You are on page 1of 32

6 November 2008

KAJIAN MORFOLOGI KARST UNTUK GEOKONSERVASI DAN PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKO-KARST GUNUNGSEWU
KAJIAN MORFOLOGI KARST UNTUK GEOKONSERVASI DAN PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKO-KARST GUNUNGSEWU Usulan Penelitian

Oleh Masita Dwi Mandini Manessa No. Mhs. 04/175838/GE/05626 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2008

Bab I
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem karst merupakan ekosistem yang unik dilihat dari berbagai aspek geografis. Bentang alam ekosistem karst sangat indah seperti telaga, polje, doline, lapies, lembah kering, bukit dan menara karst yang terbentuk akibat proses pelarutan batuan gamping. Keanekaragaman organisme endemik seperti walet, kelelawar, mahoni, jati memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Konservasi sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengelolaan perlu dilakukan untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman organisme kawasan karst. Keindahan, keunikan, dan kebudayaan kawasan karst memiliki nilai jual yang tinggi bagi sektor pariwisata. Gua-gua karst dapat memberikan kenikmatan para wisatawan baik dari segi keindahan, keunikan, ilmu speleologi yang dapat diambil dari penjelajahan gua karst horisontal maupun vertikal. Bentuk wisata unik lainya di kawasan karst adalah pemanjatan tebing karst yang dapat memacu adrenalin wisatawan. Tujuan pengelolaan kawasan karst menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor: 1456.K/20/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 mengenai pedoman pengelolaan kawasan karst adalah mengoptimalkan pemanfaatan kawasan karst guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pemanfatan dan perlindungan kawasan karst pada golongan Kelas I atau kawasan konsevasi karst hanya dapat dilakukan kegiatan yang tidak berpotensi mengganggu proses karstifikasi, merusak bentuk-bentuk karst di bawah dan di atas pemukaan, serta merusak fungsi kawasan karst. Kawasan eko-karst Gunung Sewu telah dicanangkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

tanggal 6 Desember 2004 berdasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor: 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan Nomor: 1659.K/40/MEM/2003 tanggal 1 Desember 2004. Diharapkan dengan pencanangan kawasan eko-karst Gunung Sewu dapat memberikan kepastian arah pengembangan kawasan karst, terjaminnya pelaksanaan berbagai pembangunan kawasan karst yang berwawasan lingkungan, termasuk pembangunan ekowisata, terjaganya sumberdaya kawasan karst, meningkatnya kesejahteraan masyarakat penghuni kawasan karst, dan tersosialisasikannya kawasan karst Gunung Sewu. Arahan pengembangan yang dicanangkan oleh pemerintah salah satunya adalah berkembangnya ekowisata, hutan lestari dan hutan rakyat (Departemen ESDM, 2004). Daerah karst di Gunung Sewu merupakan jenis karst yang berada pada kawasan tropis basah dan merupakan salah satu model karst berbentuk kerucut di dunia. Keunikannya ini membuat Gunung Sewu diberi status kawasan eko-karst. Gunung Sewu memiliki bukit karst diperkirakan berjumlah 40.000 bukit pada ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Tim Arkeologi Universitas Gadjah Mada selama lima tahun terakhir mencatat, terdapat 11 kecamatan di Gunungkidul yang memiliki kawasan karst dengan situs goa mencapai 40 situs di tiap kecamatan. Namun, sejumlah goa saat ini telah ditambang, di antaranya Goa Sengok di Playen. Sementara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul telah menetapkan kawasan wisata karst, di antaranya Goa Seropan, Kecamatan Semanu, dan Goa Maria di Kecamatan Playen (Kompas, 2004). Kawasan karst Gunung Sewu memiliki aneka fungsi yang berkaitan erat dengan situs pengembangan iptek, sumberdaya alam hayati dan nirhayati yang memberi nilai ekonomi jangka pendek dan jangka panjang, tatanan sosio-budaya masyarakat yang khas, dan konservasi sumberdaya alam. Nilai ekonomi kawasan karst antara lain dapat digali aspek sumberdaya mineral, pengelolaan air, pariwisata, kehutanan, pertanian, perikanan, sumberdaya ekonomi walet dan sebagainya. Kegiatan eksploitasi nilai ekonomi di kawasan karst harus dapat diselaraskan dengan upaya pelestarian nilai-nilai strategis yang di milikinya. Diharapkan kelestarian ekosistem karst Gunung Sewu dapat terjaga dengan adanya pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat Gunung Sewu dan konflik antara kepentingan manusia dan kelestarian alam dapat teratasi. 1.2. Perumusan Masalah Sejalan dengan pertambahan penduduk, kemajuan teknologi dan kemajuan pembangunan ancaman terhadap keberadaan kawasan karst semakin meningkat. Ancaman pertama yang paling kuat terhadap kelestarian kawasan karst adalah penambangan batugamping secara besar-besaran sebagai bahan baku untuk industri semen, dan penambangan rakyat yang cukup banyak, sehingga sebagian besar fenomena karst hilang. Ancaman yang kedua adalah perubahan tata air dikawasan karst. Perubahan tata air pada kawasan karst dapat terjadi oleh beberapa sebab, antara lain oleh: vegatasi penutup, pembuatan bendung dan pompa airtanah yang berlebihan. Perubahan vegatasi penutup akan mengakibatkan aliran permukaan yang besar, akibat air yang tersimpan pada lapisan tanah/batuan bagian atas berkurang sehingga akan mengurangi intensitas proses pelarutan. Bendungan pada kawasan karst akan merubah tata air, karena sifat batugamping yang banyak kekarnya, sehingga ada kebocoran atau rembesan melalui kekar yang tergenang air, akibat akan terjadi proses pelarutan pada kawasan baru. Kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan sering mengakibatkan erosi permukaan, akibatnya lapisan tanah atas sebagai media meresapkan air kedalam batuan berkurang, sehingga proses pelarutan menurun bahkan dapat berhenti. Apabila proses pelarutan berhenti maka kawasan karst menjadi mati, tidak terjadi lagi gemericik aliran air dan tetasan air dari stalagtit, ornamen dan speleotem kering tidak basah lagi seperti onggokan travertin (Sutikno dan Haryono, 2000). Isu kekeringan hampir setiap tahun melanda kawasan karst Gunung Sewu, sementara aspek hidrologi kawasan karst merupakan lumbung air yang tersedia sepanjang tahun. Sungai bawah tanah di Gua

Bribin, Kabupaten Gunungkidul, merupakan usaha manusia untuk memanfaatkan air karst yang diberikan oleh alam. Sungai bawah tanah Bribin yang debitnya sekitar 1000 liter/detik dimanfaatkan oleh sekitar 80-100 liter/detik untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi 79.000 jiwa atau 6.000 KK penduduk di sekitar gua (Siaran Pers ESDM, 2004). Akan tetapi penambangan batu gambing di daerah Ponjong yang merupakan kawasan resapan bagi sistem hidrologi Bribin dapat menjadikan masalah yang dapat mengganggu pasokan air bagi masyarakat sekitar. Kawasan karst sangat rentan terhadap kerusakan dikarenakan nilai ekonominya yang sangat tinggi. Lingkungan Eko-Karst memiliki fungsi dualisme antara kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan, dimana sangatlah sukar untuk menjaga keseimbangan lingkungan karst dalam pengelolaan kawasan. Diperlukan usaha dari tiap unsur masyarakat untuk melindungi kelestarian kawasan karst. Diharapkan dengan pengembangan pariwisata dapat menjadi alternatif solusi permasalahan pengelolaan kawasan karst. Menurut Sharples (Anonim, 2000) Geokonservasi didasari pada geodiversitas yang utama karena proses geologi, bentuklahan dan tanah adalah dasar esensial dari proses ekologikal bergantung. Fokus utama dari geokonservasi adalah melindungi geodiversitas alami dan upaya tidak hanya melindungi kenampakan yang berhubungan langsung atau nilai yang mengilhami manusia, tetapi juga upaya untuk menjaga pengolahan ekologi alami yang difokuskan pada urusan konservasi alami. Elemen dari geodiversitas tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan baik sebagai kepekaan atau daya tahan terhadap kerusakan, elemen apapun dari geodiversitas yang bekerja pada beberapa tipe dari gangguan dan daya tahan dalam sisi lainnya. Karenanya dalam menilai kepekaan dari kenampakan atau proses tertentu, sangat penting untuk mengidentifikasi aktivitas yang mengganggu dalam kajian dari penilaian yang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menarik untuk dikaji sebagai berikut : 1. bagaimana karateristik morfologi karst Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu? 2. bagaimana tingkat kepentingan aspek-aspek morfologi untuk Geokonservasi Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu? 3. bagaimana nilai visual landskap untuk pengembangan wisata alam Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu? 4. bagaimana arahan pengembangan wisata alam di Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu? Dari latar belakang dan perumusan masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan peneliian dengan judul KAJIAN MORFOLOGI KARST UNTUK GEOKONSERVASI DAN PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKO-KARST GUNUNG SEWU . 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini meliputi : 1. mengetahui karateristik morfologi karst kawasan Eko-Karst Gunung Sewu 2. mengetahui tingkat kepentingan aspek-aspek morfologi untuk Geokonservasi Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu 3. mengetahui nilai visual landskap untuk pengembangan wisata alam Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu 4. mengetahui arahan pengembangan wisata alam di Kawasan Eko-Karst Gunung Sewu 1.4. Kegunaan Penelitian 1. nilai kepentingan dari kawasan karst dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi. 2. penelitian dapat menjadi masukan bagi pertimbangan-pertimbangan dalam pengembangan pariwisata yang memperhatikan lingkungan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan. 3. hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Kawasan Karst

Karst berasal dari kata Slovenia Kras yang digunakan untuk menjelaskan bentuklahan di Notranjski yang meliputi Postojna Cave, Cerknisvko Polje dan Rakov Skicjan. Pada perkembangannya selanjutnya istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan suatu lahan yang mempunyai pola drainase khas, yang dikontrol oleh pelarutan. Kemudian istilah tersebut dipersempit menjadi daerah dengan batugamping yang memiliki sistem drainase yang jarang, solum tanah tipis dan keberadaannya hanya pada bebrapa tempat, cekungan tertutup dan sistem drainase bawah permukaan (Summerfield, 1970 dalam Sweetings, 1972). Karst merupakan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, doline, dan gua. Menurut White ( ) daerah karst umumnya dicirikan dengan adanya cekungan tertutup dengan ukuran dan susunan bervariasi, tidak memiliki drainase permukaan, adanya gua dan sistem drainase bawah tanah. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, tetapi pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, evaporit seperti halnya gips dan halite, silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Daerah karst dapat juga terbentuk oleh proses yang lain - cuaca, kegiatan hidrolik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu). Pada kondisi iklim tropis bentang alam karst dengan funnel-like hollows (biasanya pada daerah dengan iklim yang lebih tinggi) akan di gantikan dengan perbukitan kubah terpisah dengan lembah irregular atau cockpits. Daerah karst tropis seperti yang terlihat pada Gambar 1.1., dikenal dengan bentukan seperti labirin, cockpits, dan kubah karst. Pada perkembangan lebih lanjut tower karst akan muncul, berkarateristik oleh grup dari steep-side limestone tower (mogotes) terletak di tengah dari dataran aluvial gamping. Dataran gamping, pada umumnya tanpa mogotes dan terletak pada akhir dari wilayah karst, yang dinamakan karst-border plain yang terbentuk kurang lebih saat level phreatic (Zuidam, 1979). Gambar 1.1. Perkembangan Karst pada daerah Tropis (Zuidam, 1979)

