You are on page 1of 159

KESENJANGAN ANTARA HASIL PENDIDIKAN TINGGI DAN JABATAN DI INDONESIA (Data SP80 dan SP90)

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH

Disertasi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Doktor Kependidikan

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JAKARTA 1995

ABSTRAK

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH, Kesenjangan Antara Hasil Pendidikan Tinggi dan Jabatan di Indonesia( Data SP80 dan SP90). Disertasi. Jakarta: Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Agustus 1995.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil pendidikan dan jenis pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi. Kesenjangan yang dimaksudkan adalah kesenjangan antara jurusan pendidikan kepada jenjang yang ditamatkan minimal S1 dengan jenis/jabatan pekerjaan yang ditekuni di Indonesia berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1980 dan data Sensus Penduduk tahun 1990. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan data tape dari Biro Pusat Statistik (BPS). Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; (1) mengkaji konsep dan definisi kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jenis/jabatan pekerjaan serta kaitannya dengan pembangunan eknomi, sosial, dan kependudukan/demografi; (2) mengkaji

ketersediaan data secara nasional di Indonesia yang ada di BPS; (3) menyelaraskan konsep kesenjangan dengan ketersediaan data; (4) melakukan pengolahan dan analisis data. Penelitian ini menunjukkan bahwa kesenjangan jurusan pendidikan tinggi dengan jenis/jabatan pekerjaan menunjukkan adanya penurunan dari 91,3 persen pada tahun 1980 menjadi 77,7 persen pada tahun 1990. Hipotesis adanya asosiasi antara variabel ekonomi, sosial, demografi, dan interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi sementara bisa diterima. Lebih lanjut, hasil ini memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi selama PJP I yang digambarkan pada data tahun 1980 dan data 1990 di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pembangunan nasional. Secara khusus mempunyai kaitan dengan berbagai perkembangan prioritas pembangunan di Indonesia dapat dinyatakan dalam Trilogi Pembangunan yang pada awalnya pada prioritas dengan urutan (1)

stabilitas, (2) pertumbuhan ekonomi, dan (3) pemerataan, menjadi (1) pertumbuhan, (2) pemerataan, dan (3) stabilitas. Pembangunan nasional pada PJP II, mulai dicanangkan program Link and Match yang secara teoritis biasa disebut relevansi antara hasil/keluaran sistem pendidikan dengan kebutuhan industri. Hal ini akan terwujud apabila pendekatan pembangunan pendidikan yang direncanakan secara terpadu bisa dilaksanakan secara berkesinambungan.

ii

ABSTRACT

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH. Mismatch Between Field of Study in Higher Education and Occupation in Indonesia (Population Census Data 1980 and 1990). Dissertation. Jakarta: Program of Graduate Studies, IKIP Jakarta, Augusts 1995.

The aim of this dissertation is to analyze the mismatch between the field of study of graduates in higher education and their subsequent occupation. The definition of mismatch is based on the mismatch between Indonesia graduate level education, at least at least at the S1 level and the occupation the graduate subsequently hold in accordance to the 1980, and 1990 Population Census. The study employed quantitative methods using the census data tape from the Central Bureau of Statistics. The following steps were taken (1) exploring the concept and the definition of mismatch between the field of study in higher education and their subsequent occupation, according to socio-economic-demographic patters; (2) assessing the national Population Census 1980 and 1990 data available in the CBS; (3) application of the concepts defined of mismatch above with the data available; and (4) data processing and analysis. The results showed that there has been a significant decline in the degree of mismatch from 91.3 percent in 1980 to 77.7 percent in 1990. The hypothesis stipulating association between socio-economic-demographic variables and interaction in relation to the mismatch is temporarily acceptable. Furthermore, it indicates that the mismatch which occurred during the First Longterm Development as stated in the 1980 and 1990 data is strongly related to Indonesias national development. In particular, it relates to the shifting of priorities of the National development as stated in Trilogi Pembangunan from the (1) stability, (2) growth, and (3) equity to (1) growth, (2) equity, and (3) stability. National development in PJP II, has launched a program called Link and Match which is theoretically known as the relevance between the output of the education

iii

system and industrial requirements. This can be achieved successfully through an integratedly planned approach of development education which is continuously implemented.

iv

PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR Nama Tanda Tangan Tanggal

Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A (Ketua) __________ Prof. Dr. Kartomo Wirosuhardjo, M.A. (Anggota) __________ Prof. Dr. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc. (Anggota) __________ _______ _______ _______

PERSETUJUAN PANITIA UJIAN DOKTOR Nama Tanda Tangan Tanggal

Dr. Anna Suhaenah Suparno M.Pd. 1) (Ketua) __________ Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A. 2) (Sekretaris) __________ _______ _______

Tanggal Lulus : ________________

No.Registrasi: 7017902955 1). Rektor IKIP Jakarta 2). Direktur PPS IKIP Jakarta

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

bahwa

dengan rahmat, taufik, hidayah, dan inayahnya penulis bisa menyelesaikan tugas penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Komisi Promotor, yaitu Prof.DR.A.O.B. Situmorang, M.A., Prof.DR. Kartomo Wirosuhardjo, M.Sc., dan Prof.DR. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc. atas bimbingannya sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis rampungkan. Kepada Direktur dan Asisten Direktur I Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta, penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas dorongan dan perhatiannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas ini. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Panitia Ujian ialah Rektor IKIP Jakarta dan Direktur PPS IKIP Jakarta. Kepada para anggota penguji Prof. Dr.A.O.B. Situmorang, M.A., Prof. Dr. Toeti Soekamto, M.Pd., Prof. DR. Kartomo Wirosuhardjo, M.A., Prof. DR.I Gusti Ngurah Agung, M.St.M.Sc., Dr. Anna Suhaenah Suparno, Dr. ies Pongtuluran, dan Dr. Arief S. Sadiman, juga kami ucapkan terima kasih yang tulus sehingga ujian dapat dilaksanakan. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Puslit Pranata Pembangunan, Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia yang telah memberikan izin belajar serta menggunakan berbagai fasilitas komputasi hingga tugas ini selesai. Kepada istri tercinta Siti Hasanah, dan kedua PUTRI SAYA Maria Cleopatra dan Sara Sahrazad juga diucapkan banyak terima kasih atas dorongannya hingga pekerjaan ini selesai. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua fihak yang telah membantu, sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis selesaikan. Suparman, IA

vi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .. ABSTRACT ......... PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR KATA PENGANTAR . DAFTAR ISI ....... DAFTAR TABEL .. DAFTAR GAMBAR .. DAFTAR LAMPIRAN

i iii v vi vii x xi xii

BAB I.

PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH .

A. B. C. D. E. F.

Latar Belakang Masalah Identifikasi Masalah.. Pembatasan Masalah. Perumusan Masalah.......................................................... Tujuan Penelitian............................................................... Kegunaan Penelitian.........................................................

1 13 20 21 22 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ..................................................... 23

A.

Deskripsi Teoritis . 1. Kebijaksanaan Relevansi.............................................. 2. Uraian Teori .

23 33 37

vii

3. Kesenjangan atau Mismatch B. C. D. Hasil-hasil Penelitian yang relevan.................................. Kerangka Berfikir Hipotesis ..

42 44 46 48

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN .

49

A. B. C. D. E. F. G.

Tujuan Penelitian ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Metode Penelitian .. Teknik Pengambilan Contoh . Instrumen Penelitian .. Pengolahan dan Analisis Data Pengertian Dasar Beberapa Istilah .

49 49 49 50 51 52 61

BAB IV

HASIL PENELITIAN .

63

A.

Deskripsi Data 1. Jurusan pendidikan responden ... 2. Kegiatan ekonomi .. 3. Jabatan ........ 4. Sosial .. 5. Ekonomi . 6. Demografi ..

63 63 65 65 66 67 68 69 71 71 77

B. C.

Kesenjangan ... Pengujian Hipotesis 1. Distribusi responden .. 2. Deskripsi kesenjangan

viii

3. Pengujian hipotesis D. Diskusi Hasil . 1. Diskusi ....... 2. Keterbatasan .........

96 112 112 114

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ..

119

A. B. C.

Kesimpulan Implikasi Hasil Penelitian .. Saran-saran .

119 124 127

DAFTAR PUSTAKA .. LAMPIRAN

134

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

1.1.

Proporsi biaya Pendidikan Terhadap GNP Tahun 1980-an dan 1992

15

Tabel

1.2.

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT) Berbagai Negara (1986-87) dan Indonesia (1992)

16

Tabel

2.1.

Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi Tahun 1994 dan Proyeksinya tahun 1994 Dan 2018 menurut Kelompok Jurusan

29

Tabel

2.2.

Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN Dan PTS (Ribu Orang)

30

Tabel

2.3.

Kebutuhan Tambahan Tenaga So keatas Repelita V X (Orang)

31

Tabel

2.4.

Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan Reformasi dua jenis Dunia Kerja

34

Tabel Tabel

3.1. 4.1.

Daftar Variabel dan kategorinya dalam Penelitian Distribusi menurut persentase sarjana yang bekerja

59 73

Variabel-variabel

dalam

penelitian,

Sensus Penduduk, dan Kategori jawaban Tabel 4.2. Perbandingan Uji Statistik tahun 1980-1990 105

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar

1.1.

Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi di Dunia Kerja/Industri

Gambar Gambar Gambar

1.2. 1.3. 1.4.

Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan Prinsip Korespondensi Antara Luaran

7 8 10

Pendidikan Formal dengan Luaran Proses Sosial, Ekonomi, dan Politik Gambar 1.5. Hubungan antara Polity, Keluarga, Sekolah dan Pekerjaan Gambar 2.1. Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia Gambar Gambar 2.2 2.3 Sistem Pendidikan Nasional Kerangka Pikir faktor-faktor yang Berasosiasi dengan Kesenjangan. Gambar 4.1 Urutan derajat pengaruh/asosiasi Sembilan variabel dependen terhadap derajat 78 36 47 26 11

kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun 1990.

xi

BAB I PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH

A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional secara berurutan pada Pasal 3 dan Pasal 4 sebagai berikut: Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

rangka upaya tujuan nasional. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengambangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir d, disebutkan:

Pendidikan nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antar berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan maupun antar sektor pendidikan dengan sektor pembangunan lainnya serta antar daerah. Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional (hal.13).

Kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perkembangan pembangunan. Perlu pula terus dikembangkan kerja sama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga yang cakap dan terampil bagi pembangunan sehingga tercipta keterpaduan dengan perencanaan tenaga kerja nasional (hal. 13). Selanjutnya dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir i. antara lain disebutkan: Pendidikan tinggi harus terus dibina dan dikembanhgkan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap pengetahuan dan teknologi. Disamping itu , pendidikan tinggi juga harus mampu melahirkan manusia yang berjiwa penuh pengabdian, dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara (hal. 14). Djojonegoro (1994e) menguraikan bahwa upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia hanya dapat dilakukan apabila mutu pendidikan relevan dan bermutu tinggi. Sehubungan dengan itu, Depdikbud memberikan penekanan yang sangat khusus pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan maksud agar sistem pendidikan tetap serasi dan selaras dengan kebutuhan pembangunan, khususnya menghadapi era industrialisasi masyarakat Indonesia. Mutu dan relevansi pendidikan dapat diukur dengan pertanyaan sejauh mana para lulusan pendidikan memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang selama ini dipelajarinya. Pendekatan ini pada gilirannya akan memberikan arahan mengenai jenis keahlian yang perlu dikembangkan, dan jenis-jenis keahlian yang perlu dikendalikan pertumbuhannya.

Relevansi pendidikan tersebut sudah merupakan salah satu tema pembangunan pendidikan sejak Repelita I, yang dapat diartikan dengan kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Tema tersebut terus digunakan dari Repelita ke Repelita seolah-olah sudah melekat di dalam pembangunan nasional sektor pendidikan (Enoch, 1992; Thomas, 1973; Atmakusuma, A., Teken, I.G.B, Soehardjo, A. and Asngari, P.S. 1974; Shaeffer, 1990). Notodihardjo (1990) menunjukkan bahwa tahun 1981 program-program pendidikan tinggi juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan tidak hanya ditujukan untuk perbaikan pendidikan tinggi saja. Salah satu program utama DIKTI pada waktu itu adalah peningkatan efisiensi eksternal pendidikan, dan salah satu program utamanya adalah program peningkatan Relevansi Pendidikan. Formulasi pemikiran yang diajukan oleh Notodihardjo adalah bagaimana sebenarnya pandangan dan harapan mahasiswa, lulusan dan pengguna lulusan perguruan tinggi tentang kaitan antara pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat tinggi. Formulasi keterkaitan ini disajikan dalam model pada Gambar 1.1 di bawah ini. Gambar 1.1 Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi di Dunia Kerja / Industri
SISTEM PENDIDIKAN TINGGI SISTEM DUNIA KERJA

Sumber: Notodihardjo. (1990). Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi di Indonesia: Studi Tentang Kaitan Antara Perguruan Tinggi dan Industri di Jawa. p. 5

Pada waktu itu antara lain ditemukan bahwa dorongan melanjutkan studi di perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomis, dan diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan bekerja secara tetap sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan tinggi. Kebanyakan pada waktu itu tahun 1981 ingin bekerja di sektor pemerintahan. Diperkirakan pada saat ini, ada perubahan para mahasiswa perguruan tinggi tentang keinginannya untuk bekerja di sektor mana. Namun mengenai jabatan atau diperkirakan tidak berubah, khususnya keinginan atau harapan untuk bekerja pada jabatan (okupasi) yang sesuai dengan bidang/jurusan studinya. Tema relevansi telah dijabarkan lebih jelas untuk memperkecil ketidakpastian dan sekaligus menjadikan istilah Relevansi Pendidikan tidak bersifat retorika semata-mata. Essensi relevansi adalah link and match. Keterkaitan dan kesepadanan (link and match) atau kesesuaian antara hasil pendidikan dan dunia kerja, tersurat pada kata kunci (GBHN, 1993) pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih terpadu dan serasi, baik antara sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya, antara daerah maupun antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) telah menetapkan empat kebijaksanaan pokok dalam bidang pendidikan, yaitu (1) pemerataan dan kesempatan, (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pendidikan. Pemerataan diprioritaskan melalui wajib belajar sembilan tahun, kemudian relevansi pada prinsipnya adalah link and match. Selanjutnya Djojonegoro (1994d)

menjelaskan tentang kebijaksanaan meningkatkan kualitas dan efisiensi hasil pendidikan. Diuraikan bahwa hasil suatu pendidikan disebut berkualitas jika mempunyai salah satu ciri berikut. Pertama peserta didik mempunyai kemampuan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasainya sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, di antaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal). Kedua hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, melainkan dapat melakukan sesuatu yang fungsional untuk kehidupannya (learning and earning). Ketiga hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan juga khususnya dunia kerja. Dari segi ini, maka relevansi merupkana salah satu aspek atau indikator dari kualitas. Selanjutnya efisiensi secara konvensional diartikan makin rendah biaya yang diperlukan dan makin maksimal hasil yang dicapai, maka berarti makin tinggi

efisiensi. Dalam pandangan kontemporer efisiensi bukan hanya biaya yang menjadi ukurannya, tetapi justru keefektifan atau kualitas hasil. Dalam konteks yang luas efisensi berkaitan dengan profesionalisme dalam manajemen pendidikan yang di dalamnya terkandung disiplin, kesetiaan, keahlian, etos kerja, cost effectiveness, dan lain-lain. Implikasi lanjutnya, untuk meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan kebijakan yang memungkinkan efisiensi diwujudkan, antara lain: reorganisasi dan desentralisasi sehingga sumber daya pendidikan (yang tersebar di seluruh Indonesia) dapat dimanfaatkan secara maksimal. Selanjutnya empat pokok kebijaksanaan, prioritas perguruan tinggi adalah relevansi pendidikan dengan pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya

dikenal dengan kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Dalam menciptakan keterkaitan dan kesepadanan atau link and match, perguruan tinggi diharapkan mengadakan dialog atau tukar pikiran yang lebih intensif dengan berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, dunia usaha, pertanian, industri, dan masyarakat pada umumnya. Dengan dialog tersebut dapat diketahui berbagai pendapat, aspirasi, maupun keinginan masyarakat, kemudian merumuskan berbagai kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan program pendidikannya yang sesuai dengan aspirasi tersebut. Dengan demikian link and match berarti mendekatkan perguruan dengan masyarakat dan daerah, baik aspirasi maupun kebutuhannya, serta membantu masyarakat dengan memanfaatkan kepakaran dan kemampuan perguruan tinggi. Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan pembangunan dan mengaitkan berbagai upaya pendidikan dengan kebutuhan pembangunan tersebut, pendidikan akan dapat lebih mencapai hasil sesuai dengan misi dan fungsinya. Djojonegoro (1994f) menjelaskan konsep relevansi atau link and match sebagai berikut. Kebijakan ini dikembangkan dengan maksud untuk meningkatkan keterkaitan antara pendidikan dengan dunia pembangunan. Link secara harfiah berarti bertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif, dan match berarti kecocokan. Pada dasarnya, link and match merujuk pada kebutuhan (need, demands). Kebutuhan dalam pembangunan sangat luas, bersifat multidimensional, dan multisektoral, mulai dari kebutuhan peserta didik sendiri, kebutuhan keluarganya, kebutuhan untuk

pembinaan warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan sampai ke kebutuhan dunia kerja (Gambar 1.2). Dari perspektif ini link menunjukkan pada proses, yang berarti bahwa proses pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya cocok (match) dengan kebutuhan, baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi, dan waktu. Jadi pada prinsipnya konsep link and match adalah supply-demands dalam arti luas, yaitu dunia pendidikan sebagai penyiap SDM dan individu, masyarakat, serta dunia kerja sebagai pihak yang membutuhkan (Gambar 1.3).

Gambar 1.2 Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan Kebutuhan Pribadi/Individu Kebutuhan Keluarga Dunia Pendidikan Kebutuhan Bangsa Dan Masyarakat Kebutuhan dunia kerja/usaha
Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.

Gambar 1.3 Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan Sarana & Prasarana

Masukan (Peserta Didik)

Proses Belajar Mengajar

Hasil Lulusan

Sumber Daya Manusia LINK

Kebutuhankebutuhan MATCH

Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada derajat link and match menurut jenjang dan jenis pendidikan. Pada pendidikan dasar idealnya mempunyai derajat yang rendah, menengah cukup, pendidikan tinggi akademik mempunyai derajat yang cukup, dan pendidikan tinggi profesional mempunyai derajat yang tinggi. Selanjutnya Levin (1976) juga menguraikan keterkaitan dinamis antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lainnya yang disebut prinsip korespondensi yang sebenarnya juga merupakan prinsip relevansi atau link and match. Dikatakan bahwa segala kegiatan dan proses di sektor pendidikan mempunyai kaitan langsung dengan keadaan masyarakat umum yang bersangkutan, termasuk masalah sosial, ekonomi, politik. Salah satu contoh prinsip korespondensi antara sekolah dan tatatan sosial,

ekonomi, politik adalah proses pendidikan dimana peserta didik akan mencapai tingkat kompetensi yang sesuai dengan kehidupannya (Zaltman, et al., 1977). Hubungan di atas secara sederhana diajukan oleh Levin seperti dalam Gambar 1.4 di bawah ini. Selanjutnya prinsip korespondensi dari Levin (1976) melalui Gambar 1.4 tersebut dijelaskan sebagai berikut: The activities and outcomes of the edicational sector correspons to those of the society generally. That is, all edicational systems represent an attempt to serve their respective sociseties such that the social, economic, and political relationships of the educational sector will mirror closely those of the society of which they are a part. Educational outcomes are produced in line with desired social, economic, and political outcomes through educational resources, the schools budget, and the educational processes taking place in the schools themselves (pp.10).

10

Gambar 1.4 Prinsip Korenspondensi Antara Luaran Pendidikan Sekolah dengan Luaran Proses Sosial, Ekonomi, dan Politik
EXTERNAL INFLUENCES POLITY

BUDGET AND GOALS

EDUCATIONAL RESOURCE

EDUCATIONAL PROCESS

E D U C A T I O N A L

R E F O R M

EDUCATIONAL OUTCOMES

SOCIAL, POLITICAL, ECONOMIC OUTCOMES

Sumber: H.M. Levin. (1976) Educational Reform: Its Meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc, p.31

11

Gambar 1.5 Hubungan antar Polity, Keluarga, Sekolah, dan Pekerjaan


WORK ORGANIZATION Demand for Worker worker traits

INSTITUTION VALUE, CULTURE, POLITY Values rules for success (class orientation)

EDUCATIONAL PROCESS

EDUCATION OUTCOME AND OTHER YOUTH TRAITS child bearing

FAMILY

Sumber: H.M. Levin (1976) A Taxonomy of Educational Reforms for Changes in the Nature Work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc.p.84.

Levin juga menjelaskan konsep demand and supply, atau kebutuhan dan hasil pendidikan. Kebutuhan menurut Levin dikelompokkan menjadi dua, pertama kebutuhan keluarga dan kedua kebutuhan dunia kerja. Konsep ini secara sederhana disajikan pada Gambar 1.5 yang menunjukkan kaitan antara sistem sosial (lembaga, nilai, budaya, dan tata kehidupan) dengan keluarga, sekolah, dan dunia kerja.. Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia pekerjaan, keluarga, dan proses pendidikan. Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia kerja yang kemudian menentukan kebutuhan tenaga kerja. Begitu pula sistem sosial memberikan warna kepada keluarga dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan dengan

12

nilai-nilai sosial yang ada pada keluarga tersebut, secara bersama-sama kebutuhankebutuhan dunia kerja menentukan proses pendidikan. Pada gilirannya proses pendidikan memberikan hasil yang siap latih dan siap bekerja. Maka pada akhirnya dunia kerja yang dihasilkan sebagaimana yang diharapkan, akan memperkuat sistem sosial yang ada. Jadi essensi reformasi pendidikan akan berhasil jika diiringi dengan tatanan dunia kerja yang mendukungnya, atau sebaliknya. Di Indonesia, selama PJP I juga telah mencanangkan empat kebijakan pembangunan pendidikan di atas, namun pemerataan masih diutamakan bagi masyarakat banyak, sehingga kelompok masyarakat pada umur pendidikan tinggi masih mengalami berbagai kendala. Begitu pula kebijakan lainnya, tentang relevansi, walaupun telah dilakukan pengupayaannya sejak lama, namun dari sisi permintaan dalam hal ini dunia kerja (sektor pembangunan sosial-ekonomi-budaya termasuk dunia industri, perdagangan dan jasa) di Indonesia berkembang sangat pesat. Khususnya di pendidikan tinggi walaupun berkembang sangat pesat, namun diperkirakan pandangan masa depan calon peserta didik tidak dibekali informasi kedepan, teapi pada informasi yang bersifat patroon-client, atau panutan. Berkaitan dengan masalah kualitas, dan efisiensi di pendidikan tinggi perintisan sistem akreditasi telah dimulai sejak lama, namun operasionalisasi pada saat ini sedang dalam taraf uji coba.

13

B. Identifikasi Masalah Selama Orde-Baru pemerintah Indonesia telah memprioritaskan pembangunan ekonomi, dan dapat dirasakan secara nyata. Begitu pula pembangunan di sektor non ekonomi yang tergabung dalam koordinasi Menko Kesra yang mencakup sepuluh sektor ialah: agama, pendidikan, kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan penelitian, kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, perumahan dan pemukiman, kesejahteraan sosial, generasi muda, dan peranan wanita. Biro Pusat Statistik (1994) dalam ulasan buku Indikator Kesejahteraan Rakyat, menunjukkan bahwa bidang kesra secara nyata diwarnai oleh sektor kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, perumahan dan pemukiman, kemudian peranan wanita. Sektor-sektor kesra lainnya termasuk pendidikan masih merupakan kegiatan prioritas yang belum nampak urutan keberhasilannya (BPS, 1994). Beberapa masalah pokok pendidikan selama PJP I, diungkapkan oleh Djojonegoro (1994c) antara lain: (1) Belum semua program pendidikan berorientasi kepada kebutuhan pembangunan. (2) Pada jenjang pendidikan tinggi masih terdapat keragaman kualitas yang luas antara perguruan tinggi menurut lokasi geografis (kota besar, kota kecil, Jawa luar Jawa) dan status (Negeri Swasta). Khusus perguruan tinggi, penekanannya pada relevenasi pendidikan dengan pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya dikenal dengan kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match). Bahkan setiap penyelenggaraan pasca sarjana perlu benar-benar mengkaji kebutuhan masyarakat dan memproyeksikannya

14

dalam program-program yang benar-benar memenuhi kebutuhan pembangunan nasional (Link and Match). Djojonegoro (1994b) dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan

Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan Implikasinya pada Sistem Administrasi Negara, menguraikan bahwa essensi dari relevansi adalah link and match antara pendidikan dan kebutuhan pembangunan. Khususnya dengan dunia kerja atau dunia industri. Dalam konteks link and match relevansi lebih ditekankan pada kebutuhan pembangunan dan kebutuhan dunia kerja. Untuk menciptakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja/dunia usaha/industri diperlukan usaha-usaha secara reciprocal antara kedua pihak. Dunia usaha/industri dituntut untuk lebih membuka diri terhadap pendidikan, baik dalam arti sikap maupun tindakan nyata termasuk menjadi tempat magang dan praktek lapangan bagi peserta didik. Di pihak lain dunia pendidikan dituntut untuk melakukan konsolidasi mulai tahap perencanaan sampai implementasi dan evaluasinya sehingga kebijakan ini mempunyai arti yang maksimal, sesuai dengan tujuannya. Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan pada tingkat tersier yang diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi karena di banyak perguruan tinggi telah tersedia sarana dan prasarana yang mutakhir untuk pengembangan IPTEK. Ketersediaan SDM yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan yang diperlukan merupakan modal utama dalam meningkatkan daya saing di bidang teknologi. Selanjutnya Bank Dunia (1994) membahas kendala dan tantangan pada pendidikan tinggi. Dikatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi mempunyai tanggung

15

jawab membina peserta didik agar mendapatkan pengetahuan yang cukup dan ketrampilan tertentu untuk menduduki tanggung jawab tertentu pada pemerintahan, dunia usaha, dan berbagai jabatan profesi. Begitu pula lembaga pendidikan tinggi mempunyai tanggung jawab mengembangkan IPTEK melalui riset, alih teknologi, adaptasi, dan desiminasi IPTEK, untuk mendukung berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karenanya investasi pendidikan tinggi sangat penting bagi pembangunan ekonomi sosial, namun selama ini dinilai dalam keadaan yang sangat krisis. Tabel 1.1 Proporsi biaya Pendidikan terhadap GNP tahun 180- an dan 1992
Negara Amerika Serikat Jepang Jerman Taiwan Korea Indonesia Thailand Singapura Malaysia 19980-1n 6,8 4,9 4,4 5,5 3,7 1,0 1992 3,1 3,6 4,8 4,9

Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4

Hal ini karena investasi pendidikan tinggi di hampir semua negara sangat tergantung kepada pemerintah. Sebagai gambaran proporsi biaya pendidikan secara nasional terhadap GNP sebagaimana pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indonesia

16

mempunyai angka yang paling kecil. Tahun 1992 menunjukkan biaya pendidikan sama dengan 3,1 persen dari GNP. Angka ini paling kecil di ASEAN pada tahun yang sama, dan jauh di bawah Korea, Taiwan, Jepang tahun 1980-an. Pengembangan pendidikan tinggi mempunyai korelasi dengan pembangunan eknomi, hal ini ditunjukkan bahwa di negara maju angka partisipasi pendidikan tinggi (APPT) sekitar 51 persen, kemudian di negara berkembang sekitar 21 persen, dan di negara kurang berkembang hanya 6 persen.

