bandara udara di dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan.

Lebih jauh dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atas kepentingan umum, misalnya

pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur pelarangan terbang di kawasan udara terlarang dalam UU tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap penenggakan hukum di kawasan udara tersebut.

Wujud dari bentuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional selain pelarangan di kawasan udara terlarang tersebut atas, juga terdapat pelarangan lain yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan pesawat udara kecuali atas izin Pemerintah. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

-132-

Dari beberapa ketentuan pelarangan sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 sebagai wujud pengakuan wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional, tetapi tidak mengatur wewenang dan tanggung jawab penegakkan hukum di ruang udara nasional sebagai wilayah kedaulatan di udara dan di kawasan udara terlarang. Dengan ditetapkannya batas ketinggian wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional 110 (seratus sepuluh) km dari permukaan laut, maka urgensi dari undang-undang pengelolaan ruang udara nasional menjadi penting sesuai dengan amanat Pasal 25A UUD 1945 dinyatakan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Beberapa sikap dan implementasi negara-negara tertentu berkaitan dengan batas (delimitasi) ruang udara dan antariksa47, seperti : 1. Australia, dalam Sidang Subkomite Hukum 2002 mengemukakan bahwa, delimitasi ruang udara dan antariksa merupakan masalah yang cukup alot dan rumit dalam pembatasan sidang tersebut. Dinformasikan tentang ada Rancangan Undang-undang yang diajukan kepada Parlemennya untuk menyikapi perundangan yang telah ada (Australian Space Activity Act 1998). Dalam rancangan undang-undang tersebut, diusulkan batas ketinggian 100 km di atas permukaan laut sebagai patokan untuk keperluan praktis dan bahwa benda yang berada di atas ketinggian tersebut dipertimbangkan sebagai space objects. Meskipun demikian, penetapan batas tersebut tidak secara tegas dinyatakan merupakan delimitasi antariksa. 2. Amerika Serikat, dalam sidang UNCOPUOS khususnya dalam pembahasan masalah definisi dan delimitasi antara ruang udara dan antariksa. Delegasi Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak ada kepentingan yang mendesak untuk mementukan definisi dan delimitasi tersebut, dengan alasan bahwa penetapan hal tersebut akan menghambat perkembangan

47

Lihat: Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta, 22-24 Desember 2003.

-133-

teknologi. Meskipun demikian, secara diam-diam US Spacecommand telah menetapkan batas ketinggian antariksa mulai dari 100 km.

3. Korea Selatan, pada sidang Komite Antariksa PBB (UNCOPUOS) Juni tahun 2003, delegasi Korea Selatan mengajak negara-negara dalam sidang tersebut untuk membahas batas ruang udara dan antariksa, dengan usulan berkisar antara 100 km sampai dengan 110 km. 4. Uni Soviet / Rusia, pada sidang Subkomite Hukum tahun 1980, pernah mengusulkan agar batas ruang udara ditetapkan 100 km sampai dengan 120 km dari permukaan laut. Dalam perkembangannya, Rusia telah mengajukan pembahasan rejim hukum aerospace objects dalam agenda definisi dan delimitasi antariksa pada sidang-sidang UNCOPUOS sejak tahun 1992. Jika diperhatikan, sikap dari negara-negara tersebut di atas, pada umumnya tidak ada aturan yang secara tegas menyatakan batas kedaulatan negara di ruang udara. Aturan-aturan yang ada hanya menyatakan bahwa negara berdaulat atas ruang udara di atas wilayahnya secara penuh dan utuh. Sementara di antariksa tetap mereka mengakui kawasan kemanusiaan.

Meskipun sikap negara-negara di dunia belum menetapkan batas kedaulatan negara di ruang udara, bagi Indonesia batasan tersebut sangat diperlukan dengan berbagai alasan, antara lain, pertama perlu ketegasan wilayah udara nasional sebagai wilayah kedaulatan, kedua untuk melindungi kepentingan nasional termasuk pertahanan negara sebagai negara berkembang dimana sumber daya alam di udara di atas wilayah Indonesia sangat strategis dan bernilai ekonomis.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, antara lain :

-134-

1.

Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

2.

Sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

3.

Penelitian ilmiah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut, dan tanah di bawahnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

4.

Konservasi sumber daya alam adalah segala upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

5.

Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, antara lain : 1. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. 2. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah dikelilingi oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air pasang. 3. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. 4. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

-135-

5.

Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah.

6.

Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.

7.

Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk kecuali apabila luasnya adalah seluas atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut lekukan tersebut.

8.

Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Z Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, antara lain :
1.

Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembagalembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.

-136-

2.

Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.

3.

Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

4.

Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri.

5.

Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah.

B.

Pertahanan Keamanan Negara Pemanfaatan ruang udara nasional bagi kepentingan pertahanan keamanan negara sebagai media mengamankan dan mempertahankan wilayah nasional yang terdiri atas pengamanan sumber daya alam baik di ruang udara, ruang daratan, maupun di ruang perairan. Untuk mengamankan dan mempertahankan wilayah nasional tersebut, telah dibentuk Komando Pertahanan Udara Nasional yang terbagi atas 3 (tiga) sektor pertahanan. TNI-AU sebagai institusi berwenang terhadap pertahanan keamanan negara di wilayah kedaulatan udara nasional Indonesia dibawah pembinaan Departemen Pertahanan. Jika diperhatikan pembagian sektor pertahanan di ruang udara dengan luas wilayah ruang udara Indonesia, maka pembagian tersebut belum memadai, karena satu sektor harus mempertahankan ruang udara lebih kurang 4 (empat) juta km2. Sejalan dengan perkembangan teknologi perang, memungkinkan ancaman datang dari berbagai arah, dan kapan saja. Oleh sebab itu, perlu penambahan satu sektor yang dilakukan secara bertahap

-137-

terutama untuk kawasan Indonesia Timur. Dengan demikian jumlah seluruh sektor pertahanan ruang udara menjadi 4 (empat) sektor pertahanan. Penambahan sektor pertahanan ruang udara tersebut di atas dirasakan penting, perkembangan teknologi dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik semakin meningkat, seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan semakin meningkat, sementara kelangkaan sumber daya alam yang mereka miliki mendorong negara-negara tersebut memperluas investasinya ke luar negeri termasuk ke Indonesia. Dengan adanya revolusi 3-T (transportation, telecommunication, travel) arus perhubungan, komunikasi, perdagangan dan wisata melalui ruang udara Indonesia akan semakin meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan ruang udara Indonesia menjadi potensial bagi perkembangan pembangunan khususnya di bidang

kedirgantaraan. Di lain pihak perlu diantisipasi dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya konflik ekonomi dan politik sebagai akibat dari benturan kepentingan antar negara. Demikian halnya dengan perkembangan Australia dan Selandia Baru sebagai negara besar di kawasan Pasifik Selatan. Meksipun hubungan politik antar negara tersebut terjalin baik, namun kondisinya mengalami pasang surut, antara lain disebabkan perbedaan nilai-nilai budaya. Hubungan politik yang baik selama ini merupakan modal dasar bagi peningkatan hubungan di bidang perdagangan dengan menggunakan ruang udara. Kegiatan dirgantara sebagian besar dilaksanakan oleh industri penerbangan nasional dengan membuka hubungan antar kota-kota besar di Indonesia, Australia, dan Selandia Baru. Sementara teknologi kedirgantaraan yang dimiliki oleh Australia dan Selandia Baru cukup tinggi dibandingan Indonesia, seperti Australia memiliki sarana pengamatan udara Over The Horizon (OTH) untuk kepentingan pertahanan negara dan memiliki kemampuan modifikasi pesawat terbang yang cukup tinggi. Kondisi tersebut membuka peluang bagi Indonesia untuk mengadakan alih teknologi kedirgantaraan dari negara tersebut. Di lain pihak perlu diantisipasi dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya

-138-

konflik ekonomi dan politik sebagai akibat dari benturan kepentingan antar negara. Undang-undang yang terkait dengan pertahanan negara adalah UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4169). Dalam penjelasan dari undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara termasuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional, sehingga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dapat terhindar. Dalam upaya mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan nasional dengan pertahanan negara di wilayah kedaulatan ruang udara, upaya yang dilakukan adalah membangun, membina dan memperkuat sumber daya dan kekuatan tangkal yang mampu meniadakan setiap ancaman dan atau pelanggaran hukum di ruang udara baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.