Daya tarik Kawasan karst adalah karateristik bentanglahannya yang mempunyai nilai keunikan dan kelangkaan. Bentukan positif yang berbentuk kubah, dan menara karst yang tersusun dengan pola keruangan tertentu merupakan suatu kenampakan alam yang tidak dijumpai pada bentang alam lain. Bentukan negatif yang berbentuk doline, uvala, polje, cockpits, sungai bawah permukaan, luweng, gua dengan stalaktit dan stalakmit kenampakan yang adanya hanya pada kawasan karst. Kelengkapan bentukan positif dan negatif pada suatu kawasan merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi untuk dijadikan kawasan perlindungan dan obyek wisata alam (Sutikno dan Haryono, 2000). 1.5.2. Morfologi Karst Geomorfologi di definisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mendeskripsikan (secara genetis) bentuklahan dan proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut serta mencari hubungan antara bentuklahan dengan proses-proses dalam susunan keruangan (Dibyosaputro, 2001). Dengan demikian dapatlah dijelaskan beberapa aspek utama geomorfologi yaitu: morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (morfostruktur pasif, morfostruktur aktif, dan morfo-dinamik), morfokronologi, dan morfoaransemen (Zuidham tahun dalam Dibyosaputro, 2001). Dalam survei geomorfologi ada tiga pendekatan utama yang digunakan yaitu survei analitik, survei sintetik, dan survei pragmatik. Pada survei analitik dikaji aspek-apek geomorfologi seperti litologi, morfometri, morfografi, proses, morfogenesis, morfokronologi, dan berbagai informasi terkait lainnya. Pada survei sintetik kajian ditekankan pada kontribusi konteks kelingkungan dan hubungan atara bentanglahan dengan ekologi. Perpaduan antara survei analitik dan survei sintetik yakni survei pragmatik

yang berorientasi pada masalah yang ada dan pengembangannya (Verstappen, 1983). Penelitian ini menekankan pada aspek morfologi (morfografi). Geomorfologi sebagai salah satu ilmu kebumian dapat memberikan kontribusi dalam menentukan kawasan yang perlu dilindungi atau dilestarikan. Kriteria geomorfologi untuk tujuan perlindungan dan pencagaran lingkungan karst tersebut antara lain: keunikan morfologi baik makro maupun mikro, kepadatan dan ukuran kelurusan, pola saluran baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan, asal mula pembentukan yang spesifik dan kekhasan gua karst (Sutikno, ). Bentukkan morfologi mayor dan minor yang dikaji pada penelitian kali ini antara lain: 1.5.2.1. Karren Karren merupakan bentuk-bentuk permukaan kasar pada permukaan batugamping akibat proses pelarutan dan pengerusan (Thronbury, 1958). Sweeting (1972) mengemukakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan karren yakni; reaksi kimia alami, besar dan distribusi curah hujan, karateristik batugamping, kekar dan kemiringan lereng, kondisi penutup vegetasi dan kondisi iklim masa lampau. Klasifikasi tipe karren yang dikemukakan oleh Ford dan Williams, 1996 didasarkan pada bentuk luarnya, yaitu meliputi tipe-tipe karren 1. membentuk datar membulat (plan circular), yaitu a. micropit, berbentuk seperti lubang dengan lebar yang bervariasi dan umunya berukuran kurang dari 1mm. b. pit, berbentuk membulat, oval atau datar tetapi tidak teratur dan berdiameter lebih dari 1mm. c. pan, berbentuk lingkaran, elips hingga berbentuk datar, tidak teratur, umunya searah dengan perlapisan batuan dengan diameter lebih dari 1 cm dan terisi oleh material endapan d. heelprint atau treetkarren, berbentuk datar, terbuka ke arah lereng bawah dengan diameter 10 hingga 30 cm. e. shaft atau well, berbentuk seperti terowongan ke arah bawah dan berhubungan dengan gua-gua kecil (protocave) 2. berbentuk lurus terkontrol kekar a. microfissure, merupakan petunjuk rekahan minor, berbentuk longjing dan panjangnya hanya beberapa sentimeter dan kedalamannya jarang yang lebih dari 1 cm b. splitkarren, berasosoasi dengan kekar, panjang hanya beberapa sentimeter hingga dapat mencapai beberapa meter. Splitkarren dapat tertutup dan berakhir pada rekahan atau terbuka yang berakhir dengan karren lain c. grike atau kluftkarren, berasosiasi dengan kekar yang relatif besar atau patahan. Tipe ini merupakan kenampakan yang meninjol sekali dengan ukuran panjang 1 10 meter d. clint atau flachkarrent, berbentuk seperti blok-blok dan berasiosiasi dengan grike 3. berbentuk lurus terkontrol tekanan air a. microrill atau rillenstein, merupakan alur kecil dengan lebar sekitar 1 mm. Gerakan air terkontrol oleh gaya kapiler atau gaya gravitasi atau oleh gerakan angin b. rillenkarren, berbentuk seperti saluran yang berawal dari puncak sampai lereng bawah. Aliran air dihasilkan oleh air hujan dan jatuh tanpa penuangan. Berukuran lebar 1-3 cm c. solution karren, berbentuk seperti saluran yang bergerak ke arah lereng bawah, memiliki pinggiran yang tajam pada batuan yang terbuka (rinnerkarren) atau berbentuk melingkar apabila terdapat di bawah tanah (rundkarren). Saluran menjadi lebih lebar ke arah lereng bawah, lurus membentuk pola aliran radial sentripetal. Berukuran lebar 3 hingga 3 cm dan panjang 1 10 meter d. decantation runner, terbentuk akibat air hujan yang tercutahkan dari lerang atas. Saluran semakin ke arah lereng bawah semakin kecil ukurannya. Ukuran bervariasi dimana panjangnya dapat mencapai 100 meter. Tipe ini meliputi wallkarren dan maanderkaren e. decantation fluting, terbentuk oleh aliran air yang terlepaskan secara tersebar dan saluran dapat

berkumpul menjadi satu dilereng bawah. Berukuran lebar 1 hingga 50 cm f. fluted scallop atau solution ripple, berbentuk seperti ripple dan mirip kulit kerang, membentuk pola aliran cockling pattern serta terdapat pada lereng landai dan batugamping terbuka 4. tipe poligenetik yang umum dijumpai antara lain a. karrenfeld, merupakan karren yang berkembang di bawah tanah dan tutupan vegetasi yang kemudian terekspos secara meluas sehingga terbuka atau terbuka sebagian b. limestone pavement, merupakan karrenfend yang terdapat pada lapisan batuan yang datar atau landai dan didominasi oleh clint dan grike yang teratur dan memperlihatkan seperti bentuk lantai atau ubin. Satu buah clint berukuran 1 meter hingga 10 meter persegi. Padanya dapat tumbuh pit, pan, shaft, dan splitkarren c. pinnace karren, merupakan karren yang berbentuk seperti tiang-tiang yang runcing pada ujungnya. Merupakan bentuk perkembangan dari clint yang ditumbuhi oleh rundkarren sehingga berubah menjadi lonjong. Kemudian dipertajam oleh pertumbuhan rillenkarren, rinnenkarren, dan wallkarren yang oleh perkembangan selanjutnya satu sama lain bersatu dan membentuk pinnacle karren. d. ruiniform, merupakan bentuk perkembangan dari clint yang berukuran besar. Proses pembentukannya dimulai dari pemindahan tanah dari grike yang sangat dalam dan lebar oleh proses erosi akan tetapi clint tidak berubah bentuknya menjadi pinnacle. Tipe ini umunya terjadi pada daerah karst dataran tinggi dengan lereng yang landai hingga datar serta telah mengalami deforestisasi dan mengalami erosi tanah yang besar. e. giant grikeland, merupakan perkembangan dari grike yang diperluas menjadi bentuk yang lebih besar membentuk depresi tertutup seperti lembah yang berbentuk kotak (box valley) f. coastal karren, merupakan karren yang terbentuk disekitar pantai dimana selain dipengaruhi oleh proses pelarutan juga terpengaruh oleh aktivitas gelombang laut. Bentuk-bentuk yang dihasilkan akan menunjukkan akibat dari energi gelombang, selisih pasang surut, variasi litologi dan struktur geologi. Tipe ini diperlihatkan oleh adanya notches dan keterdapatan pit dan pan dengan kerapatan tinggi. 1.5.2.2. Gua Karst Gua-gua hanya dapat dibentuk dari batuan yang terlitifikasi, dan jelas bahwa karakter sedimen semula dan sejarah diagenetik adalah faktor-faktor yang mengontrol lokasi sebuah gua. Proses kelahiran sebuah gua biasa disebut dengan speleogenesis, dan fitur dari geologi sangat besar pengaruhnya disini. Gua adalah setiap ruangan bawah tanah alam di bebatuan yang cukup dimasuki manusia (Union Internationale de Speleologie, tahun ...). Mulut gua terbentuk secara kebetulan. Sebagian terbentuk berhubungan dengan sumber air atau tempat keluarnya air yang juga membentuk gua. Misalnya mulut gua yang berupa swallow hole atau mulut mata air. Mulut gua terbentuk dengan downcutting dari lembah permukaan yang memotong lorong gua atau dengan proses yang komplek: pembentukan lorong gua, sinkhole collapse, atau perpotongan vertical shaft dengan lorong gua. Gua dapat diklasifikasikan berdasarkan proses terbentuknya menjadi tiga (Mylroie dan Carew, 1995), yaitu: 1. pit caves, goa yang terbentuk dari perkembangan shaft secara terus menerus sampai terbentuk suatu sistem protocave dengan aliran kearah vertikal 2. phreatic caves (flank margin caves dan banana hole ), merupakan gua yang berkembang di bawah muka airtanah. Flank margin caves terbentuk oleh proses pelarutan pada daerah tepi lensa muka airtanah yang berbatasan dengan muka air laut, proses pelarutan yang terjadi dipengaruhi oleh dua tenaga, yaitu tenaga airtanah dan tenaga air laut. banana hole terbentuk akibat adanya tenaga pelarutan yang bekerja secara horizontal akibat aliran air pada zona muka airtanah. 3. fracture caves, gua yang terbentuk pada zona patahan dan berkembang baik secara vertikal maupun horizontal. 1.5.2.3. Lembah Karst Morfologi lembah karst dalam perkembangannya terbentuk oleh aliran air dipermukaan karst. Aliran air di

