You are on page 1of 137

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

ANALISIS MODEL ALTERNATIF OTONOMI DAERAH DALAM PUSATMEMBANGUN HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT- PROVINSI LAMPUNG) DAN KABUPATEN/KOTA (STUDI DI PROVINSI LAMPUNG)
Oleh :

Drs. Syarief Makhya, M.Si


Armen Yasir, SH,MH Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP.

Dibiayai oleh : DIPA Universitas Lampung Dengan Surat Perjanjian Kontrak Penelitian antara Lembaga Penelitian dengan Pembantu Rektor II Universitas Lampung (atas nama Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen) Nomor : 1896/H26/KU/2009 Tanggal 1 Juli 2009

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Desember 2009


1

ABSTRAK
ANALISIS MODEL ALTERNATIF OTONOMI DAERAH DALAM MEMBANGUN HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA (STUDI DI PROVINSI LAMPUNG) Oleh :
Syarief Makhya , Armen Yasir , Maulana Mukhlis
1 2 3

Undang Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) sudah berjalan hampir lima tahun dan selama kurun waktu itu telah mengalami tiga kali perubahan. Dalam prakteknya, UU ini masih menimbulkan sejumlah persoalan sebagai akibat muncul dinamika politik penyelenggaraan pemerintahan dan penyesuaian regulasi dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu model otonomi daerah seperti apa yang bisa membangun efektifitas penyelenggaraan pemerintahan khususnya yang terkait dengan perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang ? Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan (policy research). Sedangkan dari tingkat eksplanatif, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan dengan cara, yaitu : wawancara mendalam (in depth interview), penyebaran kuestioner kepada 245 responden di Pemerintah Provinsi Lampung dan 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, dokumentasi (official and personal documentation), serta observasi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.32/2004 merupakan model jalan tengah. Model ini dinilai sebagai model yang sesuai untuk menggabungkan antara kepentingan, aspirasi dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan kepentingan pemerintah pusat. Model ini, menimbulkan konsekuensi penyelenggaraan pemerintahan yang masih berpegang pada model hirarkis, implementasi kebijakan yang terbatas, masih adanya kontrol dari pemerintah, keteraturan hubungan kewenangan, tertib dan stabilitas pemerintahan yang terjaga, keutuhan NKRI, dan homogenitas regulasi. Model jalan tengah tersebut menghasilkan model otonomi yang cenderung menghambat implementasi kebijakan, tidak berorientasi pada pemecahan masalah, minimnya atau munculnya keterbatasan anggaran, fungsi pengawasan yang tidak efektif, dan terbatasnya kemandirian daerah.

1) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung 2 ) Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung 3 ) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ke depan model otonomi daerah yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah model otonomi yang berorientasi pada pengurangan derajat ketergantungan pada pemerintah pusat. Model ini dicirikan dengan penyeragaman regulasi yang terbatas, kewenangan yang disesuaikan dengan kemampuan daerah, keseimbangan kapasitas kewenangan dengan daya dukung sumber pembiayaan, kejelasan fungsi kewenangan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan model penguatan sistem check and balances.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasca Pemerintahan Orde Baru telah mengeser perubahan yang mendasar terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu memberikan otoritas dan keleluasaan yang besar kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah yang telah diimplementasikan semenjak 1 Januari 2001 mengundang berbagai intepretasi, baik oleh para akademisi, perangkat pemerintahan pusat maupun daerah (legislatif maupun ekskutif) serta tokoh/pemuka masyarakat (adat, agama maupun budaya) sehingga menimbulkan polemik walau umumnya sepakat otonomi daerah harus dilaksanakan. Bahkan UU 22/199 yang mendasari implementasi tersebut harus direvisi dengan UU 32/2004 dan UU 33/2004 karena terdapatnya beberapa pasal yang terkandung didalamnya kurang mendukung implementasi secara harmonis. Kesepakatan untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi di Indonesia, tidak hanya dipengaruhi oleh tuntutan demokratisasi yang muncul setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, tetapi fenomena desentralisasi juga merupakan perkembangan situasi politik pada skala global dan tekanan-tekanan politik domestik di berbagai belahan dunia yang makin kuat untuk membangun pola hubungan pusat-daerah yang tidak saja lebih rasional, tetapi juga lebih terbuka dan adil merupakan faktor-faktor yang secara signifikan mampu memaksa para penguasa di berbagai negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) untuk menata diri dan berusaha keras melakukan reformasi sistem politik, sistem pemerintahan dan sistem administrasinya. Wujud kongkrit dalam implementasi kebijakan publik adalah dengan membangun sebuah format pemerintahan lokal yang lebih terbuka, demokratis,

dan berbagai aspek pembangunan yang lebih mengedepankan prinsip desentralisasi (Abdul Wahab, 2002: 7-8). Jadi, kebijakan desentralisasi dalam dunia pemerintahan dan politik lokal,

bukan sekedar menyangkut persoalan administratif atau persoalan teknis manajemen pemerintahan, tetapi secara subtanstif juga melibatkan persoalan kekuasaan (power). Dengan demikian, secara hakiki desentralisasi lebih merupakan persoalan politik ketimbang persoalan administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai berbagai hal yang menyangkut segi-segi administratif dan

teknis merupakan konsekuensi logis dari keputusan politik (Abdul Wahab, 2002 :7) Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimaksudkan tidak hanya memberikan dampak positif secara kelembagaan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan

juga untuk mendekatkan

pelayanan publik kepada masyarakat atau yang dikatakan oleh Cooper apa yang disebut sebagai moving the governening function closer to the community

(Cooper, et al, 1998, dalam Abdul Wahab, 2002). Dari sisi normatif upaya untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi di Indonesia, yaitu dengan melakukan perubahan secara mendasar seluruh bentuk produk hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan Daerah. UU No.5 tahun 1974 yang sudah dilaksanakan sekitar lebih dari 30 tahun lamanya, walaupun dalam UU tersebut diatur tentang desentralisasi, tetapi dari subtansi lebih menggambarkan dominasi dan keberfihakan pada kepentingan politik kekuasaan pemerintah Pusat atas Daerah. UU ini juga secara telanjang menggambarkan perilaku negara yang otoriter-birokratik yang dalam kiprah politiknya haus untuk memproduksi kekuasaan yang cenderung hegemonik. UU No.5 Tahun 1974, kemudian diganti dengan UU No.22 Tahun 1999. UU ini secara diametral sangat berbeda dengan UU No.5 Tahun 1974, yang secara politis dimaksudkan untuk mendesentralisasikan sistem pemerintahan nasional yang selam ini sangat sentralistis, yakni dengan membangun basis pemerintahan yang lebih demokratis dan otonom di daerah. Wujud konkrit dari keinginan 5

politik tersebut yaitu pemberian porsi otoritas dan kewenangan kekuasaan yang makin besar kepada Daerah sehingga intervensi pusat pada urusan sehari-hari dan rumah tangga daerah makin berkurang. Sedangkan implikasi politiknya adalah semakin besarnya ruang manuver daerah untuk mengambil keputusan politik dan masa depan daerah akan lebih ditentukan oleh kemampuan politik dan kemampuan manajerial dari elit-elit politik dan elit birokrasi daerah. UU No.22 Tahun 1999, hanya bisa dilaksanakan sekitar kurang dari 4 tahun dan digantikan dengan UU No.32 tahun 2004. UU ini merupakan hasil evaluasi dari proses pelaksanaan otonomi daerah yang mengindikasikan tidak terbangunnya tertib pemerintahan dan munculnya kehawatiran yang berlebihan akan rontoknya kekokohan NKRI. Selama empat tahun proses pelaksanaan UU No.22 tahun 1999, diakui terdapat sejumlah persoalan antara lain : muncul sejumlah perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dominasi kekuasaan DPRD yang tidak terkontrol, administrasi kepegawaian yang tidak proporsional, konflik antara daerah kabupaten dengan daerah propinsi, sistem koordinasi menjadi tidak efektif, konflik antara bupati/wlikota dengan wakil bupati/wakil walikota, perebutan sumberdaya ekonomi, dan tertib pemerintahan secara keseluruhan relatif tidak terjaga. (Makhya, 2005). Ide dasar perubahan UU No.22 tahun 1999 sesungguhnya berawal dari munculnya amandemen UUD 1945 yang menetapkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan UU No. 22 tahun 2003 Tentang Susduk DPRD,DPR,DPD dan MPR yang tidak lagi memberikan kewenangan DPRD untuk memilih ini yang memperkuat UU No.22

Gubernur/Bupati/ Walikota. Alasan-alasan

tahun 1999 perlu direvisi dengan perubahan pasal perlunya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tetapi kemudian merembet pada persoalan bangunan pemerintahan daerah secara keseluruhan. UU No.32 Tahun 2004, sudah berlangsung mengalami 3 kali perubahan. 4 tahun berjalan dan telah

Dalam praktiknya, UU ini menimbulkan 6

sejumlah persoalan yaitu hubungan kewenangan antara pemerintah provinsi dengan Kabupaten/Kota masih tumpang tindih, muncul konflik antara kepala daerah dengan DPRD, konflik kepala daerah dengan wakil kepala daerah,

ketidakjelasan kewenangan antara jabatan politis dengan jabatan karier, kontrol tidak berjalan secara efektif, dan sebagainya. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : Model otonomi daerah seperti apa yang bisa membangun efektiftas penyelenggaraan pemerintahan ? Bagaimana hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat, dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota ? Masalah-masalah apa saja yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah di Prov dan Kabupaten/Kota ? Bagaimana hubungan eksekutif dengan DPRD ? Model alternatif otonomi daerah seperti apa yang sesuai dengan aspirasi dan dinamika perkembangan masyarakat ?