Wewenang dan tanggung jawab mempertahankan wilayah kedaulatan atas ruang udara termasuk penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum di ruang udara termasuk di kawasan udara terlarang adalah TNI-AU. Wewenang dan tanggung jawab tersebut menjadi penting karena Indonesia adalah negara kepulauan yang juga merupakan negara khatulistiwa dan terletak pada posisi silang dunia. Kondisi tersebut mendukung terwujudnya berbagai kegiatan dan/atau usaha dapat dilakukan di ruang udara nasional Indonesia baik untuk kepentingan nasional maupun internasional48.

48

Upaya penegakan dan mekanisme mempertahankan kedaulatan negara dibahas dalam: Marsekal TNI Chappy Hakim & Marsekal Muda Sutrisno, Penegakan Kedaulatan di Ruang Udara, Makalah disampaikan dalam Forum Konsultasi Publik Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional, Puslit. Pranata Pembangunan UI dan Pussisfogan LAPAN, Jakarta, 11-12 Desember 2003.

-139-

Dengan letak posisi silang Indonesia tersebut menyebabkan wilayah udara nasional Indonesia menjadi jalan atau lintas bagi kepentingan berbagai negara di dunia. Bukan hanya itu, menempatkan berbagai macam satelitsatelit komunikasi, cuaca, meliter dan sebagainya di ruang udara Indonesia (di bawah 110 km) atau di bawah daerah GSO atau di bawah daerah LEO sangat dimunginkan seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga akan menimbulkan kerawanan bagi pertahanan keamanan negara. Oleh sebab itu, sistem pertahanan negara di ruang udara nasional di bawah wewenang dan tanggung jawab TNI-AU menjadi penting dalam pengawasan wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional. Bukan hanya itu, peran dan fungsi TNI-AU adalah mempertahankan dan mengamankan sumber daya alam di udara terhadap kegiatan atau usaha-usaha yang melakukan pelanggaran hukum dan sekaligus sebagai penegakkan hukum di ruang udara nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan internasional, meskipun dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara49, tidak diatur wewenang dan tanggungjawab tersebut. Melalui undang-undang pengelolaan ruang udara nasional diharapkan TNI-AU mampu menegakkan kedaulatan dan pelanggaran hukum atau penegakan hukum di ruang udara Indonesia termasuk di kawasan udara terlarang. Di samping itu berbagai kebijakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara di ruang udara dapat diatur dan dikendalikan, misalnya penegakan hukum terhadap kegiatan dan atau usaha di ruang udara, seperti penetapan air defence identification zone (ADIZ), ruang udara terlarang (prohibited area), ruang udara terbatas (restricted area), ruang udara berbahaya (danger area), dan penetapkan ruang udara di daerah konflik.

Dari uraian di atas, bahwa ruang udara sebagai sumber daya alam di udara selain dapat dimanfaatkan kesejahteran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945, juga merupakan dimensi ketiga dari wilayah kedaulatan suatu negara. Oleh sebab itu, perlu dikelola dan dipelihara agar pemanfaatannya
49

Lihat Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 3, Lembaran Tambahan Negara Nomor 4169).

-140-

efektif dan efisien serta berkelanjutan, untuk mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan rakyat dengan pertahanan keamanan negara sebagai wilayah kedaulatan. Pengertian umum yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2002, yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan undang-undang pengelolaan ruang udara nasional, adalah mengenai pengertian pertahanan negara, adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, Beberapa pengertian umum terkait dengan pertahanan negara yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002, antara lain : 1. Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara; 2. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman; 3. Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk melaksanakan kebijakan pertahanan negara; 4. Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada tingkat strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian pertahanan negara; 5. Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan;

-141-

6.

Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama;

7.

Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan;

8.

Sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan;

9.

Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan negara;

10. Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan daya gunanya untuk kepentingan pertahanan negara; 11. Sarana dan prasarana nasional adalah hasil budi daya manusia yang dapat digunakan sebagai alat penunjang untuk kepentingan pertahanan negara dalam rangka mendukung kepentingan nasional; 12. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia. 13. Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; 14. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan; 15. Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia; 16. Kepala Staf Angkatan adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara. Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, antara lain 1. Negara adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. 3. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.

-142-

4.

Wilayah adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

5.

Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

6.

Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah. Negara Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman.

7. 8.

TNI adalah Tentara Nasional Indonesia. Departemen Pertahanan adalah pelaksana fungsi pemerintah di bidang pertahanan negara.

9.

Menteri Pertahanan adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang pertahanan negara.

10. Panglima TNI yang selanjutnya disebut Panglima adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI. 11. Angkatan adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 12. Kepala Staf Angkatan adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara. 13. Prajurit adalah anggota TNI. 14. Dinas Keprajuritan adalah pengabdian seorang warga Negara sebagai prajurit TNI. 15. Prajurit Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. 16. Prajurit wajib adalah warga negara ynag mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan karena diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan. -143-

17. Prajurit siswa adalah warga negara yang sedang menjalani pendidikan pertama untuk menjadi prajurit. 18. Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. 19. Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. 20. Ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. 21. Ancaman militer adalah ancaman yang dilakukan oleh militer suatu negara kepada negara lain. 22. Ancaman bersenjata adalah ancaman yang datangnya dari gerakan kekuatan bersenjata. 23. Gerakan Bersenjata adalah gerakan sekelompok warga Negara suatu negara yang bertindak melawan pemerintahan yang sah dengan melakukan perlawanan bersenjata. C. Penerbangan Sumber daya di udara mencakup ruang udara yang dapat dimanfaatkan langsung. Pemanfaatan ruang udara adalah sebagai media untuk transportasi udara penerbangan mempunyai peran penting dan strategis untuk kepentingan kesejahteraan dan pertahanan dan keamanan negara. Dalam hal pemanfaatan ruang udara untuk kegiatan penerbangan, setiap negara mempunyai kedaulatan untuk melakukan pengaturan terhadap rute, navigasi dan pembinaan keamanan dan keselamatan penerbangan di wilayah udara nasionalnya. Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan50. Ketentuan dalam undang-undangan tersebut meng-

50

Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481).

-144-

acu

pada

ketentuan-ketentuan

pokok

yang

dikeluarkan

oleh

badan

internasional penerbangan yaitu ICAO. Pemanfaatan ruang udara sebagai media untuk keperluan pelayanan lalu lintas udara (Air Traffic Services - ATS) di ruang udara Indonesia terbagi dalam 4 (empat) bagian wilayah Flight Information Region (FIR) untuk mendapatkan pelayanan dari pusat pengendali penerbangan (flight control centre), yaitu Jakarta FIR/UIR, Bali FIR, Ujung Pandang FIR dan Biak FIR.

Bagi negara-negara anggota ICAO harus membuat aturan agar memberikan pelayanan tersebut sebagai ATS dapat berlaku sesuai dengan Annex 11 Konvensi Chicago 1944, kecuali jika ada suatu perjanjian tersendiri yang mendelegasikan tanggung jawab terhadap ATS di dalam FIR, control area atau control zone di wilayahnya. Dengan demikian, sebuah FIR suatu negara dapat saja didelegasikan kepada negara lain, oleh sebab itu batas sebuah FIR tidak harus sama dengan batas teritorial suatu negara, seperti Australia yang mendelegasikan ruang udara di sekitar kepulauan Christmas yang dikelola oleh Indonesia, Timor Timur di dalam wilayah FIR Indonesia, Brunei Darussalam di dalam wilayah FIR Kinibalu.

