You are on page 1of 15

Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru Oleh Nurhasanah Bakhtiar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UIN Suska Riau HP. 081371832911 Abstract: The world of pesantren is full of various fascinating, uniqueness, exclusive specification and characteristic of which is not owned by other institution. Pesantren, at the beginning often pouted as place of camouflage which more managing the eternity problem, always having order and increasing quality of its education. Now pesantren can shift what people care about pesantren world to become more positively and even pesantren exactly becomes public wanted. In History of Islam in Indonesia, pesantren has big role in building cultured public and having civil. Pesantren as civilization village started felt since some of its collegiate can become intellectual pioneer in the country. They have given smart obsession to Indonesian public that pesantren world with al its moderations is l exactly have big latent potency to do transformation of Islamic civilization which more cosmopolitan. Keywords: Polarization, education, traditional, modern PESANTREN adalah kampung peradaban. Keberadaannya didambakan, tetapi kadang kala pesonanya tak mampu membetahkan penghuninya. Ia sering dicibir sebagai bagian dari kamuflase kehidupan, karena lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah ketimbang duniawiyah. Ia sering dicerca sebagai pusat kehidupan fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia materi. Padahal, orang pesantren menikmati kesederhanaan sebagai bagian dari panggilan moral keberagamaan. Bagi mereka dunia adalah alat untuk menggapai akhirat. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, wajah pesantren pun berubah. Gejala pesantren sebagai kampung peradaban mulai terasa sejak beberapa alumninya mampu menjadi pionir intelektual di tanah air. Mereka telah memberikan godaan cerdas terhadap publik Indonesia bahwa dunia pesantren dengan segala kesederhanaannya justru 1

menyimpan potensi besar untuk melakukan transformasi peradaban Islam yang lebih kosmopolit. Caranya bisa melalui jalur politik, dunia bisnis, lembaga pendidikan apalagi terjun ke dunia dakwah (jurnalis).1 Pesantren yang secara keliru dilaporkan sebagai dunia tertutup justru memproduksi kaderkadernya dalam jumlah besar yang akhirnya tampil sebagai lokomotif eterbukaan di tanah air. Para alumni pesantren justru hadir sebagai kaum pluralis tulen. Malah, sepak terjang mereka dicurigai oleh kalangan Islam fundamentalis sebagai kaum yang terbaratkan. Anehnya, akhir -akhir ini pesantren dicap sebagai pusat radikalisme, sehingga gaung itu tampak berbalik arah. Merujuk pada perkembangan mutakhir dunia global, akhirnya mampu menggiring opini beberapa pesantren seakan terlibat atau dilibatkan dalam kekerasan global, membuat cap di atas terasa jelas menggoyahkan posisi pesantern sebagai kampung peradaban manusia. Padahal, dunia pesantren adalah institusi sosial yang berjuang keras melakukan transformasi nilai-nilai transeden maupun imanen yang menjadi kompetensi masyarakat modern. Pesantren adalah wadah anak -anak bangsa untuk menuntut ilmu, kemudian mengamalkan ilmunya pada masyarakat. Di tangan merekalah terletak nasib transformasi sosial. Mereka adalah simbol dari kekuatan kultural yang akan menatap masa depan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw. sekaligus melestarikan ajaran Islam. Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren. Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan ka rakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Dalam sejarah Islam di Indonesia, pesantren memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berkeadaban. Tak jarang banyak ilmuwan sosial baik dari dalam maupun dari luar negeri mencatat peran pesantren sebagai sesuatu yang tak bisa 2

dilepaskan dari kultur kehidupan masyarakat Indonesia. Sebut saja misalnya Martin Van Bruinessen, Islamis berkebangsaan Belanda, ia menyatakan bahwa pesantren tidak hanya kaya dengan berbagai literatur keilmuan, tetapi juga mampu memberikan kontribusinya bagi masyarakat di sekitarnya. Pesantren akhirnya meminjam istilah Abdurrahman Wahid sebagai subkultur di tengah masyarakat.2 Adalah suatu kenyataan bahwa pesantren, khususnya di Jawa yang telah berumur ratusan tahun, dan memiliki sistem dan karakteristik tersendiri serta menjadi bagian integral dari suatu institusi sosial. Sebagai institusi sosial, secara empiris dan historis, pesantren memang mengalami pasang surut dalam mempertahankan eksistensi dan misinya. Namun demikian, suatu fenomena yang menarik untuk dicermati bahwa pesantren dengan berbagai hambatan yang dihadapinya, hingga saat ini masih survive, bahkan beberapa dari sekian banyak pesantren yang ada mampu menampilkan diri sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Di Kota Pekanbaru sejak tahun delapan puluhan, pesantren bermunculan bak jamur di musim hujan. Masing-masing pesantren memiliki pola dan karakteristik tersendiri. Ada pesantren yang khusus untuk santri laki-laki seperti Pesantren al-Kautsar di Kulim. Ada pesantren yang khusus untuk santri perempuan seperti Diniyah Putri Pekanbaru. Ada pesantren yang memakai kurikulum Depertemen Agama seperti Pesantren Dar el-Hikmah dan ada juga pesantren yang merujuk pada kurikulum Sekolah Diknas. Di samping itu, ada juga pesantren di Kota Pekanbaru yang memiliki sistem pendidikan modern, mampu bersaing dengan sekolah berkualitas lainnya, seperti Pesantren Babussalam yang mampu menjadi sekolah unggulan menyaingi sekolah Santa Maria dan Cendana. Yang sangat mengesankan adalah kemampuan Pesantren Babussalam mencapai prediket Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Untuk melihat lebih jauh pola dan sistem yang ada dalam pendidikan pesantren-pesantren di Kota Pekanbaru, penulis merasa perlu dan tertarik untuk mengangkat persoalan ini dalam penelitian ilmiah. Sudah cukup banyak referensi yang membicarakan seputar pesantren antara lain Abu Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan dalam Taufik Abdullah (ed.), , Agama dan Perubahan Sosial, Abdurrahman Masud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Affandi Mochtar, Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum, dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat, dalam Pergulatan, Membangun dari Bawah, Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Fokus pada kajian itu lebih melihat realitas, perkembangan dan tantangan pesantren yang ada di daerah Jawa. Sementara kajian ini memfokuskan untuk mempolarisasi pendidikan pesantren yang ada di Kota Pekanbaru. Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merumuskan dua masalah, yaitu (1) bagaimana pola pendidikan pesantren di Kota Pekanbaru? dan (2) apa keunggulan dan kelemahan masing-masing pola? Sedangkan tujuan Penelitian ini untuk menemukan informasi yang akurat tentang pola pendidikan pesantren di Kota Pekanbaru, dan keunggulan da kelemahan masingn masing pola yang diterapkan. Metodologi Penelitian 3

