You are on page 1of 46

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis manajemen kinerja dari para petugas lapangan program keluarga berencana (KB) pasca desentralisasi BKKBN. Adapun dalam skripsi ini peneliti akan mencoba memberikan gambaran mengenai sistem manajemen kinerja baik dalam orientasi, monitoring, evaluasi maupun sistem insentif dan disiniensif yang diterapkan kepada para pegawai khususnya para petugas lapangan program KB di wilayah provinsi D.I.Yogyakarta sebelum dan sesudah dilaksanakannya desentralisasi pada BKKBN. Selain itu skripsi ini akan mencoba menganalisi pengaruh atau dampak dari penerapan desentralisasi terhadap sistem manajemen kinerja serta faktor-faktor yang menghambat penerapan sistem manajemen kinerja yang ada tersebut. Hal ini dirasa perlu untuk diangkat karena masalah kependudukan menjadi salah satu faktor penghambat jalannya

perkembangan di Indonesia serta merupakan masalah jangka panjang. Terlebih setelah dikeluarkannya UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah yang mengakibatkan perubahan dari pemerintahan yang terpusat beralih menjadi pemerintahan yang otonom. Perubahan ini kemudian mempengaruhi sistem kelembagaan dan kepegawaian pemerintah daerah yang ada, terlebih lagi saat

peraturan

yang terdahulu kemudian direvisi dengan UU No.32/2004 yang

memberikan kwenangan yang lebih besar dan cukup signifikan terhadap pemerintah daerah. Adanya perubahan secara yuridis tersebut kemudian mengakibatkan perubahan secara empiris. Salah satunya dalam hal penanganan masalah kependudukan yang dahulu ditangani dari pusat secara nasional, pasca desentralisasi pemerintah daerah kini memiliki peranan yang besar dalam penanganan masalah kependudukan, terutama dalam penyediaan dan pemberian pelayanan program keluarga berencana baik medis maupun non medis. Perubahan sistem pemerintahan ini diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam pembangunan daerah dan pemenuhan kebutuhan publik. Akan tetapi hal ini dapat menjadi suatu masalah baru ketika pemerintah pusat belum mempunyai grand design tentang otonomi daerah sehingga dalam pelaksanaannya dapat menyebabkan inkonsistensi yang kemudian menimbulkan kerancuan dan ketegangan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah-daerah. Diperlukan adanya kesiapan sumber daya dari masing-masing daerah untuk dapat melaksanakan segala urusan, wewenang, dan dalam Untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus dan

berkesinambungan, serta kuantitas dan kualitas dari sumberdaya manusia yang menanganinya haruslah memenuhi kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Secara Empiris sumber daya Manusia menjadi faktor pendukung yang penting

untuk dapat mengatasi permasalahan kependudukan yang ada, karena merekalah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijakan kependudukan yang ada seperti program keluarga berencana (KB). Kinerja dari para pegawai atau petugas pelaksana program KB dapat mempengaruhi kinerja program bahkan kinerja dari badan atau organisasi tersebut dalam hal ini BKKBN sebagai badan yang menangani permasalahan kependudukan khususnya dalam mengkoordinasi program KB. Begitu pula halnya dengan kinerja BKKBN di daerah-daerah dalam pelaksanaan program KB akan berpengaruh terhadap pelaksanaan Program KB nasional. Untuk itulah manajemen kinerja dari para petugas pelaksana program KB ini dianggap penting dan dapat memberikan pengaruh terhadap kinerja program KB Nasional. Melalui suatu sistem manajemen kinerja yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas dari para implementor program KB

sehingga dapat memberikan peningkatan kinerja program KB bahkan kinerja dari badan atau lembaga yang menanganinya, dalam hal ini BKKBN. Di indonesia sendiri persentase pertumbuhan penduduk dari tahun 20072009 pertahunnya mencapai 1% pertahun bahkan lebih. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1971-1980 adalah 2,32%, tahun 1980-1990 adalah 1,97%, tahun 1990-2000 sebanyak 1,35% dan tahun 2000-2010 terjadi kenaikan persentase pertumbuhan penduduk menjadi 1,49%.1
1

Katalog BPS: 2102016. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota,Sensus Penduduk 2010. hal:4

Berdasarkan data persentase laju pertumbuhan penduduk Indonesia diatas maka kita dapat melihat bahwasanya ada penurunan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Namun meskipun pertumbuhan penduduk kecenderungannya semakin menurun, akan tetapi jumlahnya terus menerus bertambah. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa penduduk Indonesia saat ini kurang lebih berjumlah 219 juta jiwa, sehingga dapat diperkirakan angka pertumbuhan penduduk secara absolut kurang lebih 3 juta jiwa per tahun. Jumlah ini hampir sama banyaknya dengan penduduk Singapura atau Selandia Baru. Berdasarkan data-data diatas Badan Pusat Statistik (BPS) telah merumuskan proyeksi penduduk Indonesia dengan perkiraan penduduk Indonesia sekitar 273,65 juta jiwa pada tahun 20252. Pemerintah dan masyarakat mengakui bahwasanya penurunan persentase laju pertumbuhan di Imdonesia tidak terlepas dari keberhasilan Program Keluarga Berencana, yang mulai dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 1957. Adapun Programnya mulai digalakan pada Pelita 1 Tahun 1969-1974 dengan 6 propinsi sebagai daerah program awal yaitu Jawa dan Bali (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali )3. Keluarga berencana (KB) adalah program nasional yang mendukung salah
Katalog BPS: 2102016. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota,Sensus Penduduk 2010. hal:4
2

Dalam Suyono, Haryono, Menjadikan Hari Keluarga Nasional Sebagai Momentum Pemberdayaan Keluaraga Kurang Mampu, Majalah Gemari, Edisi 53/Tahun VI/Juni 2005. Hlm:59 www.lusa.web.id/kb/sejarah-kb/perkembangan-kb

satu kebijakan pemerintah dalam hal kependudukan melalui pengendalian kelahiran. Adapun tujuan dari program ini yakni untuk meningkatkan derajat kesehatan, kesejahteraan ibu, anak dan keluarga khususnya, serta bangsa pada umumnya. Salah satu cara yang digunakan yakni dengan membatasi dan menjarangkan kehamilan4. Peristiwa kehamilan dan kelahiran saat ini tidak lagi hanya terjadi secara kebetulan. Manusia dengan pengetahuan yang ada saat ini dapat menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga setiap anak yang lahir dalam keluarga adalah anak yang dikehendaki kelahirannya sesuai dengan yang telah direncanakan oleh kedua orangtua. Dengan adanya rencana dalam keluarga maka orang tua dapat memperhitungkan kebutuhan dan merancangnya agar kebutuhan anak dan seluruh anggota keluarga dapat terjamin, baik itu kebutuhan fisik maupun nonfisiknya seperti pendidikan untuk masa depan anak mereka. Hal inilah yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi keluarga serta bagi masyarakat pada umumnya. Yang amat disayangkan yakni meskipun tingkat pengenalan masyarakat tentang KB sudah mencapai 95 persen, namun tidak semua masyarakat menyadari tujuan dan manfaat dari program keluarga berencana ini5. Selain itu masih banyak masyarakat terutama diwilayah pedesaan yang tidak memiliki atau mengetahui akses untuk mendapatkan informasi mengenai program keluarga berencana ini. Oleh karena