Tabel 1.2 Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT) Berbagai Negara (1986-87 dan Indonesia 1992) __________________________________________________________________
Negara APPT (%) ________________________________________________________________________ Amerika Serikat 37 Jepang 25 Jerman 23 Australia 22 Taiwan 22 Korea 21 Indonesia 10 ________________________________________________________________________ Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4

Selanjutnya apabila dibandingkan dengan negara ASEAN, ternyata pada tahun 1992 angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya 10 persen yang diproyeksikan pada tahun 2018 mencapai 25 persen (Ditjen Dikti, 1994; GBHN, 1993; Pusinfot, 1995). Tahun 2018 angka ini baru akan sama dengan Jepang tahun

17

1986, atau pada tahun 2000 Indonesia akan sama dengan Korea, Taiwan, Australia pada tahun 1986 (Tabel1.2). Dirjen DIKTI (1994), dalam penjelasan pada Forum Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR-RI, tanggal 22 Febrauari 1994, mengenai pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK, menguraikan bahwa lulusan seluruh sistem pendidikan tinggi pada saat ini, dengan jumlah mahasiswa sekitar 2,1 juta hanya sekitar 170.000 orang. Meskipun terdapat peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas SDM bagi lulusan pendidikan (PT), bukan berarti pasaran kerja juga telah siap untuk dapat menerima peningkatan lulusan perguruan tinggi. Biro Pusat Statistik pada tahun 1990 mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran lulusan PT mencapai 8,7 persen dibandingkan dengan 0,9 persen bagi lulusan SD. Terjadinya pengangguran dan kecilnya proporsi lulusan PT di angkatan kerja menunjukkan adanya ketidak sesuaian antara kebutuhan tenaga kerja dengan hasil PT. Pada tahun 1992, jumlah lulusan sarjana dan diploma sekitar 175.000 orang. Sebagian besar lulusan PT tersebut masih didominasi bidang ilmu sosial (51%), diikuti bidang ilmu pendidikan (23,5%), bidang teknik (14%), sedangkan 11,5 sisanya adalah lulusan bidang-bidang ilmu

kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu dasar. Pertanyaan yang timbul sebagai contoh di bidang teknik adalah sampai berapa besar proporsi lulusan PT perlu ditingkatkan untuk memenuhi pembangunan industri. Berbagai subsektor menyatakan sukarnya memperoleh sarjana teknik yang diperlukan untuk memenuhi tingkat pengembangan industrinya. Pengembangan direncanakan sangat pesat peningkatannya. Sebagai contoh PLN, BUMN, dll yang pada akhirnya membutuhkan tambahan sarjana teknik

18

yang diperkirakan tidak akan tersedia cukup banyak sarjana teknik pada saat dibutuhkan. Selanjutnya Djojonegoro (1994) menguraikan bahwa ada tiga kecenderungan besar yang telah dan akan mempengaruhi proses pembangunan nasional, yang mempunyai implikasi terhadap program pembangunan sumber daya manusia. Kecenderungan pertama makin dirasakan perlunya orientasi nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi sebagai upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan.

Kecenderungan kedua transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, yang ditandai oleh berbagai perubahan fisik, pranata sosial dan pergeseran sistem nilai. Kecenderungan ketiga adalah proses globalisasi yang penuh tantangan bagi bangsa Indonesia. Negara yang unggul dalam bidang ekonomi serta bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dapat mengambil manfaat besar dari globalisasi. Sebagai ilustrasi misalnya, perlu ditinjau kembali seberapa jauh program dan jurusan yang ada relevan dengan kebutuhan pembangunan dalam arti bahwa tenaga yang dihasilkan dapat diserap oleh kegiatan perekonomian dan pembangunan, sejauh mana penelitian yang dilakukan dapat memberi manfaat langsung pada

pembangunan, khususnya yang menyangkut perkembangan ekonomi daerah atau wilayah setempat, dan sejauh mana program pengabdian masyarakat telah menumbuhkan kepekaan sivitas akademik perguruan tinggi terhadap permasalahan sosial-eknomi, seperti upaya pengentasan kemiskinan, pemberantasan buta huruf, bantuan kepada sektor informal serta pengusaha kecil dan menengah.

19

Dari uraian di atas, dan selaras dengan model Levin (1976) maupun berbagai penjelasan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya menyangkut pendidikan tinggi menunjukkan betapa pentingnya pemecahan masalah relevansi hasil pendidikan tinggi dengan

pembangunan. Dengan mengetahui ketidaksesuaian antara hasil pendidikan dengan kebutuhan pembangunan dan berbagai proses pendidikan yang mengoptimalkan derajat relevansi lebih lanjut melalui perencanaan pengembangan SDM dengan mengkaitkan (link) proses pendidikan dan disepadankan (match) dengan kebutuhan pembangunan dapat dirancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik instruksional (Miarso, 1989 p. 113; Holloway, 1984 p.2). Dengan perkataan lain teknologi pendidikan ialah usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pembangunan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaannya (Miarso 1989: p.11), maka tujuan kebijakan relevansi dapat dicapai secara optimal. Secara khusus pada pendidikan tinggi, masalah link and match antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni merupakan bidang kajian yang sangat penting agar bukan hanya masalah relevansi, tetapi juga menyangkut kebijakan lainnya ialah kualitas, efisiensi, dan pemerataannya. Penelitian ini secara khusus akan menganalisis relevansi atau link and match antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Penelitian dilakukan pada periode PJP I, dengan menggunakan data-tape sensus penduduk tahun 1990 (SP80) dan sensus penduduk tahun 1990 (SP90) dengan segala keterbatasannya.

20

C. Pembatasan Masalah Prioritas kebijakan pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia adalah relevansi antara hasil pendidikan tinggi dengan berbagai kebutuhan (pribadi/individu, keluarga, bangsa dan masyarakat, dunia kerja/usaha), khususnya kebutuhan dunia kerja/usaha. Masalah kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dan jabatan pekerjaan (BPS dan Depnaker, 1982) yang ditekuni senantiasa dijumpai di berbagai kelompok masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan secara khusus antara lain, adalah proyek P2I (Bappenas-Depnaker-Depdikbud-BPS, 1991), Mistmatch Between Occupation & Education (RDCMI-YTKI dan ILO-ARTEP, 1989), dan beberapa studi penelusuran (tracer study) yang pernah dilakukan tentang Studi Pelacakan Lulusan Perguruan Tinggi (LD-FEUI, 1985). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada kelompok tertentu dan di propinsi tertentu. Metode pengumpulan datanya menggunakan survei, pada populasi tertentu. Penelitian ini menganalisis secara nasional tentang relevansi atau link and match atau kesesuaian antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni. Karena hasil penelitian dirancang untuk memberikan masukan bagi para perencana dalam merancang bagaimana (teknologi pendidikan) mengatasi masalah

ketidaksesuaian atau mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni, pada antisipasi PJP II, maka penekanan penelitian ini pada pengukuran mismatch atau kesenjangan.

21

Penelitian kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada PJP I, menggunakan data SP80 dan SP90. Kemudian spesifikasi pengukurannya dilakukan kepada: i) ii) penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang S1, dengan jurusan pendidikan yang ditamatkan menurut klasifikasi International Classification of Education (ISCED), iii) iv) jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dan lapangan pekerjaan menurut klasifikasi lapangan Usaha Indonesia (KLUI)

D. Perumusan Masalah Masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: i) Bagaimana perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni) antara kelompok jurusan, demikian juga antara kelompok jabatan? ii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni? iii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni? iv) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni? v) Bagaimana kesenjangan yang ada menurut berbagai dimensi: ekonomi, demogrfi, dan sosial? Atau bagaimana secara multivariat asosiasi/pengaruh

22

faktor ekonomi, demografi, dan sosial, terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni? vi) Sejauh mana penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun 1980?

E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil pendidikan dan jabatan pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi.

F. Kegunaan Penelitian Penyajian hasil analisis kesenjangan ini akan berguna sebagai salah satu masukan bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan program pendidikan nasional, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

23

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis 1. Kebijakan Relevansi (Link and Match) Sejak tahun 1950 terjadi perkembangan pendidikan yang pesat di negaranegara berkembang, maka sebagai akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat tinggi antara lulusan dan kesempatan kerja. Sejak itu pengelolaan pendidikan dianggap turut bertanggung ajwab atas makin bertambahnya tenaga berpendidikan yang

menganggur. Kemudian para perencanaan pendidikan menekuni pendekatan tenaga kerja di integrasikan dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, empat kebijaksanaan pokok pembangunan pendidikan nasional ialah pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Kebijaksanaan ini kemudian diturunkan kedalam bentuk strategi pokok pembangunan pendidikan nasional di bidang pendidikan dengan

peningkatan empat butir kebijaksanaan tersebut di atas. Depdikbud (1994) menjelaskan bagaimana strategi pokok ini secara umum agar dapat dicapai secara optimal. Keempat strategi di atas akan ditingkatkan dengan penjelasan berikut. Strategi pertama peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan bertujuan untuk menciptakan keadaan agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan ini tidak dibedakan menurut jenis

24

kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Kebijakan pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan pada semua jenis, jenjang, maupun jalur pendidikan, sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat. Strategi kedua, meningkatkan relevansi pendidikan dengan pembangunan, dimaksudkan agar proses dan hasil pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan industrialisasi akan tenaga terampil dan ahli. Dalam rangka meningkatkan relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan Link and Match. Melalui kebijaksanaan ini perlu diperkuat keterikatan antara pendidikan dan industri atau dunia usaha dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan sertifikasi pendidikan dan pelatihan kejujuran yang relevan dengan kebutuhan ekonomi. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan supaya keluaran pendidikan sepadan dengan kebutuhan berbagai sektor pembangunan akan tenaga ahli dan terampil sesuai dengan jumlah, mutu, dan sebarannya. Secara khusus, arah yang dituju oleh kebijakan link and match adalah menciptakan keadaan yang menunjang agar program pendidikan selaras dengan kebutuhan industri dan dunia usaha akan tenaga terampil dan ahli yang terus berubah dan berkembang setiap saat. Strategi ketiga ialah peningkatan kualitas pendidikan menunjuk pada kualitas proses dan hasil pendidikan. Suatu sistem pendidikan dikatakan bermutu dari segi proses jika proses belajar-mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna dan ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana, sarana, prasarana) yang memadai. Proses pendidikan yang berkualitas akan

25

membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Oleh sebab itu, intervensi sistematis perlu diberikan terhadap input, proses, dan sistem ujiannya, sehingga akan dapat memberikan jaminan terciptanya kualitas hasil yang tinggi. Strategi keempat ialah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Efisiensi dapat dicapai jika sistem pendidikan dapat mencapai sasarannya secara efektif. Untuk mencapai efektivitas pengelolaan sistem faktor penunjangnya seperti profesionalisme dalam manajemen nasional sistem pendidikan yang didalamnya terkandung disiplin, kesetiaan, keahlian, etos kerja, dan efektivitas biaya. Implikasinya, untuk meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan kebijakan yang memungkinkan terwujudnya efektivitas dengan pengerahan sumber-sumber daya yang relatif kecil akan tetapi dimanfaatkan secara optimal, sehingga dapat menghasilkan keluaran yang optimal pula. Secara khusus strategi dasar implementasi peningkatan relevansi atau link and match melalui lima butir ialah: a. Pemenuhan kebutuhan individu peserta didik dan tenaga kerja. b. Penguatan program pendidikan kejuruan menengah dan tinggi melalui magang, PPL, praktek di dunia usaha/industri. c. Penguatan pendidikan ketrampilan sebagai bagian integral dari kurikulum SLTP. d. Peningkatan program ketrampilan di luar sekolah melalui kejar paket B dan pemanfaatan BLK/KLK bekerjasama dengan Depnaker. e. Penguatan program pendidikan profesional di perguruan tinggi (Diploma dan Politeknik)

26

Gambar 2.1 Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL (GBHN)

Landasan Teori PENDIDIKAN DALAM PSDM

EKONOMI POLITIK TEKNOLOGI SUSBUD


ANALISIS KEBIJAKAN DALAM PENDIDIKAN Strategi Pendidikan Dalam PSDM

Sumber: Djojonegoro, W dan Suryani, A, (1994). Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia untuk Pembangunan: Analisis Relevansi Pendidikan dengan kebutuhan Pembangunan Menyongsong Era Teknologi dan Industri. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud. p. 39.

Di Indonesia, konsep relevansi secara umum yang telah disepakati secara nasional, dicantumkan di dalam GBHN, dan di berbagai dokumen kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djojonegoro dan Suryadi (1994) juga menuangkan alur pikir pendidikan dan pembangunan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia, sebagaimana pada Gambar 2.1 di bawah ini. Analisis kebijakan dalam pendidikan harus mempertimbangkan berbagai landasan teori

27

PSDM, dan memperhitungkan berbagai masukan dari dunia ekonomi, politik, sosialbudaya, dan teknologi, serta berpegang kepada tujuan pembangunan nasional termasuk tujuan pendidikan. Baru kemudian diturunkan berbagai strategi untuk dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut. Kebijakan pendidikan pada Pelita VI mencakup empat aspek sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu, ialah pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan

pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi pengelolaan. Penelitian menggali informasi dan menganalisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni kaitannya dengan faktor eksternal yang mempengaruhi, ialah ekonomi, demografi, dan sosial. Hal ini merupakan sub-bagian dari konsep relevansi atau korespondensi Levin (1976), maupun sub bagian dari kotak analisis kebijakan dalam pendidikan yang dalam kerangka pikir yang diajukan oleh Djojonegoro dan Suryadi (1995) di atas. Beberapa negara menggunakan pendekatan ini dengan maksud untuk meningkatkan kesesuaian antara jumlah lulusan berbagai jenis dan tingkat pendidikan dengan kebutuhan dan daya serap pasar kerja. Pada awal 1980-an Enoch menjelaskan bahwa di Indonesia masalah pengangguran merupakan masalah yang serius antara lain disebabkan masih rendahnya kualifikasi tenaga kerja yang terdaftar di Bursa Tenaga Kerja. Pada Pelita VI ini, kebijaksanaan pada jenjang pendidikan tinggi diprioritaskan pada relevansi pendidikan dengan pembangunan. Relevansi pada hakekatnya adalah link and match. Adapun strategi (Dirjen Dikti, 1994) operasinalisasi Link and Match di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:

28

a. Meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja, dunia usaha dan industri. b. Memperkuat kerja praktek lapangan,kuliah kerja dan magang, sesuai dengan bidang studinya. c. Meningkatkan jumlah mahasiswa yang mempelajari sains dan teknologi sampai sekitar 25 persen dari seluruh populasi mahasiswa. d. Memperkuat sarana dan prasarana dan tenaga baik untuk program akademik maupun profesional.

World Bank (1994) juga mengajukan strategi operasional pada reformasi pendidikan tinggi sebagai berikut: a. Mendorong pengembangan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembagalembaga swasta. b. Mendorong lembaga-lembaga pendidikan negeri dalam pengadaan

penganekaragaman sumber dana, termasuk cost-sharing dengan para mahasiswa, dan mengaitkan sumber dana pemerintah bagi pengembangan sarana peningkatan mutu. c. Mengkaji ulang peran pemerintah pada pendidikan tinggi. d. Mengenalkan kebijakan yang terencana pada berbagai prioritas pengembangan kualitas dan pemerataan pendidikan. Dalam perencanaan pendidikan Indonesia senantiasa telah memperhatikan masalah relevansi, khususnya yang berkaitan dengan masalah jumlah lulusan sebagai penyediaan tenaga kerja. Kerjasama dengan instansi terkait terutama Depnaker dan Bappenas juga dilakukan dalam upaya analisis kebutuhan tenaga kerja untuk semua

29

jenis pekerjaan kaitannya dengan berbagai tambahan/ penyediaan tenaga kerja sebagai hasil proses pendidikan. Sebagai ilustrasi di bawah ini disajikan Tabel 2.1 tentang proyeksi hasil pendidikan tinggi. Sebagai perbandingan komposisi lulusan pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 1994, serta proyeksinya pada akhir tahun 1998, dan 2018 disajikan pada Tabel 2.1 menurut jurusan pendidikan.

Tabel 2.1 Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi tahun 1994 Dan Proyeksinya tahun 1998 dan 2018 Menurut kelompok Jurusan
Jurusan Sosial IPA + Lainnya Teknik 1994 73 14 13 1998 60 15 25 2018 30 25 45

Sumber: Ditjen DIKTI. (1995). Bahan Sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. p.3

Pada tahun 1994, keadaan lulusan perguruan tinggi bidang studi sosial 73 persen, teknik ada 14 persen, dan IPA 13 persen. Diproyeksikan pada tahun 1998 komposisi lulusan pendidikan tinggi untuk jurusan sosial 60 persen, teknik 25 persen dan IPA 15 persen, dan pada tahun 2018 menjadi sosial 30 persen, teknik 45 persen, dan IPA 25 persen. Depdikbud (1994) membuat proyeksi persediaan dan kebutuhan (supply dan demand) lulusan SO dan S1 menurut bidang studi, selama Pelita VI diproyeksikan dan Pelita VII bahwa bidang studi teknik dan IPA kurang, sedang jurusan IPS surplus.

30

Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a, 1988/89b) melalui berbagai studi, seperti yang dilakukan oleh Robertson (1991), juga Balitbang-Depdikbud (1992), Boediono, MsMohan, dan Adams (Ed) (1992) membahas berbagai hal yang berkaitan dengan evaluasi dan perencanaan pendidikan di Indonesia, termasuk di dalamnya pendidikan tinggi. Penelitian tersebut yang sekarang telah menjadi dokumen penting di Bappenas, mencantumkan proyeksi lulusan SO+S1+S2+S3 hingga Pelita X atau akhir tahun 2018. Selanjutnya diproyeksikan lulusan menurut jurusan pendidikan, jenjang, dan menurut PTN dan PTS. Kebutuhan tenaga profesional dan teknisi hingga akhir Pelita X juga diproyeksikan.

Tabel 2.2 Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN dan PTS (Ribu Orang)
Repelita Repelita V VI Repelita Repelita Repelita Repelita VII VIII IX X

Program

1.

Lulusan SO: - PTN - PTS - Politeknik Lulusan S1 - PTN - PTS Lulusan S2 + S3 TOTAL

521.1 169.8 316.8 34.5

744 229.5 427.8 86.7

969.3 289.8 540.3 139.2 1,807.8 966.0 841.8 83.1 2,860.2

1.196 349.8 652.5 194.1

1.424 410.1 765.0 249.0

1.652 470.7 877.5 304.2

2.

821.7 1,314.0 439.2 702.3 382.5 611.7 20.4 55.2

2,306.7 2,805.0 3,303.6 1,232.4 1,498.8 1,765.2 1,074.3 1,306.2 1,538.4 110.4 138.0 165.6

3. 4.

1,369.2 2,113.2

3,613.5 4,367.1 5,121.6

Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of Indonesia-World Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas.

31

Tabel 2.2 Kebutuhan Tambahan Tenaga So ke atas Repelita: V- X


1988-93 (R V) 1993-98 (R VI) 1998-2003 (R VII) 2003-2008 (RVIII) 2008-2013 (R IX) 2013-2018 (R X)

1. 2. 3. 4. 5.

Pertanian Penggalian Konstruksi Industri Transportasi & Komunikasi 6. PU 7. Perdagangan 8. Lembaga Keuangan 9. Jasa 10. Total

7,479 (68) 18,307 195,659 61,247 19,994 164,101 33,577 259,855 717,781

11,960 412 28,751 305,243 71,681 35,450 198,487 47,664

12,714 1,591 37,467 29,511 68,719 36,608 324,514 51,358

15,912 1,664 50,206 370,183 71,939 54,477 386,105 61,552 364,410 1,373,536

19,276 1,777 68,201 497,564 75,103 49,404 548,223 72,498

22,022 1,489 83,932 658,204 123,797 75,713 732,310 66,896

322,808 323,353 940,392 1,110,571

415,857 527,832 1,818,226 2,414,320

Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of IndonesiaWorld Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas. (p.11).

Proyeksi kebutuhan menurut sembilan sektor pembangunan. Proyeksi kebutuhan didasarkan atas berbagai kajian baik dari sisi luaran pendidikan sekolah menurut jenjang tertentu yang tidak melanjutkan sekolahnya, yang drop-out, maupun dari luaran sistem lainnya yang masuk angkatan kerja seperti luaran berbagai latihan, maupun luaran dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kemudian dari angka tersebut secara khusus bagi tenaga kerja profesional dan teknisi yang kebanyakan dari luaran pendidikan tinggi (Akademi ke atas) oleh Robertson (1991) dilakukan analisis suplai dan kebutuhannya. Robertson mendapatkan gambaran pada PJP II tentang suplai dan kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi (Akademi ke atas) sebagai berikut:

32

Insinyur (Engineers) Teknisi (Engineering Technicians) Kedokteran dan Tenaga Medis (Medical and Healtd Occ) Hakim (Lawyers) Akuntan (Accountans) Guru (Teachers) Ekonomi/Administrasi/Manajemen (Economics/Adm/Mgt) IPA (Scientists)

: kurang : kurang : kurang : surplus : surplus : surplus : surplus : surplus

Di sisi lain Balitbang Depdikbud Boediono dkk (1992) termasuk konsultan asing juga melakukan studi berbagai masalah pendidikan serta proyeksi-proyeksi tentang enrollment, biaya, kebutuhan tenaga pendidikan, dan lain-lain hingga periode PJP II. Berbagai proyeksi ini termasuk luaran pendidikan tinggi. Luaran oendidikan ini juga diintegrasikan dengan berbagai kajian pengembangan sumber daya manusia (PSDM) yang diprakarsai BAPPENAS. Para pakar, antara lain Apps (1988), Enoch (1992), Levin (1976), Pongtuluran (1989), dan Watson (1990) telah mengajukan buah pikirannya berupa model-model implementasi relevansi atau korespondensi antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja, sebagai berikut. Apps (1988) juga menjelaskan bahwa tatanan sosial memberikan pengaruh kepada dunia pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia, atau sebaliknya pada gilirannya dunia pendidikan juga

memberikan pengaruh kepada akselerasi perubahan sosial. Dijelaskan tatanan sosial ini mencakup tren kependudukan yang mengarah kepada kelompok umur tua makin banyak (silinder komposisinya), berubahnya situasi agraris ke industri, kemudian industri ke jasa dan informasi, teknologi dan globalisasi. Hal ini berarti makin dibutuhkan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan yang mengarah kepada profesional.

33

Hal ini berarti makin diperlakukannya relevansi kebutuhan dengan proses pendidikan, khususnya pendidikan profesional. Enoch (1992) membahas tentang hubungan (relevansi) dunia pendidikan dan sosial-ekonomi, pengembangan sumber daya manusia khususnya lapangan pekerjaan. Dijelaskan bahwa pendidikan dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi. Pendidikan dipengaruhi oleh masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan, baik perencanaan maupun implementasinya. Begitu pula sebaliknya, melalui proses pendidikan memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, akal, budi pekerti kepada peserta didik yang langsung atau tidak langsung menentukan jenis pekerjaannya di kemudian hari: profesinya akan menempatkan dia pada tingkat sosial tertentu dan mempengaruhi perkembangan seterusnya. Levin (1976) mengajukan suatu konsep bagaimana prinsip korespondensi antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang sama dengan konsep relevansi atau link and match secara sederhana disajikan dalam Tabel 2.4 di bawah ini.