permukaan karst tidak selalu dan tidak semuanya menghilang masuk ke dalam retakan batuan tetapi ada sebagian yang terus mengalir disertai proses pelarutan pada batuan yang dilaluinya hingga akhirnya terbentuk lembah karst (Sweeting, 1972). Lembah karst merupakan kelompok topografi karst mayor yang dapat menyunjukkan klasifikasi karateristik dari lembah yang terdapat pada morfologi karst. Lembah dapat diklasifikasikan menjadi empat (Sweeting, 1972), yaitu: Allogenic valey terbentuk pada daerah karst yang berbatasan dengan batuan tidak larut (insolubel). Lembah ini terbentuk saat proses pelarutan dan aliran permukaan memasuki area karst yang mudah larut sehingga terbentuk lembah allogenic. Lembah allogenic memiliki morfologi lembah yang diapit oleh dinding terjal menyerupai tembok besar yang terbentuk akibat kombinasi tenaga fluvial dan solusional. Blind valley menurut Thornbury (1954) merupakan lembah di dataran karst yang berakhir menuju ke swallow hole. Pembentukan blind valley dimulai dengan lembah fluvial yang tererosi hingga batuan impermeabel diatas batuan gamping, saat melewati lubang (sinkhole) air akan masuk dan sungai menjadi hilang secara permanen. Lembah kering atau dry valley merupakan lembah besar yang terbentuk akibat runtuhnya permukaan dikarenakan sungai bawah tanah yang sudah tidak dialiri air sehingga tidak mampu menahan beban material diatasnya. Lembah saku Poket valley merupakan kebalikan dari blind valley, berasosiasi dengan mataair besar yang berada pada batuan gamping masif. Memiliki bentuk dasar yang datar, terkadang berbentuk U, lembah dengan tebing bertingkat, dan tebing yang curam pada bagian atas . 1.5.2.4. Doline Doline berasal dari kata Serbian dolinas, doline terbetuk akibat adanya runtuhan sink (Thornburry, 1958). Dalam Ford dan Williams, 1996, doline merupakan cekungan atau depresi tertutup yang umumnya berbentuk membulat atau agak membulat dan memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari beberapa meter hingga ratusan meter. Menurut Cvijic (1983) dalam Haryono dan Adjik (2004), doline berdasarkan morfologinya dapat di kelompokkan menjadi tiga, yakni: 1. doline berbentuk mangkuk, rasio diameter dan kedalamannya 1:10 dengan kemiringan lereng berkisar antara 10o sampai 200, dasar doline umumnya terisi oleh tanah 2. doline berbentuk corong, rasio antara diameter dan kedalamannya 2:1 sampai 3:1 dengan kemiringan lereng 30 sampai 40 dasar doline tipe ini dekat dengan batas bawah karstifikasi 3. doline berbentuk sumuran, doline tipe sumuran memiliki diameter yang lebih kecil daripada kedalamnya dengan dinding doline vertikal dan dasar doline datar. Uvala merupakan lahan cekungan memanjang berbentuk oval akibat proses berkembangnya bentuk dan ukuran doline. Terbentuk akibat proses pelarutan maupun runtuhnya dinding doline dengan kedalamannya 100 sampai dengan 200 m. Cockpits merupakan suatu depresi yang mengelilingi kerucut karst atau conical karst hill. Proses pembentukan cockpits erat kaitanya dengan tension dan shear joint pada batugamping. Pembentukan cockpits diakibatkan oleh erosi dan pelarutan intensif pada bidang kekar oleh aliran permukaan sehingga membentuk sink. Polje merupakan cekungan di daerah kapur yang mempunyai drainage di bawah permukaan. Polje memiliki bentuk depresi memanjang dan tidak teratur searah dengan jurus perlapisan. Polje terbentuk akibat struktur sesar pada batuan gamping (Susmayadi, 2006). Cvijic tahun ... dalam Sweeting, 1972 menyebutkan ada dua tipe dari doline yang berasosiasi dengan gua. Pertama ditemukan bahwa beberapa doline merujuk pada sistem gua pendek dan buntu yang tererosi sepanjang kekar dan rekahan. Jenis ini memiliki lorong terbuka dan menuju pada gua kecil yang berkembang, terkadang horizontal tetapi terkadang berbentuk vertikal seperti corong. Kedua, Cvijic mengidentifikasi dua tipe doline yang berasosiasi dengan sistem sungai bawah tanah. Pertama di sebut dengan macocha type, dinamakan setelah macocha doline di Devonian limestone of Moravia. Tipe ini memiliki bentuk yang sederhana dimana atap dari sungai bawah tanah runtuh dan

menyingkap aliran sungai bawah tanah. Sisi yang curam, dinding yang menyerupai tebing dan kerucut runtuhan dari blok batugamping yang jatuh dapat dijumpai pada tipe ini. Tipe Trebic bersosiasi dengan sungai bawah tanah, tetapi hubungannya tidak langsung. Banyak bagian dan gua besar menghalangi permukaan doline dan sistem sungai bawah tanah. Pada iklim tropis basah, variasi dari curah hujan dari musim penghujan ke musim kering, dan konsekuensi variasi dari volume sungai bawah tanah mengakibatkan tekanan hidrolik yang berbeda sangat besar pada atap gua dan runtuhan dapat terjadi. Kedua tipe doline yang berasosiasi dengan gua ini memiliki morfologi doline sumuran. 1.5.2.5. Kubah, dan Menara Karst Menurut Ford dan William, 1996, bukit karst adalah topografi positif yang merupakan sisa dari pelarutan yang lokasi dan bentuknya terkait erat dengan lembah tertutup yang ada disekitarnya. Kerucut karst atau conical karst adalah bukit karst yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi. Menara karst atau tower karst adalah bukit sisa pelarutan dan erosi yang berbentuk menara dengan lereng yang terjal tegak atau menggantung, terpisah satu dengan yang lainnya dan dikelilingi dataran aluvial. Berdasarkan geometrinya kubah karst dibedakan menjadi dua yaitu asimetric conical karst dan symetric conical karst. Asimetric conical karst adalah kubah karst yang memiliki kemiringan berbeda pada masingmasing sisinya. Perkembangan kubah tipe ini dipengaruhi oleh asal pembentukkannya yang terbentuk pada permukaan yang miring. Symetric conical karst adalah kubah karst yang memiliki kemiringan yang sama pada masing-masing sisinya. Morfologi Kubah karst merupakan pewakil dari tipe karst tropis dan sudah dikenal secara internasional sebagai tipe karst Gunung Sewu (Haryono, 2007) 1.5.3. Geokonsevasi International Union Conservation of Nature and Natural Resource, 1998 (dalam Wood, 2002) menerangkan bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosfer dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari unuk generasi kini dan mendatang. Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah area alami, seperti ekosistem sungai, ekosistem gunung api, ekosistem karst dan ekosistem pantai. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut lestari sebagai area alam. Pendekatan yang lain bahwa wisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP dalam Wood, 2002) sebagai berikut : 1. menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan 2. melindungi keanekaragaman hayati 3. menjamin kelestarian dan pemanfaatan ekosistem 4. pemanfaatan area alam untuk wisata mempergunakan pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal Geokonservasi adalah konservasi dari geodiversitas untuk nilai hakekat, ekologikal, dan geoheritage, dimana geodiversitas merupakan keanekaragaman dari kenampakan, kumpulan dan sistem dari geologi (bedrock), geomorfologi (landform), dan tanah. Geokonservasi merupakan sebuah pendekatan management konservasi dari batuan, bentuklahan dan tanah yang mengakui bahwa geodiversitas memiliki nilai konservasi alami (Anonim, 1998). Pendekatan ini berbeda dengan dengan pendekatan pada ilmu kebumian lainnya. Pendekatan ini didasari pada manajemen lahan seperti manajemen konservasi tanah, lingkungan geologi, dan bahaya geomorfologi, yang mana fokus didasari pada nilai manfaat atau antroposentrik: bahwa ini merupakan pencarian pendekatan akhir untuk mencegah degradasi dari bentuklahan, air, dan tanah (ex. erosi tanah, kontaminasi air tanah, atau karst subsiden) sehingga dapat meminimalisir efek degradasi yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas manusia pada lahan. Pada intinya geokonservasi merupakan usaha untuk

mencegah atau meninimalir dampak degradasi dalam upaya melindungi nilai intrinsik bedrock, bentuklahan, dan tanah dibandingkan untuk memanfaatkan kegunaanya (utilitarian value) untuk manusia (Sharples, dalam Anonim, 1998). Geokonservasi didasari pada geodiversitas juga penting karena proses geologi, bentuklahan dan tanah adalah dasar esensial dari proses ekologikal bergantung. Fokus utama dari geokonservasi adalah melindungi geodiversitas alami dan upaya tidak hanya melindungi kenampakan yang berhubungan langsung atau nilai yang mengilhami manusia, tetapi juga upaya untuk menjaga pengolahan ekologi alami yang difokuskan pada urusan konservasi alami. Haryono (2007) menjelaskan bahwa nilai intrinsik atau existence value adalah pentingnya suatu singkapan batuan, bentuklahan, dan tanah dalam mewakili suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah. Kepentingan ini terkait dengan kepentingan pemanfaatan oleh manusia, dengan kata lain nilai intrinsik bukanlah merupakan antopocintric judgment. Nilai ekologis atau sering disebut dengan nilai proses alamiah adalah kepentingan obyek yang dikonservasi dalam menjaga kelangsungan sistem dan proses ekologis. Dengan kata lain nilai ekologis diartikan sebagai kepentingan dalam hal menjaga keberlangsungan proses geologi, geomorfologi, pedologi, tetapi juga menjaga keberlangsungan proses biologi yang tergantung pada ketiga sistem fisik tersebut. Heritage value atau nilai antroposentrik merupakan manfaat langsung dari batuan, bentuklahan, tanah untuk manusia. Nilai kepentingan geokonservasi merupakan penilaian kepentingan suatu obyek untuk dikonservasi dalam hal ini dapat dilihat melalui pertimbangan berikut: kepentingan tinggi, bila suatu obyek merupakan contoh terbaik dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion dan atau memerlukan upaya perlindungan yang mendesak agar dapat menjamin keberlangsungan proses ekologi yang ada. kepentingan sedang, merupakan contah dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion tetapi kualitasnya termasuk kategori menengah dibandingkan dengan obyek yang sama di tempat lain dan upaya perlindungan tidak begitu mutlak diperlukan. kepentingan rendah, contoh yang kurang baik dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion dan atau tidak penting keberadaannya dalam menjaga keberlangsungan proses ekologi yang ada. kepentingan tidak diketahui atau tidak terdapat data atau contoh lain dari obyek yang dinilai untuk diperbandingkan dalam suatu georegion. 1.5.4. Wisata Alam Ilmu geografi pada dasarnya adalah mempelajari tentang bumi berserta isinya serta hubungan antar keduanya. Semakin meningkatnya tuntunan dan kebutuhan manusia, hal tersebut tidaklah hanya berhenti pada mengetahui dan mempelajari, namun harus dituntut juga mampu memanfaatkan bumi dan isinya tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan pembangunan pada umumnya. Ilmu geografi mempunyai unsur-unsur dasar di dalam pembahasanya, antara lain membahas tentang unsur letak, luas, bentuk, batas dan persebaran. Dengan demikian penekanan kajian geografi adalah didasarkan pada pendekatan keruangan. Melalui pendekatan unsur-unsur geografi tersebut, mempelajari Geografi Pariwisata tidak terlepas darinya sehingga sebelum mempelajari lebih jauh tentang Geografi Pariwisata perlu mengetahui unsur dasarnya (Sujali, 1989). Pendekatan geografi yang mendasarkan pada aspek keruangan mempunyai kaitan erat dengan persebaran dari suatu obyek pembahasan. Dan secara umum pendekatan geografi dapat dilakukan dengan melihat unsur letak, batas, bentuk maupun luas. Pendekatan letak dapat dilihat dari kedudukan titik yang lain sebagai kuncinya. Unsur yang lain seperti bentuk, batas dan luas akan memberikan informasi tentang cakupan yang akan dikerjakan sehubungan dengan rencana pengembangan dari suatu obyek. Geografi pariwisata, sesuai dengan bidang atau lingkupnya, sasaran atau obyek adalah obyek wisata, sehingga pembahasannya ditekankan pada masalah bentuk jenis, persebaran dan juga termasuk

