You are on page 1of 52

Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

KHATIB MAULANA

ISLAM MENJAWAB
TUNTUTAN SYAHWAT
Antara Zina dan
Mut’ah

Kontak & Konsultasi:

khatibmaulana@yahoo.com
fixtime_mar@yahoo.com

Buku ini tidak dilindungi oleh hak cipta. Anda dapat mengutip,
memperbanyak, bahkan memperdagangkan sepanjang diniatkan untuk
dakwah dan diiringi doa keselamatan bagi penulisnya.

1
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Bab I
ZINA
Ketika Rahmat Menjadi Laknat

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Al Israa':32).

1
Hukum Zina dalam Alquran

A
mina Lawal, menemui ajalnya tahun 2003 setelah dihukum oleh
pengadilan syariah Nigeria. Ia divonis telah berzina dan dihukum mati
dengan cara rajam, dilempari batu. Amina tidak sendirian. Di negara
yang sama dua perempuan lain juga dirajam sampai mati, yaitu Hajara
Ibrahim and Daso Adamu.
Kejadian mengerikan seperti itu tidak hanya terjadi di Nigeria. Pakistan
menerapkan hukum serupa, dan telah menelan korban pula. Pertanyaan kita,
apakah sedemikian keras dan kejamnya hukum Islam terhadap para pezina
atau orang yang dituduh berzina?
Sebagai ummat Islam, pegangan pokok kita adalah Alquran. Hukum
apapun yang mengatasinamakan Islam harus merujuk kepada Alquran. Allah
SWT berfirman,

Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa,.. (Al Baqarah: 2)

Alquran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang meyakini. (Al Jaatsiyah: 20)

(Alquran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan


supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka

2
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (Ibrahim: 52)

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu. (Al Baqarah:147)

Ayat-ayat di atas memberi peringatan kepada kita untuk tidak


menggunakan kitab lain sebagai pedoman hidup maupun dasar hukum.
Kitab-kitab buatan manusia, setinggi apapun pangkat, popularitas dan seda-
lam apapun ilmunya, tidak layak untuk dijadikan pedoman. Cukuplah sekedar
referensi saja. Alih-alih membantu kita mendekatkan diri kepada Allah, jika ti-
dak waspada, kitab itu dapat menyesatkan kita dari jalanNya. Kewaspadaan
sangat penting, sebab sejak dulu kala sampai sekarang banyak sekali kitab
yang mengatasnamakan Islam, tapi ajarannya tidak lebih dari sekedar buah
pikiran manusia, tidak bersandar sepenuhnya kepada Alquran. Sehingga
tidak heran bila kita menemukan hukum-hukum yang seolah-olah hukum
Allah SWT, padahal Alquran tidak mengatakan seperti itu.
Allah SWT memperingatkan kita,

Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang


memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu
menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal
ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang
dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi
Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka
mengetahui. (Ali 'Imran:78)

Kembali ke soal zina. Apakah Allah SWT memerintahkan agar merajam


orang yang dituduh berzina?
Tidak pernah! Allah SWT berfirman,

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka


deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah

3
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh


sekumpulan orang-orang yang beriman. (An Nuur: 2)
Jelas sekali, hukuman untuk laki-laki dan perempuan yang melakukan
zina hanyalah cambuk, bukan rajam. Bagi perempuan ma malakat
aimanukum1 yang berzina hukumannya tidak seratus kali cambuk, tapi hanya
lima puluh (An-Nisaa: 25). Sedangkan bagi istri nabi hukumannya dua kali
lipat orang biasa (Al Ahzab: 30).
Lantas dari manakah munculnya hukum rajam itu? Sumbernya adalah
hadis, riwayat dan sejumlah kitab fiqh. Memang ada riwayat yang
mengatakan, menurut Khalifah Umar bin Khatab, Allah SWT pernah me-
nurunkan ayat yang mengganjar pelaku zina dengan rajam, tapi tidak
dituliskan oleh Zaid bin Tsabit (yang menuliskan Alquran). Alasannya, tidak
ada saksi seorang pun.
Apakah riwayat ini layak dipercaya? Jika kita yakin bahwa Alquran adalah
kitab yang lengkap dan sempurna, riwayat seperti itu tentu berbahaya
karena bisa merusak keyakinan kita terhadap Alquran. Kita kuatir jangan-
jangan nanti timbul prasangka bahwa Alquran sudah dikorup, tidak lengkap,
dan akhirnya tidak layak dipercaya. Naudzubillahi min dzalik!
Oleh karena hukum rajam tidak ada dalam Alquran, kita boleh
mengatakan hukuman itu mengada-ada. Riwayat apapun yang berkaitan
dengan hukum rajam, baik yang ditemukan dalam hadits, riwayat maupun
kitab fiqih adalah bathil. Karena itu ia tidak layak dikutip maupun diceritakan.
Tapi penolakan terhadap informasi tadi tidak berarti kita ingin menolak
seluruh riwayat secara mentah-mentah, karena itu tentu bukan sikap yang
bijaksana. Kita tidak dapat memungkiri bahwa secara umum riwayat, juga ha-
dits, masih tetap diperlukan untuk membantu kita menafsirkan Alquran.
Namun perlu digarisbawahi, sikap kritis tidak boleh hilang dalam membaca
riwayat atau hadits, agar tidak meyakini sesuatu yang bertentangan atau
tidak berpedoman kepada dalil Alquran.
Dalam Islam, zina memang bukan masalah sepele. Zina adalah perbuatan
keji, fahisyah (Al Israa’: 32) . Ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT dalam soal
ini tersebar dalam 12 surat, seperti dalam Tabel berikut:

Tabel 1: Ayat-ayat tentang Zina dan Perbuatan Keji

Nama Surat No Ayat


3. Ali 'Imran 135.
4. An Nisaa' 15. 16. 19. 25. 156.
6. Al An'aam 151
7. Al A'raaf 28, 33.
11. Huud: 78
16. An Nahl 90
17. Al Israa' 32
21. Al Anbiyaa' 74.
24. An Nuur 4, 7. 19. 21.23. 26.

1
Ma malakat aimanukum artinya yang berada ”dalam genggaman tangan
kanananmu”. Istilah ini dalam banyak tafsir diartikan sebagai budak. Arti ini perlu dikritik
karena ma malakat aimanukum menunjuk kepada obyek yang spesifik, bukan budak
dalam pengertian umum. Pengertian yang lebih pas adalah ”perempuan yang tidak
merdeka, tidak punya modal produksi, dan hidupnya tergantung kapada orang lain. Jadi
seperti para pegawai atau karyawan”.

4
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

29. Al 'Ankabuut 45.


33. Al Ahzab 30,32.
65. Ath Thalaaq 1.

2
Berzinakah Mereka?

I
stilah zina sering kita dengar dari para ustad, termasuk jenis-jenisnya. Di-
samping ”zina yang sebenarnya”, disebut juga istilah ”zina mata”, ”zina
hati” dan ”zina telinga”. Pembagian zina seperti ini semuanya hasil
tafsiran, dari hadis ahad yang dirawikan oleh Abu Hurairah (Shahih Muslim
No.4801), yang dalam Alquran sendiri tidak pernah dijelaskan. Dalam Alquran

(QS 40:19) hanya ada ungkapan pandangan yang khianat ( ), yang


oleh mufasirin ditafsirkan sebagai pandangan penuh birahi terhadap wanita
yang bukan muhrim. Tentu saja ini penafsiran yang sangat terbuka untuk
perdebatan karena konteks ayat itu sebenarnya tentang tauhid, tidak punya
pertalian apa-apa dengan nafsu syahwat.
Pengertian “zina yang sebenarnya” adalah hubungan seksual yang
dilakukan di luar ikatan pernikahan (da’im maupun mut’ah) yang sah, tidak
berada di luar batas yang telah ditentukan (seperti larangan-larangan yang
terdapat pada surat An Nisaa’: 23). Apa maksud zina-zina yang lain? Menurut
para ahli agama, bukan menurut Alquran, zina mata adalah saling tatap
penuh nafsu birahi antara laki-laki dan perempuan. Zina hati sama dengan
mengkhayalkan hubungan seksual dengan seseorang, dan zina telinga –
istilah yang jarang digunakan – mungkin percakapan cabul antara dua orang
yang berlawanan jenis. Sebagai sebuah hasil kreativitas berpikir yang
mengandung kebaikan, pembagian-pembagian seperti itu tidak perlu kita
perdebatkan.
Bila zina diartikan sebagai perbuatan keji (fahisyah), maka perbuatan
yang menjijikkan seperti hubungan sejenis (homoseks, lesbian, dan bestial --
hubungan seks manusia dengan binatang) juga dapat dikategorikan sebagai
perbuatan zina. Pengertian ini tentu saja membuahkan persoalan yang cukup
pelik pada tataran syariat karena pengertian zina kehilangan kekhususannya,
padahal hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan (di luar
perkawinan) tidak sama derajat kekejiannya dengan hubungan seksual
sejenis atau antara hubungan seks antara manusia dengan binatang. Untuk
keluar dari masalah ini sebagian mufasirin membedakan antara fahisyah
yang berarti hubungan seks tidak sah antara laki-laki dengan perempuan dan
al-fahisyah yang berarti hubungan sejenis. Kehancuran kaum Nabi Luth yang
menggemari hubungan sejenis menunjukkan kemurkaan Allah SWT yang
lebih besar kepada kaum homo (al-fahisyah) dibandingkan pezina yang
negerinya dibiarkan tetap utuh.

5
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Masalah serius yang kita hadapi bukan hanya pada pengertian istilah
zina, tapi pembuktiannya. Kapan seorang laki-laki dan perempuan dapat
dikatakan berzina sehingga keduanya dapat dihukum? Pembuktian inilah
yang sangat rumit, sekaligus menggiring kita pada ranah berpikir yang lain,
yaitu tentang pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Namun, kita
tuntaskan satu-satu persoalan ini, dengan mendahulukan pembahasan ten-
tang pembuktian zina.
Menuduh orang berzina (melakukan hubungan seksual illegal) tidak boleh
dilakukan asal-asalan, karena tindakan sembrono seperti itu diancam
hukuman yang berat. Allah SWT berfirman,

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau
sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (An-Nisaa':15)

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)


dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik. (An-Nuur: 4).

Dari kedua ayat di atas kita ketahui bahwa pembuktian perbuatan zina
memerlukan empat orang saksi (tidak ditentukan jenis kelaminnya). Jika si
penuduh tidak dapat mengajukan empat orang saksi, maka tuduhan tersebut
dianggap dusta. Karena kebohongan itu, si pendakwa harus diganjar dengan
delapan puluh kali cambuk. Oleh sebab itu, kita tidak dapat secara semena-
mena menuduh seorang perempuan – dengan sendirinya juga laki-laki pasa-
ngannya -- telah berzina, kecuali ingin secara sengaja melakukan dosa.
Sikap hati-hati menuduh orang berzina dapat dicontoh dari Khalifah Umar
bin Khattab ketika mengadili Al- Mughirah ibn Shu’bah. Al-Mughirah dituduh
berzina. Untuk pembuktian didatangkanlah empat orang saksi. Tiga saksi
tidak memberikan keterangan rinci. Saksi keempat mengatakan telah melihat
dua orang dalam kondisi yang mencurigakan. Saksi itu mengatakan, “saya
melihat punggung turun naik, dengus nafas kuat, dan saya melihat kaki
perempuan itu berada di bahu dia (Al-Mughirah) seperti telinga keledai. Saya
tidak tahu lebih dari itu”. Walaupun orang mungkin berpikir bahwa kesaksian

6
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

ini lebih dari cukup untuk mendakwa Al-Mughirah dan pasangannya berzina,
kenyataannya tidak demikian. Dengan alasan bahwa kesaksian keempat laki-
laki itu tidak cukup spesifik (tidak melihat langsung penis memasuki vagina),
Khalifah Umar membatalkan dakwaan. Al Mughirah selamat dari hukuman2.
Orang-orang yang tidak terbukti berzina melalui pembuktian -- seperti
yang dilakukan terhadap Al-Mughira -- tentu tidak layak menerima hukuman
dalam bentuk apapun. Kalau dihukum juga, seringan apapun, hanya karena
dicurigai, mereka jelas-jelas dizalimi orang-orang yang tidak dapat menahan
hawa nafsu. Jika kita taat dan mengimani Alquran, justru yang menghukum
itulah yang pantas dikenai hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
Ironisnya, kita sering mendengar orang diusir karena tertangkap berdua-
duaan di sebuah kamar atau rumah, padahal tidak ada seorang saksipun
yang melihat dukhul (penis memasuki vagina). Ada juga yang dipermalukan
di depan pers setelah kamar hotel tempat keduanya berada didobrak oleh
Satpol Pamong Praja, dan keduanya ditemukan berpakaian lengkap.
Besoknya pers menulis, ”keduanya ditengarai baru selesai melakukan zina”.
Dalam menilai kasus penggrebekan rumah atau hotel ini mari kita lihat
lagi firman Allah SWT:

1. Untuk Satpol Pamong Praja dan masyarakat


biasa:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An Nuur: 27)

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang


lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar. (An Nuur: 23)

2. Untuk Pers:

2
Kisah ini ditulis oleh Muwaffaq Al-Din Ibn Qudamah, dalam Al-Mughni. (Beirut:Dar
al-Kitab al-‘Arabi, n.d) vol. 10 hal. 197-198. Dikutip dari pengutip.

7
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak
mengetahui.(An-Nuur:19)3

Apa pesan yang disampaikan kedua ayat di atas?


Jelas sekali Allah SWT sangat memelihara hak-hak pribadi atau privasi
(privacy) ummatNya. Siapapun tidak boleh berbuat sewenang-wenang
terhadap orang lain, tidak boleh melakukan tindakan brutal untuk mendakwa
orang berzina. Tindakan warga atau Satpol PP yang mendobrak rumah atau
kamar hotel atas nama pemberantasan maksiat jelas sekali bertentangan
dengan Surat An-Nuur 27. Perintah tegas dan langsung untuk memberantas
maksiat tidak ada dalam Alquran, tapi larangan memasuki rumah orang
tanpa izin sedemikian nyata. Jika demikian tindakan warga/tetangga atau
Satpol PP yang menggrebek kamar hotel atau rumah yang disangka jadi
tempat berzina sama saja dengan memberantas maksiat – yang perintahnya
samar-samar -- sambil “menginjak” Alquran.
Lagi pula, penggrebekan penuh kekasaran yang mengatasnamakan ajar-
an Islam justru bertentangan dengan firman Allah SWT berikut:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya. (Ali 'Imran:159)

Pers atau siapapun tidak pula boleh menyebarluaskan berita perzinaan,


apalagi berita tentang kejadian yang tidak dapat dibuktikan. Logikanya, kalau
menyebarluaskan berita perzinaan tidak boleh, mendengarkannya atau
membaca beritanya pun tentu bukan perbuatan terpuji. Apalagi perbuatan

3
Ayat di atas juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk larangan menyebarluaskan
informasi atau bahan-bahan bacaan porno ke tengah orang beriman yang menyebabkan
rusaknya keimanan mereka.

8
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

yang secara sengaja mencari-cari tahu apakah orang-orang tertentu berzina


untuk kemudian disebarluaskan ke tengah masyarakat.
Sekarang kita boleh prihatin dengan keadaan yang kita lihat sehari-hari.
Berita perzinahan dikibar-kibarkan hampir setiap hari melalui media massa.
Banyak orang, khususnya para selebritas, yang dituduh berzina oleh media,
tanpa dapat menyodorkan bukti. Gossip murahan seperti itu jadi jualan
utama media massa karena penikmatnya juga banyak.
Makin nyatalah, kita semakin jauh dari tuntunan Alquran !

3
Mengapa Orang Berzina?

P
ertanyaan “mengapa orang berzina” sangat penting dijawab sebelum
kita bergerak kepada pemberantasan zina. Tanpa mengetahui apa
penyebabnya, kita tidak mungkin mengatasi perzinaan di tengah
masyarakat secara efektif. Kalau perzinaan kita ibaratkan sebagai tumbuhan
berbahaya yang harus dibasmi, kita harus paham bahwa perzinaan itu bukan
hanya masalah yang ada dipermukaan. Ia mempunyai akar yang dalam,
tertanam dalam lahan yang disebut masyarakat.
Jadi, banyak atau sedikitnya perzinaan yang terjadi tergantung kepada
sikap masyarakat terhadap akar perzinaan itu. Oleh sebab itu perzinaan
dapat dikatakan sebagai produk sosial.
Akar perzinaan terbentuk dari dua unsur, yaitu 1) dorongan seksual
(syahwat) dan 2) ketaatan terhadap aturan agama.
1. Syahwat
Syahwat merupakan anugrah Allah SWT kepada makhluknya, kecuali
malaikat, untuk berkembang biak. Tanpa syahwat orang tentu tidak akan
melakukan hubungan seksual. Agar orang bersedia melakukan hubungan
seksual Allah SWT menjadikan syahwat sebagai sebuah kenikmatan ragawi,
sekaligus batiniah.
Terhadap rahmatnya ini, Allah SWT tidak menghendaki manusia
mengingkari dan menjadi kufur nikmat. Oleh sebab itu, kawin merupakan
sunnah. Di mata Allah SWT kawin bukan hanya persoalan individual, tapi juga
merupakan persoalan masyarakat. Firman Allah SWT:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui. (An Nuur:32)

9
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Ayat di atas tidak ditujukan kepada individu yang sudah waktunya


melakukan hubungan seksual, melainkan kepada ummat secara keseluruhan,
yang punya otoritas untuk mengawinkan orang lain, baik karena kedudukan
politis maupun hubungan kekerabatannya dengan individu tadi. Sedangkan
perintah kepada individu yang nadanya kira-kira seperti: “kawinlah kamu
supaya…”, “wajib bagimu kawin…”, atau yang senada dengan itu tidak
pernah dikatakan Allah SWT.
Dari surat An-Nuur: 32 kita dapat menarik pelajaran bahwa Allah SWT
menggariskan bahwa seksualitas manusia bukan urusan individu saja, tapi
urusan orang lain di luar diri individu tadi. Dengan kata lain, urusan masyara-
kat.
Tapi dari dua ayat pada Surat Al-Baqarah (232, 234) digariskan lagi
bahwa otoritas yang diberikan kepada masyarakat bukanlah untuk
menghalang-halangi, kecuali mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Sebaliknya masyarakat harus memberikan jalan agar individu dapat me-
nyalurkan syahwatnya dengan cara-cara yang ma’ruf.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka


janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqarah:232)

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-


isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Al Baqarah: 234)

Melalui ayat-ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah SWT


memperingatkan ummatNya agar tidak membunuh syahwat atau melakukan
selibat sebagaimana dilakukan oleh para pastur. Dengan meyakini bahwa di
balik setiap larangan Allah SWT pasti ada mudharatnya, maka dari ayat-ayat
di atas kita juga mengerti bahwa mengekang syahwat melebihi yang
dibolehkan Allah SWT sudah pasti akan muncul berbagai akibat negatif.

