You are on page 1of 41

Kehidupan Politik Dalam kehidupan politik.

Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga, dengan pusat kerajaannya ada 2 pendapat yaitu pendapat pertama yang menyebutkan pusat Sriwijaya di Palembang karena daerah tersebut banyak ditemukan prasasti Sriwijaya dan adanya sungai Musi yang strategis untuk perdagangan. . . Sedangkan pendapat kedua letak Sriwijaya di Minangatamwan yaitu daerah pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan yang diperkirakan daerah Binaga yaitu terletak di Jambi yang juga strategis untuk perdagangan. Dari dua pendapat tersebut, maka oleh ahli menyimpulkan bahwa pada mulanya Sriwijaya berpusat di Palembang. Kemudian dipindahkan ke Minangatamwan. Untuk selanjutnya Sriwijaya mampu mengembangkan kerajaannya melalui keberhasilan politik ekspansi/perluasan wilayah ke daerah-daerah yang sangat penting artinya untuk perdagangan. Hal ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan Lampung, Bangka, dan Ligor. Bahkan melalui benteng I-tshing bahwa Kedah di pulau Penang juga dikuasai Sriwijaya. Dengan demikian Sriwijaya bukan lagi sebagai negara senusa atau satu pulau, tetapi sudah merupakan negara antar nusa karena penguasaannya atas beberapa pulau. Bahkan ada yang berpendapat Sriwijaya adalah negara kesatuan pertama. Karena kekuasaannya luas dan berperan sebagai negara besar di Asia Tenggara. Kehidupan EkonomiKerajaan Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan Internasional Asia Tenggara. Dengan letak yang strategis tersebut maka Sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi Pelabuhan Transito sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar.Dengan demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik. Hal ini juga didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa. Pada masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalurjalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.

Dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti, pajak maupun keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan yang besar dan makmur. Kehidupan sosial dan Budaya Masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti.Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Dari prasasti ini diketahui pula raja Sriwijaya yaitu Balaputra Dewa mempunyai hubungan erat dengan raja Dewa Paladewa (India). Raja ini memberi sebidang tanah untuk asrama pelajar dari Sriwijaya. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat serangan dari kerajaan lain. Serangan pertama dari Raja Dharmawangsa dari Medang, Jatim tahun 990 M. pada waktu itu raja Sriwijaya adalah Sri Sudarmaniwarmadewa. Walaupun serangan tersebut gagal tetapi dapat melemahkan Sriwijaya.

Serangan berikutnya datang dari kerajaan Colamandala (India Selatan) yang terjadi pada masa pemerintahan Sri Sangramawijayatunggawarman pada tahun 1023 dan diulang lagi tahun 1030 dan raja Sriwijaya ditawan. Tahun 1068 Raja Wirarajendra dari Colamandala kembali menyerang Sriwijaya tetapi Sriwijaya tidak runtuh bahkan pada abad 13 Sriwijaya diberitakan muncul kembali dan cukup kuat sesuai dengan berita Cina. Keruntuhan Sriwijaya terjadi pada tahun 1477 ketika Majapahit mengirimkan tentaranya untuk menaklukan Sumatera termasuk Sriwijaya. Kehidupan Ekonomi Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar. Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan

Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh Kerajaan Majapahit.

1. Sejarah dan Lokasi


Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-tsI adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang

2. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti. B. Sumber Asing Sumber Cina Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M Sumber Arab Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Masudi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Sumber India

Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda

Sumber lain Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi.

Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja

C. Sumber Lokal atau Dalam Negeri Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai berikut. Prasasti Kota Kapur Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.

Prasasti Kedukan Bukit Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan Prasasti Talangtuo Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang. Prasasti Karang Berahi Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu. Prasasti Ligor Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Prasasti Nalanda Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Prasasti Telaga Batu.

Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.

3. Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya


Ekonomi Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar. Politik Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664 M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara. Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki

semenanjung malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara. Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu : 1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya 2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya 3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya

Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya : 1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M) 2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M) 3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M) 4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M) 5. Maharaja (berita Arab, 851 M) 6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M) 7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M) 8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M) 9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M) 10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M) 11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Sosial dan Budaya

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Itsing, seorang pendeta Cina pernah menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan disekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan, yaitu Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

4. Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya


Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil

menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh Kerajaan Majapahit. Catatan : Diolah dari berbagai Sumber

Oleh ERWAN SURYANEGARA KERAJAAN SRIWIJAYA Kemunculan dalam Pentas Sejarah Pulau Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti, sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan (kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara bagian barat. Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de riwijaya (Kerajaan Sriwijaya). Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume de riwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah menerjemahkan naskah Arab yang berjudul Akhbaru 's-Shin wa 'l-Hind (Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata Jawa yang dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza. Catatan atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya). Sumber-sumber berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (9601279 M), kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti Ming (1368-1643 M), dan kronik Yingyai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M). Kata Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.

Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan riwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu riwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla riwijaya (tentara Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan riwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden (karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah Marawijayatunggawarman, raja riwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah). Dan keempat, nama rivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala), Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti yang ditemukan di Tanjore, India Selatan. Selain itu, Coedes mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel menulis karangan Het Koninkrijk rivijaya, tahun 1919. Tahun itu juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschiedenis (bukunya berjudul Hindoe Javaansche Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan judul L'Empire Sumatranais de rivijaya. Peran Coedes dalam mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam, banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo. Prasasti dan Arca Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi. Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad ke-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai berikut. Prasasti Kedukan Bukit Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst). Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan

angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Teks Prasasti Kedukan Bukit: (1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n] (9) laghu mudita datam marwuat wanua (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa ... Terjemahan oleh G. Coedes: Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari [ ]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut [ ] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan [ ], ringan, gembira, datang dan membuat negeri [ ] Sriwijaya, sakti, kaya [ ]. Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang dan makmur. Prasasti Talang Tuwo Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta. Teks Prasasti Talang Tuwo: (1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa

drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha . Terjemahan oleh G. Coedes: Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan aitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan .... Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa. Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi. Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu. Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan

berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Teks Prasasti Telaga Batu (1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) .... murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi. Terjemahan oleh G. Coedes: Om! Semoga berhasil . Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja , bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana , (?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin, (?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?) Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar Prasasti Kota Kapur Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik. Teks Prasati Kota Kapur: siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal .

Terjemahan oleh G. Coedes: Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak [ ] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja . Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya. Teks Prasasti Palas Pasemah (1) siddha kita? hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an ha?kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umente? [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana ma?ra [ksa ya? kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula ya? parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci ura? di dala?na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di ya? nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni] . Terjemahan oleh Boechari: (1-4). ....Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak,

tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan).... Prasasti Boom Baru Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan. Teks Prasasti Bom Baru: 1. ....(Niuja) droha (ka)... 2. tida ya bhakti tatwa arjawa dy-aku dngan... 3. wunuh ya sumpah ni (suruh) tapik-ya...(sriwijaya) 4. ya dngan gotra santananya... 5. maka langit. urang maka sakit maka gila... 6. upuh tuwa kasihan wasikarana itye (wamadi)... 7. pulang ka yang muah yang dosanya muah... 8. kadaci yang bhakti tatwa arjawa dy-aku... 9. datua santi muah (kawuatanya) dngan gotra (santananya) 10. samrddha swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah ya (wanuan) 11. nya parawis. Terjemahan: 1. (Dikatakan) durhaka.... 2. (apabila) ia tidak bakti dan tunduk (bertindak lemah-lembut) kepadaku dengan... 3. dibunuh ia oleh sumpah dan di(suruh) supaya hancur oleh...(sriwijaya) 4. ya dengan sanak-keluarganya... 5. menyebabkan orang hilang (maka langit), menyebabkan orang sakit (maka sakit) dan menyebabkan orang gila (maka gila).... 6. racun (upah) dan tuba (tuwa), mengguna-guna orang supaya jatuh cinta (kasihan), mengguna-gunai orang supaya jatuh cinta (kasihan), mengguna-gunai orang supaya tunduk pada kemauannya (wasikarana), dan demikian selanjutnya (ityewamadi)...

7. kembali (pulang) ke asalnya lagi ke dosanya lagi... 8. tetapi apabila setiap kali (kadaci) ia berbakti dan tunduk kepadaku (dy-aku : maksudnya raja Sriwijaya) 9. dan taat kepada kedudukan raja (datua) ia akan menemukan kembali (kawuatannya: perbuatannya) kesentosaan dan keselamatan (santi) dengan sanak keluarganya (gotra santanaya) 10. tumbuh mencapai kemenangan (samrddha), selama sejahtera (sastha), sehat wal'afiat (niroga), bebas malapetaka (nirupadrawa), makmur (subhiksa) 11. seluruh negeri (wanuannya pewaris). Isi dan pesan yang dimuat dalam teks Prasasti Boom Baru sama dengan prasasti Sriwijaya lainnya, yaitu berisi kutukan kepada siapapun yang berani melawan atau melanggar peraturan kerajaan Sriwijaya, serta memuat doa keselamatan bagi mereka maupun keluarganya apabila tunduk dan patuh terhadap raja Sriwijaya. Prasasi Karang Berahi Prasasti yang ditemukan tahun 1904 oleh Berkhout ini tidak berangka tahun dan merupakan satusatunya Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Merangin. Seperti prasasti Sriwijaya lain, prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini juga berhuruf Palllawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari kira-kira abad ke-7 Masehi ini, terdiri dari 16 baris, mirip dengan Prasasti Kota Kapur, tetapi tidak memuat tentang penyerangan oleh tentara Sriwijaya. Prasasti Ligor Di daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu, ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 775 M yang ditulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut Prasasti Ligor A memuat keterangan raja Sriwijaya.. Tulisan pada sisi B disebut Prasasti Ligor B menyebut seorang raja bernama Wisnu yang bergelar Sarwarimadawimathana.. Baik Prasasti Ligor A maupun Prasasti Ligor B ditulis dalam bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan tentang ibukota Ligor sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Prasasti Nalanda Prasati ini ditemukan di Nalanda, India bagian timur (Negara Bagian Bihar). Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diduga berasal dari abad ke-9 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputra Dewa, raja Sriwijaya yang beragama Budha. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira). Selain itu, disebutkan juga bahwa raja Nalanda yang bernama Dewapaladewa, berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para pelajar Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