wisatanya sendiri sebagai konsumen dari obyek wisata (Sujali, 1989). Landasan yuridis dari aspek Kepariwisataan di Indonesia adalah Undang-undang No 9 tahun 1990 yang di sahkan pada tanggal 18 Oktober 1990. Keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan, dalam undangundang ini dijabarkan bahwa: 1. wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata; 2. pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut; 3. obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata; 4. kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 1.6. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai wisata kawasan karst sudah banyak dilakukan dengan kesimpulan yang beragam untuk metode dan daerah yang berbeda. Suwarsono (2002) dalam penelitiannya Kajian geomorfologi Karst Minor di daerah antara Kepek dan Pantai Baron Kabupaten Gunungkidul DIY . Penelitian ini menganalisa tipe-tipe, morfologi dan proses terbentuknya karren. Hasil dari penelitian ini adalah gambaran mengenai kondisi geomorfologi karst minor. Seperi (2003) mengadakan penelitian tentang Perencanaan Pengembangan Wisata Penelusuran Gua Pengunungan Karst di Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi fisik gua dan karateristik gua-gua untuk wisata petualangan penelusuran gua, dan membuat arahan pengembangan wisata penelusuran gua dengan analisis SWOT. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi observasi dengan metode skoring terhadap variabel-variabel penelitian yakni variabel internal gua dan eksternal serta wawancara terhadap juru kunci gua, mahasiswa pencinta alam yang melakukan aktivitas penulusuran gua sebgai data primer. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini yakni gua di kawasan karst memiliki potensi tinggi untuk wisata penelusuran gua. Noor (2003) dalam penelitiannya Geologi Lingkungan Perbukitan Karst dan Pesisir Baron Hingga Sepanjang untuk Zonasi Pengelolaan Kawasan Pariwisata, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY . Penelitian ini menganalisa sebaran sumberdaya geologi dan bahaya geologi serta membuat zonasi pengelolaan pariwisata di perbukitan karst dan pesisir Baron hingga Sepanjang sehingga dapat disusun arahan bentuk wisata pada masing-masing zona pengelolaan. Potensi atraksi wisata di Kabupaten Gunungkidul yang berkaitan dengan wisata karst antara lain lintas alam, panjat tebing, terbang layang, penelusuran goa, konservasi hutan dan penghijauan, olahraga sepeda gunung dan perkemahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daerah perbukitan karst meskipun memiliki potensi atraksi wisata yang menarik, sangat rentan terhadap bahaya Gerak Massa Batuan. Dari hasil analisis kerapatan struktur diketahui bahwa daerah dengan struktur kekar yang memiliki kerapatan tinggi rawan terhadap bahaya gerak massa batuan seperti amblesan akibat proses pelarutan yang terjadi intensif pada zona lemah karst. Joyo (2005) dalam penelitiannya Inventarisasi Obyek dan Daya Tarik Wisata untuk Jalur Tematik Wisata di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Pariwisata Daerah . Penelitian ini bertujuan untuk menginventaris jenis ODTW di Kab. Sleman, mengetahui kunjungan wisatawan pada ODTW, membuat jalur wisata tematik dan membuat arahan pengembangan ODTW. Metode yang dilakukan adalah inventarisasi dan klasifikasi data. Dari data yang ada dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan analisis SWOT. Hasil dari penelitian ini adalah Penilaian potensi dan karateristik produk wisata dan Arahan pengembangan ODTW dan Jalur wisata tematik di kab. Sleman. Suswardana (2006) mengadakan penelitian tentang Geomorfologi Karst daerah Bali Selatan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui morfologi karst dan proses yang sedang berlangsung. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini yakni Bervariasinya bentuklahan sepanjang semenanjung Bali Selatan akibat proses pembentukkannya.

Dalam Rencana Strategis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Karst Gunung Sewu (Anonim, 2007) terdapat kebijakan untuk pengendalian perubahan morfologi atau bentangalam karst adalah dengan menetapkan sebagian kawasan karst yang memiliki keunikan bentang alam yang masih belum terusik dan kawasan yang telah rusak dan berpotensi memberikan dampak negatif yang lebih besar bagi kelestarian sumberdaya yang ada didalamnya. Agar diperoleh keterpaduan dalam pengolahan, penetapan kawasan perlindungan harus mencakup ketiga kabupaten yang ada di kawasan karst Gunung Sewu (Gambar 1.2.). Kawasan perlindungan tersebut diharapkan juga dapat menjadi daya tarik dan pusat pengembangan kawasan karst, terutama dari sektor pariwisata. Kab. Gunungkidul Kab. Gunungkidul Kab. Gunungkidul Kab. Gunungkidul Kab. Wonogiri Kab. Wonogiri Kab. Wonogiri Kab. Wonogiri Bedoyo dan Sistem Bribin

Bedoyo dan Sistem Bribin Bedoyo dan Sistem Bribin Bedoyo dan Sistem Bribin Mulo Mulo Mulo Mulo Kali Suci, Jomblang, Grubug Kali Suci, Jomblang, Grubug Kali Suci, Jomblang, Grubug Kali Suci, Jomblang, Grubug Museum Alam sebagian Pusat Informasi Museum Alam sebagian Pusat Informasi Museum Alam sebagian Pusat Informasi Museum Alam sebagian Pusat Informasi Lembah Bengawan Solo Purba Lembah Bengawan Solo Purba Lembah Bengawan Solo Purba Lembah Bengawan Solo Purba Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo Kompleks Gua Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo Sungai Baksoko Sungai Baksoko Sungai Baksoko Sungai Baksoko

Kab. Pacitan Kab. Pacitan Kab. Pacitan Kab. Pacitan Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007) Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007) Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007) Gambar 1.2. Usulan kawasan perlindungan dan sekaligus sebagai pusat pengembangkan kawasan Karst Gunung Sewu (Rancangan Strategis Pengelolaan kawasan Karst Gunung Sewu, Anonim, 2007) Berdasarkan telaah pustaka dapat diketahui bahwa telah banyak penelitian yang mengkaji wisata di kawasan Gunung Sewu. Penelitian sebelumnya menekankan pada potensi dari obyek wisata dan Pengelolaan Kawasan Pariwisata. Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan karst Gunung Sewu memiliki potensi yang tinggi untuk di kembangkan menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW). Geokonservasi merupakan suatu hal yang baru dan mulai dikembangkan di dunia untuk menjadi salah satu model konservasi alam. Sehingga penulis tertarik untuk mengkaji prospek pengembangan wisata kawasan karst dengan pendekatan Geokonservasi. 1.7. Kerangka Pemikiran Kawasan karst merupakan kawasan lindung yang pemanfaatannya haruslah menekankan pada sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan selalu berorientasi pada pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Kawasan eko-karst Gunung Sewu memiliki potensi fisik yang baik untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata meliputi keunikan fenomena bentang alam karst, pemandangan yang indah, dan ilmu pengetahuan. Perbukitan-perbukitan conical yang terbentuk di kawasan karst Gunung Sewu juga merupakan ekotipe khas dari karst tropis basah dengan batuan batugamping tebal dan berteras, yang jarang dijumpai di Indonesia. Penelitian ini mengkaji dua aspek dari kawasan eko-karst Gunung Sewu yakni aspek morfologi dan panorama. Kriteria morfologi untuk tujuan perlindungan dan pencagaran lingkungan karst yang digunakan adalah variasi, ancaman, dan keunikan morfologi baik makro maupun mikro. Bentukan positif yang dikaji adalah kubah, dan menara karst Bentukan negatif yang dikaji adalah doline, lembah, gua, dan karren sebagai bentukan morfologi minor. Karateristik alam kawasan eko-karst Gunung Sewu untuk pengembangan wisata belum terkelola dengan baik, sehingga perlu diadakannya kajian Geokonservasi untuk mengetahui kerentanan kawasan Eko-karst Gunung Sewu terhadap kerusakan. Kawasan wisata dipilih pada kawasan konservasi Eko-karst Gunung Sewu karena sesuai dengan tujuan dan aturan dalam pengelolaan kawasan karst. Dimana kawasan konservasi memang diperuntukkan untuk pengembangan aktivitas pariwisata yang berkelanjutan. Penilaian kepekaan geokonservasi pada penelitian ini lebih menekan pada aspek variasi dari morfologi karst. Dengan melakukan pembobotan pada aspek ancaman, keunikan dan variasi morfologi. Hasil dari penilaian kepetingan geokonservasi kemudian akan di urutkan berdasarkan tingkatan nilai di seluruh

kawasan kajian. Penelitian ini diharapakan dapat mendapatkan penilaian kepentingan suatu obyek untuk di konservasi. Untuk menilai potensi visual dari panorama alam karst Gunung Sewu dilandasi pada sistem penilaian yang dikeluarkan oleh Bureau of Land Management meliputi unsur bentuklahan, vegetasi, air, warna, pemandangan, kelangkaan, dan modifikasi yang dilaksanakan oleh manusia terhadap alam. Dari hasil penilaian potensi visual dari kawasan eko-karst Gunung Sewu dan nilai kepentingan geokonservasinya maka dapat dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui arahan pengembangan wisata alam. Daerah yang peka terhadap kerusakan memerlukan respon pengelolaan yang lebih protektif untuk menjaga kelestarian kawasan.

1.8. Batasan Operasional Bukit karst, topografi positif yang merupakan sisa dari pelarutan yang lokasi dan bentuknya terkait erat dengan lembah tertutup yang ada disekitarnya (Ford and Williams, 1996) Doline, bentukan negatif dari proses pelarutan berbentuk melingkar membulat atau hampir membulat dengan diameter mulai dari beberapa meter sampai satu kilometer (Ford and Williams, 1996) Geokonservasi, konservasi dari geodiversitas untuk nilai hakekat, ekologikal, dan geoheritage, dimana geodiversitas merupakan keanekaragaman dari kenampakan, kumpulan dan sistem dari geologi (bedrock), geomorfologi (landform), dan tanah (Sharples, dalam Anonim, 2002) Geodiversitas, nilai dari kumpulan sistem dan proses geologi (bedrock), geomorfologi (bentuklahan) dan tanah (Sharples, 2007, dalam Anonim, 2002) Karren, merupakan bentuk-bentuk permukaan kasar pada permukaan batugamping akibat proses pelarutan dan pengerusan (Thronbury, 1958) Lembah, merupakan topografi negatif yang terbentuk akibat adanya tenaga fluvial atau solutional (Susmayadi, 2006) Konservasi, upaya menjaga kelangsungan pemanfatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa datang Kawasan eko-karst, merupakan kawasan ekosistem karst yang dilindungi oleh pemerintah, segala aktivitas pengembangan kawasan harus menjaga keseimbagan ekosistem karst (Departemen ESDM, 2004) Wisata, kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikati obyek dan daya tarik wisata (Yeoti, 2000) Diposkan oleh buletinsuaka di 05:06

Bab II
BAB II METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 Foto Udara Kawasan Karst Gunung Sewu Citra Landsat ETM komposit 457 tahun 2002 Peta Geologi Gunung Sewu skala 1 : 100.000 Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Perangkat lunak (software) komputer yang terdiri: Microsoft Word versi MS Office untuk mengolah kata Microsoft excel versi MS Office untuk mengolah data kuesioner

ArcView versi 3.3 untuk mengolah data grafis dan atribut dalam pembuatan peta-peta dalam penelitian ER Mapper untuk mengolah data foto udara Perangkat keras (hardware) komputer untuk dapat menjalankan perangkat lunak, yang terdiri dari CPU (central processor unit), monitor, keyboard, mouse, scanner, dan printer. Streoskop Kamera Digital GPS Alat tulis dan alat gambar

Pemilihan Daerah Penelitian Lokasi dipilih mengacu pada rekomendasi dari penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Deputi Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan yakni sebagian kawasan Eko-Karst Gunung Sewu yang meliputi (1) Bedoyo dan Sistem Bribin, Mulo, Kali Suci, Jomlang, dan Grubug di Kabupaten Gunung Kidul; (2) Museum Alam Karst dan Lembah Begawan Solo Purba di Kabupaten Wonogiri; dan (3) Kompleks Gua Pacitan Tabuan, Gong, Terus, Keplek, Kalak, Ombo dan Sungai Baksoso di Kabupaten Pacitan. Kawasan-kawasan karst tersebut dapat mewakili karateristik morfologi karst Gunung Sewu secara keseluruhan. Beberapa alasan yang mendukung dipilihnya daerah ini sebagai lokasi penelitian: (i) topografi karst pada daerah ini sangat kompleks (ii) kenampakan eksokarst dan endokarst cukup lengkap (iii) potensi bentang alam yang unik (iv) bentang alam yang indah dan memiliki nilai jual Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer melalui pengumpulan data lapangan dan data sekunder melalui lembaga dan instansi yang berhubungan dengan penelitian ini. Data Primer, meliputi: data morfologi gua data morfologi lembah karst data morfologi doline data morfologi bukit karst data morfologi karren data visual landskap karst