4 5

Indan Entjang. 1982. Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana . Hal:23 Program KB files KB untuk Semua BKKBN, 2007. hal:62

itu sudah mejadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk dapat memberikan informasi dan akses bagi masyarakat yang ada mengenai kebijakan ini. Namun pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, mengingat masalah kependudukan ini mencakup keseluruhan wilayah negara dengan daerah yang berbeda-beda maka pemerintah memerlukan perpanjangan tangan agar dapat menyentuh daerah-daerah yang terpencil sekalipun. Berdasarkan pandangan tersebut maka pada tahun 2003 kelembagaan dan pelaksanaan program KB kemudian didesentralisasaikan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan amanat presiden yang tercantum pada KEPRES No.103 tahun 20016.Untuk itu dibentuklah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di indonesia, yang kemudian menjalankan setiap program Keluarga Berencana yang ada di daerah masing-masing. Pelaksanaan desentralisasi program KB dapat dipengaruhi oleh komitmen pemerintah daerah dalam memberikan prioritas terhadap program KB tersebut yang umumnya sangat bervariasi. Begitupula Keragaman kelembagaan dapat mempengaruhi pengelolaan program KB di tingkat kabupaten/kota. Menyikapi era otonomi daerah yang ada, pemerintah menempatkan program KB sebagai urusan wajib (sesuai PP Nomor 38 Tahun 2007 dan PP Nomor 41 Tahun 2007), untuk itu BKKBN berupaya secara terus menerus menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dengan menggalang kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) .
6

BKKBN 2007 ibid. hal:61

Pasca disahkannya UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN tidak lagi diamanatkan sebagai lembaga yang menangani KB semata, tetapi juga menangani masalah kependudukan. Dengan demikian menurut UU tersebut BKKBN bukan lagi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tetapi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang mengemban dua tugas sekaligus. Di era ini BKKBN mendapat amanah untuk ikut mendukung keberhasilan program prioritas nasional, yaitu dengan memberikan dukungan terhadap penguatan suply berupa penyediaan sarana prasarana pelayanan KB bagi 23.500 klinik KB swasta dan pemerintah agar siap melayani KB. Disamping itu juga mendukung peningkatan kapasitas penyelenggara pelayanan KB melalui pelatihan agar dapat melayani KB sesuai standar operasional pelayanan yang telah ditetapkan. Dengan merevitalisasi visi dan misi yang telah ada sebelumnya, tersirat bahwa BKKBN berkeinginan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan kebijakan kependudukan guna mendorong terlaksananya

pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan kependudukan, serta mewujudkan penduduk tumbuh seimbang melalui pelembagaan keluarga kecil bahagia sejahtera. Sasaran strategis yang ingin dicapai adalah terkendalinya jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang ditandai dengan Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,1 dan Net Reproductive Rate (NRR) = 1. Kondisi tersebut

merupakan pencerminan dari pertumbuhan penduduk seimbang, di mana LPP ada keseimbangan dan keserasian dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan sebagainya. Beberapa pihak optimis terhadap sasaran LPP dari BKKBN tersebut, namun tidak sedikit pula pihak yang meragukan pencapaian target tersebut. Keraguan dapat muncul dikarenakan pandangan masyarakat umum mengenai kinerja organisasi maupun badan pemerintah selama ini yang dirasa kurang memuaskan masyarakat. Baik dari segi pelayanan maupun pengimplementasian program-programnya yang seringkali tidak sesuai dengan tujuan ataupun tidak mengenai sasaran yang dituju. Hal inilah yang dapat menyebabkan keraguan masyarakat terhadap kebijakan maupun program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Permasalahan Kependudukan merupakan masalah yang kompleks untuk itu dibutuhkan peran serta yang aktif dari masyarakat untuk mendukung keberhasilan program keluarga berencana (KB) ini. Dalam merealisasikan program terkadang terdapat beberapa permasalahan yang dikarenakan keterbatasan dari sumber daya yang ada. Realisasi program KB dipercayakan kepada petugas BKKBN di tingkat kecamatan, yaitu Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan pengawasnya yang disebut Pimpinan PLKB. Mereka ditugaskan untuk merealisasikan program KB dengan mengarahkan perilaku fertilitas masyarakat agar memenuhi target kebijakan nasional. Untuk mencapai tujuan ini para PLKB harus bekerja sama dengan institusi-

institusi lain di tingkat kecamatan, sekaligus mencari dukungan dari berbagai organisasi yang bergerak di tingkat lokal. Dalam hal ini peranan dari para petugas lapangan menjadi sangat penting dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Program KB melemah sejak perubahan pemerintah thn 1998 dan mencapai puncak tahun 2003 saat BKKBN didesentralisasikan. Secara kelembagaan BKKBN kehilangan kontrolnya khususnya di tingkat kabupaten/kota. Hal ini mengakibatkan PLKB berada di luar kontrol BKKBN ditambah lagi kenyataan bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki BKKBN. Yang menjadi kekhawatiran saat ini yakni berkurangnya jumlah para PLKB pasca desentralisasi. Dr.Sugiri Syarief, MPA dalam seminar 35 tahun PSKK UGM menyatakan bahwasanya salah satu hal yang menjadi permasalahan BKKBN saat ini yakni menurunnya kuantitas dan kualitas dari para petugas lapangan pasca desentralisasi dimana penurunan jumlahnya sangat drastis hingga mencapai angka 40 persen lebih. Berikut data yang dipaparkan beliau berdasarkan data BKKBN awal tahun 2008 dalam grafik7:

Dr.Sugiri Syarief, MPA. Program Keluarga Berencana Masa Kini dan Masa Depan dalam Kumpulan Makalah SeminarSehari 35 Tahun PSKK UGM. Yogyakarta, 5Agustus 2008. PSKK UGM: Yogyakarta. Hlm: 26-27

10

Grafik.1 Perkem bang Petugas Lapang Prog an an ram K eluarg B a erencana di Indones ia 40000 30000 20000 10000 0 s entralis i as awal des entralis i as
Masa S istemP erintahan em

Jum P KB lah L

s ini aat

Sumber: Materi Seminar Sehari 35 tahun PSKK UGM Revitalisasi Kajian Kependudukan di Indonesia dalam pencapaian sasaran MDGs : Program Keluarga Berencana masa Kini dan Masa Depan