1.2 Tujuan Khusus Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa model pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini belum menemukan pola yang ajeg (tetap) sehingga diperlukan kajian untuk menawarkan konsep yang tepat tentang pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. Di samping itu, proses pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah cenderung mengalami perubahan seiring dengan terjadinya dinamika politik, sehingga proses pelaksanaan otonomi daerah perlu dievaluasi. Evaluasi ini pada akhirnya akan menawarkan konsep atau model alternatif yang mungkin bisa diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Oleh karena itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : a) Mengkaji hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat, dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota ? b) Mengidentifikasi dan menganalisis masalah masalah yang muncul dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Daerah c) Memformulasikan alternatif model otonomi daerah dan merekomendasikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah

1.3

Urgensi Penelitian

Dalam teori Ilmu Pemerintahan, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, B.C., 1985). Bentuknya bisa berupa dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Asumsinya, kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif. Walaupun semua pihak mengakui bahwa otonomi diperlukan, upaya mewujudkannya tidaklah "semudah membalik telapak tangan." Bahkan, sekalipun kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan. Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU No.22/1999 dan UU No.32/2004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan masih belum final dan belum menemukan pola yang ajeg. Sekarang sedang muncul perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris, devolusi dan asas privatisasi dalam lebih cepat, hemat, murah,

penyelanggaraan pemerintahan daerah. Sampai seberapa jauh kemungkinan konsep tersebut bisa diterapkan dalam praktek otonomi daerah membutuhkan kajian tentang gambaran keberlangsungan pelaksanaan otonomi daerah di masa depan ? jawaban atas pertanyaan ini merupakan salah satu urgensi untuk melakukan studi tentang model alternatif model otonomi daerah. 8

BAB II STUDI PUSTAKA

2.1 Perspektif Desentralisasi Konsep desentralisasi bisa diartikan dalam beragam pengertian tergantung pada perspektifnya. Dalam perspektif politik, diartikan .................the world decentralication has been used to express the mechanism by which central government devolve its power to local governments. This kind of mechanism is called political decentralication. Sedangkan dari aspek administratif,

desentralisasi didefinisikan

as the delegation of administrative

authority from central to local government .. (Hidayat, 2002) Parson (1961, dalam Hidayat, 2002) defines decentralication as sharing parti of the governmental power by a central ruling group with other goups, each having authority within a specific area of the state Rumusan yang dikemukakan Mawhood (1987) yaitu decentralication is devolution of power from central to local government. Whereas deconcentration by which administrative decentralication is the transfer of responsibilitry from central to local government. Dalam pandangan ini, konsep desentralisasi dibedakan dengan dekonsentrasi, karena in the implementation of deconcentration policy, the local government does not have its own budget and a separate legal existance with authority granted to allocate subtantial materials resources for a range of different fuctions (Mawhood, 1987). Smith (1985) merumuskan definisi desentralisasi yaitu .. decentralication as the delegation of power, form top level to lower level, in a territorial

hierarvhy, which could be one of government within a state, or officers within a large organisation. Dalam pandangan Pierre and Peters (dalam Abdul Wahab, 2002), desentralisasi dalam terminologi teknisnya merupakan proses dekonstruksi relasi kekuasaan pusat-daerah yang disebut dengan displacement of power yakni

mendesentralisasikan secara rasional kekuasaan kewenangan negara (state authority) ke institusi-institusi tingkat regional dan lokal. Selain itu, juga dengan mengubah paradigma dalam memerintah masyarakat (modes of governing society) yang selama ini bias ke pemerintah pusat (central government) dan cenderung tidak menaruh empati atau bahkan mengabaikan terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal (local preferences). Secara legal formal berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dalam pasal 1 (e), ditegaskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, konsep desentralisasi antara UU No. 22 tahun 1999 dengan UU No. 32 tahun 2004 hampir sama. Konsep desentralisasi yang dianut secara legal formal ini, mengartikan desentralisasi dalam pemahaman desentralisasi administratif yang menekankan pada aspek the delegation of authority atau belum mengarah pada the devolution of power. Secara umum terdapat empat bentuk desentralisasi yang dijalankan dalam sebuah negara : pertama adalah deconcentration, yaitu pembagian wewenang kekuasaan membuat suatu keputusan berkaitan dengan pengelolaan administrasi kepada unit-unit organisasi lain atas nama pemerintah pusat. Dimaksudakan di sini adalah pembagian tanggungjawab dan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan lokal. ......... Pelaksanaan deconcentration di sini bermakna tiadanya pemindahan kekuasaan dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam suatu perkara. Kementrian diperingkat pusat masih berkuasa penuh dalam sesuatu keputusan mengenai kebijakan lokal ( United Nation 1961). 10

Kedua,

Devolution yaitu kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan

independen. Pemerintah pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan baru yang otonom dan berada diluar kontrol langsung pemerintah pusat. Cirinya adalah unit pemerintahan lokal yang

otonom dan mandiri, kewenangan pemerintah pusat tidak besar pengawasannya tak langsung, pemerintah lokal memiliki status dan legitimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen (Fadilllah Putra, 1999) Ketiga, Delegation. Menurut kondep ini tugas eksekutif diserahkan kepada

organisasi lain. Tugas-tugas pemerintahan dalam kementrian pusat diserahkan kepada pemerintah di daerah untuk diselenggarakan. Dengan cara ini terjalinlah kerjasama yang erat antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat demi untuk memmudahkah pelaksanan tugas-tugas tertentu. Keempat, privatization. Bentuk desentralisasi ini merujuk kepada bentuk-bentuk kegiatan yang ditentukan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah tetapi dilakukan oleh masyarakat setempat..... dalam konsep ini organisasi-organisasi jabatan pemerintahan dikendalikan oleh swasta, yaitu kewenangan diserahkan kepada swasta untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu.....(Effendi Hasan & Erman Anom, 2007).

2.2 Desentralisasi dalam UU No. 22 Tahun 1999 & UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan politik secara makro yang bertujuan untuk memberikan dukungan terhadap kekokohan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengakomodasi tuntutan perkembangan demokrasi lokal. Tujuan tersebut berimplikasi terhadap bangunan struktur pemerintahan dengan menggabungkan dua bentuk yaitu memperkuat posisi aparat pemerintah pusat di daerah, struktur kebijakan (perda

11

dan aparat birokrasi) yang hierarkis, dan pengembangan demokratisasi lokal yang terbatas. Secara substansial, muatan UU No. 32 tahun 2004 sangat berbeda dengan UU No. 22 tahun 1999. UU No. 22 tahun 1999, cenderung menganut pola pemerintahan yang desntralisasi dan penguatan demokratisasi politik lokal dengan memberi porsi kekuasaan kepada DPRD yang sangat kuat. Adanya perbedaan mendasar dalam UU No. 32 tahun 2004 merupakan hasil evaluasi dari proses pelaksanaan otonomi daerah yang mengindikasikan tidak terbangunnya tertib pemerintahan dan munculnya kehawatiran yang berlebihan akan rontoknya kekokohan NKRI. Selama empat tahun proses pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, terdapat sejumlah persoalan antara lain: muncul sejumlah perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dominasi kekuasaan DPRD yang tidak terkontrol, administrasi kepegawaian yang tidak proporsional, konflik antara daerah kabupaten dengan daerah propinsi, sistem koordinasi menjadi tidak efektif, konflik antara bupati/walikota dengan wakil bupati/wakil walikota, perebutan sumber daya ekonomi, dan tertib pemerintahan secara keseluruhan relatif tidak terjaga. Ide dasar perubahan UU No. 22 tahun 1999 berawal dari munculnya amandemen UUD 1945 yang menetapkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk DPRD, DPR, DPD dan MPR yang tidak lagi memberikan kewenangan DPRD untuk memilih Gubernur/Bupati/Walikota. Alasan-alasan ini yang memperkuat UU No. 22 tahun 1999 perlu direvisi dengan perubahan pasal perlunya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tetapi kemudian merembet pada persoalan bangunan pemerintahan daerah secara keseluruhan. UU Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik 12

Indonesia. Salah satu upaya untuk menjaga keutuhan NKRI, maka struktur pemerintahan harus dirancang secara sentralistis. Ide revisi itu berangkat dari kesatuan sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya sekedar

diakomodasi. Pengalaman waktu diterapkannya UU No. 5 tahun 1974, dengan model pemerintahan yang terpusat dan penyeragaman kebijakan, tertib politik dan pemerintahan bisa terjaga secara efektif. Warna pemerintahan yang bercorak otoriterisme-birokratik kemudian menjadi sangat kental. Model pemerintahan pada waktu itu tidak hanya memposisikan birokrasi pada level paling atas (pemerintahan pusat) sebagai penentu dalam membuat kebiajkan, tetapi juga mampu mengkondisikan lembaga perwakilan sebagai lembaga yang terkendali oleh kekuasaan eksekutif. UU No. 32 tahun 2004 mempunyai warna yang mirip walaupun tidak sama persis dengan UU No. 5 tahun 1974. Beberapa pasal yang mengatur karakter pemerintahan yang sentralistis itu antara lain: Pertama, pasal 10 UU No. 32 tahun 2004, istilah yang dipakai adalah pembagian urusan pemerintahan, bukan lagi kewenangan daerah sebagaimana dianut dalam UU No. 22/1999. Dalam konsep pembagian urusan maka kewenangan pemerintahan daerah itu tidak secara otomatis menjadi milik daerah, tetapi ditentukan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi (pasal 11). Sementara dalam UU No. 22 tahun 1999, dengan istilah kewenangan daerah, apa yang didelegasikan oleh Pemerintah Pusat menjadi kewenangan daerah. Apa akibat dari penyerahan urusan wajib, maka seluruh atau sebagian besar sumber dananya harus berasal dari pemerintah pusat. Artinya, akan kembali pada pola subsidi, sehingga kreativitas dalam alokasi anggaran akan dibatasi. Kedua, otoritas kedudukan gubernur sebagai wakil Pemerintah di Wilayah propinsi yang bertanggung jawab kepada Presiden (pasal 37) diperkuat perannya dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kot. Ketentuan pasal ini, walaupun otoritas gubernur itu, hanya sebatas pembinaan, pengawasan dan koordinasi, tapi dalam 13

prakteknya bisa lentur ditafsirkan untuk kepentingan-kepentingan politis yang lain. Ketiga, ada keterlibatan peran pemerintah pusat dan gubernur untuk menetapkan perda, dengan tujuan agar perda secara substantif tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keempat, perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (pasal 150). Ketentuan pasal ini berimplikasi bahwa perencanaan pembangunan di daerah harus merujuk kepada perencanaan nasional. Kelima, sistem administrasi kepegawaian disusun secara terpusat (pasal 129) dan hierarkis (pasal 130). Sistem kepegawaian dilakukan berdasarkan manajemen PNS secara nasional. Dalam UU No. 32 tahun 2004 posisi gubernur kembali diperkuat perannya dalam penentuan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam jabatan eselon II pada daerah kabupaten/kota. Yang membedakan UU No. 32 tahun 2004 dengan UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 22 tahun 1999 yaitu dilakukannya Pilkada langsung (pasal 56 sampai dengan pasal 119). Sistem pemilihan kepala daerah berdasarkan demokrasi perwakilan tidak dianut lagi. Sistem Pilkada langsung oleh rakyat merupakan sebuah prestasi bagi pemerintahan sekarang untuk memberikan hak pada rakyat secara langsung dalam menentukan kepala daerah. Sistem pemilihan ini dianggap paling ideal, karena berbagai alasan, yaitu: (a) demokrasi langsung akan menampakan perwujudan kedaulatan ditangan rakyat; (b) akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat; (c) permainan politik uang bisa diperkecil, karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Namun berarti bahwa sistem ini tidak punya kelemahan. Kelemahan sistem ini antara lain: (a) kelompok minoritas (suku, agama, atau golongan yang tersisih) akan sulit bisa bersaing dengan kelompok mayoritas; (b) karena yang dipilih 14

adalah orang, maka faktor figur akan dijadikan salah satu faktor penentu kemenangan, oleh karena itu kemudian akan mengenyampingkan faktor kemampuan; (c) dalam Pilkada langsung memerlukan biaya besar untuk keperluan kampanye pada putaran pertama dan putaran kedua serta untuk keperluan menyewa perahu (parpol) khususnya bagi calon dari non-partai. Dalam proses pembuatan kebijakan dalam UU No. 32 tahun 2004 juga memberikan ruang bagi masyarakat dalam pembahasan perda (pasal 139). Secara demikian, masyarakat diberikan hak untuk mempengaruhi proses pembuatan kebiajakan daerah. Jika dicermati secara keseluruhan tentang UU No. 32 tahun 2004, proses demokratisasi lokal dibatasi dalam cakupan yang terbatas pada wilayah prosedur pemilihan kepala daerah dan hak masyarakat untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Namun, pada aspek yang lain ada pembatasanpembatasan terhadap kewenangan pemerintahan daerah yang wujudnya dalam bentuk intervensi pemerintah pusat; dalam istilah UU No. 32 tahun 2004, disebut dengan pembinaan, pengawasan, konsultasi, penyerahan urusan, dan mengacu pada program pembangunan nasional.