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian berlokasi di pesantren-pesantren di Kota Pekanbaru. Di Kota Pekanbaru terdapat 13 buah pesantren yang masih eksis. Mengingat heterogenitasnya, obyek penelitian dan jumlah yang tidak terlalu banyak, maka penulis tidak mengambil sampel. Artinya, penelitian dilakukan dengan meneliti semua populasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan yang menjadi sumber data adalah pimpinan pesantren, majelis guru, pengasuh asrama dan sebagian santri serta dokumen-dokumen yang ada di Kantor Departemen Agama Kota Pekanbaru. Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis dengan cara mengelompokkan data berdasarkan tema-tema utama. Tema-tema tersebut diikuti dengan proses koding dan reduksi data yang tidak terkait secara langsung. Data yang tidak terkait secara langsung ini digunakan sebagai penjelasan tambahan jika dibutuhkan. Hasil yang diperoleh ditulis dalam bentuk deskripsi laporan penelitian sehingga memperlihatkan kondisi riil di lapangan tentang pola pesantren yang ada di Pekanbaru serta keunggulan dan kelemahan masing-masing pola. Definisi Pesantren Kata pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.3 Kata shastri sendiri memiliki akar makna yang sama dengan kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau pengetahuan. Tetapi, mungkin juga kata santri dirunut dari kata cantrik, yaitu para pembantu begawan atau resi yang diberi upah berupa ilmu. Teori terakhir ini pun juga perlu dipertimbangkan karena di pesantren tradisional yang kecil, di pedesaan-pedesaan, santri tak jarang juga bertugas menjadi pembantu kyai.4 Konsekuensinya, kyai memberi makan kepada santri selama ia ada di pesantren dan juga mengajarkan ilmu agama. Selain istilah tersebut, dikenal pula istilah pondok yang berasal dari kata Arab fundq dan berarti penginapan. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua istilah tersebut biasa digunakan secara bersama-sama, yakni pondok pesantren. Potret pesantren tidak terelepas dari definisinya, yaitu sebagai sebuah tempat pendidikan santri. Para ahli berbeda-beda dalam menyebutkan unsur-unsur yang harus ada di dalam pesantren. Ada yang menyebutkan tiga unsur, yaitu santri, asrama dan kyai. Tetapi ada pula yang menyebutkan lima unsur,5 yaitu ketiga unsur di depan dengan ditambah unsur mesjid dan pengajaran kitab kuning. Terlepas dari perbedaan bilangan yang menjadi unsur pesantren, semua sepakat bahwa kyai menempati posisi sentral di dalam sebuah pesantren. Kepada kyai itulah santri belajar ilmu pengetahuan agama. Agar proses belajar itu lebih lancar, maka di sekitar rumah kyai dibangun asrama untuk para santri. Di samping itu, pada umumnya juga ada fasilitas ibadah berupa mesjid. Selain sebagai pengajar, kyai juga menjadi pemimpin di pesantren. Dalam kepemimpinannya, kyai memegang kekuasaan yang hampir mutlak. Visi dan misi, kurikulum, managemen dan berbagai urusan lain di pesantren, semuanya tergantung kepada 4

dawuh (titah) kyai. Memang kadang-kadang santri senior diberi tugas menjalankan teknis pendidikan juga di pesantren itu, atau menggantikan kyai dalam mengajar apabila ada uzur (badal). Sedangkan dalam sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pesantren memiliki tiga unsur utama, yaitu (1) kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; (2) kurikulum pondok pesantren; dan (3) sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam Tri Dharma Pondok Pesantren yaitu: (1) keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.; (2) pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan (3) pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Sejauh ini tidak ada catatan yang jelas kapan pesantren yang pertama kali berdiri. Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu.6 Sementara itu, Departemen Agama memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada Abad 15 M. Dengan melihat terminologinya, kita bisa mengatakan bahwa pendidikan pesantren berasal dari India. Secara historis pun bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke nusantara ini. Sistem pendidikan tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan tersebut digunakan pula untuk membina kader-kader Islam.7 Dari sana bisa diduga bahwa secara kurikulum, pesantren awal hanya merupakan bentuk penyesuaian orientasi keagamaan dari Hindu menjadi Islam saja. Jika di masa kerajaan Hindu, padepokan berfungsi untuk mencetak begawan dan resi, maka setelah masuknya Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan keislaman, sehingga lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan Islam di nusantara. Apabila dilihat dari corak keislaman, pesantren awal cenderung kepada pengajaran Islam dengan corak fiqh-tasawuf. Realitas ini cukup bisa dilihat dengan fenomena thariqah yang pada umumnya berbasis di pesantren tradisional hingga saat ini. Keunggulan corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami persinggungan dengan kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam berkembang pesat tanpa ada halangan yang berarti dari penguasa. Pada abad ke-19 Masehi, muncul pengaruh Salafiyah di Indonesia. Sebagai akibat dari pengaruh ini, di Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan kaum adat. Belanda mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan berpihak kepada kaum adat. Sementara itu, di Jawa berdiri beberapa organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. Seiring dengan perkembangan Islam di nusantara, corak tersebut secara pelan mengalami pergeseran. Di awal abad ke-20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islam. Di pesantren ini, santri dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia bisa membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian rupa. Sampai akhir abad ke-20, sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan. 5

Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, keterampilan atau kaderisasi gerakan. Perkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan elemen elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern memiliki kela skelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih dan memadai. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Untuk melakukan transformasi pendidikan pesantren, akar tradisi itu hendaknya terus dikelola sedemikian rupa sembari pada saat yang sama dibenahi secara bertahap. Sebagaimana diketahui, desakan akan transformasi keilmuan pesantren tidak melulu atas desakan internalnya, tetapi juga banyak faktor penyebab dari luar pesantren. Namun perlu diingat bahwa perubahan yang dilakukan hendaknya dengan bertahap dan merawat cara lama yang masih relevan. Perubahan dan dinamika yang terjadi dalam pesantren sampai saat ini menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebagian pesantren mampu bersaing dengan sekolah negeri baik di bawah Diknas maupun Depag. Sebagian para santri menguasai dan punya prestasi yang lebih unggul dari siswa-siswi di sekolah yang bukan pesantren. Mereka mampu bersaing dalam mata pelajaran umum dan agama. Di samping itu, mereka punya nilai plus menguasai ilmu-ilmu agama yang lebih dari siswa lainnya. Pola-Pola Pendidikan Pesantren Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren-pesantren ada yang berusaha mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itulah maka unsur pesantren itu kini bisa berkembang menjadi bermacam-macam. Sekarang tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafy. Kedua, pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren modern. Ketiga, pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan dua puluh empat jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagaman sudah dimasukkan dalam kehidupan sehari-hari di asrama. Sejalan dengan tipologi di atas, Departemen Agama RI mengelompokkan pesantren menjadi empat pola/tipe, yaitu (1) pesantren tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai. Mereka di pesantren hanya belajar kitab kuning. Cara pengajarannya pun berjalan di antara sistem sorogan dan bandogan; (2) pesantren tipe B, yaitu pesantren yang memadukan antara mengaji secara individual (sorogan) tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal yang ada di bawah Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama. Hanya saja lembaga pendidikan formal itu khusus untuk santri pesantren tersebut; (3) pesantren tipe C, hampir sama dengan tipe B tetapi lembaga pendidikannya terbuka untuk umum; dan (4) pesantren tipe D, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi 6

memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di luar pesantren. Menurut Nurcholis Madjid, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang bertahan dengan konsentrasi keilmuan tradisional, saat sekarang sedang menghadapi dua pilihan dilematis. Menurut Nurcholis Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Yasmadi, pesantren harus mengambil sikap apakah akan tetap mempertahankan tradisinya, yang mungkin dapat menjaga nilai-nilai agama; ataukah mengikuti perkembangan dengan resiko kehilangan asetnya. Tetapi, sebenarnya ada jalan ketiga, hanya saja menuntut kreativitas dan kemampuan rekayasa pendidikan yang tinggi melalui pengenalan aset-asetnya atau identitasnya terlebih dahulu, kemudian melakukan pengembangan secara modern.8 Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren menurut Mukti Ali mempunyai ciri ciri sebagai berikut: (1) adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri; (2) tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai; (3) pola hidup sederhana; (4) kemandirian atau independensi (5) berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong serta suasana persaudaraan; (6) disiplin ketat; (7) berani menderita untuk mencapai tujuan; dan (8) kehidupan dengan tingkat relegius tinggi.9 Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu Perwiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan pesantren tradisional, yaitu: (1) independen; (2) kepemimpinan tunggal; (3) kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan; (4) kegotong royongan; dan (5) motivasi yang terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.10 Demikian juga Mastuhu, dalam disertasinya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, yang menyatakan bahwa sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol, yaitu mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik dengan metode sorogan dan bondongan atau wetonan.11 Pola berikutnya, adanya upaya mengembangkan tradisi keilmuan di pesantren. Sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum pesantren mulai dilakukan. Pembenahan internal pesantren dengan melakukan segala perbaikan infrastruktur dan program-program pengembangan intelekltual pun mulai dilakukan. Citra pesantren sebagai lembaga pendidikan yang kumuh lambat laun bisa ditepis. Namun bukan itu saja yang penting dilakukan pesantren, lebih dari itu adalah perbaikan kualitas akademik pesantren yang seharusnya menjadi prioritas utama. Tradisi keilmuan pesantren yang berpijak kepada kitab kuning merupakan keunikan sekaligus keistimewaan pesantren. Cibiran terhadap kitab kuning yang konon menjadi penyebab kebekuan umat hendaknya tidak mengerdilkan nyali putra pesantren untuk terus berpera dalam transformasi n keilmuannya. Seharusnya, dalam tradisi keilmuan yang berbasis kitab kuning yang cukup melimpah itulah kualitas akademik pesantren dapat terus dikembangkan. Upaya semisal kontekstual (tasyqq) kitab kuning dengan membenturkannya dengan realitas kekinian sebagaimana dilakukan sejumlah kalangan alumni pesantren telah berhasil menyemarakkan gelombang intelektual yang relatif pasif. Hanya dengan cara demikian, kekayaan tradisi pesantren terus digelorakan dan dibunyikan dalam lingkungan budaya yang 7

