You are on page 1of 6

Masyarakat Adat dalam Disain Hubungan Pusat dan Daerah: Peluang dan Tantangan untuk Mengembalikan Otonomi Asli

Komunitas Adat
Abdon Nababan1

Pengantar
Sesuai dengan permintaan penyelenggara Focus Group Discussion (FGD), saya akan membahas secara khusus tentang pengembangan demokrasi dalam kerangka otonomi asli desa dari perspektif hak-hak dasar masyarakat adat yang selama ini menjadi bidang keahlian saya, baik sebagai aktifis-peneliti lingkungan maupun sebagai praktisi pengorganisasian rakyat. Dalam pembahasan ini, saya memilih untuk mengggunakan istilah masyarakat adat sebagai padanan dari indigenous poples (Konvesi ILO 169 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat), dan akan menggunakan seperlunya istilah masyarakat hukum adat sebagai penerjemahan dari adatrecht gemeenschap (Van Vollenhoven 1874-1933 dan Ter Haar 18921941) sebagaimana digunakan pada umumnya dalam kajian hukum di Indonesia. Untuk memudahkan pembahasan topik ini maka saya akan mengurai 4 elemen penting yang membentuk masyarakat adat, yaitu: 1. Sekelompok orang yang masih terikat dengan spritualitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain. 2. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan SDA lainnya, yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi (ekonomi) untuk pemenuhan hidup sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial-budaya kelompok sosial tersebut. 3. Praktek-praktek yang berbasis pada kearifan tradisional yang terus menerus diperkaya/dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka. 4. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum adat dan kelembagaan adat) yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang berlaku.

Berdaulat Secara Politik sebagai Hak Asal-Usul


Secara sederhana bisa dikatakan bahwa politik adalah medan perebutan kuasa di antara berbagai kelompok kepentingan, baik untuk menentukan tujuan hidup bersama maupun untuk menentukan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan hidup bersama tersebut.

1 Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012. 1

Dalam pengertian ini maka para pendiri bangsa dan negara Republik Indonesia ini telah dengan kesadaran menempatkan posisi komunitas-komunitas masyarakat adat sebagai entitas sosial yang berdaulat secara politik dalam Negara Republik Indonesia. Penjelasan akademik atas hal ini sudah diuraikan dengan baik sebagai Dasar Pemikiran atas usulan Naskah Akademik ini (hal. 716), baik argumen historis, yuridis dan sosiologis, maupun argumen dari aspek filosofiskonseptual dan psikopolitiknya. Dengan posisi ini maka sejak semula komunitas-komunitas masyarakat adat ini dipersilahkan oleh Negara untuk menentukan sendiri tujuan hidup bersamanya dan bagaimana cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, termasuk tentunya untuk menolak intervensi pihak luar dalam menentukan nasib mereka sebagai komunitas adat. Karena itulah, hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri (self-governing community) tetap dihormati sesuai dengan susunan asli pemerintahan adat setempat sebagaimana termuat dalam Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya (sebelum amandemen) dan juga Pasal 18B dan 28I UUD 1945 (setelah amandemen) walau dengan rumusan yang lebih kabur. Hak asal-usul yang bersifat bawaan inilah yang kemudian disebut sebagai otonomi asli desa dalam naskah ini. Dalam pergulatan hukum internasional tentang hak-hak masyarakat adat, hak-hak ini dikenal sebagai the rights to self determination, termasuk salah satu jenis hak turunannya yang banyak di gunakan dalam resolusi konflik: free, prior and informed consent (FPIC). Kegagalan penyelenggara Negara melaksanakan hak konstitusional inilah yang kemudian memicu dan mendorong muncul perlawanan yang keras dari masyarakat adat terhadap penyelenggaraan negara, terutama yang paling sering disuarakan adalah: 1. Hak untuk menguasai (mengendalikan) & mengelola (menjaga dan memanfaatkan) tanah & sumberdaya alam di wilayah adatnya 2. Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan (kearifan tradisional) dan bahasa asli 3. Hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri berdasarkan sistem adat (kepengurusan/kelembagaan, hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat Semua tuntutan ini bermuara pada hak masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi hak konstitusionalnya. Sekarang, setelah lebih dari 35 tahun hak konstitusional ini dilecehkan, dimanipulasi dan dilemahkan, bagaimana kita mengembalikannya melalui UU tentang Desa yang Naskah Akademiknya sedang dipersiapkan ini? Pelaksanaan hak masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus diri sendiri atau menerapkan FPIC (tehadap pihak luar) secara efektif membutuhkan kelembagaan adat yang kuat dengan representasi yang legitimate. Dalam hal ini, ada pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab: lembaga mana yang sah mewakili komunitas masyarakat adat? Bagaimana mereka mendapatkan dan mempertahankan keabsahan tersebut? Bagaimana mereka menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat ke dalam dan ke pihak luar? Apakah pranata adat yang ada saat ini masih menyediakan norma dan mekanisme untuk menangani berbagai bermasalahan yang muncul saat ini? Bagaimana keputusan-keputusan ini ditegakkan? Bagaimana posisi dan relasi komunitas adat ini dengan struktur admnistrasi Negara dan pihakpihak luar non-negara seperti perusahaan atau ORNOP?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat penting dijawab justru karena kedaulatan politik yang diwarisi masyarakat adat haruslah ditempatkan sebagai jalan atau cara untuk mewujudkan komunitas (desa) yang mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Atau kalau menggunakan visi dari pembuat NA RUU tentang Desa ini, mewujudkan desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Dalam hal ini, demokrasi haruslah menjadi roh dari otonomi asli Desa yang memberi tempat dan harga yang sama untuk setiap suara dari anggota komunitas masyarakat adat dan sekaligus menjadi mekanisme untuk mengawal proses perubahan sosial yang sesuai dengan cita-cita bersama komunitas. Pertanyaannya: demokrasi yang mana?