2.3 Nilai dan Tujuan Desentralisasi Smith (1985 dalam Hidayat, 2002) melihat nilai desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Dari sisi kepentingan pemerintah pusat, menurut Smith, sedikitnya ada tiga nilai desentralisasi yaitu untuk pendidikan politik, latihan kepemimpinan dan untuk menciptakan stabilitas politik. Sedangkan dari kepentingan daerah, nilai utama desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality. Nilai kedua yaitu local accountability dan nilai ketiga dari kepentingan daerah yaitu local responsiveness. Secara umum tujuan desentralisasi dibagi ke dalam dua katagori yaitu tujuan politik dan tujuan ekonomi. Desentralisasi dilihat dari tujuan politik yaitu .. 15

to strengthen local accountability, political skills and national integration. Smith (1985) selanjutnya merumuskan tujuan desentralisasi demokrasi ke dalam dua katagori yaitu pertama pada level nasional, nilai desentralisasi demokrasi berhubungan dengan pendidikan politik, latihan kepemimpinan dan stabilitas politik. Kedua, pada level lokal nilai-nilai yang relevan yaitu equity, liberty, dan responsiveness. Sedangkan desentralisasi dilihat dari tujuan kepentingan ekonomi yaitu it is argued that decentralication is needed in order to enchance local government ability in providing public goods and services (Rodinelli, 1983) atau dengan kata lain, the implementation of decentralication policy is suppose to reduce the cost development, inprove outputs and more effectively utilise human resources. Dalam perspektif state-society relation tidak mendikotomikan antara tujuan politik dan administrasi karena kedua-duanya sama penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka formulasi tujuan desentralisasi dikembalikan pada konsep dasarnya, yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama, yaitu tujuan desentralisasi untuk kepentingan nasional dan untuk kepentingan daerah. Sementara substansi dari masing-masing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek social dan aspek ekonomi yang hendak dicapai. Spesifiknya, berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah : (a) untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa; (b) sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan (c) untuk mempercepat pencapaian dan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralisasi meliputi antara lain: (a) untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat local (political equality, local accountability, dan local responsiveness); (b) untuk peningkatan pelayanan public; (c) untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan pembangunan di daerah (Hari Susanto, dkk, 2004). Dalam pendapat Jimly Asshidiqqi (2000) tujuan kebijakan desentralisasi adalah untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik16

baiknya. Karena dalam system yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan structural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul diberbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Juga untuk mendorong kemandirian daerah. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan wewenang dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai factor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistic, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri. Esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini. ..dengan adanya desentralisasi akan membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.

2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian yang dilakukan Syarief Makhya dkk (2007) di Kota Metro, menunjukkan bahwa perubahan desentralisasi ternyata hampir tidak membawa

terhadap proses pembuatan kebijakan yang lebih partisipatif.

Pendekatan dari atas ke bawah (top-down approach) masih menjadi norma yang berlaku, namun sudah mulai dilakukan beberapa pembaharuan dengan dalam proses pengambilan kebijakan. 17

melibatkan civil society organization

Juga, sudah ada upaya untuk melakukan mekanisme konsultasi dengan masyarakat mengenai berbagai kebutuhan dan aspirasi publik, waluapun

fenomena konsultasi tersebut masih melibatkan kalangan yang sangat terbatas. Dalam proses pembuatan kebijakan daerah (perda), DPRD mempunyai posisi tawar yang kuat, namun sayangnya tidak disertai kemampuan dalam menyusun legal drafting dan formulasi kebijakan publik. Pendekatan Top-Down,

cenderung masih tetap digunakan, kerana beberapa alasan : (a) untuk efisiensi waktu dalam proses perumusan kebijakan, (b) adanya kesesuaian antara kebijakan daerah dengan dokumen formal (poldas, renstra, dan rapetada), (c) adanya persepsi dan sikap pemda kebutuhan daerahnya. yang merasa lebih mengetahui akan

18

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan (policy Research). Menurut Majchrzak (1984), penelitian kebijakan adalah the process of conducting research on, or analysis of a fundamental social problem in order to provide policy makers with pragmatic, action oriented recommendation for alleviating problems (Proses pelaksanaan penelitian atau analisis mengenai suatu masalah sosial mendasar guna membantu pembuat kebijakan dengan cara menyajikan rekomendasi yang bersifat pragmatis, berorientasi pada aksi untuk mengatasi masalah tersebut) Sedangkan dari tingkat eksplanatif, penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. ( Sugiyono, 1998)

3.2 Fokus Penelitian Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini difokuskan pada : a) Hubungan antara kewenangan pemerintah Pusat, dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimensi pada fokus ini mencakup dalam hal : b) c) Pembuatan kebijakan Kewenangan di bidang urusan wajib dan pilihan Pembiayan keuangan daerah

Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah Hubungan eksekutif dengan legistatif 19

3.3 Situs Penelitian Praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh para pejabat pemda, pegawai pemda, anggota DPRD, dan praktisi pemerintahan, dijadikan akan dijadikan situs dalam penelitian ini. Informan dalam penelitian ini yaitu Sekda, Asisten, Anggota DPRD, Praktisi Pemerintahan, Kepala-Kepala Dinas/Badan /Biro, Camat, Lurah, anggota DPD, dan anggota DPR.

3.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan dua cara, yaitu pertama : wawancara mendalam (in depth interview), dokumentasi (official and personal documentation), dan observasi. Metode wawancara dan dokumentasi akan banyak dipergunakan dengan penekanan pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor. Pencatatan data dilakukan dengan memanfaatkan bentuk catatan lapangan, catatan wawancara, copy dari dokumentasi dan sapping. Kedua, kuestioner yang disebar ke satker di 11 kabupaten/kota dan Provinsi. Jumlah satker di masing-masing kabupaten 20 satker. Jumlah keseluruhan rsponden yaitu 11 x 20 = 220 orang ditambah 25 satker provinsi, total berjumlah 245 orang.

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan selama pengumpulan data di lapangan dan analisis masalah dilapangan. Analisis data mengkuti anjuran Bogdan dan Bilken (1990) yang mencakup kegiatan-kegiatan menelaah data, membaginya dalam satuansatuan yang dapat dikelola, mensistesitesiskannya, mencari pola, menemukan apa yang akan dipelajari dan memutuskan apa yang akan dilaporkan.

20

Analisis data tersebut akan mengungkap : (a) data apa yang perlu dicari; (b) hipotesisi apa yang perlu dites; (c) pertanyaan apa yang perlu dijawab; (d) metode apa yang harus dipakai untuk mencari informasi baru; dan (e) kesalahan apa yang harus diperbaiki (Nasoetion, 1988:30) Proses analisis data dilakukan melalui prosedur : (a) penelaahan data yang sudah terkumpul dari berbagai sumber data; (b) data yang sudah terkumpul direduksi sehingga tersusun secara sistematis; (c) data yang sudah tersusun dibuat kategorisasi (d) satuan data yang sudah dikategorisasi diberi kode tertentu; (e) dilakukan pemeriksaan untuk memperoleh keabsahan data melalui pengamatan yang lebih teliti, trianggulasi dengan sumber data, teori dan metode penelitian, mendiskusikan hasil sementara dengan sejawat, menganalisis kasus negatif dan (f) melakukan penafsiran data (Maleong, 1990:198),

Untuk memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian dilakukan kredibilitas data (internal validiti) transferbalititas (exsternal validity), dependebilitas (realibility) dan konfirmabilitas (objectivity) (Nasoetion, 1998), Maleong, 1990).

21

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Otonomi Daerah Provinsi Lampung memiliki wilayah daratan seluas 35.288,35 km, termasuk pulau-pulau kecil. Secara administratif saat ini wilayah Provinsi Lampung terbagi menjadi 14 kabupaten/kota. Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 merupakan Keresidenan Lampung, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1964, dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964 ditingkatkan menjadi Propinsi Lampung dengan Ibukota Tanjungkarang-Telukbetung. Selanjutnya Kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 1983 diganti menjadi Kotamadya Bandar Lampung terhitung sejak tanggal 17 Juni 1983. Secara administratif Propinsi Lampung dibagi dalam 14 (empat belas) Kabupaten/Kota, yang selanjutnya terdiri dari beberapa wilayah Kecamatan dengan perincian sebagai berikut : 1. Kabupaten Lampung Barat dengan Ibukotanya Liwa, luas wilayahnya 4.950,40 Km2 terdiri dari 14 (empat belas) kecamatan. 2. Kabupaten Tanggamus dengan Ibukotanya Kota Agung, luas wilayahnya 3.356,61 Km2 terdiri dari 24 (dua puluh empat) kecamatan. 3. Kabupaten Lampung Selatan dengan Ibukotanya Kalianda, luas wilayahnya 2.080,78 Km2 terdiri dari 17 (tujuhbelas) kecamatan. 4. Kabupaten Lampung Timur dengan Ibukotanya Sukadana, luas wilayahnya 4.337,89 Km2 terdiri dari 24 (dua puluh empat) kecamatan.

22

5. Kabupaten Lampung Tengah dengan Ibukotanya Gunung Sugih, luas wilayahnya 4.789,82 Km2 terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) kecamatan. 6. Kabupaten Lampung Utara dengan Ibukotanya Kotabumi, luas wilayahnya 2.725,63 Km2 terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan. 7. Kabupaten Way Kanan dengan Ibukotanya Blambangan Umpu, luas wilayahnya 3.921,63 Km2 terdiri dari 14 (empat belas) kecamatan. 8. Kabupaten Tulangbawang dengan Ibukotanya Menggala, luas wilayahnya 7.770,84 Km2 terdiri dari 24 (delapan belas) kecamatan. 9. Kota Bandar Lampung dengan ibukotanya Bandar Lampung, luas wilayah 192,96 Km2 terdiri dari 13 (tiga belas) kecamatan. 10. Kota Metro dengan ibukotanya Metro, luas wilayahnya 61,79 Km2 terdiri dari 5 (lima) kecamatan. 11. Kabupaten Pesawaran dengan ibukotanya Gedong Tataan, luas wilayahnya 1100 km2 terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan. 12. Kabupaten Mesuji dengan ibukotanya Mesuji terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan yang luas wilayahnya merupakan bagian dari kabupaten induknya yakni Kabupaten Tulang Bawang. 13. Kabupaten Tulang Bawang Barat ibukotanya Panaragan terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan yang luas wilayahnya juga merupakan bagian dari kabupaten induknya yakni Kabupaten Tulang Bawang. 14. Kabupaten Pringsewu dengan ibukota Pringsewu terdiri atas 8 (delapan) kecamatan yang wilayahnya adalah sebagian dari wilayah kabupaten induknya yakni Kabupaten Tanggamus.