34

Tabel 2.4 Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan Reformasi dua jenis Dunia Kerja Work Reform Emphasis on Individuality
1. Educational technology 2. Differentiaced staffing 3. Felxible modular sheduling 4. Open schooling 5. Educational vouchers 6. Deschooling

Emphasis on Participations
1. Team teaching 2. Mastery learning 3. Desegregation 4. Micro political change 5. Community control 6. Factory-run school

Educational Reform

Sumber: Levin, H.M. (1976) A Taxonomy of Educational Reforma for Changes in the Nature Work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limites of Educational Reform. New York David McKay Company. Inc. p. 109.

Tabel di atas menunjukkan kaitan antara reformasi pendidikan dengan dua jenis reformasi dunia kerja, ialah penekanan pada individu dan penekanan pada kerja bersama dan partisipasi. Selanjutnya Levin (1976) menjelaskan sebagai berikut: The educational reforms that are consisten with these two types of work reforms, those that correspond to a greater emphasis on worker individuality and those that focus on greater worker participation and cooperation. Among the educational modifications that would appear to be cinsistent with the first type of work reform are the uses of educational modifications that would appear to be consistens with the first type of work reform are the uses of educational technology, particularly those that permit the student to proceed at his own pace and at his own convenience such as audio-cassettes, programmed, instruction, and computer-assisted instruction, differential staffing and flexible modular scheduling with their emphasis on individualization of instruction, open schools with their focus on diversity and choice of activities, and both vouchers and deschooling with their orientations toward alternative school and learning environments.

35

Work reforms that emphasis greater cooperation and participation would be consistent with the adoption of team teaching where adults are expected to cooperate in the instructional process; mastery learning with its concern for equalizing skill levels and guaranteeing that all students meet mastery requirements; desegregation of school with its attempt to improve human relationships among races and social classes; micro political reforms that would increase the participation of students and teachers in the instructional process; community control with its stress on governance and control of school by the community training in teamwork, sharing, and cooperation as part of the work enterprise (pp.130).

Hal ini menunjukkan bahwa Levin (1976) menjelaskan bagaimana keterkaitan antara relevansi atau korespondensi antara dunia pendidikan dan dunia kerja, harus berjalan secara simultan. Artinya apabila disisi dunia pendidikan melalukan reformasi, agar dunia kerja bisa diakomodasi, maka dunia kerja juga melakukan reformasi atau sebaliknya. Dengan meningkatkan relevansi berarti mengurangi kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Watson (1990) menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan tinggi dalam hal ini politeknik mempunyai relevansi dengan penyiapan tenaga kerja menurut jabatan yang dibutuhkan. Dalam hal ini dikatakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang tenaga teknisi, bisnis, IPA, dan kebutuhan tenaga profesional lainnya. Pongtuluran (1989) menekankan betapa pentingnya layanan utama bagi peserta didik sebagai input utama dengan memperhatikan input sumberdaya, lingkungan dengan memperhitungkan (merelevansikan) masukan dari dunia kerja dan lulusan itu sendiri dalam proses belajar mengajar, pada berbagai tingkat pendidikan. Input utama dalam proses belajar mengajar di semua jenjang pendidikan adalah (1) peserta didik, kemudian input

36

yang kedua (1.A) adalah sumber daya termasuk manajemen, mencakup tenaga, kurikulum, sarana, prasarana, dan dana. Kemudian input yang tiga adalah (1.B) lingkungan baik material, moral, dan spiritual. Lulusan secara langsung atau tidak langsung memberikan umpan balik (Feed Back (FB) ), baik yang baru lulus, yang sudah bekerja, atau yang melanjutkan. Gambar 2.2 SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

PEMERINTAH MASYARAKAT/ SWASTA

FBC ( - )

(1.A) INPUT SUMBER DAYA MANAJEMEN

Tenaga Kurikulum Sarana Prasarana Dana

ORANG TUA MASYARAKAT

(1) INPUT UTAMA PESERTA DIDIK

(2) PROSES BELAJAR MENGAJAR

(3) OUT PUT LULUSAN

(4) OUTCOME MELANJUTKAN / BELAJAR

(1.B) INPUT LINGKUNGAN Material/Moral/Spiritual

LINGKUNGAN
FEED BACK (FB)

LINGKUNGAN

Sumber: Pongtuluran, A. (1989).

37

2. Uraian teori Per Dalin (1978) membahas teori perubahan pendidikan; teori fungsional, teori elektik, dan teori konflik. (1) Teori fungsional diturunkan dari teori Revolusi Darwin. Perubahan sosial termasuk pendidikan berubah secara evolusi. Teori ini dalam praktek interaksi/relevansi antara dunia pendidikan dan pembangunan menurunkan berbagai subsub teori seperti: contingency theories, human capital theory, and structural-functional theory. (2)Teori elektik diturunkan dari dunia psychotherapeuthic merupakan teori perubahan sosial termasuk pendidikan berdasarkan perubahan dalam human personality. (3) Kemudian teori konflik didasarkan atas konflik sosial-ekonomi yang diturunkan dari teori Marxis dan Neo-Marxis. Dikatakan bahwa perubahan pendidikan hanya bisa dilakukan melalui revolusi sosial atas pandangan konflik yang didasarkan atas perubahan ekonomi dan perubahan struktur sosial. Namun diuraikan bahwa perubahan pendidikan merupakan proses kompleks yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh satu teori. Per Dalin menguraikan tentang model dari perubahan pendidikan: the problem solving model. The social interaction model, the research, delelopment and diffusion model (Rd and D), dan the lingkage model. Pada prinsipnya teori dan model perubahan pendidikan dijelaskan baik langsung maupun tidak langsung mempunyai kaitan atau ketergantungan dengan perubahan eksternal yang dijelaskan dengan perubahan sosial-ekonomi, atau pada bahasan sebelumnya adalah berkaitan dengan pembangunan. Bahkan sebenarnya antara perubahan pendidikan dan perubahan sosial-ekonomi (pembangunan) terdapat keterkaitan yang bersifat timbal balik. Low, Heng, dan Wong (1992) menguraikan pendekatan sub teori fungsional yang biasa dipergunakan dalam perencanaan pendidikan, ialah teori human capital formation

38

yang mencakup berbagai pendekatan: social demand approach, manpower requirements approach, Rate of return approach, dan optimum allocation of resources approach. Khususnya teori social demand approach maupun teori manpower requirements approach memasukkan kebutuhan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan tertentu, yang oleh dunia pendidikan dilakukan sebagai rektor eksternal yang diperhitungkan dalam perencanaan pendidikan. Artinya teori-teori ini juga menunjukkan faktor eksternal yang mempengaruhi dunia pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja. Dijumpai secara empiris bahwa pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an menunjukkan kaitan antara dunia pendidikan dengan. Perencanaan kebutuhan tenaga kerja dan pasar kerja secara cocok hingga jenjang SLTA. Untuk jenjang pendidikan tinggi dari sisi proyeksi kebutuhannya dijumpai banyak menyimpang. Hal ini terjadi di negara-negara Afrika. Psacharopoulos (1986) menjelaskan masalah ini, karena empat situasi yang menyebabkannya. Pertama perubahan berbagai negara dari agraris ke industri dan jasa; kedua rasio tenaga kerja terdidik dengan tidak terdidik meningkat tajam terutama sejak tahun 1960-an; ketiga rasio pendapatan bagi tenaga terdidik dengan tidak terdidik menurun drastis; keempat biaya pendidikan terserap pada jenjang pendidikan tingkat dasar dan menengah; sehingga pada jenjang pendidikan tinggi menjadi relatif sangat kecil. Enoch (1992) dan Simanjuntak (1986) juga menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan perencanaan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Teori-teori tersebut adalah (1) teori neoklasik (orthodoks), (2) teori dualisme lapangan kerja, dan (3) teori produksi yang radikal dan segmentasi pasar kerja. Teori neoklasik dijelaskan sebagai aplikasi teori ekonomi pada dunia kerja atas dasar penyediaan dan permintaan. Besarnya penyediaan atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya

39

untuk proses produksi. Di antara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya yang menghasilkan barang dan jasa. Mereka digolongkan bekerja. Sebagian lain tergolong yang siap bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini disebut pencari kerja atau penganggur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja atau labour force. Jumlah orang bekerja tergantung permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tersebut dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan upah. Kemudian proses

terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui penyediaan dan permintaan tenaga kerja yang melalui penyediaan dan permintaan tenaga kerja yang dinamakan pasar kerja. Seorang dalam pasar kerja berarti dia menawarkan jasanya untuk produksi, apakah dia sedang bekerja atau mencari pekerjaan. Besarnya penempatan (jumlah orang yang bekerja) di pengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan tersebut. Selanjutnya, besarnya penyediaan dan permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah. Dalam ekonomi neoklasik diasumsikan bahwa penyediaan atau penawaran tenaga kerja akan bertambah bila tingkat upah bertambah. Sebaliknya permintaan terhadap tenaga kerja akan berkurang bila tingkat upah meningkat. Dengan asumsi bahwa semua pihak mempunyai informasi yang lengkap mengenai pasar kerja, maka teori neoklasik beranggarapan bahwa jumlah penyediaan tenaga kerja selalu sama dengan permintaan. Dalam hal penyediaan sama dengan permintaan dinamakan dalam keadaan ekuilibrium. Dalam kenyataan, keadaan ekuilibrium itu tidak pernah dicapai karena informasi memang tidak pernah sempurna dan hambatan-hambatan institusional selalu ada. Kaitannya dengan dunia pendidikan, maka hasil dari proses pendidikan merupakan supply tenaga kerja, sedangkan proses pembangunan merupakan pencipta lapangan pekerjaan atau demand tenaga kerja.

40

Teori dualisme atas asumsi modern dan tradisional. Sektor modern menggunakan teknologi, sehingga membutuhkan tenaga kerja sedikit, kemudian sektor tradisional menggunakan alat sederhana sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dikatakan bahwa di sini dunia pendidikan memainkan dua peran ialah: pertama pekerja terdidik lebih mudah dilatih, dan mudah diberikan penugasan pada sektor modern. Kedua dikatakan bahwa memperpanjang waktu pendidikan mempunyai korelasi kecil terhadap jumlah pekerjaan yang tersedia atau produktivitas pekerja sektor modern, karena pendidikan sendiri tidak menciptakan lapangan pekerjaan. Teori yang radikal dan segmentasi pasaran kerja mengasumsikan bahwa hubungan sosial merupakan faktor utama, bukan harga (upah) ataupun teknologi. Jadi jika orang berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan tinggi, bukan oda ciri-ciri pekerja yang melakukan tugas tersebut. Jadi jika terjadi orang berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan tinggi, sehingga relevansi pendidikan bisa di implementasikan. Teori diatas mendudukung konsep relevansi atau link and match antara dunia pendidikan dan pembangunan. Dalam proses belajar-mengajar, peran teknologi pendidikan juga memperhatikan faktor-faktor eksternal dalam merancang sistem pembelajarannya. Faktor-faktor eksternal ini diantaranya adalah faktor demand atau kebutuhan pembangunan termasuk tenaga kerja tersebut di atas. Maka peran teknologi pendidikan antara lain adalah mendinamisasi sistem pembelajaran dengan mempertimbangkan faktor eksternal tersebut. Perubahan yang terjadi pada dunia pembangunan pada gilirannya memberikan penyerasian

41

pada sistem pembelajaran yang dilakukan secara dinamis. Holloway (1984), diperkuat oleh Miarso (1988), yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah bagaimana pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Hal ini dicirikan dengan (1) memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa dan lain-lain, (2) memecahkan masalah secara serempak dan menyeluruh, (3) digunakan

teknologi sebagai proses, dan (4) timbulnya daya lipat atau sinergis. Implementasi relevansi atau keterkaitan ini oleh menteri pendidikan Djojonegoro (1994j) dijadikan landasan bagi lembaga pendidikan tinggi dalam mendirikan atau membuka jurusan-jurusan agar memperhatikan tiga faktor: Aspirasi masyarakat, kebutuhan tenaga kerja dari dunia usaha, dan kemampuan lembaga untuk menyelenggarakannya. Kemudian konsep keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja perlu dijadikan dasar untuk mengembangkan program-program di perguruan tinggi di Indonesia. Pada PJP II, jenis-jenis pekerjaan dalam era teknologi akan mengakibatkan kebutuhan pada pekerja yang lebih mengandalkan kemampuan intelektual, kebutuhan pada pekerja yang lebih kreatif, kebutuhan pada pekerja yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan pada pekerjaan yang mampu mengolah dan mendayagunakan informasi. Implikasi dari tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya di bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah penguasaan IPTEK. Oleh karenanya kiprah mahasiswa dalam proses belajar di perguruan tinggi maupun melalui pengalaman (experimental learning) termasuk dalam berorganisasi, pada dasarnya merupakan wujud dari tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, di samping untuk kepentingan setiap pribadi mahasiswa. Dalam mewujudkan peran serta dan tanggung

42

jawabnya itu secara optimal, tugas utama mahasiswa adalah belajar sebaik-baiknya dengan tuntutan tugas-tugas belajar (learning taks) di perguruan tinggi, sehingga diperoleh wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap-sikap/nilai-nilai yang fungsional bagi kehidupan di masa kini dan masa depan. Namun agar lebih lengkap, para, mahasiswa juga diharapkan untuk memanfaatkan wahana-wahana kegiatan ekstra dan ko-kurikuler, baik dalam pengembangan berpikir, kecendikiaan yang menyangkut kepekaan sosial, maupun penguasaan IPTEK.

3. Kesenjangan atau Mismatch Hauser (1974) menjelaskan masalah kesenjangan antara jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan melalui evolusi pendekatan pengukuran tenaga kerja labour utilization approach. Namun konsep ini pada waktu itu hanya menyarankan apakah seseorang dengan jenjang pendidikannya sudah bekerja sesuai dengan kemampuannya atau belum. Kalau seseorang tersebut ternyata bekerja di bawah kemampuannya dikatakan mismatch. Kelompok ini dalam pendekatan labour utilization approach dimasukkan pada kelompok tidak bekerja penuh (utilized inadequately). Secara historis, pengukuran penduduk yang bekerja pada awalnya di Amerika dilakukan dengan pendekatan gainful worker approach, kemudian mulai sensus penduduk tahun 1970 dilakukan dengan labour force approach, dan pada akhirnya hingga sekarang menggunakan labour utilization approach. Pendekatan gainful worker merupakan pendekatan yang pertama dengan pengakuan responden akan kegiatannya. Pendekatan labour force approach merupakan modifikasi dari gainful

worker dengan menambahkan konsep aktivitas dengan mengukur apakah seseorang bekerja, atau mencari pekerjaan. Konsep waktu, dipergunakan apakah bekerja minimal satu

43

jam selama seminggu yang lalu pada hari pencacahan. Pendekatan labour utilization dengan menambahkan pertanyaan tentang pendidikan dan latihan, pendapatan, dan jumlah jam bekerja. Pendekatan ini juga mencatat orang yang tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi mau menerima pekerjaan jika ada lowongan. Pendekatan ini disarankan untuk menyajikan data total angkatan kerja, terdiri dari bekerja penuh (utulized adequately) dan tidak bekerja penuh (utilized inadequately). Yang tidak bekerja penuh dirinci menurut menganggur, jumlah jam kerja, tingkat pendapatan, dan mismatch antara pendidikan dan jabatan. Penelitian kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Relevansi secara teoritis hasil pendidikan sebagai suplai tenaga kerja diharapkan sesuai dengan permintaan atau ketersediaan jabatan pekerjaan yang ada. Pembangunan di sektor ekonomi mempunyai implikasi terhadap permintaan tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi ketrampilan tertentu. Perkembangan pembangunan yang mengarah kepada industrialisasi pada jangka panjang kedua memerlukan tenaga kerja yang mempunyai berbagai ketrampilan dan keahlian. Sehubungan dengan itu, berbagai jenis pendidikan kejuruan dan keahlian termasuk politeknik harus diperluas dan ditingkatkan mutunya. Selanjutnya kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga yang cakap dan terampil menjadi sangat utama (GHBN, 1993). Hal ini berarti bahwa walaupun tujuan akhir dari pendidikan nasional merupakan tujuan yang sangat ideal, namun tujuan antara perlu dicapai sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Kecocokan hasil pendidikan dengan jabatan pekerjaan yang tersedia

44

merupakan salah satu tujuan antara yang dimaksudkan. Jadi secara sistem pendidikan di Indonesia akan memberikan luaran secara khusus menurut jurusannya sesuai (match) dengan jabatan yang dibutuhkan di lapangan. Secara ideal harus tercapai hingga 100 persen. Kesenjangan yang terjadi dapat diberikan toleransi yang wajar, sedemikian rupa hingga percepatan pemenuhan kebutuhan berbagai jabatan pekerjaan dapat dipenuhi. Kebutuhan tersebut sesuai dengan proyeksi-proyeksi tenaga kerja pada PJP II.

B. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Penelitian tentang kesenjangan antara hasil pendidikan dan jabtan pekerjaan ini merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan sumber daya manusia. Dalam literatur yang didapatkan melalui jasa information Section UNESCO ada delapan hasil penelitian yang membahas secara umum masalah mismatching between education and occupation. Penelitian tersebut membahas tentang kebijaksanaan mereduksi kesenjangan yang ada di India pada kasus migrasi (Oommen, 1989); dan kesenjangan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan yang tersedia bagi tenaga yang mempunyai pendidikan lebih tinggi secara makro (Jones, 1988). Selanjutnya Jones membahas tentang keuntungan-keutungan hubungan penanganan pendidikan di negara-negara Asia dengan Australia. Kasarda dan Friedrichs (19875) juga membahas tentang perbandingan kesenjangan pendidikan dan tenaga kerja di daerah perkotaan di Jerman dan di Amerika. Pembahasan juga secara makro yang menunjukkan bahwa adanya kelonggaran keberadaan kegiatan pabrik-pabrik yang mempekerjakan blue-collar ke pembatasan-pembatasan kegiatan pabrik-pabrik yang mempunyai implikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang

45

white-collar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih rendah cenderung tidak dapat mendapatkan pekerjaan. Oleh karenanya masalah kesenjangan ini menjadi lebih tinggi di kota-kota di dua negara tersebut, dan bahkan lebih lebar daripada tingkat kesenjangan secara nasional. Selanjutnya Clogg dan Shockey (1984), juga membahas tentang Mismatch between occupation and schooling: a prevalence measure, recent trends and demographic analysis di Amerika. Metode pengukuran kesenjangan yang dipergunakan hanya membandingkan proporsi pekerja yang menamatkan pendidikan sekolah tertentu dengan lapangan pekerjaan tertentu. Berbagai metode pengukuran telah dilakukan, antara lain oleh Clogg dan Shockey (1984), dengan menanyakan kepada responden apakah pekerjaan yang ditekuni pada saat ini memang dirasa cocok dengan pendidikan yang diperoleh. Dari jawaban ini kemudian dilakukan analisis menurut kelompok umur (cohort), dan jenis kelamin. Metode ini dilakukan untuk mengukur prevalensi. Di samping itu dilakukan pula ukuran alternatif dengan membandingkan banyaknya tahun sekolah dan jabatan pekerjaan (occupation) dengan menggunakan ukuran rata-rata ditambah satu standar deviasi sebagai garis ambang kesenjangan. Misalnya distribusi pekerja di suatu jabatan tertentu katakan manajer ternyata rata-rata banyaknya tahun belajar/sekolah sama dengan 12,58 tahun dan standar deviasi sama dengan 2,61 tahun, maka dijumlahkan menjadi 15,40 tahun. Angka ini dibulatkan menjadi 16 tahun merupakan batas ambang mismatch pada jabatan manajer. Kemudian dihitung berapa persen manajer yang lama belajar lebih dari 16 tahun, katakan sama dengan 20,3 persen, maka dikatakan kesenjangan manajer sama dengan (100-20,3) persen atau 79,7 persen. Begitu seterusnya untuk jabatan-jabatan lainnya. Selanjutnya penelitian

46

di atas hanya menghitung jumlah tahun belajar dengan jabatan yang ditekuni, tetapi tidak menghitung bagaimana jurusan yang tamatkan dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya (Clogg dan Shockye, 1984). Dengan metode ini didapatkan bahwa derajat mismatch di Amerika tahun 1970 sekitar 92 persen (100-8) dan pada tahun 1980 menjadi 85,8 persen (100-14,2). Angka ini kemudian bervariasi menurut jenis kelamin, jabatan pekerjaan, dan kelompok etnis. Notodihardjo (1990) pada tahun 1981 melakukan penelitian tentang: bidang industri: Pandangan dan harapan mahasiswa lulusan dan pengguna lulusan perguruan tinggi di Jawa. Penelitian ini menyimpulkan antara lain ditemukan bahwa dorongan melanjutkan studi di perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomis, dan diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan bekerja secara tetap sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan tinggi. Kebanyakan juga ingin bekerja di sektor pemerintahan.

C. Kerangka Berfikir Secara umum banyak sekali faktor-faktor yang turut menentukan terjadinya kesenjangan antara jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Penelitian ini memilih indikator ekonomi, demografi, dan sosial yang dianggap mempunyai asosiasi dengan kesenjangan yang ada. Kesenjangan ini tiada lain adalah ketidakcocokan yang terjadi antara jurusan pendidikan yang ditekuni oleh anggota masyarakat dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya. Faktor demografi, faktor sosial,dan faktor ekonomi ini mempengaruhi seseorang untuk memilih jurusan dan tingkat

47

pendidikan. Ketiga faktor tersebut di samping secara langsung mempunyai peran terhadap terjadinya pilihan pendidikan serta jabatan pekerjaan dapat juga berperan secara tidak langsung. Peranan faktor demografi secara tidak langsung dapat melalui faktor sosial dan melalui faktor ekonomi. Begitu pula faktor sosial secara tidak langsung juga melalui faktor ekonomi. Bahkan diperkirakan ada pengaruh interaksi dari faktor demografis, sosial, dan ekonomi terhadap kesenjangan tersebut (Gambar 2.3). Kerangka berfikir ini mengikutkan faktor kelas yang pernah diduduki setelah menamatkan S1, terhadap kesenjangan yang dialami.

Gambar 2.3 Kerangka Pikir Faktor-faktor yang berasosiasi dengan kesenjangan


DEMOGRAFI

SOSIAL

EKONOMI

KESENJANGAN

VARIABLE KONTROL

Secara matematis kerangka berfikir ini dapat dituliskan sebagai berikut (Jphnson & Wichern, 1982, p.269):

Kesenjangan = f (D, S, E) Dimana: D = Demografi E = Ekonomi S = Sosial

48

D. Hipotesis Selanjutnya dari masalah yang ada serta tujuan penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis yang diajukan dapat dirumuskan sebagai berikut: i) ada perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni) antara kelompok jurusan. Demikian juga antara kelompok jabatan. ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, dan iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni, iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni, v) Secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial, dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, vi) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun 1980.

49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara pendidikan dan jabatan pekerjaan, yang secara khusus mencakup: i) Kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi (Institut, Sekolah Tinggi, dan Universitas) dan jabatan pekerjaan yang ditekuni. ii) iii) iv) v) vi) Analisis kesenjangan menurut jurusan pendidikan, menurut jabatan pekerjaan. Analisis asosiasi faktor ekonomi dengan kesenjangan. Analisis asosiasi faktor demografi dengan kesenjangan. Analisis asosiasi faktor sosial dengan kesenjangan. Analisis asosiasi multivariat faktor demografi, sosial, dan ekonomi dengan kesenjangan. vii) Analisis penurunan kesenjangan selama periode tahun 1980 sampai tahun 1990.

B. Tempat dan waktu penelitian Analisis ini dilaksanakan di Indonesia selama tiga tahun ialah 1993-1995.

C. Metode Penelitian. Metode penelitian yang diuraikan di sini mencakup populasi, data; jenis dan sumbernya, variabel-variabel yang dipergunakan, dan metode analisis.

50

Penelitian ini dilakukan atas populasi semua penduduk Indonesia yang menamatkan jenjang pendidikan terakhir Sarjana atau S1 ke atas. Jadi populasi penelitian ini merupakan su-populasi dari populasi pada sensus penduduk tahun 1980 (SP80) dan sensus penduduk tahun 1990 (Sp90). Begitu pula sampel yang dipergunakan adalah sub-sampel dari sampel SP80 dan sampel SP90.