Tabel 2.1. Tabel Data Sekunder No Data Sumber data 1 Lokasi daerah penelitian yang meliputi letak, luas, dan batas wilayah BAPPEDA 2 Kondisi lingkungan wilayah meliputi iklim, geomorfologi, geologi, penggunaan lahan, potensi airtanah dan air permukaan, sarana dan prasarana transportasi, akomodasi, daya listrik BPN, Dinas PU, BAPPEDA, Penelitian Sebelumnya 3 Kependudukan meliputi jumlah komposisi penduduk dan angkatan kerja Kantor Statistik 4 Pola kebijakan Pembangunan Daerah, RUTRD BAPPEDAL 5 Rencana Pengembangan dan Pembangunan Pariwisata Dinas Pariwisata 6 Peta Karst Gunung Sewu Eko Haryono 7 Data sebaran gua di kawasan karst Gunung Sewu Bagus Yulianto dan J. Suseno Edy Yuwono

Tahapan Penelitian Tahapan penelitian meliputi tahap pra lapangan, tahap pelaksanaan, dan tahap paska lapangan. Tahap Pra Lapangan a. studi pustaka mengenai penelitian-penelitian sebelumnya b. penyiapan data sekunder berupa peta RBI, peta Geologi, foto udara, dan data sebaran gua karst c. pengolahan peta RBI, peta Geologi, foto udara, Citra Landsat meliputi mozaik, dan interpretasi Tahap Pelaksanaan d. Pengamatan dan identifikasi karatersitik morfologi karren, gua, lembah, doline, dan bukit karst e. Pengamatan dan penilaian karateristik visual landskap f. Pengambilan gambar dilapangan untuk membantu proses analisis data Tahap Paska Lapangan g. menyusun data hasil pangamatan lapangan dan data sekunder h. analisis dan evaluasi data lapangan dan data sekunder i. pemetaan hasil j. penyusunan laporan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data primer Lokasi penelitian yang ditentukan secara purposive pada tiap Kabupeten di Kawasan Karst Gunung Sewu dengan tujuan dapat menjadi kesatuan kawasan pengelolaan untuk pengembangan wisata alam. Purposive sampling atau sampling pertimbangan merupakan teknik sampling dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2005). Tahapan awal dalam melakukan inventarisasi karateristik morfologi adalah interpretasi foto udara. Untuk dapat melakukan interpretasi diperlukan unsur-unsur interpretasi, yaitu rona/warna, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs, dan asosiasi. Identifikasi obyek dapat menggunakan seluruh unsur interpretasi atau sebagian tergantung pada jenis obyek yang di identifikasi. Dari hasil interpretasi dilakukan cek lapangan untuk mengetahui karateristik morfologi secara kualitatif. Foto udara yang digunakan adalah foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 30.000, seluruh lembar foto udara bentuk digital. Kemudian foto udara digital dilakukan mozaik interpretasi secara keseluruhan dengan menggunakan bantuan software ArcView 3.3. Mozaik terkontrol foto udara yang sudah terkoreksi ini dideliniasi bentuk-bentuk kenampakan karst seperti bukit karst, doline dan lembah karst. Kawasan Baksoko dan Gua Pacitan tidak tersedianya data foto udara sehingga proses interpretasi di lakukan menggunakan Citra Landsat komposit 457 dan Peta RBI skala 1 : 25.000. Penarikan garis pada mozaik ini dilakukan secaara visual layar komputer (on screen digitization). Hasil interpretasi foto udara dilakukan pengecekan lapangan untuk mengetahui secara lebih detil kateristik morfologi. Metode yang dilakukan untuk menginventarisasi morfologi bentukkan di tiap kawasan dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Tabel Data Primer dan Cara Perolehannya No Data morfologi Cara Perolehan 1 gua observasi lapangan 2 lembah karst interpretasi dan observasi lapangan 3 doline interpretasi dan observasi lapangan 4 bukit karst interpretasi dan observasi lapangan 5 karren observasi lapangan

Nilai kepekaan geokonservasi dihasilkan melalui identifikasi morfologi karst hasil interpretasi foto udara dan cek lapangan. Berdasarkan variasi morfologi dilakukan skoring berdasarkan klasifikasi yang telah dibuat. Data gua yang telah didapatkan dilakukan analisis pola sebaran dengan mengunakan metode Tetangga terdekat (Bintarto, 1987):

T : indeks persebaran tetangga terdekat Ju : jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat Jh : jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random

P : kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi yaitu jumlah titik (N) dibagi dengan luas wilayah dalam kilometer persegi (A), sehingga menjadi (N/A)

Nilai visual landskap didapatkan melalui observasi lapangan pada daerah penelitian. Penilaiaan visual landskap dari suatu obyek didasarkan karateristik unsur-unsur bentangalam. Penilaian dilakukan pada tiap unit kajian seperti kawasan Gua Bribin, sungai Baksoko. Untuk memudahkan dalam observasi lapangan maka akan dibuat daftar informasi yang dibutuhkan dalam penilaian visual landskap kawasan karst Gunung Sewu. Observasi lapangan ditujukan untuk mencari informasi aktivitas pengelolaan bentangalam karst dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan kelestarian kawasan. Daerah yang rentan terhadap kerusakan meskipun dengan aktivitas yang minim tentusaja memerlukan pengelolaan yang khusus. Observasi secara menyeluruh dari tiap obyek dapat menghasilkan informasi karateristik tertentu dengan tingkat kerentanan terhadap kerusakan yang bervariasi. Pengumpulan data sekunder Data-data sekunder didapatkan melalui pengumpulan data instational dari Pemerintah Daerah serta instansi-instansi dan juga telaah pustaka yang terkait penelitian ini. Analisis Data Data hasil observasi dan cek lapangan diolah dengan mengunakan tabel frekuensi. Tabel frekuensi akan mengetahui karateristik obyek kajian geokonservasi, nilai kepekaannya dan nilai visual lanskap-nya. Analisa data dilakukan untuk mengetahui hasil dari tujuan penelitian yang dilakukan. Unit analisis yang digunakan adalah kompleks obyek wisata alam. Analisis yang dilakukan merupakan analisis deskriptif kualitatif meliputi beberapa tahapan meliputi

Analisa Nilai Kepentingan Geokonservasi Menurut Haryono (2007) penetapan nilai suatu obyek untuk tujuan geokonservasi harus didasarkan pada kriteria yang jelas. Walaupun kriteria penetapan tidaklah baku, namun penilaian/penetapan paling tidak harus mempertimbangkan dua hal sebagai berikut : kepentingan obyek dalam mewakili obyek geologi, geomorfologi, atau tanah dari hasil proses masa lalu maupun masa kini, dan sumbangan obyek dalam memberikan watak wilayah sekitarnya.

Berdasarkan konsep dasar dari Nilai Kepentingan Geokonservasi yang terdiri dari tiga aspek yakni penilaian terhadap keunikan, ancaman, dan fungsi. Maka penelitian ini mendeskripsikan Nilai Kepentingan Geokonservasi dalam Tabel 2.3 yang menjelaskan Kriteria penilaian Kepentingan Geokonservasi pada kawasan Eko-karst Gunung Sewu. Pada penelitian ini faktor keunikan di tinjau dari variasi tipe dan kelangkaan suatu morfologi. Variasi tipe menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki tipe morfologi bervariasi dan tipe tersebut hanya dapat ditemukan dikawasan tersebut tentunya akan memiliki nilai geokonservasi yang tinggi. Faktor ancaman di tinjau dari aspek penggunaanlahan dan pola persebaran gua. Penggunaanlahan merupakan faktor ancaman yang dapat merusak geodiversitas dari suatu kawasan. Industri tambang pada kawasan karst merupakan aktivitas penggunaanlahan yang intensif merusak bukit-bukit karst karena penambangan dilakukan dalam skala besar dengan bantuan alat berat. Tambang rakyat merupakan salah satu tumpuan hidup masyarakat, kerusakan yang ditumbulkan memang tidak sebesar aktivitas industri tambang tetapi kuantitas aktivitas pertambangan yang tersebar di tiap kawasan akan menjadi salah satu faktor yang memicu timbulnya degradasi lingkungan. Obyek wisata massal di indonesia menjadi faktor yang menghawatirkan kelestarian karena pada pengelola kawasan lebih mementingkan profit di bandingkan kelestarian obyek wisata. Tegalan dan hutan tidak memiliki pengaruh negatif terhadap geodiversitas dari kawasan. Pola sebaran gua akan mempengaruhi proses konservasi yang akan di lakukan. Kawasan yang memiliki pola sebaran mengelompok akan memudahkan proses konservasi yang dilakukan sehingga evaluasi nilai kepentingan geokonservasi akan tinggi. Faktor fungsi di tinjau dari aspek fungsi hidrologi dan fungsi arkeologi. Fungsi hidrologi merupakan kondisi keberadaan sumberair masyarakat sepanjang tahun. Telaga, sungai atau mataair memiliki karateristik hidrologi yang beragam. Fungsi arkeologi merupakan keberadaan situs purbakala. Kawasan yang memiliki sumberair sepanjang tahun atau memiliki situs purbakala merupakan kawasan yang memiliki nilai fungsi yang tinggi untuk Geokonservasi. Tabel 2.3. Penilaian Kepentingan Geokonservasi Nilai evaluasi 3210 1 Variasi Tipe Karren 3 tipe 2 tipe 1 tipe Tidak memiliki 2 Variasi Tipe Doline 3 tipe 2 tipe 1 tipe Tidak memiliki 3 Variasi Tipe lembah 3 tipe 2 tipe 1 tipe Tidak memiliki 4 Variasi Tipe Bukit 2 tipe 1 tipe Tidak memiliki 5 Variasi Tipe Gua 3 tipe 2 tipe 1 tipe Tidak memiliki 6 Penggunaanlahan Industri Tambang Tambang Rakyat Obyek wisata Tegalan/Hutan 8 Pola Sebaran Gua Mengelompok Seragam Acak 7 Fungsi Hidrologis Sumber air sepanjang tahun Sumber air saat penghujan - Kering 9 Fungsi Budaya Situs - - Bukan Situs Unsur dalam nilai geokonservasi tidak hanya ditekankan pada keterdapatan, fungsi dan ancaman pada suatu bentangalam akan tetapi faktor lain yang cukup penting adalah keunikan tipe morfologi dan penggunaan lahan dibandingkan dengan kenampakan yang sama pada lokasi lain. Pada penelitian ini faktor keunikan di tinjau dari kelangkaan suatu morfologi, kawasan yang memiliki morfologi yang hanya dapat ditemukan dikawasan tersebut tentunya akan memiliki nilai geokonservasi yang tinggi. Tabel 2.4 menjelaskan Kriteria penilaian keunikan Geokonservasi pada kawasan Eko-karst Gunung Sewu. Tabel 2.4. Tabel Kriteria Keunikaan Geokonservasi

No Kawasan 1 Kawasan 2 Kawasan 3 Kawasan n+1 1 Variasi Tipe karren E*n s E*n s E*n s E*n s 2 Variasi Tipe Doline E*n s E*n s E*n s E*n s 3 Variasi Tipe lembah E*n s E*n s E*n s E*n s 4 Variasi Tipe Bukit E*n s E*n s E*n s E*n s 5 Variasi Tipe Gua E*n s E*n s E*n s E*n s 6 Penggunaan lahan E*n s E*n s E*n s E*n s