Berbagai program pembangunan terus dilakukan guna mengatasi berbagai masalah khususnya yang sedang dihadapi Provinsi Lampung. Di antara berbagai masalah pembangunan yang ada masalah keamanan dan ketertiban, masalah keadilan dan demokrasi, serta kesejahteraan rakyat (termasuk kemiskinan, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan) merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh Provinsi Lampung. Keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan permasalahan tersebut perlu diketahui agar

permasalahan pembangunan dapat segera diatasi. 23

Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 telah mengubah paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah yang menciptakan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya penyempurnaan dari kebijakan masa lalu yang bersifat sentralistik. Desentralisasi dan otonomi daerah sejalan pula dengan prinsip demokrasi yang menghargai keragaman berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi, kualitas SDM, serta tingkat kekayaan sumber daya alam masing-masing daerah. Provinsi Lampung yang berada di pintu gerbang selatan untuk memasuki pulau Sumatera, memiliki sumber daya alam, penduduk yang cukup banyak dan beragam. Sumber daya alam dan penduduk yang beragam ini merpakan potensi daerah yang dapat dijadikan modal peningkatan pembangunan daerah Lampung. Pada masa transisi wewenang daerah ini, sebagai Propinsi yang cukup dekat dengan Ibu Kota Negara tentunya menjadikan daerah ini sangat dipengaruhi oleh suasana kekuasaan negara, termasuk persoalan-persoalan demokrasi, HAM, otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam masa transisi berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbiki dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, Propinsi Lampung dan juga propinsipropinsi lainnya disibukan dengan penyesuaian paradigma baru pemerintah daerah. Perubahan kewenangan daerah yang lebih besar, pemerintah daerah praktis mempersiapkan berbagai regulasi dan perubahan kelembagaan di daerah. Tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah, antara propinsi dan kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota masih mewarnai kondisi awal RPJM di Propinsi Lampung. Propinsi Lampung juga disibukkan dengan pemekaran wilayah, tidak kurang terdapat 7 wilayah kabupaten baru yang diusulkan untuk dibentuk menjadi daerah otonom baru, sehingga eforia otonomi daerah benar-benar meninggalkan pembangunan daerah, belum lagi pada awal Tahun 2004 Propinsi Lampung masih diwarnai dengan sengketa Pilgub, sehingga pemerintahan baru yang terpilih melalui DPRD tidak dapat optimal melaksanakan pembangunan daerah. 24

Seiring dengan perjalanan waktu kelembagaan pemerintahan daerah Lampung mulai tertata, tugas dan fungsi badan dan dinas daerah mulai dapat berjalan dan seiring dengan tertatanya kelembagaan daerah dengan kewenangannya, APBD Lampung meningkat dari tahun ke tahun dan pembangunan mulai berjalan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dalam konteks pembentukan otonomi daerah baru, sampai tahun 2008 tidak kurang terdapat 5 kabupaten merencanakan pemekaran wilayah, yaitu Lampung Barat merencanakan pemekaran 1 kabupaten, yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Tulang Bawang merencanakan 2 daerah pemekaran, yaitu kabupaten Mesuji dan Tulang Bawang Barat, Kabupaten Tanggamus merencanakan 1 daerah pemekaran, yaitu kabupaten Pringsewu, Kabupaten Lampung Selatan 1 daerah pemekaran, yaitu Kabupaten pesawaran, kabupaten Lampung Tengah 2 daerah pemekaran, yaitu Kabupaten Lampung Tengah Timur dan Lampung Tengah Barat. Proses pemekaran kabupaten ini ada yang hanya berhenti sampai pada tingkat studi kelayakan, yaitu Kabupaten Lampung Tengah, pada tingkat proses lebih lanjut di Jakarta, yaitu pemekaran Kabupaten Lampung Barat, dan terdapat yang telah disetujui dan telah ditetapkan dengan UU, yaitu Kabupaten Pesawaran yang merupakan pemekaran Kabupaten Lampung Selatan,

Kabupaten Mesuji dan kabupaten Tulang Bawang Barat yang merupakan pemekaran dari kabupaten Tulang Bawang, dan Kabupaten Pringsewu merupakan pemekaran Kabupaten Tanggamus.

4.2 Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Otonomi Daerah di Lampung 4.2.1 Pelaksanaan Kewenangan Daerah

Tabel 1. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Daerah No 1 Daerah Provinsi Lampung Pelaksanaan Kewenangan
Prinisp dasar dalam pelaksanaan ototonomi kewenangan pemda Provinsi sudah terakomodasi dalam asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas, juga sudah memperhatikan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi

25

No

Daerah

Pelaksanaan Kewenangan
dan keanekaragaman daerah. Kewenangan sejalan dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Meskipun ada kewenangan tetapi tetap ada batasnya dalam konteks pertanggungjawaban kualitas kewenangan itu Seluruh aturan pembagian kewenangan sudah jelas namun implementasinya terkadang masih tarik ulur oleh sebab dominasi pemerintah pusat yang masih tinggi dan ketergantungan pemda ke pemerintah pusat yang masih tinggi pula Kewennagan dapat mengakomodir kepentingan daerah Kewenangan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan telah cukup untuk mangakomodir pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat Sudah karena pokok-pokok kewenangan sudah terperinci dan mempertimbangkan pasitas daerah dalam menjaga NKRI Untuk masalah keuangan, kewenangan pemerintah pusat masih sangat besar Secara normatif sudah tetapi secara substansial belum karena masih banyak aturan-aturan yang tidak sinkron satu dengan yang lain dan seringnya perubahan aturan oleh sebab kepentingan Sudah tinggal pada tingkat operasional perlu ditingkatkan dan intensifkan dengan dukungan petunjuk teknis pelaksanana yang tegas dan jelas Sudah banyak/sebagian kewenangan pusat sudah diserahkan ke daerah (pegawai) Sudah sesuai dan dapat mengakomodasi kepentingan daerah, ini dapat dilihat semakin menurunnya konflik antara daerah dalam hal pelaksanaan kewenangan Sudah, karena pembagian urusan antara pemerintah provinsi maupu kabupaten/kota sudah diperjelas melalui peraturan pemerintahan No.38/2007 Belum, karena masih ada kewenangan daerah yang masih dilebihi oleh pusat Sudah cukup, tetapi dalam pelaksanannya diperlukan peraturan pelaksanaan dan pengawasan Sudah sesuai, hanya pengelolaan resources pada pasal 18 misalnya perlu dibantu dengan human resources yang profesional agar dapat mensejahterakan penduduk daerah Sudah sesuai dengan aspirasi, hanya memerlukan penguatan kapasitas daerah untuk melaksanakannya Sudah sesuai karena kewenangan daerah yang diatur dalam UU 32/2004 tetap memungkinkan adanya kontrol oleh pemerintah pusat dalam menjaga konsistensi dan

Bandar Lampung

Lampung Tengah

26

No

Daerah -

Pelaksanaan Kewenangan
pelaksanaan kewenangan itu Masih ada yang belum sepenuhnya memenuhi aspirasi daerah Belum terutama tentang pajak daerah (pajak produksi dan pajak ekspor) Pemda sama sekali tidak mendapatkan apaapa Belum. Desentralisasi dicerna sebagai penyerahan wewenang pemerintahan dari elit politik nasional kepada elit lokal. Akibatnya keberadaan masyarakat yang berotonomi menjadi bersifat pinggiran. Masyarakat bukan sebagai subyek tetapi obyek dari otonomi daerah. Ketiadaan visi di kalangan elit lokal mengenai otda untuk menyejehterakan masyarakat melalui pemberian layanan publik berakibat pada kemerosotan layanan publik. Belum, karena bagian terbesar anggaran terserap bukan untuk layanan publik tetapi untuk membiayai birokrat dan anggota DPRD Telah cukup mengakomodir kepentingan daerah, namun masih perlu diberikan kelonggaran bagi daerah untuk menggali PAD yang lebih luas Sudah dalam hal tertentu, tetapi dalam hal perimbangan keuangan daerah belum sesuai dengan apa yang diharapkan dan diamanatkan oleh otonomi daerah Belum. Karena beberapa program kesehatan yang seharusnya menjadi wewenang daerah masih dilaksanakan pusat dan provinsi. Termasuk program pertanahan dan statistik Belum, karena pemerintah daerah belum mampu membiayai secara keseluruhan program pembangunan bidang kesehatan Sudah sebagian tetapi ada sebagian aspirasi daerah belum terakomodasi dalam UU 32/2004 Sudah, tetapi dalam pelaksanaannya masih berdasarkan kepentingan baik legislatif maupun yudikatif di daerah Sudah sesuai karena sistem pembangunan yang digunakan adalah bottom up planning selain kewenangan mengatur rumah tangga sendiri yang dimiliki daerah Terlalu banyak yang mengatur karena masalah kepentingan Kewenangan belum linier dan hierarkis antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota Sudah sesuai dengan aspirasi daerah, akan tetapi belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan daerah karena kewenangan tersebut masih terbatas pada-hal-hal yang tetap harus mendapat persetujuan pusat. Selain itu pelaksanannya terkadang menyimpang dari prinsip otonomi daerah yakni ketergantungan yang besar kepada

Lampung Selatan

5 Way Kanan -

27

No

Daerah -

Pelaksanaan Kewenangan
pemerintah pusat ( 5 responden) Belum sesuai, kadang kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh pusat tidak sesuai dengan aspirasi daerah yang ingin memperoleh kepastian kewenangan lebih optimal, sehingga pemerintah pusat terkadang masih terlalu arogan Belum sesuai terutama karena batas kewenangan masih banyak memunculkan penafsiran yang ganda yang justru emmbuat pemerintah pusat tetap melakukan pengaturan kewenangan untuk pemerintah daerah Belum sesuai disebabkan prinsip otonomi daerah masih setengah hati oleh sebab kewenangan besar ke daerah tetapi kelembagaan di pusat terlalu gemuk yang berimplikasi pada anggaran pusat yang lebih besar. Sangat baik, karena memihak kepada masyarakat terlebih dalam pelayanan yang diberikan pemerintah sebagai pemberi jasa ( 2 responden) Sudah karena secara detail sudah menunjukkan adanya pembagian kewenangan sehingga semua aspirasi daerah dapat dilakukan melalui kewenangan itu Sudah secara normatif namun secara implementatif, ada keterbatasan pada kabupaten untuk dapat menjalankan semua aspirasinya Pembagian kewenangan sudah jelas, namun kewenangan tersebut tidak diikuti oleh dukungan anggaran yang cukup dari pusat sedangkan kabupaten memiliki keterbatasan dalam hal anggaran UU 32 sudah sejalan dalam konteks NKRI, artinya meskipun ada aspirasi daerah namun kerangka negara kesatuan harus dijaga bukan seperti UU 22/1999 yang seolah-oleh membuat kabupaten/kota berdiri sendiri UU 32/2004 sudah relatif lebih jelas pembagian kewenangan dan sesuai dengan aspirasi daerah namun terkadang masih ada aturan dari pusat yang justru membatasi aspirasi itu dengan sekian banyak regulasi dari pemerintah pusat Secara normatif sudah ada pembagian kewenangan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota, namun secara teknis hal ini masih sering berbenturan yang muaranya berujung pada kewenangan penganggaran dan kapasitas keuangan terutama provinsi dan kabupaten/kota yang rendah untuk menjalankan kewenangan itu Sudah karena kepentingan darah minimal dapat dilihat dari aspek ekonomi, politik dan sosial budaya. Dalam UU 32/2004 sudah memberikan porsi kewenangan yang bagus kepada daerah dengan urusan wajib dan urusan pilihan Sudah sesuai dimana pembagian kewenangan tersebut