Berdasarkan hasil Proyeksi SUPAS 2005, tahun 2008 jumlah penduduk Provinsi DIY tercatat 3.468.502 jiwa, dengan presentase jumlah penduduk laki-laki 50,19 persen dan perempuan 49,81 persen. Pada tahun 2007 pertumbuhan penduduk di D.I Yogyakarta sebesar 0,99 persen8. Hingga akhir tahun 2010 persentase pertumbuhan penduduk D.I.Yogyakarta berada pada Angka 1,02 perseen dan masih berada dibawah persentase nasional yakni 1,49 persen9. Jika dilihat dari persentase pertumbuhan penduduk memang D.I Yogyakarta termasuk lebih rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Namun tidak dapat di pungkiri bahwasanya
8 9

Katalog Bps: 1102001.34. D.I.Yogyakarta Dalam Angka.2009. Hal.63 BPS Hasil Sensus Penduduk 2010

11

jumlah penduduk terus bertambah dari tahun ketahun. Di Provinsi D.I Yogyakata sendiri berdasarkan data statistik yang ada jumlah PLKB mencapai 415 petugas pada masa sentralisasi, dan menurun hingga 379 petugas di awal pelaksanaan Desentralissasi10. Angka tersebut terus menurun hingga pada tahun 2009 terdapat setidaknya 311 orang PLKB di D.I.Yogyakarta11, adapun rinciannya seperti yang dipaparkan pada tabel dibawah ini: Tabel 1 Jumlah Petugas Pelayanan Keluarga Berencana menurut Kabupaten/kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Kabupaten/Kota 1. Kulon Progo 2. Bantul 3. Gunung Kidul 4. Sleman 5. Yogyakarta Provinsi D.I. Yogyakarta Dokter 57 125 64 156 90 492 Bidan 170 281 177 303 141 1072 PLKB 68 65 80 57 41 311 Jumlah 295 471 321 516 272 1875

Sumber: katalog BPS:110200.34 D.I.Yogyakarta 2009. Tabel 4.2.15

Berdasarkan tabel diatas kita dapat melihat jumlah perbandingan tenaga medis dan PLKB sangat jauh, selain itu jumlah PLKB yang tercantum di tabel ini masih dirasa kurang jika mengingat provinsi D.I.Yogyakarta sendiri terdiri dai 395

10 11

Katalog BP : 1403.34. D.I. Yogyakarta dalam Angka.2003. hlm:176 Katalog BPS: 1102001.34. D.I. Yogyakarta. dalam Angka 2009, hlm 178

12

desa dan 46 kelurahan.12. Hal ini berarti masih terdapat PLKB yang harus menangani dua kelurahan/desa sekaligus, yang mana hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah karena cakupan wilayah yang sangat luas. Kerja sama antara tim PLKB dan tenaga puskesmas merupakan syarat utama untuk merealisasikan program KB. Di Yogyakarta beberapa dari para PLKB tersebut belum mendapatkan pelatihan khusus sebagaimana seharusnya. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran akan tercapainya target dari program KB tersebut. Yang menjadi pemikiran adalah bagaimana para petugas tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika mereka belum mendapatkan pelatihan yang tepat. Pelatihan tersebut juga bertujuan agar para petugas dapat mengerti dan memahami apa yang menjadi tujuan dan sasaran organisasi dan program yang tengah mereka jalankan. Beberapa hal yang telah dipaparkan diatas dapat menjadi faktor-faktor yang dapat menghambat jalannya program Keluarga Berencana di D.I Yogyakarta. Pasalnya pasca diserahkannya pengelolaan Program KB nasional dari pusat kepada pemerintah daerah, keberadaan para PLKB tersebut semakin menurun baik dari jumlah maupun kualitasnya13. Berdasarkan data statistik yang ada, Kota Yogyakarta merupakan daerah dengan realisasi pencapaian target akseptor KB baru dengan presentasi pencapaian terendah dibandingkan daerah kabupaten/kota lainnya di

12

13

http://lap.bkkbn.go.id:5300/Dallap/RekapitulasiK0Kec.aspx diakses pada 01 Februaari 2011, 21.09 Wib Materi Rapat Kerja Program KB Nasional Tahun 2008, Evaluasi Program KB Nasional 2005-2007. BKKBN, Jakarta, 2008. hlm:27

13

provinsi D.I. Yogyakarta dalam pelaksanaan program KB yakni sebesar 68,26 persen14. Jumlah PLKB di kota Yogyakarta juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Meskipun demikian kota Yogyakarta telah berhasil mencapai persentase pertumbuhan penduduk terendah kedua setelah kabupaten Kulon Progo. Dengan kondisi yang harus dihadapi pasca desentralisasi BKKBN baik secara kelembagaan maupun pelaksanaan program seperti yang telah diuraikan diatas, maka diperlukan adanya suatu usaha untuk dapat mengatur sumber daya yang ada, sehingga meskipun dengan sumber daya dan kondisi yang terbatas Program KB di Provinsi D.I.Yogyakarta dapat tetap terlaksana dengan baik. Untuk itu Manajemen Kinerja menjadi salah satu hal yang penting dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang ada, terlebih lagi para petugas yang bergerak dilapangan. Hal ini dikarenakan mereka adalah ujung tombak dari implementasi program KB ini. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka peneliti menetapkan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini yakni Bagaimana manajemen kinerja program KB yang diterapkan kepada petugas lapangan program KB di Provinsi D.I.Yogyakarta khususnya PLKB di wilayah kota Yogyakarta pasca desentralisasi BKKBN, serta faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penerapannya.

14

Katalog BPS: 1102001.34. D.I. Yogyakarta. dalam Angka 2009, hlm 176

14

B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yakni: 1. Sistem manajemen kinerja seperti apa yang diterapkan kepada para petugas lapangan program KB di Provinsi D.I. Yogyakarta khususnya PLKB di

wilayah kota Yogyakarta sebelum dan sesudah pelaksanaan Desentralisasi BKKBN. 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung penerapan sistem manajemen kinerja petugas khususnya lapangan di wilayah keluarga kota berencana di Pasca

Prov.D.I.Yogyakarta desentralisasi BKKBN

Yogyakarta

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan ini yakni: 1. Mengetahui gambaran sistem Manajemen Kinerja yang diterapkan kepada para petugas lapangan program KB di wilayah Prov. D.I Yogyakarta khususnya PLKB di wilayah kota yogyakarta sebelum dan sesudah desentralisasi BKKBN 2. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penerapan sistem manajemen kinerja bagi petugas lapangan program KB di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta pasca desentralisasi BKKBN.