Otonomi Asli Komunitas dan Gelombang Intervensi


Kondisi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di suatu negara berbeda dengan di negara lain, bahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam satu negara. Namun demikian, ada kesamaan yang mendasar di antara mereka sebagai kelompok penduduk minoritas, yaitu pengalaman hidup ditindas, dieksploitasi dan disingkirkan dalam waktu yang sedemikian panjang, oleh kelompok-kelompok penduduk lainnya yang mayoritas dan dominan. Masyarakat adat ini menjadi minoritas bukan semata-mata karena populasi mereka yang kecil, tetapi lebih banyak bersumber dari kondisi mereka sebagai kelompok penduduk yang memiliki ideologi, sistem sosial budaya dan sistem politik yang khas dan bersifat lokal-spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan wilayah hidup bersama secara turun-temurun (basis territorial) maupun atas kesamaan nenek-moyang/leluhur (hubungan darah), atau perpaduan antara keduanya. Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di seluruh pelosok nusantara ini (sebagian menjadi wilayah Indonesia) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan mengurus dirinya serta mengelola tanah dan sumberdaya alam lainnya di habitat masing-masing. Komunitas-komunitas ini telah mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga keseimbangan antar warga di dalam komunitas tersebut dan juga antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya. Sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul yang diwariskan oleh leluhurnya ini umumnya memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan komunitas lain di sekitarnya. Keberagaman sistem lokal ini sering juga muncul pada satu suku atau etnis atau bahkan pada sub-suku yang sama yang umumnya juga memiliki bahasa dan system kepercayaan/agama asli. Penamaan terhadap komunitas adat dengan sistem sosial politik yang khas ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, misalnya di sebagian besar Aceh dikenal otonomi asli bertingkat Gampong/Kemukiman, di Tanah Batak Toba dikenal dengan Huta/Horja/Bius, di Minangkabau dikenal dengan Nagari, di Siberut Kepulauan Mentawai dikenal dengan Uma/Laggai, di Sumatera bagian tengah dan selatan dikenal dengan Marga/Kebatinan/Negeri, di pedalaman Borneo dikenal beragam penamaan seperti Kampung/Banua, Kampung/Binua, Kampung/Ketemenggungan, Balai, Lowu, Lewu, di Tana Toraja dikenal dengan Penanian/ Lembang, di Kepulauan Kei dikenal dengan Ohoi/Ratchap, dan banyak lagi ragam lainnya.

