Professional Documents
Culture Documents
KHATIB MAULANA
ISLAM MENJAWAB
TUNTUTAN SYAHWAT
Antara Zina dan
Mut’ah
khatibmaulana@yahoo.com
fixtime_mar@yahoo.com
Buku ini tidak dilindungi oleh hak cipta. Anda dapat mengutip,
memperbanyak, bahkan memperdagangkan sepanjang diniatkan untuk
dakwah dan diiringi doa keselamatan bagi penulisnya.
1
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Bab I
ZINA
Ketika Rahmat Menjadi Laknat
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Al Israa':32).
1
Hukum Zina dalam Alquran
A
mina Lawal, menemui ajalnya tahun 2003 setelah dihukum oleh
pengadilan syariah Nigeria. Ia divonis telah berzina dan dihukum mati
dengan cara rajam, dilempari batu. Amina tidak sendirian. Di negara
yang sama dua perempuan lain juga dirajam sampai mati, yaitu Hajara
Ibrahim and Daso Adamu.
Kejadian mengerikan seperti itu tidak hanya terjadi di Nigeria. Pakistan
menerapkan hukum serupa, dan telah menelan korban pula. Pertanyaan kita,
apakah sedemikian keras dan kejamnya hukum Islam terhadap para pezina
atau orang yang dituduh berzina?
Sebagai ummat Islam, pegangan pokok kita adalah Alquran. Hukum
apapun yang mengatasinamakan Islam harus merujuk kepada Alquran. Allah
SWT berfirman,
Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa,.. (Al Baqarah: 2)
Alquran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang meyakini. (Al Jaatsiyah: 20)
2
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (Ibrahim: 52)
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (Al Baqarah:147)
3
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
1
Ma malakat aimanukum artinya yang berada ”dalam genggaman tangan
kanananmu”. Istilah ini dalam banyak tafsir diartikan sebagai budak. Arti ini perlu dikritik
karena ma malakat aimanukum menunjuk kepada obyek yang spesifik, bukan budak
dalam pengertian umum. Pengertian yang lebih pas adalah ”perempuan yang tidak
merdeka, tidak punya modal produksi, dan hidupnya tergantung kapada orang lain. Jadi
seperti para pegawai atau karyawan”.
4
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
2
Berzinakah Mereka?
I
stilah zina sering kita dengar dari para ustad, termasuk jenis-jenisnya. Di-
samping ”zina yang sebenarnya”, disebut juga istilah ”zina mata”, ”zina
hati” dan ”zina telinga”. Pembagian zina seperti ini semuanya hasil
tafsiran, dari hadis ahad yang dirawikan oleh Abu Hurairah (Shahih Muslim
No.4801), yang dalam Alquran sendiri tidak pernah dijelaskan. Dalam Alquran
5
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Masalah serius yang kita hadapi bukan hanya pada pengertian istilah
zina, tapi pembuktiannya. Kapan seorang laki-laki dan perempuan dapat
dikatakan berzina sehingga keduanya dapat dihukum? Pembuktian inilah
yang sangat rumit, sekaligus menggiring kita pada ranah berpikir yang lain,
yaitu tentang pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Namun, kita
tuntaskan satu-satu persoalan ini, dengan mendahulukan pembahasan ten-
tang pembuktian zina.
Menuduh orang berzina (melakukan hubungan seksual illegal) tidak boleh
dilakukan asal-asalan, karena tindakan sembrono seperti itu diancam
hukuman yang berat. Allah SWT berfirman,
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau
sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (An-Nisaa':15)
Dari kedua ayat di atas kita ketahui bahwa pembuktian perbuatan zina
memerlukan empat orang saksi (tidak ditentukan jenis kelaminnya). Jika si
penuduh tidak dapat mengajukan empat orang saksi, maka tuduhan tersebut
dianggap dusta. Karena kebohongan itu, si pendakwa harus diganjar dengan
delapan puluh kali cambuk. Oleh sebab itu, kita tidak dapat secara semena-
mena menuduh seorang perempuan – dengan sendirinya juga laki-laki pasa-
ngannya -- telah berzina, kecuali ingin secara sengaja melakukan dosa.
Sikap hati-hati menuduh orang berzina dapat dicontoh dari Khalifah Umar
bin Khattab ketika mengadili Al- Mughirah ibn Shu’bah. Al-Mughirah dituduh
berzina. Untuk pembuktian didatangkanlah empat orang saksi. Tiga saksi
tidak memberikan keterangan rinci. Saksi keempat mengatakan telah melihat
dua orang dalam kondisi yang mencurigakan. Saksi itu mengatakan, “saya
melihat punggung turun naik, dengus nafas kuat, dan saya melihat kaki
perempuan itu berada di bahu dia (Al-Mughirah) seperti telinga keledai. Saya
tidak tahu lebih dari itu”. Walaupun orang mungkin berpikir bahwa kesaksian
6
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
ini lebih dari cukup untuk mendakwa Al-Mughirah dan pasangannya berzina,
kenyataannya tidak demikian. Dengan alasan bahwa kesaksian keempat laki-
laki itu tidak cukup spesifik (tidak melihat langsung penis memasuki vagina),
Khalifah Umar membatalkan dakwaan. Al Mughirah selamat dari hukuman2.
Orang-orang yang tidak terbukti berzina melalui pembuktian -- seperti
yang dilakukan terhadap Al-Mughira -- tentu tidak layak menerima hukuman
dalam bentuk apapun. Kalau dihukum juga, seringan apapun, hanya karena
dicurigai, mereka jelas-jelas dizalimi orang-orang yang tidak dapat menahan
hawa nafsu. Jika kita taat dan mengimani Alquran, justru yang menghukum
itulah yang pantas dikenai hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
Ironisnya, kita sering mendengar orang diusir karena tertangkap berdua-
duaan di sebuah kamar atau rumah, padahal tidak ada seorang saksipun
yang melihat dukhul (penis memasuki vagina). Ada juga yang dipermalukan
di depan pers setelah kamar hotel tempat keduanya berada didobrak oleh
Satpol Pamong Praja, dan keduanya ditemukan berpakaian lengkap.
Besoknya pers menulis, ”keduanya ditengarai baru selesai melakukan zina”.
Dalam menilai kasus penggrebekan rumah atau hotel ini mari kita lihat
lagi firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An Nuur: 27)
2. Untuk Pers:
2
Kisah ini ditulis oleh Muwaffaq Al-Din Ibn Qudamah, dalam Al-Mughni. (Beirut:Dar
al-Kitab al-‘Arabi, n.d) vol. 10 hal. 197-198. Dikutip dari pengutip.
7
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak
mengetahui.(An-Nuur:19)3
3
Ayat di atas juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk larangan menyebarluaskan
informasi atau bahan-bahan bacaan porno ke tengah orang beriman yang menyebabkan
rusaknya keimanan mereka.
8
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
3
Mengapa Orang Berzina?
P
ertanyaan “mengapa orang berzina” sangat penting dijawab sebelum
kita bergerak kepada pemberantasan zina. Tanpa mengetahui apa
penyebabnya, kita tidak mungkin mengatasi perzinaan di tengah
masyarakat secara efektif. Kalau perzinaan kita ibaratkan sebagai tumbuhan
berbahaya yang harus dibasmi, kita harus paham bahwa perzinaan itu bukan
hanya masalah yang ada dipermukaan. Ia mempunyai akar yang dalam,
tertanam dalam lahan yang disebut masyarakat.
Jadi, banyak atau sedikitnya perzinaan yang terjadi tergantung kepada
sikap masyarakat terhadap akar perzinaan itu. Oleh sebab itu perzinaan
dapat dikatakan sebagai produk sosial.
Akar perzinaan terbentuk dari dua unsur, yaitu 1) dorongan seksual
(syahwat) dan 2) ketaatan terhadap aturan agama.
1. Syahwat
Syahwat merupakan anugrah Allah SWT kepada makhluknya, kecuali
malaikat, untuk berkembang biak. Tanpa syahwat orang tentu tidak akan
melakukan hubungan seksual. Agar orang bersedia melakukan hubungan
seksual Allah SWT menjadikan syahwat sebagai sebuah kenikmatan ragawi,
sekaligus batiniah.
Terhadap rahmatnya ini, Allah SWT tidak menghendaki manusia
mengingkari dan menjadi kufur nikmat. Oleh sebab itu, kawin merupakan
sunnah. Di mata Allah SWT kawin bukan hanya persoalan individual, tapi juga
merupakan persoalan masyarakat. Firman Allah SWT:
9
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
10
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dari Surat An-Nisaa kita dapat pula melihat betapa Allah SWT
menunjukkan jalan yang terang lagi mudah kepada manusia agar
syahwatnya tersalur secara wajar. Firman Allah SWT:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau ma malakat aimaanukum
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(An Nisaa' 3)
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki. (An Nisaa' 25)
Kedua ayat di atas menunjukkan adanya alternatif-alternatif bagi manusia
untuk menyalurkan syahwat, sesuai dengan kemampuannya. Allah SWT tidak
hanya menyediakan satu jalan, melainkan tiga: 1) poligami, 2) monogami jika
tidak dapat berlaku adil, atau 3) kawini saja ma malakat aimaanukum.
Mengawini ma malakat aimanukum juga jadi pilihan kedua bagi laki-laki
yang tidak sanggup mengawini perempuan merdeka karena alasan ekonomi
(An Nisaa' 25). Bahkan bagi Nabi pun ma malakat aimaanukum adalah se-
buah pilihan yang diberikan Allah SWT setelah beliau dilarang menambah
istri, seperti terdapat dalam surat berikut:
11
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Oleh sebab itu, mustinya tidak ada diantara kita yang menghalang-halangi
seseorang kawin karena status ekonominya yang rendah.