Prasasti Bungkuk (Jabung) Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Prasasti ini tidak berangka tahun, berdasarkan palaeografi, diperkirakan prasasti ini satu zaman dengan prasasti Sriwijaya lainnya. Isi teksnya juga memuat kutukan atau sumpah dan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu Kuno biasa. Prasasti Kambang Unglen 1 Sebuah pecahan atau fragmen prasasti batu berwarna kuning keputihan, panjang 36 cm, lebar 22 cm dan tebal 9,5 cm. Ditemukan pada 22 September 1987 di Kambang Unglen, Kota Palembang (dekat Bukit Siguntang). Fragmen Prasasti batu itu dipahat dengan beberapa baris tulisan, sebuah di antaranya berukuran panjang 27 cm dan tinggi huruf 3 cm. Sayang sekali tulisan tipe Sriwijaya itu sudah aus. Tulisan yang masih dapat dibaca berbunyi ... jaya siddhayatra sarwastwa (... perjalanan suci (ziarah) yang menang dan sukses bagi semua mahluk). Kalimat itu dapat dibandingkan dengan kalimat terakhir Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang berbunyi ... Sriwijaya jaya siddayatra subhiksa ni (t) yakala (... Sriwijaya yang menang dalam perjalanan suci yang berhasil, makmur melimpah senantiasa). Prasasti ini disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang. Prasasti Kambang Unglen 2 Fragmen prasasti yang ditemukan di halaman sekolah SMP PGRI VII, Kambang Unglen, Ilir Barat I, Palembang, Sumatra Selatan. Fragmen ini berukuran 12 x 13 cm, dengan huruf berukuran 1,5 x 2 cm. Dari keempat baris prasasti yang masih terlihat, yang masih mungkin terbaca, hanya tiga baris saja walaupun agak sulit. Prasasti yang terbuat dari batu berwarna merah kekuningan ini, berdasarkan bentuk-bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari masa Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), berbahasa Melayu Kuno. Isi prasasti ini sendiri masih sulit untuk diketahui, dikarenakan huruf-hurufnya yang sudah tidak jelas. Prasasti Kambang Unglen 2 juga disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang. Secara umum, dapat dikatakan bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah prasasti kutukan, karena dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang telah disebutkan, lima di antaranya merupakan prasasti kutukan. Prasasti-prasasti Sriwijaya di atas, seperti Prasasti Kedukan Bukit cenderung membulat, Prasasti Talang Tuwo cenderung segi empat miring (trapesium), Prasasti Telaga Batu berbentuk tapal kuda, Prasasti Boom Baru cenderung berbentuk bulat telur (elips), serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Karang Berahi cenderung berbentuk setengah lingkaran (tapal kuda). Bentuk prasasti yang beragam tersebut, karena bongkah-bongkah batu yang dijadikan prasasti tersebut diperkirakan media batunya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi memang sudah tersedia di lokasinya masing-masing (nonmobile art). Arca Selain prasasti, artefak sumber sejarah Sriwijaya adalah arca. Arca adalah sarana yang penting bagi kehidupan keagamaan Hindu-Budha, karena merupakan salah satu media dalam pemujaan kepada

dewa. Menurut Bambang Budi Utomo, berdasarkan data inventarisasi arca logam dan batu yang ditemukan di Sumatra jumlahnya 116 buah arca, sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, yakni sekitar 65 buah arca. Sedangkan arca yang ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 29 buah arca, ditemukan di Sumatra bagian utara berjumlah 17 buah arca, dan ditemukan di Kota Kapur, Bangka berjumlah 4 buah arca. Arca-arca ini ada yang sudah selesai dikerjakan dan ada yang belum selesai, namun pada bagian tertentu sudah mencirikan gaya seninya. Arca-arca yang berlanggam Syailendra (abad ke-8 dan ke-9 Masehi) sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan berjumlah 21 buah arca dan ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 12 buah arca. Data tersebut menunjukkan kejayaan pengaruh kejayaan seni Syailendra ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya. Arca yang ditemukan di sekitar Palembang tidak hanya meliputi arca-arca Budha saja, tetapi juga arca Hindu. Ini membuktikan bahwa meskipun Sriwijaya merupakan salah satu dari pusat studi agama Budha, tetapi tetap ada kerukunan dalam kehidupan beragama. Beberapa arca-arca Sriwijaya itu di antaranya adalah sebagai berikut: Arca Budha, dari Bukit Siguntang, Palembang Arca ini merupakan arca terbesar yang berasal dari masa Sriwijaya, tingginya sekitar 3 meter. Arca bersikap berdiri ini digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya. Ciri-cirinya menunjukkan gaya Amarawati, yang berkembang di India Selatan pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi, tetapi masih berkembang di Srilanka sampai abad ke-8 Masehi. Jadi, diperkirakan arca Budha Bukit Siguntang ini berasal dari sekitar abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca ini sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Arca Ganesha, dari Jalan Mayor Ruslan (Pagaralam), Palembang Arca ini ditemukan di area Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jalan yang sebelumnya bernama Lorong Pagaralam di dekat sungai Bendungan yang bermuara ke sungai Musi. Arca ini mempunyai hiasan-hiasan yang mirip arca Jawa Tengah, tetapi cara duduknya (kaki kanan dilipat ke atas) seperti arca-arca India Selatan. Tampaknya banyak pengaruh India Selatan pada arca Sriwijaya yang satu ini. Arca ini sekarang diletakkan di halaman. Arca Budha, dari Tingkip, Musirawas Arca yang ditemukan di Tingkip, Musirawas pada tahun 1980, berdiri di atas padmasana (lapik yang berbentuk bunga teratai), kedua tangan diangkat ke atas dengan sikap witarkamudra (sikap Budha mengajarkan dharma atau ajaran agama). Jubahnya yang transparan menutup kedua bahu. Tampaknya arca ini termasuk ke dalam kelompok gaya pra-Angkor yang berkembang pada sekitar abad ke-6 dan ke7 Masehi, atau gaya Dwarawati (Thailand) yang berkembang pada sekitar abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Arca ini disimpan di Museum Balaputra Dewa, Palembang. Arca Awalokiteswara, dari Bingin, Musirawas Ditemukan di Bingin, Kabupaten Musirawas ini merupakan contoh arca Budha yang berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Cirinya yang menarik adalah tampak pada arca Amithaba dan mahkotanya, kainnya

ditutup dengan kulit rusa pada bagian pinggulnya. Pada bagian belakang arca terdapat inskripsi yang berbunyi dang acaryya syuta (gelar pendeta Budha). Arca Wisnu, dari Kota Kapur, Bangka Di Kota Kapur, Bangka, ditemukan struktur bangunan dari batu putih. Di antara runtuhan fondasi candi terdapat fragmen beberapa arca Wisnu. Diperkirakan fragmen tersebut berasal dari setidak-tidaknya 3 buah arca Wisnu. Diduga arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi. Semua arca Wisnu ini mempunyai ciri yang sama, yaitu bentuk mahkota seperti silinder, seperti pada arca Wisnu di Khmer dari masa pra-Angkor. Hiasannya sederhana, kain panjangnya sampai di bawah lutut, berhias pola garis lengkung, bertangan empat, hanya sayang sudah patah. Pada beberapa fragmen tangan tampak ada yang memegang padma (bunga teratai). Di belakang kepala ada sandaran melengkung yang sudah patah, rambut ikal terurai tampak menutup leher belakang, di atas bahu. Semua temuan arca Kota Kapur disimpan di Balai Arkeologi Palembang. Arca Awalokiteswara, dari Sarang Waty, Lemahabang (Lemabang), Palembang Arca ini ditemukan tahun 1959 tepatnya di halaman belakang rumah yang bertuliskan Sarang Waty (Rumah Waty) milik Basaruddin Itjo yang terletak di pertemuan Jalan Bambang Utoyo No. 1A dengan Jalan Pendawa, Lemabang, Palembang. Saat ini (2008), arca yang pernah dicuri sampai ke Jambi tapi telah dikembalikan lagi, telah dipindahkan dari halaman belakang rumah ke samping rumah itu (in situ). Bersama-sama dengan arca ini juga ditemukan ratusan stupika tanah liat yang berwarna putih. Tampaknya arca ini belum selesai dibuat, karena belum memakai perhiasan, hanya pada mahkotanya terdapat arca amithaba. Arca ini diduga berasal dari sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Arca Perunggu Maitreya, Budha, dan Awalokiteswara dari Komering Ketiga arca ini ditemukan di Sungai Komering. Berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Ketiga arca menunjukkan gaya seni Jawa Tengah. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Arca Siwa Mahadewa, Perunggu, dari Palembang Arca ini ditemukan di Palembang. Pahatannya menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-9 Masehi. Arca ini masih lengkap, memiliki 4 tangan, kedua tangan belakang memegang sebuah tasbih dan camara (alat untuk menghalau lalat), sedangkan tangan kanan depan dalam sikap witarka mudra, tangan kiri depan memegang sebuah kendi. Arca memakai upawita (selempang yang melintang dari bahu kiri ke kanan) ular, gelang bahu, gelang tangan, sebuah kalung, dan hiasan telinga. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit (di sisi kiri) dan kainnya berhias lipitan-lipitan halus. Sehelai kain harimau menutupinya hingga ke atas pinggangnya. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Arca Siwa Mahadewa, dari Tanah Abang, Muaraenim Arca yang sudah pecah pada bagian kepala dan sandaran atas ini mungkin menggambarkan Siwa Mahadewa. Badan arca ini sama dengan semua arca dari Candi I Tanah Abang, yaitu dari batu putih (batu kapur). Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan 4, tangan kanan belakangnya

memegang pisau bertangan panjang, tangan kiri belakang memegang tasbih. Semua arca Candi I Tanah Abang, memakai perhiasan berupa jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Gaya pahatan dan cirinya menunjukkan masa Jawa Timur awal sekitar abad ke-12 Masehi.

Arca Siwa Mahaguru, dari Muaraenim Temuan dari Candi I Tanah Abang yang lain adalah arca Siwa Mahayana yang mukanya sudah aus dan sandaran bagian kanan telah hilang. Tapi masih lengkap bagian badannya. Bertangan dua, tangan kanan memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi (komandalu). Kainnya polos, transparan, panjangnya sampai betis, sampurnya memakai simpul pita yang indah. Arca berdiri di atas padmasana yang permukaannya dihias dengan pola biji teratai. Perhiasannya seperti arca yang lain, terdiri dari jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Memakai selempang dada dan uncal yang panjangnya sampai lutut. Arca Leluhur I, dari Muaraenim Arca laki-laki ini digolongkan ke dalam kelompok arca leluhur atau arca yang merupakan perwujudan seseorang, jadi bukan menggambarkan dewa. Ini didasarkan atas tidak adanya atribut tertentu yang dapat menjadikan penentu sebagai arca dewa. Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan dua, kedua tangan terletak di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat bunga padma mekar. Rambut ikal di kedua bahunya memperkuat dugaan arca ini mempunyai gaya Jawa Timur. Di sekeliling tepi sandaran terdapat hiasan lidah api. Arca Leluhur II, dari Muaraenim Seperti juga arca Leluhur I, arca Leluhur II tidak mempunyai atribut tertentu yang menunjukkan identitas kedewaannya. Arca ini duduk bersila di atas lapik polos, kedua tangannya di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat benda bundar, mungkin menggambarkan bunga mekar. Berbeda dengan arca Leluhur I, arca ini digambarkan berbadan gemuk, terutama pada bagian perut, seperti pada perut Agastya atau Ganesha. Arca ini juga termasuk arca dengan gaya Jawa Timur. Arca Nandi, dari Muaraenim Selain 4 arca tokoh dewa dan leluhur, di Candi I Tanah Abang juga ditemukan arca nandi, yaitu wahana (hewan sapi tunggangan dewa Siwa). Arca nandi ini digambarkan duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, memakai kalung dengan bandul genta-genta kecil dan hiasan untaian manik-manik mengikat moncongnya. Gaya seninya mirip dengan gaya seni kerajaan Singasari dari abad ke-13 Masehi.