D. Teknik Pengambilan Contoh Kegiatan sensus penduduk di Indonseia untuk pencacahan individu dilakukan pada sampel yang dipilih secara acak di setiap blok sensus lima persen pada SP80, dan di setiap wilayah pencacahan sekitar lima persen, pada SP90. Penelitian ini menggunakan unit statistik individu yang mempunyai pendidikan Sarjana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data SP80 dan SP90. Kegiatan pengumpulan data sensus ini dilakukan oleh Biro Pusat Statistik dengan dua tahap, pertama pencacahan lengkap, kemudian pencacahan sampel. Pencacahan lengkap SP80 mencakup pertanyaan-pertanyaan: hubungan dengan kepala rumahtangga, jenis kelamin, status sekolah untuk anak usia 7-12 tahun. Adapun pencacahan lengkap SP90 mencakup pertanyaan-pertanyaan: hubungan kepala rumah tangga, umur, jenis kelamin, dan status perkawinan (Poedjiastoeti, 1989). Pengambilan contoh atau sampel dilakukan secara multistage sampling, ialah dipilih semua propinsi, kemudian di setiap propinsi dipilih semua kabupaten/kotamadya, disemua kabupaten/kotamadya dipilih semua kecamatan. Kemudian di kecamatankecamatan dipilih secara acak sederhana dipilih beberapa blok sensus, dan terakhir di setiap blok sensus dipilih secara acak sistimatis rumah tangga. Pencacahan sampel rumah

51

tangga dipilih secara sampel acak sistematik sederhana (Systematic Random Sampling) pada blok sensus yang terpilih. Sampel dipilih lima persen dari semua blok sensus yang ada pada SP80 dan lima persen dari setiap wilayah pencacahan pada SP90 (Poedjiastoeti, 1989). Data SP80 telah tersedia, baik dalam bentuk publikasi maupun dalam bentuk media tape. Data SP80 yang tersedia dalam media tape dapat diketahui dalam buku Penjelasan Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1980 yang diterbitkan oleh BPS. Demikian halnya data tape SP90 dapat diakses oleh umum sejak 1993, dan cakupannya dalam buku Penjelasan Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1990. Data yang dipergunakan untuk analisis diolah dari data tape SP80 dan SP90 seri-S. Selanjutnya variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian ini ada empat kategori, ialah variabel terikat kesenjangan, dan variabel bebas demografi, sosial, dan ekonomi.

E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah kuesioner sensus penduduk tahun 1980 dan kuesioner sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana terlampir. Namun demikian pada penelitian ini hanya diambil 19 pertanyaan, sebagaimana di daftar pada Tabel 3.1 pada lampiran 2. Variabel terikat merupakan variabel yang diturunkan dari beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang menyangkut kesenjangan diolah dari tiga pertanyaan ialah pendidikan tertinggi yang ditamatkan dalam hal ini Sarjana (S1), kemudian pertanyaan yang menyangkut jurusan pendidikan di mana pada sensus penduduk tahun 1980 terdiri dari tiga digit dan pada sensus penduduk tahun 1990 terdiri dua digit. Pengelompokan jurusan pendidikan mengikuti International Standard Classification of Eudcation disebut ISCED (BPS, 1990, p.6). Begitu pula untuk jabatan yang secara internasional mengikuti sistem

52

International Standard Classification of Occupation disebut ISCO (U.N, 1989, p. 135; ILO, 1990; dan BPS, 1982). Khusus untuk penelitian ini diambil pengelompokan dua digit baik untuk ISCED maupun untuk ISCO. Untuk ISCED dan ISCO masing-masing diambil dua digit untuk merancang kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Variabel bebas terdiri dari variabel demografi, sosial, dan variabel ekonomi. Variabel demografi terdiri dari variabel: Jumlah anggota rumah tangga, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Variabel sosial terdiri dari: pembagian wilayah seperti kota-pedesaan, Jawa Bali dan pulau lain tempat lahir atau status migran, dan agama yang dianut. Variabel ekonomi terdiri dari: Jenjang pendidikan yang diselesaikan, lapangan pekerjaan, perpindahan lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari pekerjaan tambahan atau tidak. Variabel kontrol adalah tingkat/kelas tertinggi yang pernah/sedang dialami.

F. Pengolahan dan Analisis Data Data tape SP80 dan SP90 secara lengkap memuat data sampel sensus penduduk tahun 1980 maupun data sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana informasi yang ada pada daftar pertanyaan/kuesioner. Untuk penelitian ini hanya diambil data yang mencakup 19 pertanyaan, sebagaimana diuraikan di atas. Kesenjangan dihitung berdasarkan variabel jurusan pendidikan dua digit dan variabel jabatan pekerjaan utama tiga digit. Jabatan ini diambil digit pertama 0/1, 2 dan sebagian 3 pada Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dimana kebanyakan pekerjanya

53

adalah yang berpendidikan tinggi. Variabel kesenjangan ini diturunkan dari empat pertanyaan yang ada pada daftar pertanyaan SP80-S dan SP90-S, sebagai berikut: (diambil dari daftar pertanyaan SP90-S Blok VI. B P. 18, Blok VI.b P. 19, Blok VII P.24, dan Blok VII P. 30 yang bersesuaian dengan daftar pertanyaan pada SP80-S Blok VII P. 22, Blok VII P.23, Blok VIII P.27, dan Blok VIII P. 34). Berikut ini disalin empat pertanyaan sensus penduduk tahun 1990 Blok VI.b P.18, Blok VI.b P. 19, Blok VII P.23, dan Blok VII P.30 tersebut diatas.

P.18 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan 1. Tidak/belum tamat Sd 2. SD 3. SMTP Umum 4. SMTA Umum 5. SMTP Kejuruan 6. SMTA Kejuruan 7. Diploma I/II 8. Akademik D.III 9. Universitas/Div 19. Jurusan Pendidikan (Tulis selengkap mungkin) . . (Kode ISCED hingga dua digit) P.23 Yang terbanyak dilakukan selama seminggu lalu 1. Bekerja 2. Sekolah 3. Mengurus Rumah Tangga 4. Lainnya P. 30 Jenis pekerjaan utama selama seminggu yang lalu (tulis selengkap mungkin) (Sesuai dengan klasifikasi ISCO hingga tiga digit)

Populasi penelitian ini adalah individu yang mempunyai pendidikan tertinggi sarjana. Untuk analisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan dipilih hanya mereka yang bekerja.

54

Adapun variabel kesenjangan diturunkan dengan cara membandingkan antara jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan utama yang ditekuni. Jika secara teoritis ternyata cocok diberi nilai 0, artinya tidak senjang, sebaliknya diberi nilai 1, artinya senjang. Apabila seseorang menamatkan suatu jenjang pendidikan sarjana (S1) dengan jurusan tertentu, kemudian ia bekerja pada jabatan pekerjaan yang memang sesuai dengan keahliannya maka dikatakan sesuai atau matching. Sebaliknya jika orang tersebut bekerja pada jabatan pekerjaan yang tidak sesuai maka dikatakan senjang atau mismatch. Adapun daftar matching antara jurusan pendidikan (ISCED dua digit) dengan jenis pekerjaan utama (ISCO/KJI tiga digit) didefinisikan seperti disajikan pada Tabel 3.2 pada Lampiran 2. Kemudian variabel-variabel yang tergolong dalam variabel demografi, sosial, ekonomi, serta variabel kontrol setelah dilakukan penelaan antara cakupan variabel secara teoritis dengan cakupan variabel yang tercakup pada SP80 dan SP90, akhirnya didapatkan daftar variabel yang akan dinalisis dalam penelitian ini. Biro Pusat Statistik dalam mengumpulkan data sensus penduduk mencakup variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jurusannya menurut klasifikasi International Classification of Education (ISCED) hingga tiga digit. Begitu pula variabel jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) hingga tiga digit pula. Dari data ini dapat ditentukan bahwa secara individu apakah pendidikan yang dicapai dan jabatan pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai. Jika klasifikasi jurusan pendidikan seseorang ternyata sesuai dengan klasifikasi jabatan pekerjaannya maka individu tersebut diberi kode nol (0) artinya tidak ada kesenjangan, sebaliknya diberi kode satu (1) artinya ada

55

kesenjangan. Selanjutnya kesenjangan ini dapat diukur dengan suatu nilai proporsi antara nol hingga 100 untuk setiap dimensi, baik dimensi KJI, dimensi demografi, dimensi sosial, dan dimensi ekonomi. Secara teoritis x orang mempunyai pendidikan jurusan A mestinya semuanya x orang tersebut bekerja pada lapangan pekerjaan yang membutuhkan jurusan A. i) Kalau ini terjadi maka nilai kesenjangannya adalah nol, artinya tidak ada kesenjangan. ii) Sebaliknya jika ternyata tak ada yang bekerja pada lapangan usaha yang membutuhkan A maka angka derajat mismatch sama dengan 100, artinya seratus persen lulusan tersebut tak ada yang bekerja pada lapangan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. iii) Apabila sebagian atau y dari lulusan jurusan tersebut bekerja pada jabatan

pekerjaan yang sesuai maka nilai kesenjangannya antara 0 s/d 100. DK = (<x-y>/x). 100%

Variabel yang dipergunakan untuk melakukan pengujian hipotesis ada 10 buah ialah kesenjangan (KES), Daerah (B1P5), Pulau (B1P1Y), Agama (B6P9X), Migrasi (MIG1), Lapanganb Pekerjaan (B7P31C), Hubungan dengan Kepala Rumah tangga (B6P1B), Jenis Kelamin (B6P2), Umur (b6p4y), Status Perkawinan (B6P5B). Semua variabel dituliskan dalam bentuk simbol sesuai dengan pembagian blok dan nomor pertanyaan pada SP90. Misalnya B1P5 adalah pertanyaan tentang daerah yang diambil dari kuesioner SP 90 Blok (B) satu dan pertanyaan (P) nomor lima.

56

Penjelasan tentang pembagian kategori untuk 10 variabel yang dipergunakan ada Tabel 3.1. Pengelompokan ulang dari kategori jawaban aslinya dilakukan dengan pertimbangan bahwa beberapa kelompok dijumpai respondennya yang sangat kecil. Hal ini mengakibatkan pada penyajian tabulasi silang yang dimensinya lebih tinggi akan dijumpai banyak sel yang kosong. Misalnya, untuk agama yang aslinya terdiri dari enam kategori (1) Islam, (2) Kristen, (3) Katolik, (4) Hindu, (5) Budha, (6) Lainnya dikelompokkan menjadi dua kelompok ialah (0) Non-Islam, (1) Islam. Disamping itu ada variabel yang didapatkan dari hasil pengolahan atau sebagai variabel turunan (derived variabel), ialah variabel kas (kesenjangan) dan variabel migrasi.

Secara rinci penjelasan kesepuluh variabel tersebut adalah sebagai berikut .

Variabel Terikat Kesenjangan KES (kesenjangan) merupakan variabel dependen dalam penelitian yang mempunyai nilai kategorik (0) Tidak senjang dan (1) senjang. Nilai kategorik ini dihasilkan berdasarkan konsep kesenjangan dari jurusan pendidikan yang ditamatkan oleh seseorang dengan jenis pekerjaan (jabatan) yang ditekuni saat pencacahan.

57

Variabel Bebas Ekonomi B7P31C Lapangan Pekerjaan yang terdiri dari dua digit, dari pertanian, industri pengolahan, dll dengan pertimbangan distribusi yang sangat tidak merata, khususnya lebih dari 50 persen sarjana bekerja di sektor pemerintahan/hankam maka dikelompokkan menjadi dua kategori ialah (0) Lainnya dan (1)

Pemerintahan/hankam.

Demografi B6P1B Hubungan dengan Kepala Rumahtangga, yang aslinya mempunyai Sembilan kategori ialah (1) Kepala

Rumahtangga, (2) Istri/suami, (3) Anak, (4) Menantu, (5) Cucu, (6) Orang tua/mertua, (7) Famili lain, (8) Pembantu rumahtangga, (9) Lainnya, Kerena distribusi yang sangat bervariasi kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori ialah (0) Anak/menantu+lain, dan (1) Kepala rumahtangga dan suami/istri. B6P2 Jenis kelami8n terbagi atas dua kelompok, ialah (0) Perempuan (1) Laki-laki. B6P4Y Umur dikelompokkan menjadi dua kategori, ialah (0) kurang dari 40 th, (1) Lebih dari 40 th.

58

B6P5B

Status Perkawinan dikelompokkan menjadi (0) Belum kawin dan (1) Pernah kawin.Sosial

B1P5

Daerah terbagi atas dua kategori, ialah dengan kode (0) Pedesaan (1) Kota.

B1P1Y

Pulau yang terdiri dari lebih dari ribuan, yang secara umum dibagi menjadi lima kelompok dalam penelitian ini

dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, ialah (0) Lainnya dan (1) Jawa+Bali. B6P6X Agama yang secara nasional dibagi menjadi enam kelompok, kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua kategori, ialah (0) Non Islam, dan (1) Islam. MIG1 Migrasi adalah variabel yang diturunkan dari pertanyaan propinsi tempat tinggal sekarang dengan tempat tinggal lima tahun yang lalu. Apabila sama maka bukan migran dan sebaliknya migran. Kode ini adalah (0) Tdk Migran (1) Migran.

59

Tabel 3.1 Daftar variabel dan kategorinya dalam Penelitian


Variabel KES B1P5 B1P1Y B6P6X MIG1 B7P31C B6P1B B6P2 B6p4y B6p5B Kesenjangan Daerah Pulau Agama Migrasi Lap Pekerjaan Hub dg Krt Jenis Kelamin Umur Stat.Perkawinan Kategori Jawaban (0,1) 0 Tdk Senjang 0 Pedesaan 0 Lainnya 0 Non-Islam 0 Tdk Migran 0 Lainnya 0 Ana/menantu+lain 0 Perempuan 0 Kurang dr 40 th 0 Blm kawin 1 Senjang 1 Kota 1 Jawa+Bali 1 Islam 1 Migran 1 emerinth/Hankam 1 Krt s/i 1 Laki-laki 1 40 th ke atas 1 Pernah Kawin

Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan variabel dengan menggunakan metode analisis faktor. Variabel baru ini merupakan indeks komposit, yang kemudian dijadikan indikator. Indikator baru ini dikontruksikan beerdasarkan factor score coefficients (koefisien yang didapatkan dari analisis faktor), dengan telah mempertimbangkan nilai kontribusi (eigen value)

faktor-faktor atau varabel-variabel yang dipergunakan. Angka Eigen value menunjukkan jumlah kontribusi variabilitas (informasi) dari faktor-faktor variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu indeks komposit. Dalam analisis ini dibuat indeks komposit variabel-variabel Pulau, Daerah, dan status Migran. Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan dengan kepala rumahtangga, status perkawinan, dan variabel umur. Indeks komposit variabel sosial pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen dari total informasi atau variabilitas yang terkandung di dalam tiga variabel ialah atau

60

variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemuadian untuk data tahun 1990 memuat 63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposit demografi pada tahun 1980 memuat 40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktorfaktor. Hubungan dengan Kepala rumahtangga, status perkawinan, dan umur. Sedangkan pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di dalam ketiga informasi tersebut. Kemudian data Demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous (0,1). Nol untuk skor negatif, dan satu untuk ekor nol atau positif. Selanjutnya didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sosial rendah, dan untuk skor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi kelompok nol atau positif disebut kelompok demografi tinggi. Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung (1993). Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan antara kategori dalam suatu variabel bebas, pada kategori tertentu dari variabelvariabel bebas lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas bersyarat. Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode multivariat regresi logistik dan nilai statistik Odds Ratio yang dimodifikasi (Agung, 1993).

61

G. Pengertian Dasar Beberapa Istilah Jurusan Pendidikan : Klasifikasi jurusan pendidikan mengikuti International Standard Classification of Education (ISCED). Klassifikasi ini diturunkan hingga tiga digit. Pada penelitian ini hanya diturunkan hingga dua digit, karena keterbatasan pada data-data yang tersedia di Biro Pusat Statistik (BPS). Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) : Suatu pengelompokan pekerja (angkatan kerja yang bekerja) menurut jabatannya (occupation) yang diturunkan dengan modifikasi dari International Standard Classification of Occupation (ISCO) (BPS, 1982). Pembagian ini didasarkan atas keahlian tertentu yang dimiliki seseorang yang layak menduduki jabatan tertentu. Klasifikasi ini diturunkan hingga tiga digit. Digit pertama adalah sbb: 0/1. Tenaga Profesional, Teknisi dan yang sejenis 2. Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, 3. Tenaga Tatausaha dan tenaga yang sejenis, 4. Tenaga Usaha Penjualan, 5. Usaha Jasa, 6. Usaha Pertanian, 7. Tenaga Produksi, 8. Operator Alat Angkutan, 9. Pekerja Kasar, 10. lainnya. Penelitian ini pada akhirnya dipergunakan klasifikasi tiga digit yang termasuk 0/1, 2, dan lainnya untuk digit 3 s/d 10. Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI): suatu klasifikasi kegiatan ekonomi menurut lapangan usaha. SKLUI ini diturunkan dari International Standard of Industrial Classification (ISIC). Lapangan Usaha ini dikelompokkan hingga lima digit (BPS, 1985, 1990). Digit pertama merupakan kelompok besar, seperti 1. Pertanian, 2. Pertambangan dan Penggalian, 3. Indurstri Pengolahan, 4. Listrik, Gas & Air, 5. Bangunan, 6. Perdagangan, 7. Angkutan, 8. Lembaga Keuangan, 9. Pemerintahan/hankam, 0. Lainnya. Pada penelitian ini menggunakan kelompok tiga

62

digit, dan untuk pekerja yang menamatkan pendidikan sarjana ke atas. Sektor pemerintahan adalah klasifikasi sembilan (9) dan KLUI. Tujuan pendidikan tinggi adalah : (1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; (2) mengembangkan dan menyebasrluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Penyelenggaraan untuk mencapai tujuan tersebut berpedoman pada : (1) tujuan pendidikan nasional; (2) kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan; dan (3) kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi. Pendidikan Tinggi : adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari pada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Pendidikan akademik : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada pengusaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, yang diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan profesional : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, yang diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan profesional terdiri atas Program Diploma dan Program Spesialis. The polity : refers to an organized society with a polity has variious properties that will crete demands on its educational sector.l (Levin, 1976)

63

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data 1. Jurusan pendidikan responden Berdasarkan data sensus Penduduk tahun 1980 (SP80) dan data Sensus Penduduk tahun 1990 (SP90), penduduk yang berpendidikan S1 secara nasional masing-masing ada 227.910 orang dan 983.407 orang. Dari jumlah tersebut yang bekerja secara berurutan pada tahun 1980 ada 190.453 orang, dan pada tahun 1990 yang bekerja ada 772.258 orang. Distribusi penduduk tersebut menurut jurusan pendidikannya, baik secara keseluruhan maupun yang bekerja, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari 21 jurusan yang ada menunjukkkan bahwa distribusi penduduk yang mempunyai pendidikan tertinggi minimal sarja (S1) pada tahun 1980 relatif lebih merata dibandingkan pada tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV1980- 1,15 dan KV 19901,21). Selanjutnya dijumpai hal yang sama bahwa pada tahun 1980 distribusi penduduk yang mempunyai pendidikan S1 ke atas dan sudah bekerja relatif lebih merata dibandingkan pada tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV 1980 = 1,18 dan KV1990 = 1,20) Walaupun secara absolut menunjukkan kecenderungan rata-rata sekitar 15 persen baik secara keseluruhan maupun bagi kelompok yang sudah bekerja namun distribusinya mengalami perubahan yang sangat lamban. Artinya distribusi sarjana

64

menurut jurusan pendidikan pada tahun 1980, hampir sama dengan distribusi pada tahun 1990. Jurusan-jurusan yang didominasi para sarjana pada tahun 1980 juga didominasi pada tahun 1990. Data pada Tabel 1 dan Tabel 2 (selanjutnya pada Bab ini, Tabel 1 s/d tabel 40 pada Lampiran Bab IV) menunjukkan penjelasan tersebut diatas. Lima jurusan yang paling banyak sarjananya pada tahun 1980 adalah : Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Teknik atau Teknologi, Kedokteran dan kesehatan. Pada tahun 1990 ialah : Ekonomi, Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Hukum dan Kehakiman, Teknik Atau Teknologi, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara. Kemudian tiga jurusanyang mempunyai pertumbuhan palaing pesat adalah : Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara, Kesenian dan Seni Rupa. Selanjutnya sarjana yang sudah bekerja pada tahun 1980 didominasi oleh lima jurusan ialah : Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Teknik atau Teknologi dan kedokteran dan Kesehatan, Kemudian pada tahun 1990 didominasi oleh Jurusan : Ekonomi, Ilmu Pendidikan danKeguruan, Teknik atau Teknologi, Hukum dan Kehakiman, Administra Perusahaan dan Niaga Negara. Lima Jurusan yang sudah bekerja dan mempunyai pertumbuhan paling pesat adalah : Keagamaan dan Ilmu Ke Tuhanan, Kesenian dan Seni Rupa, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara, Perikanan, Ilmu Pendidikan dan Keguruan.

65

2. Kegiatan Ekonomi Tahun 1980 jumlah sarjana yang tercatat ada 227.910 orang yang bekerja ada 83,6 persen atau 190.453 orang, kemudian yang masih sekolah pada waktu itu ada dua persen, mengurus rumahtangga ada 6,9 persen, dan lainnya ada 7,6 persen. Pada tahun 1990 jumlah sarjana ada 983.407 orang yang terdiri dari 78,5 persen atau 772.258 orang yang bekerja, 1,9 persen masih sekolah, 7,8 persen mengurus rumah tangga, dan 11,8 persen lainnya. Dari kenyataan diatas menunjukkan bahwa proporsi sarjana yang bekerja pada tahun 1990 cenderung menurun, walaupun secara absolut meningkat 3,5 kalinya.

3. Jabatan Jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1980 adalah 227.910 orang. Distribusi menurut jabatannya (ISCO satu digit) terdiri dari 0,2 persen tenaga profesional, 98,5 persen tenaga Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, Pejabat Pelaksana dan tenaga sejenisnya, dan 1,3 persen sebagai tenaga kasar. Adapun jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1990 sebanyak 772,258 orang menunjukkan bahwa 34,8 persen padajabatan tenagas profesional, kemudian 63,6 persen pada jabatan Ksepemimpinan dan ketatalaksanaan, Pejabat Pelaksana, dan tenaga sejenisnya, dan sisanya 1,7 persen sebagai tenaga kasar. Jumlah sarjana tahun 1980 sebanyak 227,910 orang dan jumlah sarjana pada tahun 1990 sebanyak 772,258 ini selanjutnya akan diteliti kesenjangan antara jurusan pendidikan dan jabatan.

66

Selanjutnya dikaji bagaimana kesenjangan tersebut menurut kategori sosial, ekonomi dan demografi sebagaimana uraian berikut ini.

4. Sosial Variabel sosial terdiri dari : pembagian wilayah seperti Kota-Pedesaan, Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), pulau, status migran, dan agama yang dianut. Distribusi sarjana yang bekerja menurut daerah kota dan pedesaan mengalami perubahan dari tahun 1980 dan 1990. Pada tahun 1980 sekitar 80 persen sarjana bekerja diperkotaan, kemudian pada tahun 1990 tercatat menjadi sekitar 83 persen. Dari pembagian KBI danKTI tidak terlihat adanya perubahan, namun pembagian menurut pulau (Sumatera, Jawa-Bari, danlainnnya) menunjukkan adanya perubahan yang makin merata. Pada tahun 1`980 terkonsentrasi di Jawa-Bali sekitar 70 persen, pada tahun 1990 berubah menjadi 67,8 persen walaupun jumlah absolutnya tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di luar JawaBali makin banyak proporsi sarjana yang bekerja. Dilihat dari agama (islam, Non-Islam) ternyata makin banyak proporsi sarjana beragama Islam. Pada tahun 1980 komposisinya 69 persen Islam dan 31 persen NonIslam, kemudian pada tahun 1990 menjadi 73 persen Islam dan 27 persen non-Islam. Hal ini dapat difahami karena selama kurun waktu 10 tahun merupakan masa transisi dan dimulainya revolusi pendidikan tinggi di Indonesia telah menjamah masyarakat banyak, terutma mayoritas Islam. Hal ini juga sebagai akibat dari kebijakan pemerataan pendidikan termasukpendidikan tinggi sejak Pelita I (Thomas, 1974; Enoch 1992).

67

Selanjutnya dilihat dari migrasi yang didefinisikan bahwa seorang dikatakan melakukan migrasi apabila propinsi tempat tinggal pada waktu pencacahan dan propinsi tempat tinggal laima tahun yang lalu berbeda. Dari definisi ini terlihat bahwa sarjana yang telah bekerja pada tahun 1980 banya 16,6 persen yang melakukan migrasi, kemudian pada tahun 1990 proporsinya menurun hanya sekitar 14,6 persen.

5. Ekonomi Variabel ekonomi terdiri dari : lampangan pekerjaan utama, perpindahan lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari pekerjaan tambahan atau tidak. Lapangan pekerjaan para sarjana di Indonesia hingga saat ini sangat tergantung pada sektor pemerintahan/hankam. Tahun 1980 sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan/hankam ada 74,4 persen kemudian pada tahun 1990 menurun proporsinya menjadi 65,8 persen. Ada perubahan yang sangat mencolok ialah di sektor lembaga keuangan, industri, perdagangan, dan sektor bangunan. Hal ini sesuai dengan perkembangan pembangunan selama kurun waktu 10 tahun yang secara pesat berkembang pada sektor-sektor tersebut. Pertuimbuhan ekonomi makro selama periode 1980-1990 sekitar 8 persen, pertanian sekitar 5,5 persen, industri sekitar 14 persen, sektor lainnya 6,5 persen (BPS, 1993) Dari jumlah sarjana yang bekerja tersebut terlihat angka penurunan proporsi yang masih mencari pekerjaan. Pada tahun 1980 menunjukkan angka 4,3 persen, kemudian pada tahun 1990 menunjukkan angka 2,2 persen yang masih mencari pekerjaan walaupun sudah bekerja.