Tulang Bawang

Lampung Timur

28

No

Daerah

Pelaksanaan Kewenangan
pemerintag kabupaten dapat menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan Belum, karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan belanja publik selalu tidak sama sehingga menimbulkan kecemburuan antar daerah Belum seluruhnya sesuai dengan aspirasi daerah karena beberapa kewenangan yang ada di daerah masih merupakan kewenangan pusat sehingga beberapa permasalahan di daerah yang merupakan kewenangan pusat tidak dapat daerah selesaikan, dan di sisi lain pemerintah pusat juga belum bisa menyelesaikan Sudah, tetapi memerlukan kerja sama antar daerah yang selama ini tidak pernah terlaksana dengan baik baik antara kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain maupun antara kabupaten/kota dengan provinsi Dari sisi kewenangan antar daerah sudah cukup jelas, namun pola kerja sama antar daerah belum diatur secara khusus padahal hal ini menjadi kata kunci dari berjalannya kewenangan daerah Belum,khususnya dalam mengelola pandapatan daeah yang bersal daridana perimbangan (DAK dan bagi hasil), selain itu misalnya masalah pendidikan, standarnya harus disamakan, jelas tidak adil, fasilitasnya saja sudah beda, belum guru, dll. Begitu juga pembagian SDA seperti batubara, minyak dll pembagiannya harus dipertimbangkan kembali (7 responden) Sudah, karena hampir semua urusan pemerintahan telah diserahkan ke kab/kota dan kewenangan yang diberikan kepada daerah sudah mencakup aspek penyelenggaraan pemerintah daerah ( 5 responden) Belum,khususnya dalam mengelola pandapatan daeah yang bersal daridana perimbangan (DAK dan bagi hasil), selain itu misalnya masalah pendidikan, standarnya harus disamakan, jelas tidak adil, fasilitasnya saja sudah beda, belum guru, dll. Begitu juga pembagian SDA seperti batubara, minyak dll pembagiannya harus dipertimbangkan kembali (7 responden) Sudah, karena hampir semua urusan pemerintahan telah diserahkan ke kab/kota dan kewenangan yang diberikan kepada daerah sudah mencakup aspek penyelenggaraan pemerintah daerah ( 5 responden) Sudah, setiap daerah dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai urusan pilihan yang menjadi fokus pembangunan dan ciri khas daerah

Metro

Lampung Barat

10

Lampung Utara

29

No

Daerah -

Pelaksanaan Kewenangan
Telah sesuai sebab di luar urusan wajib pemda mendapat urusan pilihan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Secara kuantitas kewenangan yang telah diberikan kepada daerah telah sesuai atau mewakili aspirasi daerah tetapi secara kualitas kewenangan yang diberikan tersebut belum dapat mengakomodasi kepentingan daerah terutama mengenai sumber-sumber pembiayaan daerah Ya sudah, karena semua kewenangan pemerintahan ada di kabupaten/kota kecuali kewenangan yang diatur dalam PP 25/2000 Belum karena kewenangan yang diberikan ke daerah terkadang masih sama dengan kewenangan yang diberikan ke provinsi dengan pembatasan yang belum jelas Sudah karena pembagian urusan kewenangan pemeirntah telah dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan Sudah sesuai dengan kepentingan daerah ketika pemahaman akan kewenangan ini dibingkai dalam NKRI Sudah secara normatif semua urusan dan tanggung jawab dalam melaksanakan aktifitas pembangunan dan pemerintahan sudah diatur, namun pengaturannya belum detail sehingga menimbulkan penafsiran yang berbedabeda. Sudah, karena dalam bingkai NKRI pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten memang harus diatur dan tetap memberikan porsi besar kepada pemerintah pusat karena meskipun otonomi, tetapi daerah tetap memiliki kewenangan. Belum secara rinci mengatur tentang standar minimal dan standar maksimal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dikaitkan dengan kewenangan yang dimiliki daerah sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda. Belum, karena wewenang yang diberikan kepada daerah cukup besar tetapi tidak didukung oleh alokasi pendanaan yang proporsional dalam memenuhi kewenangan yang besar tersebut. Belum jelas, apakah kewenangan itu sama dengan tanggung jawab sehingga banyak daerah merasa berwenang dalam meminta alokasi anggaran tetapi lemah dalam tanggung jawab melakukan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah dalam mendukung fungsi dan kewenangan dari pemerintah tingkat atasnya Sudah diatur dan memberikan keleluasaan kepada daerah. Urusan wajib menjadi tanggung jawab yang harus dilakukan daerah, namun ada urusan pilihan yang dapat disesuaikan dengan potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Alokasi DAU sebenarnya diarahkan untuk membiayai urusan wajib, sedangkan urusan pilihan

11 Tanggamus -

30

No

Daerah

Pelaksanaan Kewenangan
disesuaikan dengan PAD yang diperoleh daerah.

Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian Lapangan, 2009

Berdasarkan data tabel 1, hampir sebagian besar daerah berpendapat bahwa pengaturan kewenangan yang diatur dalam UU No. 32/2004 baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota sudah sejalan dengan aspirasi daerah, namun dalam pealaksanannya beberapa persoalan yang dihadapi antara lain : pola kerjasama pelaksanaan kewenangan antara provinsi dengan kabupaten belum

terimplementasikan dengan baik, beberapa kewenangan tidak didukungan dengan dana yang memadai, pertanggungjawaban kewenangan lemah, peraturan pelaksana yang tidak sinkron, dukungan juklak dan juknis pelaksanaan kewenangan yang masih belum jelas, masih terjadi multi interpretasi dalam memahami pembagian kewenangan dan juga sekalipun kewenangan sudah diberikan kepada daerah, tetapi pola ketergantungan daerah pada pemerintah pusat masih tinggi.

Tabel 2. Penilaian dan pendapat tentang pengaturan kewenangan berdasarkan PP yang berlaku sekarang ? No
1

Daerah
Prov Lampung -

Penilaian dan Pendapat tentang PP Kewenangan


Sudah cukup baik karena Pemda menyelenggarakan urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan kecuali urusan pemerintah yang memang oleh pemerintah pusat bukan merupakan kewenangan daerah Sudah cukup baik meskipun belum terperinci lebih detail pembagian standar pelayanan minimalnya Secara tegas kewenangan kabupaten/kota dan provinsi sudah jelas namun batasan kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota belum secara rinci diatur Jelas namun belum semua urusan disusun SPM nya sehingga penafsiran masih berbeda-beda dalam memaknai kewenangan yang dimiliki Lebih sistematis dan mengurangi perbedaan penafsiran meskipun hal tersebut masih sering terjadi Banyak kewenangan yang tidak diimbangi dengan kapasitas pembiayaan sehingga ketergantungan daerah kepada pusat masih sangat tinggi Secara prinsip sudah cukup ideal namun pengawasan dari

31

No

Daerah

Penilaian dan Pendapat tentang PP Kewenangan


pemerintah tingkat atasnya terhadap implementasi kewenangan itu masih sangat rendah

Kota Bandar Lampung

Sudah cukup jelas, karena hampir mengakomodir seluruh kewenangan yang ada Perlu dikembangkan sesuai dengan kepentingan masyarakat Banyak yang tumpang tindih dengan peraturan yang ada/yang lebih rendah PP 38/2007 ini membagi kewenangan wajib dan kewenangan pilihan urusan wajib adalah urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah kota karena menyangkut kebutuhan dasar/pelayanan dasar sedangkan urusan pilihan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah Masih perlu dijabarkan lagi, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat asumsi-asumsi dari pelaksana Sudah cukup ideal karena sudah mengacu pada aturan yang ada Cukup baik, meskipun masih ada hal-hal yang belum sesuai dengan kepentingan daerah Kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom dibatasi. Perubahan yang terjadi secara cepat dan meluas tentu saja menimbulkan keterkejutan dan upaya penolakan terutama di kalangan perangkat pemerintah pusat Pengaturan yang ada masih cenderung memihak kepada kepentingan pemerintah pusat Sudah cukup ideal. Dengan PP no. 38 Tahun 2007, Pemda provinsi dan kab/kota dapat memiliki 14 dinas tetapi PP tersebut belum banyak diikuti dengan aturan dari Depdagri yang memungkinkan adanya sinkronisasi kewenangan itu Perlu penegasan kembali penegasan urusan pemerintahan daerah Sudah baik hanya perlu pembatasan kewenangan dan diikuti dengan komitmen pembiayaan Belum mencerminkan efektif dan efisien karena masih menggunakan model atau pola maksimal dengan penambahan badan dan instansi lain Ada kewenangan kabupaten yang ditarik ke provinsi dan kewenangan provinsi yang ditarik ke pusat Secara normatif sudah efektif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Sudah sesuai dan mengakomodasi kepentingan sosial Semakin sering pengaturan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah justru yang terlihat adalah semakin besarnya dominasi pemerintah pusat karena

Lampung Tengah

Lampung Selatan

Way Kanan

32

No

Daerah

Penilaian dan Pendapat tentang PP Kewenangan


justru pemerintah pusat paling banyak membuat regulasi dalam mengatur daerah dari mulai penganggaran, penyusunan program dan sebagainya.

Tulang Banwang

Sudah cukup ideal karena pembagian kewenangan sudah diarahkan pada fokus dan sektor yang terperinci Ideal karena dengan PP no. 38 Tahun 2007 telah mengatur secara detail Sudah ideal karena pemda provinsi dan kab/kota dapat memiliki 14 dinas oleh urusan wajibnya dan urusan pilihan Belum karena PP yang ada tersebut belum banyak diikuti dengan aturan dari Depdagri yang memungkinkan adanya sinkronisasi kewenangan itu Belum karena kewenangan yang diberikan ke daerah tidak didukung oleh kapasitas keuangan yang cukup jadi seolah-olah kewenangan itu adalah beban atau tanggung jawab dan bukan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola rumah tangga daerahnya sendiri Bernuansa kembali ke zaman orde baru karena ada pengaturan jenis dinas apa yang harus ada di daerah seharusnya diserahkan saja kepada daerah Meski sudah diatur kewenangan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota namun belum sesuai dengan rincian kewenangan yang pasti dan rigit sehingga masih memunculkan penafsiran yang ganda Cukup jelas dan efektif karena sudah dibagi secara tegas Ibarat ayam yang dilepas tetapi kakinya diikat talli. Maknanya secara prosedural kewenangan besar diberikan kepada daerah akan tetapi kebebasan masih dibatasi oleh kewenangan pusat yang ternyata lebih besar Nuansa politisnya lebih kental Cukup baik, karena telah ditetapkan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan, bila kewenangan itu dilaksanakan dengan efektif dapat meningkatka kesejahteraan rakyat Sudah sesuai dan mengakomodasi kepentingan sosial Pengaturan kewenangan pemerintah pusat tidak konsisten dengan apa yang tertulis (hanya 6 urusan). Kenyataanya pemerintah pusat masih enggan melepas urusan yang menjadi urusan daerah. PP No. 41 th 2007 tentang organisasi perangkat daerah. Seudah lebih jelas, namun kewenngannya mulai dari pusat, provinsi/kab dan kota juga harus jelas, jangan hanya mengatur organisasinya saja. Seudah baik, namun perlu lebih diperjelas, batas kewenangan antara pemerintah privinsi dan kabupaten/kota dengan peraturan-peraturan yang jelas atas batas kewenangan

