You are on page 1of 17

Gizi Buruk, Aib Negara Berkembang Gizi.

net - Supriyadi (1,6 tahun) balita asal Desa Kalasan RT13/14, Kecamatan Kasemen Kota Serang pada awal Maret lalu akhirnya meninggal dunia di rumahnya setelah sempat selama tiga pekan dirawat di RSUD Serang karena menderita gizi buruk. Sarmawi (35 th), orang tua anak balita tersebut mengatakan, bayinya hanya memiliki berat badan empat kilogram dari berat ideal pada bayi seusianya yaitu enam kilogram dan Suriyadi selama tiga pekan menderita berbagai penyakit yang disebabkan kondisi gizi buruk. Supriyadi mengidap berbagai penyakit, antara lain demam tinggi, jantung, liver, dan muntah-muntah. Bahkan selama dalam perawatan di rumah sakit, anak itu tidak mau makan dan minum susu, kata Samawi. Kasus balita yang meninggal karena kekurangan gizi senantiasa menjadi pemberitaan media massa, karena mampu mengundang perhatian dan kepedulian masyarakat luas terhadap kondisi ironis yang menimpa anak-anak penderita gizi buruk di zaman modern seperti sekarang ini. Apalagi kasus kematian balita dan anak-anak tersebut terjadi di daerah-daerah yang jaraknya tidak jauh dari ibukota kabupaten, provinsi dan ibukota negara. Sarmawi hanya salah satu potret dari ribuan orang tua dengan balita penderita gizi buruk yang berada di pelosok Tanah Air dan juga wilayah-wilayah lain di dunia khususnya di negara-negara berkembang, seperti Filipina, Srilanka. Malnultrisi telah mengancam kesehatan dan kesejahteraan dan masa depan banyak anakanak di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurut data nasional, terdapat 18,4 persen anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan berat badan dengan angka pertumbuhan di bawah normal (stunting) sebesar 36,8 persen yang merupakan indikator adanya kekurangan nutrisi yang kronis. Malnultrisi pada anak erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor budaya yang memengaruhi pemberian makanan tertentu meski belum layak di konsumsi di usianya. Banyaknya anak-anak penderita kekurangan gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi seimbang bagi anakanak mereka karena umumnya pendidikan rendah dari orang tua serta faktor kemiskinan. Sementara faktor budaya juga turut andil melalui kebiasaan turun-temurun untuk memberikan nasi lembek dan buah pisang yang dilembutkan kepada bayi-bayi masih berusia di bawah empat bulan untuk alasan agar anak menjadi cepat besar. Bahkan, karena alasan kemiskinan maka banyak anak balita yang sehari-hari mengkonsumsi makanan yang sama dengan makanan orang tua mereka dan makanan dengan lauk kerupuk atau jenis makanan ringan yang memiliki bahan perasa sangat kuat.

Entin (20 th ) ibu seorang balita yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di Bekasi mengaku karena keterbatasan penghasilan setiap hari hanya mampu memberikan satu kali susu untuk anak balitanya, Yanti (2,5 th) . Susu yang diberikan kepada Yanti bukan merupakan susu bayi tetapi susu kental manis yang tidak cocok untuk anak balita. Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jabar, Alma Luciati mengakui, ada 1,01 persen balita di Jabar menderita gizi buruk. Anak balita yang masuk dalam kategori gizi kurang mencapai 380.673 orang dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu. "Masalah gizi memang banyak ditemukan dalam kehidupan, termasuk di Jabar. Karena masalah gizi ini memang terjadi dalam setiap siklus kehidupan, bayi, balita, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa pasti mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu, ini menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama secara komprehensif, " katanya. Kasus gizi buruk dan kurang gizi di Jawa Barat, di antaranya di Indramayu, Bekasi, Karawang, Sumedang, Tasikmalaya, dan Kabupaten Bandung. Melalui sosialisasi soal pola hidup sehat, maka tahun ini juga kasus gizi buruk dan kurang bisa ditekan. Luciati mengatakan, salah satu kendala dalam mengatasi kasus gizi buruk saat ini, adalah belum maksimalnya partisipasi masyarakat terhadap program kesehatan pemerintah. Namun pihaknya menargetkan, kasus gizi buruk dan kurang bisa tertangani seluruhnya hingga tahun 2010. Penyebab Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus malnutrisi. Badan Dunia untuk pendanaan bagi anak-anak atau UNICEF (United Nations Children's Fund) menyatakan ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan. Sedangkan malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak. Pengelolaan lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga

menjadi penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan, ada tiga faktor penyebab anak menderita gizi buruk khususnya balita. Faktor-faktor itu adalah keluarga miskin, faktor ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak, dan faktor penyakit bawaan pada anak, seperti jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare. Donasi Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Save the Children Internasional merupakan sebuah organisasi nirlaba dalam bidang bantuan dan pengembangan kemanusiaan yang telah bekerja di lebih dari 45 negara di dunia ikut mengambil bagian dalam penanganan masalah kekurangan gizi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Sejumlah kecamatan dan kabupaten rawan gizi di Jawa Barat menjadi fokus perhatian organisasi tersebut. Save the Children yang memperoleh dukungan dari Kraft Foods Indonesia (KFI) melalui program tanggung jawab sosial perusahaan(Corpoate Social Responsibility) atau CSR menyalurkan dana dan asistensi kepada masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi gizi buruk. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Alma Luciati , konsumsi makanan anak-anak di sejumlah kecamatan di Karawang masih jauh dari kondisi sehat yang mengakibatkan terjadi anemia gizi. "Dari 3,7 juta balita di Jabar sebanyak 10,8 persen mengalami gizi kurang dan 1,01 persen mengalami gizi buruk. Biasanya penyakit gizi buruk selalu diikuti dengan sejumlah penyakit mulai dari diare, campak hingga penyakit parah lainnya," katanya. Sejumlah pendekatan telah dilaksanakan bersama dengan dukungan LSM yang bergerak di bidang kesehatan. Save the Children melaksanakan pendekatan untuk mengatasi masalah gizi dengan konsentrasi di wilayah Jawa Barat, yakni Kecamatan Cikarang di Kabupaten Bekasi, Kecamatan Padalarang di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Karawang. Direktur Save the Children untuk Indonesia, Mark Fritzler mengatakan, upaya intersektoral tersebut difokuskan dengan target 525 posyandu yang menghadapi pasien malnutrisi yang makin parah setelah terjadinya krisis global. "Kami menerima dana bantuan senilai 1,9 juta dolar AS (Rp22 miliar) untuk membantu lebih dari 150 ribu orang yang mengalami masalah kekurangan gizi, khususnya di sejumlah kecamatan dan kabupaten di Jawa Barat," katanya.

Dibutuhkan lebih dari sekadar makanan untuk memberantas kekurangan gizi dan dibutuhkan dukungan untuk mengembangkan hasil kerja yang telah dilakukan sebelumnya, yakni membantu pemerintah Indonesia dalam merevitalisasi posyandu dan peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, kata Mark Fritzler. Bantuan berupa komitmen tiga tahun tersebut untuk membantu distribusi makanan yang berbasis komunitas dan meningkatkan pembelajaran mengenai gizi di Indonesia. Ia mengatakan, upaya intersektoral tersebut difokuskan dengan target 525 posyandu yang menghadapi pasien malnutrisi yang makin parah setelah terjadinya krisis global. Seluruh posyandu tersebut tersebar di tiga kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Kabu paten Bandung Barat dan Kabupaten Bekasi. Pemberian dana tersebut dalam rangka untuk meningkatkan kondisi kesehatan maupun gizi ibu dan anak di Provinsi Jawa Barat yang dinilai masih jauh dari angka baik. "Bantuan ini sengaja kami fokuskan di Provinsi Jawa Barat juga karena jumlah anak di Provinsi Jawa Barat sangat besar," ungkap Mark Fritzler. Oleh karena itu, lanjutnya, Save The Children bersama dengan Kraft Food Indonesia pun memutuskan bahwa target mereka untuk menyelamatkan anak Indonesia dari malnutrisi ini dimulai di Provinsi Jabar. "Kami tidak akan mengintervensi sistem kebijakan kesehatan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, yang akan kami lakukan adalah merevitalisasi posyandu dan mendukung kegiatan mereka," ujarnya. Sementara, Presiden Direktur Kraft Food Indonesia Steven Tan mengatakan, bantuan tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan dan kepedulian terhadap persoalan gizi yang terjadi di kawasan Asia, khususnya di Indonesia. "Program di Indonesia sama dengan program kemitraan senilai 1,1 juta dolar AS yang telah diserahkan kepada masyarakat Filipina. Program di Indonesia dan Filipina mewakili komitmen tiga tahun senilai tiga juta dolar yang diserahkan kepada Save the Children untuk memerangi malnutrisi di Asia," katanya.ant/itz Sumber: http://www.republika.co.id Senin, 20 April 2009 pukul 17:06:00