10
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Dari Surat An-Nisaa kita dapat pula melihat betapa Allah SWT
menunjukkan jalan yang terang lagi mudah kepada manusia agar
syahwatnya tersalur secara wajar. Firman Allah SWT:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau ma malakat aimaanukum
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(An Nisaa' 3)

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki. (An Nisaa' 25)
Kedua ayat di atas menunjukkan adanya alternatif-alternatif bagi manusia
untuk menyalurkan syahwat, sesuai dengan kemampuannya. Allah SWT tidak
hanya menyediakan satu jalan, melainkan tiga: 1) poligami, 2) monogami jika
tidak dapat berlaku adil, atau 3) kawini saja ma malakat aimaanukum.
Mengawini ma malakat aimanukum juga jadi pilihan kedua bagi laki-laki
yang tidak sanggup mengawini perempuan merdeka karena alasan ekonomi
(An Nisaa' 25). Bahkan bagi Nabi pun ma malakat aimaanukum adalah se-
buah pilihan yang diberikan Allah SWT setelah beliau dilarang menambah
istri, seperti terdapat dalam surat berikut:

Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak


boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali ma malakat aimanuka yang kamu miliki.
Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (Al Ahzab:52)

Melalui Surat An-Nisaa:25 Allah ingin meringankan beban orang yang


miskin. Seperti difirmankanNya dalam An-Nuur:32, Allah SWT tidak
menginginkan manusia terkekang penyaluran syahwatnya karena alasan
ekonomi atau kemiskinan. Seharusnya ayat ini menjadi pedoman bagi kita
untuk menyadari bahwa orang kaya atau miskin tidak ada bedanya dalam
soal syahwat. Kedua golongan itu dianugrahi dorongan yang sama. Syahwat
dan kemampuan ekonomi harus dilihat sebagai dua entitas yang berbeda.

11
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Oleh sebab itu, mustinya tidak ada diantara kita yang menghalang-halangi
seseorang kawin karena status ekonominya yang rendah.
Penting juga kita mengerti bahwa Allah SWT tidak hendak menyiksa
ummatnya dengan memberi mereka syahwat. Setelah diberi syahwat, Allah
SWT memberikan jalan untuk memenuhi kebutuhan itu. Firman Allah SWT:

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia


dijadikan bersifat lemah. (An Nisaa':28.)

Realitas di Sekitar Kita


Namun, apa yang kita jumpai sekarang? Pengekangan seksual berbau
gereja, disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan ummat
Islam. Pengaturan perkawinan, baik yang dibakukan dalam Undang-undang
Perkawinan maupun yang ditradisikan di tengah masyarakat secara formal
masih mengacu kepada Alquran, tapi substansinya sudah jauh menyimpang.
Undang-undang No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
UU Perkawinan saja) menyatakan bahwa: Pada azasnya dalam suatu perka-
winan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. (Ps.3). Aturan ini
sangat jelas tidak sejalan dengan ayat 3 Surat AnNisaa yang meletakan poli-
gami pada urutan pertama sebelum monogami.
Memang, kesempatan untuk berpoligami tidak ditutup, tapi seorang laki-
laki harus mendapatkan izin dari pengadilan yang hanya akan memberi izin
apabila a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b. Iste-
ri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Ps.4). Aturan seperti ini tidak
mempunyai landasan Quranik sama sekali dan cenderung mengada-ada.
Allah SWT tidak mensyaratkan apapun untuk berpoligami selain keyakinan
akan dapat berlaku adil (An Nisaa: 3 dan 129).
Seorang ulama Mesir terkemuka Syekh Muhammad Abduh menyatakan,
poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya
dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, de-
ngan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar,
4/287). Di Indonesia pikiran Abduh menjadi sandaran bagi penentang
poligami untuk menafikan kehalalan – bahkan upaya mengharamkan --
poligami.
Pertanyaan kita, apa dasarnya Abduh mengatakan bahwa poligami
sebagai sebuah penyimpangan? Sebagai muslim kita boleh bersikap ragu
atas kebenaran fatwa seperti itu, karena Abduh termasuk salah seorang ula-
ma yang sudah terkontaminasi pikirannya oleh pikiran Barat, sekalipun
namanya dibesar-besarkan sebagai tokoh Islam reformis. Dia dikenal sebagai
orang yang punya hubungan baik dengan Lord Cromer dan W.S. Blunt, dua
orang tokoh orientalis yang sangat dikenal di dunia Arab4.
4
Lord Cromer mendirikan Akademi Victoria di Iskandariyah. Tujuannya ialah untuk
medidik generasi anak-anak para pejabat, tokoh dan pembesar dengan pola Inggris agar
mereka bisa menjadi alat transformasi dan penyebaran peradaban Barat di masa
mendatang. Sedangkan W.S. Blunt, seorang orientalis kenamaan yang bersama isterinya
berkeliling di dunia Arab dengan memakai pakaian Arab dan menyeru nasionalisme Arab
serta mendirikan 'Khilafah' Arabiyah sebagai upaya menghancurkan persatuan Islam.

12
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Dalam rangka menghantam poligami, logika aneh lagi menyesatkan


ternyata juga dapat diterima kalangan intelektual, khususnya para penyerang
poligami. Ada ”tokoh agama” yang mengatakan bahwa Allah memang meng-
izinkan poligami, tapi pada dasarnya perkawinan dalam Islam adalah
monogami. Alasannya sangat sederhana: masa perkawinan Rasulullah yang
monogami berjalan lebih panjang (28 tahun) dibandingkan masa beliau
melakukan poligami. Rasul, kata mereka hanya berpoligami selama delapan
tahun, kemudian beliau meninggal.
Pertanyaan kita, apakah Rasul membuat kalkulasi matematis seperti itu,
lalu secara sengaja memendekkan masa poligaminya agar ummatnya lebih
memilih monogami? Apakah dengan logika seperti itu tidak berarti Rasul
sudah tahu kapan beliau akan meninggal? Apakah Rasulullah bukan manusia
biasa yang tidak tahu kapan malaikat maut menjemputnya?
Penentang poligami juga mentertawakan argumentasi kelebihan jumlah
perempuan yang dikemukakan pendukung poligami seraya memperlihatkan
data demografi kota Jakarta. Data itu, yang dikatakan sebagai data Sensus
DKI dan Nasional tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah perempuan usia
25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun lebih sedikit dibandingkan laki-
laki5. Bisakah data ini dipercaya? Coba bandingkan dengan data
kependudukan Sumatera Barat tahun 1999 yang diambil dari Sumatera Barat
dalam Angka 1999:

Tabel 2: Kelebihan Penduduk Perempuan Dibandingkan Laki-laki,


Sumatera Barat 2003 -2005
Usia 2003 2004 2005
20 - 24 30,385 16,472 3,446
25 - 29 27,798 15,242 20,205
30 - 34 6,029 19,245 16,608
35 - 39 9,884 16,886 16,261
40 - 44 11,422 6,307 12,243
85,518 74,152 68,763
Sumber: BPS 2003 - 2005

Dari data di atas kita ketahui bahwa di Sumatera Barat perempuan dalam
rentang usia 20 – 44 memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kelebihan
perempuan usia 20 – 24 tahun cenderung menurun, tapi data dari sumber
yang sama menunjukkan tren menaik pada usia 15 – 19 tahun. Tahun 2004
jumlahnya 2.077, tapi tahun 2005 melonjak jadi 12.593 jiwa.
Di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan pada rentang usia 20
– 39 tahun adalah sbb.:

Tabel 3: Perbandingan Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan,


Indonesia 2005

Pertalian Abduh dengan kedua tokoh orientalis tersebut sangat jelas ditulis oleh Robert
Drayfuss dalam bukunya yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Orkestra
Iblis.
5
Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, ’Benarkah Poligami Sunah..?’, Kompas Cybermedia,
Selasa, 13 Mei 2003

13
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Usia Laki-laki Perempuan Selisih

20-24 9,754,543 10,150,607 396,064


25-29 9,271,546 9,821,617 550,071
30-34 8,709,370 9,054,955 345,585
35-39 8,344,025 8,428,967 84,942
Sumber: BPS 2005

Total kelebihan perempuan dibanding laki-laki pada usia antara 20 – 39


tahun adalah 1.376.662 orang.
Apa artinya data diatas? Pertama, data lokal maupun nasional
mempunyai kecenderungan yang sama pada rentang usia kawin/produktif:
perempuan jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kedua, tanpa poligami
perempuan yang terpaksa hidup sendiri jumlahnya sangat tidak sedikit:
puluhan ribu orang di Sumatera Barat, ratusan ribu di Indonesia. Jadi, argu-
mentasi bahwa poligami penting karena perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki sama sekali tidak keliru, karena itu dapat diper-
tahankan. “Data Sensus DKI” saja tidak dapat dijadikan pedoman untuk
melihat realitas yang sebenarnya.
Pengaruh Kepentingan Luar Islam
Di Indonesia tidak hanya poligami yang dimusuhi. Negara tidak
menganggap sah perkawinan yang tidak tercatat secara resmi di lembaga
pemerintahan, sehingga memungkinkan aparat negara menuduh ummat
Islam yang kawin siri telah melakukan zina. Padahal dalam Islam zina tidak
terpaut apapun dengan legalitas yang diberikan negara.
Nikah mut’ah yang mempunyai dasar sangat kuat dalam Alquran –
khususnya tentang nikah dengan ma malakat aimaanukum -- juga dimusuhi
dan diharamkan. Bukan hanya oleh negara, tapi juga oleh kalangan ulama
Sunni yang menganggap mut’ah sebagai tradisi Syiah, lawan mereka. Dari ar-
gumen-argumen penolakan yang dikemukakan, jelas sekali para ulama Sunni
hanya mendasarkan pendapat mereka kepada golongan (Syiah), bukan hasil
penelusuran yang komprehensif terhadap kandungan Alquran.
Tapi kita paham, permusuhan golongan Sunni dan Syiah sudah ber-
langsung sejak wafatnya Rasulullah, dan sekarang pertikaian itu kembali ber-
darah-darah di Bumi Saddam: Irak. Dalam suasana bermusuhan yang tidak
lagi mengindahkan rasionalitas – bahkan peringatan Allah SWT melalui
Alquran --, apapun kebenaran yang dikatakan lawan akan diterima sebagai
kesesatan. Padahal Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan


berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali 'Imran105)
Demikianlah, karena ”kepintaran manusia” akhirnya kemudahan yang
diberikan Allah SWT kepada manusia untuk menyalurkan syahwatnya secara
ma’ruf jadi tersumbat, menyisakan ruang yang sangat kecil. Larangan-

14
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

larangan yang dibuat negara dan didukung oleh para pemuka agama secara
perlahan tapi pasti menimbulkan citra Islam sebagai agama yang sempit,
yang tidak toleran dan tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan.
Agama yang hanya membatasi, tapi tidak menawarkan solusi. Mereka yang
berusaha mengoreksi akan dicap sebagai golongan sesat, tanpa berusaha
melakukan introspeksi siapa sebenarnya yang telah sesat dan menyesatkan.
Pemikiran yang mengebiri penyaluran syahwat kini sudah diterima oleh
ummat Islam sebagai kebenaran, tanpa sikap kritis. Tidak banyak yang sadar
bahwa pemikiran seperti itu berasal dari doktrin gereja abad pertengahan,
kemudian menyebar ke seluruh dunia pada zaman Ratu Victoria berkuasa di
Inggris. Etika Victorian atau ajaran etis Ratu Victoria dikenal sebagai etika
yang sangat menentang poligami dan mengagungkan keabadian/kekekalan
hubungan laki-laki dan perempuan. Di Indonesia pengaruh itu tampak pada
Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh karena merujuk kepada doktrin gereja dan etika Victoria, UU
Perkawinan menimbulkan dampak yang tidak jauh berbeda dengan yang
ditimbulkan referensinya. Kemunafikan! Sudah menjadi rahasia umum, akibat
pengekangan seksual yang dilakukan gereja ummat Nasrani – termasuk para
pastur – banyak melakukan penyimpangan. Hubungan seksual di luar ikatan
perkawinan jadi alternatif bagi penganut Katolik karena institusi perkawinan
dibentuk menjadi berhala sosial yang harus dipuja. Ummat Katolik memang
mematuhi larangan berpoligami, tapi sepanjang tidak mengkhianati ikatan
perkawinan yang disakralkan itu mereka bebas melakukan perzinahan. Tidak
heran jika saat ini populasi orang-orang Barat yang tidak menikah, hanya
hidup bersama atau berzina, sangat besar. Mereka melahirkan jutaan anak
haram yang kemudian meneruskan tradisi orang tua mereka.
Belakangan, bukan hanya UU Perkawinan yang membuat ummat Islam
semakin terdesak dalam hal penyaluran syahwat. Perkembangan paham
feminis yang mendompleng doktrin gereja mendorong terjadinya kontrol
yang lebih ketat terhadap poligami. Kaum feminis menghasut para
perempuan muslim untuk tidak menerima poligami dengan argumentasi bias
gender dan kekerasan rumah tangga. Padahal, tindakan kekerasan lebih
banyak terjadi pada keluarga monogami ketimbang keluarga poligami.
Tak banyak kaum perempuan yang sadar bahwa kaum feminis telah me-
nyediakan paket pengembangan homoseksualitas dan prostitusi untuk meng-
atasi ketertekanan seksual. Kaum feminis, terutama feminis radikal adalah
pendukung hak-hak kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transexsual) di
seluruh dunia. Mereka juga berjuang untuk dekriminalisasi prostitusi (supaya
pelacur tidak dianggap prilaku kriminal) dan menuntut agar bisnis prostitusi
dianggap sama dengan bisnis jasa yang lain. Di Indonesia perjuangan mereka
berhasil mempopulerkan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial), terjemahan
dari Sex Worker yang mereka anggap sama dengan penyedia jasa lain se-
perti guru, perawat, sopir, pelayan restoran, dan sebagainya.
2. Ketaatan kepada Ajaran Agama

15
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Memang benar, syahwat dapat dikendalikan dengan mematuhi ajaran


agama. Seseorang yang menyadari bahwa zina adalah perbuatan keji dan di-
murkai Allah SWT akan menolak melakukan hal itu. Mereka hanya bersedia
menempuh jalan yang diredhoi Allah SWT, kendati jalan itu, seperti poligami,
kawin siri atau mut’ah sudah dipersempit atau ditutup oleh negara. Bagi
mereka hukuman negara tidak seberapa menakutkan ketimbang hukuman
Allah SWT.
Bila saja seluruh ummat Islam mempunyai sikap seperti itu, tentu
dengan sendirinya praktek zina akan habis dari muka bumi. Ummat Islam
akan terbebas dari ekses negatif dari perzinahan seperti lahirnya anak-anak
haram, aborsi, bisnis prostitusi dan jual beli perempuan (trafficking),
penyebaran penyakit menular seksual (PMS) – termasuk HIV/AIDS yang kini
justru menggerogoti jutaan ummat Islam di seluruh dunia.
Masalahnya, apakah ketaatan seperti itu sesuatu yang real atau hanya
sekedar khayalan? Maraknya perzinaan dan aktivitas pelacuran di negara-
negara yang mayoritas penduduknya muslim membuktikan bahwa ketaatan
kepada agama patut dipertanyakan. Bahkan dapat dipastikan bahwa
ketaatan itu hanya milik sekelompok minoritas muslim yang sungguh-sung-
guh menyadari akan adanya Hari Pembalasan.
Bagaimana dengan mayoritas ummat Islam? Mereka terpecah kepada
dua golongan: pertama yang menganggap zina sebagai perbuatan wajar,
meskipun mereka tidak melakukannya. Kedua, mereka yang tidak mau tahu
lagi dengan peringatan Allah SWT dan memperturutkan hawa nafsu.
Kelompok yang terakhir ini adalah pelaku zina, liwath (homoseksual dan
lesbian), incest (hubungan seksual dengan orang-orang sedarah), dan
bestiality (hubungan seksual dengan hewan).
Apakah ada hubungan antara ketaatan dengan aturan-aturan manusia
yang mempersempit ruang bagi ummat Islam menyalurkan syahwatnya
secara ma’ruf? Beribu-ribu kasus zina dan perkembangan moralitas masya-
rakat Barat membuktikan hubungan itu tidak mungkin disangkal. Seks
adalah kebutuhan syaraf (neuron), sedangkan agama adalah kebutuhan ro-
hani. Ketika syaraf dan rohani berebut untuk dipenuhi kebutuhannya,
manusia cenderung lebih mudah mendahulukan kepentingan syarafnya.
Mereka mudah melupakan larangan agama, lalu berzina, dan menyesal se-
telah itu karena kesadaran agamanya pulih. Sebagian mungkin bertobat dan
bersumpah tidak akan mengulangi perbuatan kejinya. Namun sebagian lain
merasa sudah kepalang basah dan memutuskan untuk tidak berhenti.
Zina pada umumnya terjadi ketika dorongan syahwat tidak dapat
disalurkan secara ma’ruf, ketika jalan-jalan yang dihalalkan Allah SWT
ternyata telah diharamkan oleh manusia. Dorongan syahwat yang secara
lahiriah adalah ketegangan syaraf tidak mudah dimanipulasi, tidak dapat
dilarikan ke kegiatan-kegiatan lain, melainkan harus dikendorkan dengan
melakukan hubungan seksual.
Tidak sedikit orang akhirnya mengalami masalah kejiwaan (histeria atau
psikoneurotik) karena berusaha menahan dorongan syahwatnya. Jadi dapat
dimengerti mengapa Allah SWT tidak menghendaki ummatNya melakukan
puasa seks atau selibat, karena hal itu dapat menimbulkan kerusakan fisik.
Lagi pula, orang yang sedang menghadapi dorongan syahwat sangat kuat
tidak mungkin memusatkan pikirannya kepada kegiatan keagamaan. Ia

