You are on page 1of 27

RISET TEKNIK PEMBUATAN BIOGAS SEBAGAI SUMBER ENERGI

Abstrak Riset Pembuatan biogas dengan bahan baku rumput laut jenis Euchema cottonii dan limbah karaginan telah dilakukan. Tahapan penelitian terdiri dari persiapan bahan baku, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada tahap persiapan bahan baku dilakukan pengadaan bahan baku, pencucian bahan baku, ekstraksi karaginan untuk mendapatkan limbahnya dan analisis bahan baku meliputi analisis nisbah karbon/nitrogen, kadar air, pH dan kadar garam rumput laut sebelum dan sesudah pencucian. Sedangkan pada penelitian pendahuluan dilakukan percobaan pembuatan biogas dengan menggunakan 3 metode. Pada penelitian utama dilakukan pembuatan biogas dari bahan baku rumput laut dan limbah karaginan menggunakan metode yang terbaik dari hasil penelitian pendahuluan. Analisis yang dilakukan adalah pengukuran pH, suhu dan jumlah gas yang terbentuk serta identifikasi jenis gas yang terbentuk. Hasil analisis nisbah C/N diketahui bahwa rumput laut Euchema cottonii memiliki nisbah sebesar 43.98/1 dan limbah karaginan sebesar 55.01/1. Kadar garam rumput laut sebelum dan sesudah pencucian adalah sebesar 2.28 % dan 0.98 %. pH limbah karaginan sebesar 11. Dari hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa metode 1 (starter berupa efektif mikroorganisma) tidak menghasilkan gas. Metode 2 (starter berupa kotoran sapi 5 liter) menghasilkan gas dalam jumlah yang sedikit. Metode 3 (starter berupa kotoran sapi 45 liter) menghasilkan gas dalam jumlah yang banyak. Pada penelitian utama menggunakan metode 3 dengan waktu fermentasi selama 25 hari. Proses fermentasi masih berlangsung hingga saat ini.

I. PENDAHULUAN 1.1 Biogas Biogas dibentuk dari hasil fermentasi anaerobik yang merupakan proses perombakan suatu bahan menjadi bahn lain yang lebih sederhana dengan bantuan mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak

berhubungan langsung dengan udara bebas. Menurut Buren (1979) biogas dapat dibuat dari bahan-bahan antara lain kotoran hewan dan manusia, limbah pertanian, sampah kota, limbah industri pertanian dan bahan-bahan lain yang memiliki kandungan bahan organik. Biogas merupakan campuran dari metana, karbondioksida, sedikit gas hidrogen, hidrogen sulfida dan atau nitrogen. Menurut Price dan Paul (1981) gas metana atau CH4 yang terkandung dalam biogas besarnya 60 sampai dengan 70 %, sedang sisanya berupa gas CO2, H2S, gas nitrogen dan hidrogen. Biogas mempunyai sifat mudah terbakar dengan warna nyala biru, tidak beracun dan memiliki nilai kalori 2,24 x 104 J/m3. Gas metana yang merupakan komponen gas yang paling dominan pada biogas memiliki sifat tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa, adanya gas lain meyebabkan timbulnya bau. Berat jenis gas metana 0,554, kelarutannya dalam air rendah, pada suhu 20 oC dan tekanan 1 atm hanya 3 bagian gas metana yang larut dalam 100 bagian air. Gas metana termasuk gas yang stabil (Buren, 1979). Nilai energi gas metana cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti penerangan,

pengeringan, memasak dan keperluan lainnya(Fauziyah, 1996) Pembakaran sempurna gas metana akan menghasilkan sejumlah besar panas. Pembakaran sempurna 1 meter kubik (0,716 kg) gas metana dapt membebaskan panas 8562 sampai 9500 kcal dan menaikkan suhu sampai 1400 oC (Buren, 1979). Reaksi kimia yang berlangsung adalah : CH4 + 2 O2 CO2 + 2 H2O, Hc = -212 Kcal

Tabel 21. Perbandingan nilai energi dari beberapa sumber energi dalam berat kering Sumber Energi Bahan bakar Batubara Gasoline Gas metana Bahan organik Kayu Kotoran sapi Sampah organik Sumber : Fauziyah (1996) Di beberapa negara, biogas telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk penerangan dan memasak. Menurut Buren (1979) 1 m3 biogas dapat disetarakan dengan 60 100 watt daya listrik yang dioperasikan selama 6 7 ja. Biogas juga dapat digunakan sebagai 1,44 x 107 2,09 x 107 1,63 x 107 3,14 x 107 4,71 x 107 5,00 x 107 Nilai Energi (J/kg)

bahan bakar untuk menggerakkan mesin dan generator. Nilai kesetaraan 1 m3 biogas untuk tenaga gerak adalah 1 hp selama 2 jam atau sebnding dengan 0,6 0,7 kg minyak tanah. Gas metana sendiri memiliki manfaat yang tidak kalah penting di dalam industri kimia. Penggunaannya antara lain untuk produksi monoklorometana, diklorometana, kloroform, metanol dan sebagainya. 1.2 Proses Pembentukan Biogas Biogas dihasilkan dari proses pembusukan bahan baku isian di dalam tangki pencerna. Biogas merupakan salah satu hsil sampingan daripada pembusukan bahan organik. Proses pembusukan dapat bersifat aerobik atau anaerobik. Pada proses pembusukan aerobik, bakteri aerobik memanfaatkan oksigen dan menghasilkan amoniak, bakteri anaerobik merombak bahan organik menjadi biogas, kotoran, dan pupuk organik cair. Proses pembusukan bahan organik ini dilakukan oleh