Seorang anak bisa menjadi gizi buruk bisa berada dalam 3 tahap : 1. Status Gizi Normal 1. Ibu tidak mengetahui makanan yang tepat untuk diberikan pada balita. 2. Anak balita terpajan dengan iklan panganan ringan yang tidak bergizi. 3. Asupan buat anak tidak diistimewakan sebagaimana yang dipersiapkan untuk ayah atau ibunya. 4. Tidak rutin datang ke Posyandu. 5. Pada saat seperti ini anak masih berada dalam keadaan status gizi normal, namun berpotensi mendapatkan gangguan gizi. Pada usia <> 80%) masih disusui ibu. Dengan menetek, anak mendapatkan gizi yg seimbang & zat kebal dari asi anak jarang sakit pertumbuhan anak masih baik. 2. Status Gizi Kurang / Menurun (Fase Gangguan Gizi) Pada saat ini balita mengalami gangguan gizi, ini terjadi karena tidak terpantaunya berat badan anak. Pada usia 6 bln 12 bln sebagian bayi sudah mulai disapih perlindungan zat kebal dari asi mulai berkurang & pemberian mp-asi kurang memenuhi syarat : jenis, jumlah, jadwal, higienis (3j-1h). Anak mudah jatuh sakit dan pertumbuhan mulai terganggu. 3. Status Gizi Buruk Pada saat ini status anak makin memburuk dan sudah menampakkan gejala-gejala penyakit. Anak sudah terlihat kurus sampai dengan sangat kurus. Pada saat ini anak rentan terhadap hawa dingin, khususnya pada bayi bisa berakibat kematian. Anak juga mengalami kekurangan energi (glukosa darah menurun) dan kekurangan protein. Pada beberapa kasus yang severe tidak hanya pembentukan otot yang gagal bahkan sampai dengan pembentukan otak bisa tidak terjadi (microcephali). Kematian bisa terjadi di tahap ini, bisa karena berbagai sebab.

Cara melakukan perbaikan tentu saja mengikuti pola penanganan uang komprehensif yakni : Kegiatan kuratif dan rehabilitatif dan Kegiatan Promotif Preventif. Pada kegiatan Promotif dan Preventif yang mencegah anak menjadi makin jatuh kedalam status yang lebih parah antara lain adalah :

1. Penyadaran masyarakat secara keseluruhan dengan bentuk promosi yang menarik tentang adanya kasus gizi buruk yang kemungkinan terjadinya berasal dari ketidaktahuan ibu akan pemberian makanan yang bergizi. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah masyarakat untuk mencoba mencari tahu bagaimana makanan yang bergizi. Media yang bisa digunakan :

Spot Iklan Poster Baliho dll

2. Penyadaran sasaran (ibu) untuk konsumsi yang baik bagi balitanya melalui media bacaan ringan, penyuluhan di posyandu dan PMT (pemberian makanan tambahan) Penyuluhan. Di dalamnya bisa diberikan menu-menu pilihan lokal yang lebih mungkin diberikan oleh ibu baik dengan taraf ekonomi mampu maupun miskin.

Metode yang cukup berhasil disini adalah Positive Deviance. Saat ini FKM UI sedang mengembangkan kelembagaannya. Perkumpulan ibu bisa digunakan untuk menyebarkan cara ini : PKK, Arisan dan Pengajian.

3. Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu. Hal yang termasuk dalam kegiatan ini antara lain adalah :

Revitalisasi Posyandu yang tidak aktif. Pengadaan paket perangkat untuk PMT penyuluhan yang berupa alat memasak tertentu bagi posyandu yang sudah sanggup melaksanakannya. Pelatihan kader Pos Pelayanan Gizi. Tidak semua posyandu telah dilatih masalah ini.

4. Pemberian Suplementasi. Termasuk dalam suplementasi antara lain adalah : Vitamin, Mikronutrien (Fe, Zink dll). 5. Pencarian penderita Gizi Buruk, Gangguan Gizi (T pada KMS) dan BGM serta penyakit menular yang berpotensi menjadi gangguan gizi (tuberkulosis, diare dll)

6. Untuk masyarakat miskin bisa diberikan merata baik yang terkena gangguan gizi maupun tidak adalah MP ASI untuk usia 6-24 bulan (bubur susu) dan usia 24-59 (biskuit) Pada kegiatan Kuratif dan Rehabilitatif antara lain bisa berupa :

1. Penanganan Gizi Buruk di Unit TFC (Therapeutic Feeding Center) yang dilakukan di TFC. Untuk ini ada petunjuk teknis tersendiri untuk petugas baik di Puskesmas maupun RS. 2. Penanganan Lanjutan di CTC (Community-based Therapeutic Center)

PMT Pemulihan 26 Minggu atau sampai tercapai z-score >-1 Penyuluhan Makanan Lokal dengan pendekatan Positif Deviance Penghargaan bagi ibu dan balita yang sudah lulus.