16
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

mengalami kesulitan berkonsentrasi dan sering gagal melakukan sholat se-


cara khusyuk.
Rangsangan Seksual Makin Banyak
Kini, sejalan dengan perkembangan teknologi media dan komunikasi
rangsangan ke pusat syaraf yang menimbulkan dorongan syahwat sudah
jadi bagian kehidupan sehari-hari. Berjuta-juta gambar porno dalam bentuk
still-photo maupun video tersedia dan dengan mudah dapat diakses dari
internet. Televisi menyodorkan gambar-gambar perempuan atau laki-laki
yang memicu gairah seksual.
Disamping itu jutaan keping CD/DVD porno bertebaran di tengah
masyarakat. Industri pornografi berkembang dimana-mana. Penelitian
mutakhir mengatakan kini orang Indonesia memproduksi dua film porno
sehari, dengan hanya bermodal kamera handphone. Kini video porno dapat
pula dikirim-kirim melalui handphone dan dikonsumsi oleh para remaja.
Media cetak tidak ketinggalan; tidak sedikit yang menyajikan cerita-cerita
sensual berikut gambar setengah erotik. Semuanya meningkatkan keinginan
melakukan hubungan seksual.
Aktivitas manusia modern yang didominasi oleh penggunaan otak
daripada otot ikut jadi penyebab tingginya kebutuhan melakukan hubungan
seksual. Ketika seluruh perkembangan tadi dikombinasikan dengan pikiran
baru yang ingin mendekonstruksi semua ide dan nilai-nilai lama, muncullah
apa yang disebut Revolusi Seksual. Tak dapat kita sangkal, revolusi itu kini
tengah melanda Indonesia.
Haruskah kita menolak kenyataan seperti itu agar orang tidak berzina?
Menolak secara ideologis mungkin bisa dilakukan, namun implementasinya
di lapangan nyaris tidak masuk akal. Pornografi telah menjadi bagian dari
bisnis raksasa yang beraksi dengan cerdik. Memberantas pornografi boleh
dikatakan sebagai kegiatan sia-sia belaka. Justru ada yang menilai, gagasan
memberantas pornografi adalah pemikiran mundur dan memalukan.
Pemberantasan makin tidak mungkin berhasil kalau kita lihat kaitan
industri pornografi dengan industri hiburan yang umumnya berbau syahwat.
Industri hiburan seperti diskotik, karaoke, bahkan striptease (tari telanjang)
dilegalisasi oleh pemerintah, padahal tempat-tempat seperti itu mempunyai
spirit yang sama dengan pornografi.
Oleh karena itu fatwa-fatwa agar masyarakat menahan diri akan jadi
buih di tengah lautan saja. Bak kata pepatah, “anjing menggonggong,
khafilah tetap berlalu”. Artinya, tidak akan ada yang mendengarkan.
Berpacu di lumpur syahwat sudah jadi bagian hidup manusia modern,
koridor depan Revolusi Seksual yang sedang bergolak.
Alquran Tetap Mampu Menjawab
Masih berdayakah agama menangkal dampak negatif revolusi
seksual? Masih mampukah Alquran memberikan jawaban untuk
menyelamatkan ummat Islam dari zina yang dianggap halal dalam
revolusi tersebut?
Kecuali anda sudah jadi kafir, anda pasti masih percaya bahwa ide-ide
dan petunjuk yang terkandung dalam Alquran tidak akan pernah kalah
menghadapi Revolusi Seksual. Alquran diturunkan Allah SWT untuk pedoman

17
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

kita hingga akhir zaman, masa yang sudah dalam pengetahuan Allah SWT
tentang apa yang terjadi saat itu. Revolusi Seksual berhasil melanda gene-
rasi kita tidak lain karena pada saat yang sama kita sudah mengabaikan
Alquran. Pada saat yang sama kita menoleh pada doktrin yang menyembu-
nyikan ide-ide gerejani atau atheisme dibelakangnya, sehingga akhirnya
anak-anak, bahkan diri kita sendiri menjadi korban.
Kesalahan lain, kita terlalu percaya pada figur tokoh yang terkesan
sebagai orang saleh, ulama berilmu tinggi, tanpa berusaha mengkritisi
kebenaran pendapatnya. Asal ia lancar berbahasa Arab, pernah sekolah di
Mesir atau Arab Saudi, aktif di organisasi keagamaan besar, kita langsung
yakin pendapatnya benar. Padahal, tidak sedikit diantara mereka yang
Snoucker (seperti Snouck Horgronje), ibarat musang berbulu domba: di luar
kelihatan baik, didalamnya sangat jahat dan menyesatkan. Tidak sedikit pula
diantara mereka yang mengandalkan kemampuan melafaskan ayat-ayat
Alquran untuk memutarbalikkan ajaran Islam, baik karena keinginan pribadi
maupun atas pesan sponsor tertentu. Tidak semua orang Arab itu di pihak
kita, karena banyak juga orang Arab yang Nasrani dan bermaksud jahat
terhadap kaum muslimin. Abu Lahab juga orang Arab, dan Allah SWT sudah
menjanjikan neraka untuknya. Sikap tidak kritis kita, antara lain karena ter-
lanjur mengambil jarak dengan Alquran, menyebabkan kita mudah ditipu
dan disesatkan.
Allah SWT memperingatkan,

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang


yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan
(pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk
memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu
kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-
Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak
menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
(At-Taubah:107)

Allah SWT telah membuka jalan-jalan penyaluran syahwat sedemikian


rupa agar ummat Islam tidak terjatuh ke lembah zina. Demikian luasnya
rahmat Allah, sehingga untuk menuduh orang berzina pun harus melalui
pembuktian yang rumit dan kadangkala tidak mungkin dilakukan.
Singkatnya, Allah SWT memang membenci zina, tapi Dia tidak zalim dengan
syahwat yang diberikannya, untuk itu Dia memberikan kelapangan kepada
ummatNya supaya larangan zina tidak dilanggar.
Namun, kini kenyataan pahit yang diawali upaya segelintir manusia
mempersempit “wilayah” yang telah dihalalkan oleh Allah SWT harus kita
hadapi bersama. Ummat Islam yang jatuh ke lembah zina makin hari makin
banyak. Perempuan-perempuan muslim berusia muda terpaksa aborsi
karena hamil di luar nikah, sementara penyakit menular seksual meng-
hinggapi banyak ummat Islam. Akibat adanya aturan (manusia) yang ketat

18
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

terhadap mekanisme penyaluran syahwat, terjadilah pemberontakan moral.


Mereka yang memerlukan hubungan seksual, tapi tidak kuasa menentang
aturan yang berlaku, secara diam-diam melakukan zina.
Ironisnya, setelah zina marak dimana-mana, tak seorang atau tak satu
lembaga pun di negara ini yang merasa bertanggungjawab. Sikap mereka
hanyalah menyalahkan pelaku zina, menangkapi, mempermalukan atau
memenjarakan tanpa kemauan sedikit pun mengevaluasi perbuatan mereka
terhadap masyarakat. Apakah bukan sikap dan tindakan seperti itu yang
dikatakan zalim?

4
Belajar dari Kekeliruan

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al
Maa'idah:87)

K
ini tingkat perzinaan di kalangan ummat Islam sudah sedemikian rupa.
Ribuan orang yang terlahir sebagai muslimah mengais rezeki dari
melacurkan diri, baik sebagai profesional kelas kambing maupun kelas
atas, atau sebagai pelacur amatiran. Ribuan laki-laki muslim berzina dengan
mereka. Ribuan pula perempuan muslimah hamil di luar nikah, kemudian ka-
rena malu mereka menggugurkan kandungan dan membuang janin begitu
saja. BKKBN mengatakan 2,6 juta aborsi terjadi setiap tahun, atau 300 aborsi
per jam. Memang, diantara aborsi itu adalah perempuan yang mengalami
gagal KB, tapi ratusan ribu diantara mereka adalah remaja yang belum
menikah.
Usaha untuk mengatasi zina bukan tidak ada. Ada aturan hukum, ada
perda anti-maksiat. Perempuan-perempuan ditekan agar menggunakan
pakaian yang “sopan”, berjilbab, berbaju longgar, dengan asumsi pakaian
mereka membuat syahwat laki-laki jadi tidak terkendali. Perempuan jadi
tumpuan kesalahan, dianggap iblis yang menyesatkan manusia (laki-laki) ke
lembah zina.
Di tingkat masyarakat, warga sangat sensitif dengan prilaku yang meng-
arah kepada zina di lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka lalu memata-
matai tempat tertentu, kemudian mendobrak rumah yang dicurigai
didalamnya ada orang berzina. Mereka tidak peduli peringatan Allah SWT
agar masuk ke rumah orang setelah mendapat izin dari pemiliknya (An Nuur:
27). Tidak! Mereka seperti perampok yang tidak sabaran. Kemudian, jika me-
reka tidak menemukan bukti perzinahan sebagian dari mereka akan menga-

19
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

rang cerita supaya yang tidak ada jadi ada, yang tidak terbukti jadi terbukti.
Mereka berdalih semua dilakukan “demi moral”, padahal Khalifah Umar bin
Khatab saja sangat berhati-hati menuduh orang berzina.
Ironisnya, tindakan seperti itu seringkali disaksikan dan dibenarkan oleh
tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal alim dan tahu agama. Mereka tidak
berusaha mencegah warga mengingkari perintah Allah SWT, malah ada pula
yang menghasut agar kemungkaran itu dilakukan sambil membawa-bawa na-
ma Allah. Kurangnya pengetahuan warga terhadap firman Allah SWT yang
berkelindan dengan perasaan cemburu dijadikan sumber keuntungan pribadi
oleh sebagian tokoh.
Sementara itu sejak bertahun-tahun lalu tiap sebentar kita disuguhi be-
rita oleh surat kabar atau televisi tentang penggrebekan hotel yang dicurigai
jadi tempat zina, penangkapan pasangan “yang berzina”, atau penggarukan
pelacur yang berkeliaran mencari mangsa. Aparat penggrebek kemudian
tampil di media dengan perasaan puas dan bangga. Mereka berusaha
meyakinkan masyarakat telah memberantas maksiat sesuai dengan perintah
Allah SWT. Tapi tidak pernah jelas, perintah yang mana.
Apa hasilnya? Tindakan itu tidak lebih dari perbuatan sia-sia, mubazir,
namun tetap juga dilanjutkan demi citra “anti maksiat” yang diperlukan
untuk suatu kedudukan politis. Zina tidak pernah berhenti, pelacur semakin
banyak, aborsi juga menjadi-jadi. Anak-anak haram juga makin banyak. Tiap
tahun orang-orang yang kena penyakit kotor dan berbahaya karena zina (GO,
Sipilis, HIV/AIDS) terus bertambah. Anak-anak muda yang seharusnya sudah
menikah tapi terbentur aturan sosial (masih sekolah, belum bekerja, harus
membiayai adik, dsb.) makin berani melakukan hubungan seks bebas.
Sebuah survei yang dilakukan oleh pengamat kesehatan reproduksi remaja
Dr Boy Abidin SpOG di Jakarta bulan Mei 2007 menemukan 22,6% penyebab
kehamilan remaja adalah seks bebas (detik.com). Sementara penelitian Dinas
Kesehatan Sukabumi pada tahun yang sama menemukan pelajar Kota
Sukabumi yang melakukan seks bebas lebih kurang 30% (Hidayatullah.com).
Pendek kata, pemberantasan jadi pekerjaan tak berguna, padahal telah
menghabiskan uang sangat banyak, yang seyogianya dapat digunakan untuk
kemaslahatan lain.
Tindakan aparat yang brutal bukannya membuat orang takut berzina, ta-
pi mencoreng muka seluruh ummat Islam yang dinilai tidak punya sopan
santun, tidak punya kecerdasan, kasar atau brutal. Penilaian itu tidak terlalu
keliru, karena memang peringatan Allah SWT pada ayat 27 Surat An Nuur di-
abaikan secara terang-terangan.
Mengapa tindakan pemberantasan maksiat yang penuh semangat itu ti-
dak ada hasil sama sekali? Kita memang manusia yang sombong dan merasa
mampu, tidak mengakui kelemahan kita. Allah SWT sudah memberikan jalan
yang terbaik kepada ummatNya agar mereka tidak berzina, tapi kita
mengabaikan dan membuat aturan-aturan yang memperturutkan hawa
nafsu.
Pemahaman yang keliru terhadap Alquran telah mendorong orang-orang
yang punya kekuasan mengatur prilaku ummat mengabaikan rahmat Allah
SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Mereka buat aturan yang me-
nyebabkan kelapangan yang diberikan Allah SWT berubah jadi kesempitan.
Apa yang dihalalkan berubah jadi setengah halal bahkan haram dan, kemu-
dian dianggap sebagai kejahatan. Mereka lebih mendengarkan tuntutan ka-

20
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

um feminis yang berusaha keras menyesatkan ummat Islam ketimbang


menelaah dengan obyektif firman-firman Allah SWT.
Media, perbaikan gizi, perubahan pola kerja dari otot ke otak, mobilitas
yang makin tinggi sangat berpengaruh pada dorongan syahwat manusia.
Mereka makin memerlukan seks untuk meredakan ketegangan syaraf. Hal-hal
yang manusiawi inilah yang tidak dipedulikan lagi. Peraturan yang tidak
peduli pada kebutuhan manusia menyebabkan banyak orang memilih zina
ketimbang memenuhi kebutuhan syahwatnya secara halal. Jalan halal terlalu
sulit untuk mereka tempuh.
Tidak ada jalan lain untuk menghindari zina, kecuali kembali kepada
perkataan Allah SWT dalam Alquran. Ini harga mati! Jika tidak, marilah kita
tanggung akibatnya yang sangat buruk.

21
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Bab 2
MENIKAH BAGI
PEREMPUAN
1
Tak Menikah = Masalah ?