mikroorganisme dalam proses fermentasi. Proses kerja daripada bakteri

ini dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pemecahan polimer (Tahap 1), tahap pembentuka asam organik (Tahap 2) dan tahap produksi metan (Tahap 3). 1.2.1 Tahap 1 (Pemecahan polimer) Pada tahap ini sekelompok mikroorganisme akan menguraikan substrat organik. Penguraian ini dilakukan oleh berbagai jenis bakteri. Bakteri yang berperan antara lain memiliki enzim selulolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim yang dihasilkan ini mempercepat hidrolisa polimer menjadi monomer larut yang merupakan substrat bagi mikroorganisme tahap kedua. Bakteri selulolitik memegang peranan dalam tahap ini. Temperatur kerja optimum adalah 50 60 oC (bakteri thermophilik) dan temperatur 30 40 oC (bakteri mesophilik). Kedua kelompok selulolitik ini bekerja pada kisaran pH enam sampai dengan tujuh. Pada proses ini kemungkinan penurunan pH bisa terjadi

dikarenakan terbentuknya asam organik. Hal ini perlu distabilkan dengan penambahan larutan kapur. Apabila bakteri tahap 2 dan tahap 3 telah bekerja dan reaksi dalam kesetimbangan maka pH sistem berkisar tujuh. Kerja sinergis selalu terjadi diantara berbagai macam bakteri dalam pemecahan polimer menjadi monomer yang larut. Suatu studi

menunjukkan bahwa laju pemecahan polimer lebih tinggi pada medium yang berisi campuran bakteri selulolitik dan nonselulolitik dibanding dalam medium berisi biakan murni bakteri selulolitik. Tahap pembentukan monomer ini merupakan tahap pengendali waktu dalam peruraian limbah ini. Hal ini disebabkan oleh kerja bakteri fermentor yang sangat lambat dibanding dengan kerja bakteri tahap 2 dan tahap 3. laju peruraian ini tergantung pada temperatur, jenis substrat dan pH sistem.

1.2.2 Tahap 2 (Pembentukan Asam Organik) Bakteri pada tahap ini menghasilkan asam-asam organik yang dibentuk dari senyawa monomer larut. Hasil terbesar dari bakteri asetogenik ini ialah asam asetat, propionat dan asam laktet. Bakteri metanogenik sebagian besar hanya manfaatkan asam asetat. Beberapa spesies bakteri metanogenik dapat memproduksi metan dari gas hidrogen dan karbondioksida, yang mana bahan ini terproduksi selama

dekomposisi karbohidrat. Selain itu metan juga dapat diproduksi dengan reduksi metanol atau hasil sampingan lain selama pemecahan

karbohidrat. Mikrobiologi dalam proses ditahap ini belum jelas. Beberapa spesies bakteri bekerja dalam tahap ini, dan proporsi dari asam, gas hidrogen, karbondioksida dan alkohol yang dihasilkan tergantung dari pada fra yang ada dan kondisi lingkungan.

1.2.3 Tahap 3 (Produksi Metan) Bakteri metanogenik sangat peka terhadap lingkungan.

Dikarenakan bakteri ini harus dalam keadaan anaerob, maka sejumlah kecil oksigen dapat menghalangi pertumbuhanny. Bukan hanya itu, bakteri ini juga kekal terhadap senyawa yang memiliki tingkat oksidasi tinggi seperti nitrit dan nitrat. Bakteri ini juga peka terhadap perubahan pH. Kisaran pH optimal untuk memproduksi metan adalah 7,0 7,2, namun gas masih terproduksi dalam kisaran 6,6 7,6. jika pH dibawah 6,6 akan menjadi faktor pembatas bagi bakteri dan pH dibawah 6,2 akan menghilangkan kemampuan bakteri metanogenik. Dalam keadaan demikian bakteri asetogenik tetap aktif hingga pH 4,5 5,0, sehingga diperlukan buffer untuk menetralkan pH. Beberapa senyawa merupakan racun bagi bakteri ini. Senyawa itu antara lain ammonia (lebih dari 1500 -3000 mg/l), dari total ammonia nitrogen pada pH diatas 7,4, ion ammonium (lebih dari 3000 mg/l dari total

ammonia nitrogen pada sedmbarang pH), sulfida terlarut (lebih dari 50 100 mg/l) serta larutan garam dari beberapa logam seperti tembaga, seng dan nikel. 1.3 Faktor- faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukan Biogas Pembentukan biogas merupakan hasil kerja dari mikroorganisme, oleh karena itu kondisi bahan organik dan kondisi lingkungan besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan biogas. Faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap pembentukan biogas adalah kadar karbon dan nitrogen dalam bahan, kandungan air, derajat keasaman, temperatur pencerna, pengadukan dan racun.

1.3.1 Kadar Karbon dan Nitrogen dalam Bahan Digester atau ruang pencerna adalah tempat kehidupan bakteri dimana mereka makan, bekembang biak dan mengubah bahan organik menjadi bentuk lain (gas, pup dan lain-lain). Unsur karbon dalam bentuk karbohidrat dan nitrogen dalam bentuk protein, asam nitrat, amonia dan lain-lain merupakan bahan makanan pokok bagi bakteri anaerobik. Unsur karbon (C) digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N) digunakan untuk membangun struktural sel dari pada bakteri. Bakteri memakan habis unsur C tiga puluh kali lebih cepat dari pada unsur N. Oleh karena itu perbandingan C/N yang paling baik adalah 30. ini menunjukkan bahwa perbandingan C/N perlu diperhatikan dalam pembentukan biogas. Apabila di dalam bahan terdapat unsur C terlalu banyak (C/N tinggi), maka unsur N akan habis terlebih dahulu, sehingga unsur C banyak tersisa. Hal ini akan menyebabkan bakteri berhenti bekerja. Untuk lumpur serat yang memiliki C/N yang sangat tinggi maka perlu ditambahkan kotoran ternak untuk memperbaiki C/N agar menjadi ideal. Sebaliknya bila C/N terlalu rendah maka unsur C akan cepat habis dan proses fermentasi akan berhenti dan unsur N yang banyak tersisa akan