Kelebihan Gizi juga Menimbulkan Penyakit Gizi.net - SAAT ini bukan cuma kekurangan gizi yang menjadi masalah, tetapi juga kelebihan gizi. Kelebihan dan kekurangan gizi saat ini bisa dikategorikan ke dalam kelompok penyakit. Menurut dr Endang Darmoutomo SpGK, kelebihan gizi lebih mengarah pada penyakit degeneratif, sedangkan kekurangan gizi lebih ke arah rendahnya daya tahan tubuh, cepat lelah, lesu, lemah, dan gampang sakit. ''Kelebihan gizi tidak baik apalagi kekurangan gizi. Oleh sebab itu, lebih dianjurkan untuk mengonsusmi makanan bergizi dan seimbang,'' kata ahli gizi dari Siloam Hospital Gleneagles Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Untuk mengetahui apakah seseorang kekurangan atau kelebihan gizi, jelas Endang, secara kasar bisa dilihat dari berat badannya. Pada bayi dan anak-anak yang sedang tumbuh, misalnya, dapat dilakukan dengan melihat grafik umur dengan berat badan. Untuk orang dewasa dilakukan dengan menghitung body mass index/BMI atau indeks massa tubuh (IMT), yaitu berat badan (dalam kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). ''Seseorang yang mempunyai IMT 19-25 dapat dikatakan mempunyai berat badan sehat dan telah mendapat asupan gizi (khususnya sumber energi) yang cukup. Untuk orang yang IMT-nya di atas 25 menunjukkan risiko lebih tinggi untuk penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Obesitas yaitu suatu kondisi yang dicirikan oleh kelebihan lemak tubuh. Kelebihan lemak pada laki-laki didefinisikan sebagai level lemak tubuh lebih dari 20% dari berat total dan untuk wanita lebih dari 25% dari total berat badan. Obesitas Penyebab obesitas, jelas Endang, dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pertama, suatu asupan makanan berlebih. Dua, rendahnya pengeluaran energi basal, dan ketiga, kurangnya aktivitas fisik. Terjadinya obesitas karena adanya ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang dikeluarkan atau digunakan untuk beraktivitas. "Karena asupan terlalu banyak sementara pengeluaran kurang atau kurang aktivitas fisik, maka terjadilah overweight (kelebihan berat) dan selanjutnya terjadi obese (kegemukan). Tetapi, obesitas juga dapat terjadi karena faktor genetika.'' Anak yang dilahirkan dari orang tua yang keduanya obese mempunyai peluang 75% untuk obese juga. Bila salah satu orang tuanya obese, maka peluangnya sekitar 40% dan bila kedua orang tuanya tidak obese peluangnya hanya 10%. Untuk melihat seseorang obese atau tidak, bisa dengan menghitung BMI-nya. Beberapa penyakit akibat dari kekurangan gizi ini di antaranya adalah penyakit Kurang Energi Protein (KEP), yang ditunjukkan dengan dua keadaan: kwasiorkor dan marasmus.

Marasmus disebabkan defisit energi dan protein yang parah, di mana korban akan mempunyai sedikit sekali atau bahkan tidak punya simpanan lemak, massa otot kecil, dan sangat lemah. Penyakit ini bisa menimbulkan kematian akibat sering terkena infeksi karena tidak mempunyai daya tahan terhadap penyakit. Sedangkan kwasiorkor terjadi terutama pada anak-anak yang defisit energinya tidak terlalu parah), namun defisit proteinnya parah. Orang yang terkena kwasiorkor ditunjukkan dengan edema berupa pertumbuhan yang buruk, lemah, dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit. Penyakit kurang gizi lainnya adalah terjadinya gondok, badan kerdil, dan kurang kecerdasan karena kekurangan mineral yodium. Lebih lanjut, Endang mengatakan orang tua jangan menganggap remeh gizi. Sebab, ada beberapa penyakit akibat kekurangan gizi yang bisa membuat cacat seseorang. Kekurangan vitamin A, misalnya, menyebabkan rabun ayam sampai kebutaan, terganggunya pertumbuhan dan menurunnya daya tahan terhadap penyakit; kurang vitamin D menyebabkan terjadinya demineralisasi tulang, yang dapat menyebabkan penyakit ricket pada anak-anak dan osteomalacia pada orang dewasa. Kurang vitamin B1 menyebabkan beri-beri; kurang asam nikotinat menyebabkan kulit kasar atau pellagra, kurang riboflavin menyebabkan seborrheic dermatitis sekitar hidung dan mulut, dermatitis dan pruritus dari scrotum dan vulva dsb; kurang biotin menyebabkan maculosquamous dermatitis pada leher, tangan dan lengan, dan kaki; kurang asam folat menyebabkan megaloblastic anemia serta neural tube defect (NTD) atau cacat tulang belakang pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang defisien asam folat; kurang vitamin C menyebabkan sariawan dan gusi berdarah; dan masih banyak lagi penyakit akibat kurang gizi. (Nda/V-1) Sumber: Media Indonesia, Rabu 17 Maret 2004