Stambha, dari Palembang Artefak ini disebut stambha, sejenis tiang, karena bentuknya mirip demikian, hanya terdiri dari beberapa

mahluk, yang saling menunggangi. Yang paling bawah adalah gajah, kemudian raksasa atau ghana, dan paling atas singa. Berbeda dengan arca-arca yang lain yang dibuat dari batu kapur, stambha ini dibuat dari andesit. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer, terutama di daerah India Timur pada abad ke-10 sampai ke-12 Masehi. Semua arca dari Candi I Tanah Abang masih in situ. Selain artefak dalam bentuk arca-arca, artefak Sriwijaya lain, ditemukan dalam bentuk keramik, porselin, dan manik-manik yang juga banyak ditemukan di daerah Palembang. Lokasi Kerajaan Sriwijaya Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di wilayah Asia Tenggara telah terjalin sejak lama. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut tentu akan melewati negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara senantiasa mengirimkan utusanutusannya ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan atau adanya hubungan dengan kaisar Cina. Tidak mengherankan, jika dalam kronik-kronik Cina banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara. Jatuhnya kerajaan Funan yang terletak di sepanjang sungai Mekong dan Phnom Penh (Kamboja), sebagai salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara, membuka bangkitnya kerajaam maritim di ujung barat Nusantara, sebagai kekuatan baru di Asia Tenggara, yaitu kerajaan Sriwijaya. Nama negeri-negeri di Asia Tenggara tersebut, biasanya ditulis dalam bahasa Cina yang memiliki kecenderungan berbeda jauh dengan nama aslinya. Oleh karena itu, para pakar peneliti sejarah Sriwijaya sepakat terhadap nama suatu kerajaan atau suatu tempat yang terdapat dalam catatancatatan Cina perlu diidentifikasi atau ditransliterasikan secara cermat, kemudian baru diperkirakan lokasinya, seperti istilah Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi. Para pakar sejarah Sriwijaya juga sudah menyepakati, baik Shih-li-fo-shi maupun San-fo-tsi merupakan sebutan bangsa Cina terhadap kerajaan Sriwijaya yang terletak di kawasan Asia Tenggara, seperti dalam laporan atau berita perjalanan mereka. Identifikasi lokasi kerajaan Sriwijaya yang paling lengkap diceritakan melalui catatan kisah perjalanan (pelayaran) pendeta Cina yang bernama I-tsing, dari Kanton (Cina) ke India, ia sempat singgah di negeri Sriwijaya. Setelah kembali dari India, ia menetap bertahun-tahun di Sriwijaya. Pada tahun 689 M, I-tsing sempat pulang ke Kanton lalu kembali ke Sriwijaya. Selama tinggal di Sriwijaya, antara tahun 689 M sampai tahun 692 M, ia menghasilkan dua buah buku, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Ta-tang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng chuan. Tiga tahun kemudian (695 M), barulah I-tsing benar-benar pulang ke Kanton atau tidak kembali lagi ke Sriwijaya. Dalam dua buku tersebut, I-tsing menceritakan letak dan keadaan Sriwijaya. Catatan pelayarannya dari Kanton ke Sriwijaya tahun 671 M, I-tsing menggambarkan letak kerajaan Sriwijaya sebagai berikut: Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan.... setelah kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Shi-li-fo-shih. Di sini saya berdiam selama 6 bulan untuk belajar sabdawidya (tata bahasa Sanskerta). Sribaginda (Sriwijaya) sangat baik kepada saya (Itsing). Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Mo-lo-yu (Melayu), tempat saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran menuju Chieh-cha (Kedah).... berlayar dari (Kedah) menuju utara selama lebih dari sepuluh hari, kami sampai di kepulauaan orang telanjang (Nikobar).... dari sini berlayar ke arah barat selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tan-mo-li-ti (Tamralipti, pantai timur India).

Dari tulisan atau berita I-tsing di atas, dapat diketahui bahwa pelayarannya dari Sriwijaya ke Kedah, ia sempat singgah di negeri Melayu. Artinya, negeri Melayu terletak di tengah jalur pelayaran antara Sriwijaya dengan Kedah. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685 M, ia berlayar dari Tamralipti (India) menuju Kedah. Nama Mo-lo-yu (Melayu) muncul untuk pertamakalinya ketika mengirimkan cinderamata negeri Melayu kepada kaisar Cina pada tahun 644 M. Negeri Melayu itu terletak di Provinsi Jambi sekarang ini. Ketika Itsing pertama kalinya berkunjung ke Sriwijaya, ia pergi juga ke negeri Melayu dengan naik kapal. I-tsing menuliskan, pelayarannya dari Sriwijaya ke Melayu memakan waktu 15 hari. Rute pelayaran dari Tamralipti (India) ke Sriwijaya tersebut, I-tsing menuliskan, nama-nama negeri di Asia Tenggara yang diuraikan secara berurut dari barat ke timur, nama Sriwijaya ditulis sesudah nama Melayu. Artinya, kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah timur atau tenggara kerajaan Melayu atau Jambi sekarang. Berikut petikan catatan perjalanan I-tsing ketika pulang dari India tahun 685 M. Tamralipti adalah (pelabuhan) kami naik kapal jika kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara dalam waktu dua bulan kami di Kedah. Tempat ini kini menjadi kepulauan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan purnama atau kedua. Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan lamanya kami sampai di negeri Melayu, yang kini menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di negeri Melayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan. Ketika I-tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di kerajaan Sriwijaya Hal ini berarti bahwa sungai di Sriwijaya yang dimaksud I-tsing itu cukup lebar sehingga dapat dilalui dan dimasukki kapal-kapal. Nia Kurnia Sholihat Irfan mengatakan, di sebelah timur atau tenggara Jambi yang mempunyai sungai lebar, satu-satunya tempat yang memenuhi syarat adalah Palembang dengan sungai Musinya. Jadi, waktu itu, diperkirakan pusat Sriwijaya terletak di tepi sungai Musi Palembang sekarang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian geomorfologi yang membuktikan Palembang pada abad ke-7 Masehi masih terletak di tepi laut. Catatan I-tsing yang mengatakan, Orang yang berdiri pada tengah hari di Sriwijaya tidak mempunyai bayang-bayang . Menurut Nia, tidak berarti bahwa lokasi Sriwijaya harus dicari tepat pada garis khatulistiwa (lintang nol derajat), melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat sebagai lokasi Sriwijaya, karena terletak pada posisi tiga derajat Lintang Selatan. Jadi masih dekat dengan khatulistiwa. Perlu diingat bahwa I-tsing biasa hidup di negerinya (Cina), bayang-bayang pada tengah hari cukup panjang. Dapat dipahami jika I-tsing mengatakan di Sriwijaya (maksudnya Palembang) tidak ada bayang-bayang pada tengah hari. Ditinjau dari data-data arkeologi, pendapat lokasi Sriwijaya di Palembang memperoleh bukti atau fakta yang kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang seperti Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Boom Baru, dan beberapa pecahan (fragmen) batu prasasti, serta batu-batu yang menceritakan siddhayatra (perjalanan suci). Pada salah satu pecahan prasasti yang ditemukan di Palembang terdapat keterangan mengenai perdatuan (wilayah inti raja). Prasasti Telaga

Batu misalnya, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan, baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, seperti putra mahkota, selir raja, para menteri, hakim, senapati (pejabat militer), sampai kepala pembersih istana, dan pelayan istana. Juga di Palembang banyak ditemukan arca Budha yang kini tersimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa Provinsi Sumatra Selatan maupun yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Pendapat Sekitar Pusat Kerajaan Di manakah istana atau pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya? Pertanyaan ini terus menghantui setiap kajian tentang Sriwijaya. Masalahnya Sriwijaya tidak ditemukannya istana yang fisiknya masih bisa dilihat hingga sekarang. Idealnya, istana suatu kerajaan menjadi rujukan penting untuk menentukan pusat pemerintahan dari kerajaan yang telah tiada. Banyak teori dan pendapat yang muncul mengenai lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya, tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Para peneliti dan pakar sejarah baik dari Indonesia maupun asing masing-masing berargumen untuk menetapkan lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya. Yang jelas apapun alasannya, keberadaan kerajaan Sriwijaya telah terbukti dan hampir tidak dipersoalkan lagi. Ia telah menjadi bagian penting yang mewarnai gerak sejarah Indonesia. Hanya, mengenai penetapan ibukota atau pusat pemerintahannya yang hingga kini masih menjadi polemik di antara para pakar sejarah. Mereka mengeluarkan berbagai pendapat tentang ibukota Sriwijaya. Pemikiran kritis mengenai lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya, pertamakali digagas oleh Samuel Beal tahun 1886. Beal berkesimpulan bahwa Sriwijaya berpusat di daerah yang dinamakan Pa-lin-fong (saat ini Palembang). Istilah Pa-lin-fong diperkirakan mulai muncul tahun 1225 berdasarkan kronik Chu-fanchi. Pendapat Beal didukung oleh: Coedes yang juga mengatakan Sriwijaya di Palembang. Ahli arkeologi R.C. Majumdar, dalam tulisannya Le Roia Syailendra de Suvarnadvipa tahun 1933, berpendapat bahwa Sriwijaya hendaknya dicari di pulau Jawa. Dan setelah pusat aktivitas Sriwijaya pindah, baru dicari di daerah Ligor, Muangthai Selatan. Sementara itu H.G. Quartich Wales, dalam tulisannya A Newly Explored Route of Ancient Indian Cultural Expansion tahun 1935, memperkirakan ibukota Sriwijaya pada awalnya ada di Chaiya, Provinsi Surat Thani, Mungthai Selatan. Selain Chaiya, Wales menunjuk Ligor sebagai pusat kegiatan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi berdasarkan kajian yang dilakukan Wales kemudian, ia menetapkan lokasi Sriwijaya di daerah Perak, Semenanjung Malaysia sekarang ini. Lain lagi pendapat J.L. Moens, dalam tulisannya rivijaya. Java en Kataha tahun 1973, semula ia menetapkan Kelantan (Malaysia) sebagai ibukota Sriwijaya, kemudian pindah ke daerah Muara Takus di pedalaman Sumatra bagian tengah. Pendapat yang dikemukakan Moens inipun didasari oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan arkeolog senior Indonesia, Soekmono, dalam tulisannya Early Civilization of South-east Asia tahun 1958, melihat kemungkinan kota Jambi sekarang sebagai pusat kegiatan Sriwijaya. Alasannya, kota Jambi bila dibandingkan dengan kawasan Palembang (dahulu) merupakan daerah yang sangat strategis. Sebab Jambi memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan untuk menjadi pusat kegiatan kerajaan maritim Sriwijaya. Dari dasar inilah Soekmono berpendapat Sriwijaya mampu dan memegang hegemoni maritim yang besar. Menurut Purbacaraka, pusat pemerintahan Sriwijaya berawal dari sungai Kampar Kanan dan Sungai