jauh berbeda dengan masa lalunya. Di sinilah sesungguhnya pesantren untuk merawat akar tradisinya sekaligus pada saat yang sama mengontekstualisasikannya dalam situasi kekinian. Gambaran Umum Pesantren se-Kota Pekanbaru Di Kota Pekanbaru terdapat tiga belas pondok pesantren, yaitu: (1) Pondok Pesantren Darel Hikmah di Jl. Manyar Sakti KM 12 Tampan; (2) Pondok Pesantren Teknologi Riau di Jl. Lingkar Pasir Putih Siak Hulu; (3) Pondok Pesantren Babussalam di Jl. HR Subrantas KM 9 (4) Pondok Pesantren alKautsar di Jl. Hang Tuah Ujung KM 6,5 Sail; (5) Pondok Pesantren al-Ikhwan di Jl. Pesantren Kulim Tenayan; (6) Pondok Pesantren al-Furqan di Jl. Duyung Marpoyan Damai; (7) Pondok Pesantren Nurul Huda al-Islami di Jl. Handayani No 25 Marpoyan Damai; (8) Pondok Pesantren Diniyah Putri di Jl. KHA Dahlan No 100 Sukajadi; (9) Pondok Pesantren al-Munawwarah di Jl Pesantren No 42 Tangkerang Bukit Raya; (10) Pondok Pesantren Arroyan Taqwa di Jl Swakarya No 17 Tampan; (11) Pondok Pesantren Bustanul Ulum di Jl. Hang Tuah Ujung Tenayan; (12) Pondok Pesantren al-Kahfi di Jl. Sempurna No. 903 Tampan; dan (13) Pondok Pesantren Umar Bin Khattab di Jl. Delima Gg Delima VII Tampan.12 1. Pesantren Babussalam Pesantren Babussalam berada di bawah naungan Yayasan Syeikh Abdul Wahab Rokan mengasuh dan membina pendidikan dari jenjang Taman Kanak-Kanak, SD, SMP dan SMA. Namun yang dipesantrenkan/diasramakan hanya untuk tingkat SMP dan SMA, sedangkan santri yang belajar di SD tinggal di luar asrama. Keseluruhan santri berjumlah 1.729 orang. Untuk tingkat SD 809 santri, setingkat SMP berjumlah 531 santri dan tingkat SMA 247 santri. SMP Babussalam berdiri pada tahun 1985 memakai kurikulum terpadu dengan pola pendidikan pesantren, semua muridnya diasramakan. Sekolah ini mengalami kemajuan cukup signifikan. Perjuangan selama hampir satu dasawarsa (1985-1995) sebagai sekolah rintisan, telah membawa sekolah ini pada peningkatan status dari terdaftar menjadi disamakan pada tahun 1996. Lima tahun kemudian (2002), statusnya tergolong sekolah potensia,bahkan melalui SK Mendiknas R.I. No 287/C/KEP/PM/2003 tanggal 16 Juni 2003 SMP Babussalam memperoleh kepercayaan sebagai Sekolah Koalisi Nasional, satu dari 31 sekolah koalisi seluruh Indonesia, bahkan satu-satunya di Provinsi Riau. Atas prestasi ini, melalui SK Dirjendikdasmen No 311a/C.C3/KEP/PP/2004 tanggal 2 Juli 2004, SMP Babussalam kembali memperoleh kepercayaan sebagai Pelaksana Terbatas Pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Berbahasa Inggris (Bilngual). Perkembangan terakhir melalui SK Direktur PLP No 1147 A/C3/SK/2004 tanggal 5 Juli 2005, SMP Babussalam ditetapkan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN). Dan sejak tahun 2006 SMP Babussalam berhasil meraih prediket SBI (Sekolah bertaraf Internasional).13 Program SMP Babussalam dalam rangka menuju sekolah bertaraf internasional antara lain: (1) mempertajam program pendidikan yang menjawab mutu (quality) dan persamaan perlakuan (equity); (2) membentuk task force dengan perwakilan dari setiap negara anggota; (3) menyiapkan sasaran dan program pendidikan yang menjawab quality dan equity melalui 8