Lamtim

Metro

9 Lampung Barat -

33

No

Daerah
-

Penilaian dan Pendapat tentang PP Kewenangan


Sudah diatur mengenai kewenangan: menjadi urusan pemerintah daerah Sudah cukup ideal. Dengan PP no. 38 Tahun 2007 Sudah cukup sesuai karena urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemda telah tertuang secara jelas di pasal 7 di mana tercantum 26 urusan wajib dan 8 item urusan pilihan Baik sebab kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara utuh, luas dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan Memungkinkan adanya keberanian daerah untuk menetpan urusan pilihan namun terbentur oleh aturan dan batasan nama program dan kegiatan yang telah ditentukan pemerintah pusat Pengaturannya masih terlalu umum dan belum detail sehingga aturan turunan masih diperlukan sedangkan hingga kini belum semua aturan keluar yang menyebabkan pembagian kewenangan cenderung hanya formalitas Masih menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antar daerah kabupaten dan provinsi sehingga pembagian kewenangan belum menjelma di dalam pembagian penganggaran Kewenangan daerah sebenarnya cukup besar tetapi nampaknya lebih berorientasi kepada kewenangan untuk memberikan pelayanan bukan kewenangan untuk mencari dan mengoptimalkan potensi dan keuangan yang ada di daerah karena porsi pemerintah pusat masih lebih besar Kewenangan sudah jelas, tetapi tidak ada sanksi dan reward bagi daerah yang berkinerja baik dalam melakukan kewenangan itu dalam hal memberikan pelayanan dan pembangunan di daerah Kewenangan besar di fungsi tetapi secara struktur kewenangan itu pada akhirnya tetap ditentukan oleh pemerintah pusat melalui departemen yang ternyata jumlahnya lebih besar dibanding dinas yang ada di daerah, padahal seharusnya kewenangan itu berada di daerah Kewenangan tidak sesuai dengan kapasitas keuangan yang dimiliki daerah dan alokasi keuangan yang diberikan leh pemerintah pusat

10

Lampung Utara

11

Tanggamus

Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian Lapangan, 2009

Tabel 3. Kejelasan, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi 34

dan kewenangan kabupaten/kota No


1 2 3

Kategori sasi Jawaban


Kewenangang Cukup Jelas Terjadi Tumpang Tindih Lainnya.. Jumlah
Sumber : Hasil Penelitian 2009

Jumlah
91 59 150

%
60,66 39,33 100

Data pada tabel 3 menunjukkan bahwa sekalipun 60 % menyatakan pembagian kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten cukup jelas, namun dalam prakteknya masih dijumpai adanya tarik menarik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan antara Pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota. Data ini menunjukkan bahwa Di dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan selama ini masih masih muncul kebijakan yang bertentangan antara pemerintah Provinsi dengan pemerintaha Kabupaten/Kota, yang seringkali menimbulkan

disharmonisasi komunikasi juga berdampak pada masyarakat banyak. Sebagai akibat perbedaaan kepentingan dan kebijakan kabupaten/kota dengan provinsi, muncul inkonsistensi kebijakan antara pemerintah Propinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota. Akibatnya, peraturan pelaksana satu undang-undang bisa saling bertentangan. Misalnya Permenkeu 156 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Peraturan ini melarang adanya dana pndamping bagi tugas kegiatan tugas pembantuan dan dana dekonsentrasi di daerah. Sementara, pada waktu yang hampir bersamaan, ada Peraturan Menteri Pertanian dan Menteri Pendiidkan yang menghasruskan daerah harus menyimpan dana pendamping (penunjang).

Tabel 4. Alasan dan Jenis Tumpang Tindih Kewenangan

No
1

Daerah
Prov Lampung -

Alasan dan jenis Tumpang Tindih Kewenangan


PP tentang kewenangan daerah sebenarnya sudah tegas merincinya namun implementasinya masih tumpang tindih misalnya kewenangan pengawasan antara instansi pengawas di daerah dan pusat

35

No

Daerah
-

Alasan dan jenis Tumpang Tindih Kewenangan


Pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten/kota yang wilayah cakupan kewenangannya belun diatur secara spesifik baik pada urusan wajib maupun urusan pilihan Tumpang tindih misalnya Program daerah diprogramkan yang sama oleh pusat, antara instansi vertikal dengan daerah masih belum sinkron padahal lokasi dan obyeknya sama Contohnya di bidang administrasi pemerintahan misalnya mutasi pegawai banyak sekali prosedurprosedur yang tidak dijalankan baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten Di bidang kewenangan pengelolaan RSBI, SLBI, satu provinsi yang punya kewenangan, sementara sekolah punya kab/kota. Kewenangan dalam bidang mennetukan anggaran Dalam otonomi daerah seharusnya dinas di daerah lebih banyak dibandingkan departemen di pusat sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Setiap ada departemen di pusat, ada dinasi di provinsi dan dinas di daerah dengan tupoksi sama biasanya akan ada tumpang tindihm sebab ada dana APBN dan dana dekonsentrasi yang juga masuk ke daerah tanpa sepengetahuan daerah Dalam hal perizinan, masih ada tumpang tindih dan belum ada kejelasan batas kewenangan perizinan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah untuk investasi yang ada di daerah Contoh tumpang tindih bidang pertanahan. Di beberapa daerah masih dibentuk badan/bagian pertanahan padahal ada Badan Pertanahan Nasional di daerah sebagai instansi vertikal. Tarik menarik kewenangan tersebut pada akhirnya hanya merugikan masyarakat Tumpang tindih dan ketidakkonsistenan antara peraturan yang justru berada di instansi tingkat pusat sehingga daerah kebingungan Tumpang tindih dalam penyediaan fasilitas atau layanan umum kepada masyarakat. Terkadang pemerintah provinsi beranggapan di daerah tersebut memerlukan tetapi daerah justru sebaliknya. Kewenangan pengawasan dari Depdagri misalnya terdapat banyak sekali aturan mulai Permen 23, 24, 25 dan sebagainya belum termasuk pengawasan dari BPKP Di bidang kewenangan Dinas sosial misalnya antara daerah dan pusat juga provinsi tidak jelas bagian kewenangan mana yang bertanggung jawab terhadap PMKS di daerah. Di daerah sendiri juga tumpang tindih

Kota Bandar Lampung

3 Lampung Tengah -

Lampung Selatan

36

No

Daerah
-

Alasan dan jenis Tumpang Tindih Kewenangan


selain ada dinas sosial ada juga bagian sosial. Kewenangan dinas kesehatan misalnya dalam pengadaan alat medis dan sarana dan prasarana bidang kesehatan yang masih didominasi oleh pusat Terjadi tumpang tindih seperti pengelolaan bandara raden intan, penyeberangan bakauheni, THR pasir putih yang seluruhnya masuk wilayah Lamsel tetapi justru dikelola oleh provinsi. Kemudian kegiatan-kegiatan pelatihan bencana alam masih dilaksanakan oleh provinsi dan tidak diserahkan kepada lamsel. Bidang pertanahan dan bidang pajak Dalam hal penetapan prioritas pembangunan Dalam hal penetapan DAK dan DAU dan perekrutan pegawai Pemberian perintah pelaksanaan kegiatan yang masih dipegang oleh provinsi tetapi pengoprasionalnya daerah kabupaten Dalam hal infrastruktur pembangunan yang mana menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan mana yang menjadi tanggung jawab kabupaten masih tumpang tindih Pada bidang pembangunan di daerah, seperti pembangunan infrastruktur yang tertuju pada kepentingan masyarakat adalah kewenangan pusat tetapi pusat tidak memikirkan Pada penetapan jenis kegiatan dalam usulan kegiatan SKPD yang sudah dibatasi Pada pengelolaan keuangan Kewenangan pertanahan masih tumpang tindih sehingga banyak tanah adat yang akhirnya kebingungan statusnya Kewenangan pertanahan, pemerintah pusat sangat lamnbat dalam melakukan sertifikasi padahal daerah secara cepat membutuhkan itu untuk kepastian Urusan perencanaan pembangunan yang masih dibatasi nama program da kegiatannya oleh pemerintah pusat Urusan penanganan bencana, tidak ada stok di kabupaten dari pusat atau provinsi sehingga sewaktuwaktu ada bencana kita harus lapor dahulu dan mesti menunggu sementara korban bencana sangat membutuhkan itu secara cepat Urusan keuangan dan pengelolaan keuangan karena semua peraturan masih dipegang pusat ditambah dengan seringnya peraturan itu berubah Kebijakan yang diambil kabupaten belum tentu disetujui oleh provinsi Kewenangan penerimaan CPNSD ternyata tetap

5 Way Kanan -

6 Tulang Banwang -

Lamtim

37

No

Daerah
-

Alasan dan jenis Tumpang Tindih Kewenangan


diputuskan oleh pemerintah pusat Dalam perencanaan pembangunan masih sering terdapat program pembangunan yang sama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten Contoh tumpang tindih : bidang pertanahan, kesehatan, rekrutmen PNS pada penetapan formasi, jalan yang ada di kabupaten Di bidang pendidikan: standarisasi; SDA dan pajak: pembagian % daerah dan pusat. Di bidang kewenangan pemeriksaan inspektorta, provinsi telah melakukan pemeriksaan, kabupaten/kota melakukan lagi Tidak ada, namun dalam penerapannya perlu untuk diperjelas kembali Di bidang PU, proyek-proyek dari pemerintah pusat masih tumpang tindih Penyelenggaraan pendidikan misalkan kenaikan pangkat tenaga pendidik golonganIII dan IV Di luar 6 urusan yang telah di tetapkan, misal di bidang pendidikan, jika pemerintah pusat masih menangani urusan di luar 6 urusan tersebut, seharusnya di UU/PP tersebut, tidak perlu ditetapkan 6 urusan saja. Masih tumpang tindih, karena pembagian kewenangannya masih memungkinkan terjadinya multi tafsir. Seharusnya kewenangan antar tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota harus detail sekali sehingga tidak membuat bingung Bidang pekerjaan umum: beberapa subbidangpekerjaan umum yang seharusnya menjadi kewenangan /urusan pemerintah provinsi kadang masih dilaksanakan oleh pemerintah daerah, begitupun sebaliknya. Contoh: urusan jalan, karena rentang yang jauh terkadang provinsi kurang memperhatikan. Kalo memang bid kehutanan masih ingin diatur oleh pusat, mengapa tidak disebutkan saja di UU 32/2004??kenapa harus mengeluarkan UU yang bersifat sektoral?? Lembaga-lembaga pemerintah, baik yang di tingkat pusat, provinsi sd tingkat kabupaten masih ada belum keseragaman Pemerintah pusat masih enggan melepas urusan yang menjadi urusan daerah Kewenangan di bidang jlan raya, masih banyak jalan yang rusak,kewenangan maslah PNS Perencanaan, pemantauan dan pengawasan tata ruang dan pelayanan pertanahan jika dihubungkan dengan kewenangan tentang kawasan sektoral seperti

Metro

Lampung Barat

10

Lampung Utara

38

No

Daerah

Alasan dan jenis Tumpang Tindih Kewenangan


kehutanan, pertambangan dan lainnya.