T
idak sedikit perempuan yang merasa risih, bahkan rendah diri karena
tidak menikah. Dalam pandangan masyarakat usianya sudah tinggi atau
sudah cukup lama menjanda. Mereka gelisah lantaran sering dipojokkan
sebagai perempuan yang tidak laku dan tidak berharga di mata laki-laki.
Seorang perempuan muda bernama Winda mengaku sudah lama tidak
pulang ke rumah orang tuanya karena alasan pernikahan itu. Setiap ia
pulang, orang tuanya pasti bertanya kapan menikah. Ia tidak bisa menjawab,
sebab tidak tahu akan menikah dengan siapa. Seumur hidup ia belum pernah
punya pacar, dan tidak pernah pula didekati seorang laki-laki dengan niat
hendak berpacaran.
Perempuan lain, Astuti, usia 32 tahun, dengan nada putus asa
menyatakan, ”Mungkin saya tidak akan pernah kawin seumur hidup.”
Mengapa? Ketika berusia 22 ia dihamili salah seorang dosennya, dan
ditelantarkan begitu saja. Dengan seorang anak berusia 9 tahun Astuti punya
status yang tidak jelas: perawan bukan, janda juga bukan. Hanya keajaiban
yang akan mengantarkannya pada seorang laki-laki berjiwa besar yang bisa
menerima keadaannya. Ia terpaksa pasrah sebagai perempuan yang tidak
terjamah laki-laki secara semestinya.
Tapi ada pula perempuan yang tegas-tegas mengatakan tidak akan
menikah seumur hidup. Shinta, perempuan berusia 30 tahun dan berparas
manis itu tidak sudi dijajah kaum laki-laki dalam institusi rumah tangga.
Sikapnya kasar terhadap laki-laki yang berusaha mendekat. Orang
menggosipkannya lesbian, tapi ia membantah keras anggapan itu. “Aku o-
rang beragama!” katanya.
Tidak seperti Shinta, Eka memutuskan untuk hidup membujang setelah
mengalami perdebatan sengit dalam dirinya. Manejer sebuah bank terkenal
itu pernah ingin berumah tangga, jadi istri dan ibu dari anak-anak yang lucu.
Ia pun menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki berkarir bagus.
Tapi ia membatalkan sendiri segala rencana pernikahan lantaran takut
karirnya bakal terganggu. Ia tidak yakin dapat menjadi ibu rumah tangga
yang baik sekaligus menjadi wanita karir yang sukses. Berbeda dengan
Shinta, Eka tidak membenci rumah tangga. Ia respek kepada perempuan-
perempuan yang mau meninggalkan karir demi suami dan anak-anak.
Lain lagi dengan yang sebaya dengannya, sebut saja Tantri. Ia janda
cerai. Rumah tangganya bubar karena suami minggat dengan perempuan

22
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

lain. Tantri sakit hati dan bersumpah tidak akan kembali berumah tangga.
Kini ia memenuhi kebutuhan seksualnya dengan tidur bersama sejumlah laki-
laki yang tergila-gila kepada kemolekan tubuhnya. Banyak orang mencibirkan
sikapnya dan diam-diam menyebutnya pelacur.
Dari kasus-kasus diatas kita melihat ada masalah yang cukup kompleks
dalam kasus perempuan yang tidak kawin. Winda tidak kawin karena tidak
ada laki-laki yang akan mengawini, Astuti terperangkap dalam status yang
tidak jelas, Eka lebih mencintai karir, Shinta punya pandangan miring
terhadap institusi rumah tangga, dan Tantri mengalami trauma kegagalan.
Pertanyaan kita, haruskah mereka ”dipaksa” untuk menikah supaya tidak
terpojok terus-menerus dalam pandangan masyarakat? Apakah mereka tidak
punya hak untuk berpikir realistis dan mempunyai pandangan sendiri tentang
lembaga perkawinan?
Winda bukan tidak ingin kawin. Ia ingin jadi istri, seperti kebanyakan
perempuan lain. Masalahnya, ia harus bersikap realistis dengan kondisi
fisiknya yang tidak begitu menarik bagi laki-laki. Hanya laki-laki ”tersasar”
yang akan menjatuhkan pilihan kepadanya, sebab demikian banyak
perempuan lain yang lebih cantik dan menarik.
Astuti juga harus bersikap realistis, karena itu ia tidak ingin dibunuh oleh
angan-angan yang – menurut dia – tidak mungkin jadi kenyataan. Dalam
ungkapan yang mirip dengan di atas, hanya laki-laki ”tersasar” yang mau
menjadikannya istri. Punya anak luar nikah, atau anak zina, adalah aib besar,
yang dijadikan dasar menilai Astuti sebagai perempuan jalang. Padahal, kata
Astuti, ia diperdaya dengan minuman, kemudian disetubuhi. Hanya satu kali,
namun peristiwa tunggal itu pulalah yang merubah seluruh jalan hidupnya.
Menyadari keadaan dirinya, Astuti tidak mau membayangkan dirinya menjadi
istri seseorang.
Eka juga bersikap realistis dalam kondisi yang berbeda. Kalau Astuti
terpaksa realistis, Eka secara sadar memelihara sikap seperti itu dalam
dirinya. Ia tidak ingin ada yang jadi korban karena keinginannya memburu
karir. Jika ia terus bekerja, tak mungkin ia dapat melayani suami dengan baik,
dan jika punya anak, ia tak mungkin jadi pengasuh yang benar. Seperti
dialami Shinta, ia juga difitnah sebagai perempuan lesbi. Ada juga yang
mengatakan ia membatalkan pernikahan karena takut ketahuan sudah tidak
perawan lagi.
Shinta berada pada kubu yang lain. Ia idealis, tidak bersikap realistis.
Tidak sedikit laki-laki yang mengincar karena sosoknya yang sensual. Tapi ia
terpengaruh oleh pikiran yang memandang negatif rumah tangga, persis se-
perti yang sering ditiup-tiupkan kaum feminis Barat. Ia memang sering
membaca referensi yang terkait dengan gerakan feminis. Karena itu Shinta
setuju pada pikiran yang menganggap rumah tangga sebagai ”barak yang
menyenangkan” atau sangkar emas.
Dengan dasar berbeda, Tantri punya pandangan yang sama dengan
Shinta. Ia tidak tahu apa-apa tentang teori feminis. Sikapnya terbentuk
karena pengalaman langsung.
Perempuan-perempuan yang kita bahas di atas adalah representasi
ribuan perempuan di Indonesia, bahkan di dunia yang hidup melajang.
Kesempatan, pandangan, dan trauma berpilin-pilin dibalik fenoma jomblo
tersebut. Namun, apapun alasannya, akhirnya semua terjebak dalam
masalah kemanusiaan yang hakiki: pemenuhan kebutuhan seksual.

23
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

2
Mengapa Perempuan Kawin?

S
eks memang hanya salah satu alasan mengapa perempuan mau dan
ingin menikah. Keseluruhan, setidaknya ada enam alasan di balik
pilihan itu:1) ingin mendapatkan pasangan seksual tetap dan sah; 2)
mendapatkan keturunan; 3) meningkatkan status; 4) meningkatkan penda-
patan; 5) mendapatkan perlindungan fisik, sosial, dan psikologis; 6)
beribadah. Namun seks paling lazim menjadi sumber perpecahan:
ketidakpuasan yang diikuti perselingkuhan terbukti telah menyebabkan
terjadinya beribu-ribu kasus perceraian.
Perempuan yang percaya bahwa hubungan seks hanya boleh dilakukan
dalam ikatan perkawinan mendambakan suami untuk mendapatkan seks
yang halal. Mereka harus lebih dulu merubah status dari lajang kepada istri
sah sebelum melakukan hubungan seks, sehingga jadi istri akhirnya menjadi
dambaan. Karena itu suami menjadi bagian dari fantasi seksual mereka.
Keturunan paling sering dijadikan alasan bagi perempuan menaiki tangga
pernikahan. Dorongan keluarga, masyarakat dan takut hidup kesepian di hari
tua saling tumpang tindih mendorong perempuan mendambakan dan men-
cari jodoh. Meskipun sebenarnya anak bisa saja diperoleh di luar lembaga
perkawinan, mereka tidak menempuh jalan itu karena menginginkan anak
yang sah secara hukum. Perempuan yang mendambakan anak lebih siap
menghadapi laki-laki yang tidak begitu bagus potensi seksualnya, tapi masih
sanggup membuahi.
Status istri juga didambakan oleh perempuan yang ingin meningkatkan
status dari warga biasa menjadi warga yang lebih terhormat. Alasan inilah
yang menyebabkan perempuan memilih suami dari keluarga-keluarga terpan-
dang, ningrat, atau punya status sosial tinggi dalam masyarakat modern. Me-
reka berharap dengan mengawini laki-laki dari keluarga terpandang status
keluarganya juga terangkat. Dalam alasan ini seks mungkin tetap penting,
karena hal itu manusiawi, tapi mengalahkan keinginan mendapatkan status
sosial tertentu. Oleh sebab itu, mengawini laki-laki yang potensi seksualnya
sudah menurun lantaran usia tidaklah jadi masalah besar.
Mirip dengan alasan kedua, adakalanya perempuan bersedia dinikahi laki-
laki karena pertimbangan harta. Kemewahan hidup dan warisan menjadi
target utama. Kadang mereka tidak berharap banyak untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dari suami, karena dengan harta yang berlimpah mereka
dapat mencari kepuasan seksual dari laki-laki lain secara rahasia.
Alasan keempat bersifat platonik. Perlu diakui, tidak sedikit perempuan
yang bersifat dependen, tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal.
Mereka merasa tidak berdaya kalau tidak didampingi seorang laki-laki yang
sanggup memberikan perlindungan fisik, sosial dan psikologis/emosional.
Perlindungan ini juga dirasakan lebih penting dibandingkan seks, tapi tidak
berarti seks boleh diabaikan begitu saja sepanjang masih memungkinkan.
Perempuan-perempuan tua biasanya mempunyai alasan seperti ini ketika
mereka menikah atau menikah lagi.
Sebagian kecil perempuan menikah dengan alasan ibadah, pengabdian
kepada Tuhan. Alasan seperti ini lazim dijumpai di kalangan aktivis kelompok
keagamaan tertentu, sekalipun kitab suci mereka tidak pernah mewajibkan

24
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

perempuan menikah. Kelompok mereka menjadikannya wajib karena perem-


puan-perempuan diposisikan sebagai ”mesin beranak” yang akan
memproduksi kader-kader jihad.
Pada prakteknya, jarang perempuan kawin dengan alasan tunggal.
Umumnya mereka punya dua, tiga atau empat alasan sekaligus, seperti seks,
keturunan, dan perlindungan. Atau seks, keturunan, ibadah, dan perlindung-
an. Seks mungkin muncul pada gugus alasan tertentu, tapi mungkin juga
tidak muncul sama sekali, seperti pada alasan-alasan platonik.
Uniknya, pemenuhan kebutuhan seksual jarang diakui secara terus-
terang sebagai tujuan utama perkawinan. Padahal sangat sering kita dengar
adanya rumah tangga yang retak gara-gara ketidakpuasan seksual. Suami
berselingkuh dengan pembantu, pelacur, atau teman sekantor, meniduri
anak tiri atau anak kandung, sementara istri berzina dengan pemuda
tetangga, teman sekantor atau atasannya. Kita dengar juga ada pasangan
suami istri selalu bertengakar dan akhirnya bercerai karena suami impoten
atau penis tidak sanggup ereksi lama, dan sebagainya. Pendeknya, seks
menjadi suatu yang sangat penting dalam perkawinan, khususnya bagi
pasangan yang masih mempunyai potensi seksual.
Namun masyarakat, dengan segala kemunafikan berusaha memanipulasi
dorongan seksual atau praktik hubungan seksual dalam kata-kata yang perlu
ditafsirkan agar dapat dimengerti. Misalnya, melakukan hubungan seks (coi-
tus) ”dihaluskan” dengan kata bergaul. Kenikmatan seksual dimanipulasi jadi
kebahagiaan rumah tangga. Penghalusan ini memang terasa lebih sopan dan
beradab dalam citarasa bahasa tertentu, tapi sekaligus memperlihatkan ren-
dahnya tingkat kejujuran dalam melukiskan sebuah aktivitas yang
sesungguhnya sangat lazim dan alamiah.

3
Hak Seksual yang Diberangus

M
anipulasi bahasa mempunyai peranan penting dalam mendidik orang,
terutama kaum perempuan, agar menyembunyikan hasrat
seksualnya. Dalam banyak komunitas hingga kini ekspresi seksual
yang terbuka tetap dianggap sebagai pelanggaran atas kesopanan.
Perempuan tetap tidak diharapkan menyampaikan keinginan seksualnya de-
ngan kata-kata lugas dan jujur kepada pasangannya, hanya boleh menggu-
nakan isyarat, itupun dalam ruang dan waktu yang khusus.
Banyaknya rintangan budaya yang dibuat agar ekspresi seksual tidak
muncul secara bebas pada gilirannya menyebabkan perempuan kehilangan
alat untuk mempertanyakan hak-hak seksual mereka. Mereka terperangkap
dalam aturan-aturan dan tabu yang telah ditetapkan ratusan tahun lalu.
Sebagian memang berusaha keluar dari kungkungan dengan menyatakan
keinginannya atas laki-laki secara terbuka, dengan resiko dituduh sebagai pe-
rempuan tidak berbudi, gatal, atau genit. Sebagian lagi dituduh menyukai
sesama perempuan (lesbian) atau frigit ketika mereka secara terbuka pula
mengatakan tidak ingin bersuami. Mereka diperlakukan sebagai orang yang
menggunakan ’alat bicara’ yang ditetapkan bukan sebagai hak mereka.
Dengan adanya batasan-batasan dan tabu itu, hingga kini masih terasa
ganjil jika ada perempuan memutuskan untuk tidak menikah atau

25
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

menikahkan diri sendiri. Padahal, perempuan mempunyai hak untuk memilih


salah satu dari kedua bentuk keputusan itu. Pemberangusan hak perempuan
berjalan seiring dengan kemauan mendorong perempuan hanya memilih satu
jalan dalam hidupnya: dinikahkan (dengan persetujuan pihak kerabat/wali).
Karena itu kawin paksa dianggap sah. Mendesak perempuan yang ingin
membujang untuk menikah juga soal biasa, tanpa peduli konflik batin yang
dihadapi perempuan tersebut. Sementara persetujuan wali diletakkan
sebagai unsur sangat penting sebelum pernikahan terjadi, karena perempuan
dianggap tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Bukan
pula karena syariat agama yang hakiki, tapi syariat yang dibuat-buat secara
berlebihan. Masalah wali ini akan dibahas lebih jauh pada Bagian 3.
Peran wali yang sangat besar ini agak mengherankan. Pasalnya, dalam
Alquran tak terdapat sepotong ayat pun yang mewajibkan sebuah pernikahan
harus melalui persetujuan wali. Hanya ada tiga ayat yang merujuk kepada
wali nikah, yaitu Al Baqarah 232, 234 dan 237, sbb.:

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka


janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (2:232)

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-


isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (2:234)

26
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan


mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
segala apa yang kamu kerjakan. (2: 237)

Ayat 2:232 memberi peringatan kepada manusia (tidak digunakan kata


auliyaa tapi diterjemahkan sebagai para wali, dan tidak jelas siapa mereka)
agar tidak menghalangi perempuan janda menikah kembali. Ayat 2:234
mengulangi peringatan pada ayat sebelumnya. Sedangkan pada ayat 2:237
menjadi semakin tidak jelas lagi kedudukan wali. Tapi mengapa kemudian
wali jadi syarat wajib dalam pernikahan? Dasarnya tidak lain adalah kitab-
kitab yang dibuat oleh manusia sebagai hasil interpretasi atas firman Allah
SWT, bukan Alquran, dan hukum wajib adanya persetujuan wali itu
mempunyai kecenderungan politis, mengada-adakan sesuatu yang tidak
pernah ada (tidak pernah diwajibkan), dan karena itu sangat sulit dipertang-
gungjawabkan di hadapanNya.
Sebagian orang boleh saja berpendapat bahwa persetujuan wali itu ada
pada ayat 25 Surat AnNisaa yang berbunyi faankihuhunna biizni ahlihinna
(diterjemahkan sebagai ‘kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka’). Tapi
harus diingat, perintah itu tidak berlaku umum, melainkan khusus untuk
nikah dengan perempuan ma malakat aimanukum (lit: yang ada dalam
genggaman tangan kananmu). Oleh karena Allah SWT menggunakan kata
ahl, bukan auliyaa (seperti pada surat 10:62, 3:28, 4:144, 9:23), maka
penetapan siapa sebenarnya orang itu, dan apa hubungannya dengan
individu ma malakat aimanukum harus dilakukan secara hati-hati. Kata ahl
dapat sama sekali tidak mengacu kepada diri seorang tuan atau induk
semang, tapi pada ‘diri’ yang lain, atau dirinya sendiri karena ia tidak
mempunyai majikan atau tuan.
Secara mengherankan, ketentuan yang samar-samar ini sering menjadi
batu sandungan bagi perempuan untuk menikah. Tanpa persetujuan wali,
baik dalam soal asal-usul calon mempelai pria, tata cara melamar, hari
pernikahan, besaran mahar, sebuah pernikahan bisa batal. Wali dapat
menompangkan berbagai kepentingan yang memberatkan perempuan,
namun menguntungkan bagi wali tersebut. Kalaupun si perempuan
bersikeras tidak mematuhi ia harus siap berhadapan dengan berbagai
konsekuensi.
Dasar hukum wajib adanya wali adalah hadits dan tafsir. Ahmad bin
Hanbal meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.: Rasullullah SAW bersabda, “Tidak

27
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

sah pernikahan yang tanpa wali; dan penguasa menjadi wali bagi yang tidak
memiliki wali” (Musnad Ahmad I/250). Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wanita
yang tidak memiliki wali, namun di kampung atau desa tempat tinggalnya
terdapat wali hakim, maka dialah yang berhak menikahkannya (menjadi
walinya). Jika disana terdapat penguasa yang ditaati, maka hendaklah dia
menikahkannya setelah ia sendiri setuju si penguasa itu sebagai walinya”.
Bila diteliti secara mendalam hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal
(Imam Hanbali) maupun fatwa (opini) Ibnu Taimiyah tidak bebas dari
persoalan. Tidak ada kejelasan dari siapa Imam Hanbali mendapatkan kalimat
ucapan Ibu Abbas r.a., padahal penjelasan ini sangat penting untuk
mengetahui otentisitas sebuah hadits. Imam Hambali lahir di Bagdad pada
Rabiulakhir 164 H/Desember 780 dan meninggal Rabiulawal 241 H/Juli 855 M.
Sementara (Abdullah) Ibnu Abbas lahir 3 th Sebelum Hijriah, wafat dalam usia
71 tahun pada tahun 68H. Dengan demikian antara Imam Hanbali dengan
Ibnu Abbas terkait usia 167 tahun. Imam Hambali baru lahir setelah Ibnu
Abbas meninggal 96 tahun sebelumnya. Jelas, mereka tidak pernah bertemu
dan terpisah setidaknya oleh lima generasi (kalau dihitung tiap generasi 20
tahun).
Sementara Ibnu Taimiyah lahir 10 Rabiul Awwal 661 H (1263) dan wafat
(20 Dzulhijjah 728 H (1328). Saking jauh jarak masa hidupnya dengan Ibnu
Abbas maupun Imam Hanbali, jangankan mampu menggambarkan wajah
Ibnu Abbas dan Imam Hanbali dengan benar, dalam membayangkannya pun
Ibnu Taimiyah akan merasakan kesulitan yang sama dengan kita yang hidup
di abad ke-21.
Mengingat begitu jauh jarak waktu antara masa hidup Imam Hanbali dan
Ibnu Taimiyah dengan Rasulullah tentulah sangat riskan menjadikan fatwa
mereka sebagai dasar hukum. Namun anehnya, kita yang hidup di abad ke-
21 menganggap fatwa keduanya sebagai sebuah hukum yang berlaku
mutlak.