pengembangan sekolah koalisi. Sekolah ini dalam mengembangkan dirinya memanfaatkan jaringan kerja sama antar sekolah, baik secara nasional dan internasional. Fungsi dari sekolah koalisi adalah untuk memberikan contoh praktis ( est practice) dalam b pelaksanaan lima kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dalam penerapan: (1) school based management (manajemen berbasis sekolah); (2) lingkungan dan kondisi pembelajaran (teaching and learning environment); (3) kompetensi guru dan sistem penghargaan (teachers competencies and rewarding system); (4) kurikulum dan bahan belajar (curriculum and learning materials); dan partisipasi masyarakat (community participation). Di Indonesia, sekolah koalisi dikembangkan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama. Pembentukan sekolah koalisi regional pada setiap negara telah dilakukan pada tahun 2002. Sementara untuk sekolah koalisi nasional, pada tahun 2003. Pemerintah Indonesia telah menunjuk setiap provinsi satu SD dan satu SLTP melalui SK Mendiknas No. 808/C.C3/Kep/OT/2002 tanggal 10 September 2002. Sejak masuknya SMP Babussalam sebagai satu-satunya sekolah dari Provinsi Riau yang menjadi sekolah koalisi nasional, maka program pembelajaran matematika dan IPA dalam bahasa Inggris telah ditetapkan sebagai program unggulan yang telah dimulai tahun 2004. Di antara tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika dan sains dalam bahasa Inggris adalah agar lulusan SMP: (1) memiliki kemahiran bahasa Inggris yang baik. Kemampuan berbahasa Inggris yang baik akan diperoleh siswa karena mereka memperoleh pelajaran bahasa Inggris otentik yang comprehensible yang banyak, terlibat dalam pembelajaran berbahasa Inggris yang bermakna, dan menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai tujuan komunikasi baik secara lisan maupun tulisan dalam proses pembelajaran; (2) memiliki kompetensi dalam bidang matematika dan sains yang tinggi. Peningkatan mutu pencapaian kompetensi siswa akan terwujud den gan proses pembelajaran yang bermutu, antara lain melalui diterapkannya Kurikulum 2004, pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan baik, dan penggunaan multimedia. SMA Babussalam Pekanbaru didirikan pada tahun 1988 di bawah asuhan Pondok Pesantren Babussalam Yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan. Sekolah ini terus megembangkan jati dirinya sesuai dengan visinya Mewujudkan SMA Babussalam sebagai Lembaga Pendidikan Islam Berkualitas Mampu Bersaing di Tingkat Nasional dan Internasional. Untuk mencapai visi ini dikembangkan misi antara lain: (1) meningkatkan kajian di bidang agama; (2) meningkatkan budaya mutu bagi warga sekolah; (3) meningkatkan mutu hasil dalam pembelajaran; (4) menumbuhkembangkan semangat keunggulan di bidang LKIR/LPIR, olympiade, sains dan matematika; (6) menumbuhkan apresiasi dan kreasi seni dan olahraga; (7) meningkatkan kesadaran rasa tanggung jawab sosial; dan (8) memupuk jiwa kepemimpinan. 9

Dengan visi dan misi tersebut serta diilhami konsep school based management, seluruh guru, staf dan siswa menjabarkan kegiatannya dalam bentuk action plan sebagai acuan dalam programnya masing-masing. SMA Babussalam berada di bawah naungan Depdiknas dan sudah mendapat prediket akreditasi A (amat baik). Tahun 2006/2007 SMA Babussalam ditunjuk sebagai Rintisan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional sesuai dengan SK Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Nomor 802.a/C4/MN/2006. Untuk menguatkan program tersebut SMA Babussalam sudah melakukan , beban program dalam proses pembelajaran berikut: (1) untuk tahun 2007/2008, lima mata pelajaran yang diprogramkan dalam program SBI, yaitu Fisika, Matematika, Bahasa Inggris, Biologi dan Kimia. Dalam proses pembelajaran, materi ajar sebagian sudah mempergunakan bahasa Inggris; (2)sebahagian bahan ajar sudah diambil melalui internet; (3) sudah melakukan team teaching; dan (4) indiktor pembelajaran dibuat oleh guru dalam upaya menyiasati kurikulum yang padat, pemanfaatan hari belajar dengan menaati kalender yang disusun, demikian pula pertemuan berkala dengan guru untuk memecahkan kendala yang dialami dalam pembelajaran. 2. Pesantren Modern al-Kautsar Pesantren al-Kautsar terletak di Jalan Hangtuah KM 6,5 Sail Tenayan Raya. Berada di tengah areal pondok pesantren ini memang layaknya berada di tengah suasana pendidikan santri yang sangat sederhana. Kehidupan barak santri yang tenang merupakan gambaran dari kehidupan santri di pondok modern ternama di Jawa maupun Sumatera. Pesantren al-Kautsar yang khusus menampung santri laki-laki, menggunakan pola pendidikan klasikal dan menetap di asrama, yang memadukan tri pusat pendidikan dalam sistem pembinaan dua puluh empat jam, seluruh kegiatan santri terawasi oleh ketentuan yang juga ketat. Pengawasan selalu dilakukan selama dua puluh empat jam. Kalau siswa melakukan pelanggaran, tetap ada sanksi tegas dari pengelola pondok. Pondok Modern al-Kautsar memang berbeda dari pola pesantren modern kebanyakan. Bila pada umumnya mengasumsikan pondok modern dengan menjadikan fasilitas sebagai barometer utama, di pondok ini, modernisasi lebih diarahkan pada bagaimana mengembangkan kualitas lulusan maupun santri yang siap bukan saja untuk kebutuhan calon ulama, namun juga intelektual Islam. Menurut pengakuan pimpinan Pondok Pesantren Modern al-Kautsar, KH. M Ridwan Hasbi Lc. M.A., bahwa alumni pesantren al-Kautsar tidak hanya terikat pada kemampuan untuk ilmu agama, namun juga teknologi dan kemasyarakatan. Yang ingin diciptakan adalah intelektual Islam. Modernisasi pola pendidikan pondok dilakukan dengan mengembangkan kurikulum, metodologi, sarana dan prasarana, manajemen pendidikan serta memposisikan pondok sebagai bagian dari perubahan sosial.14 Bila selama ini asumsi yang dikembangkan terhadap pola pendidikan di pondok pesantren selalu diidentikkan dengan mengajar calon ulama, maka di pondok yang didirikan atas prakarsa bersama umat muslim di Provinsi Riau ini, mendidik calon ulama dan intelektual menjadi fokus utama. 3. Pesantren Dar el-Hikmah Pesantren Dar el-Hikmah dikelola oleh Yayasan Nur Iman Pekanbaru Riau yang mendapat izin operasional dari Kanwil Departemen Agama Provinsi Riau pada tanggal 12 10