11

Tanggamus

Kewenangan yang masih tumpang tindih : 1. Statistik, pusat melakukan pendataan daerah juga melakukan pendataan 2. Sosial, sasaran pembangunan bidang sosial sama antara pusat, provinsi dan kabupaten dengan data yang berbeda-beda 3. Perencanaan pembangunan, masih terjadi tumpang tindih bahwa lokasi proyek di kabupaten ketika pusat mau masuk ternyata sudah dikerjakan oleh kabupaten sehingga anggaran pusat mubazir 4. Masyarakat tidak mengetahui secara pasti tentang status jalan apakah milik kabupetan, provinsi atau pusat 5. Pertanahan, daerah sering menjadi tempat keluhan tentang lamban dan tidak jelasnya prosedur sertifikasi tanah padahal hal itu kewenangan pusat 6. Koordinasi instansi vertikal kepada pemerintah daerah rendah padahal obyek masyarakat yang dilayani berada di daerah sehingga masyarakat terkadang menjadi bingung

Sumber : Hasil Penelitian 2009

4.2.2

Kepentingan Daerah

Tabel 5. Kesesuaian Kepentingan Daerah antara UU No. 22/1999 dengan UU No. 32/ 2004 No 1 Daerah Provinsi Lampung UU No.22/1999 UU No.32/2004
Jelas lebih sesuai UU 32/2004 karena hubungan Pemda dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara & bersifat kemitraan yang maksudnya mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masingmasing dan saling mendukung bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lainnya dalam melaksanakan fungsi Lebih menjamin dalam UU 32/2004 karena DPRD tidak lebih

39

No

Daerah

UU No.22/1999

UU No.32/2004
mendominasi jalannya pemerintahan karena DPRD tidak lagi dapat memberhentikan kepala daerah yang justru lebih didasarkan pada suka atau tidak suka bukan pertimbangan rasional Lebih rasional kewenangannya. Daerah kabupaten/kota tidak terlalu berlebihan dan provinsi masih memiliki kewenangan Lebih sesuai dalam UU 32/2004 karena membatasi anggapan daerah kabupaten/kota yang seolah-olah memiliki keleluasaan kekuasaan untuk mengelola daerahnya secara bebas Tentang demokratisasi jauh lebih masu termasuk dalam menjaga keseimbangan dan sta bilitas jalannya pemerintahan Dalam konteks bagi hasil dana perimbangan oleh potensi daerah, UU 32/2004 lebih memungkinkan daerah untuk mendapat alokasi yang lebih besar dibanding dalam UU 22/1999 Lebih tepat dalam UU 32/2004 karena provinsi kembali memiliki kewennagan untuk melakukan kordinasi dan pengawasan kepada kabupaten/kota Dalam konteks NKRI, UU 32/2004 lebih sesuai karane UU 22/1999 lebih mengarah pada konsep federalismme UU 32/2004 lebih menjamin koordinasi secara bejenjang antara Pemda sebagai sustau sistem pemerintahan dalam wadah NKRI Lebih sesuai UU 32/2004 karena sudah lebih akomodatif dan daerah diberi kewenangan lebih luas dengan disertai hak dan kewajibannya dalam menjalankan otonomi selain itu lebih jelas pembagian antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

Bandar Lampung

Sebagian responden menyatakan lebih memilih UU No 22/1999 sebab kewenangan sepenuhnya diserahkan ke daerah

40

No 3

Daerah Lampung Tengah

UU No.22/1999
-Jika berbicara tentang kepentingan daerah ansich maka UU 22/1999 lebih mampu mengakomodir kepentingan daerah secara mandiri. Namun, karena kita NKRI maka tidak mungkin daerah dapat berdiri sendiri karena ada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. - Lebih sesuai dalam UU 22/1999 namun dalam pelaksanaanya terjadi kebablasan. Salah satu kelemahan UU 32/2004 yaitu terlampau banyak mengatur tentang pemilihan kepala daerah sehingga hal-hal esensial lainnya malah tidak diatur. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hampir 25% dari isi UU 32/2004. Seharusnya UU hanya mengatur hal-hal pokok saja sedangkan urusan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan teknis lainnya Lebih sesuai UU 22/1999 karena kewenangan daerah sebagai daerah otonom lebih luas

UU No.32/2004 Lebih sesuai dan bisa mengakomodasi kepentingan daerah adalah UU 32/2004 karena pada pasal UU tersebut telah dijelaskan secara rinci dan untuk kepentingan daerah selaku daerah otonom. Lebih menjamin dalam UU 32/2004 karena lebih detail dan lebih luas dalam menyeimbangkan otonomi daerah dalam kerangka NKRI

41

No

Daerah

UU No.22/1999
sehingga daerah lebih merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri bukan oleh pemerintah pusat

UU No.32/2004

Lampung Selatan

Lebih banyak UU 22/1999 yang mengakomodasi kepentingan daerah karena dalam UU 32/2004 ada beberapa batasan kewenangan daerah

Lebih sesuai UU 32/2004 karena UU tersebut sudah bisa mengakomodir kepentingan daerah tetapi harus diimbangi dengan perda-perda disesuaikan dengan keadaan daerah Sebetulnya lebih sesuai dengan UU 32/2004 yang bisa mengakomodir kepentingan daerah karena penjabarannya lebih terperinci dan diberikan kewenangan penuh mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan Lebih sesuai UU 32 tahun 2004 akan tetapi pelaksanaannya masih belum terdapat kepastian dalam arti tidak ada penafsiran ganda Lebih sesuai UU 32/2004 karena lebih mempunyai titik berat ke rakyat, dapat mewakili kebutuhan daerah (7 responden) Jelas lebih sesuai UU No 32/2004, yang lebih mengakomodasi kepentingan daerah. Dengan semangat otonomi daerah ini mewakili pembangunan daerah, tetapi perlu diadakannya pengawasan yang menyeluruh (3 responden) Dalam konteks menjaga stabilitas pemerintahan daerah, UU 32/2004 lebih menjamin terwujudnya tujuan itu UU 32/2004 lebih menjamin adanya kepentingan daerah khususnya dalam hal stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah Lebih pas UU 32/2004 karena tidak ada raja-raja kecil di daerah

Way Kanan

Tulang Bawang

Jika kepentingannya adalah otonomi seluas-luasnya maka UU 22/1999 lebih memungkinkan aspirasi daerah secara umum, namun jika kepentingannya

42

No

Daerah

UU No.22/1999
menjaga negara kesatuan maka UU 32/2004 relatif lebih memungkinkan adanya kesetaraan dan pengakuan bahwa kabupaten/kota berada di bawah koordinasi provinsi dan provinsi berada di bawah kordinasi pemerintah pusat

UU No.32/2004 Lebih sesuai UU 32/2004 karena kepala daerah dan DPRD adalah sederajat sehingga tidak bisa saling menjatuhkan oleh sebab kepentingan pribadi dan golongan terutama parpolnya Lebih sesuai dalam UU 32/2004 karena kepala dearah dipilih langsung oleh rakyat untuk menghindarkan adanya kekuasaan DPRD yang sangat kuat sementara banyak anggota DPRD yang tidak memiliki kapasitas untuk itu. Jika mengacu pada keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif, maka UU 32/204 lebih mencerminkan dan mengakomodasi kepentingan daerah secara umum dalam bingkai NKRI sehingga menghilangkan raja-raja kecil baik oleh kepala daerah maupun oleh DPRD Pembagian urusan wajib dan urusan pilihan merupakan kelebihan yang ada dalam UU 32/2004 yang dengan urusan pilihan itu daerah dapat berkreatifitas menjalankan kewenangan berdasarkan potensi dan masalah yang dihadapi oleh daerah Kewenangan besar tetapi tetap ada batasannya dalam menjaga NKRI. Oleh karena itu UU 32/2004 dianggap lebih memadai dan selaras dengan otonomi daerah yang tidak seluas-luasnya karena tetap ada batas kewenangan bagi daerah

Lampung Timur

Jika mengacu pada keleluasaan daerah, maka UU 22/1999 lebih dapat memberikan kewenangan daerah secara optimal namun kekuasaan kepala daerah dan DPRD harus samasama diatur secara ketat

Metro

Lampung

Lebih sesuai UU 32/2004 karena ada beberapa pasal ya ng telah mengalami revisi sehingga bisa mengakomodasi kepentingan daerah,tetapi ada unsurunsur dalam UU No 22/1999 perlu diadopsi, misalnya jangan sampai UU No.32 tahn 2004 menjadikan kepala daerah sebagai raja-raja kecil di daerah - UU no 32/2004 lebih sesuai karena

43

No

Daerah Barat

UU No.22/1999

UU No.32/2004
UU 22/1999 menjadikan kabupaten/kota memiliki kewenangan, salah satunya penetapan APBD yang tidak perlu disetujui oleh provinsi. Yang lebih sesuai adalah UU No.32 karena kewenangan sudah deperluas dan lebih diperjelas Cenderung hampir sama Keduanya saling mengisi, akan tetapi UU No.32 lebih spesifik pembagiannya tetapi tidak bersifat khusus hanya umum saja Secara umum UU No 32 adalah penyempurnaan dari No 22 tetapi untuk akomodasi kepentingan daerah lebih terakomodasi di dalam UU No 22 UU no. 32/2004, sebab UU NO 22/199 masih dilaksanakan asa desentralisasi dan dekonsentrasi sedangkan perda UU No 32/2004 pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan UU No.22/199 lebih sesuai dan bisa mengakomodasi kepentingan daerah. UU No 32 tahun 2004 UU ini telah mengakomodasi sesuatu yang terjadi pada perda UU No 32/2004 karena UU ini merupakan penyempurnaan dari UU 22/1999, namun demikian penerapan fungsi terhadap pelanggaran dalam pelaksanaan tidak setimpal

10

Lampung Utara

- Lebih sesuai UU 32/2004 karena UU


tersebut setiap daerah diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi dan ciri khasnya masingmasing - Lebih jelas dalam UU 32/2004 karena urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) terperinci dengan jelas yang terbagi ke dalam urusan wajib dan urusan pilihan

44

No

Daerah

UU No.22/1999

UU No.32/2004 - Secara normatif UU 32/2004 lebih


sesuai karena bisa mengakomodasi kepengtingan daerah sehingga diperlukan kebijakan /regulas lebih lanjut supaya dapat mengakomodasi kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan yang berubah - Lebih sesuai 32/2004 karena memungkinkan adanya prakarsa daerah dalam mengelola daerahnya secara optimal - Lebih sesuai UU 32/2004 karena tekah sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah

11

Tanggamus

Jika melihat kepentingan DPRD, UU 22/1999 dirasakan lebih menjamin kekuasaan DPRD sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala daerah sekaligus menjamin bahwa kepala daerah menjalankan kebijakan yang sesuai dengan harapan rakyat. Dalam persektif otonomi seluasluasnya, apa yang diatur dalam UU 22/1999 dirasakan lebih sesuai dengan kepentingan daerah yang

- Dalam menjaga keseimbangan dan


stabilitas daerah, UU 32/2004 lebih dapat menjamin tujuan itu, karena DPRD tidak serta merta dapat menjatuhkan kepala daerah yang biasanya lebih didasarkan atas kepentingan oknum DPRD bukan kepentingan rakyat. - UU 32/2004 lebih menjamin adanya kesadaran bahwa pembangunan daerah adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (eksekutif) dengan DPRD (legislatif) bukan sebaliknya yang biasanya cenderung bahwa DPRD berhak melakukan kontrol seluas-luasnya terhadap kinerja kepala daerah. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD jika kinerjanya buruk, tetapi siapa yang dapat memberhentikan DPRD karena tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk memberhentikan DPRD - Bagi provinsi UU 32/2004 lebih sesuai karena tidak menghilangkan fungsi gubernur sebagai kordinator kabupaten/kota.