15

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yakni: 1. Manfaat teoritis Memberikan informasi dan gambaran mengenai bentuk manajemen kinerja yang diterapkan oleh BKKBN Prov.D.I.Yogyakarta dalam hal pengelolaan, pengembangan serta pelatihan sumberdaya manusia yang ada khususnya para PLKB di daerah kota Yogyakarta sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi BKKBN. 2. Manfaat Praktis Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi BKKBN Provinsi

DI.Yogyakarta secara khusus pemerintah Kota Yogyakarta maupun daerah lainnya dalam membuat kebijakan maupun mengambil keputusan mengenai: 1. Perancangan serta penerapan sistem manajemen kinerja bagi para pekerja lapangan Program keluarga berencana yang ada. 2. Pengelolaan, pengembangan dan pelatihan Sumber Daya Manusia yang diperlukan khususnya bagi para PLKB dalam upaya peningkatan kinerja. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Manajemen Kinerja

16

a.

Pengertian dan Tujuan Manajemen kinerja Kinerja merupakan tingkat pencapaian atas pelaksanaan pekerjaan atau tugas

tertentu. Awalnya kinerja menggambarkan pencapaian hasil dari para pegawai secara individu, namun kemudian berkembang seiring dengan kemajuan sistem manajemen kinerja yang ada. Pencapaian hasil dapat dinilai menurut pelaku, yaitu hasil yang diraih individu (kinerja individu), oleh kelompok (kinerja kelompok), oleh institusi (kinerja organisasi), dan oleh suatu program atau kebijakan (kinerja

program/kebijakan), sebagaimana dijelaskan di bawah ini:15 a. kinerja individu, menggambarkan sampai seberapa jauh seseorang telah melaksanakan tugas-tugasnya sehingga dapat memberikan hasil yang ditetapkan oleh kelompok atau institusinya b. kinerja kelompok, menggambarkan sampai seberapa jauh suatu

kelompok telah melaksanakan kegiatan-kegiatan pokoknya sehingga mencapai hasil sebagaimana ditetapkan oleh institusi c. kinerja institusi, berkenaan dengan sampai seberapa jauh suatu institusi

telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga mencapai misi atau visi institusi d. kinerja program/kebijakan, berkenaan dengan sampai seberapa jauh

kegiatan-kegiatan dalam program atau kebijakan telah dilaksanakan sehingga dapat


15

Yeremias T.Keban, 2004, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu.hal.191-193

17

mencapai tujuan program atau kebijakan tersebut. Menurut Ambar Teguh Suistyani (2003;223) kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Dalam pengertian ini kinerja individu dipandang sebagai hasil dari usaha yang telah dilakukakan oleh seseorang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan kesempatan yang diperolehnya, dimana hal ini dapat diukur atau dinilai untuk dapat mengetahui hasil kerja individu tersebut. Kemampuan serta usaha individu akan sangat menentukan kinerja yang akan dicapai. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disampaikan diatas maka kita dapat menarik suatu pemahaman mengenai kinerja yakni suatu tingkat pencapaian atas pelaksanaan tugas tertentu yang dihasilkan seseorang berdasarkan kemampuan, usaha dan kesempatan yang dimilikinya. Manajemen kinerja merupakan suatu proses yang dirancang untuk meningkatkan kinerja organisasi, kelompok maupun individu. Manajemen Kinerja sendiri mulai berkembang dan terlihat bentuknya pada akhir tahun 1980-an sbagai tanggapan dari pandangan-pandangan para ahli yang mengangap bahwasanya Management by Obyectif (MBO) memiliki beberapa kelemahan diantaranya yakni sifatnya yang birokratis dan sentralistik serta terlalu menekankan kepada sasaran serta output yang kuantitatif sehingga kurang memperhatikan faktor-faktor kualitatif serta aspek perilaku dan kinerja.

18

Baccal (1999) mendefinisikan manajemen kinerja sebagai suatu proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dengan atasannya langsung16. Berdasarkan definisi tersebut maka kita dapat memahami bahwasanya didalam manajemen kinerja terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses manajemen kinerja tersebut diantaranya yakni komunikasi. Selain itu dari pengertian tersebut kita juga dapat menangkap bahwasanya manajemen kinerja hanya akan berjalan dan memberikan hasil yang baik manakala komunikasi yang dilakukan bukanlah merupakan komunikasi satu arah melainkan komunikasi dua arah yang berkesinambungan. hal ini berarti dalam manajemen kinerja diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak baik atasan atau manajer dan bawahan atau pekerja. Manajemen kinerja ini berkaitan dengan usaha, kegiatan, atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk merencanakan mengarahkan dan mengendalikan prestasi karyawan. Adapun Tujuan dari manajemen kinerja sendiri yakni sebagai berikut17: 1. Meningkatkan prestasi kerja karyawan 2. Kenaikan Produktifitas 3. Merangsang minat Pengembangan diri karyawan 4. Membantu Perusahaan menyusun Program pengembangan dan pelatihan
16 17

Dalam Surya Dharma. 2005. Manajemen Kinerja(falsafah, teori dan penerapan). Hal:1 Achmad.S.Rucky. 2006.Sistem Manajemen Kinerja. Hal: 20-21

19

karyawan 5. Sebagai bahan pertimbangan dalam kebijakan sistem imbalan 6. Mengeratkan hubungan komunikasi antara pegawai dan atasan. Berbagai tujuan diatas dapat saling terkait satu sama lain. Diharapkan melalui manajemen kinerja yang baik maka dapat diketahui bagaimana kinerja individu tiaptiap pegawai selama ini dan apa saja yang menjadi kebutuhan para pegawai untuk mengembangkan kemampuan dirinya. Manajemen kinerja merupakan serangkaian proses yang dilakukan organisasi melalui pemimpin atau manajer untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. b. Manajemen Kinerja Sebagai Suatu Sistem Setiap organisasi memiliki keinginan untuk mengembangkan manajemen kinerja sesuai dengan versi dan kebutuhan organisasinya. Beberapa organisasi menerapkan manajemen kinerja yang top-down, namun muncul kritik bahwasanya pelaksanaan manajemen kinerja yang top-down terkesan dipaksakan dan kaku. Untuk itu manajemen kinerja akan lebih baik lagi jika dipandang sebagai suatu proses yang fleksibel yang dilakukan para manajer serta melibatkan pegawai dalam suatu kemitraan agara mereka dapat bekerja sama sebaik-baiknya dan menciptakan keharmonisan. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kerangka kerja konseptual sehinggga dapat dikembangkan dan dilakukan proses yang tepat.

20

Karena berada pada ruang lingkup manajemen maka manajemen kinerja juga memiliki fungsi manajemen pada umumnya yang dapat diterapkan dalam kerangka kerja konseptual manajemen kinerja yang ada. seperti yang di ungkapkan Amstrong (1994)18 yang mengilusrasikan kerangka kerja konseptual dari manajemen kinerja tersebut seperti yang dipaparkan pada Gambar 1.

Gambar 2.1. Proses Manajemen Kinerja


Pernyataan misi serta nilai-nilai Pernyata an Misi serta Nilainilai Sasaran/ Tujuan Kesepakatan Kinerja Manajemen Kinerja Secara Berkelangsungan Persiapan evaluasi Evaluasi kinerja

18

Surya Darma, Opcit, hlm.59

Umpan balik

Umpan balik

Pengembangan dan pelatihan

21

Sumber: Surya Dharma Manajemen Kinerja Falsafah teori dan penerapannya hal:61.Gambar 4.