Juni 1991. Visi pesantren ini adalah Menjadi lembaga pendidikan Islam yang berkualias t dalam pembinaan moral maupun intelektual bertaraf nasional pada tahun 2015. Adapun misinya: (1)menyelenggarakan pendidikan formal dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi berbasis imtaq dan iptek; dan (2) menyelenggarakan bimbingan dan penyuluhan keagamaan kepada masyarakat. Pesantren Dar el-Hikmah saat ini mengelola lima jenjang pendidikan: (1) TK Dar el-Hikmah berdiri tahun 2001; (2) SD Dar el-Hikmah berdiri tahun 2004; (3) MTs Dar el- Hikmah berdiri tahun 1991; (4) MA Dar el-Hikmah berdiri tahun 1994; dan (5) SMK Dar el-Hikmah berdiri tahun 1996. 4. Pesantren al-Furqan Pesantren al-Furqan didirikan pada tanggal 1 Januari 1984 dinaungi oleh Yayasan Badan Waqaf Pondok Pesantren al-Furqan. Pesantren ini bercirikan salafiyah dengan lima puluh orang santri. Visi Pesantren al-Furqan adalah Menjadi sarana pengkaderan santri yang berwawasan luas, memiliki amanah ilmiyah berdasarkan al-Quran dan Sunnah yang valid sesuai dengan pemahaman ahlus sunnah wal jamaah. Sedangkan misinya: (1) mendidik santri-santri yang menghafal al-Quran; (2) menanamkan aqidah ahlus sunnah dan menanamkan manhaj yang benar dalam berpikir, berbuat dan berdakwah; (3) memiliki kemampuan akademik dan berwawasan yang luas sesuai dengan pedoman yang dipahami oleh ulama salaf; (4) mendidik santri agar menjadi dai yang ikhlas, sabar dan tabah dalam hidup dan memilki budi yang luhur; dan (5) menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Adapun sistem pendidikan yang diterapkan adalah: (1) Pendidikan KMI selama 6 tahun sengan sistem asrama; (2 kurikulum yang dipakai adalah gabungan kurikulum lembaga pendidikan Universitas Islam Madinah di Saudi Arabia, LIPIA di Jakarta, Gontor dan Depag; (3) kewajiban menghafal al-Quran sebanyak satu juz setiap semester; (4) bahasa harian dalam lingkungan pondok adalah bahasa Arab dan Inggris; (5) mengikuti Wajardikdas, UAN dan mendapat ijazah negeri dengan status diakui; dan (6) mendapat ijazah Pondok Pesantren al-Furqan dengan status disamakan dengan Universitas Islam Madinah. 5. Pesantren Umar Bin Khattab Pesantren Umar Bin Khattab mempunyai visi Menjadi pusat penkajian dan penerapan agama Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman ulama ahlus sunnah wal jamaah. Adapun misinya: (1) membina generasi muda Islam yang mampu meneladani pandangan dan sikap yang dimiliki Rasulullah, dan secara aktif turut mengembalikan kebaikan di tengah umat Islam; (2) mencetak generasi hafizul Quran serta memahami dan mengamalkannya; (3) menyiapkan generasi muda yang mengenal dan mengamalkan Islam serta sabar dalam mendakwahkannya; (4) menjadi suri teladan bagi masyarakat dalam ilmu, amal serta keikhlasan dalam berjuang dan berkorban; (5) menguasai, memahami bahasa Arab secara prosesional dan berkualitas sebagai sarana untuk memahami Islam yang hakiki; dan (6) mendidik generasi muda Islam untuk memiliki wawasan luas, pengetahuan yang matang dilandasi ajaran Islam yang sempurna. Di pesantren ini terdapat lima jenjang pendidikan, yaitu: (1) Tahfizul Quran Lil Aulad (Setingkat SD). Lama pendidikan empat sampai enam tahun dengan target dapat menghafal Al Quran minimal lima belas juz dan dibekali ilmu agama dan umum sehingga 11