Dari perspektif sejarah yang panjang, seiring dengan masuknya berbagai pengaruh dari luar dan juga atas dorongan kebutuhan bersama dari dalam dirinya, komunitas-komunitas masyarakat adat ini mengalami perubahan terus menerus (dinamis). Perubahan ini ada yang berlangsung dengan sangat lambat, bahkan ada diantaranya yang hampir tidak berubah. Ada kelompok masyarakat adat yang masih mempertahankan system social-budaya-politik-religi yang masih utuh, seperti Orang Kanekes (orang luar lebih mengenalnya sebagai Orang Badui) di Banten dan Orang Ama Toa (orang luar lebih mengenal dengan Orang Kajang Dalam) di Bulukumba. Ada juga kelompok masyarakat adat yang berubah dengan cepat dan hampir menyeluruh seperti dialami oleh sebagian besar penduduk di Pulau Jawa dan sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera. Komunitas-komunitas pedalaman di luar Pulau Jawa umumnya masih menunjukkan karakteristik sebagai komunitas mandiri secara politik (otonomi asli), walaupun pada tingkat yang berbeda-beda telah menerima/mengadopsi nilai-nilai, aturan-aturan dan kelembagaan sosial baru yang berasal dari luar komunitasnya. Di beberapa wilayah kantong di Jawa, masih ditemukan komunita-komunitas dengan karakter adat dan budaya asli yang relatif kuat, misalnya beberapa komunitas kasepuhan di Banten Kidul, Orang Tengger dan Orang Using di Jawa Timur serta Sedulur Sikep di Jawa Tengah. Masyarakat adat di pelosok nusantara telah mengalami berbagai gelombang intervensi dan bahkan dengan pemaksaan nilai dari sistem dominan yang anut oleh kelompok yang sedang berkuasa pada suatu masa tertentu. Gelombang intervensi pertama di wilayah nusantara dimulai dengan masuknya agama-agama baru dari luar yang masing-masing memaksakan satu kebenaran dan kemudian didukung dengan pembentukan konsep politik negara kerajaan dan kesultanan feodal . Interaksi hegemonistik ini telah merubah nilai-nilai cara hidup sebagain masyarakat adat di pelosok nusantara, khususnya di di wilayah pesisir dan dataran rendah pedalaman. Banyak peneliti menemukan bahwa feodalisme negara kerajaan dan kesultanan juga telah merasuki sistim sosial politik sebagian masyarakat adat, khususnya mereka yang hidup di daerah-daerah yang kental dengan kepentingan ekonomi negara dan para pedagang asing pada waktu itu, seperti daerah-daerah pertanian irigasi sebagai penghasil bahan pangan (beras) untuk kebutuhan kerajaan/kesultanan dan daerah-daerah penghasil komoditas perdagangan antar negara sebagai sumber pendapatan penting bagi kerajaan/kesultanan dan sekaligus untuk menjamin dukungan politik dari para pemodal dan pedagang asing. Gelombang intervensi yang kedua berlangsung pada masa kolonial. Pada periode ini, proses perampasan hak-hak masyarakat adat secara sistematis dan terorganisir dengan diterapkannya sistem hukum dan pemerintahan Barat untuk melindungi investasi perusahaan-perusahaan asing di Hindia Belanda. Pulau Jawa yang memiliki populasi terpadat dan sekaligus menjadi pusat kekuasaan politik yang berpengaruh di pelosok nusantara dan beberapa daerah di luar Jawa yang kaya dengan komoditas ekspor paling menderita pada periode ini. Hukum agraria tahun 1870 yang menetapkan status tanah negara bagi tanah-tanah yang tidak dibebani hak milik pihak lain merupakan salah satu kebijakan kolonial Belanda menjadi sumber penindasan, penyingkiran dan eksploitasi terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam. Pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka, dikenal sebagai Rejim Orde lama, berusaha mengurangi dan memulihkan dampak negatif dari kebijakan kolonial ini terhadap masyarakat adat sebagai mana diamanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang mengakui dan melindungi otonomi asli komunitas adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sebagai daerah istimewa. Dari sisi agraria, UU Pokok Agraria 1960 menyatakan pengakuian atas keberadaan hak ulayat masyarakat

adat. Bencana bagi masyarakat adat kembali muncul dengan terjadinya pengambil-alihan kekuasaan oleh militer dari Presiden Sukarno. Rejim militer ini kemudian dikenal sebagai rejim Orde Baru. Jiwa UUD 1945 untuk mengembalikan otonomi asli komunitas adat sebagai daerah istimewa ini dan perlindungan hukum dari UU Pokok Agraria 1960 terhadap hak ulayat masyarakat adat disingkirkan begitu saja dengan menghidupkan kembali jiwa dan semangat kolonialisme yang terkandung dalam Hukum Agraria 1870. Semangat kolonialisme ini dituangkan dalam berbagai UU sektoral seperti UU Pokok Kehutanan, Pertambangan, Perikanan, Transmigrasi, dan sebagainya. Untuk memperkuat cengkeraman rejim militer-kolonialitik Orde Baru terhadap masyarakat adat, perlakukan daerah istimewa bagi otonomi asli komunitas adat ditiadakan dengan dikeluarkannya berbagai paket UU pengendalian politik seperti paket UU pemerintahan yang sentralistik dan paket UU demokrasi Pancasila dengan massa mengambang yang repressif. Konsep pemerintah desa di Jawa diterapkan secara seragam untuk mengambil alih pemerintahan adat di seluruh pelosok Indonesia. Dengan demikian maka masa Rejim Orde Baru merupakan gelombang intervensi yang ketiga dan paling mematikan enerji sosial masyarakat adat. Pada periode ini hampir seluruh wilayah masyarakat adat dirambah oleh berbagai konsesi ekploitasi sumberdaya alam skala besar seperti HPH untuk penebangan hutan, HGU untuk perkebunan kuasa pertambangan, operasi penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing, berbagai proyek transmigrasi dan proyek politik militer seperti ABRI Manunggal Desa.