68

Selanjutnya responden juga diminta keterangannya apakah setahun sebelum pencacahan sudah bekerja atau belum. Dari 100 persen sarja yang bekerja pada tahun 1980 ada sekitar enam persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja, kemudian pada tahun 1990 ada 10 persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja. Artinya kelompok enam persen atau 10 persen ini dapat dari lulusan baru (new entrance), dari sarjana yang memang pada tahun-tahun sebelumnya belum mendapatkanpekerjaan atau masih menganggur. Hal ini memberikan indikasi bahwa kesempatan kerja bagi sarjana pada tahun 1990-an lebih banyak dibandingkan tahun 1980-an.

6. Demografi Variabel demografi terdiri dari variabel : hubungan dengan kepada rumah tangga, jumlah anggota ruamah tangga, jenis kelamin, dan umur, dan status perkawinan. Pada tahun 1980 sekitar 83 persen mempunyai suami/istri. Kemudian pada tahun 1990 hanya sekitar 74 persen. Yang mempunyai hubungan dengan kepala rumah tangga sebagai anak/menantu pada tahun 1980 ada 10 persen, tetapi pada tahun 1990 ada 18,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga selama sepuluh tahun ada perubahan jumlah sarjana yang makin banyak dan juga bekerja, tetapi lebih banyak yang masih tinggal dengan orang tua atau mertua. Dari jenis kelamin, terlihat ada perubahan bahwa makin banyak jumlahmaupun proporsi wanita yang mempunyai pendidikan sarjana keatas dan bekerja. Pada tahun 1980 hanya sekitar 16 persen, kemudian pada tahun 1990 menjadi 23 persen, kemudian padas tahun 1990 menjadi 23 persen wanita berpendidikan sarjana atau lebih dan bekerja.

69

Dari komposisi usia terlihat bahwa pada tahun 1990 cenderung berusia lebih muda dibandingkan pada tahun 1980. Dari status perkawinan juga terlihat bahwa pada tahun 1980 ada 14 persen yang menyatakan belum kawin, pada tahun 1990 ada 23,4 persen. Komposisi umur dan status perkawinan juga mempunyai kaitan erat dengan perubahan hugungan dengan kepala rumah tangga yang secara umum makin tinggi yang ikut orang tua / mertua.

B. Kesenjangan Sesuai dengan konsep dan definisi operasional tentang kesenjangan ternyata pada tahun 1980 seluruh sarjana yang bekerja menunjukkan adanya kesenjangan antara jurusan pendidikan (I S C E D) dan Jabatan pekerjaannya (ISCO) 91,3 persen, dan hanya 8,7 persen yang tidak senjang atau sesuai. Kemudian pada tahun 1990 menunjukkan ada 78 persen senjang dan 22 persen tidak senjang atau yang sesuai. Pada tahun 1980 dari 23 jurusan pendidikan tinggi yang ada sembilan dari yang derajat kesesuaiannya paling tinggi secara berurutan adalah : Ilmu Pengetahuan Alam, Teknik atau teknologi, Pertanian, Peternakan, kehutanan, Arsitektur & Perencanaan Kota, Perikanan, Kedokteran dan Kesehatan, Ekonomi. Pada tahun 1990 sembilan jurusan yang mempunyai derajat kesesuaian dari yang paling tinggi adalah : Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Arsitektur & Perencanaan Kota, Teknik atau Teknologi, Komunikasi Massa & Dokumentasi, Kedokteran dan Kesehatan, Ekonomi, Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara, kesenian dan seni rupa (Tabel 3 dan Tabel 4 pada lampiran Tabel Analisis Bab IV).

70

Namun ada perbedaan yang mendasar antara keadaan tingkat kesesuaian pada tahun 1980 dan keadaan pada tahun 1990. Disamping derajat kesesuaian pada tahun 1990 lebih tinggi juga lebih merata (ditunjukkan dengan koefisien variasi yang leibh kecil. Koefisien variasi standar deviasi/rata-rata. Di tahun 1980 derajat kesesuaian secara umum hanya 8,7 persen, kemudian menurut jurusan pendidikan dari yang minimum 0 jurusan humaniora dan maksimum 47 persen untuk jurusan IPA. Pada tahun 1990 secara umum derajat kesesuaiannya 22,3 persen, dan menurut jurusan pendidikan menunjukkan distribusi antara 0 pada jurusan pelayanan jasa hingga 80 persen pada jurusan Ilmu Pendidikan dan Keguruan. Angka kesenjangan pada tahun 1980 nampak ada kejanggalan, terutama beberapa jurusan pendidikan yang menunjukkannilai kesenjangan 100 persen. Hal ini mungkin ada kesalahan sampling, dimana pada tahun 1980 teknik sampling yang diambil tidak sesempurna sensus penduduk 1990 (Poedjiastoeti, 1989). Disamping itu kodifikasi jurusan pendidikan pada sensus penduduk tahun 1980 berbeda dengan kodifikasi jurusan pendidikan pada tahun 1990. Penyelarasan jurusan pendidikan pada sensus penduduk 1980 dengan sensus penduduk tahun 1990, memberikan kontribusi pada kesalahan pengelompokan. Setelah didiskusikan dengan Biro Pusat Statistik (Mamas, G dan Madjid, A 12 Oktober 1995, secara berurutan ahli kependudukan, dan mantan ketua BPS), menyimpulkan bahwa untuk pengelompokan satu digit jurusan pendidikan (ISCED), jabatan pekerjaan hingga dua digit, dan lapangan pekerjaan hingga dua digit mempunyai tingkat validasi yang tinggi. Apabila pengelompokan di atas dilihat menurut daerah hanya dapat hingga tingkat propinsi, karena kerangka sampel yang dirancang hanya dapat estimasi hingga tingkat propinsi.

71

Namun untuk pengelompokan yang lebih rinci (digit lebih besar) mempunyai tingkat validasi yang sangat rendah. Jadi apabila pengelompokannya dijadikan tiga kelompok jurusan atau bidang studi ialah (1) Sosial, (2) IPA, dan (3) Teknik akan mempunyai tingkat validasi yang tinggi. Pengukuran kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan perlu dilakukan pendataan secara nasional, melalui sensus. Walaupun masalah relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan tidak merupakan satusatunya ukuran atau tujuan dari pendidikan tinggi di Indonesia.

C. Pengujian Hipotesis 1. Distribusi responden Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang tidak senjang atau yang sesuai antara jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaannya ada 8,7 persen dan yang senjang ada 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990 yang tidak senjang ada 22,3 persen, dan yang senjang ada 77,7 persen. Apabila dibandingkan keadaan pada tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa kesenjangan makin kecil. Pada tahun 1980 ada 91,3 persen yang senjang, kemudian pada tahun 1990 menjadi 77,7 persen. Hal ini berarti ada penurunan sekitar 13,6 persen selama sepuluh tahun. Apabila dikatakan sebaliknya derajat kesesuaian (tidak senjang) para sarjana di Indonesia menurut jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuninya makin baik. Pada tahun 1980 derajat kesesuaian 8,7 persen, kemudian pada tahun 1990 menjadi 22,3 persen. Perubahan yang makin baik ini sangat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain dimungkinkan pada tahun 1990-an dibandingkan keadaan pada tahun

72

1980-an, keadaan ketenagakerjaan baik lapangan maupun jabatannya sudah lebih banyak tersedia dan lebih banyak pilihan, sehingga jabatan-jabatan yang tersedia lebih banyak ditempati oleh para sarjana yang lebih cocok jurusannya. Distribusi sarjana menurut kategori daerah pedesaan dan kota, menunjukkan adanya perubahan yang cenderung pada tahun 1990 makin ke kota. Pada tahun 1980 ada 19,6 persen sarjana yang dipedesaan dan 80.4 persen yang ada dikota. Pada tahun 1990 jumlah sarjana yang di pedesaan ada 16,9 persen dan yang di kota menjadi 83,1 persen. Pergeseran ini dimungkinkan karena lapangan pekerjaan serta jabatan pekerjaan yang tersedia bagi para sarjana pada tahun 1980-an dibandingkan pada tahun 1990-an makin banyak di daerah kota. Di samping itu juga perubahan demografidan sosial yang juga turut menentukan perubahan tersebut. Secara demografis, para sarjana yang baru didominasi penduduk usia muda di kota, sedangkan sarjana yang sudah bekerja tergeser karena umur, mungkin persiun, atau alasan lainnya. Selanjutnya secara sosial, antara lain peluang penduduk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi adalah penduduk kota, dan pembangunan yang sangat menonjol dengan kebutuhan keterampilan khusus yang dimiliki oleh sarjana juga pembangunan di daerah kota. Distribusi sarjana menurut pulau yang dikelompokkan menjadi tiga kategori Jawa-Bali, Sumatera, dan lainnya menunjukkan distribusi yang sangat mencolok, Para sarjana masih mayoritass di Jawa, walaupun selama kurun waktu sepuluh tahun sudah ada pergeseran distribusinya. Sekitar 70 persen sarjana pada tahun 1980 ada di Jawa, kemudian pada tahun 1990 menjadi 67,8 persen. Hal ini menunjukkan

73

perubahan yang menggembirakan. Berbagai indikasi dapat ditarik, antara lain makin tingginya kesempatan lapangan pekerjaan maupun jabatan di luar Jawa-Bali, sehingga proporsi sarjana yang sudah bekerja di luar Jawa-Bali makin tinggi pada tahun 1990-an dibandingkan keadaan tahun 1980-an.

Tabel 4.1 Distribusi persentase sarjana yang bekerja Menurut variabel-variabel dalam penelitian sensus penduduk, dan kategori jawaban
Variabel Sensus Penduduk 1980 ---------------------------0 1 8,7 19,6 29,6 30,6 83,4 25,6 18,2 16,7 65,2 15,9 9,3 80,4 70,4 69,4 16,6 74,4 81,8 83,3 34,8 84,1 Sensus Penduduk 1990 ------------------------------0 1 22,3 16,9 32,2 26,8 85,4 34,2 28,6 24,0 70,9 26,2 77,7 83,1 67,8 73,2 14,6 65,8 71,4 76,0 29,1 73,8

Kesenjangan Daerah Pulau Agama Migran Lap Pekerjaan Hub dg Krt Jenis kelamin Umur Status Perkawinan

Menurut agama yang dianut yang dikategorikan menjadi Non Islam dan Islam menunjukkan bahwa perubahan yang sangan bermakna selama sepuluh tahun. Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang beragama Islam ada 69,4 persen, kemudian pada tahun 1990 menjadi 73,2 persen. Makin tingginya proporsi ini disamping seiring dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia menurut agama yang mayoritas

74

menganut Agama Islam, juga menjunjukkan makin tingginya kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat banyak> Namun diperkirakan walau makin banyak proporsi sarjana dari kategori masyarakat Islam, yang Non-Islam walaupun proporsinya lebih kecil jumlahnya tetap bertambah dari tahun 1980-an hingga tahun 1990-an. Bahkan apabila dilihat mutu pendidkan yang tercermin pada jurusan pendidikan akan berbeda. Sarjana Non-Islam terdistribusi pada jurusanjurusan ekonomi, kedokteran, dan teknik. Selanjutnya dari laparangan pekerjaan sarjana non-Islam mayoritas pada serktor perdagangan, lembaga keuangan, pemberintahan, dan industri. Teori migrasi menyatakan bahwa makin baik kehidupan seseorang cenderung pada mereka yang emlakukan migrasi termasuk urbanisasi (Todaro, 1982). Hal ini tidak berlaku pada kelompok masyarakat berpendidikan sarjana. Pada tahun 1980 sarjana yang sudah bekerja yang melakukan migrasi selama 5 tahun ada 16,6 persen, kemudian pada tahun 1990 menurun hanya 14,6 persen. Hal ini diperkirakan bahwa kelompok mansyarakat berpendidikan sarjana yang sudah bekerja secara umum kehidupannya lebih mapan. Dalam demografi, faktor penyebab migrasi pendidkan apalagi urbanisasi adalah faktor ekonomi termasuk lapangan pekerjaan. Kelompok sarjana yng sudah bekerja menurut lapangan pekerjaan terbagi pada Pemerintahan/Hankam dan lainnya. Pengelompokan ini semata karena mayoritas sarjana di Indonesia bekerja pada sektor Pemerintahan/Hankam. Sarjana yang bekerja di Pemerintahan/Hankam pada tahun 1980 ada 74,4 persen, kemudian pada tahun 1990 menurun menjadi 65,8 persen. Hali ini menunjukkan adanya banyak faktor. Antara lain pada tahun 1980-an di samping para sarjana jumlahnya sedikit,

75

dunai swasta masih sangat rendah partisipasinya, maka para sarjana ini memilih lapangan pekerjaan yang terbaik pada saat itu adalah di Pemerintahan/Hankam. Kemudian keadaan tahun 1990-an di sektor swasta mkulai berperan, investasi meningkat lapangan pekerjaan non-Pemerintah/Hankam yang menbutuhkan sarjana cukup tinggi, maka terjadi pergeseran tersebut di atas. Secara demografis salah satu variabelnya adalah hubungan dengan kepala rumahtangga dalam satu atap/keluarga. Di Indonesia menjadi sangant penting karena secara demografis derajat ketergantungan antar kerabat masih tinggi. Dalam satu atap/ruamahtangga dapat dihuni oleh orang tua, anak, cucu, orang tua, mertua, menantu, pembantu, bahkan oranglain atau kerabat. Khusus kelompok yang mempunyai pendidikan tertinggi sarjana pada tahun 1980 dilihat dari variabel ini menunjukkan bahwa ada 81,8 persen sebagai kepala rumah tangga, istri, atau suami, dan 18,2 persen yang dalam rumah tangga sebagai anak atau menantu atau lainnya seperti mertua, orang tua atau kerabat lain. Pada tahun 1990 komposisinya berubah menjadi 71,4 persen kepala rumah tangga, istri, atau suami dan 28,6 persen sebagai anak, menantu, atau kerabat lain. Pergeseran ini menunjukkanbanyak hal antara lain makin tingginya anak atau menantu dalam suatu rumah tangga yang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan hingga sarjana. Pembagian menurut jenis kelamin menjunjukkan perubahan komposisi yanbg sangat menonjol. Pada tahun 1980 83,3 persen sarjana di Indonesia laki-laki dan 16,7 persen perempuan. Pada tahun 1990 telah berubah dengan sangat bermakna ialah 76 persen sarjana laki-laki dan 24 persen perempuan. Hal ini tiada lain merupakan resultante dari berbagai kebijakan pemerintah dalam pembelaan kelompok

76

perempuan, yang direalisasikan melalui kebijaksanaan pengiriman mahasiswa keluar negeri dengan komposisi maksimum 70 persen laki-laki dan minimum 30 persen perempuan (Bappenas, 1983). Dari kelompok umur yang dibagi menjadi dua kategori kurang dari 40 tahun dan kategori 40 tahun keatas, juga menunjukkan adanya perubahan komposisi yang bermakna. Pada tahun 1980 65,2 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun, pada tahun 1990 menjadi 70,9 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun. Pergeseran ini dimungkinkan oleh karena banyak faktor, antara lain kesempatan mendapatkan pendidikan lebih tinggi pada periode 1980-1990 lebih tinggi baik didalam negeri di PTN maupun di PTS, dan juga kesempatan pendidikan di luar negeri. Pergeseran ini terjadi secara demografis antara lain menurut kohor (kelompok umur) menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan makin baik, kelompok umur SLP dan SLA pada tahun 1980-an memperoleh kesempatan menyelesaikan sarjana pada tahun 1985-an, yang kemudian pada tahun 1990-an telah terjun pada kelompok sarjana yang bekerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada dekade tahun 1980-an mulai bermunculan perguruan tinggi swasta yang telah meluluskan sarjananya, disamping produk program pendidikan di luar negeri. Terakhir variabel demografi yang diambil dalam penelitian ini adalah status perkawinan. Pada tahun 1980 15,9 persen belum kawin, dan 84,1 persen sudah pernan kawin (kawin, janda, duda, cerai mati, cerai hidup). Pada tahun 1990 26,2 persen belum kawin, dan 73,8 persen pernah kawin. Hal ini banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain faktor demografi, seperti umur di mana banyak sarjana

77

pada umur lebih muda tahun 1990-an, faktor ketergantungan tempat tinggal dimana masih ikut orang tua, dan mungkin faktor sosial juga yang mempengaruhinya. 2. Deskripsi kesenjangan Kesenjangan yang didefinisikan sebelumnya kemudian dikaji kaitan sederhana (asosiasinya) dengan sembilan variabel-variabel independen tersebut. Kenyataan secara umum pada tahun 1980 dan tahun 1990 menunjukkan berbagai persamaan dan perbedaan. Secara umum kesamaan makro menunjukkan ada asosiasi secara sederhana yang signifikan antara variabel sosial, ekonomi, demografi terhadap kesenjangan. Ada dua perbedaan mendasar : 1) Variabel demografi jenis kelamin tidak menunjukkan adanya perbedaan kesenjangan menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada tahun 1980. Tetapi ada perbedaan secara nyata pada tahun 1990. 2) Perubahan urutan derajat asosiasi antara sembilan variabel independen terhadap kesenjangan. Keadaan pada tahun 1980 dari yang derajat asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan paling besar hingga ke yang paling kecil signifikansinya secara berurutan adalah : migrasi, Lapangan Pekerjaan, Daerah, Pulau, Hubungan dengan kepada rumahtangga, Umur, Status perkawinan, Agama, Jenis Kelamin. Pada tahun 1990 urutannya menjadi : Daerah, Pulau Jenis Kelamin, Lapangan Pekerjaan, Umum Migrasi, Agama, Status Perkawinan, Hukungan dengan Kepala rumahtangga. Variabel daerah yang pada tahun 1980 pada urutan yang tiga pada tahun

78

1990 menjadi pada urutan yang pertama. Hal ini memberikan indikasi bahwa perubahan pengaruh variabel daerah (kota, pedesaan) terhadap kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada tahun 1990 dijumpai sangat tinggi.

Sosial Selanjutnya apabila dikaji dari tabel 5 dan tabel 6 terlihat bahwa pada tahun 1980 semua sarjana yang bekerja dan tidak senjang ada 8,7 persen dan yang senjang ada 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990 yang tidak senjang 22,3 persen dan yang senjang ada 77,7 persen.

Gambar 4.1 Perubahan urutan derajat pengaruh/asosiasi sembilan Variabel independen terhadap kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun 1990

Urutan

1980

1990

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Migrasi Lap Pekerjaan Daerah Pulau Hub dg Krt Umur Stat.Perkawinan Agama Jenis kelamin

4. 5. 1. 2. 6. 8. 9. 3. 7.

. . . . . . . . .

. . . . . . . . .

1. D a e r a h 2. Pulau 7. Jenis Kelamin 5. Lap Pekerjaan 8. Umur 4. Migrasi 3. Agama 9. Stat.Perkawinan 6. Hub dg Krt

79

Apabila dikaji bagaimana distribusi ini menurut daerah kota dan pedesaan menunjukkan perubahan yang sangat tinggi, di tahun 1980 yang senjang di pedesaan lebih tinggi dari di kota, tetapi sebaliknya pada tahun 1990 kesenjangan di pedesaan lebih kecil dibandingkan di kota. Jadi di samping secara umum kesenjangan antara jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan yang ditekuni oleh para sarjana yang sudah bekerja makin kecil atau keadaannya makin baik selama kurun waktu 1980-1990, di daerah pedesaan membaik lebih cepat keadaannya dibandingkan di perkotaan. Hal ini banyak sekali faktor yang menentukannya, di antaranya faktor perhatian pembangunan di pedesaan yang makin membaik, pilihan sarjana bekerja di pedesaan cenderung lebih cocok jurusan pendidikannya dengan jabatan yang ditekuni atau yang dipilihnya. Tetapi di kota sebaliknya, sarjana yang bekerja di kota, terutama yang masih baru cenderung akan menerima pekerjaan apa saja terlebih dahulu sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok dengan jurusannya. Variabel pulau meningkat dari urutan nomor empat pada tahun 1980, menjadi nomor dua pada tahun 1990. Hal ini menunjukkan indikasi hasil pembangunan SDM selama periode 1980 hingga 1990 termasuk distribusinya menurut pulau yang dibagi menjadi Jawa-Bali, Sumatera, dan pulau-pulau lainnya makin membaik. Hal ini ditunjukkan distribusi sarjana menurut kelompok pulau tersebut diatas pada tahun 1980 dan tahun 1990. Pada tahun 1980 sarjana yang ada di Jawa-Bali ada 70,4 persen, Sumatera 15,1 persen dan pulau lainnya ada 14,4 persen. Selanjutnya pada tahun 1990 menunjukkan perubahan yang lebih merata ialah di Jawa 67,8 persen di Sumatera 15,9 persen, dan di pulau-pulau lainnya ada 16,3 persen. Hal ini merupaian indikasi pembangunan secara umum selama kurun waktu sepuluh tahun yang lebih

80

memberikan kesempatan bagi sarjana untuk bekerja di luar Jawa lebih baik. Disamping itu juga merupakan indikasi membaiknya pembangunan SDM berpendidikan tinggi di Luar Jawa. Perubahan ini secara rinci juga menunjukkan bahwa pada tahun 1980 kesenjangan di luar jawa lebih besar, dan di Sumatera lebih besar dari dipulau-pula lainnya. Pada tahun 1990 secara umum kesenjangan makin kecil, walaupun di luar jawa masih lebih besar juga dibandingkan di Jawa, namun kesenjangan di Sumatera dan di pulau-pulau lainnya sama (Tabel 5 dan Tabel 6). Variabel agama yang pada tahun 1980 merupakan variabel yang mempunyai derajat asosiasi relatif kecil terhadap kesenjangan, namun pada tahun 1990 bergeser satu tangga menjadi lebih signifikat. Hal yang sama seperti variabel jenis kelamin bahwa pembangunan di bidang keagamaan kaitannya dengan pengembangan SDM menunjukkan derajat pengaruh yang sangat signifikan. Walaupun secara mutlak jumlah sarjana pada tahun 1990 meningkat sekitar empat kali jumlah pada tahun 1980, namun secara proporsional kelompok Islam bertambah lebih cepat. Pada tahun 1980 sarjana non-Islam ada 30,6 persen, kemudian pada tahun 1990 hanya 26,8 persen. Apabila dilihat kesenjangan menunjukkan bahwa pada tahun 1980 kelomnpok sarjana non-Islam lebih kecil kesenjangannya dibandingkan kelompok sarjana Islam.Pada tahun 1990 keadaannya sama bahkan kelompok Islam menunjukkan penurunan kesenjangan yang lebih cepat. Hal ini dimungkinkan bahwa kelompok non-Islam di Indonesia pada umumnya tinggal di kota-kota yang sejak kemerdekaan telah mempunyai akses ekonomi, sosial, dan demografi yang lebih baik termasuk adses pendidikan lebih baik pula. Sehingga dampat pembangunan SDM

81

berpendidikan tinggi cenderung lebih berdampak kepada kelompok Islam (Tabel 7 dan Tabel 16).

Variabel Migrasi memberikan asosiasi terhadapt variabel kesenjangan baik pada tahun 1980 maupun pada tahun 1990 sangant signifikan, namun ada pergeseran urutan dari delapan variabel independen lainnya yang dipergunakan dalam penelitian ini. Pada urutan yang pertama, kemudian pda tahun 1990 bergeser menjadi urutan yang keenam. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kebijakan pemerataan pembangunan daerah yang makin membaik, sehingga peluang pilihan-pilihan jabatan pekerjaan yang lebih cocok bagi para sarjana menjadi lebih besar dan lebih mapan. Apabila dikaji lebih mendalam bahwa pada tahun 1980 sarjana yang sudah bekerja terdiri dari 83,4 persen tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun yang lalu, dan hanya 16,6 persen yang melakukan migrasi selama lima tahun yang lalu. Kemudian keadaannya berubah bahwa pada tahun 1990 ternyata sarjana yang sudah bekerja dan tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun yang lalu lebih besar dibandingkan tahun 1980, ialah sebesar 85,4 persen, dan yang tidk melakukan migrasi selama lima tahun yang lalu ada 14,6 persen. Selanjutnya kesenjangan yang ada pada tahun 1980 secara umum lebih besar dibandingkan keadaan tahun 1990. Namun secara rinci pada tahun 1980 kelompok migran lebih kecil kesenjangan dibandingkan kelompok non-migran. Selanjutnya pada tahun 1990 keadaannya adalah sebaliknya, kelompok migran lebih besar kesenjangannya, dibandingkan yang non-migran (Tabel 8 dan Tabel 17).

82

Ekonomi Variabel lapangan pekerjaan sebagai kegiatan ekonomi pada tahun 1980 pda urutan yang kedua, kemudian pada tahun 1990 bergeser menjadi urutan yang keempat. Distribusi sarjana yang bekerja pada tahun1980 74,4 persen pada lapangan pekerjaan pemerintahan/hankam dan hanya 25,6 persen pada sektor lainnya. Kemudian pada tahun 1990 sarjana yang bekerja pada lapangan pekerjaan pemerintahan/hankam menurun menjadi 65,8 persen, dan disektor lainnya ada 34,2 persen. Hal ini menunjukkan ketergantungan para sarjana pada sektor

pemerintahan/hankam makin mengecil. Hal ini merupakan indikasi bahwa disamping makin besarnya peluang di sektor swasta yang makin luas bagi sarjana, juga makin kecilnya minat para sarjana untuk bekerja di sektor pemerintahan/hankam. Artinya selama kurun waktu sepuluh tahun 1980-1990 telah terjadi perubahan persepsi para sarjana dari keinginan utama bekerja di sektor pemerintahan/pegawa negeri ke sektor non-pemerintahan/swasta. Apabila dilihat dari kesenjangan antara jurusan pendidikan sarjananya dengan jabatan yang ditekuni menunjukkan bahwa secara umum makin kecil selama kurun waktu sepuluh tahun. Secara rinci menurut lapangan pekerjaannya pada tahun 1980 di samping mayoritas sarjana bekerja pda lapangan

pemerintahan/hankam juga dijumpai kesenjangannya lebih besar dibandingkan pada sektor lainnya. Selanjutnya pada tahun 1990 penunjukan perubahan yang sebaliknya, ialah walaupun sektor pemerintahan tetap masih mayoritas, namun kesenjangannya lebih kecil (keadaannya lebih baik) dibandingkan pada sektor lainnya (Tabel 9 dan Tabel 18).