Kampar Kiri di desa Minangkabau, Sumatra Barat. Sedangkan Muhammad Yamin cenderung mengatakan pusat pemerintahan Sriwijaya berada di Palembang. Kesimpulan Nia Kurnia Sholihat Irfan, dalam bukunya Sejarah Sriwijaya yang terbit tahun 1983, senada dengan pendapat Beal, Coedes, dan Muhammad Yamin. Nia mengatakan bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, sedangkan Arlan Ismail berpendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berawal di Komering Ulu, Sumatra Selatan sebelum eksodus ke Palembang. Boechari, ahli epigrafi senior Indonesia, melakukan pembuktian lewat Prasasti Kedukan Bukit. Hasil analisisnya terhadap Prasasti Kedukan Bukit, dikatakan bahwa pada mulanya pusat kerajaan Sriwijaya berada di timur Bangkinang, di tepi sungai Kampar, Riau. Ini sesuai dengan berita I-tsing yang menunjukkan daerah sekitar khatulistiwa sebagai letak pusat kerajaan Sriwijaya. Dan di hulu Bangkinang, terdapat suatu kompleks percandian agama Budha, yaitu Candi Muara Takus di Provinsi Jambi. Dari sanalah 20 ribu pasukan Dapunta Hyang, bergerak lewat laut dan 1.312 rombongan lainnya melalui jalan darat. Di Mukha Upang, mereka bergabung menuju Melimbang (Palembang). Tepat tanggal 5 suklapaksa bulan Asdha tahun 604 Saka (16 Juni 682 M). Dapunta Hyang bersama pasukannya mendarat dan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan tanggal 16 Juni 682 M merupakan peletakan batu pertama suatu bangunan kota, rumah para pejabat kerajaan, dan peribadatan. Mukha Upang tersebut diperkirakan terletak di daerah Air Sugian sekarang (Lampung), sebagai lokasi pendaratan Dapunta Hyang, karena di daerah tersebut pada tahun 1988 telah ditemukan suatu situs Air Sugian yang banyak ditemukan manik-manik kaca, keramik Cina dan memiliki bentuk peradaban yang sudah maju. Setelah ada berita mengenai tentaranya yang melalui darat, barulah melanjutkan ke tempat yang dituju, yaitu Palembang. Oleh karena itu, hanya Palembang yang paling meyakinkan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Dalam Prasasti Telaga Batu, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, termasuk putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri sampai kepada pelayan istana. Jadi tidak diragukan lagi bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang. Menurut hasil penelitian Balai Arkeologi Palembang, jauh sebelum Sriwijaya ditemukan kembali sebagai nama sebuah kerajaan, di kalangan masyarakat Palembang dan Sumatra Selatan umumnya telah beredar mitos mengenai kebesaran Sriwijaya. Sebelum dibuktikan lokasi pusat Sriwijaya di Palembang, masyarakat sudah yakin lokasi pusat kerajaan ini berada di Palembang. Bukti tertulis mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di Palembang. Di antara prasasti yang ditemukan di Palembang adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Boom Baru. Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang pembangunan wanua (tempat tinggal) yang bernama Sriwijaya oleh Dapunta Hyang; Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) merupakan prasasti persumpahan yang juga menyebutkan nama-nama pejabat kerajaan mulai dari putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, sampai ke tukang cuci kerajaan; Prasasti Talang Tuwo bertanggal 23 Maret 684 Masehi berisi tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua mahluk; dan Prasasti Boom Baru juga merupakan prasasti persumpahan raja Sriwijaya. Dari keempat prasasti ini sudah cukup kuat untuk menempatkan pusat Sriwijaya di Palembang saat ini. Prasasti Telaga Batu merupakan bukti kuat karena prasasti persumpahan ini menyebut nama-nama pejabat yang disumpah sewajarnya

ditempatkan di ibukota dan ibukota tersebut tempat tinggal para pejabat tersebut. Bukti prasasti cukup menyakinkan Palembang merupakan pusat awal kerajaan Sriwijaya. Namun bukti tersebut perlu bukti arkelogis lain yang dapat mendukung dan menguatkan teori tersebut. Sebuah kota merupakan kumpulan dan tempat tinggal penduduk kota itu. Indikator kuat dari sebuah sisa pemukiman adalah barang-barang keramik dan tembikar karena barang-barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Di Palembang indikator pemukiman kuno yang berupa pecahan (fragmen) keramik banyak ditemukan di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Ladangsirap, Karanganyar, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Gedingsuro. Pecahan-pecahan keramik yang ditemukan di tempat-tempat tersebut sebagian besar berasal dari masa Dinasti T-ang (abad ke-8 sampai ke-10 Masehi), kemudian menyusul Dinasti Song (abad ke-10 sampai 13 Masehi) dan Dinasti Yuan (abad ke-12 sampai ke-14 Masehi) dari negeri Cina. Khusus untuk situs Talang Kikim, temuan keramik di rawa-rawa demikan padat. Ini mengindikasikan pemukiman pada masa lampau mengambil tempat di rawa-rawa berupa rumah tinggal yang didirikan di atas air. Kota Sriwijaya jelas dilengkapi pula dengan bangunan-bangunan keagamaan. Indikator adanya bangunan keagamaaan ditemukan di situs-situs daerah yang letaknya tinggi, yaitu situs Bukit Siguntang, Candi Angsoka, Pagaralam (Jalan Mayor Ruslan), Lemahabang (Sarang Waty), dan Gedingsuro. Dari situs-situs tersebut ditemukan arca-arca dari batu dan logam, stupika tanah liat, dan runtuhan bangunan bata. Sebagai sebuah kota yang pernah menjadi pusat agama Budha Mahayana, tentu berdiam para pendeta dan wihara-wihara. Situs yang diduga merupakan artefak wihara ditemukan di Lemahabang (Sarangwaty) dan Gedingsuro (pada bukit kecil di sebelah utara kompleks percandian). Stupika-stupika tanah liat dan arca-arca logam yang berukuran kecil (8-15 cm) tersebut, merupakan indikator bahwa stupika dan arca tersebut biasanya ditempatkan di Wihara. Daerah sebelah barat kota Palembang merupakan daerah penting untuk kajian kota Sriwijaya, karena di daerah ini cukup banyak artefak budaya masa Sriwijaya. Di mulai situs Bukit Siguntang yang merupakan situs keagamaan. Di tempat ini ditemukan sebuah arca Budha yang tingginya hampir 4 meter dan runtuhan bangunan bata yang diduga merupakan sisa bangunan stupa. Agak jauh ke arah utara dari Bukit Siguntang terdapat situs Talang Kikim dan Tanjung Rawah yang merupakan sisa pemukinan kuno; di sebelah selatan Bukit Siguntang terdapat situs Karanganyar, Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Purun, dan Kambang Unglen juga merupakan situs pemukiman. Situs Karanganyar merupakan bangunan dengan tiga buah kolam dan tujuh batang parit yang saling berhubungan. Areal Karanganyar terdapat Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Unglen, dan Kambang Purun. Situs Kambang Unglen merupakan situs penting karena situs ini ditemukan indikator industri manik-manik kaca yang ditemukan bersama pecahan keramik T'ang (abad ke-8 dan 10 Masehi) dan pecahan-pecahan prasasti abad ke-7 Masehi. Jadi berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang tersebut, yang dilandasi bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di kawasan Palembang, diduga seluruh Palembang sisi utara sungai Musi merupakan titik awal kota Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13 Masehi. Para ahli boleh berselisih pendapat. Tetapi para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) yang telah melakukan penelitian di sekitar Palembang sejak 1983, mengungkapkan fakta-fakta peninggalan berupa prasasti yang didukung oleh bukti-bukti artefak peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya, seperti arca, candi, keramik, dan serpihan kapal, umumnya banyak ditemukan di daerah Sumatra Selatan, khususnya Palembang.