Gangguan Kesehatan akibat Kekurangan Energi dan Protein (KEP) Hasil penelitian di berbagai tempat dan di banyak negara menunjukkan bahwa penyakit gangguan gizi yang paling banyak ditemukan adalah gangguan gizi akibat kekurangan energi dan protein (KEP). Dalam bahasa Inggris penyakit ini disebut Protein Calorie Malnutrition atau disingkat PCM. Ada juga ahli yang menyebutnya sebagai Enery Protein Malnutrition atau EPM, namun artinya sama. Ada dua bentuk KEP yaitu marasmus dan kwashiorkor. Baik marasmus maupun kwashiorkor keduanya disebabkan oleh kekurangan protein. Akan tetapi pada marasmus di samping kekurangan protein terjadi juga kekurangan energi. Sedangkan pada kwashiorkor yang kurang hanya protein, sementara kalori cukup. Marasmus terjadi pada anak usia yang sangat muda yaitu pada bulan pertama setelah lahir, sedangkan kwashiorkor umumnya ditemukan pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Ada empat ciri yang selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor yaitu sebagai berikut :

Adanya oedema pada kaki, tumit dan bagian tubuh lain seperti bengkak karena ada cairan tertumpuk. Gangguan pertumbuhan badan. Berat dan panjang badan anak tidak dapat mencapai berat dan panjang yang semestinya sesuai dengan umurnya. Perubahan aspek kejiwaan, yaitu anak kelihatan memelas, cengeng, lemah dan tidak ada selera makan. Otot tubuh terlihat lemah dan tidak berkembang dengan baik walaupun masih tampak adanya lapisan lemak di bawah kulit.

Istilah marasmus berasal dari bahasa yunani yang sejak lama digunakan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran untuk menggambarkan seorang anak yang berat badannya sangat kurang dari berat badan seharusnya. Ciri utama penderita marasmus adalah sebagai berikut :

Anak tampak sangat kurus dan kemunduran pertumbuhan otot tampak sangat jelas sekali apabila anak dipegang pada ketiaknya dan diangkat. Berat badan anak kurang dari 60% dari berat badan seharusnya menurut umur. Wajah anak tampak seperti muka orang tua. Jadi berlawanan dengan tanda yang tampak pada kwashiorkor. Pada penderita marasmus, muka anak tampak keriput dan cekung sebagaimana layaknya wajah seorang yang telah berusia lanjut. Oleh karena tubuh anak sangat kurus, maka kepala anak seolah-olah terlalu besar jika dibandingkan dengan badannya. Pada penderita marasmus biasanya ditemukan juga tanda-tanda defisiensi gizi yang lain seperti kekurangan vitamin C, vitamin A, dan zat besi serta sering juga anak menderita diare.

2. Gangguan Kesehatan Akibat Kekurangan Vitamin A

Vitamin A diperlukan untuk penglihatan. Vitamin tersebut merupakan bagian penting dari penerima cahaya dalam mata. Selain itu vitamin A juga diperlukan untuk mempertahankan jaringan ari dalam keadaan sehat. Kulit, pinggiran dan penutup berbagai bagian tubuh, seperti kelopak mata, mata, hidung, mulut, paru-paru dan tempat pencernaan, kesemuanya dikenal sebagai jaringan ari. Vitamin A juga mempunyai beberapa fungsi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan. Kekurangan vitamin A pertumbuhan menjadi terhambat dan rangka tubuh berhenti tumbuh. Tanda awal dari kekurangan vitamin A adalah tureunnya kemampuan melihat dalam cahaya samar. Penderita sama sekali tidak dapat melihat apabila memasuki ruangan yang agak gelap secara tiba-tiba. Penyakit ini umumnya diderita oleh anak-anak. Terjadinya kekurangan vitamin A adalah sebagai akibat berbagai sebab seperti berikut ini :

Tidak adanya cadangan vitamin A dalam tubuh anak sewaktu lahir karena semasa dalam kandungan, ibunya kurang sekali mengkonsumsi makanan sumber vitamin A. Kadar Vitamin A dalam air susu ibu (ASI) rendah. Hal ini disebabkan konsumsi vitamin A ibu yang rendah pada masa menyusui. Anak diberi makanan pengganti ASI yang kadar vitamin A-nya rendah. Anak tidak menyukai bahan makanan sumber vitamin A terutama sayursayuran. Gangguan penyerapan vitamin A oleh dinding usus oleh karena berbagai sebab seperti rendahnya konsumsi lemak atau minyak.