83

Demografi Variabel hubungan dengan kepada rumahtangga yang pada tahun 1980 mempunyai derajat asosiasi atau pengaruh terhadap kesenjangan yang sangat signifikan dan merupakan variabel nomor lima, tetapi pada tahun 1990 walaupun mempunyai derajat asosiasi yang signifikan namun pada urutan yang kesembilan. Artinya hubungan dengan kepala rumahtangga pada tahun 1990 pada urutan yang terakhir derajat signifikannya. Hal ini memberikan indikasi bahwa dependensi tempat tinggal para sarjana pada tahun 1980 dan tahun 1990 mempunyai kesamaan signifikansinya, tetapi berbeda urutannya dibandingkan delapan variabel lain yang dipergunakan dalam penelitian ini. Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang sudah bekerja yang masih menumpang/serumah dengan orang tua orang lain cenderung lebih sedikit dibandingkan keadaan tahun 1990. Namun apabila dilihat dari kesenjangan antara jurusan pendidikan kesarjanaannya dengan jabatan yang ditekuninya keadaan tahun 1980 menunjukkan bahwa kelompok anak/menantu atau lainnya lebih kecil dibandingkan denan kelompok kepala rumahtangga, istri atau suami. Kemudian keadaan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa walaupun secara umum menjadi lebih kecil kesenjangannya dibandingkan tahun 1980, tetapi pada kelompok anak/menantu atau lainnya menunjukkan kesenjangan yang lebih besar (Tabel 10 dan Tabel 19). Artinya, selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi banyak sekali purubahan, khususnya tentang pembangunan perumahan, telah terjadi pada kelompok sarjana yang sudah bekerja dalam rumahtangga sebagai kepala rumah tangga/istri atau suami dan relatif lebih baik kehidupannya yang tercermin pada

84

pekerjaan yang dimiliki lebih cocok jurusan kesarjanaannya dengan jabatan yang ditekuninya. Variabel jenis kelamin pada tahun 1980 yang menunjukkan tidak signifikan asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 menjadi sangat signifikan pengaruhnya. Disamping itu variabel jenis kelamin ini pada tahun 1980 disamping sangat sedikit juga tidak menunjukkan adanya perbedaan kesenjangannya dengan kelompok laki-laki, sebaliknya dengan keadaan tahun 1990. Pada tahun 1980 pada urutan yang kedelapan pengaruhnya terhadap kesenjangan, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi urutan yang ketiga. Hal ini merupakan salah satu indikasi keberhasilan kebijakan pemerintah dalam bidang peranan dan partisipasi wanita dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan sumber daya manusia. Jumlah sarjana wanita yang bekerja pada tahun 1980 dan 16,7 persen, kemudian jumlah tersebut pada tahun 1990 menjadi 24 persen. Secara absolut pertambahannya sekitar enam kali, sedangkan untuk pria hanya 3,7 kalinya. Apabila dikaji menurut kesenjangannya, pada kelompok sarjana wanita pada tahun 1980 sama dengan kelompok laki-laki, tetapi pada tahun 1990 menjadi berbeda secara signifikan. Pada tahun 1990 kelompok sarjana wanita kesenjangan antara jurusan dengan jabatan yang ditekuni lebih kecil dibandingkan kelompok laki-laki (Tabel 11 dan Tabel 20). Jadi selama kurun waktu pembangunan SDM wanita telah berhasil sangat cemerlang, disamping secara absolut sangat tinggi keberhasilannya, juga dalam hal kesesuaian jurusan dan jabatan/profesinya yang lebih berhasil pula. Variabel umur memberikan asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan pada tahun 1980 dan pada tahun 1990 hanya berubah urutannya satu tahap. Pada tahun

85

1980 merupakan urutan yang keempat, menjadi urutan yang kelima pada tahun 1990. Variabel umur dikelompokkan menjadi dua kategori ialah kurang dari 40 tahun sebagai usia yang sangat produktif, dankelompok sarjana yang usianya 40 tahun atau lebih yang merupakan usia menginjak kematangan. Pada tahun 1980 ada 65,2 persen kelompok sarjana yang bekerja yang berusia kurang dari 40 tahun. Kemudian pada tahun 1990 kelompok ini meningkat jumlahnya menjadi 70,9 persen. Dikaji dari kesenjangannya menunjukkan bahwa pada tahun 1980 menunjukkan perbedaan kesenjangan yang sangat kecil antara kedua kelompok tersebut. Namun pada tahun 1990 menunjukkan perbedaan kesenjangan yang sangat signifikan. Derajat kesenjangan pada kelompok umur kurang dari 40 tahun 77,1 persen, sedangkan pada kelompok umur 40 tahun keatas 79,1 persen. Hal ini berarti kesenjangan antara jurusan kesarjanaan dengan jabatan/profesi pekerjaannya pada tahun 1990 masih lebih tinggi terjadi pada kelompok usia 40 tahun ke atas, dibandingkan dengankelompok usia kurang dari 40 tahun (Tabel 12 dan Tabel 21). Bisa dikatakan bahwa pembangunan SDM berpendidikan tinggi kaitannya dengan kesesuaian jurusan dan jabatan yang ditekuni lebih berhasil. Kelompok umur 40 tahun keatas diperkirakan pada tahun 1980 telah pula bekerja dan mayoritas sudah sarjana. Variabel status perkawinan yang pada tahun 1980 menunjukkan derajat asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 bergeser urutannya menjadi yang paling rendah derajat asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan. Hal ini tidak memberikan indikasi apapun, karena pada umumnya sarjana baik laki-laki maupun perempuan yang telah bekerja mayoritas di atas usia kawin. Sehingga pengaruh berbagai kebijakan pemerintah di bidang perkawinan mempunyai dampat yang relatif

86

sangat kecil pada kelompok masyarakat ini. Selanjutnya dilihat dari kesenjangannya menunjukkan hal hal berikut. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang berstatus belum kawin mempunyai kesenjangan yang lebih kecil dibandingkan yang sudah pernah kawin. Begitu pula keadaan pada tahun 1990 menunjukkan gejala yang sama, bahwa kelompok sarjana yang belum kawin yang telah bekerja relatif kesenjangannya lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang pernah kawin (Tabel 13 dan Tabel 22). Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan variabel dengan bobot Factor Score coefficients (koefisien yang didapatkan dari analisis faktor). Angka Eigen value menunjukkan jumlah kontribusi variabelitas (informasi) dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu indeks komposit. Dalam analisis ini membuat indeks komposit variabel sosial dan demografi. Variabel sosial terdiri dari variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan dengan kepala rumahtangga, Status Sperkawinan, dan variabel umur. Indeks komposit variabel sosial (sosiall) pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen dari total informasi atau variabilitas yang terkandung didalam tiga variabel ialah varibel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemudian untuk datatahun 1990 memuat 63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposite demografi pada tahun 1980 memuat 40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktor-faktor hubungan dengan kepala rumahtangga, status Perkawinan, dan Umur. Sedangkan

87

pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di dalam ketiga informasi tersebut. Indeks komposit yang tersusun dengan metode regresi dari variabel-variabel tersebut yang distandarkan dengan koefisien dalam persamaan sebagai berikut.

Sosial = 0,491 * Pulau + 0,317 * Daerah + 0,482 * Migrasi (thn1980). Eigen value 1,74 atau 58,1 persen.

Sosial = 0,462 * Pulau + 0,340 * Daerah + 0,453 * Migrasi (thn 1990). Eigen value 1,87 atau 63,0 persen

Demografi = 0,596 * Hub-KRT + 0,632 * S-kawin + 0,272 * Umur (thn 1980). Eigen value 1,21 atau 40,2 persen

Demografi = 0,670 * Hub-KRT + 0,658 * S-kawin + 0,040 * Umur (thn 1990). Eigen value 1,14 atau 38,0 persen

Dimana Hub - KRT = Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga S - kawin = Status Perkawinan.

Kemudian data demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous (0,1). No 1 untuk skor negatif, dan satu untuk skor nol atau positif. Selanjutnya

88

didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sisial rendah, dan untuk sekor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi kelompok nol atau positif desebut kelompok demografi tinggi. Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung (1993). Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan antara kategori dalam suatu variabel independen, pada kategori tertentu dari variabelvariabel independen lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas bersyarat.

Keadaan tahun 1980 1) Keadaan tahun 1980 interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan yang ditunjukkan dengan angka koefisien interaksi (Ki) sebesar 0,0250 (Tabel 25 pada Lampiran Bab IV). Kemudian secara parsial, tahun 1980 menunjukkan bahwa koefisien asosiasi (Ka) parsial antara faktor demografi terhadap kesenjangan pada kelompok sarjana yang bekerja di sektor ekonomi non-pemerintah sama dengan -0,0106. Ini menunjukkan bahwa bagi kelompok sarjana dengan skor demografi negatif atau kelompok demografi rendah, bekerja pada sektor pemerintah mempunyai kesenjangan

89

yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan skor demografi positif. Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0144). Selanjutnya kelompok sarjana yang bekerja pada sektor non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0117), baik mereka yang mempunyai skor demografi negatif maupun positif (Ka=0,0367). 2) Interaksi lapangan pekerjaan dan sosial mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan (Ki=0,0063). Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang bekerja pada kelompok sosial negatif mempunyai angka kesenjangan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sosia positif, baik yang sektor nonpemerintahan maupun di sektor pemerintahan (Ka= -0,0326 dan -0,0063). Selanjutnya sarjana yang bekerja di non pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di pemerintahan, baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif (Ka=0,0220 dan Ka=0,0292). 3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan (ki= -0,0117). Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sosial positif, baik pada kelompok demografi negatif maupun positif (Ka=0,0157 dan Ka=0,0040). Selanjutnya jika dilihat sarjana yang bekerja menurut kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dari kelompok sosial skor negatif maupun positif (Ka=-0,0215 dan Ka=-0,0332).

90

4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonomi tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, sebaliknya bertanda positif pada kelompok yang bekerja di sektor pemerintahan. Secara rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non-pemerintah saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif mampunyai angka kesenjangan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif. 5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori sosial Tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.

91

Interaksi variabel ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif. Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah sebagai berikut.Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan denganmereka pada kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebagaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, pada kelompok yang secara demografis skor negatif, sebaliknya pada yang skor demografi positif. Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja di pemeritahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif. 6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori demografi tertentu dijumpai hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, pada

92

kelompok yang secara demografis skor negatif. Sebaliknya pada kelompok yang secara demografis skor positif. Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, baik yang bekerja di nonpemerintahan maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka yang dipemerintahan, pada kelompok sosial skor negatif, sebaliknya pada yang skor sosial positif. Selanjutnya pada kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjanganyang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik yang di nonpemerintah maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah

dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif.

Keadaan tahun 1990 1) Interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan. Kelompok sarjana yang secara demografis mempunyai skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

93

kelompok yang secara demografis skor positif, pada sektor non pemerintah. Sebaliknya kelompok sarjana dengan skor demografi negatif, bekerja pada sektor non-pemerintahan lebih rendah. Kemudian yang bekerja di sektor di non-pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di sektor pemerintahan, baik pada kelompok demografis skor negatif maupun positif. 2) Interaksi ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan. Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang bekerja pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sosial positif, pada sektor non-pemerintahan. Sebaliknya pda sektor pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di nonpemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di pemerintahan, pada kelompok sosial skor negatif. Sebaliknya pada kelompok sosial skor positif. 3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan. Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial negatif mempunyai angka kesenjangan yang sama dengan kelompok sosial positif, pada kelompok demografi skor negatif. Namun lebih tinggi pada kelompok demografi skor positif. Selanjutnya jika dilihat sarjana yang bekerja menurut kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dari kelompok demografi skor positif, pada kelompok sosial skor negatif. Tetapi sebaliknya pada kelompok sosial skor positif.

94

4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonom tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, baik pada kelompok yang bekerja di non-pemerintahan maupun di pemerintahan. Secara rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non pemerintah saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positifk baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif. Selanjunya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjanganyang lebih rendah dibandingkan denan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif. 5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori sosial tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi

95

dan demografi mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif. Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan denganmereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif. Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja

dipemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif. 6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori demografi tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif.

96

Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada kelompok yang bekerja di non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non- pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang di pemerintah, baik pada kelompok sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya pada kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, pada kelompok yang bekerja di non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di nonpemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif maupun positif.

3. Pengujian hopotesis Hipotesis yang dituliskan pada bab terdahulu ada lima butir ialah tentang perbedaan kesenjangan antara jurusan pendidikanyang ditamatkan dan jabatan/profesi yang ditekuni, ada asosiasi/pengaruh demografi terhadap kesenjangan, ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan, dan ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan.

97

Secara sistematif hipotesis ini dituliskan sebagai berikut. i) Ada perbedaan kesenjangan (antara hasil pendidikan dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada jenjang pendidikan tinggi) antara kelompok sarjana menurut kelompok jurusan. Demikian juga antara kelompok jabatan. ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hali pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, v) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun 1980, dan vi) Secara multivariat pada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni.

Hipotesis tersebut secara sederhana telah dibuktikan sebagaimana pada uraian c.2 tentang deskripsi kesenjangan. Tiga faktor dalam hipotesis : demografi, sosial, ekonomi secara sederhana mempunyai asosiasi dengan kesenjangan. Artinya, secara berurutan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

98

Pertama memang ada kesenjangan bagi pada sarjana yang telah bekerja menurut Jurusan dan jabatan yang ditekuninya. Kedua telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Faktor demografi yang terdidi dari empat variabel yaitu hubungan dengan kepala Rumahtangga (B6P1B), jenis perkawinan (B6P2), umur (B6P4Y), dan status perkawinan (B6P5B) masing-masing mempunyai asosiasi/pengaruh yang signifikan baik pada tahun 1980 maupun pada tahun 1990. Ketiga telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Faktor sosial terdiri dari dari empat variabel ialah daerah (B1P5), Pulau (B1P1Y), Agama (B6P6X), Migrasi (MIG1) masing-masing juga menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan yang terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan jabatan yang ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun pada data tahun 1990. Keempat telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Data ekonomi yang dipergunakan adalah pendekatan data akses sumber pendapatan melalui variabel lapangan pekerjaan (B7P31C) yang ditekuni yang menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan yang terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan

99

jabatan yang ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun pada data tahun 1990. Kelima telah terbukti pula bahwa ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pda tahun 1980. Hal ini ditunjukkan secara umum bahwa kesenjangan pada tahun 1980 sebesar 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990 telah turun menjadi 77,7 persen. Penurunan ini terjadi sangan signifikan, yang ditunjukkan dengan test statistik Z0, dimana Z0 = (P1

P2)/{P.q[1/n1+1/n2]}untuk uji beda dua proporsi.

Z0 = (0,913-0,777)/[0,804x0,196x(1/190453+1/1772258)] = 133,91.

Untuk melihat apakah secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yangditekuni, sesuai dengan skala pengukuran variabelvariabel dalam penelitian ini bersifat kategorik dan dichotomous, digunakan model Logistik (Agung, 1993). Model ini merupakan model yang diselaraskan analog dengan analisis regresi ganda, namun dalam penelitian ini semua variabelnya

mempunyai ukuran dua kategori yang mempunyai nilai dichotomous {0,1}. Penyelarasan model dilakukan pada variabel kesenjangan (K) sebagai variabel dependen dan indikator ekonomi (E), demografi (D), dan sosial (S), serta semua

100

kemungkinan interaksinya SxE, SxD, ExD, ExDxS sebagai variabel independen. Masing-masing mempunyai ukuran kategorik dengan nilai nol dan satu (0,1). K E D S 0 Tidak Senjang 0 Di N-Pemerintahan 0 Skor < 0 0 Skor < 0 1 senjang 1 Di Pemerintahan 1 Skor 0 1 Skor 0

Variabel kesenjangan (K) didefinisikan sebagai berikut. Apabila seorang yang bekerja dengan jabatan tertentu (ISCO tiga digit) dan tidak cocok dengan jurusan kesarjanaannya (ISCED) dua digit) dikatakan senjang dan diberi skor satu, sebaliknya diberi skor 0. Indikator ekonomi (E) merupakan indikator lapangan pekejaan. Jika seseorang bekerja di lapangan Non-Pemerintahan diberi skor 0, kemudian yang bekerja di Pemerintahan diberi skor 1. Indikator demografi (D) merupakan indikator yang disusun berdasarkan tiga variabel demografi. Tiga varabel demografi tersebut adalah hubungan dengan Kepala Rumah tangga, statu Perkawinan, dan Umur. Penyusunan dilakukan denganmenggunakan analisis faktor. Indikator demografi diberi skor 0 atau (D=0) jika indeks komposit atau faktor skor < 0, dan diberi skor 1 (D=1) Apabila indeks komposit atau faktor skor 0. Dengan cara yang sama untuk indikator sosial (S), dimana indikator ini merupakan indeks komposit dari tiga variabel Pulau, Daerah dan Migran.

101

Persamaan umum fungsi logistik adalah sebagai berikut. Ln [p/(1-p)] = B0 + B1E + B2D + B3S + B4ExD + B5ExS + B6DxS + B7ExDxS

atau dapat dituliskan sebagai berikut p/(1-p) = Exp (B0).Exp(B1E).Exp(B2D).Exp(B3S) Exp(B4ExD).Exp(B5ExS).Exp(B6DxS) Exp(B7ExDxS) dimana p adalah proporsi atau probalitas terjadinya kesenjangan.

Persamaan fungsi logistik yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan pada data tahun 1990 secara berurutan adalah sebagai berikut.

Ln [p/(1-p)]1980 = 2,6100

-- 0,2232*E -- 0,5751*S + 0,2815*DxS - 0,5992*ExDxS.

- 0,3365*D + 0,4394*ExS + 0,7254*ExD

atau [p/(1-p)]1980 = Exp (2,6100).Exp(-0,2232*E) Exp(-0,3365*D).Exp(-0,5751*S) Exp(0,4394*ExS).Exp (0,2815*DxS. Exp(0,7254*ExD).Exp (-0,5992*ExDxS)

102

atau berdasarkan koefisien Exp (B) p/q = 13.5990508518 * 0,7999E * 1,5518SxE * 2,0656ExD * 0,7143D * 0,5626S * 1,3252SxD * 0,5493ExDxS

Ln [p/(1-p)] 1990=

2.3614

- 1,4453* E - 0,8584*S

- 0,3032*D + 0,9255*ExS

+ 0,0622*DxS + 0,5681*ExD atau [p/(1-p)]1990 = Exp(2.3614) Exp(-0,3032 * D) Exp(0,9255 * ExS) .Exp (-1,4453 * E) .Exp (-0,8584 * S) .Exp (0,0622 * DxS). 0,1145*ExDxS.

Exp (0,5681 * ExD) .Exp (-0,1145 * ExDxS)

atau berdasarkan koefisien Exp (B) p/q = 2.3614 * 0.2357E * 0.7384D 1.0642SxD * 0.4238S * 1.7649ExD

* 2.52311SxE * * 0.8918ExDxS

103

Uji Tuna Cocok Pengujian kecocokan dengan metode estimasi kecenderungan maksimum (Maximum Likelihood Estimation), dengan pengertian hasil nilai yang di observasi mempunyai kecenderungan yang sebesar mungkin atau maksimal (Agung 1995). Nilai kecenderungan (likelihood) ini kurang dari satu. Oleh karenanya dipergunakan nilai tes -2LL = -2 Log Likelihood. Dikatakan bahwa model akan sempurna jika nilai likelihood (kecenderungan) sama dengan satu, atau -2 LL =0. Penyelerasan model pada data tahun 1980 menunjukkan angka -2LL= 111591.651 dengan angka signifikan sangat kecil, yang berarti model logistik yang diselaraskan berbeda dengan model sempurna. Namun demikian statistik Model ChiSquare (MCS) = 1003.421 dengan derajat bebas tujuh, dan angka significance kecilyang berarti secara bersama-sama indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kesenjangan. Selanjkutnya statistik Improvement mempunyai makni yang sama seperti MCS, jika metode estimasi dilakukan dengan forword atau backword. Dikatakan bahwa MCS analog dengan D dalam regresi ganda, dan Improvement analog dengan perubahan F dalam analisis regresi regresi ganda. Selanjutnya Statistik Goodness of Fit = 190423.970 dengan derajat bebas sangat besar dan signifikansi sangat kecil, menunjukkan bahwa model yang diselaraskan berbeda secara signifikan dengan model sempurna. Statistik Goodness of Fif sama dengan statistik -2LL. Metode lain untuk mengetahui sejauh mana penyelerasan model cocok dengan yang sempurna dengan menggunakan tabel klasifikasi. Penyelarasan model pada data tahun 1980 menunjukkan angka sebesar 91,30 persen. Artinya 91,30 persen observasi

104

masih benar apabila diprediksi dengan model yang diselaraskan tersebut (Nurosis, 1986 : B-44). Jadi analisis multivariate menggunakan model Logistik menunjukkan bahwa hiptesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara indikator ekonomi, demografi, sosial, serta interaksinya terhadap kesenjangan yang terjadi tidak ditolak. Pada tahun 1980 mempunyai nilai statistik uji kecocokan -2LL = 111591,651 dan pada tahun 1990 -2LL = 804924,148 (Tabel 4.2). Kemudian pada tahun 1980 mempunyai nilai statistik uji pengaruh ganda MCS = 1003,421 dan pada tahun 1990 MCS = 11284,145. Berdasarkan derajat signifikansinya, pada tahun 1980 dan pada tahun 1990 berdasarkan statistik -2LL, keduanya menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap model yang sempurna, namun berdasarkan statistik MCS, keduanya menunjukkan bahwa indikator E, D, S, dan interaksinya mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan secara bermakna. Pada tahun 1980 menurut statistik Classification Table menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 91,30 persen, sedangkan pada tahun 1990 menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 77,82 persen.

105

Tabel 4.2 Perbandingan Uji Statistik tahun 1980 dan 1990


Statistik Significance -2 Log Likelihood Model Chi-Square Improvement Goodness of Fit 111591.651* * * * * * 1003.421 7 1003.421 7 190423.970* * * * * * .0000 .0000 .0000 .0000 804924.148 * * * * * 11284.145 7 11284 7 771257.020 * * * * * .0000 .0000 .0000 .0000 Tahun 1980 Chi Square df Significance Tahun 1990 Chi Square df

Classification Table Percent Correct Overall 91.30%

Percent Coorect Overall 77.82%

Kebermaknaan Pengaruh indikator E, D, S Indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai pengaruh secara berarti terhadap kesenjangan (k) yang ditunjukkan dengan nilai statistik Wald dan nilai signifikansinya yangmenunjukkan angka kurang dari 0,0500. Hal ini berarti bahwa Indikator E, D, S serta interaksinya SxE, SxD, ExD dan ExDxS mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan secara bermakna atau Narasi Pengaruh Indikator E, D dan S. Pengaruh indikator E, D, S, dan interaksinya terhadap kesenjangan (K) ditunjukkan dengan koefisien Beta (B) atau nilai Exp (B). Nilai B menunjukkan nilai perubahan dari log odds. Log odds nilai log rasio probabilitas terjadinya kesenjangan dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari niali salah sati indikator E, D, S, SxE, SxD ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan pengaruh kepada nilai log odds sebesar Bi dengan asumsi ceteris paribus (Nurosis, 1986:B-43). Kesenjangan menurut indikator Ekonomi

106

Selanjutnya untuk analisis odds Ratio (OR) dilakukan sedikit modifikasi sehingga dapat ditemkukan beberapa pengaruh perubahan suatu indikator independen E, D, S dari 0 ke 1 terhadap kesenjangan (K). Nilai Or pada Tabel 38 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Kelompok sarjana yang status demografinya rendah (S=0) dan status sosial juga rendah (S=0), statistik OR atau perbandingan probabilitas terjadinya kesenjangan antara pendidikan dan jabatan pekerjaan tahun 1980 pada kelompok sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan (E=1) sama dengan 0,7999 kali dibandingkan dengankelompok sarjana yang bekerja di NonPemerintahan (E=0). Angka OR ini berbeda pada kelompok sarjana yang skor demografi rendah (E=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi finggi (D=1) dan skor sosial rendah (S=0) , skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi (S=1), secara berurutan adalah sama dengan 1,2413; 1,6523; dan 1,4084. Ketiga nilai ini lbih besar dari satu yang berarti probabilitas terjadinya kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1980. Keadaan ini berubah pda keadaan tahun 1990, semua statistik OR menunjukkan nilai kurang dari satu. Secara berurutan nilai OR pada kelompok sarjana yang skor demografi rendah (E=0) dan skor sosial rendah (S=0), skor demografi rendah (D=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial rendah (S=0), skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi (S=1), masing-masing secara berurutan mempunyai nilai 0,2357; 0,9360. 0,5947; 0,4160;

107

Keempat nilai ini kurang dari satu yang berarti

probabilitas terjadinya

kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1990. Kesenjangan menurut Indikator Demografi Nilai 0R pada Tabel 39 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan status sosial rendah (S=O), bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan Status sosial tinggi (S=1), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=O), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai OR sama dengan 0,7143; 0,9466; 1,4755; 1,0740. Pada tahun 1990 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemertinahan (E=O) dan status sosial rendah (S=O) bekerja di Non Pemerintahan (E=O) dan status sosial tinggi (S=1), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=0), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai OR sama dengan 0,7384, 0,7858, 1,3032, 1,2368. Hal ini menunjukkan bahwa sarjana yang bekerja di Non Pemerintah (E=O) baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai probabilitas kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja di Pemerintahan. Sebaliknya sarjan ayng bekerja di Pemerintah (E=) baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai probabilitas kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan dan jabatannya lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di Pemerintahan.