Dimana : E = Nilai evaluasi, dari penilaian kepentingan Geokonservasi untuk tiap deskripsi aspek Geokonservasi n = Jumlah kawasan kajian s = Kelangkaan, jumlah kawasan yang memiliki tipe morfologi yang sama dan penggunaanlahan yang sama Pertimbangan-pertimbangan tersebut didasari pada unsur geokonservasi yang di amati dilapangan dan nilai kepentingannya. Tiap obyek memiliki unsur yang menunjukkan karateristik yang unik dan memiliki nilai konservasi berbeda-beda. Nilai kepentingan yang didasarkan pada pengaruh aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan pada obyek akan di gabungkan dengan penilaian unsur geokonservasi sehingga dapat ditentukan kepentingan suatu obyek untuk dikonservasi. Analisa Visual Lanskap Analisa ini dilakukan untuk mengetahui karateristik dan kualitas sumberdaya visual (visual lanskap) dari tiap obyek analisis dilakukan dengan cara menentukan nilai visual lanskap dari observasi lapangan

dilanjutkan dengan membuat klasifikasi dari potensi tersebut. Model analisis yang digunakan adalah sebagai berikut : Tabel 2.5. Kriteria Penilaian Landskap untuk wisata alam alam berdasarkan Bureau of Land Management Unsur Bentang Alam Skor Kriteria 1 Zona Non Karst yang merupakan kenampakan topografi yang tidak dipengaruhi oleh proses solusional karena batuan pembentuknya tidak mudah larut 3 Zona Sub Inti Karts yang di cirikan oleh kurang berkembangnya proses solusional dan kenampakan endokarst maupun eksokarst yang dihasilkan 5 Zona Inti Karts yang di cirikan oleh pengkayaan dan pengelompokan fenomena kenampakan eksokarst dan endokarst. Pada zona ini topografi karst dan hasil proses solusional sangat berjalan aktif dan produktif, sehingga merupakan ekosistem yang unik. 1 Sedikit atau tidak ada perbedaan jenis vegetasi 3 Beberapa macam vegetasi tetapi hanya pada 1-2 jenis dominan 5 Banyak tipe dan vegatasi yang menarik, yang ditunjukkan dalam pola, teksture, dan bentuk 1 Tidak terdapat air atau terdapat tetapi tidak terlibat dengan jelas 3 Air mengalir dengan tenang tetapi bukan hal yang dominan dalam suatu landskap 5 Jernih, bersih, mengalir, beriak, atau komponen apa saja dari air yang dominan 1 Variasi yang bagus umumnya bersifat mati 3 Terdapat berbagai jenis warna, ada pertentangan warna dari tanah, batu dan vegetasi tetapi bukan unsur keindahan yang dominan 5 Kombinasi jenis warna yang beragam atau warna yang hidup oleh pertentangan yang indah dari warna tanah, vegatasi, air atau lainnya Lanjutan Tabel 2.5. 1 Mempunyai latar belakang yang menarik tetapi hampir sama dengan keadaan umum pada daerah tertentu 3 Khas meskipun agak sama dengan daerah tertentu 5 Suatu area/daerah yang khas (berbeda) dengan obyek lainnya -4 Modifikasi menambah variasi tetapi sangat bertentangan dengan alam dan menimbulkan ketidak harmonisan 0 Modifikasi menambah sedikit atau tidak sama sekali keragaman pemandangan 2 Pembangunan sama seperti instalasi listrik, saluran air, rumah, memberikan modifikasi yang mampu menambah keragaman atau visual Sumber : Bureau of land management dalam Akhmadi (2003) dengan modifikasi Dengan menggunakan rumus Strurgess (Sugiono, 2005) maka dari hasil penilaian dapat diklasifikasikan : nilai 18-27, termasuk kelas A (kualitas tinggi) nilai 9-17, termasuk kelas B (kualitas sedang) nilai 0-8, termasuk kelas C (kualitas rendah) Analisa untuk Arahan Wisata Alam Analisa ini digunakan untuk menganalisa nilai kepentingan Geokonservasi dan nilai visual lanskap Kawasan Karst Gunung Sewu sehingga dihasilkan arahan pengelolaan wisata alam. Dengan diketahuinya karateristik Kawasan Karst yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi penyusunan arahan pengelolaan wisata sesuai dengan karateristik. Analisa SWOT merupakan analisis terhadap faktor-faktor internal yang

meliputi strenght (kekuatan, potensi) dan weakness (kelemahan). Sementara faktor-faktor eksternal meliputi opportunity (peluang) dan threats (tantangan).

Tabel. 2.6 Skema Penetapan Strategi Pengembangan Internal Faktor-faktor Eksternal Kekuatan (Strenght) Kelemahan (Weakness) Peluang (Opportunity) Strategi SO Strategi WO Tantangan (Threats) Strategi ST Strategi WT Sumber : Fandeli, 2001. Perencaan Kepariwisataan Alam Didalam penetapan strategi dapat dilaksanakan dengan empat buah skenario seperti berikut : strategi (S/O) : suatu strategi yang memanfaatkan kekuatan (Strenght) secara maksimal untuk meraih peluang (Opportunity) strategi (S/T) : suatu strategi dengan memanfaatkan kekuatan (Strenght) untuk mengantisipasi atau menghadapi ancaman (Threats) dan berusaha secara maksimal menjadikan ancaman (Threats) sebagai peluang (Opportunity) strategi (W/O) : suatu strategi dengan meminimalkan kelemahan (Weakness) untuk meraih peluang (Opportuniy) strategi (W/T) : suatu strategi meminimalkan kelemahan (Weakness) untuk menghindar ancaman (Threats) secara lebih baik. Diposkan oleh buletinsuaka di 05:10

Bab III
BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1. Letak, Batas, dan Luas Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan Eko-Karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul Propinsi DIY, Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Daerah penelitian secara astronomi terletak antara 9086877-9125073 mU dan 425196-508759 mT. Secara administratif daerah penelitian terdiri atas 21 kecamatan di tiga Kabupaten, yaitu Kecamatan Pracimantoro, Paranggupito, Giritronto, Eromoko, dan Giriwoyo di Kabupeten Wonogiri; Kecamatan Punung, Donorejo, dan Pringkuku di Kabupeten Pacitan; dan Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen di Kabupaten Gunungkidul . Adapun batas daerah penelitian adalah : sebelah selatan : Samudera Hindia

sebelah timur : Kota Pacitan sebelah utara : Kecamatan Nglipar, Ngawen, Semin, dan Beji di Kabupaten Gunungkidul; Kecamatan Eromoko, Batuwarno, dan Baturetno di Kabupaten Wonogiri; Kota Pacitan di Kabupaten Pacitan sebelah barat : Kabupaten Bantul Kawasan karst ini merupakan rangkaian kawasan Eko-Karst Gunungsewu yang memanjang ke arah timur dari Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berakhir di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Secara umum lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

3.2. Kondisi Geologi dan Geomorfologi 3.3.1. Stratigrafi Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tim Geologi UGM (1994, dalam Latif, 2000) yang mendasarkan pada penamaan formasi dan penelitian sebelumnya, daerah Gunungsewu tersusun oleh delapan formasi batuan. Peta Geologi dari daerah penelitian disajikan pada Gambar 3.2. 1. Formasi Wungkal Gamping (Tew) Formasi ini tersusun oleh perulangan batu pasir kuarsa, napal, napal pasiran, batu lempung, dan lensa batu gamping. Bagian bawah terdiri perselingan antara batupasir dan batulanau, dan lensa batu gamping. Umur Formasi ini Eosen Tengah Eosen Akhir ( P 15 P 17). Sebagian dari satuan ini seula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat dilereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah sehingga merupakan exotic faunal assemblage (Raharjo, 1980, dalam Surono dkk, 1992) 2. Formasi Kebo Butak (Tomk) Formasi ini tersusun secara tidak selaras di atas Formasi Wungkal Gamping. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 650 meter. Terdapat dua kelompok batuan yang menyusun formasi ini. Dua kelompok

batuan tersebut yaitu sebagai berikut: bagian bawah, tersusun dari batu pasir berlapis baik, batu lanau, batu lempung, serpih, tuf dan aglomerat bagian atas, tersusun dari batu pasir dan batu lempung dengan sisipan tipi tuf asam Pada beberapa tempat pada bagian tengah di jumpai lava andesit-basalt dan di atasnya dijumpai sedikit breksi andesit. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (N 2 N 4). Lingkungan pengendapannya adala laut terbuka yang terpengaruh arus turbin. 3. Formasi Semilir (Tms) Formasi ini berada selaras di atas Formasi Kebo Butak. Formasi ini tersusun dari breksi batu apung dasitan, batu pasir tufan dan serpih. Ketebalan satuan ini diduga lebih dari 460 m. Bagian bawah dari satuan ini berlapis baik, berstruktur sedimen perairan, silang-siur berskala menengah dan berpermukaan erosi. Di bagian tengahnya dijupai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan kepingan koral pada breksi gunungapi. Di bagian atasnya ditemukan batulempung dan serpih dengan ketebalan lapisan sampai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah laut. Formasi Semilir menindih selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara setempat tidak selaras. Formasi Semilir menjemari dengan Formasi Ngelanggran dan tertindih tak selaras oleh Formasi Oyo. Umur formasi ini adalah Miosen Awal hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 5 N 9). Lingkungan pengendapannya berkisar dari laut dangkal yang berarus kuat (bagian bawah dan tengah satuan) hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbin (bagian atas satuan). 4. Formasi Nglanggran (Tmng) Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Semilir. Formasi ini tersusun dari breksi gunungapi, batu pasir vulkanik, lava andesit-basalt, breksi autoklastik dan breksi hialoklastik. Breksi gunungapi dan aglomerat yang menguasai Formasi Nglanggran umumnya tidak berlapis. Fragmennya terdiri dari andesit dan sedikit basal. Di bagian tengah formasi pada breksi gunungapi ini ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Setempat satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik. Umur formasi ini seumur dengan Formasi Semilir, yaitu Miosen Awal bagian tengah hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 5 N 9) Struktur sedimen yang dijumpai pada satuan ini berupa perjarian sejajar, perlapisan berlapis, dan cetakan beban (load cast) menunjukkan adanya aliran longsor (debris flow). Pada bagian atasnya ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya pengaruh arus kuat pada waktu pengemdapan. Adanya betugamping koral menunjukkan lingkungan laut. Sehingga secara umum lingkungan pengendapannya adalah laut yang disertai longsoran bawah laut. 5. Formasi Sambipitu (Tmss) Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Nglangran. Formasi ini tersusun dari perselingan batu gamping dan serpih gampingan. Struktur sedimen yang ditemukan berupa perlapisan bersusun, perjarian sejajar, dan gembur gelombang (current ripple), yang menunjukkan adanya arus turbid. Bagian atasnya terbentuk oleh batupasir sela berfelspar yang berlapis baik dan bersisipan serpih, batulempung dan batulanau. Struktur sedimen pada bagian ini berupa perlapisan bersusun, perjarian sejajar, silangsiur, gelembur gelombang, longsoran, flame , dan jejak binatang; yang menunjukkan adanya longsoran bawah laut yang berkembang menjadi arus turbin. Umur formasi ini adalah Miosen Tengah bagian bawah (N 10 N 11) 6. Formasi Oyo (Tmo) Formasi Oyo tersusun secara tidak selaras di atas Formasi Nglangran dan membaji dengan Formasi Sambipitu dengan ketebalan lebih dari 140 m. Formasi ini tersusun dari batugamping tufan, tuf andesitisan, yang berlapis baik dengan struktur nendetan dan biogenik. Formasi ini berumur Miosen Awal Bagian Atas hingga Miosen Tengah bagian bawah (N 10 N 11). Lingkungan pengendapannya laut dangkal (neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.

7. Formasi Wonosari Punung (Tmpw) Formasi ini tersusun secara menjari dengan Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo. Formasi ini tersusun dari batu gamping berlapis dan batu gamping terumbu, setempat-setempat dijumpai batu pasir tufan, batu gamping napalan tufan dan batu lanau. Sedangkan di daerah Punung berupa batugamping berlapis, batugamping terumbu, dan batugamping napalan; yang menjemari dengan batugamping tufan, lempung, batugamping dan napal konglomerat. Nampak ada perbedaan pada kedua daerah tersebut, yaitu daerah punung ditemukan klastika kasar dan tufan, sedang di daerah Wonosari tidak. Namun kenyataan di lapangan keduanya sukar dipisahkan. Formasi ini berumur Miosen Tengah bagian bawah hingga Miosen Atas (N 10 N 18). Lingkungan pengendapan Formasi Wonosari Punung adalah laut dangkal (netritik) yang mendangkal ke arah selatan. Ketebalan satuan ini di duga lebih dari 800 meter. Bagian bawah formasi ini menjemari dengan bagian bawah Formasi Oyo, sedangkan bagian atasnya menjemari dengan bagian bawah Formasi Kepek. 8. Formasi Kepek (Tmpk) Formasi ini tersusun dari perselingan batu gamping dan napal. Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o, dan kaya akan fosil foram kecil. Tebal satuan ini diduga kurang dari 200m. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas Formasi Wonosari-Punung. formasi ini berumur Miosen Atas hingga Pliosen (N 16 N 18).