Adapun kerangka kerja konseptual dari manajemen kinerja meliputi beberapaa aktivitas dibawah ini: 1. Strategi serta Sasaran Organisasi. Tahap ini dapa digolongkan kedalam tahap planing, dimana organisasi melalui pimpinan merencanakan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran oraganisasi dan bagaimana strategi yang akan dijalankan untuk

mencapainya. Adapun aktivitas-aktivitas yang terdapat didalamnya yakni: a) Persiapan pernyataan nilai serta misi yang dikaitkan dengan strategi organisasi. b) Penetapan sasaran organisasi dan departemen. 2.Penetapan Rencana dan Kinerja. Dalam tahapan ini fungsi organizing berlaku, dimana organisasi melalui pimpinan beserta pegawai yang bersangkutan mulai mengatur kesepakatan mengenai hal-hal yang diperlukan, termasuk standar penilaian dan rencana

22

kerjanya. Adapaun aktivitas-aktivitas yang dilakukan yakni: a) Kesepakatan mengenai akuntabilitas, tugas, sasaran, tuntutan

pengetahuan, keahlian, kompetensi serta ukuran kinerja b) Kesepakatan mengenai rencana kerja dan action plan untuk pengembangan SDM dan peningkatan kinerja 3.Pengelolaan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Merupakan bagian dari manajemen kinerja dimana dalam tahap ini organisasi melalui pimpinan mengambil tindakan (Action) sebagai umpan balik dari hasil evaluasi kinerja yang ada. Disinilah manajemen kinerja tersebut akan terlihat. a) Pemberian umpan balik secara teratur b) Evaluasi perkembangan secara berkala 4.Evaluasi Kinerja secara Formal. Tahapan ini dilakukan untuk menjalankan fungsi controlling dalam manajemen kinerja yang ada. a) Persiapan oleh manajer dan karyawan secara individu untuk suatu evaluasi formal b) Evaluasi Kinerja Tahunan, yang kemudian mengarah kepada

23

kesepakatan kinerja baru. 5.Pengembangan dan Pelatihan. Merupakan suatu tahapan upaya agar organisasi melalui pimpinan dapat mengarahkan pegawainya agar kemampuannya dapat berkembang dan kinerjanya dapat lebih baik sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan tujuan organisasi. a) Program Pengembangan dan Pelatihan yang didasarkan atas hasil evaluasi kinerja b) Pengembangan yang lebih formal akan brlangsung sepanjang tahun dalam bentuk bimbingan, konseling, on-the-job training dan aktivitas pengembangan diri.

Manajemen kinerja merupakan proses yang berhubungan dengan pengkajian mengaenai bagaimana berbagai sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. Terdapat dua bentuk sasaran yang akan dicapai melalui manajemen kinerja yakni19: 1. Sasaran kerja Sasaran kerja merujuk pada hasil yang harus dicapai dan kontribusi yang

19

Surya Darma, Ibid , hlm.78-80

24

harus diberikan terhadap pencapaian sasaran kelompok, bagian dan organisasi serta penegakan nilai organisasi. 2.Sasaran pengembangan Berkenaaan dengan segala sesuatu yang perlu untuk dipelajari dan dilakukan seseorang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan dan kompetensinya melalui berbagai pelatihan dan pendidikan dtingkatkan. Didalam bukunya yang berjudul Sistem Manajemen sehingga kinerjanya dapat

Kinerja,Achmad.S.Rucky (2007)

memaparkan sistem manajemen kinerja yang

dibedakan berdasarkan fokus atau orietasinya sebagai berikut: 1. Sistem Manajemen Kinerja yang Berorientasi Input Putti (1987) mengatakan dalam teori evolusi-nya bahwa pada awalnya sebuah program Manajemen Prestasi Kerja berorientasi pada ciri-ciri kepribadian orang yang menduduki jabatan. Ciri-ciri kepribadian yang banyak dijadikan obyek pengukuran adalah inisiatif, kreativitas, dependability, loyalitas, kejujuran, ketaatan, disiplin dan adaptasi. Kecuali adaptasi yang condong kepada kategori kemampuan yang lain sangat bersifat karakter pribadi. Kesulitan utama dari penerapan sistem MKK berbasis kompetensi ini adalah pembuatan definisi dari tiap level penguasaan (competent levels). Definisi tersebut

25

harus jelas dan hars disepakati oleh semua orang. Bila kita menggunakan contoh Supervisor diatas, misalnya apa kriteria atau definisi level 5 untuk kompetensi teknis proses pembuatan. Demikian pula dengan definisi level yang lain. Metode yang menekankan pada faktor-faktor atau karakter pribadi yang masih banyak digunakan adalah Graphic Rating Scales (GRS), Forced Ranking, dan Paired Comparison. 2. Sistem Manajemen Kinerja yang Berorientasi Proses

Sehubungan dengn kesulitan dalam penerapan metode yang berfokus pada individu/manusia, para pakar dan praktisi kemudian berargumentasi bahwa untuk menilai prestasi kerja seorang karyawan sebaiknya kita meneliti bagaimana seorang karyawan tersebut melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya. Dengan demikian, kecakapan dalam melaksanakan tugas-tugas sekarang menjadi tolak ukur keberhasilannya. Yang disebut Job Centered Approach oleh Putti sebenarnya adalah sebuah sistem yang memfokuskan perhatiannya kepada proses dalam konsep inputproses-output yang telah disebutkan. Yang dilakukan adala membandingkan yang dilakukannya dengan standar yang telah ditetapkan untuk setiap tugas yang telah dibebankan kepadanya. 3. Sistem Manajemen Kinerja Yang Berorientasi Output (Results)

Sistem atau metode Manajemen Kinerja Karyawan (MKK) yang fokusnya

26

hasil (Result) oleh Putti disebut sebagai objective Centered Approach. Sitem MKK ini awalnya berbasiskan pada konsep Management By Objectives (MBO) yanng pernah populer di Indonesia dengan istilah Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS). Istilah MBO pertama kali digunakan oleh Peter F. Drucker pada tahun 1954 dan kemudian dikembangkan sebagai sebuah sistem manajemen oleh ahli-ahli lain seperti Douglas Mc Geogor, George Odiorne dan John Humble. MBO/MBS dikenalkan sebagai sebuah proses atau sistem yang dirancang untuk memandu manajer, dimana atasan dan bawahannya bersama-sama menetapkan sasaran atau tujuan yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu dan untuk

pencapaiannya bawahan dibebani tanggung jawab penuh. Di dalam cara ini, sasaransasaran yang spesifik ditetapkan untuk tiap jabatan. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas maka didapat beberpa pin penting yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, untuk dapat menerapkan manajemen kinerja yang efektif. Adapun poin-poin tersebut yakni yaitu : 1. Adanya penetapan sasaran kinerja baik organisasi, kelompok maupun individu. Dimana atasan dan bawahan memiliki kesepakatan akan apa yang hendak dicapai. 2. Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja

27

yang diinginkan. indikator kinerja (key performance indicator) tersebut harus dapat terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya. Ukuran ini harus dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. 3. Pelaksanaan dan pemantauan (monitoring) di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, memperhatikan setiap kegiatan apakah sesuai dengan rencana atau tidak, dan mengambil tindakan jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka akan dilakukan pemecahan permasalahn akibat perubahan tersebut. 4. Evaluasi kinerja, yaitu proses penilaian pencapaian kerja, dalam tahap ini pimpinan menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dibutuhkan suatu penilaian kinerja yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan pengguna jasa. Evaluasi ini juga diharapkan dapat memberikan umpan balik terhadap hasil yang didapatkan 5. Adanya pengembangan dan pelatihan yang dilakukan berdasarkan hasil dari evaluasi/penilaian kinerja yang ada. Organisasi dapat melihat kinerja pegawainya dan mengetahi apa yang menjadi kekurangan kebutuhan untuk dapat meningkatkan kinerja pegawainya.

28

6. Adanya suatu sistem insentif dan disinsentif atau reward and punishment sebagai bentuk tindakan dan penghargaan terhadap hasil kinerja pegawai, dapat pula menjadi suatu dorongan motivasi bagi bawahan atau pegawai untuk dapat meningkatkan kinerjanya. . Reward and punishment yang diberikanpun harus bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan dan diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja diperlukan suatu performance appraisal atau penilaian kinerja lebih dahulu sebelum reward and punishment Keseluruhan Proses dan persyaratan yang harus dilakukan dalam suatu sistem manajemen kinerja seperti yang telah dipaparkan diatas dapat menjadi suatu alat bagi organisasi untuk mengukur atau menilai serta meningkatkan kinerja pegawainya sesuai dengan tujuan organisasi terutama dalam mencapai keberhasilan setiap program-program yang dijalankan.

B. Program Keluarga Berencana (KB) a. Konsep dasar Keluarga Berencana, Tujuan dan Manfaat Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam

mengajak

melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia. Tujuan gerakan

29

KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Tujuan umum dari program KB adalah menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kesehatan ibu sehingga di dalam keluarganya akan berkembang Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan penduduk di indonesia20. Sasaran langsung dalam program ini adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ditetapkan berdasarkan survei PUS yang dilaksanakan sekali dalam satu tahun dan pelaksanaannya di koordinasikan oleh Petugas Lapangan KB (PLKB) sedangkan sasaran tidak langsungnya ialah organisasi/lembaga kemasyarakatan, instansi pemerintah maupun swasta serta tokohtokoh masyarakat yang diharapkan dapat mendukung dalam pembentukan sistem nilai di masyarakat untuk usaha pelembagaan NKKBS. Aseptor KB (peserta keluarga berencana/family planning participant) ialah PUS (pasangan usia subur) yang mana salah seorang menggunakan salah satu cara/ alat kontrasepsi untuk pencegahan kehamilan, baik melalui program maupun non program. Petugas Lapangan Keluarga Berencana adalah petugas BKKBN di tingkat daerah, mereka ditugasi untuk merealisasikan program KB dengan mengarahkan
20

Informasi dasar Program Kependudukan Keluarga Berencana. BKKBN.1982. Jakarta. hal:21

30

perilaku fertilitas masyarakat agar memenuhi target kebijakan nasional. Untuk mencapai tujuan ini para PLKB harus bekerja sama dengan institusi-institusi lain di tingkat kecamatan, sekaligus mencari dukungan dari berbagai organisasi yang bergerak di tingkat lokal. Adapun manfaat yang didapatkan apabila mengukuti program keluarga berencana antara lain : 1. Menekan angka kematian akibat berbagai masalah yang melingkupi kehamilan, persalinan dan aborsi yang tidak aman. 2. Mencegah Kehamilan terlalu dini (tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh; belum cukup matang dan siap untuk dilewati oleh bayi. Lagipula, bayinya pun dihadang oleh risiko kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun) 3. Mencegah kehamilan terjadi di usia tua. Perempuan yang usianya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan terancam banyak bahaya. Khususnya bila ia mempunyai problema-problema kesehatan lain, atau sudah terlalu sering hamil dan melahirkan. b. Konsep Keluarga Berencana pasca Desentralisasi Melalui penyelenggaraan otonomi daerah mulai dilaksanakan di Indonesia berdasarkan apa yang telah diamanatkan diamanatkan dalam Tap MPR RI No. XV/1998. Dimana didalam ketetapan ini terdapat terdapat beberapa hal penting yang

31

antara lain berisi : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan yang luas, nyata, bertanggung jawab dengan prinsip demokratisasi dan keadilan. 2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan secara proporsional, yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 3. Dari aspek penguatan keuangan daerah, otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, kondisi geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan daerah. Sebagai tindak lanjut Tap MPR RI tersebut, telah dikeluarkanlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengganti UU No. 5 Tahun 1974. UU ini secara subtansial mengamanatkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Basis otonomi daerah tersebut adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota yang didasarkan pada azas desentralisasi, adapun daerah propinsi merupakan wakil pemerintah pusat yang menyelenggarakan urusan administrasi yang mencakup lintas daerah kabupaten dan daerah kota. Undang-Undang No.32/2004 merupakan revisi atas UU No.22/1999 dalam hal penyerahan kewenangan. Di dalamnya menetapkan urusan pemerintah

32

kabupaten/kota yang bersifat wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib mencakup urusan-urusan di bawah yang berskala kabupaten/kota : 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan, 2. Perencanaan, pengawasan dan pemanfaatan tata ruang, 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum, 5. Penanganan bidang kesehatan, 6. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan sumber daya manusia potensial 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, disinyalir akan terdapat beberapa kendala yang menghambat (Anwar, 2000), misalnya : a. Belum terdapat persepsi yang seragam tentang penerapan otonomi daerah, diantara instansi pusat maupun daerah. b. Tingkat kemampuan daerah sebagian masih jauh dari yang diharapkan, yang terutama kemampuan keuangan daerah selama ini masih cenderung tergantung pada pemerintahan pusat. c. Sumber daya aparat pemerintah daerah dan masyarakat yang masih rendah yang belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah.