Penting juga kita mengerti bahwa Allah SWT tidak hendak menyiksa
ummatnya dengan memberi mereka syahwat. Setelah diberi syahwat, Allah
SWT memberikan jalan untuk memenuhi kebutuhan itu. Firman Allah SWT:
12
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dari data di atas kita ketahui bahwa di Sumatera Barat perempuan dalam
rentang usia 20 – 44 memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kelebihan
perempuan usia 20 – 24 tahun cenderung menurun, tapi data dari sumber
yang sama menunjukkan tren menaik pada usia 15 – 19 tahun. Tahun 2004
jumlahnya 2.077, tapi tahun 2005 melonjak jadi 12.593 jiwa.
Di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan pada rentang usia 20
– 39 tahun adalah sbb.:
Pertalian Abduh dengan kedua tokoh orientalis tersebut sangat jelas ditulis oleh Robert
Drayfuss dalam bukunya yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Orkestra
Iblis.
5
Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, ’Benarkah Poligami Sunah..?’, Kompas Cybermedia,
Selasa, 13 Mei 2003
13
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
14
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
larangan yang dibuat negara dan didukung oleh para pemuka agama secara
perlahan tapi pasti menimbulkan citra Islam sebagai agama yang sempit,
yang tidak toleran dan tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan.
Agama yang hanya membatasi, tapi tidak menawarkan solusi. Mereka yang
berusaha mengoreksi akan dicap sebagai golongan sesat, tanpa berusaha
melakukan introspeksi siapa sebenarnya yang telah sesat dan menyesatkan.
Pemikiran yang mengebiri penyaluran syahwat kini sudah diterima oleh
ummat Islam sebagai kebenaran, tanpa sikap kritis. Tidak banyak yang sadar
bahwa pemikiran seperti itu berasal dari doktrin gereja abad pertengahan,
kemudian menyebar ke seluruh dunia pada zaman Ratu Victoria berkuasa di
Inggris. Etika Victorian atau ajaran etis Ratu Victoria dikenal sebagai etika
yang sangat menentang poligami dan mengagungkan keabadian/kekekalan
hubungan laki-laki dan perempuan. Di Indonesia pengaruh itu tampak pada
Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh karena merujuk kepada doktrin gereja dan etika Victoria, UU
Perkawinan menimbulkan dampak yang tidak jauh berbeda dengan yang
ditimbulkan referensinya. Kemunafikan! Sudah menjadi rahasia umum, akibat
pengekangan seksual yang dilakukan gereja ummat Nasrani – termasuk para
pastur – banyak melakukan penyimpangan. Hubungan seksual di luar ikatan
perkawinan jadi alternatif bagi penganut Katolik karena institusi perkawinan
dibentuk menjadi berhala sosial yang harus dipuja. Ummat Katolik memang
mematuhi larangan berpoligami, tapi sepanjang tidak mengkhianati ikatan
perkawinan yang disakralkan itu mereka bebas melakukan perzinahan. Tidak
heran jika saat ini populasi orang-orang Barat yang tidak menikah, hanya
hidup bersama atau berzina, sangat besar. Mereka melahirkan jutaan anak
haram yang kemudian meneruskan tradisi orang tua mereka.
Belakangan, bukan hanya UU Perkawinan yang membuat ummat Islam
semakin terdesak dalam hal penyaluran syahwat. Perkembangan paham
feminis yang mendompleng doktrin gereja mendorong terjadinya kontrol
yang lebih ketat terhadap poligami. Kaum feminis menghasut para
perempuan muslim untuk tidak menerima poligami dengan argumentasi bias
gender dan kekerasan rumah tangga. Padahal, tindakan kekerasan lebih
banyak terjadi pada keluarga monogami ketimbang keluarga poligami.
Tak banyak kaum perempuan yang sadar bahwa kaum feminis telah me-
nyediakan paket pengembangan homoseksualitas dan prostitusi untuk meng-
atasi ketertekanan seksual. Kaum feminis, terutama feminis radikal adalah
pendukung hak-hak kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transexsual) di
seluruh dunia. Mereka juga berjuang untuk dekriminalisasi prostitusi (supaya
pelacur tidak dianggap prilaku kriminal) dan menuntut agar bisnis prostitusi
dianggap sama dengan bisnis jasa yang lain. Di Indonesia perjuangan mereka
berhasil mempopulerkan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial), terjemahan
dari Sex Worker yang mereka anggap sama dengan penyedia jasa lain se-
perti guru, perawat, sopir, pelayan restoran, dan sebagainya.
2. Ketaatan kepada Ajaran Agama
15
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
16
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
17
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
kita hingga akhir zaman, masa yang sudah dalam pengetahuan Allah SWT
tentang apa yang terjadi saat itu. Revolusi Seksual berhasil melanda gene-
rasi kita tidak lain karena pada saat yang sama kita sudah mengabaikan
Alquran. Pada saat yang sama kita menoleh pada doktrin yang menyembu-
nyikan ide-ide gerejani atau atheisme dibelakangnya, sehingga akhirnya
anak-anak, bahkan diri kita sendiri menjadi korban.
Kesalahan lain, kita terlalu percaya pada figur tokoh yang terkesan
sebagai orang saleh, ulama berilmu tinggi, tanpa berusaha mengkritisi
kebenaran pendapatnya. Asal ia lancar berbahasa Arab, pernah sekolah di
Mesir atau Arab Saudi, aktif di organisasi keagamaan besar, kita langsung
yakin pendapatnya benar. Padahal, tidak sedikit diantara mereka yang
Snoucker (seperti Snouck Horgronje), ibarat musang berbulu domba: di luar
kelihatan baik, didalamnya sangat jahat dan menyesatkan. Tidak sedikit pula
diantara mereka yang mengandalkan kemampuan melafaskan ayat-ayat
Alquran untuk memutarbalikkan ajaran Islam, baik karena keinginan pribadi
maupun atas pesan sponsor tertentu. Tidak semua orang Arab itu di pihak
kita, karena banyak juga orang Arab yang Nasrani dan bermaksud jahat
terhadap kaum muslimin. Abu Lahab juga orang Arab, dan Allah SWT sudah
menjanjikan neraka untuknya. Sikap tidak kritis kita, antara lain karena ter-
lanjur mengambil jarak dengan Alquran, menyebabkan kita mudah ditipu
dan disesatkan.
Allah SWT memperingatkan,
18
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
4
Belajar dari Kekeliruan
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al
Maa'idah:87)
K
ini tingkat perzinaan di kalangan ummat Islam sudah sedemikian rupa.
Ribuan orang yang terlahir sebagai muslimah mengais rezeki dari
melacurkan diri, baik sebagai profesional kelas kambing maupun kelas
atas, atau sebagai pelacur amatiran. Ribuan laki-laki muslim berzina dengan
mereka. Ribuan pula perempuan muslimah hamil di luar nikah, kemudian ka-
rena malu mereka menggugurkan kandungan dan membuang janin begitu
saja. BKKBN mengatakan 2,6 juta aborsi terjadi setiap tahun, atau 300 aborsi
per jam. Memang, diantara aborsi itu adalah perempuan yang mengalami
gagal KB, tapi ratusan ribu diantara mereka adalah remaja yang belum
menikah.
Usaha untuk mengatasi zina bukan tidak ada. Ada aturan hukum, ada
perda anti-maksiat. Perempuan-perempuan ditekan agar menggunakan
pakaian yang “sopan”, berjilbab, berbaju longgar, dengan asumsi pakaian
mereka membuat syahwat laki-laki jadi tidak terkendali. Perempuan jadi
tumpuan kesalahan, dianggap iblis yang menyesatkan manusia (laki-laki) ke
lembah zina.
Di tingkat masyarakat, warga sangat sensitif dengan prilaku yang meng-
arah kepada zina di lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka lalu memata-
matai tempat tertentu, kemudian mendobrak rumah yang dicurigai
didalamnya ada orang berzina. Mereka tidak peduli peringatan Allah SWT
agar masuk ke rumah orang setelah mendapat izin dari pemiliknya (An Nuur:
27). Tidak! Mereka seperti perampok yang tidak sabaran. Kemudian, jika me-
reka tidak menemukan bukti perzinahan sebagian dari mereka akan menga-
19
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
rang cerita supaya yang tidak ada jadi ada, yang tidak terbukti jadi terbukti.
Mereka berdalih semua dilakukan “demi moral”, padahal Khalifah Umar bin
Khatab saja sangat berhati-hati menuduh orang berzina.
Ironisnya, tindakan seperti itu seringkali disaksikan dan dibenarkan oleh
tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal alim dan tahu agama. Mereka tidak
berusaha mencegah warga mengingkari perintah Allah SWT, malah ada pula
yang menghasut agar kemungkaran itu dilakukan sambil membawa-bawa na-
ma Allah. Kurangnya pengetahuan warga terhadap firman Allah SWT yang
berkelindan dengan perasaan cemburu dijadikan sumber keuntungan pribadi
oleh sebagian tokoh.
Sementara itu sejak bertahun-tahun lalu tiap sebentar kita disuguhi be-
rita oleh surat kabar atau televisi tentang penggrebekan hotel yang dicurigai
jadi tempat zina, penangkapan pasangan “yang berzina”, atau penggarukan
pelacur yang berkeliaran mencari mangsa. Aparat penggrebek kemudian
tampil di media dengan perasaan puas dan bangga. Mereka berusaha
meyakinkan masyarakat telah memberantas maksiat sesuai dengan perintah
Allah SWT. Tapi tidak pernah jelas, perintah yang mana.