Kekurangan vitamin A dapat meyebabkan cacat menetap pada mata (buta) yang tidak dapat disembuhkan. Xerophthalmia sebagai akibat kekurangan vitamin A merupakan penyebab kebutaan tertinggi, dan yang memprihatinkan adalah penderitanya justru anak-anak usia balita yang merupakan tunas bangsa. Penanggulangan kekurangan vitamin A dilakukan selain dengan jalan penyuluhan guna memperbaiki makanan keluarga agar lebih banyak mengkonsumsi bahan makanan sumber vitamin seperti sayuran hijau dan buah-buahan berwarna, dilakukan juga pemberian vitamin dosis tinggi yaitu 200.000 300.000 SI kepada anak balita. 3. Gangguan Kesehatan Akibat Kekurangan Zat Besi (Anemia Gizi) Besi adalah mineral mikro yang mempunyai peran penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Mineral tersebut terdapat dalam darah dan semua sel tubuh. Zat besi dalam darah merah berada sebagai bagian dari hemoglobin dan pigmen sel merah. mineral tersebut bertindak sebagai pembawa oksigen dan karbondioksida. Jika tidak terdapat cukup besi untuk memenuhi kebutuhan tubuh, maka jumlah hemoglobin

dalam sel darah merah berkurang dan keadaan tidak sehat timbul yang dikenal sebagai anemia gizi. Rendahnya kadar hemoglobin dalam darah dilihat apabila bagian kelopak mata penderita terlihat berwarna pucat. Kadar baku hemoglobin dalam darah yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang menderita anemia gizi adalah seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Kadar Baku Hb dalam Darah Umur (thn) Jenis Kelamin 0,5 - 4 Pria / wanita 5-9 10 - 14 Pria / wanita Pria / wanita Dewasa pria Dewasa wanita Kadar Hb (g/100ml) 10,8 11,5 12,5 14,0 12,0

Wanita hamil 10,0 Sumber : Jellife (1996) dalam Sjahmien Moehji (1986)

Zat besi terutama banyak sekali hanya terdapat dalam sayur-sayuran. Demikian juga asam folat, sedang bitamin B12 hanya terdapat dalam bahan makanan yang berasal dari hewan. Pencegahan anemia gizi selain dengan mengkonsumsi bahan makanan sumber zat besi juga dapat dilakukan dengan jalan memberikan zat besi dalam bentuk tablet kepada wanita hamil terutama dalam masa tiga bulan terakhir menjelang anak lahir.

4. Gangguan Kesehatan Akibat Kekurangan Iodium Kekurangan iodium akan mengakibatkan membesarnya kelenjar gondok. karena itu, penyakit yang timbul akibat kekurangan iodium disebut penyakit gondok. Karena penyakit pembesaran kelenjar gondok ini ditemukan di daerah-daerah tertentu untuk jangka waktu yang lama, maka disebut penyakit gondok endemik. Di daerah penyakit gondok endemik, pembesaran kelenjar gondok dapat terjadi pada semua umur, bahkan seorang ibu yang menderita pembesaran gondok akan melahirkan bayi yang juga menderita kekurangan iodium dan jika tidak diobati maka pada usia satu tahun sudah akan terjadi pembesaran kelenjar gondoknya. Kejadian pembesaran kelenjar gondok terbanyak ditemukan pada usia antara 9 sampai 13 tahun pada anak laki-laki dan antara usia 12 sampai 18 tahun pada anak perempuan. Pada usia dewasa jarang sekali terjadi pembesaran kelenjar gondok kecuali pada wanita yang sering ditemukan

pembesaran kelenjar gondoknya baru timbul setelah usia 19 atau 20 tahun. Setelah mencapai usia puber, kelenjar gondok yang timbul pada usia kanak-kanak itu cepat sekali membesar dan dapat berubah menjadi bentuk nodula. Akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya manusia kerdil atau kretinisme di samping gangguan perkembangan otak yang membawa akibat gangguan mental. Terjadinya kekurangan iodium terutama akibat rendahnya kadar iodium dalam tanah sehingga air dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di daerah itu juga rendah kadar iodiumnya. Di samping itu beberapa jenis makanan mengandung zat yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar gondok dan disebut zat goiterogen. Zat tersebut ditemukan dalam sayuran dari jenis Brassica seperti kubis, lobak, kol kembang. Juga zat tersebut ditemukan dalam kacang kedelai, kacang tanah dan obat-obatan tertentu. Zat goiterogen tersebut dapat menghalangi pengambilan iodium oleh kelenjar gondok sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar gondok sangat rendah. Selain itu zat tersebut juga dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik menjadi bentuk organik sehingga menghambat pembentukan hormon tiroksin. Masih ada beberapa faktor lain yang diduga dapat mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar gondok, seperti air minum yang tercemar, kadar zat kapur dalam air yang terlalu tinggi dan sebagainya. Dengan diketahuinya penyebab terpenting dari penyakit gondok itu maka usaha-usaha pencegahan telah dapat dilakukan dengan mudah. Pada tahun 1833 dilakukan percobaan dengan mencampurkan iodium ke dalam garam kapur dan baru dalam tahun 1924 usaha pencegahan penyakit gondok ini dengan menggunakan garam beriodium (iodized salt) secara besar-besaran dilakukan di Amerika Serikat. Jenis iodium yang digunakan dalam pembuatan garam beriodium adalah persenyawaan iodat kalium (KIO3) dengan kadar satu bagian iodium dicampur dengan 10.000 200.000 bagian garam. Di Indonesia pembuatan garam beriodium ini dilakukan dengan jalan memasukkan 3,3 mg larutan KI ke dalam tiap bata garam (brickets) dan dengan cara ini diperoleh garam beriodium dengan kadar 20 ppm.