33

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, pelaksanaan program KB juga kemudian didesentralisasaikan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan amanat presiden yang tercantum pada KEPRES No.103 tahun 2001. Dalam masa inilah program KB banyak menuai kendala, baik dari segi kelembagaan maupun pelaksaan teknis program KB itu sendiri. Adanya desentralisasi pada otonomi daerah juga mempengaruhi pelaksaan program KB di daerah. Menyikapi era otonomi daerah yang menempatkan program KB sebagai urusan wajib (sesuai PP Nomor 38 Tahun 2007 dan PP Nomor 41 Tahun 2007), BKKBN berupaya secara terus menerus menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dengan menggalang kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Berdasarkan UU No.52/2009, BKKBN akan diserahkan kepada pemerintah daerah21. Dalam hal ini berarti pemerintah daerah sendiri yang menyusun dan menyelenggarakan agenda BKKBN sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Peraturan undang-undang yang baru ini mengatur tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, didalam isinya

mengamanatkan bahwa kependudukan menjadi titik sentral dalam kegiatan pembangunan22. Menekankan pada pentingnya pengendalian angka kelahiran serta KB untuk mengaturnya.
21

Andarus Darahim dalam Muhadjir Darwin dan Pande Made Kutanegara.2010. Dinamika Kependudukan dan Penguatan Governance, Media Wacana:Yogyakarta. Hal: 34 22 muhadjirdarwin dan sukamdi ibid hal: 45

34

Adapun beberapa perubahan program KB pasca revitalisasi yakni23: 3. pendekatan pemenuhan kebutuhan atau fulfillment bukan hanya kepada target atau sasaran 4. program kesehatan produksi, program KB harus terintegrasi dengan program kesehatan terutama reproduksi bagi ibu dan anak perlu koordinasi lebih antara bkkbn dan kemenkes 5. pelayanan yg berkualitas, menekankan pada kenyamanan dan kepuasan klien. Para petugas harus menguasai dan terlatih serta dapat berkomunikasi secara efektif terlebih secara interpersonal dan memberikan empati kepada client 6. pendekatan client centered. Menempatkan klien sebagai subyek bukan objek saja. Klien harus mendapat informasi yang benar, terbuka dan jujur serta setiap tindakan harus mendapat persetujuan mereka. 7. Pendekatan berwawasan gender, jumlah akseptor KB tahun sblm revitalisasi 95% perempuan 8. mendorong kemandirian dalam ber-KB melalui pemberdayaan masyarakat 9. meningkatkan peran sektor swasta Peran dari pemerintah pusat dalam era ini harus beralih sebagai inisiator, koordinator, regulator dan fasilitator dalam program dan lebih memfokuskan pada
23

. Firman Lubis dalam opcit Hal:40-43

35

pemberian arah kebijakan serta acuan yang lebih mengarah pada penetapan standar pelayanan minimal. Dengan acuan ini, pemerintah daerah menyesuaikan langkah dan program yang dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.

C. Kerangka Berpikir Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Manajemen kinerja yang diterapkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Prov.D.I. Yogyakarta serta Kantor Keluarga Berencana Kota Yogyakarta terhadap para petugas Lapangan Program Keluarga berencana yang ada . Metode penelitian yang digunakan adalah survei yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode wawancara dan kuesioner sebagai instrumen utama yang digunakan dalam mengumpulkan data. Kependudukan merupakan issue penting dalam pembangunan di indonesia. Melihat permasalahan peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan kependudukan salah satunya dengan tetap melanjutkan program Keluarga Berencana yang ada. Namun dalam waktu-waktu terakhir Program ini seperti kehilangan nafasnya, terlebih lagi pasca diberlakukannya desentralisasi terhadap kelembagaan dan program dari badan yang menanganinya yakni BKKBN provinsi maupun kantor atau lembaga keluarga berencana di tingkat kabupaten/kota. Hal ini terlihat dengan berkurangnya kinerja para petugas lapangan program keluarga berencana ini baik secara kualitas maupun kuantitas, padahal

36

mereka merupakan ujung tombak dari keberhasilan program ini. Dalam konteks pemahaman ini, pada dasarnya manajemen kinerja dipandang sebagai cara bagaimana mencapai tingkat hasil yang diinginkan sesuai dengan yang ditetapkan atau dirancang dalam perencanaan. Penerapan manajemen kinerja individu maupun organisasi dalam ranah organisasi/instansi pemerintah sebagai suatu sistem, tidak terlepas dari faktor-faktor yang menghambat dan mendukung sistem tersebut. Diperlukan desain sistem manajemen kinerja yang tepat untuk mencapai kinerja optimal (high performance), terlebih lagi dalam meningkatkan kinerja petugas lapangan yang menjadi implementor program KB di wilayah Prov.D.I.Yogyakarta khususnya di Kantor Keluarga Berencana Kota Yogyakarta. Dibutuhkan proses yang sistematis mulai dari penetapan sasaran, kesepakatan rencana dan indikator kinerja, monitoring, evaluasi, pengembangan dan pelatihan serta pemberian reward and punishment dalam organisasi tersebut.Untuk itu penelitian ini akan mencoba untuk mengetahui bagaimana sistem manajemen kinerja yang diterapkan kepada petugas lapangan program KB di provinsi D.I yogyakarta khususnya di kantor Keluarga Berencana Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah desentralisasi. Gambar 2.3 Kerangka berpikir penelitian
Penetapan sasaran/ orientasi

37

Kepakatan/perencanaan kinerja

Sistem

Monitoring Evaluasi Kinerja Pengembangan dan pelatihan Reward and Punishment

manajemen Kinerja

D. Definisi Konseptual dan Operasional Adapun Definisi Konsep dari penelitian ini yakni sebagai berikut: 1. Manajemen Kinerja, merupakan suatu sistem pengelolaan kinerja yang

dilaksanakan oleh organisasi melalui serangkaian proses usaha atau kegiatan untuk merencanakan mengarahkan dan mengendalikan prestasi atau kinerja pegawainya. 2. Penetapan sasaran, merupakan perumusan atau uraian yang telah ditetapkan tentang suatu hasil yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu 3. penetapan rencana dan indikator kinerja merupakan penetapan tolak ukur atau standar penilaian dari pencapaian kerja/kinerja, lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. 4. Monitoring memperhatikan setiap kegiatan apakah sesuai dengan rencana atau

38

tidak, dan mengambil tindakan jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka akan dilakukan pemecahan permasalahan akibat perubahan tersebut. 5. Evaluasi yaitu proses penilaian pencapaian kerja, dalam tahap ini pimpinan menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. 6. Pengembangan dan pelatihan Merupakan suatu tahapan upaya agar organisasi melalui pimpinan dapat mengarahkan pegawainya agar kemampuannya dapat berkembang dan kinerjanya dapat lebih baik sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan tujuan organisasi. 7. Reward and punishment merupakan bentuk penghargaan ataupun tindakan sebagai konsekuensi dari hasil penilaian atau evaluasi kinerja pegawai

Dari definisi operasional diatas kemudian diturunkan kedalam definisidefinisi operasionalnya. Adapun definisi operasionalnya yakni sebagai berikut: 1. Manajemen Kinerja - Keterlaksanaan penetapan sasaran organisasi, kelompok dan individu - Konsistensi pelaksanaan proses pengelolaan kinerja - Adanya kontinuitas komunikasi atara atasan dan bawahan dalam proses