Dalam pembuktian bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya secara ilmiah dikemukakan lewat temuan-temuan keramik yang tersebar di berbagai tempat di Palembang. Keramik-keramik yang ditemukan baik di Palembang barat (antara Bukit Siguntang dan Karanganyar) maupun di Palembang Timur (Gede Ing Suro dan sekitarnya), kebanyakan berasal dari abad ke-6 Masehi hingga ke-13 Masehi, pada rentang masa kejayaan Sriwijaya. Ada anggapan bahwa keramik-keramik itu juga berasal dari daerah lain. Tetapi, dengan ditemukannya keramik besar-besaran di berbagai tempat di sekitar Palembang semakin membuktikan bahwa benda-benda itu memang adanya di Palembang. Dari bukti keramik tersebut, menunjukkan Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Untuk memperkuat asumsi bahwa Sriwijaya memang di Palembang, tahun 1985, peneliti Sriwijaya Manguin membuat foto-foto udara. Dari foto-foto udara itu, terlihat jelas bahwa di daerah Bukit Siguntang, Karang Anyar, Palembang ditemukan bangunan air yang menyerupai kanal sepanjang 3.300 meter. Bangunan itu, tampak berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan garis-garis yang membujur dari utara ke selatan. Setelah diteliti, bentuk persegi panjang dan bujur sangkar yang tampak itu memperlihatkan bahwa di daerah tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan besar, karena telah memiliki tatakota yang baik dan terencana. Berdasarkan telaah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya yang keberadaannya dimulai abad ke-7 Masehi, banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa Palembang merupakan pusat ibukota Sriwijaya, dengan alasan, pertama, prasasti Sriwijaya paling banyak ditemukan di daerah Palembang. Kedua, prasasti tertua Sriwijaya (Prasasti Kedukan Bukit) ditemukan di Palembang. Ketiga, posisi Palembang berada di sebelah Selatan negeri Melayu (Jambi), sesuai catatan perjalanan pendeta I-tsing. Dan keempat, berdasarkan hasil pemotretan udara (penelitian geomorfologi), keberadaan pantai timur Sumatra pada sekitar abad ke-10 Masehi, ternyata saat itu, Palembang dan Jambi masih terletak di tepi pantai. Fakta ini kian memperkuat pendapat bahwasanya Sriwijaya adalah kerajaan maritim. Merujuk pada potensi alam dan temuan sisa-sisa hunian kuno serta kesinambungannya dengan keberadaan rumah panggung dan rumah rakit di Sumatra Selatan hingga sekarang, dapat diprediksi istana kerajaan Sriwijaya juga kemungkinan besar terbuat dari konstruksi kayu. Perkembangan Wilayah Kekuasaan Ketika kerajaan Sriwijaya mulai berdiri, wilayah kekuasaannya masih terbatas pada sekitar Palembang sekarang. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, letak Palembang pada abad ke-7 Masehi kurang menguntungkan jika ditinjau dari lalu-lintas pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan yang letaknya strategis adalah pelabuhan Melayu di Jambi. I-tsing mengatakan bahwa kapal-kapal yang berlayar ke negeri Cina, umumnya melalui pelabuhan Kedah dan Melayu. Dari Melayu kapal-kapal itu berlayar ke utara menuju Kanton (Cina). Namun, berdasarkan catatan I-tsing pula, ketika ia datang untuk yang kedua kalinya, kerajaan Melayu sudah dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Awalnya Sriwijaya hanya disinggahi oleh para pendeta Cina untuk urusan keagamaan, karena Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai pusat kegiatan agama Budha. Pendeta-pendeta Cina berziarah ke Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta atau menerjemahkan naskah-naskah Budha. Menurut Itsing, di Sriwijaya berdiam seorang guru agama Budha yang termasyur, ia bernama Syakyakirti. Dikatakan juga bahwa di Sriwijaya terdapat lebih dari 1.000 pendeta agama Budha yang rajin mempelajari dan meneliti ajaran Budha. Para pendeta tersebut mempelajari seluruh masalah secara nyata seperti di India. Oleh karena itu, pendeta I-tsing yang ingin pergi ke India, belajar di Sriwijaya dulu baru pergi ke India.

Pada awalnya, perkembangan bidang keagamaan di Sriwijaya, lebih maju dibandingkan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan. Sedangkan di Melayu dan Kedah, perkembangan ekonomi dan perdagangan lebih menonjol, dibandingkan dengan perkembangan agama, karena memang Melayu dan Kedah memiliki pelabuhan yang lebih strategis di Selat Malaka. Maka, satu jalan untuk mengembangkan negerinya, Sriwijaya mau tidak mau harus menguasai atau menaklukan Melayu dan Kedah. Tetapi sebelum menaklukkan Melayu dan Kedah, strategi kerajaan Sriwijaya adalah menguasai daerah di sekitarnya terlebih dahulu seperti Bangka, Tulang Bawang, baru Melayu, dan Kedah, sampai ke Kepulauan Riau dan Lingga. Bahkan sampai ke pulau Jawa, seperti yang tercantum dalam Prasasti Kota Kapur. Penaklukkan atau ekspansi awal yang dilakukan Sriwijaya adalah terhadap negeri-negeri yang terdekat dengan Sriwijaya. Setelah menundukkan Bangka, Lampung juga dapat dikuasai. Bukti Bangka dan Lampung pernah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya ditemukannya prasasti-prasasti persumpahan di daerah tersebut, yaitu Prasasti Kota Kapur di Bangka dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung. Setelah Bangka dan Lampung takluk, maka Sriwijaya terus memperluas ruang lingkup wilayah ekspansinya atas daerah-daerah sekitar dengan menguasai Melayu, penaklukkan ini bertujuan untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan Melayu di Selat Malaka yang saat itu memang mempunyai fungsi yang sangat strategis untuk mengembangkan perekonomian Sriwijaya. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, penaklukkan kerajaan Melayu oleh Sriwijaya diperkirakan terjadi sebelum tahun 682 M, sebab pada tahun 682 M tentara Sriwijaya sudah menguasai Minanga (Binanga), sebagaimana tercantum dalam Prasasti Kedukan Bukit. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan diikuti 20.000 balatentara. Dengan penguasaan negeri Melayu dan Minanga, maka daerah pantai timur Sumatra praktis telah berada dalam pengawasan kerajaan Sriwijaya. Bahwa negeri Melayu sudah benar-benar ditaklukkan oleh Sriwijaya, terbukti dengan ditemukannya prasasti persumpahan, yaitu Prasasti Karang Berahi di Jambi, serta pernyataan I-tsing, ketika pulang dari India tahun 685, negeri Melayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya. Kedah menjadi korban berikutnya, setelah menaklukkan Melayu, Sriwijaya menyeberang dari Selat Malaka untuk menduduki Semenanjung Malaka. Sasaran utamanya adalah negeri Kedah yang cukup ramai disinggahi oleh para pedagang asing. I-tsing mengatakan ketika ia pulang dari India tahun 685, Kedah sudah menjadi kekuasaanya kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya juga menguasai daerah Muangthai Selatan (775 M). Hal ini dibuktikan dari keterangan Prasasti Ligor yang ditemukan di Tanah Semenanjung Melayu (Thailand Selatan). Dalam Prasasti tersebut disebutkan seorang raja Sriwijaya memerintahkan pembuatan bangunan-bangunan Budha. Tahun 686 M, tentara Sriwijaya berangkat menyerang pulau Jawa. Pada waktu itu, kerajaan Taruma di Jawa Barat masih berdiri, sebab masih mengirimkan utusan ke negeri Cina pada tahun 669 M. Setelah ada penyerangan pasukan Sriwijaya tahun 686 M, nama Taruma juga menghilang dari catatan kronik Cina. Diperkirakan kerajaan Taruma juga menjadi korban ekspansi Sriwijaya. Setelah kerajaan Taruma sebagai pintu masuk ke pulau Jawa dikuasai, Sriwijaya juga dapat menaklukkan kerajaan di Jawa Tengah. Dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Sriwijaya mulai mendominasi jalur pelayaran dan perdagangan internasional saat itu. Setiap pelayaran dari Asia Barat dan Asia Timur atau sebaliknya. Mau tidak mau harus melewati teritorial kerajaan Sriwijaya. Penguasaan Sriwijaya atas jalur pelayaran strategis selama berabad-abad tentu harus didukung dan

dilindungi oleh pasukan armada yang kuat. Pasti, Sriwijaya harus menguasai teknologi perkapalan dan ilmu navigasi. Dengan penguasaan jalur pelayaran strategis dan mendominasi perdagangan, jelas menguntungkan kerajaan Sriwijaya untuk menarik pajak-pajak dari kapal yang masuk di wilayahnya. Pundi-pundi yang mengisi kas kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan kaya. Dampaknya, rakyat Sriwijaya dibebaskan dari segala macam pajak kepada negara. Apalagi sejak bertahtanya Raja Balaputra Dewa, bidang sosial budaya, politik, agama di kerajaan Sriwijaya berkembang sangat pesat. Balaputra Dewa menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan besar seperti kekaisaran Cina, dan India. Hubungan itu bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu, Balaputra Dewa berusaha meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya melalui pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Nalanda di India Selatan yang menyebutkan terdapat pelajar dan mahasiswa dari kerajaan Sriwijaya yang belajar berbagai ilmu pengetahuan di Nalanda. Juga, adanya seorang guru besar agama Budha di kerajaan Sriwijaya yang bernama Dharmakirti. Dengan pengembangan pengetahuan itu secara jelas membuktikan bahwa tingkat kehidupan sosial ini pun akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan kerajaan Sriwijaya. Pemerintahan, Militer, dan Sosial Secara teritorial, wilayah kekuasan Sriwijaya dibagi menjadi kedatuan dan perdatuan. Daerah-daerah inti milik raja (samaryyada) sendiri terletak di sekitar ibukota disebut kedatuan yang diperintah oleh datu yang bergelar nisamwardhiku. Datu yang berasal dari lingkungan keluarga raja sendiri ini kedudukan mereka langsung di bawah raja. Mereka ini dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kelanggengan kekuasaan raja, karena mereka mempunyai hak warisan yang sah dari raja yang sewaktuwaktu dapat digunakan sebagai alasan untuk merebut mahkota kerajaan. Sedangkan daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh raja disebut perdatuan. Perdatuan ini diperintah juga oleh seorang datu dengan gelar nilagalarku. Datu yang bergelar nilagalarku bukan anggota keluarga raja. Namun, mereka diberi otonomi untuk menjalankan basis kekuasaannya sendiri di wilayah perdatuan tersebut. Ia tidak di bawah perintah seorang pejabat dari pusat yang menduduki daerahnya dengan kekuatan senjata (militer), namun diberi ancaman kutukan yang mengerikan bagi mereka yang tidak setia kepada raja Sriwijaya, seperti yang tertulis dalam Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu. Secara teritorial, wilayah laut tempat kelompok-kelompok bajak laut (nomad laut) yang otonom juga dimasukkan dalam sistem perdagangan kerajaan Sriwijaya. Para kepala bajak laut itu mendapat bagian yang ditentukan raja dari hasil transaksi perdagangan maritim yang diadakan. Agar kepentingan kerajaan jangan dirugikan, kelompok bajak laut yang menjadi unsur perdagangan inilah yang digunakan oleh raja untuk mengamankan lalu-lintas perdagangan laut. Secara tidak langsung, para bajak laut ini juga merupakan bagian dari sistem pertahanan kerajaan Sriwijaya. Kronik Chao-ju-kua menceritakan hal ini, Sriwijaya menguasai laut dan mengawasi lalu-lintas perahuperahu dagang orang asing di Selat Malaka. Jika ada kapal dagang melalui selat ini tanpa singgah, para pedagang asing tersebut acapkali diserang dan dikuasai. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan negeri ini menjadi pusat pelayaran dan perdagangan besar. Diduga penyerangan terhadap kapal dagang asing ini dilakukan oleh bajak laut. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di zaman kuno atau klasik Indonesia, Sriwijaya