5. Gangguan Kesehatan Akibat Kelebihan Zat Energi Perkembangan ekonomi yang pesat, menyebabkan peningkatan pendapatan penduduk. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran pola konsumsi kearah yang lebih beraneka ragam. Proporsi sumber kalori dari karbohidrat khususnya beras, berkurang dan diikuti dengan meningkatnya lemak dan protein terutama dari sumber hewani. Dengan meningkatnya pendapatan ini, mereka yang hidup di kota dengan gaya serta pola makan seperti orang barat, biasanya menjadi menderita karena kelebihan gizi ini. Pola makan mereka biasanya mengkonsumsi terlalu banyak protein, lemak, makanan tak berserat.

Kelebihan zat gizi dalam hal ini zat energi dalam jangka waktu yang berkesinambungan akan menyebabkan berat badan meningkat, timbunan lemak meningkat dan terjadi kegemukan (obesitas). Biasanya orang yang gemuk sulit bergerak cepat, gerakan jadi lamban dan biasanya lebih lanjut mudah terkena gangguan fungsional jantung dan ginjal. Tambahan konsumsi energi berikutnya pada penderita kegemukan akan menyebabkan energi bersifat racun atau mendekatkan diri pada kematian dibanding daya manfaat yang sebenarnya. Demikian pula konsumsi protein yang berlebihan menyebabkan beban kerja ginjal semakin berat, dan bila terus berlebih akan menimbulkan gangguan pada ginjal. Dampak lain dari kelebihan konsumsi energi dan protein ini selain penyakit jantung dan ginjal, juga dapat mengakibatkan penyakit darah tinggi, kencing manis, kanker. Penanggulangan penyakit akibat gizi lebih, harus dimulai dari pengaturan makanan, artinya dengan mengurangi porsi makanan yang biasa dikonsumsi, mengurangi konsumsi gula, garam, lemak, dan meningkatkan konsumsi makanan yang berserat seperti sayuran dan buah-buahan. Sumber: Komoditas Pertanian Sebagai Sumber Gizi, DepDiknas

Kurang Gizi Pada Anak Gizi.net - GIZI merupakan unsur yang sangat penting di dalam tubuh. Dengan gizi yang baik, tubuh akan segar dan kita dapat melakukan aktivitas dengan baik. Gizi harus dipenuhi justru sejak masih anak-anak, karena gizi selain penting untuk pertumbuhan badan, juga penting untuk perkembangan otak. Untuk itu, orang tua harus mengerti dengan baik kebutuhan gizi si anak agar anak tidak mengalami kurang gizi. Selain itu, orang tua juga harus mengetahui apa dan bagaimana kurang gizi itu. Tanda kurang gizi

Menurut Dr. Sri Kurniati M.S., Dokter Ahli Gizi Medik Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga. Pertama, disebut sebagai Kurang Energi Protein Ringan. Pada tahap ini, Sri menjelaskan bahwa belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan si anak hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal. Sedangkan yang kedua, disebut sebagai Kurang Energi Protein Sedang. Pada tahap ini, berat badan si anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang bisa dilihat dengan jelas adalah wajah menjadi pucat, dan warna rambut berubah agak kemerahan. Ketiga, disebut sebagai Kurang Energi Protein Berat. Pada bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu kurang sekali, biasa disebut Marasmus. Tanda pada marasmus ini adalah berat badan si anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal. Selain marasmus, ada lagi yang disebut sebagai Kwashiorkor. Pada kwashiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain adalah kaki mengalami pembengkakan, rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea, sehingga mata bisa pecah. Selain tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut, ada juga tanda lainnya, seperti penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut misalnya adalah anemia atau kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan, serta pecah-pecah di sudut mulut. Faktor penyebab Kurang gizi pada anak, bisa terjadi di usia Balita (Bawah Lima Tahun). Pedoman untuk mengetahui anak kurang gizi adalah dengan melihat berat dan tinggi badan yang kurang dari normal, kata Sri. Sri menambahkan, jika tinggi badan si anak tidak terus bertambah atau kurang dari normal, itu menandakan bahwa kurang gizi pada anak tersebut sudah berlangsung lama. Sri menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kurang gizi pada anak. Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut mempengruhi. Dengan demikian, perhatian si ibu untuk si kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya si kakak menjadi kurang gizi. Balita itu konsumen pasif, belum bisa mengurus dirinya sendiri, terutama ntuk makan, tutur Sri. Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-penyakit lain. Selain itu, yang ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak mudah sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang gizi. Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi. Kurang gizi yang murni adalah karena makanan, kata Sri. Menurut Sri, si Ibu harus dapat memberikan makanan yang kandungan gizinya cukup. Tidak harus mahal, bisa juga diberikan makanan yang murah, asal kualitasnya baik, lanjut Sri. Oleh karena itulah si Ibu harus pintar-pintar memilihkan makanan untuk anak. Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis mereka akan kekurangan gizi. Keenam, selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan. Upaya yang harus dilakukan Bila kekuangan gizi, anak akan mudah sekali terkena berbagai macam penyakit, anak yang kurang gizi tersebut, akan sembuh dalam waktu yang lama. Dengan demikian kondisi ini juga akan mempengaruhi perkembangan intelegensi anak. Untuk itu, bagi anak yang mengalami kurang gizi, harus dilakukan upaya untuk memperbaiki gizinya. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut antara lain adalah meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai gizi, melakukan pengobatan kepada si anak dengan memberikan makanan yang dapat menjadikan status gizi si anak menjadi lebih baik. Dengan demikian, harus dilakukan pemilihan makanan yang baik untuk si anak. Menurut Sri, makanan yang baik adalah