dapat mengikuti ujian akhir untuk tahap Salafiah Ula atau setingkat SD (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas/Pendidikan keagamaan pasal 30); (2) Al-Mutawasithah (SLTP). Program ini mendidik lulusan SD atau MI dengan masa pendidikan selama tiga tahun. Target pendidikan yang ingin dicapai agar santri menguasai bahasa Arab aktif, hafal Al-Quran enam juz, mampu mebaca kitab kuning serta dibekali ilmu umum sehingga dapat mengikuti ujian akhir nasional untuk tahap salafiah wustha; (3) Jenjang Tadriby (Idad Lughawy). Program ini mendidik lulusan SLTP dan sederajat dengan masa pendidikan satu atau dua tahun. Tujuannya untuk menyiapkan santri yang mampu berbahasa Arab. Di samping itu juga diperuntukkan bagi tamatan SMA atau yang sederajat/karyawan yang berkeinginan menguasai bahasa Arab dan ilmu Islam dengan masa pendidikan satu atau dua tahun; (4) Mualimin (SLTA). Program ini diperuntukkan bagi lulusan Mutawasithah Pesantren Umar Bin Khattab dan bagi lulusan lainnya setelah mengikuti program Idad Luqhawy; (5) Tahfizul Quran (SLTP/SLTA). Tujuannya untuk memdidik santri yang berkeinginan menghafal Al-Quran dengan mekanisme yang telah diatur. 6. Pesantren Tahfizul Quran al-Kahfi Program mahad tahfizul Quran dibuka dengan tujuan agar santrinya: (1) mempunyai kecintaan terhadap Al-Quran secara dini; (2) memiliki hafalan Al-Quran dengan kaidah ilmu tajwid dan makhraj yang benar; (3) mempunyai akhlak dan aqidah yang baik dan benar; dan (4) memiliki ijazah sekolah dasar yang diakui pemerintah. Sistem pendidikan yang diterapkan dengan halaqah (sorogan) untuk pelajaran hifzil Quran dan klasikal untuk pelajaran dirasah Islamiyah dan pelajaran umum. Adapun kurikulum pendidikannya memakai kurikulum pesantren ditambah beberapa mata pelajaran umum seperti matematika, IPA dan bahasa Indonesia. Masa pendidikan dibagi dalam dua program jenjang, yaitu: (1) jenjang pendidikan hifzil Quran enam tahun. Pada jenjang ini, empat tahun pertama pendidikan difokuskan pada materi hifzhil Qurn meliputi tahsnul Qurn, hifzhil Qurn dan murja`ah hifzhil Qurn; (2) Program Idd (persiapan) satu tahun. Kelas Idd ini dipersiapkan bagi santri yang belum bisa membaca al-Quran dengan lancar. Santri yang belajar di pesantren ini ada yang tinggal di asrama/pondok dan ada juga yang pulang ke rumah orang tuanya dan hanya belajar di siang hari saja. Waktu belajar mulai pukul 7.30 sampai 15.30 WIB. 7. Pesantren al-Munawwarah Pesantren al-Munawwarah yang berada di Tenayan Pekanbaru merupaka pesantren yang khusus untuk santri perempuan. Saat ini jumlah santrinya mencapai 319 orang. Pesantren al-Munawwarah mengasuh dua jenjang pendidikan, yaitu: (1) tingkat SD/MI berjumlah sebanyak 10 santri dan tidak menetap di asrama; dan (2) tingkat MTs berjumlah 309 santri dan tinggal di asrama/pesantren. Bidang yang menjadi unggulan pesantren ini adalah bidang bahasa (Arab dan Inggris) dan ilmu-ilmu keislaman. 8. Pesantren Diniyah Putri Pesantren Diniyah Putri yang berada di pusat kota Pekanbaru tepatnya di Jln. KH. A. Dahlan merupaka pesantren yang khusus untuk perempuan. Pesantren ini mengelola empat jenjang pendidikan, yaitu: (1) tingkat Taman Kanak-kanak; (2) tingkat MTs; (3) 12

tingkat MA; dan (4) tingkat perguruan tinggi. Keseluruhan santri berjumlah 178 santri. 78 santri tinggal di asrama dan 100 santri tinggal di luar pondok/asrama. 9. Pesantren Teknologi Riau Pesantren Teknologi Riau merupakan satu-satunya pesantren yang mendapat subsidi dan di bawah naungan Pemerintah Kota Pekanbaru. Jumlah santrinya 224 orang putra dan 116 orang putri. Semua santri tinggal dan menetap di asrama. Selain penguasaan bahasa Arab, Inggris dan lmu keislaman, i para santri juga dipersiapkan untuk memilki keterampilan/skill dan menguasai teknologi. 10. Pesantren Nurul Huda al-Islami Pesantren ini berada di daerah Marpoyan dipimpin oleh Kyai Masduki. Saat ini santri yang belajar di pesantren ini berjumlah 530 orang. Dari jumlah ini, 443 santri menetap di asrama dan 87 santri tinggal di luar asrama. 11. Pesantren Bustanul Ulum Pesantren Bustanul Ulum berada di Jln. Hangtuah Ujung Tenayan. Jumlah santri keseluruhan 506 orang. Semua santri tinggal di luar pondok/asrama. Adapun jenjang pendidikan yang dikelola adalah setingkat MTs. 12. Pesantren Arroyyan Taqwa Pesantren yang berada di Jln. Swakarya Tampan ini mengasuh 52 orang santri. Santri putra 25 orang dan santri putri 27 orang. Semua santri belajar pada tingkat MTs dan menetap di asrama. 13. Pesantren al-Ikhwan Pesantren al-Ikhwan khusus menampung santri laki-laki. Pesantren ini berada di daerah Kulim Pekanbaru. Polarisasi Pendidikan Pesantren di Kota Pekanbaru Sangat sulit untuk menempatkan pesantren yang ada di Pekanbaru pada satu pola tertentu. Pada dasarnya, jika dilihat dari materi pelajaran yang diajarkan, tidak satupun pesantren di Kota Pekanbaru yang berpola tradisional/salafi murni atau termasuk dalam pola/tipe A yang bercirikan tradisional, independen dan hanya mengajarkan materi pelajaran pesantren, sekalipun pesantren itu sendiri memberikan nama salafy untuk pesantrennya. Semua pesantren tersebut tidak terlepas dari keikutsertaannya dalam UAN atau ujian persamaan untuk memperoleh ijazah yang diakui. Hanya saja, ada beberapa pesantren yang mendekati tipe A tersebut karena masih menggunakan sistem pengajaran halaqah, sorogan, dan wetonan. Di samping itu juga materi pelajarannya lebih banyak berdasarkan kurikulum yang disusun pondok pesantren itu sendiri. Bidang studi umum yang dipelajari hanya sekedar untuk dapat mengikuti ujian persamaan saja. Pesantren yang termasuk kelompok ini adalah Pesantren Umar bin Khattab, Pesantren Tahfizul Quran, Pesantren al-Furqan dan Pesantren Arroyyan Taqwa. Pesantren dengan pola tradisional merupakan tempat kajian keislaman secara intensif. Girah dan semangat menghafal Al-Quran sangat dibina dan dikembangkan kepada 13