Apa hasilnya? Tindakan itu tidak lebih dari perbuatan sia-sia, mubazir,
namun tetap juga dilanjutkan demi citra “anti maksiat” yang diperlukan
untuk suatu kedudukan politis. Zina tidak pernah berhenti, pelacur semakin
banyak, aborsi juga menjadi-jadi. Anak-anak haram juga makin banyak. Tiap
tahun orang-orang yang kena penyakit kotor dan berbahaya karena zina (GO,
Sipilis, HIV/AIDS) terus bertambah. Anak-anak muda yang seharusnya sudah
menikah tapi terbentur aturan sosial (masih sekolah, belum bekerja, harus
membiayai adik, dsb.) makin berani melakukan hubungan seks bebas.
Sebuah survei yang dilakukan oleh pengamat kesehatan reproduksi remaja
Dr Boy Abidin SpOG di Jakarta bulan Mei 2007 menemukan 22,6% penyebab
kehamilan remaja adalah seks bebas (detik.com). Sementara penelitian Dinas
Kesehatan Sukabumi pada tahun yang sama menemukan pelajar Kota
Sukabumi yang melakukan seks bebas lebih kurang 30% (Hidayatullah.com).
Pendek kata, pemberantasan jadi pekerjaan tak berguna, padahal telah
menghabiskan uang sangat banyak, yang seyogianya dapat digunakan untuk
kemaslahatan lain.
Tindakan aparat yang brutal bukannya membuat orang takut berzina, ta-
pi mencoreng muka seluruh ummat Islam yang dinilai tidak punya sopan
santun, tidak punya kecerdasan, kasar atau brutal. Penilaian itu tidak terlalu
keliru, karena memang peringatan Allah SWT pada ayat 27 Surat An Nuur di-
abaikan secara terang-terangan.
Mengapa tindakan pemberantasan maksiat yang penuh semangat itu ti-
dak ada hasil sama sekali? Kita memang manusia yang sombong dan merasa
mampu, tidak mengakui kelemahan kita. Allah SWT sudah memberikan jalan
yang terbaik kepada ummatNya agar mereka tidak berzina, tapi kita
mengabaikan dan membuat aturan-aturan yang memperturutkan hawa
nafsu.
Pemahaman yang keliru terhadap Alquran telah mendorong orang-orang
yang punya kekuasan mengatur prilaku ummat mengabaikan rahmat Allah
SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Mereka buat aturan yang me-
nyebabkan kelapangan yang diberikan Allah SWT berubah jadi kesempitan.
Apa yang dihalalkan berubah jadi setengah halal bahkan haram dan, kemu-
dian dianggap sebagai kejahatan. Mereka lebih mendengarkan tuntutan ka-
20
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
21
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Bab 2
MENIKAH BAGI
PEREMPUAN
1
Tak Menikah = Masalah ?
T
idak sedikit perempuan yang merasa risih, bahkan rendah diri karena
tidak menikah. Dalam pandangan masyarakat usianya sudah tinggi atau
sudah cukup lama menjanda. Mereka gelisah lantaran sering dipojokkan
sebagai perempuan yang tidak laku dan tidak berharga di mata laki-laki.
Seorang perempuan muda bernama Winda mengaku sudah lama tidak
pulang ke rumah orang tuanya karena alasan pernikahan itu. Setiap ia
pulang, orang tuanya pasti bertanya kapan menikah. Ia tidak bisa menjawab,
sebab tidak tahu akan menikah dengan siapa. Seumur hidup ia belum pernah
punya pacar, dan tidak pernah pula didekati seorang laki-laki dengan niat
hendak berpacaran.
Perempuan lain, Astuti, usia 32 tahun, dengan nada putus asa
menyatakan, ”Mungkin saya tidak akan pernah kawin seumur hidup.”
Mengapa? Ketika berusia 22 ia dihamili salah seorang dosennya, dan
ditelantarkan begitu saja. Dengan seorang anak berusia 9 tahun Astuti punya
status yang tidak jelas: perawan bukan, janda juga bukan. Hanya keajaiban
yang akan mengantarkannya pada seorang laki-laki berjiwa besar yang bisa
menerima keadaannya. Ia terpaksa pasrah sebagai perempuan yang tidak
terjamah laki-laki secara semestinya.
Tapi ada pula perempuan yang tegas-tegas mengatakan tidak akan
menikah seumur hidup. Shinta, perempuan berusia 30 tahun dan berparas
manis itu tidak sudi dijajah kaum laki-laki dalam institusi rumah tangga.
Sikapnya kasar terhadap laki-laki yang berusaha mendekat. Orang
menggosipkannya lesbian, tapi ia membantah keras anggapan itu. “Aku o-
rang beragama!” katanya.
Tidak seperti Shinta, Eka memutuskan untuk hidup membujang setelah
mengalami perdebatan sengit dalam dirinya. Manejer sebuah bank terkenal
itu pernah ingin berumah tangga, jadi istri dan ibu dari anak-anak yang lucu.
Ia pun menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki berkarir bagus.
Tapi ia membatalkan sendiri segala rencana pernikahan lantaran takut
karirnya bakal terganggu. Ia tidak yakin dapat menjadi ibu rumah tangga
yang baik sekaligus menjadi wanita karir yang sukses. Berbeda dengan
Shinta, Eka tidak membenci rumah tangga. Ia respek kepada perempuan-
perempuan yang mau meninggalkan karir demi suami dan anak-anak.
Lain lagi dengan yang sebaya dengannya, sebut saja Tantri. Ia janda
cerai. Rumah tangganya bubar karena suami minggat dengan perempuan
22
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
lain. Tantri sakit hati dan bersumpah tidak akan kembali berumah tangga.
Kini ia memenuhi kebutuhan seksualnya dengan tidur bersama sejumlah laki-
laki yang tergila-gila kepada kemolekan tubuhnya. Banyak orang mencibirkan
sikapnya dan diam-diam menyebutnya pelacur.
Dari kasus-kasus diatas kita melihat ada masalah yang cukup kompleks
dalam kasus perempuan yang tidak kawin. Winda tidak kawin karena tidak
ada laki-laki yang akan mengawini, Astuti terperangkap dalam status yang
tidak jelas, Eka lebih mencintai karir, Shinta punya pandangan miring
terhadap institusi rumah tangga, dan Tantri mengalami trauma kegagalan.
Pertanyaan kita, haruskah mereka ”dipaksa” untuk menikah supaya tidak
terpojok terus-menerus dalam pandangan masyarakat? Apakah mereka tidak
punya hak untuk berpikir realistis dan mempunyai pandangan sendiri tentang
lembaga perkawinan?
Winda bukan tidak ingin kawin. Ia ingin jadi istri, seperti kebanyakan
perempuan lain. Masalahnya, ia harus bersikap realistis dengan kondisi
fisiknya yang tidak begitu menarik bagi laki-laki. Hanya laki-laki ”tersasar”
yang akan menjatuhkan pilihan kepadanya, sebab demikian banyak
perempuan lain yang lebih cantik dan menarik.
Astuti juga harus bersikap realistis, karena itu ia tidak ingin dibunuh oleh
angan-angan yang – menurut dia – tidak mungkin jadi kenyataan. Dalam
ungkapan yang mirip dengan di atas, hanya laki-laki ”tersasar” yang mau
menjadikannya istri. Punya anak luar nikah, atau anak zina, adalah aib besar,
yang dijadikan dasar menilai Astuti sebagai perempuan jalang. Padahal, kata
Astuti, ia diperdaya dengan minuman, kemudian disetubuhi. Hanya satu kali,
namun peristiwa tunggal itu pulalah yang merubah seluruh jalan hidupnya.
Menyadari keadaan dirinya, Astuti tidak mau membayangkan dirinya menjadi
istri seseorang.
Eka juga bersikap realistis dalam kondisi yang berbeda. Kalau Astuti
terpaksa realistis, Eka secara sadar memelihara sikap seperti itu dalam
dirinya. Ia tidak ingin ada yang jadi korban karena keinginannya memburu
karir. Jika ia terus bekerja, tak mungkin ia dapat melayani suami dengan baik,
dan jika punya anak, ia tak mungkin jadi pengasuh yang benar. Seperti
dialami Shinta, ia juga difitnah sebagai perempuan lesbi. Ada juga yang
mengatakan ia membatalkan pernikahan karena takut ketahuan sudah tidak
perawan lagi.
Shinta berada pada kubu yang lain. Ia idealis, tidak bersikap realistis.
Tidak sedikit laki-laki yang mengincar karena sosoknya yang sensual. Tapi ia
terpengaruh oleh pikiran yang memandang negatif rumah tangga, persis se-
perti yang sering ditiup-tiupkan kaum feminis Barat. Ia memang sering
membaca referensi yang terkait dengan gerakan feminis. Karena itu Shinta
setuju pada pikiran yang menganggap rumah tangga sebagai ”barak yang
menyenangkan” atau sangkar emas.
Dengan dasar berbeda, Tantri punya pandangan yang sama dengan
Shinta. Ia tidak tahu apa-apa tentang teori feminis. Sikapnya terbentuk
karena pengalaman langsung.
Perempuan-perempuan yang kita bahas di atas adalah representasi
ribuan perempuan di Indonesia, bahkan di dunia yang hidup melajang.
Kesempatan, pandangan, dan trauma berpilin-pilin dibalik fenoma jomblo
tersebut. Namun, apapun alasannya, akhirnya semua terjebak dalam
masalah kemanusiaan yang hakiki: pemenuhan kebutuhan seksual.