4
Wajib Jadi Istri = Mengada-ada ?

K
asus-kasus yang saya kemukakan di awal tulisan ini menegaskan
betapa kaum perempuan tidak punya banyak pilihan, khususnya dalam
perkawinan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tidak
menikah ia dihadapkan kepada berbagai sangkaan yang menyakitkan. Tidak
ada penghargaan terhadap pilihan itu, kendati sangat rasional. Namun ketika
seorang perempuan menyediakan diri untuk menikah, seperti Astuti, ia
ditolak dengan alasan punya anak di luar nikah, oleh sebab itu – menurut
masyarakat -- pastilah ia perempuan bejad. Perempuan hanya boleh dini-
kahkan, bukan menikah yang bisa berkonotasi menikahkan diri sendiri.
Dengan demikian, hak perempuan untuk menikah atau tidak menikah adalah
hak yang ditentukan oleh manusia, bukan Allah SWT. Sebuah kekeliruan yang
telah berlangsung ratusan tahun!
Kasus Astuti makin banyak sejalan makin maraknya perzinahan di tengah
masyarakat. Namun tetap saja belum sebanding dengan kasus Winda yang

28
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

secara moral tidak punya salah apa-apa. Orang-orang seperti Winda menjadi
korban tidak imbangnya perbandingan populasi laki-laki dan perempuan: laki-
laki lebih sedikit sehingga dapat memilih. Winda dan rekannya senasib makin
terpojok karena poligami terlanjur dianggap sebagai perbuatan tercela.
Setiap ummat Islam seharusnya tahu bahwa poligami tidak tercela, halal,
meskipun pada prakteknya sangat berat. Akibat ”pengharaman” terhadap
poligami, Winda dan rekan senasibnya kehilangan kesempatan jadi istri
kedua atau ketiga setelah harapan jadi istri pertama sudah sangat tipis.
Akhirnya kaum perempuan terjepit dalam posisi yang sangat dilematis:
membujang salah, bersedia menikah tidak ada pasangan. Mereka dizalimi
oleh keadaan.
Ketika pilihan untuk membujang dihujat, perkawinan langsung jadi
”wajib” bagi perempuan. Memang bukan kewajiban agama, karena Allah SWT
tidak pernah mewajibkan hal itu kepada individu, tapi kewajiban kultural atau
kewajiban yang berdasarkan kepada fiqih tanpa hujjah yang jelas. Allah SWT
hanya mewajibkan kepada ummat Islam secara keseluruhan dalam
firmanNya yang berbunyi:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (An Nuur:32)
Kenapa dikatakan wajib? Surat An-Nuur dimulai dengan peringatan yang
keras:

(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan
hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat
yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (An Nuur:1)
Artinya, masyarakatlah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
kepada Allah SWT untuk mengawinkan orang-orang yang telah pantas kawin,
tidak membiarkan mereka hidup dalam kesendirian. Masyarakat tidak boleh
menjadi penghalang bagi dua insan yang ingin melakukan hubungan seksual
secara sah, dengan alasan diluar ketentuan Allah SWT. Sementara orang-
orang yang sendirian itu tidak dibebani tanggungjawab setara dengan yang
diberikan kepada masyarakat.
Tanggungjawab individu hanya konsekuensi dari perintah yang
disampaikan Allah SWT kepada masyarakat atau ummat Islam disekitarnya.
Dengan demikian kawin bukanlah perintah yang keras atau kewajiban bagi
individu, dan bagi perempuan tidak ada kewajiban untuk menjadi seorang
istri. Meskipun demikian kesediaan menjadi istri (kalau ada calon suami yang
disukai) tetap dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan

29
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

membujang. Dengan menjadi istri seorang perempuan telah membantu ma-


syarakat menjalankan sebagian dari kewajibannya melaksanakan perintah
Allah SWT.
Maka jelaslah, pelecehan atau pandangan miring terhadap perempuan
yang membujang tidak bersandar kepada firman Allah SWT. Memojokkan
perempuan membujang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
berlebih-lebihan. Dapat pula dikatakan sebagai pengalihan kewajiban secara
semena-mena dari masyarakat ke individu perempuan. Kesemena-menaan
makin terlihat ketika kewajiban itu dibebankan di tengah-tengah sulitnya
mendapatkan suami akibat sedikitnya laki-laki dibandingkan perempuan.
Kewajiban perempuan menjadi istri, yang adakalanya berbuah kawin
paksa, datang dari masyarakat yang menetapkan hukum-hukum sosial lebih
penting daripada hukum agama, tanpa ada keinginan untuk bersikap lentur
terhadap kondisi yang sedang dihadapi. Tak ada pula keinginan memikirkan
jalan keluar yang sesuai dengan zamannya. Alquran yang seharusnya
menjadi pedoman dalam menetapkan hukum-hukum sosial justru diabaikan,
atau didustakan (dimanipulasi).
Pada sisi lain, masyarakat juga adakalanya melakukan persekongkolan
untuk mempersulit pernikahan dengan menetapkan berbagai syarat yang
tidak pernah difirmankanNya. Untuk apa lagi semua itu kalau bukan untuk
memperlihatkan kekuasaan kepada orang-orang yang sedang mem-
butuhkan? Syarat yang bermacam-macam akhirnya menambah sempitnya
ruang gerak bagi perempuan, membuat mereka semakin terjepit.
Sangat disayangkan, terhadap kewajiban sosial yang berlebihan dan
salah kaprah ini para ulama cenderung diam atau tidak menunjukkan
sikapnya. Padahal masyarakat sangat memerlukan penjelasan mereka bahwa
dalam Islam perempuan dapat memilih: jadi istri atau tidak jadi is-
tri/membujang. Tentu saja setiap pilihan mempunyai konsekuensi sendiri-
sendiri bagi individu perempuan maupun masyarakat.

5
Tak Bersuami, Seks dengan Siapa?

P
erempuan membujang/tak bersuami sering dipandang dengan rasa
kasihan sebagai makhluk yang tidak punya kesempatan menyalurkan
syahwatnya. Ada juga yang memandang mereka sebagai makhluk yang
menyia-nyiakan farji (vagina) dan rahim yang telah diberikan Allah SWT
kepada mereka. Lebih hebat lagi, mereka dinilai sebagai orang-orang yang ti-
dak punya kepribadian baik sehingga tidak disukai laki-laki, bahkan kena
kutukan, atau berpotensi mengganggu rumah tangga orang lain dan berzina
untuk menyalurkan syahwatnya. Pendek kata, berbagai keburukan
dituduhkan kepada mereka.
Apapun penilaian masyarakat, itulah realitas pahit yang harus dihadapi
perempuan lajang. Masyarakat tidak mau tahu apa sebabnya seorang perem-
puan membujang: apakah karena kemauan pribadi atau karena sebab-sebab
sosiologis dan politis yang memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk
bersuami?
Tentulah benar, perempuan lajang menghadapi masalah dengan
penyaluran syahwat secara normal, legal dan halal karena ia tidak punya

30
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

suami. Apalagi di tengah masyarakat yang hanya memberikan satu pilihan,


yaitu menjadi istri, agar bisa menyalurkan syahwatnya tanpa celaan. Tidak
ada lagi pilihan di luar itu. Pikiran demikian sejalan dengan ’hukum wajib
bersuami’ atau ’hukum wajib kawin’ yang tadi kita bicarakan.
’Hukum wajib bersuami/kawin’ itulah yang perlu dikritisi dan digugat.
Bagaimana mungkin perempuan dapat bersuami atau kawin ketika jumlah
perempuan jauh melampaui laki-laki dan poligami dipersulit? Apakah tidak
ada alternatif lain bagi perempuan selain bersuami agar dapat menikmati
seks secara halal?
Disinilah nikah mut’ah atau nikah temporer dapat tempat yang sangat
penting. Allah SWT melalui lebih kurang 10 ayatnya yang tersebar dalam 5
surat telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi kita untuk menerima
mut’ah sebagai jalan halal bagi perempuan lajang memperoleh hak-hak
seksualnya. Kelima surat tersebut surat yang utama adalah An-Nisaa’ (3
ayat), An-Nuur (3 ayat), Al-Mu’minuun, Al-Maarij, An-Nahl dan Al-Ahzab
(masing-masing 1 ayat). Jadi, untuk dapat memahami kedudukan nikah mut-
’ah dalam hukum perkawinan Islam kita harus memahami esensi dari
kesepuluh ayat tersebut. Banyaknya ayat yang mendasari mut’ah
menunjukkan betapa mut’ah sebenarnya lebih istimewa dibandingkan
poligami yang hanya hadir dalam satu ayat (An-Nisaa ayat 3).
Bagian 3 dari buku ini akan menguraikan lebih dalam kedudukan Nikah
Mut’ah dalam konstelasi ajaran Islam. Namun sebelum berdalam-dalam
dengan hal itu perlu digarisbawahi bahwa Mut’ah adalah karunia Allah SWT
yang sangat besar kepada perempuan-perempuan yang membujang
(perawan tua atau janda), baik karena pilihan sadar maupun karena nasib
tidak menghendakinya menjadi seorang istri. Karunia ini semakin mem-
pertebal keyakinan kita bahwa Allah SWT Maha Tahu tentang segala sesuatu
yang dialami ummatNya. Ia tidak menghendaki naluri seks menjadi beban hi-
dup, jadi sumber penderitaan dan penyakit, karena syahwat adalah karunia
yang harus disyukuri, disalurkan dan dinikmati sesuai dengan jalan yang
telah ditunjukkanNya kepada kita. Allah SWT berfirman:

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat


lemah. (An Nisaa':28)
Hanya saja manusia sering bersikap kufur nikmat dan lebih
mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau kekuasaannya. Atas
kekufuran itulah nikmat Allah SWT dikebiri, dengan maksud agar manusia
tetap bisa menguasai manusia lain yang lebih lemah.

6
Tabu Perlu Didobrak

D
engan adanya nikah mut’ah perempuan tidak perlu terlalu berobsesi
menjadi istri dan takut kehilangan karir sebagai perempuan-
perempuan pekerja atau profesional gara-gara menikah. Tanpa status

31
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

istri mereka dapat melakukan nikah mut’ah sesuai dengan kebutuhan


seksualnya, tanpa harus kehilangan karir atau terganggu meningkatkan
prestasi kerja. Persepsi bahwa nikah permanen (da’im) yang merubah status
lajang mereka jadi istri bukanlah satu-satunya cara untuk dapat menikmati
seks yang halal, sudah saatnya dirubah.
Kalau saja orang-orang seperti Winda, Astuti, Shinta, Eka atau Triana
memahami hakekat nikah mut’ah mereka tidak harus merasa jadi korban ‘hu-
kum wajib nikah’. Mereka tidak pula harus menjadi perempuan-perempuan
aseksual. Perempuan seperti Triana tidak harus mencari jalan penyelesaian
trauma pernikahannya dengan berzina terus-menerus.
Namun jalan halal itu kini masih tersumbat oleh berbagai persepsi dan
aturan yang dipaksakan. Ini pertanda bahwa hukum perkawinan masih belum
berpihak kepada perempuan; belum menyentuh hak-hak seksual perempuan
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi perempuan
lajang kecuali mendobrak tabu yang mengharamkan mut’ah. Mereka harus
yakin, mut’ah adalah jalan yang diberikan Allah SWT, tidak haram, tapi
diharamkan sebagian manusia untuk tujuan-tujuan politis.
Dengan mendobrak tabu para perempuan tidak hanya memperoleh hak-
hak seksualnya yang terpasung, tapi juga menyelamatkan masyarakat yang
diberi tanggungjawab oleh Allah SWT menikahkan mereka-mereka yang sen-
dirian. Tentu saja akan sangat mengherankan bila sebagian para penentang
mut’ah tetap mempertahankan argumentasinya ketika nikah mut’ah justru
meringankan tanggungjawab mereka terhadap Allah SWT dan masyarakat.

Bab 3
NIKAH MUT’AH
Jalan Halal untuk Hindari Zina

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan


bersifat lemah.
(An-Nisaa:28)

1
Kembali ke Alquran

K
ini ummat Islam berhadapan dengan dua perkara besar. Pertama,
makin meluasnya perubahan pandangan terhadap seks yang menjurus
kepada kebebasan mutlak. Tidak mungkin dipungkiri bahwa telah
makin banyak ummat Islam yang terlibat dalam perzinahan dan prostitusi,

32
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

sehingga memperjelas bahwa ummat Islam sedang larut dalam revolusi


seksual yang dimotori oleh Barat.
Kasus skandal Yahya Zaini dan Maria Eva (jika benar mereka berzina dan
mohon maaf jika sebenarnya mereka nikah mut’ah) makin meyakinkan
bahwa benteng keimanan ummat Islam telah makin rapuh digerogoti dorong-
an syahwat yang kian susah dikendalikan. Banyak orang percaya, para pe-
mimpin yang sering berzina sudah sangat mengkhawatirkan jumlahnya,
sehingga melarang anak-anak muda melakukan hal yang sama hanya dipan-
dang sebagai kemunafikan belaka.
Perkara kedua, tidak adanya terobosan baru (ijtihad) di tingkat pemikiran
maupun fiqih, sehingga ummat Islam makin sukar melihat peranan agama
dalam arus deras revolusi seksual. Para ulama maupun ahli agama kontem-
porer masih bertahan dengan dalil halal-haram yang bersumber dari kitab-
kitab fiqih dan berbagai referensi yang ditulis antara 100 – hingga 300 tahun
setelah Rasulullah wafat, oleh penulis-penulis yang – tentu saja -- sama sekali
tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah. Ketergantungan kepada kitab-
kitab kuno tersebut, ironisnya, menyebabkan sumber tertinggi hukum Islam,
yakni Alquran, cenderung terabaikan. Padahal, sangat sering disebut bahwa
Alquran diturunkan Allah SWT sebagai pedoman bagi ummat Islam hingga
akhir zaman.
Kecenderungan menggunakan kitab-kitab kuno, dalam kadar tertentu
memang positif, karena kitab tersebut memberi informasi bagaimana ayat-
ayat Alquran diinterpretasi pada kurun waktu tertentu. Tapi ketika kitab-kitab
tersebut telah dipandang sebagai ”Alquran kedua atau ketiga”, ummat Islam
telah terperangkap ke dalam kesesatan. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang


memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya
kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al
Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka
mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi
Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata
dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui (Ali
'Imran: 78)

Bagaimanapun harus dipahami bahwa kitab atau referensi kuno adalah


buah pikiran manusia yang sangat mungkin salah dalam menafsirkan
Alquran. Tidak ada salahnya mengingatkan, tanpa bermaksud menolak
secara mutlak, bahwa Hadits Sahih Bukhari pun baru ditulis lebih 200 tahun
setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Penggunaan referensi yang sudah sangat tua punya dampak negatif pula
terhadap rekonsiliasi kekuatan ummat yang terpecah belah sejak zaman Um-
maiyah dan Abbasyiah. Pada masa kedua dinasti itu berbagai buku ditulis
dengan mengedepankan kepentingan dan pandangan politik yang mengor-
bankan agama dan ummat Islam. Dengan sendirinya referensi-referensi

33
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

tersebut mengekalkan semangat pemusuhan antar firqah atau mazhab (khu-


susnya Sunni – Syiah) yang hingga kini sudah berusia lebih seribu tahun.
Akibatnya ummat Islam makin sulit mendapatkan pemahaman baru tentang
kandungan ayat-ayat Alquran, sebab pemahaman atau ijtihad kelompok satu
akan ditentang oleh pemahaman kelompok lain atas dasar kepentingan poli-
tik firqah, bukan kepentingan agama maupun ummat.
Dalam menghadapi revolusi seksual yang merambah berbagai belahan
dunia, termasuk Indonesia, para pemuka agama Islam seharusnya telah
memikirkan “jalan penyelamatan” bagi ummat yang potensial tersesat dan
terperangkap. Sebagai kelompok yang lebih menguasai ilmu agama, para
pemuka agama mempunyai tanggung jawab dunia dan akhirat yang sangat
besar. Mereka seharusnya tidak berdiam diri atau bertahan dengan tafsir-
tafsir lama yang telah jelas kian rapuh dan tergilas oleh kegilaan zaman.
Apa yang harus mereka kerjakan adalah memfokuskan perhatian kembali
ke Alquran, mengabaikan permusuhan purba antar firqah, mengevaluasi
kehandalan dan relevansi referensi-referensi kuno dengan zaman sekarang,
kemudian menemukan solusi yang sesuai dengan firman Allah SWT sekaligus
dapat diterima oleh ummat. Tanpa itu, dapat diyakini Islam akhirnya hanya
jadi keyakinan formal yang tidak berdampak apa-apa pada prilaku masya-
rakat. Bahkan hanya akan menjadi beban bagi ummat karena agama dapat
dijadikan alat politik untuk tujuan kekuasaan semata. Haruskah kita gigit jari
karena akhirnya makin banyak ummat Islam yang meninggalkan agamanya
(melalui perbuatan sehari-hari) karena merasa tidak memperoleh apa-apa
kecuali cerita-cerita berbau ancaman neraka?
Tulisan ini bermula dari berkembangnya wacana tentang mut’ah (nikah
berjangka waktu) di tengah-tengah masyarakat yang tidak hanya sekedar
resah dan mengumpat ketika menyaksikan dekadensi moralitas seksual yang
terjadi di segala lapisan masyarakat. Mereka melihat mut’ah sebagai sebuah
jalan keluar yang selama ini seolah-olah sengaja disembunyikan, bahkan ti-
dak boleh didiskusikan, padahal masyarakat tengah menunggu adanya pe-
mikiran yang segar. Mereka adalah golongan yang tidak lagi yakin akan
retorika penegakan hukum – karena penegak hukum juga termasuk golongan
bermasalah --, dan tidak pula dapat menerima anjuran agar menahan diri.
Anjuran itu makin tidak masuk akal di tengah gencarnya serbuan media,
tidak seimbangnya populasi laki-laki dan perempuan, gaya hidup yang ber-
orientasi seks bebas, model pakaian perempuan yang semakin menggoda
syahwat (meskipun kepala sudah ditutup jilbab), dan berbagai tawaran penuh
rayu dari orang-orang yang hidup dari bisnis seks.
Sebagian menaruh harapan terhadap mut’ah, namun pada saat yang
sama mereka dilanda keraguan akan kehalalan mut’ah tersebut. Pasalnya,
para penganut paham anti-mut’ah bertahan kukuh dengan pendirian mereka
yang jelas-jelas tidak merujuk kepada Alquran. Apalagi tahun 1999 Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram dengan argumentasi yang
tidak meyakinkan sama sekali, bahkan cenderung membodoh-bodohi ummat.
Tulisan ini bermaksud membuka pintu-pintu dan tabir yang selama ini
seperti sengaja ditutup agar mut’ah tidak diketahui banyak orang. Penutupan
tabir, selain merupakan pembodohan, juga bagian dari upaya yang sistematis
menjauhkan ummat Islam dari tuntunan Allah SWT, melestarikan dendam
kesumat antara golongan Sunni – Syiah yang telah berlangsung sejak wa-
fatnya Rasulullah SAW, dan menjerumuskan mereka pada perbuatan keji. De-