108

Kesenjangan menurut Indikator Sosial Nilai OR pada Tabel 40 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Pada tahun 1980 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=O) dan bekerja di NonPemertinahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Pemerintahan (E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non-Pemerintahan (E=O); Status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara berurutan mempunyai nilai OR sama dengan 0,7999; 0,8730; 0,7456; 0,6355. Nilai-nilai OR tersebut kurang dari satu yang menunjukkan bahwa probabilitas kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya pada status sosial tinggi (S=1) lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang status sosial tinggi (S=1). Hal ini terjadi pada semua kategori demografi dan ekonomi. Pada tahun 1990 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=0) dan bekerja di Non-Pemerintahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Pemerintahan (E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non Pemerintahan (E=O); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara berurutan mempunyai nilai OR sama dengan o,4238; 1,0693, 0,4510; 1,0148. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya kesenjangan lebih kecil dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non Psemerintahan (E=O). Sebaliknya pada kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya kesenjangan lebih besar dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada

109

mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=0). Jadi fungsi logistik terlengkap diselaraskan pada data tahun 1980 dan data tahun 1990 berbeda dengan model sempurna, namun tetap menunjukkan pengaruh variabel independen dari indikator E, D, S, dan interaksinya secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen kesenjangan (K) secara bermakna. Masing-masing variabel independen E, D, S, dan interaksinya juga berpengaruh secara bermakna (Ceteris paribus) terhadap kesenjangan (K) yang ditunjukkan dengan statistik Wald. Pada tahun 1980 probabilitas terjadinya kesenjangan (p) pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan secara umum lebih besar dibandingkan denan yang bekerja di non-Pemerintahan. Sebaliknya terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan yang bekerja di Pemerintahan lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non Pemerintahan. Hal ini terjadi baik pada kelompok sarjana dengan skor demografi rendah maupun tinggi, begitu pula skor sosial rendah maupun tinggi.

Menurut Demografi Pada tahun 1980 para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana dengan status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di NonPemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Sebaliknya, para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan

110

status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990 mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada angka besarannya.

Menurut Sosial Pada tahun 1980 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada semua kelompok ekonomi maupun sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi rendah maupun tinggi. Untuk membanding pengujian dengan model Logistik dipergunakan analisis regresi ganda dan model loglinear. Dalam hal ini dipergunakan hanya untuk menguji bagaimana gambaran populasinya walaupun asumsi normalitas tidak terpenuhi, tetapi masih dapat dipergunakan (Agung, 1995: 222). Model loglinear yang biasa dipergunakan untuk menganalisis asosiasi/korelasi antara variabel-variabel dalam tabel silang ganda (multiway crosstabelations). Teknik ini menggunakan formula persamaan fungsi di mana log setiap frekwensi dalam sel merupakan fungsi dari pengaruh total dan interaksinya. Dalam proses pengolahan pemasangan model dapat dilakukan secara sempurna yang disebut saturated model, atau dapat dirancang hanya

111

model terbatas dengan menentukan salah satu variabel sebagai variabel dependen. Dalam struktus penelitian ini dapat dituliskan persamaannya sebagai berikut.

Log fij = b1k

+ b2KxD

+ b3KxS + b7KxSxE

+ b4KxE

+ b5KxDxS

+ b6KxDxE

+ b8KxDxSxE.

Dimana :

K = Kesenjangan D = Demografi S = Sosial E = Ekonomi X = Interaksi fij = frekwensi pada sel tabel silang ganda berdimensi empat (K,D,S,E).

Selanjutnya penyelarasan dilakukan pada masing-masing data tahun 1980 dan pada data tahun 1990. Interaksi variabel ekonomi dan Sosial disimbolkan ExS, interaksi variabel demografi dan sosial disimbolkan DxS, interaksi variabel ekonomi dan demografi disimbolkan ExD, dan interaksi antara ketiga variabel ekonomi, demografi dan sosial disimbolkan ExDxS. Analisis multivariate menggunakan model Lo-linear menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara variabel ekonomi, demografi, sosial, serta interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi juta ditolak.

112

D. Diskusi Hasil 1. Diskusi Dengan perumusan masalah yang diajukan di muka, pembatasan, serta konsep dan definisi yang diajukan tentang kesenjangan, jabatan pekerjaan, jurusan pendidikan, lapangan pekerjaan, variabel sosial, variabel demografi, variabel ekonomi maka berdasarkan kerangka pikir yang diajukan penelitian ini menghasilkan hal-hal berikut. Secara makro kesenjangan antara luaran pendidikan tinggi jenjang s1 keatas di Indonesia pada periode PJP I yang diambil data tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai benchmark menunjukkan kesenjangan masing-masing 90,3 persen dan 77,7 persen. Angka ini berarti menunjukkan kesesuaian sebesar 8,7 persen pada tahun 1980 dan 22,3 persen pada tahun 1990. Angka ini juga terjadi hampir sama dengan keadaan di Jerman (kasardadan Friedrichs, 1985). Walaupun hal ini terjadi dengan konsep kesenjangan yang dirancang aplikasinya secara khusus, yang akan berbeda hasilnya dengan rancangan yang berbeda, namun hal ini memberikan tanda atau signal bagaimana proses belajar mengajar selama periode akhir tujuh puluhan dari periode delapan puluhan yang tercermin pada keadaan tahun 1980 dan 1990. Hasil secara makro nasional mempunyai validitas yang tinggi, namun tidak kepada

pengelompokan yang lebih kecil lagi. Angka ini menunjukkan perubahanyang signifikan selama periode 10 tahun pada PJP I. Perubahan yang signifikan ini seiring dengan perubahan hasil pembangunan nasional selama PJP I tersebut.Secara spesifik pada penelitian ini dengan mengambil variabel ekonomi, sosial, dan demografi yang didefinisikan

113

berdasarkan data individu pada SP80 dan SP90 menunjukkan adanya asosiasi atau peran atau pengaruh yang mungkin secara langsung atau tidak terhadap kesenjangan yang terjadi. Pengaruh situasi ekonomi, sosial, dan demografi pada tahun 1980, dan perubahannya hingga tahun 1990 yang menggambarkan perubahan keberhasilan pembangunan nasional ini juga mempunyai perubahan struktur, dan derajat pengaruhnya kepada kesenjangan tersebut. Pada tahun 1980 faktor ekonomi memberikan peran yang lebih kecil terhadap kesenjangan yang terjadi dibandingkan faktor sosial, dan demografi. Tetapi pada tahun 1990 faktor ekonomi, bersama sama dengan faktor sosial dan demografi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesenjangan. Temuan ini menunjukkan bahwa secara makro ada dua hal. Pertama faktor ekonomi, sosial, dan demografi berkaitan secara signifikan dengan kesenjangan antara jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan pada jenjang yang ditamatkan S1 keatas. Keua dengan menggunakan pertolongan model analisis deskripsi ganda yang diajukan oleh Agung (1993) dapat dianalisis peranan atau kaitan faktor ekonomi, sosial, dan demografi lebih rinci. Dengan perkataan lain analisis rinci ini dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan penyusunan perencanaan di tingkat strategi (Situmorang, 1985). Namun demikian analisis diatas masih dalam batas toleransi pengelompokkan yang relatif masih dianggap valid, ialah pengelompokan masih tingkat nasional, dan hanya sampai kelompok dichotomous, baik pada indikator ekonomi, demografi dan sosial.

114

Pada analisis awal pengelompokan yang dilakukan sebagai pada Tabel 1 samapai dengan Tabel 4 pada lampiran Tabel Analisis Bab IV, menunjukkan berbagai distorsi yang diakibatkan dari (1) ukuran dan rancangan sampel, (2) penyelarasan klasifikasi jurusan pendidikan tahun 1980 dengan tiga digit, dan tahun 1990 menjadi dua digit, (3) pengoperasionalisasi konsep kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan (occupation) yang ditekuni, dan (4) lain-lain, seperti kemampuan pencacah pada sensus penduduk tahun1980 yang berbeda dengan 1990, rancangan blok sensus yang berbeda. Secara common sense tentang distorsi tersebut harus dilakukan validasi atau penyelarasan terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi, terutama pada butir (2) dan (3) diatas. Untuk melakukan ini seyogyanya ada penelitian atau pengolahan dan analisis ulang dengan pendekatan yang berbeda terhadap data yang sama (SP80 dan SP90) atau melakukan penelitian lapangan.

2. Keterbatasan Berbagai keterbatasan pada penelitian ini, antara lain pada data, aplikasi konsep kesenjangan, dan metode yang dipergunakan, dibahas di bawah ini. Data yang dipergunakan adalah data sekunder, walaupun data tape yang diakses secara utuh. Namun data tersebut merupakan data makro nasional. Data rinci pada sensus penduduk baik tahun 1980 dan data sensus tahun 1990, dikumpulkan melalui sampel berukuran lima persen. Sampel ini dirancang oleh Biro Pusat Statistik untuk estimasi pada berbagai pengelompokkan tertentu dan tingkat tertentu, sebagaimana yang tercakup pada berbagai terbitan sensus penduduk.

115

Pengelompokkan yang dapat dipertanggungjawabkan akurasi danvaliditasnya untuk pendidikan yang muncul pada berbagai terbitan adalah menurut jenjangnya. Adapun pengolahan menurut jurusan pendidikan Biro Pusat Statistik tidak menerbitkannya. Hal ini karena masih banyak pekerjaan validasi yang harus dilakukan, melalui berbagai pertemuan para ahli dan pengguna sebelum diterbitkan. Biro Pusat Statistik dalam kegiatan penyajian data berupa publikasi, biasanya melakukan validasi melalui pembahasan pada pertemuan dengan mengundang instansi terkait, para pengguna, dan para ahli dari berbagai perguruan tinggi, maupun masyarakat. Data tahun 1980 pertanyaan no 23 blok VII (B8P7) halaman 8 lampiran, mencakup informasi klasifikasi jurusan hingga tiga digit, kemudian data tahun 1990 pertanyaan no 19 blok VIB atau B6BP19 halaman 13 lampiran, mencakup informasi jurusan hanya dua digit. Selanjutnya jawaban klasifikasi jurusan pendidikanpada sensus penduduk tahun 1980 berbeda dibandingkan dengan klasifikasi jurusan pada sensus penduduk tahun 1990. Hal ini kemudian dilakukan penyelarasan. Sehingga ada beberapa kendala yang mengakibatkanada distorsi pada pengelompokan ulang. Membanding keadaan tahun 1980 dengan tahun 1990 secara makro dapat dipercaya. Namun untuk pengelompokkan lebih rinci, diperkirakan ada beberapa distorsi yang dijumpai. Penyelarasan dari tiga digit menjadi dua digit memberikan kontribusi kesalahan. Data dikumpulkan oleh petugas pengumpulan data sensus yang mempunyai kualifikasi pencacah berbeda. Pencacahan dilakukan oleh petugas pencecah sepeti matri statistik dan juga menggunakan tenaga lokal dengan persyaratan paling tidak lulusan SMA atau diutamakan pada guru SD di Daerah. Namun sesuai dengan perkembangan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada tahun 1980 relatif lebih rendah

116

dibandingkan dengan keadaan tahun 1990. Poedjiastoeti (1989) menjelaskan bahwa didaerah-daerah pendesaan, secara terpaksa digunakan bantuan tenaga pencacah yang pendidikannya belum SMA, karena tidak adanya tenaga yang mempunyai kualifikasi tersebut. Hal ini memberikan kontribusi kesalahan pada penggalian serta penuangan jawaban jurusan pendidikan maupun jabatan pekerjaan. Sehingga memberikan kontribusi kesalahan pada penyelarasan jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan. Konsep pengukuran kesenjangan yang pernah dilakukan melalui pendekatan persepsi responden (Clogg dan Shockey, 1984), dan pendekatan jumlah tahun belajar yang diselaraskan dengan lapangan pekerjaan (Kasarda dan Friedrichs, 1985). ILO (1990) pada penjelasan ISCO-88 memberikan conceptual framework sebagai berikut: The framework necessary for designing and constructing ISCO-88 has been based on two main concept of the kind of performed or job, and the concept of skill.

Job-defined as a set of tasks and duties executed, of meant to be executed, by one person. A set of jobs whose main tasks and duties are characteriazed by a high degree of similarity constitute an occupation persons are classified by occupation through their relathionship to a past, present or future job.

Skill-defined as the ability to carry out the tasks and duties of a given job has two following dimensions: skill level and skill specialisation. Skill level which is a function of the complexity an range of teh tasks and duties

involved. Skill specialisation defined vy the field of knowledge required. The tools and machinery used. The materials worked on or with. As well the kinds of goods and services produced.

117

Pada buku ISCo-88 tersebut diberikan penjelasan bahwa ada empat tingkat keterampilan (skill level). Keterampilan tingkat pertama bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di tingkat Sekolah Dasar, keterampilan tingkat dua bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di sekolah SLTP, keterampilan tingkat tiga bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di SLTA, dan keterampilan tingkat empat bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di perguruan tinggi ke atas. Namun pada prekteknya dilapangan juga menggunakan beberapa subjective judgment was involved in determining the skill levels of occupations. Konsep umum diatas tidak berlaku pada kelompok kepemimpinan danketatalaksanaan (legislators, senior officials an managers) dan tenaga angkatan bersenjata (ormed force). Acuan diatas merupakan acuan umum, sehingg untuk mengaplikasikan pada tingka tertentu, seperti pada penelitian ini cenderung pada keterampilan tingkat empat yang bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di perguruan tinggi keatas. Pada penelitian ini pendekatan pengukuran kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni oleh sarjana ditentukan sacara subyektif dan arbitrary, (Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada lampiran halaman 18 dan 21). Jadi pengaplikasian konsep mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan (occuppation) yang ditekuni sebagaimana Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada lempiran halaman 18 dan 21, masih mempunyai berbagai kekurangan dan keterbatasan. Penyelarasan konsep mismatch atau sebaliknya kesesuaian antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni akan berbeda-=beda bagi orang atau kelompok yang berbeda, walaupun dengan acuan yang sama. Oleh kiarenanya,

118

penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus ditindaklanjuti, dan direplikasi sehingga didapatkan pengertian dan operasionalisasi serta aplikasi yang lebih definitif tentang mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni (occupation). Walaupun metode statistik yang dipergunakan telah memenuhi berbagai persyaratan atau asumsi yang diperlukan, namun data dan aplikasi konsep kesenjangan mempunyai berbagai keterbatasan, maka hasilnya juga mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis multitable atau analisis tabulasi berdimensi ganda dan menggunakan model logistik. Komputasi dilakukan dengan menggunakan soft-ware SPSS PC+. Berhubung adanya keterbatasan kemampuan soft-ware ini, yang hanya mencapuk lima faktor/variabel bebas dalam analisis model logistik, maka dilakukan penggabungan variabel dalam faktor demografi yang terdidi dari tiga variabel, faktor sosial terdiri dari tiga variabel, dan faktor ekonomi terdidi dari satu variabel, sebagaimana pada uraian diatas.

119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Secara umum menurut pengelompokan geografis, dan pengelompokan ekonomi, demografi, sosial dengan cakupan nasional secara dichotomous, validitas data masih dapat diterima dan dapat dipergunakan hasilnya. Adapun pengelompokan pada jenjang yang lebih rinci, seperti jurusan pendidikan menurut klasifikasi dua digit, kemudian jabatan menjadi dua atau tiga digit akan memberikan hasil yang mempunyai validitas rendah. Penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus diimprovisasi dengan berbagai penelitian yang dilakukan oleh orang lain, kelompok lain dengan menggunakan berbagai pendekatan yang lain, sehingga mendapatkan konsep dan pengoperasian yang sama untuk dipergunakan dalam pengembangan proses belajar mengajar diperguruan tinggi. Penelitian penelitian lebih rinci dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang berbeda untuk mencapai hasil yang lebih obyektif. Selanjutnya dengan kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni oleh masyarakat Indonesia didefinisikan secara matematis, sedemikian rupa seperti telah diuraikan di atas, memberikan hasil berikut, kesenjangan ini telah diukur berdasarkan data pada sensus penduduk tahun 1980, dan tahun 1990. Pada tahun 1980 kesenjangan pada masyarakat Indonesia yang menyelesaikan jenjang pendidikan S1 dan bekerja terjadi sebanyak 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990 terjadi 77,3 persen. Penurunan terjadi selama sepuluh tahun secara signifikan.

120

Penurunan angka kesenjangan yang terjadi dari tahun 1980 dibandingkan tahun 1990, mempunyai kaitan langsung secra kualitatif dengan implementasi perencanaan pembangunan pendidikan yang selama ini dilakukan. Untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan variabel-variabel bebas menjadi indeks komposit atau disebut variabel indikator, ialah indikator ekonomi, demografi, dan sosial yang disusun dengan metode analisis faktor. Indikator ekonomi terdiri dari lapangan pekerjaan dipemerintahan dan di non pemerintahan. Indikator sosial terdiri dari variabel pulau, daerah, dan status migran. Indikator demografi terdiri dari hubungan dengan kepala rumahtangga, status perkawinan, dan umur. Faktor ekonomi, sosial, dan demografi mempunyai kaitan dengan kesenjangan baik pada tahun 1980 dan tahun 1990. Begitu pula ada perubahan Struktur keterkaitan tersebut selama kurun waktu sepuluh tahun tersebut. Secara makro faktor ekonomi, demografi, dan sosial menunjukkan adanya asosiasi terhadap kesenjangan yang terjadi selama PJP I, yang tergambarkan pada data tahun 1980 dan tahun 1990 secara signifikan. Dengan perkataan lain bahwa ada perbedaan kesenjangan jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuni menurut kategori ekonomi, demografi, sosial, atau menurut kategori lapangan pekerjaan, daerah, pulau, agama, mobilitas penduduk , keluarga atau tempat tinggal, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan terhadap kesenjangan yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh factor-faktor tersebut terhadap kesenjangan. Berdasarkan indicator-indikator tersebut diatas, dengan menggunakan metodr analisis regresi logistik yang dimodifikasi (Agung,1993), untuk diaplikasikan pada persamaan regresi dimana variabel terikat mempunyai jawaban {0,1}dan variabel bebasnya

121

sebagai indikator. Variabel bebas atau indikator juga mempunyai skala pengukuran yang dichotomous atau {0,1}. Persamaan ini memberikan informasi tentang perbedaan kesenjangan kelompok individu yang terjadi menurut variabel bebas tertentu dengan memperhitungkan variabel-variabel bebas lainnya. Metode multivariate odds Ratio yang dikembangkan oleh Agung (1993) berdasarkan konsep Log odds dengan memperhitungkan faktor interaksi, juga diaplikasikan. Konsep Log odds dalam disertasi ini merupakan nilai log rasio probabilitas terjadinya kesenjangan dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari nilai salah satu indikator R, D, S, SxE, SxD, ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan pengaruh kepada nilai log odds sebesar i dengan asusmi ceteris paribus. Selanjutnya statistik odds Ratip (OR) yang dimodifikasi dipergunakan untuk analisis berapa resiko kesenjangan sarjana menurut suatu indikator bebas tertentu setelah memperhitungkan indikator-indikator bebas lainnya. Berdasarkan fungsi logistik terlengkap yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan data tahun 1990 menunjukkan penjelasan sebagai berikut. Menurut indikator Ekonomi, pada tahun 1980 probabilitas terjadinya kesenjangan (p) para sarjana yang bekerja di Pemerintahan secara umum lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Sebaliknya terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan yang bekerja di Pemerintahan lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Hal ini terjadi baik pada kelompok sarjana dengan skor demografi rendah maupun tinggi, begitu pula skor sosial rendah maupun tinggi. Menurut indikator Demografi, pada tahun 1980 para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana dengan status

122

demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Sebaliknya, para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990 mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada angka besarannya. Menurut indikator sosial, pada tahun 1980 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesejangan (p) lebih kecil dibadingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada semua kelompok ekonomi maupun sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi rendah maupun tinggi. Berdasarkan statistik odd Ratio kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan yang diketahui pada tahun 1980 dan tahun 1990 disimpulkan sebagai berikut. Pada tahun 1980, kelompok sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai resiko kesenjangan 1,034 kali dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan, setelah memperhitungkan faktor demografi dan sosial. Pada tahun 1990, kelompok sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai resiko kesenjangan 0,9131 kali dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan, setelah memperhitungkan

123

faktor demografi dan sosial. Hal ini berarti ada penurunan resiko kesejangan bagi sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan selama kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi mempunyai resiko kesenjangan sebesar 1,0098 kali dibandingkan yang mempunyai status demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Pada tahun 1990 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi mempunyai resiko kesenjangan sebesar 1,0066 kali dibandingkan yang mempunyai status demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Hal ini dapat disimpulkan bahwa resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status demografi tinggi dibandingkan dengan yang mempunyai status demografi rendah, relatif tidak berubah selama kurun waktu sepuluh tahun. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi mempunyai resiko kesenjangan 0,9671 kali dibandingkan yang mempunyai status sosial rendah, setelah memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Pada tahun 1990 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi mempunyai resiko kesenjangan 0,9836 kali dibandingkan yang mempunyai status sosial rendah, setelah memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status sosial tinggi dibandingkan dengan sarjana yang mempunyai status sosial rendah, secara relatif tidak ada perubahan selama kurun waktu sepuluh tahun. Pada PJP I, Indonesia memprioritaskan pendidikan dasar dengan program wajib belajar, yang pada awal PJP II ini ditingkatkan hingga wajib belajar sembilan tahun. Pendidikan Tinggi secara nasional baru bertambah jumlahnya, khususnya PTS mulai

124

awal tahun 1980-an. Dunia pendidikan tinggi secara konseptual telah melaksanakan kebijakan relevansi sejak lama, seperti tertera pada The Indonesian Higher-Education Law of 1961 pasal 1 ayat 2 butir 2 menyebutkan bahwa preparing personnel who are in performing those functions that require a higher education and who are skilled in preserving and advancing knowledge. Hal ini berarti relevansi dengan dunia kerja, atau penyiapan tenaga kerja yang merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM). Adapun pembangunan SDM sendiri baru ditekankan di Indonesia mulai PJP II ini sebagai prioritas. Secara umum perencanaan pembangunan pendidikan yang dipergunakan di berbagai negara ada beberapa pendekatan, antara lain pendekatan atas permintaan masyarakat, berdasarkan kebutuhan tenaga kerja, dan pendekatan rate of return (Psacharopoulos & Woodhall, 1985; Levin, 1976 Soenarya, 1994). Di Indonesia pada tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai bench-mark PJP I, yang masih tingginya angka kesenjangan sebagaimana hasil penelitian ini, maka nampaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa hal ini terjadi juga sebagai akibat bahwa pendidikan tinggi yang berjalan selama ini masih cenderung dipengaruhi oleh faktor permintaan masyarakat, ketimbang faktor kebutuhan tenaga kerja. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan kesimpulan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu (Puslit Pranata

Pembangunan, UI dan Bappenas, 1991a, 1991b).