23
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
2
Mengapa Perempuan Kawin?
S
eks memang hanya salah satu alasan mengapa perempuan mau dan
ingin menikah. Keseluruhan, setidaknya ada enam alasan di balik
pilihan itu:1) ingin mendapatkan pasangan seksual tetap dan sah; 2)
mendapatkan keturunan; 3) meningkatkan status; 4) meningkatkan penda-
patan; 5) mendapatkan perlindungan fisik, sosial, dan psikologis; 6)
beribadah. Namun seks paling lazim menjadi sumber perpecahan:
ketidakpuasan yang diikuti perselingkuhan terbukti telah menyebabkan
terjadinya beribu-ribu kasus perceraian.
Perempuan yang percaya bahwa hubungan seks hanya boleh dilakukan
dalam ikatan perkawinan mendambakan suami untuk mendapatkan seks
yang halal. Mereka harus lebih dulu merubah status dari lajang kepada istri
sah sebelum melakukan hubungan seks, sehingga jadi istri akhirnya menjadi
dambaan. Karena itu suami menjadi bagian dari fantasi seksual mereka.
Keturunan paling sering dijadikan alasan bagi perempuan menaiki tangga
pernikahan. Dorongan keluarga, masyarakat dan takut hidup kesepian di hari
tua saling tumpang tindih mendorong perempuan mendambakan dan men-
cari jodoh. Meskipun sebenarnya anak bisa saja diperoleh di luar lembaga
perkawinan, mereka tidak menempuh jalan itu karena menginginkan anak
yang sah secara hukum. Perempuan yang mendambakan anak lebih siap
menghadapi laki-laki yang tidak begitu bagus potensi seksualnya, tapi masih
sanggup membuahi.
Status istri juga didambakan oleh perempuan yang ingin meningkatkan
status dari warga biasa menjadi warga yang lebih terhormat. Alasan inilah
yang menyebabkan perempuan memilih suami dari keluarga-keluarga terpan-
dang, ningrat, atau punya status sosial tinggi dalam masyarakat modern. Me-
reka berharap dengan mengawini laki-laki dari keluarga terpandang status
keluarganya juga terangkat. Dalam alasan ini seks mungkin tetap penting,
karena hal itu manusiawi, tapi mengalahkan keinginan mendapatkan status
sosial tertentu. Oleh sebab itu, mengawini laki-laki yang potensi seksualnya
sudah menurun lantaran usia tidaklah jadi masalah besar.
Mirip dengan alasan kedua, adakalanya perempuan bersedia dinikahi laki-
laki karena pertimbangan harta. Kemewahan hidup dan warisan menjadi
target utama. Kadang mereka tidak berharap banyak untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dari suami, karena dengan harta yang berlimpah mereka
dapat mencari kepuasan seksual dari laki-laki lain secara rahasia.
Alasan keempat bersifat platonik. Perlu diakui, tidak sedikit perempuan
yang bersifat dependen, tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal.
Mereka merasa tidak berdaya kalau tidak didampingi seorang laki-laki yang
sanggup memberikan perlindungan fisik, sosial dan psikologis/emosional.
Perlindungan ini juga dirasakan lebih penting dibandingkan seks, tapi tidak
berarti seks boleh diabaikan begitu saja sepanjang masih memungkinkan.
Perempuan-perempuan tua biasanya mempunyai alasan seperti ini ketika
mereka menikah atau menikah lagi.
Sebagian kecil perempuan menikah dengan alasan ibadah, pengabdian
kepada Tuhan. Alasan seperti ini lazim dijumpai di kalangan aktivis kelompok
keagamaan tertentu, sekalipun kitab suci mereka tidak pernah mewajibkan
24
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
3
Hak Seksual yang Diberangus
M
anipulasi bahasa mempunyai peranan penting dalam mendidik orang,
terutama kaum perempuan, agar menyembunyikan hasrat
seksualnya. Dalam banyak komunitas hingga kini ekspresi seksual
yang terbuka tetap dianggap sebagai pelanggaran atas kesopanan.
Perempuan tetap tidak diharapkan menyampaikan keinginan seksualnya de-
ngan kata-kata lugas dan jujur kepada pasangannya, hanya boleh menggu-
nakan isyarat, itupun dalam ruang dan waktu yang khusus.
Banyaknya rintangan budaya yang dibuat agar ekspresi seksual tidak
muncul secara bebas pada gilirannya menyebabkan perempuan kehilangan
alat untuk mempertanyakan hak-hak seksual mereka. Mereka terperangkap
dalam aturan-aturan dan tabu yang telah ditetapkan ratusan tahun lalu.
Sebagian memang berusaha keluar dari kungkungan dengan menyatakan
keinginannya atas laki-laki secara terbuka, dengan resiko dituduh sebagai pe-
rempuan tidak berbudi, gatal, atau genit. Sebagian lagi dituduh menyukai
sesama perempuan (lesbian) atau frigit ketika mereka secara terbuka pula
mengatakan tidak ingin bersuami. Mereka diperlakukan sebagai orang yang
menggunakan ’alat bicara’ yang ditetapkan bukan sebagai hak mereka.
Dengan adanya batasan-batasan dan tabu itu, hingga kini masih terasa
ganjil jika ada perempuan memutuskan untuk tidak menikah atau
25
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
26
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
27
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
sah pernikahan yang tanpa wali; dan penguasa menjadi wali bagi yang tidak
memiliki wali” (Musnad Ahmad I/250). Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wanita
yang tidak memiliki wali, namun di kampung atau desa tempat tinggalnya
terdapat wali hakim, maka dialah yang berhak menikahkannya (menjadi
walinya). Jika disana terdapat penguasa yang ditaati, maka hendaklah dia
menikahkannya setelah ia sendiri setuju si penguasa itu sebagai walinya”.
Bila diteliti secara mendalam hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal
(Imam Hanbali) maupun fatwa (opini) Ibnu Taimiyah tidak bebas dari
persoalan. Tidak ada kejelasan dari siapa Imam Hanbali mendapatkan kalimat
ucapan Ibu Abbas r.a., padahal penjelasan ini sangat penting untuk
mengetahui otentisitas sebuah hadits. Imam Hambali lahir di Bagdad pada
Rabiulakhir 164 H/Desember 780 dan meninggal Rabiulawal 241 H/Juli 855 M.
Sementara (Abdullah) Ibnu Abbas lahir 3 th Sebelum Hijriah, wafat dalam usia
71 tahun pada tahun 68H. Dengan demikian antara Imam Hanbali dengan
Ibnu Abbas terkait usia 167 tahun. Imam Hambali baru lahir setelah Ibnu
Abbas meninggal 96 tahun sebelumnya. Jelas, mereka tidak pernah bertemu
dan terpisah setidaknya oleh lima generasi (kalau dihitung tiap generasi 20
tahun).
Sementara Ibnu Taimiyah lahir 10 Rabiul Awwal 661 H (1263) dan wafat
(20 Dzulhijjah 728 H (1328). Saking jauh jarak masa hidupnya dengan Ibnu
Abbas maupun Imam Hanbali, jangankan mampu menggambarkan wajah
Ibnu Abbas dan Imam Hanbali dengan benar, dalam membayangkannya pun
Ibnu Taimiyah akan merasakan kesulitan yang sama dengan kita yang hidup
di abad ke-21.
Mengingat begitu jauh jarak waktu antara masa hidup Imam Hanbali dan
Ibnu Taimiyah dengan Rasulullah tentulah sangat riskan menjadikan fatwa
mereka sebagai dasar hukum. Namun anehnya, kita yang hidup di abad ke-
21 menganggap fatwa keduanya sebagai sebuah hukum yang berlaku
mutlak.
4
Wajib Jadi Istri = Mengada-ada ?
K
asus-kasus yang saya kemukakan di awal tulisan ini menegaskan
betapa kaum perempuan tidak punya banyak pilihan, khususnya dalam
perkawinan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tidak
menikah ia dihadapkan kepada berbagai sangkaan yang menyakitkan. Tidak
ada penghargaan terhadap pilihan itu, kendati sangat rasional. Namun ketika
seorang perempuan menyediakan diri untuk menikah, seperti Astuti, ia
ditolak dengan alasan punya anak di luar nikah, oleh sebab itu – menurut
masyarakat -- pastilah ia perempuan bejad. Perempuan hanya boleh dini-
kahkan, bukan menikah yang bisa berkonotasi menikahkan diri sendiri.
Dengan demikian, hak perempuan untuk menikah atau tidak menikah adalah
hak yang ditentukan oleh manusia, bukan Allah SWT. Sebuah kekeliruan yang
telah berlangsung ratusan tahun!
Kasus Astuti makin banyak sejalan makin maraknya perzinahan di tengah
masyarakat. Namun tetap saja belum sebanding dengan kasus Winda yang
28
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
secara moral tidak punya salah apa-apa. Orang-orang seperti Winda menjadi
korban tidak imbangnya perbandingan populasi laki-laki dan perempuan: laki-
laki lebih sedikit sehingga dapat memilih. Winda dan rekannya senasib makin
terpojok karena poligami terlanjur dianggap sebagai perbuatan tercela.
Setiap ummat Islam seharusnya tahu bahwa poligami tidak tercela, halal,
meskipun pada prakteknya sangat berat. Akibat ”pengharaman” terhadap
poligami, Winda dan rekan senasibnya kehilangan kesempatan jadi istri
kedua atau ketiga setelah harapan jadi istri pertama sudah sangat tipis.
Akhirnya kaum perempuan terjepit dalam posisi yang sangat dilematis:
membujang salah, bersedia menikah tidak ada pasangan. Mereka dizalimi
oleh keadaan.