menguap dalam bentuk NH3 (gas amonia). Hal ini akan menyebabkan rendahnya kesuburan dari sisa-sisa proses, karena menurunnya unsur N. 1.3.2 Kandungan Air Mikroorganisme dalam kegiatannya akan membutuhkan air. Jumlah air yang dibutuhkan dalam pembentukan biogas tidak sama tergantung dari bahan-bahan yang digunakan, kira-kira total solidnya 7 9% dari campuran. Bila air terlalu sedikit, asam asetat terakumulasi sehingga menghambat proses fermentasi, dan juga akan terbentuk lapisan kerak (scum) yang tebal dipermukaan, terutama jika bahan isian berserat. Scum ini akan menghambat gas yang terbentuk ke permukaan. 1.3.3 Derajat Keasaman Keasaman dari campuran ditunjukkan dari nilai pH-nya. pH berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktifitas bakteri. Dalam hal i kisaran pH yang diijinkan adalah 6,8 8,0. pada awal pencernaan ada kemungkinan pH akan turun, sehingga dibutuhkan buffer untuk menaikkan pH. Setelah pemberian buffer (larutan kapur), dan selama 2 3 minggu pH akan optimal, maka bakteri metanogenik akan berkembang biak dan mulailah produksi biogas. 1.3.4 Temperatur Pencernaan Temperatur mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan kecepatan reaksi dalam pembentukan biogas. Pencernaan anerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 5 55 oC. Temperatur kerja yang lebih tinggi akan memberikan hasil biogas yang lebih tinggi, namun pada temperatur yang terlalu tinggi bakteri akan mudah mati. Temperatur kerja yang optimum adalah 35 oC. 1.3.5 Pengadukan Bahan baku yang sukar dicerna dalam digester akan membentuk lapisan kerak pada permukaan cairan. Apabila hal ini dibiarkan, lapisan kerak akan mengeras dan menghambat laju produksi biogas. Pengadukan

berfungsi untuk mencegah lapisan kerak agar tidak terbentuk, namun pemasangan alat pengaduk harus tetap mempertimbangkan kondisi anaerob agar tidak mempengaruhi jalannya proses fermentasi. 1.3.6 Racun Adanya racun bagi mikroorganisme pembentuk biogas akan menghambat pembentukan biogas. Contohnya jika konsentrasi ammonia dalam campuran lebih dari 1500 ppm merupakan racun bagi

mikroorganisme pembentuk metan. Contoh racun lain yang dapat menghambat proses pembentukan biogas dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Racun yang dapat menghambat pembentukan biogas Jenis Zat Penghambat NaCl (garam) ABS (komponen detergen) Ammonia (NH4) Sodium (Na) Potassium (K) Kalsium (Ca) Sumber : Fauziyah (1996) Konsentrasi yang menghambat 40.000 ppm 20 40 ppm 1500 3000 mg/l 3500 5500 mg/l 2500 4500 mg/l 2500 4500 mg/l

1.4 Rumput Laut Salah satu komoditas penting yang menjadi produk unggulan dan masuk ke dalam program revitalisasi bidang perikanan adalah rumput laut. Jumlah produksi rumput laut di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Rata-rata produksi rumput laut kering per tahun sebelum dan sesudah kegiatan budidaya dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Rata-rata produksi rumput laut kering per tahun. Tahun Sebelum budi daya 1975 1979 (5 tahun) 1980 1984 (5 tahun) Setelah budi daya 1985 1989 (5 tahun) 1990 1994 (5 tahun) 1995 1999 (5 tahun) 13.000 25.000 38.000 62.5 92.3 52 6.000 8.000 33.3 Volume (ton) Kenaikan (%)

Sumber : Zatnika (1996) dalam Anggadireja et al. (2006) Wilayah Indonesia yang memiliki banyak pulau dan wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan industri rumput laut. Hanya saja pemanfaatannya baru sebagian kecil dan belum menyeluruh. Permintaan luar negeri terhadap rumput laut Indonesia setiap tahun meningkat namun karena pengadaan rumput laut sebagian besar masih tergantung kepada alam (pengadaan melalui budi daya masih terbatas) maka banyak permintaan yang belum terpenuhi (Poncomulyo, 2006). Rumput laut memiliki nilai ekonomis penting karena banyak sekali mengandung manfaat. Hasil dari proses metabolisme primer rumput laut akan menghasilkan senyawa hidrokoloid. Senyawa hidrokoloid yang dihasilkan dari rumput laut disebut juga senyawa fikokoloid. Senyawa fikokoloid yang dihasilkan dari rumput laut berbeda-beda menurut jenis penghasil fikokoloid tersebut. Senyawa fikokoloid yang dihasilkan dari rumput laut adalah agar (dihasilkan dari jenis-jenis agarofit), karaginan (dihasilkan oleh jenis karaginofit) dan alginat (dihasilkan dari jenis alginofit). Jenis rumput laut yang termasuk ke dalam kelompok penghasil agarofit antara lain Gracilaria, Gelidium dan Hypnea. Euchema spinosum dan Euchema cottonii merupakan contoh rumput laut yang mampu menghasilkan karaginan sehingga masuk dalam kategori karaginofit.