UU Desa: Menyediakan Ruang Pemulihan


Jatuhnya Soeharto sebagai pemimpin rejim militer-kolonialistik, membawa harapan perubahan untuk masyarakat adat, bukan hanya karena adanya kondisi politik yang lebih terbuka, tetapi juga dengan dimulainya pelaksanaan Otonomi Daerah, sedangkan Aceh dan Papua dengan Otonomi Khusus. Dengan segala kekurangannya dan juga ancaman yang terkandung di dalamnya, kebijakan otonomidaerah ini merupakan ruang ekspresi baru bagi masyarakat adat untuk merebut kembali otonomi asli yang telah diamanatkan oleh UUD 1945, khususnya dengan adanya amandemen yang memperkuat pengakuan, pengormatan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat adat. Dengan tingkat kerusakan wilayah bahkan ada juga komunitas adat yang secara paksa tergusur dari wilayah adat dan menumpang di wilayah masyarakat lain dan pranata asli masyarakat adat yang berbeda di suatu daerah dengan daerah lainnya, maka upaya-upaya pengembalian dan pemulihan otonomi asli komunitas desa di setiap daerah juga pasti akan berbeda satu sama lain. Bagi pranata adat yang kerusakannya tidak terlalu parah maka strategi yang mungkin dilakukan komunitas masyarakat adat yang bersangkutan dan para pendukungnya adalah revitalisasi dengan berbagai pengkayaan secara terbatas di aspek-aspek tertentu. Sedangkan untuk komunitas masyarakat adat yang sudah mengalami pengrusakan pranata asli adat yang sudah parah maka strategi yang mungkin bisa dilakukan adalah rekonstruksi atau pembaruan terhadap pranata sosial. Terkait dengan hal ini, maka untuk memulihkan otonomi asli komunitas desa, UU ini perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Kedua pilihan pemulihan otonomi asli, revitalisasi dan pengkayaan terbatas, dan rekonstruksi dan pembaruan, harus dilindungi oleh UU ini dengan tetap menempatkannya sebagai otonomi asli desa yang berdasarkan hak asal-asul untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai komunitas, bukan otonomi desa yang berdasarkan prinsipprinsip desentralisasi sebagaimana ditawarkan dalam usulan Naskah Akademik ini. UU ini tidak pada tempatnya mengurangi hak konstitusional masyarakat adat untuk berdaulat secara politik hanya dengan alasan bahwa pranata adat di komunitas tersebut sudah tidak lemah. 2. UU ini haruslah menjadi landasan hukum operasional bagi masyarakat adat untuk memulihkan kedaulatan politiknya dengan mengembalikan fungsi musyawarah adat (Kombongan di Tana Toraja, Paruman di Bali, Rapek Ampek Jinih di Minangkabau, dsb.) sebagai lembaga pengambil keputusan yang tertinggi di tingkat komunitas sesuai dengan tingkatannya. Dengan pengakuan dan perlindungan terhadap musyawarah adat inilah proses pemulihan otonomi asli akan dilakukan sendiri oleh masyarakat adat. Lewat musyawarah inilah masyarakat adat kembali mendapatkan hak politiknya untuk menentukan lembaga-lembaga mana saja yang saat ini ada di tingkat desa yang masih relevan dan diperlukan oleh komunitasnya dan lembaga-lembaga mana yang sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya karena hanya menjadi beban untuk warga komunitas. 3. UU ini juga tidak tepat untuk menentukan yang mana lembaga adat dan yang bukan lembaga adat karena perkembangan kelembagaan adat justru ditentukan oleh munculnya kebutuhan bersama dan sistem nilai yang berlaku di suatu komunitas. 4. UU ini cukup mengatur kelembagaan desa secara minimal untuk menjamin check and balances di antara lembaga yang memiliki fungsi legislatif, eksekutif dan pengawasan. 5. UU ini hanya perlu mengatur prinsip-prinsip utama yang harus dipenuhi oleh Musyawarah Komunitas Desa untuk memastikan suara, akses dan kontrol setiap warga terhadap proses, legitimasi hasil musyawarah dan pelaksanaannya. 6. Sesuai dengan realitas otonomi asli komunitas desa yang bertingkat, maka UU ini harus membuka ruang untuk kembalinya proses demokrasi partisipatif yang berjenjang (bertingkat) seperti di Aceh dengan Gampong dan Mukim, di Toraja dengan Penanian dan Lembang, di Kalimantan Barat dengan Kampung dan Binua, di Bali dengan Banjar dan Desa Pekraman, dsb.

You might also like