Ketika pilihan untuk membujang dihujat, perkawinan langsung jadi
”wajib” bagi perempuan. Memang bukan kewajiban agama, karena Allah SWT
tidak pernah mewajibkan hal itu kepada individu, tapi kewajiban kultural atau
kewajiban yang berdasarkan kepada fiqih tanpa hujjah yang jelas. Allah SWT
hanya mewajibkan kepada ummat Islam secara keseluruhan dalam
firmanNya yang berbunyi:
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan
hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat
yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (An Nuur:1)
Artinya, masyarakatlah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
kepada Allah SWT untuk mengawinkan orang-orang yang telah pantas kawin,
tidak membiarkan mereka hidup dalam kesendirian. Masyarakat tidak boleh
menjadi penghalang bagi dua insan yang ingin melakukan hubungan seksual
secara sah, dengan alasan diluar ketentuan Allah SWT. Sementara orang-
orang yang sendirian itu tidak dibebani tanggungjawab setara dengan yang
diberikan kepada masyarakat.
Tanggungjawab individu hanya konsekuensi dari perintah yang
disampaikan Allah SWT kepada masyarakat atau ummat Islam disekitarnya.
Dengan demikian kawin bukanlah perintah yang keras atau kewajiban bagi
individu, dan bagi perempuan tidak ada kewajiban untuk menjadi seorang
istri. Meskipun demikian kesediaan menjadi istri (kalau ada calon suami yang
disukai) tetap dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan
29
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
5
Tak Bersuami, Seks dengan Siapa?
P
erempuan membujang/tak bersuami sering dipandang dengan rasa
kasihan sebagai makhluk yang tidak punya kesempatan menyalurkan
syahwatnya. Ada juga yang memandang mereka sebagai makhluk yang
menyia-nyiakan farji (vagina) dan rahim yang telah diberikan Allah SWT
kepada mereka. Lebih hebat lagi, mereka dinilai sebagai orang-orang yang ti-
dak punya kepribadian baik sehingga tidak disukai laki-laki, bahkan kena
kutukan, atau berpotensi mengganggu rumah tangga orang lain dan berzina
untuk menyalurkan syahwatnya. Pendek kata, berbagai keburukan
dituduhkan kepada mereka.
Apapun penilaian masyarakat, itulah realitas pahit yang harus dihadapi
perempuan lajang. Masyarakat tidak mau tahu apa sebabnya seorang perem-
puan membujang: apakah karena kemauan pribadi atau karena sebab-sebab
sosiologis dan politis yang memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk
bersuami?
Tentulah benar, perempuan lajang menghadapi masalah dengan
penyaluran syahwat secara normal, legal dan halal karena ia tidak punya
30
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
6
Tabu Perlu Didobrak
D
engan adanya nikah mut’ah perempuan tidak perlu terlalu berobsesi
menjadi istri dan takut kehilangan karir sebagai perempuan-
perempuan pekerja atau profesional gara-gara menikah. Tanpa status
31
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Bab 3
NIKAH MUT’AH
Jalan Halal untuk Hindari Zina
1
Kembali ke Alquran
K
ini ummat Islam berhadapan dengan dua perkara besar. Pertama,
makin meluasnya perubahan pandangan terhadap seks yang menjurus
kepada kebebasan mutlak. Tidak mungkin dipungkiri bahwa telah
makin banyak ummat Islam yang terlibat dalam perzinahan dan prostitusi,
32
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
33
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
34
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
ngan rasa takut kepada azab Allah SWT di dunia dan akhirat penulis berusaha
mendobrak tabir tersebut. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjelaskan
bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya tentang seks, dengan benar-
benar merujuk kepada Alquran.
Dengan menjelaskan mut’ah kepada pembaca hendaknya tidak diartikan
sebagai bentuk penyebaran paham Syiah, karena hal itu tidak benar sama
sekali. Penulis tidak banyak mengenal paham tersebut. Selain itu, penulis
ingin memulai dari sendiri untuk tidak larut dalam perpecahbelahan ummat
Islam yang dipicu kepentingan politik, bukan untuk menegakkan Asma Allah.
Kini, ummat Islam dari firqah manapun tengah menghadapi persoalan
yang sama, yaitu kehancuran moralitas seksual. Perzinahan, pelacuran,
liwath (homoseksualitas), kehamilan akibat hubungan di luar nikah yang di-
ikuti aborsi tak sehat dan pembuangan bayi ke tong sampah, trafficking (jual-
beli manusia) tumbuh subur bak cendawan di musim hujan di negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim, khususnya Indonesia. Tak sedikit yang
menghubungkan kerusakan moral ini dengan seringnya terjadi bencana alam
di negara-negara tersebut. Lantas, masih adakah alasan bagi kita untuk ber-
pecah belah menghadapi masalah bersama ini? Apakah kepentingan firqah
masih lebih penting dibandingkan kebenaran agama dan kemaslahatan
ummat?
2
Seksualitas dan Ummat
D
omain terpenting yang harus ditemukan dalam Alquran adalah
pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Masalahnya, perzi-
nahan tidak lain adalah bagian dari seksualitas manusia yang terkait
erat dengan sebuah sistem pengaturan prilaku. Tanpa pemahaman kom-
prehensif terhadap seksualitas manusia serta tuntunan Allah SWT mengenai
cara-cara mengendalikannya di tingkat individu dan sosial, maka terbuka
lebarlah jalan bagi munculnya aturan-aturan pseudo-islami (seolah-olah
Islami) yang secara substansial bertentangan dengan ajaran Islam. Hal
terburuk adalah diterimanya aturan yang mengharamkan sesuatu yang telah
dihalalkan Allah SWT, atau sebaliknya. Padahal Allah SWT telah berfirman,
yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al
Maa'idah: 87)
Pertautan antara seksualitas dengan Islam terwujud dalam dua bentuk: 1)
bentuk yang dipraktekkan pada masa kenabian, dan 2) yang dipraktekan
35
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
pada masyarakat setelah masa kenabian, yang dinisbatkan kepada Islam ka-
rena disebut sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Islam. Yang
pertama adalah bentuk yang telah selesai, sementara yang kedua masih
berproses, mulai sejak wafatnya Rasulullah hingga zaman sekarang.
Bentuk yang telah selesai mempunyai hubungan sangat erat dengan apa
yang difirmankan Allah SWT melalui Alquran, sebab merupakan perwujudan
konsep Ilahiah yang langsung didemonstrasikan oleh utusanNya, kemudian
diikuti para sahabat dan pengikut lainnya. Sementara bentuk kedua
menyandarkan nilai-nilainya kepada hasil interpretasi para ulama terhadap
apa yang pernah dipraktekan Rasulullah. Dengan kata lain, kitab fiqih
menjadi rujukan penting dalam menentukan halal atau haramnya sebuah
hubungan, dan jika tidak hati-hati kedudukannya bisa berada di atas Alquran
(hukumnya bisa lebih keras atau lebih lunak dibandingkan hukum Allah SWT
sendiri).
Demikian jauhnya rentang waktu antara masa kenabian dengan masa
sekarang (lebih kurang 1,5 milenium), serta kuatnya kedudukan para ulama
dalam masyarakat menyebabkan konsepsi Ilahiah (yang ada dalam Alquran)
tentang seks mengalami percampuran yang signifikan antara kemurnian
konsep dengan interpretasi/tafsir. Masyarakat yang sangat menggantungkan
pemahaman keagamaannya kepada para ulama serta tidak mampu menafsir-
kan sendiri teks Alquran biasanya mengalami kesulitan membedakan
ketentuan-ketentuan tentang seksualitas berdasarkan sumbernya. Mereka
yang masuk kategori awam cenderung tidak tahu apakah kehalalan sebuah
tindakan bersumber dari Alquran, hadits, atau pendapat para ulama. Pilihan
mereka hanya satu, yaitu mengikuti saja fatwa yang disampaikan para
ulama, kendati fatwa tersebut mungkin pseudo-islami belaka karena telah di-
bebani kepentingan politik atau kepentingan firqah.
Keadaan seperti ini, tanpa banyak disadari telah mengantarkan ummat
Islam ke wilayah yang berbahaya. Pertama, tidak mudah bagi ummat untuk
kembali ke Alquran ketika fatwa-fatwa pseudo-islami tadi ternyata tidak me-
nyebabkan ummat merasakan adanya rahmat, melainkan hanya beban.
Kepercayaan yang terbangun bertahun-tahun, bahkan berabad-abad kepada
kalangan ulama menyebabkan ummat tidak berani belajar sendiri hukum-
hukum Islam langsung ke Alquran. Takut salah! Mereka hanya mampu meng-
harapkan adanya fatwa-fatwa baru yang lebih sesuai dengan harapan, tapi
belum tentu terwujud karena adanya kepentingan politik untuk memper-
tahankan fatwa lama.
Kedua, akan semakin banyak ummat Islam yang menganggap sepi segala
aturan Allah SWT, tetap melangsungkan perbuatan zina, meskipun mereka
masih menjalankan ritual agama dan tampil sebagaimana orang soleh
lainnya. Dengan kata lain, sifat-sifat orang munafik akan menghinggapi
sebagian besar ummat, mulai dari pemimpin sampai pada rakyat jelata. Bila
telah terjadi keadaan seperti ini, tentu yang paling bertanggungjawab
terhadap moralitas masyarakat di akhirat kelak adalah mereka-mereka yang
dianggap sebagai ulil-amri. Masalahnya, apakah para ulil-amri itu masih
mengingat adanya kehidupan setelah mati?