Untuk rumput laut yang mampu menghasilkan alginat antara lain dari jenis Sargassum dan Turbinaria. 1.5 Karagenan Karagenan merupakan nama yang diberikan untuk keluarga polisakarida linear bersulfat yang diperoleh dari alga merah dan penting untuk pangan. Dalam bidang industri, karagenan berfungsi sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, dan lain-lain. Karagenan dapat diperoleh dari hasil pengendapan dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum drying), dan dengan proses pembekuan. Jenis alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian hanya terbatas pada methanol, etanol dan isopropanol (Winarno, 1996). Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty (1987) membedakan karagenan menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota karagenan jika lebih dari 30%. Sedangkan Winarno (1996), membagi karagenan menjadi tiga fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan. Menurut Reen (1986) kappa karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, sedangkan iota karagenan dihasilkan dari Eucheuma spinosum. 1.5.1 Struktur Molekul karagenan Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, dan kalsium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer (Winarno, 1996). Sedangkan menurut Arifin (1994) menyatakan bahwa karagenan merupakan senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6anhidrogalaktosa, baik yang mengandung sulfat maupun yang tidak mengandung sulfat, dengan ikatan anhidrogalaktosa secara bergantian. -1,3-D galaktosa dan -1,4-3,6

1.5.2 Sifat-sifat karagenan Di pasaran, karagenan merupakan tepung yang berwarna

kekuning-kuningan, mudah larut dalam air dan membentuk larutan kental atau gel. Menurut Suryaningrum (1988), sifat-sifat karagenan meliputi kelarutan, stabilitas pH, pembentukan gel dan viskositas. Sifat-sifat karagenan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Sifat-sifat Karagenan Kappa Ester Sulfat
3,6-anhidrogalaktosa

Iota 28 35 % -

Lambda 32 34 % 30 %

25-30 % 28 38 %

Kelarutan Air Panas Larut pada suhu > 70 0C Air dingin Larut Na+ Larut pada suhu > 70 0C Larut Na+ Larut dalam semua garam Susu Panas Susu Tspp Larutan Gula Larutan garam Larutan organik Gel Pengaruh kation Membentuk gel kuat dengan K+ Tipe gel Stabilitas PH netral dan basa Asam (pH 3,5) Stabil Terhidrolisa Stabil Terhambat dengan panas Sumber : Glicksman (1983) Stabil Terhidrolisa Rapuh Elastis Tidak membentuk gel Gel sangat kuat Ca+ Tidak membentuk gel Larut (panas) Tidak Larut Tidak Larut Susah larut Tidak Larut Tidak larut Larut (panas) Larut (panas) Tidak larut Dingin + Larut Kental Larut Kental Larut Lebih Kental Larut

1.5.3 Kelarutan Air merupakan pelarut utama bagi karagenan. Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, suhu, komponen organik larutan, dan pH (Towle, 1973). Karagenan dapat membentuk gel secara reversible artinya dapat membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan. Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknya struktur heliks rangkap yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Pada suhu rendah, struktur heliks rangkap membentuk jaringan polimer yang bercabangcabang dan selanjutnya akan membentuk suatu kesatuan (Suryaningrum, 1988). Faktor terpenting dalam pengamatan kelarutan karagenan adalah sifat hidrofilik molekul yaitu pada kelompok ester-sulfat dan unit galaktopironosa. Sedangkan unit 3,6 anhidrogalaktosa bersifat hidrofobik. Kappa karagenan memiliki ester-sulfat dalam jumlah yang rendah, tetapi mengandung 3,6 anhidrogalaktosa yang bersifat hidrofobik seperti kalium. Keseimbangan antara ion-ion yang larut dengan yang tidak larut akan terganggu seperti terbentuknya gel. Kappa dan lambda karagenan larut dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas. Sedangkan iota karagenan lebih sukar larut jika dibandingkan dengan kedua karagenan tersebut, karena iota karagenan mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sinersis dan reversible sehingga lebih mudah larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Anonim, 1977). 1.5.4 Pembentukan Gel Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada

jenisnya. Gel mungkin mengandung sampai 99,9% air. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan. Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses ini bersifat reversible artinya gel akan mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel kembali. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan dan iota karagenan akan membentuk gel hanya dengan adanya kationkation tertentu seperti K+ , Rb+ dan Cs+. Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan akan membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman, 1983). Dalam aplikasi pangan ada lima kation yang paling umum digunakan yaitu natrium, kalium dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti ammonium dan barium. Kemampuan membentuk gel adalah sifat-sifat penting kappa karagenan. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Hal lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi gel kappa karagenan yaitu letak gugus sulfat pada struktur molekulnya. 1.5.5 Fungsi Karagenan Karagenan sangat penting peranannya sebagai stabilisator

(pengatur keseimbangan). thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan pencegah kristalisasi. Sifat ini sangat dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Penambahan karagenan 0,01 0,05 % pada es krim berfungsi sebagai stabilisator yang sangat baik. Sedangkan penambahan

karagenan 0,02 0,03 % pada susu cokelat dapat mencegah pengendapan cokelat dan pemisahan es krim serta peningkatan kekentalan lemak dan pengendapan kalsium (Winarno, 1990).