3.3.2. Struktur Geologi dan Tektonika

Tektonisme yang terjadi di pengunungan selatan adalah pengangkatan, penurunan, dan pensesaran. Selama masa Kenozoikum, pengunungan Selatan mengalami empat kali pengangkatan dengan intensitas yang berbeda. Pengangkatan pertama terjadi pada Kala Eosen dengan intensitas lemah. Pengangkatan kedua terjadi pada kala Oligosen-Miosen dengan intensitas lemah. Pengangkatan keriga terjadi pada Kala Miosen. Pengangkatan ketiga ini memiliki intensitas yang lebih besar dari pada pengangkatan pertama dan kedua. Pengangkatan keempat terjadi pada Kala Pliostosen Tengah. Pada pengangkatan keempat ini memiliki intensitas yang paling besar dan terbentuk kenampakan seperti sekarang ini. Pada proses pengangkatan terakhir pengunungan Selatan miring ke selatan dan membentuk sayap bagian selatan dari geoantiklin Jawa. Selama puncak pengangkatan ini, puncak geoantiklin yang terletak di Solo terpatahkan dan tergelincir ke arah utara. Amblesan ini merupakan sesar-sesar tangga, sehingga pada batas antara Zone Solo Zone Pengunungan Selatan terbetuk blok-blok yang terpisah, misalnya Plopoh Range dan Kambengan Range. Permukaan yang miring ke selatan ini mengalami pelengkungan sehingga terbentuk cekungan baturetno dan cekungan Wonosari. Kedua cekungan ini umumnya dibatasi oleh sesar-sesar tangga dimana bagian utara mengalami penurunan sementara gawir sesarnya cekung ke utara (Putrisari, 2008). Pada kala Plistosen Atas yang masih merupakan fasa tektonik mampatan sebagian besar batugamping sudah berada di atas permukaan laut. Pembentukan sistem retakan baratlaut-tenggara dan utara-selatan yang berkembang menjadi sesar-mendatar tidak hanya melibatkan batuan Oligosen-Miosen saja tetapi juga sebagian batugamping Neogen. Sesar timurlaut-baratdaya yang terbentuk pada fasa tektonik sebelumnya mengalami reaktivasi, sekaligus teralihkan ke timur karena pemotongan sistem sesar baratlaut-tenggara. Proses pengembalian gaya di akhir fasa tektonik Pliosen Akhir menyebabkan terbentuknya sistem retakan tarikan barat-timur dan terbukanya retakan timurlaut-baratdaya, sehingga selain batugamping terkekarkan dan tersesarkan pada arah-arah tersebut juga mengalami peretakan utara-selatan. Mengakibatkan sistem retakan barat-timur mencapai perkembangan maksimumnya. Pada kala ini di daerah Lembah Sadeng dan sekitatnya berkembang empat sistem retakan utama yang masingmasing berarah timurlaut-baratdaya, baratlaut-tenggara, utara-selatan, dan barat timur. Ada dua sesar mayor yang terjadi pada Pegunungan Selatan, yaitu sesar yang terjadi pada Kompleks Baruragung dan sesar yang memisahkan bagian selatan dan cekungan Baturetno dan Wonosari. Sesar utama yang terdapat di pegunungan Selatan merupakan sesar normal dan sesar jurus. Sesar jurus dapat diamati pada pola kelurusan yang mempunyai arah tenggara melengkung ke arah barat daya dan pararel di sepanjang jalur Pegunungan Selatan. Sesar-sesar ini menyebabkan pelengkungan alur sungai, diantaranya adalah Bengawan Solo Purba yang dahulunya mengalir ke selatan karena terkontrol oleh keberadaan sesar, maka dapat diduga bahwa sesar yang terjadi di pegunungan Selatan terjadi sebelum proses pengangkatan berlangsung (Putrisari, 2008). 3.3.3. Geomorfologi Kawasan karst Gunungsewu secara fisiografis masuk ke dalam pengunungan Selatan (Bemmelen, 1979). Pegunungan selatan ini dapat dibagi menjadi tiga zona yakni bagian utara atau komplek Baturagung (Baturagung range), bagian tengah atau depresi Wonosari dan Baturetno, dan bagian selatan Perbukitan Karst atau lebih di kenal dengan Gunungsewu (Gambar 3.3.). 9. Komplek Baturagung Daerah ini terletak pada elevasi antara 200 700 meter dpl. Memiliki relief bergelombang hingga berbukit dengan kemiringan 15% hingga 40%. 10. Depresi Wonosari dan Baturetno Daeah ini berada pada elevai anatara 150 200 meter dpl. Memiliki relief yang relatif datar dan kemiringan lerengnya asekitar 0% hingga 15%. Depresi ini terbentuk bersamaan dengan pengangkatan Pengunungan selatan karena material penyusun daerah ini relatif plastis, maka pada pertengahan pleistosen zone ini secara relatif turun kebawah.

11. Gunungsewu

Daerah ini memiliki elevasi anatara 150 hingga 200 meter dpl. Memiliki reief yang datar dan kemiringan lerengnya sekitar 0% hingga 15%.

Daerah penelitian secara fisiografis masuk pada subzona Gunungsewu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Latif (2000) di kawasan karst Gunungsewu membagi daerah tersebut menjadi tiga wilayah didasarkan pada karateristik fisiografinya, yaitu wilayah utara,wilayah tengah dan wilayah selatan. pembagian tersebut yaitu sebagai berikut; wilayah selatan, dicirikan oleh topografi yang secara regional melandai ke arah selatan dengan kemiringan sekitar 5%. Pada penampang melintang tanpak adanya empat teras pendataran yang dipisahkan oleh tekuk lereng yang relatif curam. Pendataran ini disebabkan oleh kondisi diam relatif dataran terhadap muka air laut sehingga terbentuk peneplain, sedang tekuk lereng yang curam disebabkan oleh adanya penurunan relatif dataran. wilayah tengah, wilayah ini secara regional relatif datar dengan topografi bergelombang. Karstifikasi pada daerah ini telah berkembang lebih lanjut bila dibandingkan dengan wilayah selatan. wilayah utara, wilayah ini merupakan bidangpatahan yang memisahkan subzona Gunungsewu denga subzona Depresi Wonosari. Kemiringan lereng regionalnya paling curam yaitu sekitar 15%. Masing-masing wilayah di atas memiliki karateristik sendiri dalam perkembangan karstifikasi. Berdasarkan perkembangannya, wilayah tengah mempunyai usia tertua, kemudian wilayah selatan dan yang termuda adalah wilayah utara. Karstifikasi di wilayah utara di kontrol oleh sesar yang tersingkap akibat patahan. Karstifikasi di wilayah selatan dikontrol oleh aliran purba dan fluktusai air laut. Karstifikasi di wilayah tengah dikontrol oleh lingkungan masa lampau dan mengalami peremajaan pada akhir Plistosen. Karst Gunungsewu memiliki variasi morfologi yang beragam di dukung oleh arah perkembangan dan stadium karstifikasi. Bentukan positif yang ada antara lain bukit-bukit karst dengan karateristik yang khas yakni berbentuk kerucut atau lebih dikenal dengan conical karst. Bentukan negatif yakni doline, uvala,dan

cockpit. Variasi bentukan doline seperti uvala, polje dan cockpit di dasari pada morfografi dan morfometri dari doline. Bentukan cockpit merupakan bentukan khas yang hanya terdapat pada daerah karst dengan iklim tropis, terbentuk akibat pengabungan beberapa doline yang membentuk cekungan dengan morfografi menyerupai bintang dan dikelilingi oleh perbukitan. Ponor-ponor yang terbentuk akibat proses pelarutan pada rekahan-rekahan di batuan gamping menjadi awal dari pembentukan doline dan juga gua-gua di kawasan gunungsewu. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh banyak pemerhati karst telah dapat menginventarisasi gua-gua dikawasan karst gunungsewu. 3.3. Kondisi Klimatologi Iklim memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap bentuklahan karst. Pengaruh iklim terhadap perkembangan bentuklahan karst adalah curah hujan dan temperatur, namun di antara keduanya curah hujan memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada temperatur (Sweeting, 1972). Curah hujan dan temperatur berpengaruh dalam proses melarutkan batugamping dan senyawa karbonat lainnya. Klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya hanya menggunakan data curah hujan karena kondisi curah hujan sangat berubah terhadap musim, sedangkan suhu udara di Indonesia sepanjang tahun relative konstan. Faktor iklim melalui air hujan dan suhu sangat berpengaruh dalam proses erosi dan pelapukan yang terjadi pada batuan induk. Proses erosi dan pelapukan yang terjadi pada iklim tropis lebih cepat dibandingkan daerah lainnya, pelapukan secara fisik melalui air hujan menyebabkan proses erosi berlangsung intensif, sementara pelapukan secara kimia melalui suhu udara menyebabkan terjadinya proses pelapukan pada batuan induk. 3.3.1. Curah Hujan Untuk melihat kondisi dari iklim di kawasan Karst Gunungsewu maka di lakukan perhitungan nilai curah hujan rata-rata. Nilai curah hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 menunjukkan curah hujan rata-rata disetiap stasiun penakar hujan. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa curah hujan rerata tahunan berkisar antara 1163,88 mm/th sampai 2755,5 mm/th. Tabel 3.1. Curah hujan tahunan (dalam millimeter) Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1995 2406 3992 3016 2679 1443 1763 1092 1816 1762.93 2349.4 2230 2920 2168 1996 1584 2190 2345 1934 2078 1926 1980 1434 634.78 2121.3 1308 1518 1309 1997 1292 1444 1661 1070 1808 1953 1223 1002 161.5 1037.6 115 741 1029 1998 2744 3981 4408 3455 832 2191 737 2551 2175.2 2132.8 2374 2635 2748 1999 2422 3035 3431 3366 1736 920 1761 1706 1274.4 1733.2 1751 1788 1838 2000 2332 3000 3701 2879 1976 1770 2028 1619 591.9 1497.5 1909 1863 1757 2001 2503 3187 3309 1762 1742 1423 1232 1548 1569.8 1734.5 2216 2132 1607 2002 1655 1922 1796 2576 1688 1842 1308 1858 597.4 1598 2277 2419 1368 2003 1991 2101 2206 1248 1131 1259 1368 1508 1594.4 1135.5 1205 2860 1366 2004 1965 1496 1682 2613 1403 1258 1944 1556 1276.5 1308 1237 2629 961 : 20894 26348 27555 23582.5 15837 16305 14673 16598 11638.81 16647.8 16622 21505 16151 Ratarata : 2089,4 2634,8 2755,5 2358,3 1583,7 1630,5 1467,3 1659,8 1163,8 1664,8 1662,2 2150,5 1615,1 Sumber : Analisis Data Keterangan : 1 Sta. Donorojo 5 Sta. Pracimantoro 9 Sta. Terong 2 Sta. Punung 6 Sta. Giriwoyo 10 Sta. Siluk