Meskipun demikian, umumnya negara yang berbatasan tetap menggunakan teritorialnya sebagai batasan FIR. Untuk pemberian pelayanan tersebut dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 dan sesuai Konvensi Chicago 1944. Batas ketinggian FIR adalah ground atau mean sea level sampai dengan ketinggian 24.500 kaki, sedangkan Upper Flight Information Region (UIR) adalah dari ketinggian 24.500 kaki sampai dengan ketinggian tak terbatas. Luas Jakarta UIR mencakup wilayah udara di atas Ujung Pandang FIR dan Biak FIR.

Beberapa hukum internasional yang terkait dengan kegiatan penerbangan, antara lain :

-145-

a. Konvensi Paris 1910 yang menetapkan beberapa kesepakatan penting tentang kebangsaan pesawat udara, pendaftaran pesawat udara,

sertifikasi pesawat udara biasa, surat-surat awak pesawat, buku catatan riwayat pesawat (log book), ketentuan jalur penerbangan, peralatan pesawat, penetapan daerah terlarang di atas negara bagi penerbangan internasional, dan pembentukan penerbangan internasional, b. Konvensi Paris 1919 menetapkan beberapa kesepakatan tentang pembatasan pemberian izin lintas pesawat udara negara lain yang bukan anggota konvensi dan ketentuan tentang diakuinya kedaulatan negara anggota terhadap ruang udara di atas wilayah teritorial negara yang bersangkutan termasuk ruang udara di atas wilayah laut teritorial negara bersangkutan, c. Pertemuan International Commission for Air Navigation (ICAN) pada tahun 1929, beberapa kesepakatan yang diputuskan dalam pertemuan tersebut, antara lain beberapa perubahan kesepakatan yang ada dalam Konvensi Paris 191951, yaitu ketentuan diakuinya hak kedaulatan negara di ruang udara bagi setiap negara tanpa perbedaan, apakah negara itu adalah anggota atau bukan. Dari pertemuan tersebut ditinggalkannya prinsip kebebasan lintas di ruang udara, bahwa setiap pesawat udara milik suatu negara apabila hendak melintas di wilayah udara yang bukan wilayah negaranya harus terlebih dahulu mendapatkan izin melintas dari negara bersangkutan, Konvensi Chicago 194452, merupakan suatu konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil dan membentuk International Civil Aviation Organization (ICAO). Hasil-hasil konvensi tersebut, menjadi pedoman dalam pengaturan perhubungan udara bagi anggota ICAO, antara lain memuat ketentuanketentuan : (1) pengakuan kedaulatan penuh dan utuh (mutlak) dari setiap

51

Konvensi Paris 1919 yaitu Convention Relations to the Regulation of Aerial Navigation, Signed at Paris on th October 13 , 1919. Konvensi Chicago 1944, yaitu Convention on International Civil Aviation Signed on December 7 th, 1944.

52

-146-

negara atas ruang udara di atas wilayahnya; (2) pengakuan mengenai nasionalitas suatu pesawat udara sesuai dengan registrasinya; (3) perlu ada izin dari negara bersangkutan apabila pengangkutan udara internasional berjadwal beroperasi di wilayah negara asing; (4) kerjasama negara-negara dengan tujuan untuk memajukan dan mengamankan penerbangan dalam navigasi internasional. Walaupun Konvensi Chicago 1944 menjadi landasan hukum udara internasional, namun dalam konvensi tersebut tidak mengatur batas maksimal ketinggian terbang.

Undang-undang yang mengatur mengenai penerbangan nasional adalah UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481). Secara umum UU No. 15 Tahun 1992 mengatur mengenai hak, kewajiban serta tanggung jawab para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab penyedia jasa terhadap keinginan pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan kegiatan dan/atau usaha penerbangan. UU tersebut sebagai dasar hukum Indonesia (kepastian hukum) dalam kegiatan dan atau usaha penerbangan nasional sesuai ketentuan penerbangan internasional atau konvensi Chicago 1944 beserta lampiran serta dokumen-dokumen teknis operasionalnya.

Dalam Konvensi Chicago 1944 terdapat 5 (lima) kebebasan di udara (five freedom of the air) yaitu semua perusahaan penerbangan setiap negara mendapatkan hak dalam penerbangan, yaitu : (1) terbang melintasi wilayah asing tanpa mendarat; (2) mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik (tanpa penumbang dan barang); (3) menurunkan trafik (penumpang dan barang) dari suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara asal pesawat udara tersebut; (4) menaikkan trafik (penumpang dan barang) dari suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara asal pesawat udara tersebut; (5) mengangkut trafik (penumpang dan barang) diantara dua negara asing.

-147-

Dalam perkembangannya, 5 (lima) kebebasan tersebut di atas banyak menghadapi masalah, maka kesepakatan tersebut diperbaharui, sebagai berikut: 1. Perjanjian transit jasa angkutan udara internasional (international air service transit agreement) yang mengatur dua kebebasan sebagai berikut : (a) terbang tanpa melakukan pendaratan dan mendapatkan hak mendarat untuk tujuan non-trafik (tanpa penumpang dan kargo) di wilayah asing; (b) negara yang memiliki ruang udara, berhak mengatur rute penerbangan dan Bandar udara yang dapat digunakan untuk penerbangan internasional. 2. Perjanjian pengangkutan udara internasional (international air transport agreement) yang memuat semua perjanjian sesuai lima kebebasan (five freedom of the air).

Untuk kemudian dalam perkembangannya, bahwa penerbangan internasional berjadwal tidak cukup diatur melalui konvensi dalam perjanjian secara multilateral. Karena itu, pada kasus-kasus tertentu diatasi dengan mengadakan kesepatan dalam perjanjian bilateral antar dua negara. Salah satu dari perjanjian bilateral yang dilakukan adalah Perjanjian Bermuda atau Bermuda Agreement pada tahun 1946 antara Inggris dengan Amerika Serikat.

Berkaitan dengan rute atau alur serta perlintasan penerbangan ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 1992 Pasal 37. Dalam ayat (3) Pasal tersebut, bahwa Pemerintah penetapkan jaringan dan rute penerbangan internasional berdasarkan perjanjian antar negara. Meskipun pengawasan dan penegakan hukum dalam undang-undang tersebut tidak secara tegas dinyatakan, namun dalam implementasinya dilakukan oleh TNI-AU termasuk pengawasan dan penegakkan hukum di ruang udara, seperti ruang udara di perbatasan antara Indonesia dengan Singapura, antara Indonesia dengan Malaysia. Pengawasan dan penegakan hukum di ruang udara dirasakan sangat penting, mengingat letak Indonesia pada posisi silang dunia, menyebabkan wilayah

-148-

udara nasional Indonesia menjadi jalan atau lintas bagi perbangan dari berbagai negara di dunia.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan rancangan undang-undang pengelolaan ruang udara nasional yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 Pasal 1, antara lain : 1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait, 2. Wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia,

Dalam UU No. 15 Tahun 1992 terdapat dua jenis pesawat udara yaitu pesawat udara sipil dan pesawat udara militer (dalam hal UU ini pesawat udara yang digunakan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai pesawat udara negara). Pesawat udara yang beroperasi di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (1).

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa tanda pendaftaran adalah tanda pendaftaran Indonesia atau asing. Pesawat asing yang beroperasi di Indonesia didasarkan pada perjanjian bilateral, multilateral atau izin khusus Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2). Bagi pesawat udara yang melakukan pelanggaran tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah). Pengaturan penggunaan pesawat udara dalam UU No. 15 Tahun 1992, tidak secara tegas mengatur penggunaan pesawat udara militer asing (pesawat udara negara) yang beroperasi di wilayah udara Indonesia. Meskipun demikian, penggunaan pesawat udara militer asing (pesawat udara negara)

-149-

tanpa izin dari Pemerintah berlaku ketentuan hukum internasional, yaitu Konvensi Chicago 1944 Pasal 3 ayat (2). Dalam pasal tersebut secara garis besar ditetapkan, bahwa pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas wilayah negara anggota. Indonesia merupakan salah satu anggota ICAO. Pesawat udara negara dimaksud adalah pesawat udara yang dipergunakan untuk militer, polisi dan bea cukai. Pelanggaran terhadap pesawat udara meliter yang dicurigai melanggar aturan nasional diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Convention on High Seas sebagaimana diatur dalam Pasal 21, bahwa kewenangan penegakan hukum dimiliki oleh pesawat udara militer. Dalam UU No. 15 Tahun 1992 tidak mengatur batas kedaulatan ruang udara nasional secara vertikal, serta penegakkan hukum di ruang udara nasional, demikian juga halnya batasan ruang udara dengan negara tetangga. Hal lain yang tidak diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 adalah pelarangan terbang di ruang udara nasional bagi pesawat udara sipil dalam keadaan negara tidak damai (dalam keadaan bahaya) atau pada kawasan daerah konflik.

Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ditentukan Presiden sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 12, bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Kewenangan penggunaan ruang udara nasional negara dalam keadaan bahaya dilakukan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNIAU), sementara kewenangan tersebut tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Nomor Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4069).

Sehubungan itu pemanfaatan ruang udara nasional untuk kegiatan penerbangan pada saat negara dalam keadaan tidak damai (dalam keadaan bahaya) atau di daerah-daerah atau kawasan konflik perlu diatur atau ditetapkan secara tegas.

-150-

Atas dasar uraian di atas, penegakan hukum atas pelanggaran penerangan di wilayah ruang udara nasional diperlukan dua unsur penting, yaitu

kelembagaan dan sarana pendukungnya. Dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, ditetapkan bahwa TNI-AU sebagai lembaga yang berwenang atas penegakan hukum atas penerbangan di ruang udara nasional termasuk pengendalian kegiatan dan atau usaha lain di udara pada saat negara tidak damai atau di daerah-daerah konflik.

Dalam UU No. 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara hal tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggungjawab institusi sebagai penegakan hukum di ruang udara, meskipun demikian, tetap TNI-AU berwenang dan bertanggungjawab. Oleh sebab itu, tugas dan tanggung jawab TNI-AU perlu di atur secara tegas dalam undang-undang pengelolaan ruang udara nasional.

Penegakkan hukum di ruang udara sebagai wujud wilayah kedaulatan ruang udara nasional. Beberapa pelarangan yang perlu mendapatkan perhatian dalam merumuskan rancangan undang-undangan pengelolaan ruang udara nasional, adalah : 1. pelarang kegiatan penerbangan baik sipil maupun militer yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin dari Pemerintah serta tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah;

2. pelarangan

kegiatan

penerbangan

berjadwal

internasional

tanpa

persetujuan dari Pemerintah;

3. pelarangan kegiatan penerbangan oleh pesawat tanpa awak (pilotless aircraft) tanpa izin dari Pemerintah;

4. penetapan kawasan larangan terbang (prohibited areas) dengan alasan tertentu, seperti kepentingan pertahanan negara, keselamatan penerbangan, wilayah atau daerah konflik, pada wilayah terdapat simbul-simbul negara (seperti ruang udara di atas Istana Negara); -151-

5. penetapan rules of the air bagi pesawat yang terbang atau melintasi wilayah udara Indonesia dan melakukan manuver kecuali mendapatkan izin dari Pemerintah.

Hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 15 tahun 1992 termasuk peraturan pelaksananya adalah kegiatan olah raga di ruang udara nasional yang menggunakan pesawat udara, seperti pesawat swayasa, layang gantung, pesawat bermotor, dan sebagainya. Dewasa ini kegiatan tersebut cenderung berkembang pesat, oleh sebab itu kegiatan tersebut perlu diatur. Pengaturan kegiatan tersebut bukan berarti menghambat berkembangnya kegiatan olahraga di udara tersebut, tetapi lebih pada kepentingan keamanan dan keselamatan penerbangan, pertahanan keamanan negara, dan sebagainya

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN dalam UU No. 15 tahun 1992, antara lain : 1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar

udara, angkutan

udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait. 2. Wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia; 3. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara; 4. Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran Indonesia; 5. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri; 6. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan tenaganya sendiri;

-152-

7.

Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pesawat udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

8. 9.

Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara; Pesawat udara sipil asing adalah pesawat udara yang didaftarkan dan/atau mempunyai tanda pendaftaran negara bukan Indonesia;

10. Pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah pesawat udara negara yang dipergunakan dalam dinas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 11. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi; 12. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau diperairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan

penerbangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 13. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara; 14. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran; 15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.

-153-

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan PP No. 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan, antara lain : 1. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi; 2. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan penerbangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 3. Kawasan Lingkungan Kerja Bandar Udara adalah wilayah darat dan/atau perairan Republik Indonesia, termasuk wilayah udara diatasnya yang dipergunakan untuk pelayanan kegiatan operasi penerbangan maupun penyelenggaraan bandar udara di luar kegiatan operasi penerbangan; 4. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum; 5. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum; 6. Badan Usaha Kebandarudaraan adalah badan usaha milik Negara yang khusus didirikan untuk mengusahakan jasa kebandarudaraan; 7. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi; 8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan PP No. 3 Tahun 2000 tentang Perubahan PP No. 40 Taun 1995 tentang Angkutan Udara, antara lain : 1. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara; -154-

2.

Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran;

3.

Angkutan udara perintis adalah angkutan udara niaga yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman atau daerah yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan;

4.

Perusahaan angkutan udara adalah perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran;

5.

Rute penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan;

6.

Jaringan penerbangan adalah kumpulan dari rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan udara;

7.

Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan PP No. 3 Tahun Keselamatan Penerbangan, antara lain : 1. Keamanan dan keselamatan penerbangan adalah suatu kondisi untuk mewujudkan penerbangan dilaksanakan secara aman dan selamat sesuai dengan rencana penerbangan. 2. Keamanan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum. 3. Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya. 4. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. 5. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan tenaganya sendiri. -1552001 tentang Keamanan dan

6.

Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri.

7.

Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan pesawat udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

8. 9.

Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi.

10. Kawasan udara terlarang (prohibited area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan. 11. Kawasan udara terbatas (restricted area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang terbang melalui ruang udara tersebut. 12. Kawasan udara berbahaya (danger area) adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara. 13. Personil penerbangan adalah personil pesawat udara dan personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan yang tugasnya secara langsung mempengaruhi keamanan dan keselamatan pesawat udara. 14. Personil pesawat udara adalah personil penerbangan yang memiliki sertifikat kecakapan untuk bertugas sebagai personil operasi pesawat udara dan personil penunjang operasi pesawat udara. -156-

15. Personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan adalah personil penerbangan yang memiliki sertifikat kecakapan tertentu yang tugasnya secara langsung mempengaruhi kegiatan pelayanan

keamanan dan keselamatan penerbangan. 16. Kapten Penerbang adalah awak pesawat udara yang ditunjuk dan ditugasi untuk memimpin suatu misi penerbangan serta bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penerbangan selama pengoperasian pesawat terbang dan/atau helikopter yang dari segi teknis berfungsi normal. 17. Pengoperasian pesawat terbang dan helikopter adalah kegiatan mulai mesin pesawat terbang dan helikopter dihidupkan untuk suatu misi penerbangan sampai dengan saat mesin dimatikan. 18. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. 19. Sertifikat kecakapan personil penerbangan adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kecakapan personil penerbangan. 20. Sertifikat kesehatan personil penerbangan adalah tanda bukti

terpenuhinya persyaratan kesehatan personil penerbangan. 21. Sertifikat pendaftaran pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara. 22. Sertifikat tipe adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam rancang bangun/prototipe pesawat udara, mesin pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang. 23. Sertifikat tipe validasi adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara Republik Indonesia dalam rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang produk negara lain. 24. Sertifikat tipe tambahan adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam modifikasi atau perubahan rancang bangun terhadap pesawat udara atau mesin pesawat udara, atau baling- baling pesawat terbang yang telah memiliki sertifikat tipe. -157-