Di bidang industri kue dan roti, kombinasi karagenan dengan garam natrium, lambda karagenan dengan lesitin dapat meningkatkan mutu adonan. Dengan demikian dihasilkan kue dan roti bermutu tinggi. Bila dikombinasi dengan garam kalium, maka karagenan sangat efektif sebagai gel pengikat atau pelapis produk daging. Dalam jumlah yang relatif kecil, karagenan juga dipergunakan dalam produk makanan lainnya, misalnya macaroni, jam jelly, saribuah, bir dan lain-lain. (Winarno, 1990). Diluar industri pangan, karagenan juga digunakan dalam industri obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat serta pasta gigi. Selain sebagai pengemulsi dan penstabil, karagenan juga berfungsi sebagai pembentuk gel, pensuspensi, pengikat, protective (melindungi koloid), film former (mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (menghalangi terjadinya pelepasan air), dan flocculating agent (mengkilat dan mengikat bahanbahan lain) (Anggadiredja et al. 1993) 1.5.6 Spesifikasi Mutu Karagenan Di Indonesia belum ada standar mutu karagenan, tetapi secara internasional telah dikeluarkan spesifikasi mutu karagenan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut. Spesifikasi kemurnian karagenan yang dikeluarkan oleh FAO, FCC dan EEC dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Spesifikasi mutu karagenan Spesifikasi Zat volatile (%) Sulfat (%) Viskositas pada larutan 1,5 % Abu (%) Abu tidak larut asam (%) FAO Maks 12 15 40 min 5 cps 15 40 FCC Maks 12 18 40 min 5 cps maks 35 maks 1 EEC Maks 12 15 40 min 5 cps 15 40

Logam berat : Pb (ppm) As (ppm) Cu + Zn (ppm) Zn (ppm) Kehilangan pengeringan Sumber : A/S Kobenhavsn Pektifabrik, 1978 karena maks 10 maks 3 maks 10 maks 3 -

maks 2

maks 10 maks 3 maks 50 maks 25 -

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Euchema cottonii yang diperoleh dari daerah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Makassar, sedangkan limbah karaginan yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut Euchema cottonii. Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini antara lain KOH, KCl, kaporit, Isopropil alkohol (IPA) yang digunakan dalam proses ekstraksi karaginan. Efektif mikroorganisma (EM) dan kotoran sapi digunakan sebagai bioaktivator (Starter). 3.2 Metode Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian yaitu persiapan bahan baku , penelitian pendahuluan dan penelitian utama. 3.2.1 Persiapan Bahan Baku Pada persiapan bahan baku dilakukan pengadaan bahan baku, pencucian bahan baku, ekstraksi karaginan untuk mendapatkan limbah karaginan dan analisis bahan baku rumput laut maupun limbah karaginan. 3.2.1.1 Pengadaan Bahan Baku Rumput Laut Rumput laut Euchema cottonii diperoleh dari daerah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Makassar. Rumput laut diperoleh dari hasil budidaya

yang dilakukan oleh petani rumput laut. Setelah dipanen rumput laut kemudian dicuci menggunakan air tawar berkali-kali untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel pada rumput laut tersebut. Proses

selanjutnya adalah melakukan sortasi terhadap rumput laut sehingga rumput laut dari jenis lain dan bahan lain seperti kerang, teritip, plastik atau bahan lain yang tidak diperlukan tidak terikut ke dalamnya. Setelah proses sortasi selesai dilanjutkan dengan proses pengeringan. Rumput laut dijemur dengan menggunakan para-para ataupun waring penjemur rumput laut. Penjemuran dilakukan dengan menempatkan para-para atau waring di atas tanah lapang atau lapangan yang ada di daerah pantai. Proses pengeringan berlangsung selama 2 sampai dengan 3 hari tergantung dari keadaan cuaca di daerah tersebut. Setelah proses pengeringan selesai, rumput laut dimasukkan ke dalam karung-karung plastik untuk memudahkan proses transportasi ataupun pengangkutan. 3.2.1.2 Pencucian Bahan Baku Rumput Laut Bahan baku yang telah diperoleh kemudian dicuci kembali untuk menghilangkan kandungan garam yang masih tersisa di rumput laut. Dalam pembuatan biogas unsur garam merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan biogas. Pencucian dilakukan dengan menggunakan perbandingan rumput laut dan air yaitu 1 : 15. pencucian dilakukan sebanyak 5 kali pencucian hingga rumput laut benar-benar bebas dari kandungan garam dan unsur lain yang masih terikut seperti pasir dan sampah lainnya. 3.2.1.3 Ekstraksi Karaginan Ekstraksi karagenan dari rumput laut Eucheuma cottonii dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi rumput laut Suryaningrum (2003), yang bertujuan untuk mendapatkan limbah karagenan yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Diagram alir proses ekstraksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Rumput Laut Eucheuma cottonii kering

Perendaman (Koporit CaOCl2 1%), Perendaman (Kaporit CaOCl2 1%,jam, pencucian 1 1 jam, pencucian

Ekstraksi KOH 0,5%,%) 90 - 95 0C, 3 jam (KOH 3,5 90-95C,3 jam

Penyaringan Vibrasi

Dehidrasi dengan IPA (2:1)

Pengeringan

Penepungan

Karagenan

Gambar 9. Diagram alir ekstraksi karagenan modifikasi (Suryaningrum, 2003).

3.2.1.4 Analisis Bahan Baku Analisis bahan baku yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar garam rumput laut sebelum pencucian, kadar garam rumput laut setelah pencucian, pH limbah karaginan dan analisis kadar karbon/nitrogen (C/N) baik untuk rumput laut maupun limbah karaginan.