para santri. Santri-santri ini merupakan aset Islam terbesar, karena untuk zaman sekarang ini tidak banyak orang yang memfokuskan dirinya pada kajian keagamaan semata apalagi mempunyai kemampuan menghafal Al-Quran dan mengkaji kitab-kitab klasik (kitab kuning). Namun sisi kelemahannya, di antara santri yang tidak memiliki skill sama sekali, merasa kaku berada di tengah era globalisasi dan informasi. Mereka akan kesulitan bersaing dengan lulusan sekolah lain, apalagi mengenai sains dan teknologi. Selain dari empat pesantren di atas, umumnya pesantren di Kota Pekanbaru sudah berpolakan pendidikan pesantren modern atau mendekati pola pendidikan pesantren modern, dalam arti sudah memadukan antara kurikulum Diknas/Depag dengan kurikulum pondok. Atau dengan kata lain, termasuk dalam pesantren pola/tipe B dan C. Namun tingkat kemodernannya tentu berbeda. Umumnya, pesantren-pesantren ini mengikuti kurikulum Depag dan ditambah dengan kurikulum pesantren. Satu-satunya pesantren yang menggunakan kurikulum Diknas adalah pesantren Babussalam. Pesantren ini juga mampu bersaing dengan sekolah unggulan lainnya di Pekanbaru seperti Sekolah Cendana, SMA Plus, SMAN 8, SMPN 4, Santa Maria dan lain-lain. Bahkan Babussalam sudah mencapai prediket SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Hal ini tentunya menjadikan gaung pesantren semakin terdepan. Pesantren tidak dianggap tempat kumuh dan terbelakang. Pesantren sudah tidak dianggap sebelah mata oleh masyarakat lagi. Bahkan ,pesantren saat ini sudah menjadi alternatif pilihan utama dalam pemilihan pendidikan anak bagi orang tua. Demikian juga santri dan alumni pesantren mampu bersaing dengan siswa dan lulusan sekolah unggulan lainnya. Para santri menguasai sains dan teknologi sebagai sarana u ntuk meununjukkan aktualisasi diri di zaman globalisasi dan modernisasi. Para lulusannya mampu memasuki perguruan tinggi terkemuka di Indonesia bahkan ada yang ke luar negeri. Pesantren yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah yaitu Pesantren Teknologi Riau, punya nilai lebih dan lain dari yang lain. Pesantren ini menjadikan teknologi sebagai basisnya. Barangkali untuk Indonesia, hanya satu-satunya di Riau yang menggunakan nama teknologi untuk pesantrennya. Demikian juga pesantren-pesantren lainnya seperti al-Kautsar, Dar el-Hikmah, Diniyah Putri dan lainnya berupaya untuk mengembangkan sains dan teknologi di samping pendalaman ilmu agama yang sudah menjadi ciri sebuah pesantren. Disadari betul saat ini betapa pentingya untuk membekali santri dengan imtaq dan iptek. Namun, pengembangan dan penguasaannya terhadap iptek sangat terbatas menurut kemampuan masing-masing pesantren. Ada satu pesantren yang agak berbeda dengan yang lain yaitu pesantren Bustanul Ulum. Semua santri yang belajar di pesantren ini tinggal di luar asrama. Mereka belajar dari pagi sampai jam 16.00 WIB. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Depag hanya saja ada materi tambahan dari pesantren. Di samping banyak keunggulan, pesantren yang terlalu berupaya bersaing dalam iptek, akan tidak maksimal dalam kajian-kajian kitab klasik dan pendalaman bahasa Arab. Karena merupakan hal yang sangat sulit untuk menguasai semua keunggulan tanpa kekurangan. Kesimpulan Dari data dan informasi yang sudah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa (1) dari tiga belas pesantren yang eksis di Pekanbaru saat ini, empat di antaranya lebih mendekati 14 15

pesantren tipe A dengan ciri tradisional/salafy; dan sembilan pesantren lainnya sudah termasuk dalam kategori pesantren modern, walau dengan kadar kemodernan yang berbeda; (2) tiap pola dan sistem yang diterapkan akan memberikan keunggulan (dampak positif) dan kelemahan (dampak negatif); (3) keunggulan pola pendidikan tradisional adanya fokus perhatian dalam penghafalan Al Quran dan upaya terus menggali khazanah Islam (kitab kuning). Namun, kelemahannya sulit untuk bersaing dengan sekolah-sekolah umum dan dalam pengembangan sains dan teknologi; (4) keunggulan pola pendidikan pesantren modern yaitu mampu untuk bersaing dengan lulusan sekolah unggulan umum lainnya. Namun kelemahannya bidang bahasa dan kajian kitab klasik tidak maksimal; dan (5) adanya keragaman pola pendidikan pesantren menjadi kekayaan khazanah pendidikan Islam. Catatan Akhir:
1

Djohan Efendi, Pengantar dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Jakarta: Permadani, 2005), hlm. xviii. Lihat juga Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat (Jakarta: Bhaharata, 1970), hlm. 25.
2

M. Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 5; Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantern dalam Perspektif Masyarakat,dalam Pergulatan Dunia Pesantern: Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985); Abdurrahman Masud, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yokyakarta: IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar 2002), hlm. 2124.
3

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 14. Lihat juga Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: KP3ES, 1986), hlm 22-25
4

Ibid.
5

Ibid. hlm. 21.


6

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 20.
7

Ibid.
8 9

Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 99. Amin Haedari, Masa Depan Pesantren (Jakarta: IRD Press, 2005), hlm. 15. Ibid.

10 11

Mastuhu, op. cit., hlm. 25.


12

Data Depertemen Agama Kota Pekanbaru tahun 2007.


13

Dokumentasi SMP Babussalam.


14

Wawancara dengan pimpinan pesantren tgl 24 Oktober 2007. 16

You might also like