Seks dalam Alquran
Bagaimanakah pandangan Islam tentang seks? Terkait dengan penjelasan
di atas, yang disebut “pandangan Islam” biasanya terbelah menjadi: 1)
36
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
konsep Ilahiah yang hanya ditemukan dalam Alquran, 2) konsep yang meru-
pakan tafsir para ulama terhadap Alquran dan hadits. Kedua konsep ini
mungkin saja sejalan, tapi bisa jadi bersimpang karena adanya kesalahan
dalam menyusun tafsir, atau tafsir sangat terkait dengan konteks waktu,
sehingga tafsir pada zaman tertentu tidak lagi relevan diaplikasikan pada
zaman yang lain.
Selanjunya kita fokuskan perhatian kepada konsep Ilahiah: apa yang ada
dalam Alquran. Tafsir kuno, apalagi yang hemat penulis sudah kehilangan
relevansi dengan keadaan sekarang, tidak akan digunakan untuk membaca
hal-hal yang dianggap mutasyabihaat. Penulis memegang teguh keyakinan
bahwa Alquran diturunkan oleh Allah SWT untuk ummat Islam hingga akhir
zaman, sehingga kontekstualisasi dan aktualisasi pemahaman terhadap ayat-
ayat Allah SWT harus dilaksanakan, dan tidak patut lagi ummat di zaman
sekarang menggantungkan tafsirnya secara penuh kepada para ulama yang
hidup sekian abad yang silam. Seperti halnya pemahaman ummat yang
hidup di zaman ini terhadap kondisi ketika ulama itu hidup, para ulama itu
pun tidak kenal keadaan yang dialami ummat zaman ini, yang hidup dengan
teknologi serba canggih, canggih juga dalam bermaksiat, lebih individualistik,
dan semakin meragukan eksistensi Tuhan.
Konsep Ilahiah tentang seksualitas tersebar dalam paling kurang 79 ayat-
ayat Alquran, terutama di Surat An-Nisaa (17 ayat), Al Baqarah (17), An-Nuur
(10), Al Ahzab (10), Ath Thalaaq (5), Al Mu’minuun, dan Al Maarij (Lihat Tabel
4). Konsep deskriptif yang rinci dan rumit atau bernuansa akademik memang
tidak ditemukan dalam ayat-ayat tersebut, karena – dapat dipahami – itu
bukan tugas kitab suci. Ayat-ayat tersebut merupakan ketetapan hukum yang
harus diyakini dan ditaati, sementara konsep Ilahiahnya tersembunyi di balik
ketetapan tersebut. Tugas kita sebagai ummat Islam adalah memahami kete-
tapan hukumnya, sekaligus menemukan prinsip dan pandangan yang tersirat
atau tersembunyi.
Sejumlah ayat dalam surat yang disebut di atas menetapkan aturan
hubungan antara dua makhluk yang berlainan jenis kelamin. Oleh sebab itu
topik-topik yang dikemukakan adalah seputar masalah nikah, zina, cerai/ ta-
lak, perempuan yang boleh dan haram dinikahi, syarat sah nikah, kewajiban
suami-istri, cara-cara memperlakukan istri, sampai kepada konflik antara
suami-istri (seperti li’an atau menuduh istri berzina).
37
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
8 Al Mumtahanah 2 18 Al Furqaan 1
9 Al Mujaadilah 2 19 Al A’raaf 1
10 Az Zukhruf 1 20 Adz Dzaariyaat 1
3
Konsepsi Ilahiah Tentang Seks
A lquran menyebutkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Firman Allah SWT. :
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri berpasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak berpasangan-
pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar
dan Melihat. (Asy Syuura: 11)
38
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan
hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat
ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (24: 1)
Perintah yang keras itu hendaknya disadari sebagai sebuah peringatan
bahwa membiarkan individu yang membutuhkan penyaluran kebutuhan
biologis (seks) tetap hidup membujang – atau tidak mendapatkan pasangan
yang sesuai untuk menyalurkan dorongan syahwatnya -- pasti akan me-
nimbulkan mudharat bagi individu itu sendiri maupun masyarakat. Jika
perintah ditujukan hanya kepada individu yang membujang akibat buruknya
boleh jadi hanya untuk individu itu saja, tapi dengan adanya perintah kepada
orang-orang di luar diri individu tersebut jelaslah bahwa dampak negatif dari
adanya orang-orang yang hidup membujang akan meluas sampai kepada
masyarakat.
Akibat yang sangat jelas dari terhalangnya penyaluran hasrat seksual
adalah penyakit kejiwaan, prilaku menyimpang, dan tindakan kekerasan.
39
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
40
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
lakang dengan paham yang dianut kaum gerejani: Islam tidak menganggap
seks sebagai kehendak syetan dan tidak pula menjijikkan. Bahkan sebaliknya
menganggap seks sebagai bagian yang penting, yang harus disalurkan dan
tidak boleh dikait-kaitkan dengan kondisi ekonomi seseorang. Orang-orang
miskin atau kaya, berpangkat atau tidak berpangkat, bangsawan atau jelata
mempunyai gairah seksual yang sama, dan kewajiban manusia adalah mem-
fasilitasi sesama manusia, bukan menghalang-halanginya. Lebih tegas lagi,
Alquran (24: 32) memberikan ketetapan wajib kepada ummat manusia secara
bersama-sama (fardhu kifayah) untuk membantu sesama ummat me-
nyalurkan hasrat seksualnya di jalan yang halal. Implikasi hukumnya, perzi-
nahan yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim tidak seutuhnya da-
pat dipandang sebagai kesalahan para pezina itu, melainkan juga bagian dari
kesalahan ummat Islam secara keseluruhan yang telah menghalang-halangi
mereka menikmati seks secara halal.
Dengan demikian pembatasan perkawinan dan penerapan aturan-aturan
buatan manusia yang menyulitkan para lajang atau orang-orang yang mem-
butuhkan penyaluran kebutuhan biologis secara normal, dengan alasan-alas-
an yang tidak merujuk kembali kepada Alquran, dapat dianggap sebagai
perbuatan yang mengingkari dan bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Aturan hanya boleh ditegakkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukum-
hukum yang telah ditetapkan, seperti kewajiban laki-laki membayar mahar
sebelum mencampuri seorang perempuan sebagaimana dikatakan pada
Surat An Nisaa: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (4:4). Namun kewajiban
membayar mahar inipun masih diberi kelonggaran, sesuai kelanjutan ayat di
atas: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas-
kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Hukum lain yang telah ditetapkan adalah larangan menikahi sejumlah
perempuan. Pada Surat An Nisaa (4:23) dijelaskan perempuan-perempuan
mana saja yang tidak boleh dikawini itu, sbb.:
41
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
42
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
32 x Mengawinkan
33 x Mengawini
58 x etika
Al Mu’munuun 6 x Mengawini
Al Baqarah 221 x Perbandingan perempuan
musyrik
Al Ma´aarij 30 x Sda
An Nahl 71 x Pembagian rezeki
Al Mujaadilah 3 x Hukuman menzhihar isteri
Al Maa'idah 89 x kaffarat (melanggar
sumpah)
Ma Malakat Aimanukum
Istilah ma malakat aimaanukum (kadang jadi ma malakat aimanuhum
atau ma makalat aimanuka) digunakan Alquran berulang kali pada ayat-ayat
pada Tabel 5. Arti harfiahnya adalah ”yang ada dalam genggaman tangan
kananmu” (what your right hands possess). Umumnya para ulama, termasuk
pada penerjemah dan penafsir Alquran mengartikan ma malakat
aimaanukum sebagai budak atau hamba sahaya. Apakah memang demikian
terjemahan tepatnya?
Penerjemahan ma malakat aimaanukum menjadi budak atau hamba
sahaya hampir tidak pernah diperdebatkan atau diterima apa adanya. Pada-
hal, implikasinya sangat luas. Orang-orang awam akhirnya dengan mudah
menganggap bahwa ayat yang menggunakan istilah itu tidak lagi berlaku ka-
rena sistem perbudakan telah dihapus. Anggapan demikian bukan saja me-
negasikan atau membantah hukum yang ditetapkan dalam ayat tersebut, ta-
pi lebih berbahaya lagi karena akhirnya menegasikan keberadaan Alquran se-
bagai petunjuk bagi ummat manusia hingga akhir zaman.
Konsekuensi yang paling ringan adalah luputnya perhatian ummat pada
golongan perempuan yang disebut Allah SWT sebagai ma malakat
aimaanukum berikut hak-hak seksualnya. Dengan mempercayai bahwa
Alquran diturunkan untuk digunakan selama-lamanya kita pun wajib meyakini
bahwa ma malakat aimaanukum akan terus ada dalam masyarakat hingga
hari kiamat, tidak hilang karena hapusnya sistem perbudakan.
Kita ulangi lagi pertanyaan, ”Siapakah sebenarnya perempuan ma mala-
kat aimaanukum itu?”
Allah SWT memang tidak menjelaskan arti dari istilah tersebut secara
jelas dalam Alquran. Tapi bukankah manusia dituntut berpikir melalui Kalimat-
ullah seperti afalaa ta’kiluun atau la’allakum tatafakaruun yang diulang
hingga seratus kali? Artinya, adalah tugas kita sebagai ummat Islam meng-
gunakan akal pikiran dan ilmu pengetahuan yang telah dikaruniakanNya
untuk dapat memahami apa maksud yang tersirat dari tanda-tanda maupun
istilah-istilah yang digunakan dalam Alquran.
Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan ma malakat aimaanukum
yang paling penting dipahami adalah setting sosial masyarakat Arab pada
masa kenabian. Ketika Islam turun di Hijaz (Arab Saudi sekarang) pereko-
nomian masyarakat di kawasan itu digerakan oleh kaum budak, mirip dengan
sistem ekonomi Romawi. Sistem ekonomi selanjutnya membentuk stratifikasi
sosial kalangan perempuan. Perempuan yang berasal dari kalangan
bangsawan, punya harta kekayaan dan tidak harus bekerja untuk bisa makan
43
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
disebut ’perempuan merdeka’ (perempuan yang tidak harus bekerja untuk hi-
dup). Status sosial mereka sangat tinggi.
Di pihak lain ada perempuan yang tidak mempunyai harta, alat produksi,
dan harus bekerja untuk dapat hidup. Mereka terikat kepada para tuan yang
memberi mereka pekerjaan dan upah. Perempuan inilah yang disebut oleh
Alquran sebagai ma malakat aimaanukum atau ma malakat aimaanuhum
yang di Indonesia di terjemahkan sebagai ’budak’. Padahal, kalau dicermati,
Alquran tidak menekankan pada status budaknya, karena dalam bahasa Arab
budak itu adalah abd (untuk laki-laki) dan amah (untuk perempuan). Kedua
istilah ini pernah diganti Rasulullah
SAW menjadi fata (untuk laki-laki)
dan fatat (untuk perempuan). Ada Sekarang ma malakat
istilah lain, yaitu rakaba, raqeeq aimanukun masih tetap ada,
dan jariah. Tapi mengapa Allah tidak habis karena berakhirnya
SWT tidak menggunakan istilah-
istilah Arab tersebut untuk ayat-
zaman perbudakan, tapi
ayat yang berkaitan dengan kawin dengan status sosial yang
atau seks? Ini menandakan lebih tinggi, yaitu perempuan-
perempuan ma malakat perempuan karir, para
aimaanukum bukanlah budak pegawai rendah sampai tinggi
dalam konsepsi Arab, tapi go-
(level manejer atau direktur,
longan perempuan yang
mempunyai ciri universal, yang bahkan mentri), atau perem-
ada sepanjang zaman. puan muda yang tergantung
Dalam pandangan yang lebih
makro, mereka adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan pengha-
silan, bukan perempuan yang kaya raya dan dapat hidup tanpa bekerja.
Mereka adalah penerima upah, pegawai, tapi karena tidak ada konvensi
perlindungan terhadap pegawai, mereka diperbudak, dieksploitasi, bahkan
diperjualbelikan.
Sekarang mereka itu masih tetap ada, tidak habis karena berakhirnya
zaman perbudakan, tapi dengan status sosial yang lebih tinggi, yaitu
perempuan-perempuan karir, para pegawai rendah sampai tinggi (level
manejer atau direktur, bahkan mentri), atau perempuan muda yang
tergantung hidup pada orang tuanya. Bedanya, ma malakat aimaanukum
zaman modern telah terlindungi hak-haknya secara hukum, lebih
berpendidikan dan digaji lebih tinggi. Namun, sebagaimana halnya ma
malakat aimaanukum pada zaman Rasulullah SAW, hingga sekarang pun
mereka sulit menjadi istri yang ideal/baik (yang selalu melayani suami) kare-
na harus bekerja, meninggalkan suami, bahkan hingga berhari-hari.
Meminta mereka berhenti bekerja untuk melayani suami tentu bukan
tindakan bijaksana karena dapat merugikan mereka. Juga akan merugikan
masyarakat karena memperkecil partisipasi perempuan di sektor ekonomi. Di
zaman Rasulullah SAW menjadikan mereka sebagai istri dapat berakibat
lumpuhnya ekonomi Hijaz. Bila semua jadi istri, siapa lagi yang mau bekerja?
Tidak mungkin para tuan mau melakukan pekerjaan yang sebelumnya
dipegang oleh ma malakat aimaanukum. Oleh sebab itu, menikahi ma
malakat aimaanukum ditempatkan sebagai alternatif kedua setelah
kebolehan menikahi perempuan merdeka, sebagaimana disebutkan dalam
Surat An Nisaa ayat 25:
44
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbe-
lanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menga-
wini wanita yang beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan beri-
lah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri de-
ngan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang ber-
suami. (Kebolehan mengawini ma malakat aimaanukum) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada ketidakmampuan menjaga diri (dari per-
buatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An Nisaa:25)
Ayat di atas dengan tegas mengatakan bahwa tujuan mengawini ma
malakat aimaanukum adalah untuk menjaga diri, menghindari zina (lihat
bagian yang digarisbawahi – pen). Tidak sama dengan tujuan mengawini
perempuan merdeka. Inilah perkawinan yang disebut mut’ah, yang akan
dijelaskan pada Bagian 5.
Ayat tersebut juga mempertegas bahwa ma malakat aimaanukum tidak
sama derajatnya dengan perempuan merdeka (yang ideal sebagai istri)
dalam konteks perkawinan. Namun dengan derajat demikian Allah SWT tidak
membebani mereka dengan hukuman yang sama dengan perempuan-perem-
puan merdeka jika berzina. Hal ini perlu dipahami sebagai isyarat bahwa
perempuan merdeka yang dijadikan istri mempunyai beban dua kali lebih be-
rat dibandingkan ma malakat aimaanukum dalam hal pengabdian dan ke-
setiaan terhadap suami.
Penegasan Allah SWT tentang adanya dua golongan perempuan sekaligus
mengisyaratkan adanya pilihan bagi perempuan: jadi istri atau jadi ma
malakat aimaanukum. Tidak seluruh perempuan harus jadi istri; mereka bisa
menjadi ma malakat aimaanukum tanpa harus kehilangan hak-hak sek-
sualnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Islam sebenarnya tidak menghen-
daki adanya peran ganda perempuan karena akan sangat memberatkan
hidup mereka.
45
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
4
Jawaban Islam untuk Kondisi Aktual
U
mmat Islam zaman sekarang menghadapi tantangan yang sangat
besar akibat terjadinya perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis, dan
pertumbuhan media komunikasi yang spektakuler. Perubahan sosial menca-
kup perubahan pikiran dan perasaan yang melandasi hubungan-hubungan
antar manusia. Berbagai posisi sosial yang dulu memiliki status terhormat,
lengkap dengan hak-hak istimewanya, sekarang tergusur menjadi posisi yang
tidak lagi begitu dihormati. Guru yang dulunya dihormati, kini tinggal sebagai
profesi biasa yang kehilangan kehormatannya. Perempuan merdeka yang di-
hormati Allah SWT sebagai kalangan yang paling layak untuk menjadi istri
sekarang dianggap sebagai pesakitan yang terpenjara oleh institusi rumah
tangga. Sedangkan ma malakat aimaanukum yang pada zaman Rasulullah
SAW disetarakan dengan budak kini justru lebih dihormati dibandingkan
perempuan yang hanya tinggal di rumah untuk mengurusi anak dan suami.
Pendek kata, ini zaman serba terbalik-balik.
Prilaku seks bebas yang saat ini makin subur di berbagai lapisan masya-
rakat merupakan produk bersama perubahan sosial, perkembangan ilmu pe-
ngetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis dan perkembangan
media. Dengan demikian ia menjadi fenomena yang sangat kompleks, se-
hingga untuk menggiring semua orang kembali menjadi puritan – hanya me-
lakukan hubungan seksual dalam institusi perkawinan yang selama ini diang-
gap sah -- boleh dikatakan sebagai kemustahilan belaka. Seiring dengan per-
jalanan waktu justru eksistensi institusi perkawinan semakin dipertanyakan
derajat kemaslahatannya, karena tidak lagi berfungsi optimal. Nyatanya hu-
bungan seksual tidak lagi terjadi dalam institusi itu saja, anak dibesarkan di
lingkungan sekolah, dan perempuan (istri) tidak dapat menemani suami se-
panjang hari karena bekerja. Kalau begitu, demikian yang bertanya, apa lagi
gunanya institusi perkawinan?
Bagi Islam, institusi perkawinan yang dikonstruksi berdasarkan Alquran
tidak akan pernah kehilangan gunanya, sekalipun zaman telah berubah. Pada
zaman bagaimanapun, zina dan liwath tetap perbuatan keji, karena itu diha-
ramkan. Banyaknya ummat Islam yang terlibat zina atau liwath tidak dapat
menjadi pembenaran bagi perbuatan demikian. Tapi apakah persoalan dapat
selesai begitu saja dengan mengulang-ulang penegasan bahwa perbuatan itu
haram? Realitasnya, sekalipun Islam mengharamkan, ummatnya sendiri di-
am-diam maupun terang-terangan justru membenarkan. Ketetapan Allah
SWT akhirnya tertinggal di belakang, jadi penghias bibir, tidak lagi diamalkan.
Mencermati keadaan demikian kita dihadapkan kepada pertanyaan: Apa-
kah ketentuan Allah SWT akan hancur karena ketetuanNya bertolak belakang
dengan keinginan manusia?
Perzinahan adalah perbuatan yang disebabkan dorongan syahwat. Syah-
wat itu sendiri pemberian Allah SWT kepada manusia, sesuatu yang tidak
diberikan kepada para malaikat. Karena itu tidak ada yang salah dengan
syahwat. Yang dapat disalahkan adalah penggunaan yang diluar ketentuan
yang telah disyariatkanNya.
46
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
47
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
yang berantakan, anak yang tidak terurus atau suami yang terzalimi hak-hak
seksualnya, kemudian berselingkuh dengan pembantu rumah tangga.