3 Sta. Pringkuku 7 Sta. Giritontro 11 Sta. Karangmojo 4 Sta. Pacitan 8 Sta. Eromoko 12 Sta. Ponjong 13 Sta. Semanu 3.3.2. Tipe Iklim Penentuan tipe iklim pada daerah penelitian didasarkan pada penggolongan tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson. Penggolongan didasarkan pada nilai Q, yaitu : Tipe iklim berdasarkan besarnya indeks Q, adalah sebagai berikut : Tipe A (Sangat Basah), dengan besar indeks Tipe B (Basah), dengan besar indeks Tipe C (Agak Basah), dengan besar indeks Tipe D (Sedang), dengan besar indeks Tipe E (Agak Kering), dengan besar indeks Tipe F (Kering), dengan besar indeks Tipe G (Sangat Kering), dengan besar indeks Tipe H (Luar Biasa Kering), dengan besar indeks Mohr mengklasifikasikan kriteria bulan basah dan bulan kering sebagai berikut : a. Bulan basah apabila curah hujan bulanan >100 mm. b. Bulan lembab apabila curah hujan bulanan 60-100 mm. c. Bulan kering apabila curah hujan bulanan <60 mm. Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui besarnya total hujan tahunan, curah hujan bulan terkering, curah hujan bulan terbasah serta jumlah bulan kering dan bulan basah di daerah penelitian. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Karakteristik Curah Hujan, Besarnya nilai Q dan Tipe Iklim Stasiun Penakar Hujan Total Curah Hujan Tahunan Curah hujan bulan terbasah Curah hujan bulan terkering Jumlah bulan kering Jumlah bulan basah Q Tipe Iklim Stasiun Donorojo 2089.4 420.5 22.8 4 7 0.57 C Stasiun Punung 2634.8 487.8 11.9 1 7 0.14 A Stasiun Pringkuku 2755.5 476.7 30.5 1 7 0.14 A Stasiun Pacitan 2358.25 365.21 21.627 3 7 0.43 C Stasiun Pracimantoro 1583.7 380.8 5.2 6 6 1 D Stasiun Giriwoyo 1630.5 426.3 0 5 6 0.83 D Stasiun Giritontro 1467.3 296.1 4.9 4 6 0.67 D Stasiun Eromoko 1659.8 346 2.1 7 4 1.75 F Stasiun Terong 1163.88 234.21 2.7 5 5 1 D Stasiun Siluk 1664.78 349 4.49 5 6 0.83 D Stasiun Karangmojo 1662.2 351.3 7.3 5 7 0.71 D Stasiun Ponjong 2150.5 399.4 3.3 3 7 0.43 C Stasiun Semanu 1615.1 315.9 2.1 4 6 0.67 D Sumber : Analisa Data Tipe iklim pada kawasan karst akan mempengaruhi proses pelapukan batuan karbonat. Pada kawasan karst dengan tipe iklim tropis basah akan mengakibatkan proses pelapukan batuan berlangsung lebih cepat dibandingkan proses pelapukan pada kawasan beriklim tropis musim, dikarenakan iklim tropis basah memiliki curah hujan dan tingkat kelembapan yang tinggi, mendukung proses pelapukan batuan

karbonat seperti batugamping dan dolomit. Suhu lingkungan ikut berpengaruh dalam proses pelarutan. Meningkatnya suhu lingkungan akibat aktivitas mahluk hidup dapat mengakibatkan reaksi kimia dan biokimia di kawasan karst sehingga proses pelarutan dapat berjalan lebih cepat. 3.4. Kondisi Hidrologi Air permukaan di kawasan karst Gunungsewu dikontrol oleh struktur geologi seperti retakan dan diaklas, kondisi kekerasan batuan, dan morfologi permukaan. Struktur geologi sangat menentukan besar kesilnya koefisien aliran dan cadangan airtanah. Sistem hidrologi permukaan pada kawasan karst gunungsewu, menurut McDonald & Partners (1984, dalam Kapedal, 2005), dikenal dengan sistem authigenic. Air hujan yang jatuh di atas topografi karst sebagian menjadi limpasan permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah. Limpasan permukaan tersebut kemudian berkumpul dan mengalir sebagai sistem sungai. Air hujan yang meresap ke dalam tanah masuk ke dalam sistem perkolasi authigenic melalui zona rekahan. Sistem cekungan dan sistem rekahan tersebut akhirnya masuk ke dalam luweng menuju sistem sungai bawah tanah yang pada akhirnya dapat muncul kembali ke permukaan sebagai mataair dan rembesan di sepanjang pantai (Kapedal, 2005). Gambar 3.4 menunjukkan kondisi authigenic pada sistem sungai banjar, kondisi ini juga dapat ditemui pada sistem kali suci, dan mulo-ngingrong. Sungai permukaan ini nampak di permukaan namun kemudian dapat menghilang masuk pada gua atau luweng menuju sistem sungai bawah tanah, kemudian keluar kembali ke permukaan dan masuk lagi, demikian terjadi seterusnya hingga bermuara pada suatu pantai. Sungai permukaan jarang sekali ditemui di kawasan karst Gunungsewu. Ketersedian air pada kawasan karst di pengaruhi oleh kondisi musim. Saat musim penghujan dapat ditemukan banyak sumber-sumber air seperti telaga. Telaga merupakan sebuah doline atau gabungan beberapa doline yang pada bagian dasarnya tertutup oleh material kedap air seperti lempung. Telaga dapat dijumpai pada depresi karst di antara kubah-kubah karst di kawasan karst Gunungsewu. Sebagai salah satu sumber air, masyarakat Gunungsewu memanfaatkan telaga untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti mandi, mencuci, dan memasak. Gambar 3.2 menunjukkan tidak semua telaga dapat digunakan sepanjang tahun karena kondisi telaga di Gunungsewu telah banyak mengalami kerusakan sehingga pada musim kemarau telaga kering. Selain telaga sumberair masyarakat di kawasan karst Gunungsewu adalah mata air yang pada umumnya dapat ditemui pada kaki perbukitan. Mata air yang ditemukan di kawasan karst Gunungsewu merupakan parenial dengan debit berkisar antara 5 50 liter/dt (Bappeda, 2007).

3.5. Penggunaanlahan 3.6. Kondisi Demografi Penduduk Penduduk menjadi faktor yang penting dalam pengembangan kawasan terutama untuk pengembangan pariwisata alam.. Eko-karst Gunungsewu memiliki potensi sumberdaya manusia dan dalam aspek kuantitas cukup baik. Dari hasil data data statistik Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan yang dapat dilihat pada Tabel 3.3., kondisi kependudukan dari segi kepadatan penduduk memiliki variasi yang beragam. Pada daerah yang menjadi pusat pemerintahan atau perdagangan akan memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Peran serta pemerintah dalam pengembangan daerah-daerah yang berada dalam kategori tertinggal atau kurang berkembang perlu ditangani secara lebih serius. Tabel 3.3 Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km2) Kabupaten 1 Panggang 99.8 26116 261.6834 2 Purwosari 71.76 19181 267.2938 3 Paliyan 38.07 30207 793.4594 4 Saptosari 87.83 36280 413.0707 5 Tepus 104.91 33595 320.2269 6 Tanjungsari 71.63 26431 368.9934 7 Rongkop 83.46 29061 348.2027 8 Girisubo 94.57 55109 582.7324 9 Semanu 108.39 50829 468.9455 10 Ponjong 104.49 48529 464.4368 11 Karangmojo 80.12 48593 606.5027 12 Wonosari 75.51 75172 995.5238 13 Playen 105.26 52222 496.1239 14 Pracimantoro 112 67311 600.99 15 Paranggupito 171 21089 123.32 16 Giritronto 68 24816 364.94 17 Giriwoyo 98 47171 481.33 18 Eromoko 79 49521 626.84 19 Punung 108.81 35594 327,12 20 Donorejo 109.09 40251 368,97 21 Pringkuku 132.93 32156 241,9 Sumber : BPS Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan 2005 Tingkat Pendidikan Secara umum tingkat pendidikan masyarakat yang berada di Kawasan Eko-karst Gunungsewu dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari besarnya prosentase penduduk yang menamatkan SD atau dibawahnya sebesar 70,99 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 71,63 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 64,83 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang menamatkan pendidikan hingga tamat SLTP sebesar 15,88 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 17,47 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 18,9 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang menamatkan hingga tingkat SMU dan SMK sebesar 10,28 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 9,19 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 12 % untuk Kabupaten Pacitan. Penduduk yang berhasil menamatkan hingga perguruan tinggi sebesar 2,85 % untuk Kabupaten Gunungkidul, 1,7 % untuk Kabupaten Wonogiri, dan 4,27 % untuk Kabupaten Pacitan. Tinggi pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator kualitas hidup penduduk yang juga berhubungan dengan tingkat perkembangan wilayah yang bersangkutan. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai masyarakat masih rendah sehingga akan berpengaruh terhadap sumberdaya manusia untuk mengembangkan potensi wisata di kawasan Eko-karst Gunungsewu. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap penyedian tenaga kerja terampil di bidang pariwisata. Tabel 3.4 Presentase Penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Tingkat Propinsi Persentase (%) Gunungkidul Wonogiri Pacitan Tidak punya 39.31 33.29 25.8 SD 31.68 38.34 39.03 SLTP 15.88 17.47 18.9

SMU & SMK 10.28 9.19 12 Diploma dan Perguruan Tinggi 2.85 1.7 4.27 Sumber : BPS Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan 2005 3.7. Sarana dan Prasarana Pariwisata Daerah Penelitian 3.7.1 Sistem Transportasi Kawasan Eko-karst Gunungsewu dapat dijangkau dari Yogyakarta, Solo dan Pacitan dengan jarak tempuh beragam antara 1,5 3 jam dengan kendaraan bermotor. Sarana transportasi yang dapat digunakan mobil, motor, bis umum akan tetapi untuk menuju kebeberapa lokasi terpencil di kawasan ini diperlukan kendaraan pribadi karena transportasi umum belum dapat menjangkau daerah tersebut. Transportasi umum hanya beroperasi pukul 05.00 17.00 WIB. Prasarana jalan yang dimiliki antara lain jalan aspal, paving block, dan jalan tanah dan batu. Melihat kondisi jalan secara umum perlu dilakukan beberapa perbaikan dan peningkatan kualitas jalan, karena banyak jalan tidak dalam kondisi yang baik dan dapat membahayakan pengguna jalan seperti Jalan Raya Wonogiri-Pacitan yang mengalami rusak cukup berat. Prasarana trasnportasi lainnya adalah terminal yang sangat diperlukan untuk mewujutkan ketertiban pemberentian dari berbagai jenis kendaraan. 3.7.2 Sistem Komunikasi Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan menusia yang penting dalam melakukan hubungan anatara satu dengan yang lain. Jaringan telokomunikasi telepon arau wartel hanya dapat ditemui pada kawasan ibukota kabupaten dan beberapa ibukota kecamatan yang sudah relatif maju. Daerah pedesaan belum dapat menerima akses komunukasi telepon. Sinyal seluler beberapa provider dapat dijangkau hampir diseluruh kawasan karst akan tetapi memang terdapat beberapa desa yang berlokasi di lembah tidak dapat menerima sinyal telepon selular dikarenakan faktor topografi. 3.7.3 Sumber Daya Listrik Masyarakat menggunakan sumber listrik berasal dari PLN yang dialirkan melalui tiang listrik. Dibanyak tempat ditemui tiang dengan kondisi miring akibat tanah yang tidak stabil. Listrik sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat sudah terdistribusi secara merata di Kawasan Eko-Karst Gunungsewu sampai pada tingkat desa. Daya yang digunakan oleh masyarakat masih relatif kecil. 3.7.4 Sarana Akomodasi Akomodasi penginapan hanya terdapat pada ibukota kabupaten yakni Kota Pacitan, Wonogiri dan Wonosari. Fasilitas hotel dan penginapan yang berada di Kabupaten Wonogiri dan Gunungkidul hanya terdiri dari hotel berklasisikasi Melati. Secara keseluruhan jumlah hotel yang tercatat pada tahun 2003 di Kabupeten Wonogiri adalah sebanyak 17 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 237 buah, Kabupeten Gunungkidul sebanyak 9 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 124 buah, dan sebanyak 10 buah, dengan jumlah kamar sebanyak 225 buah di Kabupeten Pacitan. Rumah makan dan restoran yang menjajakan menu khas seperti sego abang, dan jangan lombok ijo dapat di jumpai disepanjang kawasan karst Gunungsewu. Diposkan oleh buletinsuaka di 05:11

You might also like