34
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

ngan rasa takut kepada azab Allah SWT di dunia dan akhirat penulis berusaha
mendobrak tabir tersebut. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjelaskan
bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya tentang seks, dengan benar-
benar merujuk kepada Alquran.
Dengan menjelaskan mut’ah kepada pembaca hendaknya tidak diartikan
sebagai bentuk penyebaran paham Syiah, karena hal itu tidak benar sama
sekali. Penulis tidak banyak mengenal paham tersebut. Selain itu, penulis
ingin memulai dari sendiri untuk tidak larut dalam perpecahbelahan ummat
Islam yang dipicu kepentingan politik, bukan untuk menegakkan Asma Allah.
Kini, ummat Islam dari firqah manapun tengah menghadapi persoalan
yang sama, yaitu kehancuran moralitas seksual. Perzinahan, pelacuran,
liwath (homoseksualitas), kehamilan akibat hubungan di luar nikah yang di-
ikuti aborsi tak sehat dan pembuangan bayi ke tong sampah, trafficking (jual-
beli manusia) tumbuh subur bak cendawan di musim hujan di negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim, khususnya Indonesia. Tak sedikit yang
menghubungkan kerusakan moral ini dengan seringnya terjadi bencana alam
di negara-negara tersebut. Lantas, masih adakah alasan bagi kita untuk ber-
pecah belah menghadapi masalah bersama ini? Apakah kepentingan firqah
masih lebih penting dibandingkan kebenaran agama dan kemaslahatan
ummat?

2
Seksualitas dan Ummat

D
omain terpenting yang harus ditemukan dalam Alquran adalah
pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Masalahnya, perzi-
nahan tidak lain adalah bagian dari seksualitas manusia yang terkait
erat dengan sebuah sistem pengaturan prilaku. Tanpa pemahaman kom-
prehensif terhadap seksualitas manusia serta tuntunan Allah SWT mengenai
cara-cara mengendalikannya di tingkat individu dan sosial, maka terbuka
lebarlah jalan bagi munculnya aturan-aturan pseudo-islami (seolah-olah
Islami) yang secara substansial bertentangan dengan ajaran Islam. Hal
terburuk adalah diterimanya aturan yang mengharamkan sesuatu yang telah
dihalalkan Allah SWT, atau sebaliknya. Padahal Allah SWT telah berfirman,
yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al
Maa'idah: 87)
Pertautan antara seksualitas dengan Islam terwujud dalam dua bentuk: 1)
bentuk yang dipraktekkan pada masa kenabian, dan 2) yang dipraktekan

35
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

pada masyarakat setelah masa kenabian, yang dinisbatkan kepada Islam ka-
rena disebut sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Islam. Yang
pertama adalah bentuk yang telah selesai, sementara yang kedua masih
berproses, mulai sejak wafatnya Rasulullah hingga zaman sekarang.
Bentuk yang telah selesai mempunyai hubungan sangat erat dengan apa
yang difirmankan Allah SWT melalui Alquran, sebab merupakan perwujudan
konsep Ilahiah yang langsung didemonstrasikan oleh utusanNya, kemudian
diikuti para sahabat dan pengikut lainnya. Sementara bentuk kedua
menyandarkan nilai-nilainya kepada hasil interpretasi para ulama terhadap
apa yang pernah dipraktekan Rasulullah. Dengan kata lain, kitab fiqih
menjadi rujukan penting dalam menentukan halal atau haramnya sebuah
hubungan, dan jika tidak hati-hati kedudukannya bisa berada di atas Alquran
(hukumnya bisa lebih keras atau lebih lunak dibandingkan hukum Allah SWT
sendiri).
Demikian jauhnya rentang waktu antara masa kenabian dengan masa
sekarang (lebih kurang 1,5 milenium), serta kuatnya kedudukan para ulama
dalam masyarakat menyebabkan konsepsi Ilahiah (yang ada dalam Alquran)
tentang seks mengalami percampuran yang signifikan antara kemurnian
konsep dengan interpretasi/tafsir. Masyarakat yang sangat menggantungkan
pemahaman keagamaannya kepada para ulama serta tidak mampu menafsir-
kan sendiri teks Alquran biasanya mengalami kesulitan membedakan
ketentuan-ketentuan tentang seksualitas berdasarkan sumbernya. Mereka
yang masuk kategori awam cenderung tidak tahu apakah kehalalan sebuah
tindakan bersumber dari Alquran, hadits, atau pendapat para ulama. Pilihan
mereka hanya satu, yaitu mengikuti saja fatwa yang disampaikan para
ulama, kendati fatwa tersebut mungkin pseudo-islami belaka karena telah di-
bebani kepentingan politik atau kepentingan firqah.
Keadaan seperti ini, tanpa banyak disadari telah mengantarkan ummat
Islam ke wilayah yang berbahaya. Pertama, tidak mudah bagi ummat untuk
kembali ke Alquran ketika fatwa-fatwa pseudo-islami tadi ternyata tidak me-
nyebabkan ummat merasakan adanya rahmat, melainkan hanya beban.
Kepercayaan yang terbangun bertahun-tahun, bahkan berabad-abad kepada
kalangan ulama menyebabkan ummat tidak berani belajar sendiri hukum-
hukum Islam langsung ke Alquran. Takut salah! Mereka hanya mampu meng-
harapkan adanya fatwa-fatwa baru yang lebih sesuai dengan harapan, tapi
belum tentu terwujud karena adanya kepentingan politik untuk memper-
tahankan fatwa lama.
Kedua, akan semakin banyak ummat Islam yang menganggap sepi segala
aturan Allah SWT, tetap melangsungkan perbuatan zina, meskipun mereka
masih menjalankan ritual agama dan tampil sebagaimana orang soleh
lainnya. Dengan kata lain, sifat-sifat orang munafik akan menghinggapi
sebagian besar ummat, mulai dari pemimpin sampai pada rakyat jelata. Bila
telah terjadi keadaan seperti ini, tentu yang paling bertanggungjawab
terhadap moralitas masyarakat di akhirat kelak adalah mereka-mereka yang
dianggap sebagai ulil-amri. Masalahnya, apakah para ulil-amri itu masih
mengingat adanya kehidupan setelah mati?
Seks dalam Alquran
Bagaimanakah pandangan Islam tentang seks? Terkait dengan penjelasan
di atas, yang disebut “pandangan Islam” biasanya terbelah menjadi: 1)

36
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

konsep Ilahiah yang hanya ditemukan dalam Alquran, 2) konsep yang meru-
pakan tafsir para ulama terhadap Alquran dan hadits. Kedua konsep ini
mungkin saja sejalan, tapi bisa jadi bersimpang karena adanya kesalahan
dalam menyusun tafsir, atau tafsir sangat terkait dengan konteks waktu,
sehingga tafsir pada zaman tertentu tidak lagi relevan diaplikasikan pada
zaman yang lain.
Selanjunya kita fokuskan perhatian kepada konsep Ilahiah: apa yang ada
dalam Alquran. Tafsir kuno, apalagi yang hemat penulis sudah kehilangan
relevansi dengan keadaan sekarang, tidak akan digunakan untuk membaca
hal-hal yang dianggap mutasyabihaat. Penulis memegang teguh keyakinan
bahwa Alquran diturunkan oleh Allah SWT untuk ummat Islam hingga akhir
zaman, sehingga kontekstualisasi dan aktualisasi pemahaman terhadap ayat-
ayat Allah SWT harus dilaksanakan, dan tidak patut lagi ummat di zaman
sekarang menggantungkan tafsirnya secara penuh kepada para ulama yang
hidup sekian abad yang silam. Seperti halnya pemahaman ummat yang
hidup di zaman ini terhadap kondisi ketika ulama itu hidup, para ulama itu
pun tidak kenal keadaan yang dialami ummat zaman ini, yang hidup dengan
teknologi serba canggih, canggih juga dalam bermaksiat, lebih individualistik,
dan semakin meragukan eksistensi Tuhan.
Konsep Ilahiah tentang seksualitas tersebar dalam paling kurang 79 ayat-
ayat Alquran, terutama di Surat An-Nisaa (17 ayat), Al Baqarah (17), An-Nuur
(10), Al Ahzab (10), Ath Thalaaq (5), Al Mu’minuun, dan Al Maarij (Lihat Tabel
4). Konsep deskriptif yang rinci dan rumit atau bernuansa akademik memang
tidak ditemukan dalam ayat-ayat tersebut, karena – dapat dipahami – itu
bukan tugas kitab suci. Ayat-ayat tersebut merupakan ketetapan hukum yang
harus diyakini dan ditaati, sementara konsep Ilahiahnya tersembunyi di balik
ketetapan tersebut. Tugas kita sebagai ummat Islam adalah memahami kete-
tapan hukumnya, sekaligus menemukan prinsip dan pandangan yang tersirat
atau tersembunyi.
Sejumlah ayat dalam surat yang disebut di atas menetapkan aturan
hubungan antara dua makhluk yang berlainan jenis kelamin. Oleh sebab itu
topik-topik yang dikemukakan adalah seputar masalah nikah, zina, cerai/ ta-
lak, perempuan yang boleh dan haram dinikahi, syarat sah nikah, kewajiban
suami-istri, cara-cara memperlakukan istri, sampai kepada konflik antara
suami-istri (seperti li’an atau menuduh istri berzina).

Tabel 4: Surat-surat dalam Alquran


yang Menerangkan Masalah Hubungan Laki-laki dan
Perempuan.

No Nama Surat Jml ayat No Nama Surat Jml ayat


1 An-Nisaa 17 11 Ar Ruum 1
2 Al Baqarah 17 12 Ar Raa’d 1
3 An Nuur 10 13 Ali Imran 1
4 Al Ahzab 10 14 Al Qashash 1
5 Ath Thalaaq 5 15 Al Mu’minuun 1
6 Yusuf 3 16 Al Maa’idah 1
7 At Tahrim 2 17 Al Ma´aarij 1

37
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

8 Al Mumtahanah 2 18 Al Furqaan 1
9 Al Mujaadilah 2 19 Al A’raaf 1
10 Az Zukhruf 1 20 Adz Dzaariyaat 1

Secara lebih spesifik, Surat Al Baqarah mengandung ketetapan tentang


kawin dengan perempuan musyrik; kawin dengan wanita yang sedang dalam
masa 'iddah; pertunangan; kebebasan memilih wanita; hukum nikah muhallil;
syarat adanya wali dalam akad nikah; wali; mahar; ukuran nafkah keluarga;
etika bersetubuh dan pergaulan; talak; menzalimi isteri; ilaa (sumpah suami
untuk tidak menggauli istrinya); dan iddah (masa tunggu).
Surat An Nisaa mengandung ketetapan tentang perintah nikah dan kebo-
lehan menikahi lebih dari satu perempuan; wanita yang tidak boleh dinikahi;
cara terbaik memilih wanita; hukum menikahi hamba wanita; wali ; mahar;
prinsip hubungan suami istri; bersetubuh dengan hamba; kesetiaan; prinsip
berpoligami; dan konflik suami istri.
Di Surat An-Nuur ditemukan ketetapan tentang menikahkan orang yang
sendirian; muhrim perempuan; memilih wanita yang soleh; hukum menikahi
hamba wanita; melihat wanita; hukum wanita melihat laki-laki; hukum nikah;
hukum dan cara-cara li'an .
Sedang Surat Al Ahzab menetapkan haramnya menikahi istri-istri Nabi;
kebolehan Nabi kawin lebih dari empat; muhrim perempuan; bersetubuh
dengan hamba; syariat talak; kebebasan memilih istri; talak sebelum dukhul
(senggama); iddah wanita yang belum digauli; dan hukum zhihar
(menyamakan istri dengan ibu sendiri).

3
Konsepsi Ilahiah Tentang Seks
A lquran menyebutkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Firman Allah SWT. :

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri berpasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak berpasangan-
pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar
dan Melihat. (Asy Syuura: 11)

38
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

..dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan


wanita. (An Najm:45)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penciptaan laki-laki dan
perempuan mengandung maksud reproduktif: agar manusia, seperti halnya
hewan, berkembang biak. Namun berbeda dengan hewan, proses reproduksi
manusia harus mengikuti hukum-hukum perkawinan (juga perceraian) yang
telah ditetapkan pada ke-20 surat yang ada pada Tabel 4.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah perbuatan yang di-
syariatkan, sebagaimana dikatakan Allah SWT pada surat An Nuur (24:32),
sbb.:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan me-
mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
Melalui ayat di atas Allah SWT memberi perintah (“kawinkanlah”) kepada
orang-orang di sekitar individu “yang sendirian”, bukan kepada yang
bersangkutan. Artinya ada kewajiban ummat secara bersama-sama – fardhu
kifayah -- untuk tidak membiarkan adanya individu-individu yang hidup
membujang karena alasan ekonomi atau alasan-alasan lain. Perintah
mengawinkan individu yang membujang merupakan perintah yang keras
karena Surat An Nuur dimulai dengan ayat yang berbunyi:

(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan
hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat
ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (24: 1)
Perintah yang keras itu hendaknya disadari sebagai sebuah peringatan
bahwa membiarkan individu yang membutuhkan penyaluran kebutuhan
biologis (seks) tetap hidup membujang – atau tidak mendapatkan pasangan
yang sesuai untuk menyalurkan dorongan syahwatnya -- pasti akan me-
nimbulkan mudharat bagi individu itu sendiri maupun masyarakat. Jika
perintah ditujukan hanya kepada individu yang membujang akibat buruknya
boleh jadi hanya untuk individu itu saja, tapi dengan adanya perintah kepada
orang-orang di luar diri individu tersebut jelaslah bahwa dampak negatif dari
adanya orang-orang yang hidup membujang akan meluas sampai kepada
masyarakat.
Akibat yang sangat jelas dari terhalangnya penyaluran hasrat seksual
adalah penyakit kejiwaan, prilaku menyimpang, dan tindakan kekerasan.

39
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Allah SWT telah memberikan peringatan itu pada manusia di abad ke 6 M. ,


namun baru pada awal abad ke-20 teori psikoanalis dapat menjelaskan
secara ilmiah hubungan antara seks dengan penyakit yang telah dikenal
sejak berabad-abad sebelumnya, yaitu histeria. Penyakit ini, menurut Hippo-
crates, dokter Yunani kuno yang pertama kali mengidentifikasinya, mem-
punyai gejala fisik yang kompleks. Penderita histeria mengeluhkan berbagai
penyakit seperti sakit jantung, kelumpuhan, sakit perut, muntah-muntah,
lengan atau kaki lemah, bingung, dan sulit mengontrol perasaan.
Hippocrates sebenarnya telah menghubungkan keluhan-keluhan tersebut
dengan seks, karena itu ia menamakannya histeria, yang diambil dari
hystera, kata Yunani untuk uterus (bagian dari vagina). Namun hubungan ter-
sebut terkesan sebagai olok-olok dalam dunia kedokteran dalam waktu yang
sangat panjang, dan baru dikenal luas melalui teori psikoanalisis Sigmund
Freud. Seperti Hippocrates, Freud juga menghubungkan kesakitan yang
dialami manusia dengan seks dan memberi tekanan kepada sexual
repression (ketertekanan secara seksual) sebagai penyebab munculnya his-
teria. Dalam bukunya Three Contributions to the Theory of Sex, Freud (1920)
menulis:
In this manner it (histeria – pen.) has been discovered that the symptoms
represent the equivalent for the strivings which received their strength from
the source of the sexual impulse……... The hysterical character evinces a part
of sexual repression which reaches beyond the normal limits, an exaggeration
of the resistances against the sexual impulse which we know as shame and
loathing.