Sebagian perempuan lajang sadar, jika memaksakan diri menjadi istri,
mereka akan berhadapan dengan persoalan rumah tangga yang pelik.
Mereka tidak hanya terbebani oleh peran ganda (di rumah dan di luar rumah)
yang pasti sangat melelahkan, tapi juga menyebabkan suami mereka
kehilangan sebagian hak-hak seksualnya, dan mendorong suami
melampiaskan hasrat seksnya kepada perempuan lain. Singkat kata, mereka
mustahil memenuhi kewajiban sebagai istri sebagaimana dikatakan Allah
SWT dalam Alquran. Atas pertimbangan seperti itu pilihan mereka akhirnya
jatuh pada karir dan hidup membujang.
Dengan memilih karir apakah mereka akan menjadi makhluk aseksual
seperti malaikat? Tidak mungkin demikian. Sebagai manusia normal mereka
tetap mempunyai nafsu seks. Suasana seperti zaman kenabian, ketika pe-
rempuan-perempuan pekerja atau para ma malakat aimaanukum
melepaskan hajat seksualnya dengan berzina, sudah terbukti kembali lagi
pada zaman ini. Tidak sedikit perempuan pegawai melakukan zina dengan
pegawai laki-laki sekantor dengannya. Di kota-kota besar sudah sangat lazim
perempuan karir hidup dengan memelihara brondong (laki-laki bayaran yang
tidak menikahi mereka).
Salahkah mereka? Ya. Bagaimanapun zina tetap sebuah perbuatan
terlarang. Tapi tidak adil jika hanya menimpakan kesalahan kepada mereka.
Orang-orang yang menutup jalan yang diberikan Allah SWT juga harus ber-
tanggungjawab. Padahal Allah telah memberikan jalan bagi ma malakat
aimaanukum atau perempuan-perempuan karir yang tidak ingin kehilangan
pekerjaan apabila menikah untuk sekedar boleh menikmati seks yang halal.
5
Nikah Mut’ah
D
engan mencermati Surat An Nisaa (25) dan An Nuur (32) kita
memperoleh kepastian bahwa para perempuan karir itu tidak perlu
menikah da’im yang menyebabkannya harus mengabdi kepada suami
dan berperan ganda. Mereka juga tidak perlu berzina, tapi boleh melakukan
mut’ah barang satu hari, satu minggu atau seberapa ia perlukan untuk
meredakan dorongan syahwatnya. Selama melakukan mut’ah ia tidak dibe-
bani kewajiban sebagai seorang istri: tidak perlu memasak atau mencucikan
pakaian untuk pasangan mut’ahnya.
Apakah benar mut’ah ada dalam Alquran? Para ulama yang percaya bah-
wa mut’ah tidak pernah diharamkan Allah SWT mengatakan kalimat “Fa
mastamta’tum bihi minhunna…” pada
ayat 24 Surat An Nisaa menunjuk kepada
nikah mut’ah. Dalam bahasa Arab, kata
muta, mut’a atau mut’ah adalah akar
kata mastamta’tum.
Dibandingkan poligami yang hanya
ada dalam dua ayat (An Nisaa: 3, 129),
dasar hukum mut’ah justru lebih kuat
48
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
karena terdapat dalam begitu banyak ayat Alquran. Tidak hanya itu. Dalam
hadits pun petunjuk yang membolehkan hubungan seksual dengan ma
malakat aimanukum (dalam nikah mut’ah) sangat banyak.
Mut’ah adalah bentuk perkawinan sementara (sebelum mampu menikah
secara da’im) yang telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, Khalifah Abu
Bakar Siddik, dan sebagian masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Anak Abu
Bakar Siddik, Asma, juga melakukan mut’ah dengan Zubayr al-Sahabi,
melahirkan dua anak: Abdullah ibnu Zubayr dan Urwah ibnu Zubayr.
Tapi mut’ah kemudian dilarang oleh Khalifah Umar bin Khattab setelah
Rabia ibnu Umayya menghamili perempuan yang ia nikahi secara mut’ah (Al
Muwatta, 28.18.42). Khalifah Umar marah, tapi alasannya tidak begitu jelas.
Kemudian Khalifah Umar melarang dua mut’ah, yaitu mut’ah haji dan mut’ah
perempuan. Menurut laporan Ibnu Suwadah kedua larangan itu telah dicabut
oleh Umar saat menerima Ibnu Suwadah yang menyatakan keberatannya, se-
bab mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar Siddik (al-Tabari,
English Version, Vol. 14, hal. 139-140)
Praktek mut’ah dikalangan sahabat membuktikan bahwa mut’ah adalah
halal, disamping adanya ayat-ayat Alquran yang memberi petunjuk, yaitu
ayat-ayat Surat Al Mu’minuun (1-6), Al Maarij (30), An Nisaa (25) dan An Nuur
(33). Kehalalan mut’ah juga dapat merujuk kepada Hadis Sahih Muslim Buku
ke-8 No. 3243 (tentang laporan Abdullah bin Mas’ud), No. 3246 (laporan Jabir
bin Abdullah dan Salama bin al-Akwa), No. 3248 (laporan Ibnu Uraij) dan No.
3250 (laporan Abu Nadra). Sedangkan laporan Sabra al Juhani, anaknya Rabi
dan Umar ibn Abd al-'Aziz yang sering dirujuk – bahkan dijadikan satu-
satunya rujukan oleh kaum Sunni -- untuk mengharamkan mut’ah merupakan
hadits-hadits ahad yang sangat lemah (dhoif) karena tidak didukung oleh
laporan lain. Ibnu al-Qayyim al-Jawziyya, ulama Sunni abad ke-14
mengatakan hadits pelarangan mut’ah yang disampaikan Sabra tidaklah
otentik. Ulama-ulama yang mengkritisi hadis ini merasa heran mengapa
“perkara larangan” yang besar itu hanya disampaikan Rasulullah SAW hanya
kepada Sabra? Mereka bertanya, apakah sahabat lainnya tuli?
Berbeda dengan nikah da’im (permanen), mut’ah adalah pernikahan
berjangka waktu yang disepakati dan disebutkan secara eksplisit sebelum
dibacakan akad nikah. Ulama Syiah menetapkan waktunya mulai dari satu
jam hingga 99 tahun. Syarat sah nikah yang lain, seperti mahar, akad, tidak
ada bedanya. Mut’ah juga mengenal iddah bagi perempuan, tapi lebih
pendek dari yang berlaku pada nikah da’im, yaitu hanya satu kali suci. Aturan
ini disampaikan oleh Ibnu Abbas RA, sahabat Rasulullah SAW yang berdialog
dengan seseorang:
Ibnu Abbas ditanya: apakah mut’ah itu perzinahan atau perkawinan? Ia
menjawab: bukan yang satunya atau yang lainnya. Penanya bertanya lagi:
Jika begitu, apa itu? Ibnu Abbas menjawab: Itu mut’ah, Allah saja yang menga-
takan. Penanya meneruskan: Apakah ada iddah dalam mut’ah? Ia menjawab:
Ya, satu kali suci (menstruasi). Ia juga ditanya: Apakah suami atau istri saling
mewarisi? Ia jawab: Tidak. (dari Imam Fakhr al-Razi, Tafsiir-e-Kabir, Volume 3,
hal. 286)
Iddah satu kali suci ini juga dijelaskan oleh sahabat lainnya yaitu Abu
Sa'id al-Khudri (Hadits Sunan Abu Dawud, Volume 2, No. 2150, Hadits Sahih
Muslim, Buku 8, No. 3432).
49
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Perbedaan lain, dalam mut’ah tidak ada istilah cerai (talak) dan hukum
waris tidak berlaku bagi mereka. Begitu jangka waktu mut’ah yang disepakati
telah habis dengan sendirinya hubungan seksual antara seorang laki-laki de-
ngan seorang perempuan langsung menjadi zina/haram. Bukankah talak
adalah cara memutus perkawinan yang tidak mempunyai batas waktu
(da’im)? Karena batas waktu nikah mut’ah sudah jelas sejak awal, dinyatakan
dalam perjanjian, talak tidak lagi diperlukan. Jika salah seorang diantara
mereka meninggal dalam menjalankan mut’ah mereka tidak saling mewarisi
karena status masing-masing bukanlah suami atau istri.
Tujuan mut’ah semata-mata untuk kesenangan atau kepuasan
seksual, bukan untuk membentuk keluarga dan reproduksi.
Namun apabila terjadi kehamilan, tidak seperti halnya zina, anak tetap
diakui sebagai anak yang sah dan diketahui siapa ayahnya, sehingga ia pun
mempunyai hak waris atas kekayaan ayahnya.
Nikah mut’ah dipraktekkan para mujahiddin dalam peperangan maupun
dalam masa damai dengan perempuan ma malakat aimaanukum. Rasulullah
sendiri mendapatkan izin dari Allah SWT melakukan mut’ah melalui firman-
Nya dalam Surat Al Ahzab:
50
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
6
Penutup
A
llah SWT telah menjelaskan melalui Alquran pandangan Islam tentang
seks berikut jalan untuk menghindari zina. Islam tidak memandang
seks sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari sebagaima-
na diyakini kaum Nasrani. Bahkan, sebaliknya, bagi Islam seks adalah se-
suatu yang harus disalurkan dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat
dalam batas-batasan yang telah ditentukanNya. Namun ”kebebasan seksual”
a la Islam ini telah mengalami degradasi yang menyedihkan karena muncul-
nya berbagai bentuk pengekangan buatan manusia. Akibatnya, karena jalan
yang halal ditutup untuk mereka, demikian banyak ummat yang akhirnya
terjerembab dalam lumpur zina.
51
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
52