25. Sertifikat mutu produksi adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan standar, dan prosedur dalam pembuatan dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya. 26. Sertifikat kelaikan udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikan udara. 27. Sertifikat operator pesawat udara/Air Operator Certificate (AOC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam pengoperasian pesawat udara oleh perusahaan angkutan udara niaga. 28. Sertifikat pengoperasian pesawat udara/Operating Certificate (OC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam pengoperasian pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara bukan niaga. 29. Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang serta komponenkomponennya oleh suatu perusahaan perawatan. 30. Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri yang berisi pengakuan bahwa institusi pendidikan dan pelatihan atau lembaga pendidikan dan pelatihan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan dinyatakan mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 31. Surat persetujuan rancang bangun komponen adalah surat tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam rancang bangun komponen pesawat udara, komponen mesin pesawat udara dan komponen balingbaling pesawat terbang. 32. Surat persetujuan rancang bangun perubahan adalah surat tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam perubahan rancang bangun dari pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya. 33. Pendaftaran adalah pendaftaran pesawat terbang, helikopter dan balon berpenumpang untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia untuk memperoleh hak beroperasi di Indonesia. -158-

34. Gawat darurat di bandar udara adalah suatu kejadian tidak terduga berkaitan atau berakibat terganggunya pengoperasian pesawat udara atau kelangsungan pelayanannya yang perlu dilakukan tindakan cepat. 35. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan.

D.

Telekomunikasi dan Frekuensi Pemanfaatan ruang udara sebagai media komunikasi, merupakan

konsekuensi logis dari sifat proses komunikasi elektronik yang tidak mengenal batas-batas negara. Mengingat jumlah dan lebar frekuensi komunikasi (bandwidth) adalah terbatas, sementara penggunaan cukup banyak diseluruh dunia, maka disepakati secara internasional bahwa untuk pemanfatan frekuensi dilakukan oleh badan dibawah PBB yaitu International Telecomunication Union (ITU). Pemanfaatan ruang udara sebagai media komunikasi pada dasarnya telah diatur dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi53.

Dengan

perkembangan

teknologi

dan

ilmu

pengetahuan

di

bidang

telekomunikasi

demikian pesat, pemanfaatan sumber daya alam di udara

sebagai media komunikasi yang perlu diperhatikan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan dengan pertahanan keamanan negara. Ruang udara nasional Indonesia sangat potensial bagi kepentingan telekomunikasi dan informasi dengan cara menempatkan satelit-satelit komunikasi, cuaca, meliter dan sebagainya di ruang udara nasional Indonesia. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, penempatan satelit-satelit tidak hanya di daerah Geo Stationery Orbit (GSO) dan Low Earth Orbit (LEO) saja yang berada di antariksa (outer space), tetapi akan berada di ruang udara atau di bawah ketinggian 110 km. Seperti halnya teknologi pemantauan cuaca dalam bentuk balon. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung cepat telah mendorong terjadinya perubahan yang mendasar dalam penye53

Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5881).

-159-

lenggaraan telekomunikasi dan penyiaran nasional menggunakan teknologi tinggi. Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan dirgantara dimana di dalamnya terdapat unsur spektrum frekuensi radio dan orbit Geostasioner (GSO) serta non-GSO. Keberadaan GSO sendiri tidak akan bermakna jika tidak dibarengi dengan spektrum frekuensi radio. Kedua kegiatan tersebut memanfaatkan sumber daya udara nasional. Agar pemanfatannya efektif dan efisien yang beroerientasi pada hemat energi dan hemat ruang sebagaimana diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disertai dengan batasan-batasan operasional agar tidak mengganggu kegiatan lainnya (seperti penerbangan) serta sesuai peruntukannya dan prinsip-prinsip internasional yang berlaku. Dengan perkembangan teknologi telekomunikasi yang demikian pesatnya, maka langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka mengamankan kepentingan nasional atas GSO senantiasa perlu ditingkatkan perwujudannya, guna mewujudkan terselenggaranya pertelekomunikasian nasional dengan memanfaatkan sumber daya udara nasional atas GSO secara efisien dan efektif sesuai peruntukannya sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pengertian umum dalam Pasal 1 UU No. 36 Tahun 1999 mengenai istilah telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem

elektromagnetik lainnya. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi sebagaiman diartur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 36 Tahun 1999, bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) melindungi kepentingan dan keamanan negara; (2) mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; (3) dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan; (4) peran serta masyarakat. Dalam hal penggunaan spektrum radio dan orbit satelit telah ditetapkan Pasal 33 ayat (1), bahwa kegiatan tersebut -160-

wajib mendapatkan izin Pemerintah. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan, bahwa penggunaan spektrum frekuensi dan radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu. Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam ayat (3), bahwa Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit. Pasal 35 ayat (2) menyatakan spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali: (a) untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau (b) disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau (c) merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran. Pasal 36 ayat (2) menyatakan spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali (a) untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau (b) disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau (c) merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan. Pasal 37 menyatakan, pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.

Mengenai Ratifikasi Radio Regulation, merupakan dasar hukum penggunaan orbit geostasioner (GSO), sehingga berdasarkan undang-undang tersebut, -161-

Indonesia terikat pada peraturan radio (radio regulation) yang mengatur penggunaan spektrum frekuensi radio secara internasional bagi seluruh jenis jasa termasuk penggunaan frekuensi bagi satelit GSO, prosedur pendaftaran satelit GSO, dan lain sebagainya.

Pengaturan penggunaan spektrum frekuensi dan orbit geostasioner merupakan sumber daya yang terbatas dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, meskipun sampai saat ini, Peraturan Pemerintah mengenai hal tersebut di atas belum tersusun. Walaupun demikian terdapat beberapa Keputusan Menteri yang mengatur penggunaan spektrum frekuensi termasuk yang digunakan oleh GSO.

Berkaitan dengan penyiaran diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252)54. Pasal 1 menyatakan bahwa penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Kemudian dinyatakan juga bahwa Spektrum Frekuensi Radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ramah publik dan sumber daya alam terbatas. Pasal 6 ayat (1) menyatakan penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional; ayat (2) menyatakan dalam sistem penyiaran nasional dimaksud negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara umum kegiatan dan/atau usaha telekomunikasi dan frekuensi belum mengatur secara menyeluruh, seperti penggunaan sumber daya udara
54

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252)

-162-

sebagai media telekomunikasi dan frekuensi di kawasan-kawasan udara tertentu, seperti di kawasan udara di daerah-daerah konflik, di kawasan udara terlarang, dan kawasan udara terbatas. Pengaturan tersebut sangat diperlukan, terkait dengan keamanan dan keselamatan baik masyarakat maupun negara. Sebagai contoh, pengaturan kegiatan telekomunikasi dan frekuensi di kawasan udara di atas Istana Negara, di kawasan udara di atas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), di kawasan udara di atas daerah-daerah konflik, dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kegiatan telekomunikasi dan penggunaan frekuensi dapat diatur penggunaannya terutama di kawasan-kawasan udara tersebut.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU No. 36 Tahun 1999, antara lain : 1 Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya; 2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi; 3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi; 4. Sarana dan Prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi. 5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio; 6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi; 7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi; 8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan -163-

usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara; 9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak; 10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak; 11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai; 12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi; 13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi; 14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan/ atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi; 15. Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraaan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus; 16. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda; 17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Radio Frequensi dan Orbit Sateli, antara lain : 1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya; -164-

2.

Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

3.

Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;

4.

Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;

5.

Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

6.

Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;

7.

Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, atau instansi pertahanan keamanan negara;

8.

Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

9.

Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi bumi, berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio;

10. Stasiun radio adalah satu atau beberapa perangkat pemancar atau perangkat penerima atau gabungan dari perangkat pemancar dan penerima termasuk alat perlengkapan yang diperlukan disatu lokasi untuk menyelenggarakan komunikasi radio; 11. Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan mempergunakan gelombang radio; 12. Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh pusat masa satelit; 13. Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita frekuensi radio; 14. Pita frekuensi radio adalah bagian dari spektrum frekuensi radio yang mempunyai lebar tertentu; -165-

15. Kanal frekuensi radio adalah bagian dari pita frekuensi radio yang ditetapkan untuk suatu stasiun radio; 16. Alokasi frekuensi radio adalah pencantuman pita frekuensi tertentu dalam tabel alokasi frekuensi untuk penggunaan oleh satu atau lebih dinas komunikasi radio teresterial atau dinas komunikasi radio ruang angkasa atau dinas radio astronomi berdasarkan persyaratan tertentu. Istilah alokasi ini juga berlaku untuk pembagian lebih lanjut pita frekuensi tersebut di atas untuk setiap jenis dinasnya. 17. Penetapan (assignment) pita frekuensi radio atau kanal frekuensi radio adalah otorisasi yang diberikan oleh suatu administrasi dalam hal ini Menteri kepada suatu stasiun radio untuk menggunakan frekuensi radio atau kanal frekuensi radio berdasarkan persyaratan tetentu. 18. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

E.

Kenavigasian Kenavigasian merupakan fasilitas keselamatan penerbangan dan pelayaran sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembagan Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493). 1. Navigasi Penerbangan Dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dalam rangka keselamatan penerbangan, pesawat udara yang terbang di wilayah Republik Indonesia diberikan pelayanan navigasi penerbangan. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pelayanan navigasi penerbangan (air navigation) terdiri dari pelayanan lalu lintas udara, meteorologi, komunikasi penerbangan, dan fasilitas bantu navigasi penerbangan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2001 Pasal 5 ayat (2) menyatakan55, bahwa pelayanan navigasi penerbangan, meliputi kegiatan:

55

Lihat Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara

-166-

(a) pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara selama dalam pengoperasian; (b) pengendalian ruang udara; (c) membantu

pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara dan/atau membantu penelitian penyebab kecelakaan pesawat udara; (d) penyediaan dan/atau pembinaan personil; (e) penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana navigasi penerbangan. Lebih jauh dalam ayat (3) dinyatakan persyaratan teknis dan operasional pelayanan navigasi penerbangan dilakukan dengan memperhatikan: (a) keamanan dan keselamatan penerbangan; (b) perkembangan teknologi; (c) sumber daya manusia

yang profesional; (d) ketentuan-ketentuan internasional; (e) efektivitas dan efisiensi; (f) kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya; (g)

keandalan sarana dan prasarana pelayanan navigasi penerbangan; (h) keteraturan, kesinambungan dan kelancaran arus lalu lintas udara. Masih dalam PP No. 3 Tahun 2001 Pasal 7 (1) menyatakan bahwa pelayanan navigasi penerbangan dan pengoperasian bandar udara diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Navigasi Pelayaran Pengaturan navigasi pelayaran diatur dalam UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Lembaran Tambahan Nomor 3493)56. Dalam UU tersebut kenavigasian diatur secara tegas. Pengertian umum navigasi dalam Pasal 1 menyatakan, navigasi adalah sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami yang berada di luar kapal yang berfungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan berlayar. Fungsi navigasi dalam Pasal 7, meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana bantu navigasi pelayaran, telekomunikasi, hidrografi, alur dan perlintasan,
56

Lihat Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493).

-167-

pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage, dan pekerjaan di bawah air, untuk kepentingan keselamatan pelayaran.

Dari uraian atas secara umum, kegiatan kenavigasian baik untuk penerbangan maupun pelayaran, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 15 Tahun 1992 dan UU No. 21 Tahun 1992.

F.

Energi Konsumsi energi tidak dapat diperoleh secara terus menerus dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Secara umum energi dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu energi tidak terbaharui dan energi terbaharui. 1. Energi tidak terbaharui, adalah energi yang diperoleh dari sumber cadangan energi statis yang terbatas, seperti bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas alam, dan sebagainya. 2. Energi terbaharui, adalah energi yang diperoleh secara terus menerus atau dapat digunakan secara berulang-ulang dari alam, seperti energi surya yang dapat digunakan secara berulang-ulang selama 24 jam pada siang hari. Berhubungan dengan pengelolaan ruang udara nasional, energi terbaharui merupakan sumber daya udara yaitu energi angin dan surya. Salah satu perundang-undangan yang telah mengatur pemanfaatan sumber daya udara sebagai sumber energi adalah UU No. 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan57. Namun dalam UU tersebut tidak secara tegas mengatur pemanfaatan sumber daya udara sebagai sumber daya energi baik sumber daya angin maupun sumber daya surya. Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan, bahwa perkembangan tenaga listrik memanfaatkan seoptimal mungkin sumber energi primer, baik yang tak terbarukan maupun yang terbarukan dengan memperhatikan keekonomiannya yang terdapat di wilayah Negara

57

Lihat Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226)

-168-

Republik Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut, menyatakan yang dimaksud sumber daya energi primer tak terbarukan antara lain meliputi minyak bumi, gas bumi, dan batubara, sedangkan sumber energi terbarukan antara lain meliputi tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomassa. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sumber daya energi yang terdapat di udara meliputi : sumber daya surya dan sumber daya angin. Pemanfaatan sumber daya atau sebagai energi surya yang dipancarkan melalui udara ke bumi baik secara langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Pemanfaatan energi surya secara langsung dalam bentuk energi panas dan listrik (listrik tenaga surya). Pemanfaatan energi panas surya dengan cara mengkonversikan radiasi surya dalam bentuk energi panas melalui kolektor penyerapan panas, kemudian dimanfaatkan untuk pemanasan ruangan, pengeringan pemanasan air untuk keperluan rumah tangga atau untuk industri. Pemanfaatan lain energi surya adalah untuk deselinasi dan peleburan material dengan panas, dengan cara mengkonsentrasikan atau memfokuskan sinar matahari dibantu dengan alat optik atau penggunaan pembangkit energi melalui proses thermoelektrik. Dari uraian di atas, sumber daya surya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan/atau pembangunan. Dengan kondisi geografis Indonesia, pemanfaatan sumber daya surya sebagai tenaga listrik untuk daerah-daerah terpencil yang sulit atau tidak mungkin dijangkau dengan jaringan PLN, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dapat merasakan pembangunan sebagaimana halnya masyarakat perkotaan, seperti penerangan listrik, pompa air, komunikasi (radio dan TV), dan sebagainya. Pemanfaatan sumber daya alam di udara yang lain sebagai energi adalah sumber daya angin. Potensi sumber daya angin yang dapat digunakan diperkirakan sebesar 120 x 10 KwH per tahun. Sumber daya angin yang terdapat di udara sebagai sumber daya energi alternatif yang tidak merusak lingkungan. Untuk menangkap sumber daya angin digunakan sayap atau baling-baling, sehingga energi angin menjadi tenaga penggerak yang -169-

selanjutnya dapat digunakan untuk menggerakkan peralatan atau sumber energi lain seperti generator listrik. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang berada pada kondisi angin yang kurang

menguntungkan (daerah wind-still) bagi sumber daya angin, meskipun demikian di beberapa daerah seperti Maumare, Palu, dan Waingapu memiliki potensi sumber daya angin yang cukup potensial. Pemanfaatan sumber daya alam di udara sebagai energi yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan/atau pembangunan akan semakin meningkat sejalan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Atas dasar itu, diperlukan aturan pemanfaatan sumber daya tersebut, sehingga terkendali dan tidak merusak fungsi sumber daya udara tersebut. Aturan-aturan yang diperlukan, berkaitan dengan perizinan, persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka menjaga kelestarian fungsi sumber daya udara dan/atau ruang udara nasional.

G.

Kegiatan Industri Pemanfaatan sumber daya alam di udara untuk kegiatan atau usaha industri adalah sumber daya gas. Sumber daya gas yang terdapat di udara berupa oksigen, hidrogen, nitrogen, oksida nitrous dan argon diperoleh melalui penguraian udara secara kimiawi. Sumber daya gas yang terdapat di udara tak terbatas, meskipun demikian perlu dikendalikan pemanfaatannya. Sumber daya gas berupa oksigen dan argon dimanfaatkan di rumah sakit, penerbangan, pabrik atau industri dan sebagainya.