Istilah sexual repression yang dipopulerkan Freud mengacu kepada


tindakan penguasa gereja yang berusaha menindas gairah seksual manusia,
bahkan menegasikan, karena gairah tersebut dipandang sebagai kehendak
syetan. Dalam pandangan seperti itu seksualitas manusia disamakan dengan
keinginan melakukan hal-hal yang menjijikkan dengan menggunakan organ
genital, baik secara sendiri-sendiri (masturbasi) maupun bersama orang lain
(coitus). Ia dianggap menjijikkan karena – menurut gereja -- organ genital
tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kesenangan, melainkan semata-mata
untuk tujuan reproduksi manusia.
Kesulitan menyalurkan gairah seksual secara normal pada gilirannya
mempermudah terjadinya perzinahan, hubungan seksual sejenis, dan
pemerkosaan. Kini jutaan orang yang tidak dapat melegalisasi hubungan
mereka terjerembab dalam perbuatan zina berkepanjangan. Sekitar 15
persen remaja usia 10 tahun hingga 24 tahun di Indonesia, yang jumlahnya
mencapai 62 juta, telah melakukan hubungan seksual di luar nikah (PKBI,
2006). Setiap tahun terjadi 2,6 juta kasus aborsi di negara yang mayoritas
penduknya muslim ini. Jika dirata-rata, setiap jamnya terdapat 300 wanita
telah menggugurkan kandungannya (Republika Online, 3 Desember 2006).
Jutaan orang pula yang memilih hubungan sejenis (homoseks dan lesbian).
Orang-orang yang mengalami ketertekanan seksual sehingga tidak mampu
mengontrol prilakunya nekad melakukan pemerkosaan, baik terhadap wanita
dewasa maupun anak-anak. Sebagian lain akhirnya menderita depresi dan
sakit jiwa. Siapakah yang bertanggungjawab atas segala kegilaan ini?
Perintah Allah SWT untuk mengawinkan orang-orang yang sendirian
menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang anti seks, dan bertolak be-

40
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

lakang dengan paham yang dianut kaum gerejani: Islam tidak menganggap
seks sebagai kehendak syetan dan tidak pula menjijikkan. Bahkan sebaliknya
menganggap seks sebagai bagian yang penting, yang harus disalurkan dan
tidak boleh dikait-kaitkan dengan kondisi ekonomi seseorang. Orang-orang
miskin atau kaya, berpangkat atau tidak berpangkat, bangsawan atau jelata
mempunyai gairah seksual yang sama, dan kewajiban manusia adalah mem-
fasilitasi sesama manusia, bukan menghalang-halanginya. Lebih tegas lagi,
Alquran (24: 32) memberikan ketetapan wajib kepada ummat manusia secara
bersama-sama (fardhu kifayah) untuk membantu sesama ummat me-
nyalurkan hasrat seksualnya di jalan yang halal. Implikasi hukumnya, perzi-
nahan yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim tidak seutuhnya da-
pat dipandang sebagai kesalahan para pezina itu, melainkan juga bagian dari
kesalahan ummat Islam secara keseluruhan yang telah menghalang-halangi
mereka menikmati seks secara halal.
Dengan demikian pembatasan perkawinan dan penerapan aturan-aturan
buatan manusia yang menyulitkan para lajang atau orang-orang yang mem-
butuhkan penyaluran kebutuhan biologis secara normal, dengan alasan-alas-
an yang tidak merujuk kembali kepada Alquran, dapat dianggap sebagai
perbuatan yang mengingkari dan bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Aturan hanya boleh ditegakkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukum-
hukum yang telah ditetapkan, seperti kewajiban laki-laki membayar mahar
sebelum mencampuri seorang perempuan sebagaimana dikatakan pada
Surat An Nisaa: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (4:4). Namun kewajiban
membayar mahar inipun masih diberi kelonggaran, sesuai kelanjutan ayat di
atas: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas-
kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Hukum lain yang telah ditetapkan adalah larangan menikahi sejumlah
perempuan. Pada Surat An Nisaa (4:23) dijelaskan perempuan-perempuan
mana saja yang tidak boleh dikawini itu, sbb.:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempu-


an; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara pe-
rempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak isterimu yang da-
lam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kan-

41
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

dungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perem-


puan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; se-
sungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa :23)
Maka, ketentuan-ketentuan yang pernah ada di tengah ummat Islam dari
dulu hingga sekarang berdasarkan kitab-kitab fiqih harus dilihat kembali
secara kritis, apakah benar-benar telah merujuk kepada ketentuan Allah SWT
atau sebaliknya. Pembatasan usia yang ditetapkan dengan hukum negara,
keharusan adanya wali dan saksi (keduanya disebutkan secara sangat samar-
samar dalam Alquran sehingga cenderung tidak ada ketetapan wajib sama
sekali), keharusan mempunyai pekerjaan/menamatkan pendidikan sebelum
menikah, pemberian kewajiban kepada calon pengantin pria untuk bisa
membaca Alquran atau mempraktekan shalat harus dievaluasi kembali agar
ummat Islam tidak terperangkap dalam perbuatan bid’ah yang bertentangan
dengan kehendak Allah SWT. Dalam konteks itu kita harus mengingat firman
Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan” (Al A'raaf: 31). Peraturan kawin yang berlebih-lebihan pada giliran-
nya akan membuat ummat Islam lebih memilih jalan sesat, seperti yang
terjadi di kalangan ummat Kristiani yang dijajah oleh doktrin gerejanya.

Perempuan-perempuan yang Boleh Digauli


Disamping ada larangan, perempuan mana sajakah yang boleh digauli?
Dalam Surat Al Mu’minuun (23:1–6) diterangkan sbb.:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam sembahyangnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; dan orang-orang yang
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menjaga kemaluannya: kecuali
terhadap istri-istri mereka atau ma malakat aimanuhum yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Ayat-ayat dari Surat Makkiyah (yang turun di Makkah) di atas, khususnya
ayat 6 menjelaskan adanya dua golongan wanita yang boleh digauli (melihat
kemaluan seorang laki-laki), yaitu istri-istri dan ma malakat aimanuhum.
Kebolehan yang sama juga ditemukan dalam Surat Al Ma’aarij (70:30) yang
juga turun di Makkah. Istri-istri adalah perempuan yang dinikahi secara da’im
(permanen), lalu siapakah yang disebut ma malakat aimaanukum itu?

Tabel 5: Penggunaan Istilah Ma malakat aimaanukum


dan Konteksnya dalam Alquran
Nama Surat No Ma Istilah lain Konteks
Aya malakat
t aimaanuku
m
An Nisaa 24 x Mengawini
25 x Sda
3 x Sda
An Nuur 31 x Sda

42
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

32 x Mengawinkan
33 x Mengawini
58 x etika
Al Mu’munuun 6 x Mengawini
Al Baqarah 221 x Perbandingan perempuan
musyrik
Al Ma´aarij 30 x Sda
An Nahl 71 x Pembagian rezeki
Al Mujaadilah 3 x Hukuman menzhihar isteri
Al Maa'idah 89 x kaffarat (melanggar
sumpah)

Ma Malakat Aimanukum
Istilah ma malakat aimaanukum (kadang jadi ma malakat aimanuhum
atau ma makalat aimanuka) digunakan Alquran berulang kali pada ayat-ayat
pada Tabel 5. Arti harfiahnya adalah ”yang ada dalam genggaman tangan
kananmu” (what your right hands possess). Umumnya para ulama, termasuk
pada penerjemah dan penafsir Alquran mengartikan ma malakat
aimaanukum sebagai budak atau hamba sahaya. Apakah memang demikian
terjemahan tepatnya?
Penerjemahan ma malakat aimaanukum menjadi budak atau hamba
sahaya hampir tidak pernah diperdebatkan atau diterima apa adanya. Pada-
hal, implikasinya sangat luas. Orang-orang awam akhirnya dengan mudah
menganggap bahwa ayat yang menggunakan istilah itu tidak lagi berlaku ka-
rena sistem perbudakan telah dihapus. Anggapan demikian bukan saja me-
negasikan atau membantah hukum yang ditetapkan dalam ayat tersebut, ta-
pi lebih berbahaya lagi karena akhirnya menegasikan keberadaan Alquran se-
bagai petunjuk bagi ummat manusia hingga akhir zaman.
Konsekuensi yang paling ringan adalah luputnya perhatian ummat pada
golongan perempuan yang disebut Allah SWT sebagai ma malakat
aimaanukum berikut hak-hak seksualnya. Dengan mempercayai bahwa
Alquran diturunkan untuk digunakan selama-lamanya kita pun wajib meyakini
bahwa ma malakat aimaanukum akan terus ada dalam masyarakat hingga
hari kiamat, tidak hilang karena hapusnya sistem perbudakan.
Kita ulangi lagi pertanyaan, ”Siapakah sebenarnya perempuan ma mala-
kat aimaanukum itu?”
Allah SWT memang tidak menjelaskan arti dari istilah tersebut secara
jelas dalam Alquran. Tapi bukankah manusia dituntut berpikir melalui Kalimat-
ullah seperti afalaa ta’kiluun atau la’allakum tatafakaruun yang diulang
hingga seratus kali? Artinya, adalah tugas kita sebagai ummat Islam meng-
gunakan akal pikiran dan ilmu pengetahuan yang telah dikaruniakanNya
untuk dapat memahami apa maksud yang tersirat dari tanda-tanda maupun
istilah-istilah yang digunakan dalam Alquran.
Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan ma malakat aimaanukum
yang paling penting dipahami adalah setting sosial masyarakat Arab pada
masa kenabian. Ketika Islam turun di Hijaz (Arab Saudi sekarang) pereko-
nomian masyarakat di kawasan itu digerakan oleh kaum budak, mirip dengan
sistem ekonomi Romawi. Sistem ekonomi selanjutnya membentuk stratifikasi
sosial kalangan perempuan. Perempuan yang berasal dari kalangan
bangsawan, punya harta kekayaan dan tidak harus bekerja untuk bisa makan

43
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

disebut ’perempuan merdeka’ (perempuan yang tidak harus bekerja untuk hi-
dup). Status sosial mereka sangat tinggi.
Di pihak lain ada perempuan yang tidak mempunyai harta, alat produksi,
dan harus bekerja untuk dapat hidup. Mereka terikat kepada para tuan yang
memberi mereka pekerjaan dan upah. Perempuan inilah yang disebut oleh
Alquran sebagai ma malakat aimaanukum atau ma malakat aimaanuhum
yang di Indonesia di terjemahkan sebagai ’budak’. Padahal, kalau dicermati,
Alquran tidak menekankan pada status budaknya, karena dalam bahasa Arab
budak itu adalah abd (untuk laki-laki) dan amah (untuk perempuan). Kedua
istilah ini pernah diganti Rasulullah
SAW menjadi fata (untuk laki-laki)
dan fatat (untuk perempuan). Ada Sekarang ma malakat
istilah lain, yaitu rakaba, raqeeq aimanukun masih tetap ada,
dan jariah. Tapi mengapa Allah tidak habis karena berakhirnya
SWT tidak menggunakan istilah-
istilah Arab tersebut untuk ayat-
zaman perbudakan, tapi
ayat yang berkaitan dengan kawin dengan status sosial yang
atau seks? Ini menandakan lebih tinggi, yaitu perempuan-
perempuan ma malakat perempuan karir, para
aimaanukum bukanlah budak pegawai rendah sampai tinggi
dalam konsepsi Arab, tapi go-
(level manejer atau direktur,
longan perempuan yang
mempunyai ciri universal, yang bahkan mentri), atau perem-
ada sepanjang zaman. puan muda yang tergantung
Dalam pandangan yang lebih
makro, mereka adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan pengha-
silan, bukan perempuan yang kaya raya dan dapat hidup tanpa bekerja.
Mereka adalah penerima upah, pegawai, tapi karena tidak ada konvensi
perlindungan terhadap pegawai, mereka diperbudak, dieksploitasi, bahkan
diperjualbelikan.
Sekarang mereka itu masih tetap ada, tidak habis karena berakhirnya
zaman perbudakan, tapi dengan status sosial yang lebih tinggi, yaitu
perempuan-perempuan karir, para pegawai rendah sampai tinggi (level
manejer atau direktur, bahkan mentri), atau perempuan muda yang
tergantung hidup pada orang tuanya. Bedanya, ma malakat aimaanukum
zaman modern telah terlindungi hak-haknya secara hukum, lebih
berpendidikan dan digaji lebih tinggi. Namun, sebagaimana halnya ma
malakat aimaanukum pada zaman Rasulullah SAW, hingga sekarang pun
mereka sulit menjadi istri yang ideal/baik (yang selalu melayani suami) kare-
na harus bekerja, meninggalkan suami, bahkan hingga berhari-hari.
Meminta mereka berhenti bekerja untuk melayani suami tentu bukan
tindakan bijaksana karena dapat merugikan mereka. Juga akan merugikan
masyarakat karena memperkecil partisipasi perempuan di sektor ekonomi. Di
zaman Rasulullah SAW menjadikan mereka sebagai istri dapat berakibat
lumpuhnya ekonomi Hijaz. Bila semua jadi istri, siapa lagi yang mau bekerja?
Tidak mungkin para tuan mau melakukan pekerjaan yang sebelumnya
dipegang oleh ma malakat aimaanukum. Oleh sebab itu, menikahi ma
malakat aimaanukum ditempatkan sebagai alternatif kedua setelah
kebolehan menikahi perempuan merdeka, sebagaimana disebutkan dalam
Surat An Nisaa ayat 25:

44
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbe-
lanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh menga-
wini wanita yang beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan beri-
lah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri de-
ngan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang ber-
suami. (Kebolehan mengawini ma malakat aimaanukum) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada ketidakmampuan menjaga diri (dari per-
buatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An Nisaa:25)
Ayat di atas dengan tegas mengatakan bahwa tujuan mengawini ma
malakat aimaanukum adalah untuk menjaga diri, menghindari zina (lihat
bagian yang digarisbawahi – pen). Tidak sama dengan tujuan mengawini
perempuan merdeka. Inilah perkawinan yang disebut mut’ah, yang akan
dijelaskan pada Bagian 5.
Ayat tersebut juga mempertegas bahwa ma malakat aimaanukum tidak
sama derajatnya dengan perempuan merdeka (yang ideal sebagai istri)
dalam konteks perkawinan. Namun dengan derajat demikian Allah SWT tidak
membebani mereka dengan hukuman yang sama dengan perempuan-perem-
puan merdeka jika berzina. Hal ini perlu dipahami sebagai isyarat bahwa
perempuan merdeka yang dijadikan istri mempunyai beban dua kali lebih be-
rat dibandingkan ma malakat aimaanukum dalam hal pengabdian dan ke-
setiaan terhadap suami.
Penegasan Allah SWT tentang adanya dua golongan perempuan sekaligus
mengisyaratkan adanya pilihan bagi perempuan: jadi istri atau jadi ma
malakat aimaanukum. Tidak seluruh perempuan harus jadi istri; mereka bisa
menjadi ma malakat aimaanukum tanpa harus kehilangan hak-hak sek-
sualnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Islam sebenarnya tidak menghen-
daki adanya peran ganda perempuan karena akan sangat memberatkan
hidup mereka.

45
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

4
Jawaban Islam untuk Kondisi Aktual

U
mmat Islam zaman sekarang menghadapi tantangan yang sangat
besar akibat terjadinya perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis, dan
pertumbuhan media komunikasi yang spektakuler. Perubahan sosial menca-
kup perubahan pikiran dan perasaan yang melandasi hubungan-hubungan
antar manusia. Berbagai posisi sosial yang dulu memiliki status terhormat,
lengkap dengan hak-hak istimewanya, sekarang tergusur menjadi posisi yang
tidak lagi begitu dihormati. Guru yang dulunya dihormati, kini tinggal sebagai
profesi biasa yang kehilangan kehormatannya. Perempuan merdeka yang di-
hormati Allah SWT sebagai kalangan yang paling layak untuk menjadi istri
sekarang dianggap sebagai pesakitan yang terpenjara oleh institusi rumah
tangga. Sedangkan ma malakat aimaanukum yang pada zaman Rasulullah
SAW disetarakan dengan budak kini justru lebih dihormati dibandingkan
perempuan yang hanya tinggal di rumah untuk mengurusi anak dan suami.
Pendek kata, ini zaman serba terbalik-balik.
Prilaku seks bebas yang saat ini makin subur di berbagai lapisan masya-
rakat merupakan produk bersama perubahan sosial, perkembangan ilmu pe-
ngetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis dan perkembangan
media. Dengan demikian ia menjadi fenomena yang sangat kompleks, se-
hingga untuk menggiring semua orang kembali menjadi puritan – hanya me-
lakukan hubungan seksual dalam institusi perkawinan yang selama ini diang-
gap sah -- boleh dikatakan sebagai kemustahilan belaka. Seiring dengan per-
jalanan waktu justru eksistensi institusi perkawinan semakin dipertanyakan
derajat kemaslahatannya, karena tidak lagi berfungsi optimal. Nyatanya hu-
bungan seksual tidak lagi terjadi dalam institusi itu saja, anak dibesarkan di
lingkungan sekolah, dan perempuan (istri) tidak dapat menemani suami se-
panjang hari karena bekerja. Kalau begitu, demikian yang bertanya, apa lagi
gunanya institusi perkawinan?
Bagi Islam, institusi perkawinan yang dikonstruksi berdasarkan Alquran
tidak akan pernah kehilangan gunanya, sekalipun zaman telah berubah. Pada
zaman bagaimanapun, zina dan liwath tetap perbuatan keji, karena itu diha-
ramkan. Banyaknya ummat Islam yang terlibat zina atau liwath tidak dapat
menjadi pembenaran bagi perbuatan demikian. Tapi apakah persoalan dapat
selesai begitu saja dengan mengulang-ulang penegasan bahwa perbuatan itu
haram? Realitasnya, sekalipun Islam mengharamkan, ummatnya sendiri di-
am-diam maupun terang-terangan justru membenarkan. Ketetapan Allah
SWT akhirnya tertinggal di belakang, jadi penghias bibir, tidak lagi diamalkan.
Mencermati keadaan demikian kita dihadapkan kepada pertanyaan: Apa-
kah ketentuan Allah SWT akan hancur karena ketetuanNya bertolak belakang
dengan keinginan manusia?
Perzinahan adalah perbuatan yang disebabkan dorongan syahwat. Syah-
wat itu sendiri pemberian Allah SWT kepada manusia, sesuatu yang tidak
diberikan kepada para malaikat. Karena itu tidak ada yang salah dengan
syahwat. Yang dapat disalahkan adalah penggunaan yang diluar ketentuan
yang telah disyariatkanNya.