3.2.2 Penelitian Pendahuluan. Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian pendahuluan adalah pembuatan biogas dengan menggunakan dua starter yang

berbeda yaitu efektif mikroorganisma (EM) dan kotoran sapi. Pembuatan biogas pada penelitian pendahuluan terdiri dari 3 buah metode percobaan, yaitu pembuatan biogas dengan menggunakan metode 1(starter EM), pembuatan biogas dengan menggunakan metode 2 (starter kotoran sapi 5 liter) dan pembuatan biogas dengan menggunakan metode 3 (starter kotoran sapi 45 liter). Penelitian pendahuluan bertujuan untuk

mendapatkan metode yang terbaik dalam pembentukan biogas yang akan digunakan pada penelitian utama. a. Pembuatan biogas dengan mengggunakan metode 1. Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut Euchema cottonii yang telah dicuci sebanyak 20 kg. Rumput laut direndam ke dalam air selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Setelah proses perendaman rumput laut selesai dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran bahan baku yaitu rumput laut dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan cara pemotongan rumput laut menjadi 0.5 cm atau dengan cara di blender. Size reduction rumput laut dilakukan untuk memudahkan proses adaptasi bakteri dan pemanfaatan bahan baku oleh bakteri dapat berlangsung lebih sempurna. Tahapan selanjutnya adalah penyiapan starter EM yaitu dengan cara mencampurkan EM dengan gula pasir ke dalam air. Starter didiamkan selama kurang lebih 1 hari untuk membuat bakteri yang ada dalam EM berkembang dan beradaptasi. Rumput laut dimasukkan ke dalam reaktor plastik kapasitas 50 liter kemudian ditambahkan starter yang telah dibuat sebelumnya. Bahan-bahan tersebut kemudian

difermentasi selama 21 hari untuk mendapatkan biogas. Parameter pengujian adalah terbentuknya biogas dalam plastik penampung biogas dan di uji coba dengan cara melakukan proses pembakaran. b. Pembuatan biogas dengan menggunakan metode 2. Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut Euchema cottonii yang telah dicuci sebanyak 20 kg. Rumput laut direndam ke dalam air

selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Setelah proses perendaman rumput laut selesai dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran bahan baku yaitu rumput laut dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan cara pemotongan rumput laut menjadi 0.5 cm atau dengan cara di blender. Tahapan selanjutnya adalah menyiapkan starter dari kotoran sapi. Starter diperoleh dari kotoran sapi yang telah difermentasikan terlebih dahulu dalam unit pembentukan biogas yang lain. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan starter kotoran sapi yang telah mampu menghasilkan biogas. Rumput laut sebanyak 20 kg dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 lalu di masukkan ke dalam reaktor plastik kapasitas 50 liter. Lalu ke dalam reaktor plastik tersebut ditambahkan starter kotoran sapi sebanyak 5 liter. Fermentasi bahan baku dilakukan selama 21 hari dan parameter yang diamati adalah gas yang terbentuk dan diuji dengan percobaan pembakaran gas yang terbentuk. c. Pembuatan biogas dengan menggunakan metode 3. Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut Euchema cottonii yang telah dicuci sebanyak 20 kg. Rumput laut direndam ke dalam air selama 2 hari untuk mengembalikan bentuk rumput laut. Ke dalam reaktor plastik dimasukkan kotoran sapi dan air dengan perbandingan 1 : 1 sebanyak 45 liter. Fermentasi dilakukan selama 1 minggu untuk membuat bakteri anaerobik pembuat biogas yang terdapat dalam kotoran sapi mampu beradaptasi dengan baik. Setelah proses fermentasi awal selesai dilanjutkan dengan memasukkan rumput laut ke dalam reaktor setiap hari sebanyak 2 liter. Proses berlangsung selama 21 hari kemudian dilanjutkan dengan pengamatan pembentukan gas dan pengujian pembakaran gas. 3.2.3 Penelitian Utama Pada penelitian utama adalah proses pembentukan biogas dengan bahan baku rumput laut dan limbah karaginan. Metode yang digunakan adalah metode yang terbaik yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan.

Proses fermentasi berlangsung selama 25 hari. Pada penelitian utama dilakukan pengukuran pH dan suhu reaktor selama proses fermentasi berlangsung dan juga analisis terhadap jumlah gas dan jenis gas yang dihasilkan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Bahan Baku Rumput laut merah jenis Euchema cottonii diperoleh dari petani budidaya rumput laut di daerah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Rumput laut yang telah dipanen tersebut kemudian dikeringkan untuk memudahkan proses transportasinya ke Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Limbah karaginan diperoleh dari hasil ekstraksi karaginan dengan metode Suryaningrum (2003). Rumput laut merah yang diperoeh masih mengandung kadar garam dalam jumlah yang tinggi. Dalam proses pembentukan biogas tidak diperkenankan adanya kadar garam dalam jumlah tinggi dalam bahan baku yang akan digunakan. Oleh karena itu dilakukan proses pencucian terhadap bahan baku rumput laut Euchema cottonii. Proses pencucian menggunakan perbandingan rumput laut dan air yaitu 1 : 15 dengan dilakukan sebanyak 5 kali. Rendemen rumput laut kering hasil pencucian rumput laut adalah sebesar 40 %. Limbah karaginan diperoleh dari hasil ekstraksi karaginan dengan metode Suryaningrum (2003). Rendemen limbah karaginan yang dihasilkan dari ekstraksi karaginan adalah sebesar 27 %. Kadar pH limbah karaginan yang dihasilkan adalah sebesar 11, sedangkan persyaratan bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan biogas adalah memiliki pH antara 6 8. Oleh karena itu dilakukan proses penetralan nilai pH dengan jalan memberikan tambahan asam kuat (HCl) ke dalam limbah karaginan tersebut.