Pemanfaatan nitrogen dan hidrogen di bidang industri dan penerbangan antariksa. Pemanfaatan sumber daya alam di udara untuk kegiatan dan/atau usaha industri secara umum belum diatur dalam peraturan perundangundangan. Oleh sebab itu, diperlukan aturan-aturan berkaitan dengan perizinan, persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka menjaga kelestarian fungsi sumber daya alam di udara.

-170-

H.

Bangunan Bertingkat Tinggi Karena keterbatasan ruang di daratan khususnya di perkotaan, menyebabkan Pemerintah dan/atau masyarakat melaksanakan kegiatan pembangunan bangunan secara vertikal yang memanfaatkan ruang udara semaksimal mungkin melalui bangunan-bangunan tinggi (vertikal). Pemanfaatan ruang udara untuk bangunan lain adalah bangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan layang, dan sebagainya.

Pada dasarnya pengaturan bangunan tinggi (vertikal) telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247)58. Namun dalam undang-undang tersebut tidak diatur secara tegas batas ketinggian maksimal suatu bangunan gedung baik di ruang udara bebas (dalam arti kawasan udara tidak terlarang) maupun di sekitar kawasan udara terlarang serta kawasan terbatas dan berbahaya (UU No. 15 Tahun 1992). Meskipun bangunan atau gedung telah diatur atau ditetapkan dalam undangundang, namun dalam undang-undangan tersebut tidak ditetapkan batas ketinggian maksimal bagunan gedung (vertikal) baik di luar maupun di dalam kawasan udara terlarang. Penetapan batas ketinggian maksimal tersebut sangat diperlukan dalam rangka keamanan dan keselamatan masyarakat, keamanan sebagainya. Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, antara lain : 1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
58

dan

keselamatan

penerbangan,

pertahanan

negara,

dan

Lihat Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247).

-171-

tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. 3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala. 4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. 5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. 6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung. 7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. 8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. 9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. 10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. -172-

11. Pengkaji teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum yang mempunyai sertifikat keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi bangunan gedung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 12. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. 13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi bangunan gedung. 14. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri. 15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah gubernur.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, antara lain: 1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.

-173-

3.

Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.

4.

Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.

5.

Keterangan rencana kabupaten/kota adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota pada lokasi tertentu.

6.

Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

7.

Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.

8.

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

9.

Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

10. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. -174-

11. Koefisien Tapak Basemen (KTB) adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak basemen dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan. 12. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah. 13. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTRKP) adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan. 14. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan. 15. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem. 16. Pedoman teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung. 17. Standar teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar pesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun standar internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. 18. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung. 19. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung. -175-

20. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. 21. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. 22. Tim ahli bangunan gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut. 23. Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan. 24. Perencanaan teknis adalah proses membuat gambar teknis bangunan gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruangdalam/ interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku. 25. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran

bangunan gedung. 26. Penyedia jasa konstruksi bangunan gedung adalah orang perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa -176-

konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk

pengkaji teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya. 27. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi. 28. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. 29. Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya. 30. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. 31. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. 32. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang

berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. 33. Dengar pendapat publik adalah forum dialog yang diadakan untuk mendengarkan dan menampung aspirasi masyarakat baik berupa pendapat, pertimbangan maupun usulan dari masyarakat umum sebagai masukan untuk menetapkan kebijakan Pemerintah/pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

-177-

34. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud. 25. Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan

pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum. 36. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan perundangundangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat. 37. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran para penyelenggara bangunan gedung dan aparat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung. 38. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum. 39. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 40. Pemerintah daerah adalah bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah gubernur. 41. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.

-178-

I.

Jaringan Transmisi Telekomunikasi dan Jaringan Listrik Dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 154) bahwa ketinggian jaringan transmisi telekomunikasi tidak diatur, demikian juga dengan jaringan transmisi listrik sebagaimana diatur dengan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226). Penentuan batas maksimal terhadap jaringan transmisi telekomunikasi dan jaringan transmisi listrik sangat diperlukan, karena dapat menganggu kegiatan dan/atau usaha lain di ruang udara, seperti penerbangan, pertahanan keamanan negara, dan sebagainya. Sehubungan itu, perlu ditetapkan batas ketinggian maksimal baik di ruang udara bebas (dalam arti kawasan udara tidak terlarang) maupun di sekitar kawasan udara terlarang serta kawasan terbatas dan berbahaya.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN, antara lain : 1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. 2. Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat. 3. Penyediaan Tenaga Listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian. 4. Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian. 5. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan tidak untuk diperdagangkan. 6. Sistem Tenaga Listrik adalah rangkaian instalasi tenaga listrik dari pembangkitan, transmisi, dan distribusi yang dioperasikan secara serentak dalam rangka penyediaan tenaga listrik.

-179-

7.

Pembangkitan Tenaga Listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.

8.

Transmisi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari suatu sumber pembangkitan ke suatu sistem distribusi atau kepada konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.

9.

Distribusi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari sistem pembangkitan kepada konsumen.

10. Penjualan Tenaga Listrik adalah suatu kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen. 11. Usaha Penjualan Tenaga Listrik adalah penyelenggara kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen yang tersambung pada tegangan rendah. 12. Agen Penjualan Tenaga Listrik adalah penyelenggara kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen yang tersambung pada tegangan tinggi dan tegangan menengah. 13. Pengelola Pasar Tenaga Listrik adalah penyelenggara kegiatan usaha untuk mempertemukan penawaran dan permintaan tenaga listrik. 14. Pengoperasian Sistem Tenaga Listrik adalah suatu kegiatan usaha untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan antarsistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik. 15. Pengelola Sistem Tenaga Listrik adalah penyelenggara kegiatan usaha pengoperasian sistem tenaga listrik yang bertanggung jawab dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan antarsistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi, serta membuat rencana pengembangan sistem tenaga listrik. 16. Jaringan Transmisi Nasional adalah jaringan transmisi tegangan tinggi, ekstra tinggi, dan/atau ultra tinggi untuk menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan transmisi nasional. 17. Rencana Umum Ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi -180-

kebutuhan tenaga listrik di suatu wilayah, antarwilayah, atau secara nasional. 18. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. 19. Izin Operasi adalah izin untuk mengoperasikan instalasi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. 20. Instalasi Tenaga Listrik adalah bangunan sipil, elektromekanik, mesin, peralatan, saluran, dan perlengkapannya yang digunakan untuk pembangkitan, konversi, transmisi, distribusi, dan pemanfaatan tenaga listrik. 21. Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah usaha yang menunjang penyediaan tenaga listrik. 22. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah izin untuk melaksanakan satu atau lebih kegiatan usaha penunjang tenaga listrik. 23. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan. 24. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas Presiden dan para Menteri yang merupakan perangkat Negara Kesatuan Republik

Indonesia. 25. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah. 26. Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik adalah badan Pemerintah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang independen untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan penyediaan tenaga listrik. 27. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