B. Implikasi Hasil Penelitian Pengalaman data tahun 1980 dan 1990 sebagaimana hasil diskusi pada penelitian ini, dan kelak diintegrasikan lagi dengan data Sensus Penduduk tahun 2000, dapat

125

dipergunakan

untuk analisis berbagai proyesi pada masa PJP II. Selanjutnya

berdasarkan berbagai proyeksi kebutuhan tenaga berpendidikan tinggi dan didasarkan atas temuan secara makro pada penelitian ini, maka mempunyai implikasi berikut. Implikasi kebijakan secara makro dengan dunia pendidikan tinggi pada PJP II, semua pihal terkait memperhatikan kebijakan pemerintah tentang (1) peningkatan pemerataan dan kesempatan, (2) peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) peningkatan kualitas pendidikan, dan (4) peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Secara khusus peningkatan relevansi antara jurusan pendidikan (bidang studi) dan kebutuhan tenaga kerja pada PJP II, dapat diimplementasikan. Hal ini secara historis di negara-negara lain juga telah menjadi perhatian, khususnya menghadapi era globalisasi. Melihat keadaan secara internasional, St. John (1980) mengemukakan bahwa sekitar tahun 1980-an di Amerika dan Australia senantiasa menyertakan relevansi kebutuhan dunia usaha pada tahap penilaian (assessment) dalam model strategi implementasi kebijakan pengembangan pendidikan tinggi. Kumudian Meyer-Dohm (1990) menguraikan bahwa perguruan tinggi di Eropa, telah melakukan kerja sama dengan dunia industri dan perdagangan. Begitu juga Jones (1990) mengemukakan bahwa mulai tahun 1990-an di perguruan tinggi diharapkan diberikan mata kuliah tambahan untuk mengakomodasi kebutuhan dunia ekonomi modern. Melalui berbagai konsultasi dan kerjasama antara dunia perguruan tinggi dan dunia bisnis akan membuahkan lulusan yang diharapkan. Bank Dunia (1994) menguraikan strategi reformasi pendidikan tinggi berdasarkan pengalaman keberhasilan negara-negara berkembang dalam melaksanakan efisiensi, peningkatan kualitas, dan peningkatan

126

pemerataan. Pada penjelasan peningkatan kualitas dan pemerataan diajukan strategi (1) meningkatkan sistem pembelajaran dan riset, (2) meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, dan (3) pemerataan. Oleh karenanya tindak lanjut penelitian ini seyogyanya diikuti berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut. Sejawat, kelompok, dan pemerintah agar melakukan berbagai penelitian tentang relevansi, khususnya antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan (occupation) yang selama ini terjadi atau berbagai proyeksi kebutuhan mendatang. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut agar didapatkan kesepakatan hasil, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam merancang berbagai produk instruksional. Termasuk pengisian muatan lokal bagi setiap atau kelompok perguruan tinggi. Secara makro terjadi link and match atau korespondensi, atau relevansi antara dunia pendidikan tinggi dengan tatanan ekonomi, demografi, sosial. Hal ini juga ditunjukkan pada penelitian ini pada tahun 1980 dan pada tahun 1990. Sebagai implikasinya pada masyarakat teknologi pendidikan, agar mencari berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi,

pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaannya. Khusus implikasi relevansi adalah merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik instruksional yang mempehatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan tinggi dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.

127

Penelitian ini menganalisis faktor ekonomi yang merupakan lapangan pekerjaan; faktor sosial mencakup daerah, pulau, agama, dan mobilitas penduduk, kemudian faktor demografi mencakup keluarga atau tempat tinggal, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan terhadap kesenjangan yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kesenjangan. Dengan perkataan lain memang terjadi kesenjangan secara berbeda menurut berbagai kelompok dari faktor-faktor tersebut. Maka temuan ini mempunyai implikasi bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi di samping memperhatikan faktor-faktor tersebut, juga faktor kebutuhan tenaga dalam pembangunan.

C. Saran-saran Walaupun selama ini PJP I diperkirakan berbagai perencanaan pendidikan masih ditekankan pada pendidikan dasar dan menengah dan belum terpadu (Soenarya, 1994), namun pada PJP II ini sudah harus dilakukan berbagai upaya perencanaan secara terpadu khususnya dengan pembangunan nasional. Hal ini telah menjadi komitmen bersama yang telah dituangkan dalam GBHN (1988, 1993), di samping berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam memasuki era globalisasi. Pembangunan SDM, termasuk pendidikan tinggi juga telah menjadi komitmen nasional, dan juga internasional (APEC Secretariate, 1994a) yang juga telah menjadi kesepakatan APEC ECONOMIC LEADERS di Bogor, butir delapan termasuk yang direkomendasikan oleh Eminent Persons Group (EPG) dan The Pacific Bussiness Forum (PBF) (APEC Secretariate, 1994b, 1994c). Pada kesepakatan ini antara lain

128

menyetujui pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung pembangunan menyongsong era globalisasi adalah tukar menukar pengiriman mahasiswa. Di samping juga diusulkan berbagai pelatihan yang bersifat ketrampilan tinggi (high skill). Hal ini merupakan kegiatan yang menjembatani antara kebutuhan tenaga kerja dengan pengeluaran pendidikan. Secara khusus pelatihan yang diperuntukkan bagi para sarjana merupakan kegiatan yang mengacu kepada kebutuhan tenaga profesional, yang pada gilirannya akan mempercepat proses kesesuaian antara jurusan pendidikan dengan jabatan yang ditekuni. Sejak tahun 1987, Kelompok Kerja pengembangan sumber daya manusia (PSDM) telah melaksanakan studi mengenai beberapa topik yang relevan dengan kebijakan dalam pengembangan sumber daya manusia selama PJP I. Model-model perencanaan yang sudah dikembangkan dan digunakan oleh kelompok studi ini antara lain studi yang dilakukan tahun 1987, 1988, 1989, dan 1990. Disamping itu pelatihan perencanaan tenaga kerja pada tingkat Propinsi, dan Kabupaten juga dilakukan mulai tahun 1988. Para peserta didik adalah terdiri dari para sarjana pegawai negeri di daerah dari lintas sektor dan juga dari masyarakat. Kurikulum terpadu telah dirancang termasuk mempelajari perencanaan pendidikan di tingkat daerah. Maka sudah saatnya pendidikan tinggi di Indonesia harus sudah mulai

melakukan upaya untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, khususnya dalam kebijakan relevansi. Berbagai upaya, dimaksudkan merupakan kegiatan teknologi pendidikan yang secara makro mencakup usaha memudahkan kegiatan belajar di perguruan tinggi melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaannya,

129

dengan memperhatikan relevansi antara pendidikan tinggi dengan pembangunan, khususnya jurusan pendidikan atau bidang studi dengan kebutuhan tenaga kerja, dan faktor-faktor ekonomi, sosial, dan demografi. Kaitan dengan studi ini, maka disarankan beberapa hal pokok sebagai berikut :

1) Dalan perencanaan pendidikan tinggi agar diintegrasikan masukan tentang Kesenjangan antara jurusan pendidikan atau bidang studi dan jabatan pekerjaan (occupations) yang akan dibutuhkan. 2). Pendidikan Tinggi untuk jurusan eksakta seperti Teknik, Kedokteran, dan MIPA, agar diberikan prioritas pada PJP II, sehingga akan memperkecil kesenjangan yang akan terjadi. 3) Pendidikan Tinggi profesional yang mengutamakan peningkatan kemampuan penerapan ilmu pengetahuan terdiri atas Program Diploma dan Program Spesialis, yang dilaksanakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut universitas agar diberikan dorongan dan prioritas-prioritas sehingga dapat memberikan jumlah lulusan yang lebih banyak, untuk memenuhi kekurangan yang diperkirakan akan muncul. Kesenjangan antara jurusan dan jabatan pekerjaan akan dapat makin kecil pada PJP II. 4) Perencanaan pendidikan tinggi secara terpadu dengan melihat kebutuhan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, dan efisiensi menjadi sangat penting pada PJP II. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila berbagai kajian bahan perencanaan yang berkaitan dengan tiga pendekatan tersebut telah dilakukan. Salah satu bahan masukan yang sangat penting yang mengaitkan

130

antara jabatan pekerjaan dengan kebijaksanaan jurusan pendidikan tinggi, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional, akan dapat memperkecil kesenjangan yang terjadi. Hal ini berarti mempercepat proses realisasi konsep Link and Match. 5). Pendidikan Tinggi pada jurusan yang diperkirakan luarannya surplus, seperti jurusan hukum, ekonomi, keguruan, dan MIPA, seyogyanya ditingkatkan mutu pendidikannya. Selanjutnya jurusan-jurusan yang luarannya diperkirakan sangat kurang seperti luaran insinyur, teknisi, dan tenaga para medis agar dapat diprioritaskan. Bagaimana masalah ini dapat dipenuhi baik dari konteks, input, proses, dan produknya (CIPP) atau dari perencanaan makro, meso, dan mikro secara nasional merupakan ranah teknologi pendidikan dalam proses mengakomodasi pemenuhan kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi pada PJP II akan menjadi sangat penting. 6) Kebijaksanaan pemerintah dalam dunia pendidikan, khususnya kebijakan relevansi dan peningkatan mutu agar menjadi program utama

pengembangan perguruan tinggi. Masyarakat Teknologi Pendidikan, agar mencari berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaanya. Khusus implikasi relevansi adalah merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik instruksional yang memperhatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan tinggi dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.

131

7) Mengadakan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha dalam hal, praktek lapangan, penelitian, dan kerjasama pembelajaran termasuk tenaga kependidikannya (dosen dan tenaga penunjang akademik). Mahasiswa memanfaatkan kerja praktek lapangan, dosen dan tenaga kependidikan dapat melakukan riset dan penelitian-penelitian untuk kemajuan perusahaan maupun kemajuan IPTEK. Para pengusaha, dan teknisi dalam perusahaan dapat melakukan alih teknologi melalui supervisi, penelitian bersama, dan berbagai kegiatan lainnya. 8) Pemerintah disarankan memberikan perhatian dan perlakuan yang proporsional terhadap dunia pendidikan tinggi, baik yang dilaksanakan oleh swasta, maupun oleh pemerintah. Indonesia merupakan negara nomor lima tertinggi dari 39 negara, yang mempunyai sumbangan penerimaan mahasiswa di PTS. Negara-negara tertinggi sebelum Indonesia adalah Filipina, Korea, Jepang, Belgia, baru Indonesia (W.B. 1994). 9) Masalah relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan pendidikan tinggi tidak merupakan satu-satunya ukuran atau tujuan dari pendidikan tinggi di Indonesia. Namun demikian, pengukuran kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan disarankan agar dilakukan pendapatan secara nasional, melalui sensus. 10) Para pengambil keputusan senantiasa dihadapkan kepada berbagai situasi atau masalah yang harus menjawab ya atau tidak, bertindak atau tidak, disetujui atau ditolak atas pertimbangan berbagai variabel kebijakan atau berbagai variabel bebas lainnya yang dianggap mempengaruhi atau

132

menentukan. Metode Odds Ratio yang dimodifikasi ini dapat dipergunakan dengan sangat efisien untuk memberikan kemudahan bagi para pengambil keputusan tersebut. Maka disarankan metode analisis regresi logistik beserta statistik odd Rationya merupakan metode analisis multivariat yang disarankan dapat dipakai pada berbagai analisis kebijakan pendidikan. 11) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dapat memberikan masukan kepada BPS, agar rancangan sample, pada setiap pengumpulan data yang berkaitan dengan pendidikan seperti pada SUSENAS-Modul Pendidikan yang akan datang, dan sensus penduduk tahun 2000, memperhitungkan kebutuhan estimasi jurusan pendidikan dan tenaga kerja. 12) Berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch disarankan agar dapat dilakukan penelitiannya, baik oleh berbagai cendekiawan, kelompok maupun oleh pemerintah dalam hal ini DIKTI, sehingga misi pendidikan tinggi yang terkandung dalam GBHN dapat dilakukan secara optimal. Apabila berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch yang merupakan salah satu dari kebijakan relevansi antara dunia pendidikan dan pembangunan dalam hal ini dunia kerja, maka percepatan pencapaian berbagai target pembangunan akan lebih berhasil. 13) Penelitian eksperimen pada berbagai hal yang berkaitan dengan proses terjadinya kesenjangan, dikaitkan dengan bagaimana (Teknologi

Pendidikan) upaya pengurangan akan terjadinya kesenjangan tersebut melalui rancangan proses belajar-mengajar secara makro dapat dilakukan. Salah satu contoh berbagai penelitian eksperimen penerjemahan kurikulum

133

muatan lokal perguruan tinggi ke dalam konsep relevansi atau kesesuaian antara proses pendidikan di perguruan tinggi dan antisipasi kebutuhan tenaga profesional (ahli) di lapangan.

134

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I.G.N. (1993). Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan pemakaian praktis. Jakarta: LD-FEUI APEC Secretariate. (1994a). APEC economic leaders declaration of common resolve. Singapore:APEC Scretariate. _______ (1994b). Report of the Pacific bussiness forum. Singapore APEC Secretariate. _______ (1994c). Selected APEC documents. Singapore: APEC Scretariate. Apps, J.W. (1988). Higher education in a learning society: Meeting new demands for education and training. San Francisco : Jossey-Bass Publishers. Atmakusuma, A., Teken, I.G.B. Soeherdjo, A. and Asngari, P.S. (1974). The role of the Provincial Universities in regional developmnet in Indonesia an assessment. Singapore: RIHED. Baily, A. (1990). Personal transferable skills for employmentL The role of higher education. Dalam P.W.C. Wright. (Ed.). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training (pp. 68-74. London: SRHE/Open University Press. Balitbang Depdikbud, (1992). Discussion papers education, economic, and social development: Conference on second 25 year development plant education and culture, January 21-23, 1992 Indo Alam Hotel, Cipanas, West Java. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

135

Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a). Perencanaan pendidikan dan kesempatan kerja dalam pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: Bappenas. -------- (1988/89b). Proyeksi kebutuhan persediaan tenaga kerja menurut jenis jabatan dan pendidikan tahun 1994-2003. Jakarta: Bappenas. _______ (1991). Kesesuaian lulusan fakultas teknik di Indonesia. Hasil Penelitian. Jakarta: Bappenas. Blaug, M. (1979). The quality of population in developing countries, with particuar reference to education and training. Dalam P.M. Hauser (Ed.). World population and development: Challenges and prospects (pp.361-401). Syracuse: Syracuse University Press. Boediono, Mc Mahon W.W., and Don Adams (Ed), (1992). Economic and social development: Second 25 year development plant education and culture. Jakarta: Dikbud. BP-7 Pusat (1993). Undang-undang Dasar, P4: Ketetapan MPR No.II/MPR/1978. GBHN: Ketetapan MPR No.II/MPR/1993.Jakarta: BP-7. BPS. (1992). Penjelasan klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS. _______ (1985). Penjelasan mengenai rekord data sensus penduduk 1980. Jakarta: BPS. _______ (1990). Pedoman pra komputer: DAFTAR SP90-RWLII. Jakarta: BPS.

136

_______ (1993). Buku Tahunan. Jakarta: BPS. _______ (1994). Idikator kesejahteraan rakyat, 1993. Jakarta: BPS. BPS dan Depnaker. (1982). Klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS. Clogg, C.C. and Shockey, J.W. (1984). Mismatch between Occupation and schooling: A prevalence measure, recent trends and demographic analysis. Journal of Demography, 21 (2). Pp. 235-257. Depdikbud. (1994). Pembangunan pendidikan dan kebudayaan menjelang era tinggal landas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud. (1975). Petunjuk pelaksanaan kebijaksanaan dasar pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang. Jakarta: Dirjen DIKTI. Depnaker. (1987). Kamus jabatan nasional. Jakarta: Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja. Ditjen DIKTI. (1994). Penjelasan Dirjen Dikti pada forum dengar pendapat dengan Komisi X DPR-RI tanggal 22 Pebruari 1994, mengenai pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. Jakarta: Direktorat Jenderal DIKTI. -------- (1995). Bahan sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. Jakarta: DIKTI. Djojonegoro, W. (1994a). Issues and challenges in educational development: cooeperation and Linkages, presented at The Southeast Asian Ministers of

137

Education Council (SEAMEC). Jakarta. February 2-4, 1994. Dalam Kumpulan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 126-128). Jakarta: DEPDIKBUD. ______ (1994b). Kebijakan Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan implikasinya pada sistem administrasi negara. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 195-215). Jakarta: DEPDIKBUD. -------- (1994c). Kebijaksanaan pembangunan bidangpendidikan dan permasalahan yang dihadapi. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoensia: IIA Januari-Juni 1994 (hal.263-272). Jakarta: DEPDIKBUD. _______ (1994d). Masalah Pendidikan: Pokok Pikiran disampaikan pada kursus regular Angkatan XX Sesko ABRI 1994/1995, 10 Februari 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 150-154). Jakarta: DEPDIKBUD. _______ (1994e). Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia menjelang PJP II. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 134-146). Jakarta: DEPDIKBUD --------- (1994f). Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sistem pendidikan. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 510-531). Jakarta: DEPDIKBUD --------(1994g). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada musyawarah

138

program Pasca Sarjana PTS. Dalam Kumpulan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 415-416). Jakarta: DEPDIKBUD. -------- (1994h). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada pelantikan Rektor Universitas Brawijaya, 1 Januari 1994. Dalam Kumpulan Pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 60-82). Jakarta: DEPDIKBUD. -------- (1994i). Sambutan menteri Pendidikan danKebudayaan pada Rakernas Gubernur se Indonesia, 23 Februari 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 180-194). Jakarta: DEPDIKBUD. --------- (1994j). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upacara pelantikan rektor Universitas Gajah Mada, 22 Maret 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA JanuariJuni 1994 (hal.280-301). Jakarta: DEPDIKBUD. ---------- (1994k). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upcara pelantikan Rektor Universitas Haluoleo, 4 April 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA JanuariJuni 1994 (hal. 346-353). Jakarta: DEPDIKBUD Djojonegoro, W. dan Suryadi, A. (1994). Peningkatan Kualitas sumber daya manusia untuk pembangunan: Analisis relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan menyongsong era teknologi dan industri. Jakarta: Pusat Informatik, Balitbang Dikbud. Enoch, J.E. (1992). Dasar-dasar perencanaan pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

139

Fielden, J. (1990). The shifting culture of higher education. Dalam P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training (pp. 75-81). London: SRHE/Open University Press. Gramedia. (1991). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 tahun 1990, tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Gramedia. Hallaq, J. (1990). Investing in the future: Setting educational priorities in the developing world. Paris: UNDP-UNESCO. Hauser, P.M. (1974). The measurement of labour utilization. Reprint from: Malayan Economic Reviw. Vol XIX. No.1, April 174. Quezon City: University of Phillippines. Holloway, R.E. (1984). Educational technology: A critical Perspective. New York: ERIC. Hutasoit, M. (1973). Surat Putusan menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudayaan No.25 tahun 1958. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudayaan. International Labour Office. (1990). ISCO-88. Geneva: ILO. Johnson, R.A. and Wichern. D.W. (1982). Applied multivariate statistical analysis. New-Jersey: Prentice-Hall, Inc. Jones, A. (1990). A responsive higher education. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training (pp. 82-87). London: SRHE/Open University Press.

140

Jones, G.W. (1988). Expansion of secondary and tertiarty Education in Southeast Asia : some implication For Australia. Australia: IPDP research notes no. 94. Kasarda, J.D. and Friedrichs, J. (1985). Comparative demographic-employement mismatches in U.S. and West German cities. Annual meeting of the Population Association of America. Boston: Massachusetts, March 28-30. Kelompok Kerja Pengembangan SDM. (1989a). Dukungan studi mengenai pengembangan SDM: Buku I evaluasi sistem pendidikan dan latihan selama 15 tahun terakhir. Jakarta: Bappenas. ---------- (1989b). Dukungan studi mengenai pengembangan SDM: Buku II Perkembangan Struktur ekonomi dan Kesempatan kerja pada Repelita V, VI, dan VII. Jakarta: Bappenas. King, E.M. and Lillard, L.A. (1989). Determinants of Schooling attainment and enrollment rates in the Philippines. A Rand Note, The U.S. Agency for International Development. LDFE-UI. 1985. Studi pelacakan lulusan perguruan tinggi. Jakarta: LDFE-UI. Levin, H.M. (1976a). Educational reform: its meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (Eds.). The limits of educational reform (pp. 23-51). New York: David McKay company. Inc. _______ (1976b). A Taxonomy of educational reforms for changes in the nature work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (Eds). The limits of Educational reform (pp. 83-114). New York: David McKay Company. Inc. Low,L., Heng, T.M. dan Wong, S.T. (1992). Economic of education and manpower

141

development issues and policies in Singapore. Singapore: McGraw-Hill. Lowe, R. (1990). Educating for industry: The historical role of higher education in England. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training. (pp. 9-17). London: SRHE/Open University Press. Mason, A. (1986). Demographic prospects in the Reoublic of Korea: Population, households, and education to the year 2000. Working Papers, East-west Population Institute, Honolulu, Hawai. Mason, A. (1988). The Transition in education: Intergenerational effects. NUPRI Research Paper Series No. 42. Meyer-Dohm, P.M. (1990). Graduates of higher educationWhat do Employes expect in the 1990s? Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education: Collaboration to improve studentslearning and training (pp. 61-67). London: SRHE/Open University Press. Miarso, Y. (1988). Peranan teknologi pendidikan dalam pembangunan di masa depan. Makalah disampaikan dalam Seminar Akademik Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Padang, tanggal 28-29 Oktober 1988. _______ (1989). Buku/Monograf: Teknologi pendidikan. Jakarta: PAU-UT. Norusis, M.J. (1986). Advanced statistics SPSSPC + for The IBM PC/ XT/AT. Chicago: Illinois. SPSS Inc. Notodihardjo, H. (1990). Pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat tinggi di Indonesia. Jakarta: UI-Press.

142

Oommen, T.K. (1989). India: Brain drain or the migration of Talent?. Journal of international migration. 27 (3) PP. 411-425. Per Dalin. (1978). Limit to educational change. New York: St. Martins Press. Pustaka Tinta Mas. (1990). Himpunan ketetapan-ketetapan MPRS tahun 1966, 1967, 1968 dan MPR tahun 1973, 1978, 1983, 1988. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Poedjiastoeti, S. (1989). Rencana sensus penduduk 1990 dan perbandingannya dengan sensus penduduk1980. Majalah Demografi Indonesia. No.31 pp. 7485. Jakarta: L.D. FE-UI Pongtuluran, A. (1989). Penjelasan sistem pendidikan nasional terkandung dalam Undang-undang Republik Indonesia terkandung dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 2 tahun 1989, tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta: Biro Perencanaan Depdikbud. Psacharopoulos. G. and Woodhall, M. (1985). Education for development: An Analyis of investment Choices. Washington: oxford University Press. Pusat Informatik. (1995). Perbandingan pendidikan di Indonesia dengan negara lain. Jakarta: Pusat Informatik, Balitbang Dikbud. Puslit Pranata Pembangunan, UI dan Bappenas. (1991a). Studi pengembangan sistem dan kebijaksanaan SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

________ (1991b). Laporan diskusi teknis: Pengembangan sistem dan kebijaksanaan SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

143

--------- (1992a). Kegiatan penunjang sistem pengembangan SDM: Analisis penyebaran dan tren tenaga kerja di Indonesia, masalah dan saran pengelolaannya. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI. --------- (1992b). Kegiatan penunjang kebijakan pengebangan SDM: Integrasi analisis kebijaksanaan SDM dalam model ekonomi-demografi-sosial. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI. --------- (1992c). Model perencanaan terpadu pengembangan SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI. ________ (1992d). Studi Proyeksi SDM pada pembangunan jangka panjang kedua. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI. RDCMD-YTKI dan ILO-ARTEP. (1989). Mismatch between Occupation & education. Hasil Penelitian. Jakarta: YTKI. Robertson M. (1991). Consolidated report on policy and Research activities professional human resource Development project (PHRDP). Government of Indonesia-World Bank (Loan No.3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas. Schultz, T.P. (1987). School expenditures and enrollments, 1960-80: The effects of income, prices, and population growth, In D.G. Johnson and R.D. Lee (Ed.), Population growth and economic Development: Issues and evidence. Wisconsin: The University Press. Shaeffer, S. (1990). Educational change in Indonesia: ACase study of three innovations. Paris: IDRC.

144

Simanjuntak, P. (1985). Pengantar ekonomi sumber daya Manusia. Jakarta: LP-FEUI Situmorang, A.O.B. (1985). Strategi pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta: PPS-IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan) Soenarya, E. (1994). Model penerapan pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan suatu kajian teoritik. Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta. St. John, E.P. (1981). The policy process in higher education. Armidale: The Institute for Higher Education. Thomas, R.M. (1973). A chronicle of Indonesian higher Education. Singapore: Eurasia Press. Tilaar, H.A.R. (1990). Pendidikan dalam pembangunan nasional menyongsong abad XXI. Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta. --------- (1995). 50 tahun pembangunan pendidikan nasional 1945-1995: Suatu analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia Todaro, M.P. (1982). Economic development in the third World. New Yoek: Longman Inc. Tribe, K. (1990). The US model for higher education: structure and finance. Dalam P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training (pp. 43-60). London: SRHE/Open University Press.

145

UNDP. (1989). Education and training in the 1990s: Developing countries Needs and startegies, education development center. New York: Oxford University Press. United Nations. (1989). Handbook on social indicators: Studies in methods series F No.49. New York: United Nations. UNESCO. (1984). Guide to statistics on science and Technology. Paris: UNESCO. Watson, D. (1990). The changing shape of professional education. Dalam H. Bines. dan D. Watson. Developing professional education. Milton Keynes: SRHE/Open University. Williams, G. and Loder, C. (1990). Industry contributions to higher education funding and their effects. Dalam P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher education: Collaboration to improve students learning and training (pp.3142). London:SRHE/Open University Press. World Bank. (1994). Development in practice higher education: The lessons of experience. Washington, D.C.: The World Bank. ______ (1978). Labor market segmentation and the determination of earnings: A case study. World Bank Staff Working Paper No.278. ________ (1989). Human resource development policy, planning and institutional development project briefing document. Jakarta: Bappenas. Zaltman, G., Florio, D.H., and Sikorski, L.A. (1977). Dynamic educational change. New York: The Free Press.

146

Dokumen Pemerintah

Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi.

Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indosia Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana PembangunanLima Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/90-1993/94

Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-GarisBesar Haluan Negara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun1994 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (REPELITA VI) 1994/95-1998/99.

DAFTAR LAMPIRAN
1. Instrumen Penelitian (Kuesioner) 1.1 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1980 1.2 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1990

2. Daftar Pertanyaan dan Daftar Matching 2.1 Daftar Pertanyaan yang dipergunakan dalam penelitian 2.2 Daftar Matching antara Jurusan Pendidikan dan Jabatan/jenis pekerjaan

3. Tabel Analisis Bab IV 4. Riwayat Hidup

You might also like