46
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Ayat-ayat Alquran, khususnya An Nuur (32) dan An Nisaa (3:24-25) secara


sangat jelas menunjukkan kepada kita bahwa ketentuan Allah SWT sama
sekali tidak bertentangan dengan keinginan manusia menyalurkan hasrat
seksualnya. Perintah Allah SWT yang mewajibkan ummat mengawinkan
orang-orang yang sendirian diantara mereka menunjukkan bahwa hasrat sek-
sual bukan hanya boleh disalurkan, tapi harus/wajib. Perbuatan yang
ditentang atau diharamkan Allah SWT hanyalah penyaluran syahwat yang
berada di luar ketentuan. Apa-apa yang dilarang sudah pasti mengandung
mudharat bagi individu maupun masyarakat.
Allah SWT juga tidak membatasi secara semena-mena keinginan manusia
yang tidak sama. Bagi mereka yang tidak puas hanya dengan satu istri
terbuka jalan untuk berpoligami (An Nisaa:3). Jika tidak mampu berbuat adil,
kata Allah, pilihlah satu, atau kawinilah ma malakat aimaanukum. Perempuan
juga dapat mempunyai suami baru setelah berakhir masa iddahnya.
Tidak hanya itu. Allah SWT juga memberi kesempatan kepada ummatnya
untuk melakukan pernikahan yang lebih rendah derajatnya dengan pe-
rempuan yang Ia sebut ma malakat aimaanukum (An Nisaa: 25). Pernikahan
inilah yang disebut Nikah Mut’ah, pernikahan yang tujuan utamanya adalah
untuk menghindari perzinahan, bukan untuk membangun rumah tangga. Sa-
yangnya, kemudahan inilah yang tidak disyukuri banyak kalangan, sehingga
banyak ummat Islam yang tidak sanggup menikah, belum mampu mem-
bangun rumah tangga, atau tidak sanggup berpoligami, tapi senantiasa
didera oleh dorongan syahwat, akhirnya terjerumus dalam perbuatan zina.
Jadi banyaknya perzinahan sekarang ini tidak dapat
hanya ditafsirkan sebagai kemungkaran, tapi juga akibat
manusia tidak mensyukuri kemudahan yang diberikan Allah
SWT dan lebih suka membuat hukum-hukum sendiri dengan
mencatut nama Allah SWT. Hukum Allah SWT tidak
sempit, melainkan manusialah --- dengan kekuasaan
dan ambisi politiknya – yang berusaha membuat
hukum Allah SWT jadi sangat sempit.
Dilihat dari sisi demografis sekarang jumlah perempuan jauh melebihi
jumlah laki-laki. Apabila ummat Islam ditekan untuk hanya melangsungkan
perkawinan monogami, jutaan perempuan tidak akan mendapatkan suami.
Kalau perempuan-perempuan itu masih kokoh imannya dan tidak mau
berzina maka mereka akan hidup sebagai makhluk aseksual sepanjang umur.
Karena mereka bukanlah malaikat, mereka sangat berpotensi mengalami
histeria dan depresi seksual akut.
Di pihak lain, jumlah perempuan yang aktif di dunia kerja terus me-
ningkat. Sangat banyak diantara mereka yang sukses membangun karir dan
mempunyai kontribusi besar kepada pembangunan ekonomi. Tidak sedikit
perempuan yang memegang jabatan strategis di pemerintahan maupun
badan-badan usaha berskala nasional atau internasional. Bagi mereka
menikah atau menjadi istri mungkin sebuah keinginan, tapi kecintaan
terhadap karir yang sudah dibangun bertahun-tahun dapat mengalahkan kei-
nginan tersebut. Atau, dibalik kesuksesan karir mereka menyisakan keluarga

47
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

yang berantakan, anak yang tidak terurus atau suami yang terzalimi hak-hak
seksualnya, kemudian berselingkuh dengan pembantu rumah tangga.
Sebagian perempuan lajang sadar, jika memaksakan diri menjadi istri,
mereka akan berhadapan dengan persoalan rumah tangga yang pelik.
Mereka tidak hanya terbebani oleh peran ganda (di rumah dan di luar rumah)
yang pasti sangat melelahkan, tapi juga menyebabkan suami mereka
kehilangan sebagian hak-hak seksualnya, dan mendorong suami
melampiaskan hasrat seksnya kepada perempuan lain. Singkat kata, mereka
mustahil memenuhi kewajiban sebagai istri sebagaimana dikatakan Allah
SWT dalam Alquran. Atas pertimbangan seperti itu pilihan mereka akhirnya
jatuh pada karir dan hidup membujang.
Dengan memilih karir apakah mereka akan menjadi makhluk aseksual
seperti malaikat? Tidak mungkin demikian. Sebagai manusia normal mereka
tetap mempunyai nafsu seks. Suasana seperti zaman kenabian, ketika pe-
rempuan-perempuan pekerja atau para ma malakat aimaanukum
melepaskan hajat seksualnya dengan berzina, sudah terbukti kembali lagi
pada zaman ini. Tidak sedikit perempuan pegawai melakukan zina dengan
pegawai laki-laki sekantor dengannya. Di kota-kota besar sudah sangat lazim
perempuan karir hidup dengan memelihara brondong (laki-laki bayaran yang
tidak menikahi mereka).
Salahkah mereka? Ya. Bagaimanapun zina tetap sebuah perbuatan
terlarang. Tapi tidak adil jika hanya menimpakan kesalahan kepada mereka.
Orang-orang yang menutup jalan yang diberikan Allah SWT juga harus ber-
tanggungjawab. Padahal Allah telah memberikan jalan bagi ma malakat
aimaanukum atau perempuan-perempuan karir yang tidak ingin kehilangan
pekerjaan apabila menikah untuk sekedar boleh menikmati seks yang halal.

5
Nikah Mut’ah

D
engan mencermati Surat An Nisaa (25) dan An Nuur (32) kita
memperoleh kepastian bahwa para perempuan karir itu tidak perlu
menikah da’im yang menyebabkannya harus mengabdi kepada suami
dan berperan ganda. Mereka juga tidak perlu berzina, tapi boleh melakukan
mut’ah barang satu hari, satu minggu atau seberapa ia perlukan untuk
meredakan dorongan syahwatnya. Selama melakukan mut’ah ia tidak dibe-
bani kewajiban sebagai seorang istri: tidak perlu memasak atau mencucikan
pakaian untuk pasangan mut’ahnya.
Apakah benar mut’ah ada dalam Alquran? Para ulama yang percaya bah-
wa mut’ah tidak pernah diharamkan Allah SWT mengatakan kalimat “Fa
mastamta’tum bihi minhunna…” pada
ayat 24 Surat An Nisaa menunjuk kepada
nikah mut’ah. Dalam bahasa Arab, kata
muta, mut’a atau mut’ah adalah akar
kata mastamta’tum.
Dibandingkan poligami yang hanya
ada dalam dua ayat (An Nisaa: 3, 129),
dasar hukum mut’ah justru lebih kuat

48
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

karena terdapat dalam begitu banyak ayat Alquran. Tidak hanya itu. Dalam
hadits pun petunjuk yang membolehkan hubungan seksual dengan ma
malakat aimanukum (dalam nikah mut’ah) sangat banyak.
Mut’ah adalah bentuk perkawinan sementara (sebelum mampu menikah
secara da’im) yang telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, Khalifah Abu
Bakar Siddik, dan sebagian masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Anak Abu
Bakar Siddik, Asma, juga melakukan mut’ah dengan Zubayr al-Sahabi,
melahirkan dua anak: Abdullah ibnu Zubayr dan Urwah ibnu Zubayr.
Tapi mut’ah kemudian dilarang oleh Khalifah Umar bin Khattab setelah
Rabia ibnu Umayya menghamili perempuan yang ia nikahi secara mut’ah (Al
Muwatta, 28.18.42). Khalifah Umar marah, tapi alasannya tidak begitu jelas.
Kemudian Khalifah Umar melarang dua mut’ah, yaitu mut’ah haji dan mut’ah
perempuan. Menurut laporan Ibnu Suwadah kedua larangan itu telah dicabut
oleh Umar saat menerima Ibnu Suwadah yang menyatakan keberatannya, se-
bab mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar Siddik (al-Tabari,
English Version, Vol. 14, hal. 139-140)
Praktek mut’ah dikalangan sahabat membuktikan bahwa mut’ah adalah
halal, disamping adanya ayat-ayat Alquran yang memberi petunjuk, yaitu
ayat-ayat Surat Al Mu’minuun (1-6), Al Maarij (30), An Nisaa (25) dan An Nuur
(33). Kehalalan mut’ah juga dapat merujuk kepada Hadis Sahih Muslim Buku
ke-8 No. 3243 (tentang laporan Abdullah bin Mas’ud), No. 3246 (laporan Jabir
bin Abdullah dan Salama bin al-Akwa), No. 3248 (laporan Ibnu Uraij) dan No.
3250 (laporan Abu Nadra). Sedangkan laporan Sabra al Juhani, anaknya Rabi
dan Umar ibn Abd al-'Aziz yang sering dirujuk – bahkan dijadikan satu-
satunya rujukan oleh kaum Sunni -- untuk mengharamkan mut’ah merupakan
hadits-hadits ahad yang sangat lemah (dhoif) karena tidak didukung oleh
laporan lain. Ibnu al-Qayyim al-Jawziyya, ulama Sunni abad ke-14
mengatakan hadits pelarangan mut’ah yang disampaikan Sabra tidaklah
otentik. Ulama-ulama yang mengkritisi hadis ini merasa heran mengapa
“perkara larangan” yang besar itu hanya disampaikan Rasulullah SAW hanya
kepada Sabra? Mereka bertanya, apakah sahabat lainnya tuli?
Berbeda dengan nikah da’im (permanen), mut’ah adalah pernikahan
berjangka waktu yang disepakati dan disebutkan secara eksplisit sebelum
dibacakan akad nikah. Ulama Syiah menetapkan waktunya mulai dari satu
jam hingga 99 tahun. Syarat sah nikah yang lain, seperti mahar, akad, tidak
ada bedanya. Mut’ah juga mengenal iddah bagi perempuan, tapi lebih
pendek dari yang berlaku pada nikah da’im, yaitu hanya satu kali suci. Aturan
ini disampaikan oleh Ibnu Abbas RA, sahabat Rasulullah SAW yang berdialog
dengan seseorang:
Ibnu Abbas ditanya: apakah mut’ah itu perzinahan atau perkawinan? Ia
menjawab: bukan yang satunya atau yang lainnya. Penanya bertanya lagi:
Jika begitu, apa itu? Ibnu Abbas menjawab: Itu mut’ah, Allah saja yang menga-
takan. Penanya meneruskan: Apakah ada iddah dalam mut’ah? Ia menjawab:
Ya, satu kali suci (menstruasi). Ia juga ditanya: Apakah suami atau istri saling
mewarisi? Ia jawab: Tidak. (dari Imam Fakhr al-Razi, Tafsiir-e-Kabir, Volume 3,
hal. 286)
Iddah satu kali suci ini juga dijelaskan oleh sahabat lainnya yaitu Abu
Sa'id al-Khudri (Hadits Sunan Abu Dawud, Volume 2, No. 2150, Hadits Sahih
Muslim, Buku 8, No. 3432).

49
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Perbedaan lain, dalam mut’ah tidak ada istilah cerai (talak) dan hukum
waris tidak berlaku bagi mereka. Begitu jangka waktu mut’ah yang disepakati
telah habis dengan sendirinya hubungan seksual antara seorang laki-laki de-
ngan seorang perempuan langsung menjadi zina/haram. Bukankah talak
adalah cara memutus perkawinan yang tidak mempunyai batas waktu
(da’im)? Karena batas waktu nikah mut’ah sudah jelas sejak awal, dinyatakan
dalam perjanjian, talak tidak lagi diperlukan. Jika salah seorang diantara
mereka meninggal dalam menjalankan mut’ah mereka tidak saling mewarisi
karena status masing-masing bukanlah suami atau istri.
Tujuan mut’ah semata-mata untuk kesenangan atau kepuasan
seksual, bukan untuk membentuk keluarga dan reproduksi.
Namun apabila terjadi kehamilan, tidak seperti halnya zina, anak tetap
diakui sebagai anak yang sah dan diketahui siapa ayahnya, sehingga ia pun
mempunyai hak waris atas kekayaan ayahnya.
Nikah mut’ah dipraktekkan para mujahiddin dalam peperangan maupun
dalam masa damai dengan perempuan ma malakat aimaanukum. Rasulullah
sendiri mendapatkan izin dari Allah SWT melakukan mut’ah melalui firman-
Nya dalam Surat Al Ahzab:

Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang


telah kamu berikan mas kawinnya dan ma malakat aimanuka yang kamu mi-
liki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaru-
niakan Allah untukmu... (Al Ahzab: 50)

Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak


boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali ma malakat aimanuka. Dan adalah
Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (Al Ahzab:52)
Ayat 50-51 Al Ahzab melarang Nabi mengawini (secara da’im)
perempuan-perempuan lain selain yang telah dikawini, namun Allah SWT
masih mengizinkan beliau menggauli ”yang ada dalam genggaman tangan
kanan”.

50
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Nikah mut’ah tidak ada hubungannya dengan firqah


tertentu dalam komunitas Islam, melainkan
sesungguhnya wujud kemudahan yang
dianugerahkan Allah SWT kepada ummatnya (An
Nisaa: 28). Adalah keliru besar bila ada pihak-pihak
tertentu mengatakan mut’ah sebagai bentuk
kesesatan kelompok tertentu karena semua
dalilnya ada dalam Alquran.

Tabel 6: Nama-Nama Sahabat Rasulullah


yang Meyakini Mut’ah adalah Halal

1. Khalifah Ali bin Abithalib 12.Awka' Ibn Abdillah,


(AS),
2. Abu Dhar, 13.Salamah Ibn al-Awka',
3. Jabir Ibn Abdillah, 14.Khalid Ibn Muhajir,
4. Abdullah Ibn Abbas, 15.'Amr Ibn Huraith,
5. Abdullah Ibn Masud, 16.Rabi'a Ibn Umayya,
6. Zubair Ibn al-Awwam, 17.Suhair,
7. Imran Ibn Husain, 18.Sa'id Ibn Jubair
Tawoos,
8. Abdullah Ibn Umar, 19.Qotadah,
9. Ubay Ibn Ka'ab, 20.Mujahid,
10.Abu Sa'id al-Khudri, 21.Ataa al-Madani al-
Suddy,
11.Salamah Ibn Umayyah, 22.Hasan bin Ali (AS)

6
Penutup

A
llah SWT telah menjelaskan melalui Alquran pandangan Islam tentang
seks berikut jalan untuk menghindari zina. Islam tidak memandang
seks sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari sebagaima-
na diyakini kaum Nasrani. Bahkan, sebaliknya, bagi Islam seks adalah se-
suatu yang harus disalurkan dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat
dalam batas-batasan yang telah ditentukanNya. Namun ”kebebasan seksual”
a la Islam ini telah mengalami degradasi yang menyedihkan karena muncul-
nya berbagai bentuk pengekangan buatan manusia. Akibatnya, karena jalan
yang halal ditutup untuk mereka, demikian banyak ummat yang akhirnya
terjerembab dalam lumpur zina.

51
Khatib Maulana Islam Menjawab Tuntutan Syahwat

Pengekangan yang mempersempit ”ruang halal” yang telah diberikan


Allah SWT menimbulkan sangkaan buruk bahwa Allah sengaja menyiksa
manusia dengan syahwat yang diberikannya. Padahal Allah SWT telah
menegaskan bahwa Ia hendak memberikan keringanan kepada manusia ka-
rena kelemahan manusia itu (An Nisaa:28). Allah SWT juga berfirman bahwa
”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan” (Al Hajj: 78). Dengan demikian wajarlah apabila ada sekelompok
orang yang menilai pengekangan-pengekangan berlebihan, sehingga
menyerupai doktrin Nasrani, sebagai cara-cara terselubung untuk
menyesatkan ummat.
Mut’ah adalah jalan yang telah dikaruniakan Allah SWT untuk kita, ummat
Islam untuk menghindari zina. Jalan inilah yang telah ditutup demi ke-
pentingan politik golongan, kepentingan yang diletakkan lebih tinggi daripada
Asma Allah dan kepentingan ummat. Kini kita tidak punya jalan lain untuk
menyelamatkan ummat dari kehancuran moralitas seksual, kecuali dengan
”membuka paksa” jalan yang telah ditutup itu. Singkatnya, mut’ah harus
dikembangkan dan dijalankan di tengah masyarakat, untuk mereka yang
mengalami masa-masa darurat (tidak mampu memenuhi syarat nikah da’im),
kendati para penutupnya tidak pernah berlapang hati dan rela.
Tugas kita adalah membuat sistem dan ’aturan main’ agar
mut’ah tidak diselewengkan menjadi prakterk perzinahan, bukan
mengharamkan yang halal!
Bagi pezina yang sadar perbuatannya salah --- hati kecil mereka menjerit,
namun tidak mudah meninggalkan perbuatan itu --- mut’ah adalah jalan
keluar terbaik. Praktis dan murah. Setelah melengkapi hubungannya dengan
perjanjian lama berhubungan (beberapa jam, minggu atau beberapa bulan),
kesepakatan jumlah mahar (biasanya tidak besar-besar agar tidak ber-
pretensi prostitusi) dan akad nikah, hubungan seksual yang mereka lakukan
langsung berubah status dari haram ke halal.

Semoga Allah SWT senantiasa bersama kita. Amin.

52

You might also like