-181-

28. Badan Usaha Milik Negara adalah Badan Usaha yang oleh Pemerintah diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. 29. Badan Usaha Milik Daerah adalah Badan Usaha yang oleh Pemerintah Daerah diserahi tugas melaksanakan usaha ketenagalistrikan. 30. Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kebersamaan yang lingkup usahanya di bidang ketenagalistrikan. 31. Swasta adalah badan hukum yang didirikan dan berdasarkan hukum di Indonesia yang berusaha di bidang ketenagalistrikan. 32. Pemanfaat Tenaga Listrik adalah semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut. 33. Ganti kerugian hak atas tanah adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 34. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau bendabenda lain yang terkait dengan tanah. Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN berdasarkan Keppres No. 76 Tahun 2000 tentang Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik, antara lain : 1. Pengusahaan sumber daya panas bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik. 2. Eksplorasi adalah kegiatan penyelidikan geologi, geokimia, geofisika, dan landaian suhu yang apabila diintegrasikan pada suatu daerah panas bumi dapat menghasilkan uap atau fluida melalui pengeboran sumur -182-

eksplorasi untuk mengetahui tingkat cadangan terduga, tingkat cadangan mungkin dan tingkat cadangan terbukti. 3. Eksploitasi adalah kegiatan yang meliputi pengeboran sumur produksi dan injeksi untuk mencapai target kapasitas produksi, pembangunan fasilitas lapangan panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik. 4. Wilayah Usaha adalah wilayah tertentu untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik yang batas-batas dan syarat-syarat wilayah ditetapkan oleh Kepala Daerah. 5. Iuran Eksploitasi adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari pengusahaan sumber daya panas bumi. 6. Izin Pengusahaan adalah izin yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada Badan Usaha untuk melakukan kegiatan pengembangan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri di wilayah usahanya. 7. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum yang dibentuk dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang sumber daya panas bumi dan ketenagalistrikan. 9. Pemerintah adalah Departemen Pertambangan dan Energi c.q. unit yang bertanggung jawab di bidang sumber daya panas bumi. 10. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah rencana kebutuhan daya listrik nasional yang ditetapkan oleh Menteri. J. Olah Raga dan Wisata Udara Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kegiatan olahraga dan wisata yang dilakukan di ruang udara, meliputi pesawat tanpa awak, layang gantung, terjun payung, terbang layang, aeromodeling, layang-layang, dan sebagainya. Dari jenis sarana yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan wisata udara, dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu olahraga udara menggunakan pesawat udara dan olahraga tidak menggunakan -183-

pesawat udara. Demikian halnya wisata udara, juga dapat kelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu wisata udara menggunakan teknologi penerbangan dan tanpa menggunakan teknologi, seperti layang-layang. Berkaitan dengan kegiatan olahraga dan wisata udara menggunakan pesawat udara, dalam UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan tidak secara tegas diatur. Untuk kepentingan keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kepentingan sosial dan ekonomi lainnya, maka kegiatan tersebut perlu ada pengaturan, agar tidak mengganggu kepentingan penerbangan dan kepentingan lainnya. Sedangkan olahraga dan wisata udara tanpa menggunakan pesawat udara, secara umum belum diatur dalam undang-undang baik dalam UU No. 15 Tahun 1992 maupun dalam UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan59. Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan undang-undang pengelolaan ruang udara nasional, antara lain : (1) wisata Udara adalah kegiatan yang menggunakan ruang udara nasional yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan/atau daya tarik wisata; (2) objek dan/atau daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata udara.

K.

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kegiatan pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional, Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219)60. Dalam Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2002 termuat beberapa pengertian umum yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain meliputi :

59 60

Lihat Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Lihat Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional, Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219)

-184-

1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuanlitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejalan alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu. 2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.

3. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru.

Secara umum UU No. 18 Tahun 2002 tidak mengatur secara tegas kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilaksanakan di udara. Kegiatan tersebut dalam rangka pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidangnya, atau dalam rangka optimalisasi pemanfaatan ruang udara untuk kepentingan pertahanan keamanan negara dan/atau kesejahteraan. Sehubungan itu, perlu diatur kegiatan tersebut secara tegas, karena aktivitas pengembangan Iptek di ruang udara dapat menganggu keamanan dan keselamatan penerbangan,

-185-

makhluk hidup, fungsi ruang udara itu sendiri, atau sumber daya alam di udara secara umum.

Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN, antara lain : 1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dangan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu. 2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. 3. IImu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas dangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atau berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi

perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. 4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan

keterangan yang berkaitan dangan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. -186-

6.

Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyempurnakan atau memperbaruhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada.

7.

Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi.

8.

Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, danjatau proses produksi dangan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang danjatau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

9.

Inovasi

adalah

kegiatan

penelitian,

pengembangan,

dan

atau

perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuanyang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. 10. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan atau pihak-pihak lain dangan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. 11. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya. 12. Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau pengembangan. 13. Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dangan peraturan perundangundangan. 14. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang -187-

kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dangan peraturan perundang-undangan. 15. Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dangan peraturan perundang-undangan. 16. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presidan beserta para menteri. 17. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. 18. Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

L.

Perubahan Cuaca dan Iklim Pemanfaatan sumber daya alam di udara sebagai media untuk pengamatan perubahan cuaca atau iklim memberikan manfaat yang cukup besar bagi kepentingan kesejahteraan, antara lain kepentingan penerbangan, pelayaran, pertanian, dan sebagainya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah telah dikembangkannya teknologi pengamatan perubahan cuaca atau iklim dengan menggunakan balon dan/atau sarana lain. Kegiatan tersebut, secara umum dalam peraturan perundang-undangan nasional belum diatur. Oleh sebab itu, diperlukan aturan-aturan berkaitan dengan perizinan, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pertahanan dan keamanan negara, serta keamanan dan keselamatan kegiatan di ruang udara. Kegiatan lain yang dilakukan di ruang udara melalui pendayagunaan sumber daya alam di udara dengan cara memadukan sumber daya gas dan sumber daya angin dengan rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan yaitu pembuatan hujan buatan. Kegiatan tersebut memberikan manfaat yang cukup besar bagi kepentingan kesejahteraan, antara lain penyediaan air bagi pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan air minum, dan sebagainya. Secara -188-

umum kegiatan hujan buatan belum diatur. Meskipun kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat, namun perlu ada pengaturan secara tegas karena kegiatan tersebut menggunakan pesawat udara. Dalam UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, tidak diatur secara tegas kegiatan tersebut, hanya mengatur penggunaan pesawat udara untuk kegiatan perekaman, sedangkan kegiatan hujan buatan menggunakan pesawat udara tidak diatur.

Hal-hal yang perlu diatur adalah wewenang dan tanggung jawab dalam memberikan perizinan terhadap pelaksanaan kegiatan hujan buatan, serta tanggung jawab terhadap risiko yang timbulkan terhadap kegiatan tersebut terhadap lingkungan dan makhluk hidup, karena proses pembuatan hujan tersebut berasal dari bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak fungsi ruang udara dan atau lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup61. Beberapa pengertian umum yang dapat dijadikan dasar dalam perumusan RUU PRUN, antara lain : 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain; 2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup; 3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, ter61

Lihat Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).

-189-

masuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan; 4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup; 5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; 7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; 8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya; 9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; 10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan; 11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;

12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke -190-

tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang; 14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan; 15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memleihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekara-gamannya; 16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan; 17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsu-ngan hidup manusia serta makhluk hidup lain; 18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain; 19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan; 21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang -191-

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan; 22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup; 23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; 24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum; 25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup. Kegiatan lain yang dilakukan di udara terkait dengan perubahan cuaca adalah kegiatan ramalan cuaca yang selama ini masih menggunakan satelit (kegiatan pengamatan cuaca yang dilakukan oleh LAPAN dan BMG menggunakan satelit NOAA). Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kegiatan ramalan cuaca dapat saja dilakukan di ruang udara, misalnya dengan menggunakan balon, karena akan lebih efisien dibandingkan menggunakan satelit, sementara kegiatan tersebut belum ada aturannya. Oleh sebab itu, diperlukan aturan-aturan terutama berkaitan dengan perizinan, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pertahanan dan keamanan negara, serta keamanan dan keselamatan kegiatan di udara.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya udara, belum seluruhnya diatur dalam undang-undang termasuk batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional. Dengan demikian, urgensi dari undang-undang pengelolaan ruang udara menjadi penting baik kepentingan pertahanan negara, dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

-192-

Melalui undang-undang pengelolaan ruang udara, pemanfaatan sumber daya udara akan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Undang-undang tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional selain landasan hukum atas batas-batas wilayah kedaulatan ruang udara nasional, untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak yang berperanserta dalam kegiatan di ruang udara nasional, karena dalam undang-undang tersebut memuat serangkaian aturan yang berkaitan dengan aspek-aspek filosofis, politis, dan sosiologis seperti asas dan tujuan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya udara nasional, serta kewenangan dan peran pengelola para pihak yang melakukan kegiatan di ruang udara nasional termasuk penegakkan hukum di ruang udara.

-193-

You might also like