4.2 Analisis Bahan Baku Analisis bahan baku dilakukan baik terhadap rumput laut merah jenis Euchema cottonii maupun terhadap limbah karaginan. Analisis bahan baku yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar garam rumput laut sebelum pencucian, kadar garam rumput laut setelah pencucian, kadar pH limbah rumput laut, analisis nisbah Karbon per Nitrogen (C/N) rumput laut dan limbah karaginan serta beberapa bahan lainnya. Hasil analisis kimia bahan baku dapat dilihat pada Tabel 6 sedangkan hasil analisis Nisbah C/N beberapa bahan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6. Analisis kimia bahan baku

ANALISIS Kadar air Kadar garam rumput laut sebelum pencucian Kadar garam rumput laut setelah pencucian pH limbah karaginan

Rumput laut Limbah karaginan 46.42% 96.84%

2.28%

0.19% -

11

Tabel 7. Nisbah C/N beberapa bahan Bahan baku Eucheuma Cottonii Limbah karagenan Gelidium Sp Sargasum Filipendula Ratio C/N 43.98/1 55.01/1 46.10/1 34.44/1

Limbah Phoenix)

karagenan

(pabrik

62.81/1

Limbah alginat

38.41/1

4.3 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan 3 buah percobaan untuk mendapatkan teknik fermentasi yang terbaik yang akan digunakan pada penelitian utama. Percobaan dilakukan den menggunakan 3 metode yang berbeda yaitu metode 1 yaitu menggunakan starter Efektif

Mikroorganisma (EM), metode 2 yaitu menggunakan starter kotoran sapi dengan jumlah 5 liter, dan metode 3 yaitu menggunakan starter kotoran sapi dengan jumlah 45 liter. Hasil percobaan dapat diihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil percobaan penelitian pendahuluan Metode 1 2 3 Keterangan : ( -) Hasil gas + ++ Pembakaran gas + ++

= Tidak menghasilkan gas dan tidak dapat dibakar

(+)

= Mampu menghasilkan sedikit gas dan mampu dibakar

( ++ )=Menghasilkan gas dalam jumlah besar dan mampu dibakar Dari hasil percobaan penelitian pendahuluan dapat diketahui bahwa pemakaian starter berupa EM tidak menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Gas yang dihasilkan pada penelitian ini berupa H2S yang ditandai dengan adanya bau busuk dalam reaktor. Gas yang dihasilkan dalam proses pembentukan biogas yang dapat dimanfaatkan adalah dalam bentuk CH4 (metana). Karena tidak dapat

menghasilkan gas yang sesuai maka pada uji pembakaran tidak dapat dilakukan. Percobaan kedua menggunakan starter berupa kotoran sapi dengan jumlah 5 liter. Kotoran sapi diperoleh dari unit reaktor biogas yang bahan bakunya dari kotoran sapi dan telah menghasilkan biogas. Hal ini bertujuan agar starter yang akan digunakan telah terbukti mampu menghasilkan gas sehingga diharapkan mampu beradaptasi dengan baik dengan bahan baku rumput laut. Ke dalam reaktor berukuran 50 liter dimasukkan bahan baku rumput laut yang telah dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 dengan jumlah seluruhnya 45 liter. Kemudian ke dalam reaktor tersebut ditambahkan starter sebanyak 5 liter. Proses selanjutnya adalah proses fermentasi selama 21 hari untuk melihat terbentuknya gas yang dikumpulkan ke dalam suatu plastik pengumpul gas. Dari hasil proses fermentasi selama 21 hari diperoleh hasil bahwa gas yang terbentuk dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal ini ditandai dengan plastik pengumpul gas tidak menggelembung atau berubah bentuk yang signifikan. Hal ini disebabkan karena bakteri pembentuk gas yang ada dalam starter kotoran sapi belum mampu beradaptasi secara maksimal dengan bahan baku yang digunakan. Selain itu juga diduga karena jumlah bahan baku yang besar dalam reaktor menyebabkan proses penguraiannya tidak berlangsung dengan sempurna. Dengan banyaknya jumlah bahan baku maka komponen karbon yang ada dalam bahan baku menjadi lebih banyak sehingga komponen nitrogen akan habid terlebih dahulu dan hal tersebut menyebabkan bakteri berhenti bekerja (Fauziyah, 1996). Dalam uji coba pembakaran gas yang dihasilkan diketahui bahwa terjadi pembakaran gas ditandai dengan adanya nyala api setelah kran gas dibuka dan api dinyalakan di dekat kran gas tersebut. Namun nyala api tidak dapat berlangsung lama. Hal ini dikarenakan jumlah gas yang terbentuk hanya sedikit sehingga tidak mampu mempertahankan nyala api dalam jangka waktu yang lama.

Percobaan ketiga dalam penelitian pendahuluan adalah percobaan pembuatan biogas dengan menggunakan starter kotoran sapi dalam jumlah yang lebih banyak yaitu 45 liter. Kotoran sapi juga diperoleh dari unit reaktor biogas lain yang menggunakan kotoran sapi sebagai bahan bakunya. Perbedaan antara metode 2 dan metode 3 ini adalah dalam jumlah starter yang digunakan dimana pada metode 3 jumlah stareter yang lebih banyak sehingga mampu memanfaatkan bahan baku dengan baik. Fermentasi awal dilakukan dalam reaktor biogas selama 7 hari dengan tujuan untuk membuat bakteri yang ada dalam kotoran sapi tersebut beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru. Setelah proses fermentasi awal selesai dilanjutkan dengan langkah memasukkan umpan ke dalam reaktor biogas. Umpan yang diberikan adalah rumput laut yang telah dicampur dengan air hingga jumlah total seluruhnya 2 liter. Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor, rumput laut tersebut direndam di dalam air selama 2 hari terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk membuat rumput laut kembali ke bentuk semula dan mudah untuk dilakukan penguraian oleh bakteri. Pengumpanan dilanjutkan terus hingga mencapai waktu fermentasi selama 21 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa plastik penampung gas mengalami pubahan bentuk yang signifikan dimana terjadi