menunjukkan kekhasanya. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang berasal dari abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya yang muncul sebagai satu kekuatan baru. Sebagian dari prasastiprasasti tersebut mengandung ancaman kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja sendiri. Hal diperkirakan karena keluarga yang diancam itu memang berada di luar pengawasan langsung. Mereka adalah anak-anak raja yang diberi kekuasaan di daerah-daerah (datu). Keadaan itu jika benar, menunjukkan satu sikap keras dari raja yang sedang berkuasa. Suatu sikap yang selain keras juga tegas kepada penguasa daerah. Sikap demikian tidak mengherankan untuk suatu negara yang hidup dari perdagangan. Dari Prasasti Telaga Batu yang diterjemahkan oleh J.G. de Casparis, seorang epigrafer, mencatat adanya suatu struktur pemerintahan, birokrasi, dan stratifikasi sosial pada masa Sriwijaya. Interpretasi dari terjemahan tersebut adalah raja sebagai pemimpin dan penguasa tunggal kerajaan, pemimpin daerah (datu-datu) adalah putra mahkota dan para pangeran, sedangkan pelaksana pemerintahan atau birokrasi adalah hakim, bupati, senapati, mandor, dan juru tulis kerajaan. Sedangkan stratifikasi sosial di kerajaan Sriwijaya, di antaranya, adalah nakhoda, saudagar atau pedagang, pandai logam, tukang cuci raja, budak, nelayan, dan petani di daerah pedalaman yang dikuasai kerajaan. Menurut P.J. Suwarno, dalam sistem kekuasan kerajaan Sriwijaya, raja tetap memegang otoritas tertinggi. Raja dikelilingi oleh keluarganya sebagai bawahan dan stafnya. Mereka itu adalah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra raja kedua), rajakumara (putra raja ketiga), dan rajaputra (putra raja keempat). Kedudukan putra mahkota dipisahkan dari para pangeran yang berasal dari istri raja (selir) yang lebih rendah derajatnya dan para pangeran tersebut tidak berhak atas tahta kerajaan. Namun pangeran-pangeran Sriwijaya ini tetap diberi daerah-daerah kekuasaan milik raja. Secara hirarkis, mereka diperintah dan menjadi bawahan langsung dari raja. Sedangkan di lingkungan pusat kerajaan dibentuk administrasi pusat yang terdiri kalangan birokrasi sebagai pelaksana kerajaan. Mereka itu adalah dandanayaka, (hakim raja yang melaksanakan kekuasaan raja untuk mengadili), bhupati (bupati), nayaka (pejabat pemungut pajak), dan prataya (pengurus harta benda milik keluarga raja). Prataya merupakan staf pribadi raja yang penting, sebab dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan istilah haji-prataya (prataya raja). Raja memiliki wilayah pribadi di sekitar ibukota yang merupakan basis kehidupan ekonomi keluarga raja. Di antara penghuni ibukota kerajaan adalah para hulun haji (budak raja) yang di bawah pimpinan murdhaka. Penjelasan mengenai jabatan bhupati dalam struktur kerajaan Sriwijaya, tidak dijelaskan, apakah sama fungsinya dengan bupati sekarang. Pejabat-pejabat lain di pusat kerajaan adalah kumaratya (para menteri yang tidak berdarah bangsawan alias bukan keturunan raja), kayastha (juru tulis kerajaan), sthapaka (elite religius yang menjadi pengawas teknis pembangunan patung-patung dan bangunan suci), tuha an watakwuruh (pengawas perdagangan), dan puhawang (jawatan angkutan). Pedagang dan pengrajin merupakan pengelompokkan profesi. Mereka dimasukkan dalam organisasi pemerintah yang diawasi oleh tuha an watakwuruh. Mereka mempunyai organisasi yang juga otonom dalam batas-batas pengawasan pemerintah pusat. Mereka mengumpulkan barang dagangan dari hasil kerajinannya yang diawasi dan dikontrol oleh tuha an watakwurah ini dan kemudian baru disalurkan keluar, sehingga para pedagang dan pengrajin mudah memasarkan barang dagangannya. Jabatan tuha wakwurah dan puhawang merupakan salah satu konsekuensi dari sifat komersial kerajaan Sriwijaya. Di bidang militer, untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Sriwijaya membentuk pasukan militer yang digunakan sebagai alat penunjang kewibawaan yang ditegakkan dengan perjanjian-perjanjian dan

kutukan-kutukan. Dalam struktur militer di kerajaan Sriwijaya, komando tertinggi di tangan raja, kemudian pejabat militer di bawah raja adalah parwanda yang tinggal di ibukota kerajaan, pratisara, dan senapati. Walaupun pejabat militer tinggi dalam sistem pertahanan kerajaan, parwanda ini tidak memimpin langsung para tentara, tetapi bertanggung jawab langsung kepada raja. Kalau sekarang, parwanda ini, diperkirakan, fungsinya setingkat dengan menteri pertahanan. Selain jabatan parwanda, pemimpin militer lainya adalah pratisara yang langsung menguasai atau memimpin pasukan atau tentara yang dikerahkan dari hulun-haji (budak). Daerah kekuasaan pratisara ini di kawasan kedatuan yang dipimpim oleh kalangan keluarga raja, sedangkan pemimpin tentara di daerah-daerah taklukan (perdatuan) dipimpin oleh senapati. Baik pratisara maupun senapati ini di bawah pimpinan parwanda. Integrasi Birokrasi Pemerintahan Pusat-Daerah Kebijakan birokrasi pemerintah dalam sistem penyaluran komoditas perdagangan menarik rakyat pedalaman untuk mengumpulkan barang dagangannya untuk ditampung di pasar-pasar lokal, kemudian dipasarkan lebih lanjut ke daerah pelabuhan-pelabuhan. Dari pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra, barang-barang dagangan itu diteruskan ke pasar internasional lewat laut. Maka bagi Sriwijaya, keamanan laut merupakan hal yang penting, dan pelaksanannya diserahkan kepada kelompok-kelompok nomad-laut yang ketua-ketuanya dimasukkan dalam organisasi dagang Sriwijaya. Dengan demikian timbullah jaringan saling ketergantungan antara rakyat di pedalaman dengan pedagang-pedagang di pelabuhan-pelabuhan serta di laut wilayah kekuasan Sriwijaya. Tidak mengherankan kalau hubungan dagang dengan luar negeri berkembang pesat, sebab kebutuhan pokok para pedagang dipenuhi, yaitu keluar masuk komoditas perdagangan dan keamanan pelayaran lancar dan terjaga. Integrasi itu semuanya terikat pada raja, selain memiliki kekuatan militer yang handal baik di darat maupun di laut, juga memiliki kewibawaan mistis, yang ditegakkan dengan kultus individu sebagai raja, pahlawan militer, kepala suku, dan sebagai sang pemberi kemakmuran kepada rakyat. Untuk keperluan ini; raja antara lain mengadakan pesta yang dihadiri kepala-kepala suku taklukan dan menyembelih seekor lembu untuk memperkokoh ikatan mereka. Jadi meskipun sudah ada pembagian tugas dalam birokrasi pemerintahan, semuanya masih berpusat pada wibawa raja baik yang bersifat militer, maupun yang bersifat mistis. Semua sistem birokrasi pemerintahan yang ada itu merupakan kepanjangan dari rumah tangga istana raja, bahkan birokrasi pemerintah daerah sebenarnya juga merupakan perpanjangan tangan raja untuk menguasai rakyat. Meskipun rakyat dimasukkan dalam jaringan perdagangan internasional, keuntungan pada dasarnya untuk raja, sedangkan bawahan dan rakyat mendapat bagian dari raja, maka raja juga disebut bank umum . Pola birokrasi pemerintah Sriwijaya ini mungkin dapat disebut sebagai pola birokrasi pemerintah komersial tradisional, sedangkan hubungan daerah-pusat diatur secara otonom seperti yang dikenakan pada perdatuan dan kelompok pedagang serta pengrajin, yang masing-masing mempunyai organisasi otonom dengan pengawasan dari pusat secara magis (kutukan) dan kelembagaan (tuha an watakwurah); dan dekonsentris seperti yang dikenakan pada kedatuan dan kelompok nomad-laut, keduanya tidak mempunyai otonomi, sebab organisasinya digabung dengan organisasi pusat yang langsung di bawah raja.

Raja-raja Sriwijaya Raja-raja yang pernah berkuasa dan memerintah Sriwijaya sampai saat ini masih menyimpan teka-teki besar. Walaupun begitu, dari hasil interpretasi para peneliti terhadap prasasti-prasasti Sriwijaya, beritaberita Cina, serta catatan-perjalanan orang-orang Arab-Persia telah memberikan sedikit gambaran ihwal para penguasa atau raja-raja yang memerintah kerajaan ini. Paling tidak, sejak tahun 683 Masehi disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit sampai tahun 1044 Masehi yang tertera pada Prasasti Chola. Penyebutan tahun yang sama (1044 Masehi) pada tabel di atas, adalah tahun pembuatan Prasasti Leiden dan Chola yang menyebutkan adanya raja-raja Sriwijaya; Sri Sudamaniwarmadewa, Marawiyayatunggawarman, dan Sri Sanggaramawijayatunggawarman, bukan masa kekuasaan ketiga raja Sriwijaya tersebut. Sedangkan berdasarkan naskah kuno Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Naskah ini merupakan naskah kontroversi karena dianggap tidak otentik sebagai sebuah sumber sejarah, karena naskah ini terkesan telah maju dalam metodologi penulisan suatu karya tulisan sejarah, padahal kebanyakan naskah yang dibuat pada masa itu masih didominasi oleh hal-hal yang berbau mitos, sage, legenda, irasional yang dicampurkan dengan realitas sejarah yang ditulis tahun 1675 Masehi yang dikodifikasi oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat yang ditemukan oleh peneliti naskah kuno Atja. Naskah ini kemudian diteliti ulang oleh epilog Edi S Ekadjati dari Universitas Padjadjaran Bandung yang dimuat dalam majalah Analisa Kebudayaan, 1982/1983. Th.III.No.2. Sayangnya, naskah ini tidak mencantumkan peristiwa yang terjadi (kronologi) serta angka tahun raja-raja Sriwjaya yang berkuasa. Perekonomian Salah seorang peneliti perkembangan sejarah Sriwijaya dari segi ekonomi dan perdagangan adalah W. Wolters, seorang guru besar sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dalam bukunya Early Indonesian Commerce, ia menerangkan bahwa meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang penduduknya relatif sedikit, negeri ini mampu mengerahkan sumberdaya manusia dari pemukimanpemukiman yang tersebar di selatan Selat Malaka. Ia mengatakan, Palembang hanyalah pusat. Tujuan ekspedisi angkatan laut Sriwijaya dengan menaklukkan Kedah dan pelabuhan-pelabuhan vital lainnya bukan sekedar meluaskan teritorial, tetapi untuk menduduki tempat-tempat strategis dalam jalur perdagangan utama. Penguasa-penguasa lokal dibiarkan terus berkuasa sebagai bawahan Sriwijaya. Penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari sektor perdagangan, seperti komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor tersebut, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempahrempah, dan kemenyan. Sedangkan ke negeri Cina, Sriwijaya mengekspor gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, kapas, cula badak, wangiwangian, bumbu masak, dan obat-obatan. Barang-barang tersebut bukan produksi Sriwijaya dalam negeri Sriwijaya seluruhnya. Tapi, mungkin ada yang berasal dari pertukaran barang dengan negara lain yang punya hubungan degang dengan Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarah Dinasti Sung), menyebutkan bahwa Sriwijaya kala itu sudah mempunyai 14 kota dagang. Menurut berita Cina dan berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya adalah

cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra. Dari penelitian arkeologi di wilayah Palembang, ditemukan bukti-bukti yang menunjang data sumber tertulis mengenai komoditas perdagangan masa Sriwijaya seperti di atas. Temuan yang berkaitan dengan sarana perdagangan dan pelayaran berupa pecahan (fragmen) perahu dan mata uang Cina. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis komoditas, misalnya gerabah, keramik, manik-manik, dan damar. F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh, menyatakan ada dua faktor yang menyebabkan Sriwijaya mampu menjaga kelestarian dominasinya atas Selat Malaka yang strategis tersebut. Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai sebagai daerah bawahannya. Faktor kedua adalah adanya hubungan penguasa Sriwijaya dengan negara-negara besar lainnya (Cina dan India). Hubungan Sriwijaya dengan negara Cina, India, dan Arab terjalin dengan baik. Catatan Hsin-tang-shu dan Sung-shih, banyak mencatat kedatangan utusan dari Sriwijaya. Utusan Sriwijaya pertama kali datang ke negeri Cina tercatat dalam kronik Cina pada tahun 670 M, dan sejak tahun 1178 M, utusan Sriwijaya tidak pernah datang lagi ke negeri tirai bambu ini. Juga tercatat bahwa kapal-kapal Ta-shih (negeri Arab dalam penyebutan orang Cina), banyak berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, dan bahkan di setiap kota dagang yang di bawah kekuasaan Sriwijaya telah ada pemukiman pedagang-pedagang Islam. Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, sangat menguntungkan kedudukan Sriwijaya. Oleh karena itu, pada masa kekuasaan raja Balaputra Dewa, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu kota Ligor (Prasasti Ligor tahun 775 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota Sriwijaya di Sumatra Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra (daerah perbatasan Thailand dan Malaysia). Ibnu Faqih, dari negeri Arab, yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 M, menyebutkan bahwa kota Sribuza (Sriwijaya) sudah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Di pelabuhan Sribuza terdapat segala macam bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, selain bahasa penduduk aslinya sendiri. Dalam catatan Abu Hasan Ali Al-Mas'udi (dari Arab) yang berjudul Muruju'z-Zahab Wa Ma-Adinu'lJauhar tahun 943 M, tercantum keterangan mengenai kerajaan sangmaharaja yang meliputi Sribuza (Sriwijaya), Qalah, dan pulau-pulau lain di Laut Cina. Tentaranya tak terhitung banyaknya. Dibutuhkan waktu dua tahun jika kita akan mengelilingi kerajaan Sribuza. Kerajaan itu banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi, seperti kapur barus, cendana, cengkeh, lada, dan minyak kestruri. Kekuatan Maritim Ketika berbicara mengenai Sriwijaya, pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang kemaritiman. Tak pelak lagi berdasarkan kisah sejarahnya, Sriwijaya telah malang-melintang di perairan Asia Tenggara sampai ke daerah Madagaskar di selatan benua Afrika. Sebuah kajian masa lampau, memperoleh bukti bahwa banyak nama-nama tempat di pantai Campa dan Annam (Vietnam sekarang) berasal dari bahasa Melayu. Hal ini mendukung pendapat pelayaran orang-orang Melayu ke negeri Cina memang dilakukan oleh pelaut-pelaut Melayu dengan menggunakan perahu sendiri.

Hegemoni Sriwijaya atas Selat Malaka dan Laut Jawa selama berabad-abad sudah tentu harus ditopang oleh armada laut yang kuat. Untuk mendukung kekuatan ini, teknologi perkapalan dan ilmu navigasi harus ada. Salah seorang peneliti Sriwijaya berkebangsaan Perancis, Pierre Yves Manguin, mengatakan Sriwijaya sudah menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Provinsi Sumatra Selatan menyimpan banyak potensi situs artefak perahu. Hal ini dibuktikan dari 12 situs perahu kuno di Indonesia 5 di antaranya berada di Sumatra Selatan, yakni situs Tanjung Jambu. Samirejo, Kolam Pinisi, Tulung Selapan, dan Karanganyar, Pada sekitar tahun 1980-an, di satu bagian tebing sungai Lematang di dusun Tanjung Jambu, Kecamatan Merapi Lahat, ditemukan papan perahu kuno yang panjangnya berkisar 3,75 cm, lebar 21 cm, dan tebal 2,4-2,6 cm. Lalu tahun 1987, di Samirejo, di desa Mariana-Musi Banyuasin ditemukan bangkai perahu kuno Pada saat ditemukan kondisi bangkai perahu terletak pada dasar sungai tua yang dahulunya merupakan anak sungai Musi. Ukuran terpanjang papan 10,93 meter dan terpendek 3,5 meter dengan ketebalan 3,5 cm dan lebar 23 cm. Di situs Kolam Pinisi yang terletak di kaki Bukit Siguntang ditemukan juga bekas struktur bangunan perahu yang panjangnya sekitar 2,5 meter dengan ketebalan papan 5 cm dan lebar 20-30 cm. Pada tahun 1992, ditemukan bangkai perahu kuno di dusun Tulung Selapan, OKI. Diduga perahu itu berasal dari abad ke-5 dan ke-8 Masehi. Kemudian di situs Karanganyar (sekarang TPKS) ditemukan potongan papan berukuran panjang 60 cm dengan ketebalan 3 cm. Mengenai bentuk dan konstruksi kapal pada era Sriwijaya terlihat pada relief-relief (lukisan yang dipahatkan) di dinding Candi Borobudur yang terletak di pulau Jawa. Di antara 11 relief tersebut, menurut pengamatan peneliti van Erp (1923), ada tiga jenis, yakni perahu lesung yang sangat sederhana, perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik. Sedangkan van der Heide membuat tipologi berdasarkan jumlah tiang yang dipakai, yakni perahu dayung tanpa tiang, perahu bertiang tunggal tanpa cadik, perahu bertiang tunggal tanpa cadik dengan tiang yang terdiri dari dua buah kaki, perahu bertiang tunggal dengan cadik, dan perahu bertiang ganda dengan cadik. Relief kapal-kapal besar tersebut memperlihatkan variasi dalam bentuk, nampak sekali teknologi pembuatan kapal-kapal Sriwijaya tersebut sudah maju. Bobot kapal Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang sekitar 40 meter. Kapasitas kapal itu mampu menampung penumpang sampai 1000 orang, belum termasuk muatan barang. Kapal jung Cina yang berlayar pada abad ke-16, ketika kerajaan Sriwijaya sudah punah, diduga merupakan tiruan bentuk kapal Sriwijaya. Karena, sebelum abad ke-9 Masehi, negeri Cina tak pernah punya kapal-kapal antarsamudra seperti yang dimiliki armada kerajaan Sriwijaya. I-tsing yang mencatat perkembangan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi mengatakan, pelayaran orang-orang Melayu di Sumatra ke negeri Cina memang dilakukan pelaut-pelaut Melayu menggunakan perahu sendiri. Kajian Wolters, dari Cornell University, mengenai abad-abad pra-Sriwijaya pun membawa pada kesimpulan yang dimaksud dengan The Shippers of the Persian' trade adalah orang-orang Melayu. Orang Melayu memang pelaut ulung, sehingga orang Portugis membuat buku panduan laut (roteiros) berdasarkan petunjuk-petunjuk dari pelaut Melayu. Ketangkasan bangsa Melayu sebagai pelaut ulung hingga sekarang masih tersisa, misalnya seperti yang masih dapat disaksikan pada kepiawaian sukubangsa Melayu di masyarakat Palembang yang masih bergelut dengan sungai Musi dan di daerah Kepulauan Riau. Bukti tertulis mengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Sriwijaya disebutkan

dalam prasasti Sriwijaya, berita Cina, dan berita Arab. Prasasti dari zaman Sriwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu sebagai alat transportasi utama adalah Prasasti Kedukan Bukit. Dalam Prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 balatentara dan 200 peti perbekalan (logistik) yang diangkut dengan perahu-perahu. Apabila dibandingkan dengan perahu pinisi yang dapat mengangkut 500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hyang dalam ekspedisinya tersebut, sekurang-kurangnya dibutuhkan 40 perahu yang seukuran dengan perahu pinisi. Tidak ada satupun sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa orang laut . Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur pulau Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai Selatan. Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka orang laut dalam arti yang sesungguhnya. Berita Cina yang berasal dari tahun 1225 M menguraikan tentang kehidupan rakyat di kerajaan Swarnabhumi (Sriwijaya). Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Ketika akan perang dengan kerajaan lain, mereka berkumpul dan memilih sendiri panglima dan pemimpinnya. Walaupun keperluan mereka dipenuhi, semua persenjataan dan perbekalan ditanggung mereka masingmasing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain, mereka sulit dicari tandingannya. Mungkinkah orang laut yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu? Sebagai orang laut , masyarakat maritim Sriwijaya bergaul dan berdagang dengan berbagai bangsa di Asia Tenggara. Dampak, adanya hubungan dengan daratan Asia Tenggara, membawa suatu kemajuan dalam teknologi pembuatan perahu mereka. Berabad-abad setelah keruntuhan Srwijaya, di seluruh perairan Indonesia sekarang ini, banyak ditemukan reruntuhan perahu atau kapal yang tenggelam atau kandas. Dari reruntuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu wilayah budaya Asia Tenggara dan wilayah budaya Cina. Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung kapal) perahu berbentuk seperti huruf V, sehingga bagian lunas-nya (bentuk bagian dasar yang membulat) berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk ukuran masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, teknik menyambung antarpapan mengikatnya dengan tali ijuk. Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini, diberi 4 lubang, menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubanglubang itu, tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak dari kayu atau bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn-plank and lashed-lug technique). Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo, Mariana, dan Kolam Pinisi di kawasan Palembang, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Indonesia, dan negara jiran (Malaysia), ada kesamaan yang dapat kita cermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu atau kapal yang ditemukan itu, antara lain; teknik ikat, teknik pasak dari kayu atau bambu, teknik gabungan ikat dan pasak dari kayu atau bambu, dan perpaduan teknik pasak dari kayu dan dari paku besi. Melihat teknologi rancangbangun perahu atau kapal tersebut, dapat diketahui tanggal pembuatannya. Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak dari kayu atau bambu dalam