makanan yang kuantitas dan kualitasnya baik. Makanan dengan kuantitas yang baik adalah makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan si anak. Misalnya, memberi makanan si anak berapa piring sehari adalah sesuai kebutuhannya. Dan akan lebih baik jika memberikan vitamin dan protein melalui susu. Bagi keluarga yang tidak mampu, bisa menyiasatinya, misalnya mengganti susu dengan telur. Kemudian, makanan yang kualitasnya baik adalah makanan yang mengandung semua zat gizi, antara lain protein, karbohidrat, zat besi, dan mineral. Upaya yang terakhi adalah dengan mengobati penyakitpenyakit penyerta. (m-4) KOMPONEN MAKANAN SEHAT

Kelompok Makanan Protein diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan, dan penggantian jaringan tubuh. Produk hewan seperti daging, ikan, telur, keju dan produk susu lainnya; amat banyak mengandung protein. Dari bahan nabati, antara lain kacang-kacangan (kacang hijau, kedelai, dan sebagainya). Hidrat-arang untuk menambah energi, namun bila kelebihan akan disimpan dalam tubuh sebagai lemak. Yang banyak mengandung Hidrat arang adalah gula, beras, jagung, dan umbi-umbian. Lemak juga merupakan sumber energi dan menghasilkan kalori lebih banyak dari makanan lainnya. Makanan yang banyak berlemak adalah yang berasal dari kacang-kacangan. Serat adalah bahan yang tak dapat dicerna oleh sistem pencernaan. Tidak mengandung gizi atapun energi, hanya berguna untuk kelancaran kegiatan pencernaan. Vitamin adalah bahan kimia kompleks yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit. Anak makannya normal tak punya kecenderungan kekurangan vitamin. Mineral dan garam-garam diperlukan dalam jumlah sedang. Termasuk didalamnya zat besi, potasium, kalsium, dan sodium (terdapat dalam garam meja). Seorang anak akan terhindar dari kekurangan zat-zat ini bila makanannya seimbang. Kalori adalah satuan untuk mengukur besarnya nilai energi dalam makanan. Bila seorang memakan lebih banyak kalori dari yang dipakainya, sisanya akan disimpan sebagai lemak. Sebaliknya, bila lebih banyak energi dari yang dimakan, simpanan lemak itu akan dipakai dan tubuh akan tampak menjadi kurus. Makanan yang banyak mengandung lemak atau kalori umumnya bernilai kalori tinggi. Saran Diet Umumnya makanan berprotein dari sumber hewani banyak mengandung lemak, jadi sebaiknya pilihlah yang berasal dari sumber nabati. Dalam memilih makanan hidrat arang, sebaiknya pilihlah beras merah atau jagung yang

mengandung serat serta zat lainnya, dibanding gula atau makanan jadi lain yang hanya mengandung energi. Usahakan sesedikit mungkin memakan makanan berlemak. Untuk mendapatkan serat, pilihlah makanan dari padi-padian, buah, dan sayuran. Vitamin bisa hilang bila makanan dimasak terlalu lama. Jadi sebaiknya makanlah sayuran sebagai lalapan dan buah mentah. Terlalu banyak garam malah merugikan, jadi sebaiknya jangan terlalu banyak memakan garam-garaman. Makanan anak harus cukup mengandung kalori, namun jangan terlalu banyak. Untunglah bahwa mekanisme pengaturan nafsu makan anak-anak biasanya sudah menjamin cukupnya kalori dari makanannya. Sumber : Harian Pelita, Jumat, 1 Juni 2001; Halaman 9 Oleh: Dr. Tony Smith (editor), Pertolongan Pertama Dokter di Rumah Anda, Dian Rakyat, 1986

You might also like