penggembungan plastik yang diduga akibat gas yang terbentuk selama proses fermentasi. Hal ini karena starter kotoran sapi mampu

memanfaatkan bahan baku rumput laut dengan baik sebagai bahan makanan dan menghasilkan gas yang diharapkan. Jumlah rumput laut yang dimasukkan dengan bertahap menyebabkan proses penguraian dapat berlangsung sempurna dan proses adaptasi bakteri anaerobik dapat berjalan baik. Komposisi karbon dan nitrogen yang ada dalam rumput laut dapat dimanfaatkan dengan baik dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bakteri. Dari uji coba pembakaran gas yang dihasilkan ketahui bahwa gas tersebut mampu membuat nyala api dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dari beberapa hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa metode 3 merupakan metode yang terbaik yang dapat

digunakan dalam penelitian utama proses pembentukan biogas dengan bahan baku rumput laut.

4.4 Penelitian Utama 4.4.1 Pembuatan Biogas dengan Bahan Baku Rumput Laut. Pembuatan biogas dengan bahan baku rumput laut dilakukan dengan menggunakan metode 3 hasil dari penetian pendahuluan sebelumnya. Starter yang digunakan adalah kotoran sapi dengan jumlah 45 liter yang ditempatkan ke dalam unit reaktor yang terbuat dari plastik dengan kapasitas maksimal 50 liter. Kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi awal selama 7 hari untuk membuat bakteri yang ada dalam kotoran sapi beradaptasi dengan lingkungannya. Setelah difermentasi selama 7 hari kemudian ke dalam reaktor dimasukkan umpan berupa rumput laut dan air sebanyak 2 liter setiap hari selama 25 hari. Hal ini berlangsung terus hingga komponen yang ada dalam reaktor tersebut sepenuhnya telah berisi rumput laut. Sampai saat ini proses fermentasi masih berlangsung. 4.4.2 Pembuatan Biogas dengan Bahan Baku Limbah Karaginan. Pembuatan biogas dengan bahan baku limbah karaginan juga menggunakan metode 3 hasil dari penetian pendahuluan sebelumnya. Starter yang digunakan adalah kotoran sapi dengan jumlah 45 liter yang ditempatkan ke dalam unit reaktor yang terbuat dari plastik dengan kapasitas maksimal 50 liter. Kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi awal selama 7 hari untuk membuat bakteri yang ada dalam kotoran sapi beradaptasi dengan lingkungannya. Setelah difermentasi selama 7 hari kemudian ke dalam reaktor dimasukkan umpan berupa limbah karaginan yang telah direndam ke dalam air selama 2 hari dan telah dinetralkan pHnya terlebih dahulu. Umpan yang dimasukkan berupa campuran limbah dan air dengan jumlah total 2 liter. Pemberian umpan dilakukan setiap hari selama 25 hari waktu fermentasi. Hal ini

berlangsung terus hingga komponen yang ada dalam reaktor tersebut sepenuhnya telah berisi limbah karaginan. Sampai saat ini proses fermentasi masih berlangsung.

Kesimpulan 1. Rumput laut Euchema cottonii dan limbah karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas karena memiliki nisbah karbon/nitrogen yang dapat digunakan dalam pembuatan biogas. 2. Jenis starter efektif mikroorganisma tidak dapat digunakan dalam pembuatan biogas dengan bahan baku rumput laut. 3. Pembuatan biogas dapat dilakukan dengan menggunakan metode 3 (Penggunaan starter kotoran sapi dalam jumlah 45 liter)

DAFTAR PUSTAKA Anggadiredja, J. 1993. Ekstraksi Sodium Alginat dengan Metode CaCl2 dari Sargassum sp dan Turbinaria sp. Laporan Penelitian. Anggadiredja, J., Ahmad Z., dan Priyogo S. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. 147 pp. Anonim, 1977. Carragenan. Marine Colloids Division, FMC. Corporation. USA. 1- 35 p. Arifin, M. 1994. Penggunaan Kappa Karagenan sebagai Penstabil (Stabilizer) pada Pembuatan Fish Meat Loaf dari Ikan Tongkol (Euthynnus sp). Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. A/S Kobenhavvsn Denmark Doty, M.S., 1987. The Production and Uses of Eucheuma In : Studies of Seven Commercial Seaweeds Resources. Ed. By : MS. Doty, J.F. Caddy and B. Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome. Pp 123 161 Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Pektifabrik, 1978. Carrageenan. Lilleskensved.

Glicksman, M. 1983. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press. New York. Reen, D.W. 1986. Seas of Marine Algae in Biotechnology and Industry. Workshop on Marine Algae Biotechnology. Summary Report. National Academic Press, Washington D.C. Suryaningrum, T.D. 1988. Kajian Sifat-sifat Mutu Komoditi Rumput Laut Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Suryaningrum, Th. D., Murdinah, dan Erlina, M.D. 2003. Pengaruh Perlakuan Alkali dan Volume Larutan Pengekstrak terhadap Mutu aragenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Pasca Panen. Badan Riset Perikanan dan Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan 9(5) : 65 - 76 Towle, A. G. 1973. Carrageenan. dalam Industrial Gums. Editor Whistler, R. L. Academic Press. New York. Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 112 pp.

You might also like