pembuatan perahu atau kapal di Nusantara berasal dari sumber sejarah bangsa Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut jung (berkapasitas lebih dari 600 ton) dibuat tanpa sepotong besi pun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak dari kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut, sampai sekarang masih tetap ditemukan di Indonesia, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton. Kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi negeri Cina mempunyai ciri-ciri khas, antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu atau kapal dibuat berpetak-petak dan dipasang sekat-sekat yang struktural, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, serta mempunyai kemudi sentra tunggal. Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Varian dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal pinisi dan beberapa perahu tradisional di berbagai daerah di Indonesia. Pada perahu pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara. Akan tetapi, jangan dilupakan perahu tradisional yang pernah berlalu-lalang di sungai Musi, yaitu perahu kajang. Perahu kajang adalah jenis perahu sungai yang dibuat dari kayu dengan ukuran yang terpanjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 3 meter. Sampai sekitar tahun 1980-an, jenis perahu kajang yang berukuran besar masih dimanfaatkan penduduk di daerah hulu Sumatra Selatan, yakni daerah Kayuagung, untuk mengangkut tembikar produk Kayuagung yang dipasarkan di Palembang. Sejalan dengan kurangnya minat masyarakat memakai barang-barang tembikar, kian lama perahu kajang jenis yang besar berkurang jumlahnya, bahkan sekarang dapat dikatakan sudah punah. Data runtuhan perahu Sriwijaya yang ditemukan di situs Samirejo, boleh jadi merupakan jenis perahu kajang yang berukuran besar. Demikian juga yang ditemukan di situs Tulung Selapan, Sungai Buah, dan Kolam Pinisi yang semuanya terletak di kawasan Palembang. Agama dan Budaya Sumber pengetahuan tentang agama Budha di Sriwijaya, juga diketahui dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negeri, yaitu dari orang Cina, Arab, dan India yang mengunjungi kawasan Nusantara dulu. Namun, prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa yang berasal dari abad ke-4 Masehi hingga pra-abad ke-7 Masehi tidak terlalu banyak memberikan informasi. Dari prasasti itu, hanya diketahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India (indienized), seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Diperkirakan raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu, tetapi berdasarkan penemuan patung-patung Budha periode tersebut, dapat disimpulkan pemeluk agama Budha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit. Daerah Sumatra Selatan, terutama Palembang, selama ini dikenal dengan peninggalan arkeologis dari masa Sriwijaya. Tinggalan arkeologis dan artefak yang bersifat keagamaan sebagian besar berasal dari agama Budha, sedangkan dari agama Hindu relatif tidak banyak. Bukti-bukti arkelogis pada masa sekitar abad ke-7 dan ke-9 Masehi, di Sumatra Selatan menunjukkan hadirnya dan perkembangan agama Budha

lebih pesat. Informasi paling tua tentang keberadaan agama Budha di Jawa dan Sumatra didapat dari catatan pendeta Cina bernama Fah-Hien, yang melakukan perjalanan dari Ceylon (Srilanka) ke Cina pada tahun 414 M, karena kapalnya rusak, ia terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye-Po-Ti. Sampai sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu pulau Jawa atau pulau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah pulau Jawa (Jawadwipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Budha di negeri Ye-Po-Ti itu, walaupun cuma sedikit. Sesudah abad ke-7 Masehi, sejarah perkembangan agama Budha di di kawasan wilayah Asia Tenggara mulai jelas. Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-7 Masehi, I-tsing mencatat dengan lengkap perkembangan ajaran agama Budha di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya pada ' rumah agama Budha di India utara, tempat I-tsing tinggal dan belajar selama lebih dari sepuluh tahun. Selama menetap di Sriwijaya, I-tsing menerjemahkan naskah agama Budha, antara lain, 500.000 stanza kitab Tripitaka berbahasa Sanskerta ke bahasa Cina. Dari catatan I-tsing diketahui, selain menemukan perbedaan, ia juga menemukan banyak kesamaan antara agama Budha di India dan di Sriwijaya. I-tsing menghabiskan hidupnya, sebagai pendeta, untuk mempelajari agama Budha dan keadan biarawan di India dan Sriwijaya. Tentang kehidupan biarawan ini tercatat di dua karya bukunya, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Tatang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng Chuan. Bila dibandingkan catatan Fah-Hien, catatan I-tsing lebih lengkap mengemukakan perkembangan agama Budha yang telah dibangun dengan sangat cepat di pulau Jawa dan pulau Sumatra. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama Budha terkenal yang pergi ke negeri di sebelah barat (Sriwijaya). Diceritakannya, kehidupan biarawan Budha pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Ia mengatakan pendeta dari Jawa dan Sumatra adalah cendikiawan bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah pendeta Janabhadra dari Jawa yang tinggal di Sriwijaya. Ia merupakan guru bagi pendeta Cina dan membantu menerjemahkan ajaran Budha ke dalam bahasa Cina. Bahasa yang digunakan oleh pendeta Budha di Sriwijaya adalah bahasa Sanskerta. Bahasa Pali (bahasa yang menurunkan bahasa Sanskerta) tidak digunakan. I-tsing menjelaskan, agama Budha yang dipeluk di seluruh Sriwijaya, kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di negeri Melayu ada sedikit umat Budha yang mengadopsi Mahayana. Aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana mencapai kepulauan di Laut Selatan (istlah I-tsing untuk menyebutkan kawasan kepulauan di Sumatra dan Jawa). I-tsing mengatakan, di kawasan ini hampir secara universal aliran Hinayana dan Mahayana diadaptasi. Ia tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut keduanya. Dari telaah dua bukunya, I-tsing nampaknya tidak terlalu dalam mempelajari masalah filosofi buddhis, melainkan lebih tertarik pada kehidupan dan tugas-tugas yang diemban oleh para biarawan. I-tsing mengatakan, bahwa Hinayana lebih berkembang di Sumatra dan Jawa. Sedangkan di negeri Melayu yang terletak di tengah-tengah pesisir timur Sumatra, ada pula penganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang pendeta dari India yang bernama Dharmapala ke negeri Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Pada awal abad ke-20 Masehi, ditemukan dua prasasti di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang ditemukan di Viengsa, Semenanjung Melayu, berangka tahun tahun 775 M, memuat keterangan salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha, yakni Bodhisatwa, Avalokitesvara, dan Vajrapani.

Selain itu, ditemukan plat emas bertuliskan beberapa nama Dyani Budha yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana. Dari berita I-tsing tersebut, jelas kala itu Sriwijaya menjadi pusat agama Budha. Di Sriwijaya terdapat sebuah lembaga perguruan tinggi Budha yang tidak kalah besar dengan perguruan tinggi di Nalanda, India. Lebih dari 1000 pendeta belajar ajaran Budha. Tata upacara ajaran Budha sama dengan di India, kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar di Sriwijaya. Dari berita itu, jelas Sriwijaya adalah pusat agama Budha Mahayana yang terbuka dan menerima gagasan baru. Oleh karena itu, ketika musafir-musafir Cina yang ingin belajar di India, pasti singgah dulu di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan (belajar) seperti yang dilakukan oleh I-tsing sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, Budha Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat di sekitar Palembang yang menyebutkan Dapunta Hyang berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib (sidhayatra) guna keselamatan dan kemajuan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, prosesi ritual semacam itu merupakan upacara bangsa Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita lain, Mahayana yang berkembang kala itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ke-7 Masehi juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari keterangan, salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi dalam ajaran Budha adalah wajrasarira; tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana. Semua ini menunjukkan, pada tahap permulaan, masih ada hubungan yang erat antara ajaran Budha Sriwijaya dan India. Hubungan ini makin lama makin mengurang. Hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf internasional. Raja Sriwijaya saat itu bernama Sri Sudamaniwarman yang mengaku berasal dari Dinasti Syailendra. Pada saat Sriwijaya mendapat ancaman dari penguasa Jawa, politik Sudamaniwarman adalah mengadakan persahabatan dengan dua negara sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara, yaitu kekaisaran Cina dan Chola di India. Selain elite religius pendeta agung Syakyakirti, pada masa pemerintahan raja Sudamaniwarman, salah seorang pendeta tinggi dan tergolong ahli di Sriwijaya bernama Dharmakirti pernah mengeritik kitab tafsir Budha yang bejudul Abhisamayalandra. Kekritisan seorang Dharmakirti ini pernah menarik seorang pendeta dari negeri Tibet bernama Atisha datang ke Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar Budha dengan intelektual satu ini. Selain itu, dari berita Cina, Sri Sudamaniwarman pernah mengirim utusan membawa berita bahwa Sriwijaya telah mendirikan bangunan suci Budha untuk memuja agar kaisar Cina panjang umur. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-tien-wa-shou oleh kaisar Cina tersebut. Dari sumber-sumber arkeologis yang didapat diketahui bahwa pengaruh budaya Hindu-Budha di Sriwijaya tidak hanya berkembang agama Budha saja, tetapi juga agama Hindu. Menilik gaya seni budaya dan agama Hindu yang berkembang di Sumatra pada masa klasik diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 dan ke-15 Masehi. Dapat diduga agama Hindu telah berkembang juga di Sumatra Selatan, sejak sebelum Sriwijaya melebarkan hegemoni pemerintahannya pada akhir abad ke-7 Masehi. Keberadaan agama ini dibuktikan dengan ditemukan arca Wisnu yang berasal dari abad ke-7 Masehi di situs Kota Kapur, Bangka. Pada abad ke-10 Masehi, agama ini masih menampakkan keberadaaanya, terlihat dari temuan candi Angsoka dan yoni di daerah Palembang. Pada abad ke- 10 sampai ke-12 Masehi, agama Hindu rupanya mencapai puncak perkembangannya. Hal ini terbukti dengan

ditemukannya arca-arca dan kompleks bangunan candi luar kawasan Palembang, yakni di situs Tanah Abang, Muaraenim, Sumatra Selatan. Jadi, banyaknya akumulasi artefak-artefak bersifat Budha di Palembang sekitar abad ke-7-ke-9 Masehi tidak berarti menghambat perkembangan agama Hindu. Walaupun penganut agama Hindu menjadi minoritas pada Sriwijaya, keberadaannya tetap diakui oleh penguasa Sriwijaya.

You might also like