39

manajemen - Pemeberian umpan balik terhadap hasil evaluasi - Pemahaman mengenai hambatan efektivitas kinerja 2. Penetapan Sasaran - Kejelasan orientasi atau fokus sasaran kinerja yang ingin dicapai - Tersampaikannya komponen-komponen sasaran yang ingin dicapai - Adanya standarisasi sasaran yang spesifik 3. Kesepakatan/Perencanaan Kinerja - Adanya kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai Akuntabilitas Tugas Tuntutan pengetahuan Keahlian Kompetensi Indikator atau ukuran kinerja

- Adanya standarisasi yang jelas dari yang telah disepakati 4. Monitoring

40

- Adanya standarisasi pelaksanaan tugas atau kegiatan sesuai yang telah direncanakan - Pemberian umpan balik terhadap hasil monitoring kegiatan - Konsistensi pelaksanaan monitoring 5. Evaluasi Kinerja - Konsistensi pelaksanaan evaluasi kinerja - Obyektifitas evaluasi penilaian kinerja - Keterukuran indikator kinerja yang digunakan - Adanya tingkatan penilaian - Adanya kontinuitas dari hasil evaluasi

6. Pengembangan dan Pelatihan - Kesesuaian pengembangan dan pelatihan yang dilakukan dengan kebutuhan - Dapat memberikan umpan balik - Memberikan kontribusi terhadap kinerja individu dan organisasi 7. Reward and Punishment - Adanya standar nilai pemberian reward maupun punishment

41

- Tingkat konstruktifitas reward and punishment yang diberikan - Konsistensi pemberian reward and punishment.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan mnggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif sering disebut sebagai metode penelitian naturalistik. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif

42

lebih menekankan makna daripada generalisasi24. Menurut Bogdan dan Tylor, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.25 Melalui metode kualitatif akan di dapat suatu data yang lebih natural karena proses pengumpulan datanya dapat dilakukan dengan mengobrol biasa tanpa ikatan formalitas. Dengan metode ini peneliti melakukan penelitian secara intensif, ikut berpartisipasi di lapangan, mencatat apa yang perlu dan penting, kemudian menganalisisnya dan membuat laporan penelitian. Selain itu dapat diperoleh data yang lebih lengkap, lebih mendalam, dan lebih bermakna sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.

B. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti di lapangan tanpa adanya perantara lain. Untuk memperoleh data primer ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi di lapangan dan wawancara. Observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap
24

25

Prof. Dr. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:CV Alfabeta. Hal 1 Lexy Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal

43

sesuatau obyek yang menggunakan alat indera .26 Observasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa peneliti dapat memperoleh data secara langsung dan data yang diperoleh pun merupakan data yang seperti pada kenyataannya di lapangan. Sehingga peneliti dapat melihat langsung tanpa harus memperkirakan bagaimana kondisi lapangan. Dalam penelitian ini observasi akan dilakukan di BKKBN prov. D.I. Yogyakarta dan Kantor Keluarga Berencana Kota Yogyakarta. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.27 Wawancara dilakukan dengan pertimbangan bahwa data akan lebih mudah diperoleh dan juga mampu mengetahui suatu makna tertentu dalam suatu perbuatan. Wawancara dilakukan terhadap narasumber berkompeten untuk

memberikan jawaban dari pertanyaan yang dibutuhkan dalam hal ini yakni kepala BKKBN provinsi D.I.Yogyakarta atau kepala bidang kepegawaian (HRD) BKKBN Proviinsi D.I.Yogyakarta dan kepala bidang kepegawaian Kantor Keluarga Berencana Kota Yogyakarta serta beberapa PLKB sebagai sample penelitian dari masing-masing daerah kabupaten. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain atau sumber lain. Untuk memperoleh data sekunder ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
26

Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.Arikunto. Hal 133 27 Lexy Moleong Ibid. hal 186

44

berupa studi literatur, yang diperoleh dari internet dan buku-buku bacaan. Data sekunder ini digunakan untuk mendukung validitas dan reliabilitas data primer sehingga data yang diperoleh merupakan data yang valid dan bukan khayalan peneliti.

C. Instrumen Penelitian Dalam metode kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama atau key instrument. Sebagai key instrument ini peneliti berfungsi menetapkan fokus dan lokus penelitian, menyeleksi informan yang diperlukan dalam penelitian, melakukan pengumpulan data, menganalisis data , dan menafsirkannya serta membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data yang berupa Pengembangan pedoman wawancara Pedoman wawancara, yang berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada Kepala Bagian bidang kepegawaian BKKBN Prov.D.I. Yogyakarta, serta perwakilan PLKB dari tiap-tiap kabupaten dan kcamatan yang ada sebagai sample yang dipilih secara random

D. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan,

45

observasi, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, kemudian menjabarkannya ke dalam unit-unit tertentu, lalu dilakukan sintesa dan menyusunnya ke dalam suatu pola serta memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, kemudian mebuat kesimpulan sehingga lebih mudah dipahami oleh diri sendiri maupun pembaca. Analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis sebelum memasuki lapangan dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun fokus penelitian ini masih bersifat sementara yang mungkin akan berubah ketika sudah terjun ke lapangan.

E. Keabsahan Data Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang ada di lapangan dengan data yang dilaporkan oleh peneliti. Validitas membuktikan hasil yang diamati sudah sesuai dengan kenyataan dan memang sesuai dengan yang sebenarnya atau kejadiannya.28 Suatu data dikatakan valid jika data yang dialporkan tidak berbeda atau sama dengan hal yang terjadi di lapangan. Sedangkan reliabilitas adalah derajat konsistensi dan stabilitas data. Dalam penelitian kuantitatif suatu data dikatakan reliabel jika data temuan antara satu peneliti dengan peneliti lainnya sama. Sedangkan dalam penelitian kualitatif hal ini tidak berlaku lagi.
28

S Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Hal 105

46

Semua data dari setiap peneliti bisa dikatakan reliabel walaupun hasilnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan paradigma yang digunakan oleh setiap peneliti. Dalam penelitian ini pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan dengan cara: 1.Meningkatkan ketekunan Meningkatkan ketekunan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara lebih cermat, teliti, dan berkesinambungan. Dengan meningkatkan ketekunan peneliti bisa mengetahui data yang diperoleh benar atau tidak. 2.Triangulasi Triangulasi dilakukan dengan pengecekan data. Triangulasi berkaitan dengan perpanjangan pengamatan, yang dilakukan untuk melihat keajegan yang terjadi di lapangan. Karena pengamatan pada hari tertentu bisa saja berbeda dengan pengamatan pada hari lain sehingga diperlukan pengamatan berkali-kali ke obyek penelitian tersebut. 3.Menggunakan bahan referensi Dengan adanya referensi lain, maka dapat mendukung data yang diperoleh di lapangan. Referensi bisa berasal dari buku atau internet.

You might also like