45

No

Daerah

UU No.22/1999
begitu besar. Namun dalam konteks NKRI, UU 32/2004 lebih sesuai untuk tetap mengedepankan hierarki yang jelas dan tegas bahwa kabupaten/kota berada di bawah struktur provinsi dan pemerintah provinsi berada di bawah pemerintah pusat.

UU No.32/2004

Sumber : Hasil penelitian 2009

Dari hasil penelitian data pada tabel 5 menunjukkan bahwa kepentingan daerah lebih sejalan dan sesuai dengan UU No.32/2004 dibandingakan dengan UU No. 22/1999. Artinya, UU No.32 Tahun 2004 cenderung lebih bisa diterima oleh daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam pandangan informan, argumen pokok bahwa UU No.32/2004 bisa mengakomodasi kepentingan daerah karena kedudukan DPRD tidak dominan sehingga stabilitas pemerintahan bisa terjaga, menjamin keterjaminan NKRI, sumber pembiayaan dari Pusat

lebih besar dibandingkan dengan UU No.22/1999, dan kewenangan Gubernur untuk mengawasi dan berkoordinasi dengan Pemkab/Kota lebih jelas dan besar. Namun, sebagian kecil beberapa informan dari Kabupaten/Kota menyatakan bahwa kalau dilihat dari kemandirian Daerah, UU No.22/1999, dinilai lebih cocok diterapkan karena UU ini lebih cenderung memberikan proses demokratisasi pemerintahan yang lebih mandiri tanpa harus tergantung pada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Namun, diakui bahwa dengan penerapan UU No. 22/1999, koordinasi antara Daerah Kabu dan Provinsi sulit 46

bisa diimplementasikan sehingga pemerintah kab/kota dengan pemerintah prov berjalan sendiri-sendiri.

4.2.3

Intervensi Pemerintah

Tabel 6. Campur Tangan Pemerintah Dalam Proses Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Intervensi/Campur Tangan Pusat ke daerah Ya, Melakukan Campur Tangan Tidak melakukan Campur Tangan Kadang-kadang Jumlah

No 1 2 3

Jumlah 52 32 39 123

% 42,27 26,01 31,70 100

Sumber : Hasil Penelitian 2009

Dari data pada tabel 6 menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah masih cukup besar, sehingga derajat otonomi daerah cenderung masih rendah. Bentuk intervensi Pusat terhadap Daerah antara lain : dalam perencanaan pembangunan, administrasi kepegawaian, penyusunan (evaluasi Perda APBD), penetapan DAK dan DAU, rekrutmen CPNSD, dan sebagainya (lihat tabel 7). Tabel 7. Bentuk Intervensi Pusat pada Daerah No
1

Daerah
Lampung

Bentuk Intervensi Dalam peencanaan pembangunan karena jenis kegiatan dan programnya sudah ditetapkan dari pusat sehingga kreatifitas daerah menjadi lemah Pembinaan di bidang kepegawaian Dalam evaluasi APBD padahal proses penyusunan di daerah sudah dilakukan melalui tahapan yang lama dan mempertimbangkan berbagai aspek kebutuhan Intervensi langsung dalam bentuk PP dan Permen Intervensi tak langsung dalam bentuk penetapan anggaran alokasi DAK Masih kuat intervensinya misalnya dalam penyusunan

47

No

Daerah

Bentuk Intervensi
APBD karena pengaturan penyusunan APBD masih dibatasi oleh nomenklatur yang dibuat oleh pusat Dalam bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan Rekomendasi pengangkatan Sekda kabupaten/kota Terutama dalam kebijakan pengangguran Dalam bentuk penyelesaian perselisihan , kebijakan anggaran dan sumber daya manusia/aparat, atau dengan kata lain tindakan/keputusan yang menjadi kewenangan pemerintah tingkat atas Intervensi pemerintah adalah dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah selaras dengan kebijakan provinsi dan kebijakan provinsi selaras dengan prioritas nasional Perda dalam konteks kewenangan daerah tidak melampauai kewenangan tetap perlu mendapat campur tangan dari pemerintah pusat dalam rangka menjaga agar Perda itu konsisten dengan aturan tingkat atasnya. Pengalokasian dana DAK dan tugas pembantuan yang sepenuhnya masih diatur oleh pemerintah pusat Adanya keharusan dilakukannya evaluasi APBD yang sudah disahkan oleh DPRD dan pemerintah daerah oleh pejabat tingkat atasnya. Pasal 26 : mestinya tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah tidak perlu izin tertulis dari presiden sehingga tindakan dan kepastian hukum secara cepat dapat dilaksanakan Ada beberapa kewenangan dalam Otda yang masih dipegang oleh pemerintah pusat dan tidak diberikan kepada daerah : 1. Dalam penyusunan DAU pusat bisa mengurangi atau menambah DAU tersebut sesuai dengan kemampuan keuangan negara 2. di bidang kepegawaian kewenangan menetapkan golongan IV c masih merupakan kewenangan pusat sehingga memerlukan jalur birokrasi yang sangat panjang Masalah intervensi pada kewenangan pengangkatan kepala daerah. Hal ini masih terdapat campur tangan dari pihak-pihak tertentu di pemerintah pusat sehingga keputusan akhir tetap ada di pemerintah pusat. Pengaturan dan penggunaan dana DAK dari pusat Pengaturan dalam perencanaan pembangunan dan beberapa kegiatan pemerintah yang harus merujuk pada kepentingan pusat dan terprogram dari pusat Pembuatan Perda dan pelaksanaan Pilkada

2 Bandar Lampung

Lampung Tengah

Lampung Selatan

48

No
5

Daerah
Way Kanan

Bentuk Intervensi Dalam hal anggaran yaitu besar kecilnya DAK+DAU (2 responden) Tentang usulan atau program yang digulirkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban untuk melaksanakanya Program pemerintah yang dilimpahkan ke daerah (PNPM mandiri),serta BOS Selalu ikut melakukan yang dalam bahsanya disebut koordinasi, tapi pada akhirnya dengan tujuan tertentu Penentuan kebijakan pembangunan daerah Seperti kebijakan dalam hal penganggaran untuk daerah dengan kapasitas sebagai pemerintah pusat yang ada di daerah Dalam bidang pembangunan jalan-jalan lintas penghubung atau dalam hal hubungan pembangunan pemerintahan Intervensi penetapan kuota CPNSD padahal yang akan menggaji PNS tersebut adalah daerah meskipun tetap lewat DAU. Seharusnya jika demikian gaji PNS dimasukkan ssaja ke APBN Intervensi dalam penetapan nama kegiatan dan program dalam APBD Intervensi dalam urusan penetapan calon kepala daerah yang diusung parpol seharusnya parpol di daerah tidak mesti harus meminta persetujuan pusat dalam menetapkan calon kepala daerah dari parpolnya Intervensi dalam hal pengaturan bahwa Perda harus dikoreksi oleh pemerintah provinsi sehingga membuat lamban dalam pelaksanaan Perda tersebut Intervensi dalam hal menetapkan alokasi DAU padahal usulan yang dibuat daerah sudah memperhitungkan kriteria-kriteria yang diatur. Ada beberapa kewenangan dalam Otda yang masih dipegang oleh pemerintah pusat dan tidak diberikan kepada daerah : Memerlukan intervensi dalam penyelesaian konflik pilkada yang berlarut-larut di daerah Intervensi dalam pengaturan keuangan yang tidak konsisten Dalam bentuk pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai PP 20 tahun 2001 Intervensi diperlukan dalam rangka menjamin bahwa peraturan di daerah yang ada tidak bertentangan dengan peraturan tingkat atasnya Aturan dari pusat banyak memaksa daerah menyesuaikan

Tulang Bawang

Lampung Timur

Metro

49

No

Daerah

Bentuk Intervensi
padahal di daerah tersebut terlalu urgen tapi di pusat diwajibkan, misalnya bidang penyuluh pertanian Dalam hal penentuan pegawai. Tetap harus berkoordinasi dengan pusat pemerintah daerah Pelaksanaan program-program yang dibiayai APBN (bersifat Top Down) biaya-biaya yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah, sehingga sasaran kegiatan tidak tercapai Dalam hal sengketa pilkada yang kacau Fiskal, dan monitir, pertahanan keamanan dan politik Pengadaan pegawai, pembagian SDA, maslah keuangan, dll Penetapan APBD Kadang-kadang terutama dalam hal pembentukan perda yang berhubungan dengan peningkatan PAD, karena kewenangan daerah dalm penggalian PAD sangat terbatas PILGUB Lampung Penetapan atau teknis pelaksanaan Evaluasi perda Prosedur perencanaan/pengajuanDAU Campur tangan soal ketahanan dan pertahanan NKRI dan soal agama Seperti dalam penetapan RPBD untuk provinsi masih ada evaluasi mendagri dan untuk kabupaten/kota masih ada evaluasi gubernur Fasilitasi atau advokasi terhadap suatu program pembangunan di daerah Pengelolaan kekayaan alam Dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan baru yang tidak selaras dengan UU 32/2004, walaupun intervensi tersebut dibutuhkan, tapi jadinya seolah-olah percuma diterbitkan UU No 32/2004 karena belum sempurna Pemerintah pusat melalui lembaga-lembaganya yang berkompeten di pusat, tetap mengawasi seluruh kegiatan pemerintahan di provinsi dan kabupaten baik dalam penerapan kebijakan maupun realisasi pelaksanaan. Dalam proses pembentukan anggaran dan kepegawaian Kebijakan-kebijakan produk daerah sering tidak dapat berfungsi akibat tidak atau dinilai bertentangan dengan arahan-arahan sektoral/departemen Penentuan jenis pajak dan retribusi daerah Tarif pajak dan retribusi daerah Tumpang tindih dalam aturan keuangan antara Depdagri dan Depkeu Kedudukan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah mempunyai hubungan yang sifatnya saling melengkapi dengan peraturan perundang-undangan

9 Lambar

10

Lampung Utara

50

No

Daerah

Bentuk Intervensi
tingkat pusat. Artinya, daerah tidak dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri tetapi tetap harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Bentuk campur tangan atau intervensi seperti adanya pembakuan dari pusat akan model, tata cara dan sebagainya dalam berbagai urusan yang terkadang bila tidak sesuai format pusat dianggap sebagai pelanggaran Rekrutmen CPNS yang masih terlalu menunggu keputusan pusat dalam menetapkan kuota Alokasi DAU yang murni merupakan kewenangan pusat padahal jika mengacu pada kriteria yang ada sudah dapat ditentukan besarannya tetapi ternyata tetap membutuhkan intervensi pusat dalam konteks pendekatan daerah kepada pusat Diperlukan apabila ada sengketa di daerah yang berlarutlarut baik sengketa pilkada maupun sengketa antara kabupetan dengan provinsi Kadang-kadang diperlukan untuk menjamin bahwa apa yang akan dilakukan daerah sesuai dengan aturan yang ada di pusat Kadang-kadang diperlukan untuk melakukan fungsi pembinaan dalam rangka menyampaikan ke daerah tentang apa-apa yang baik di daerah lain yang mungkin dapat ditiru oleh kabupaten/daerah lainnya sehingga semua daerah melakukan hal-hal yang dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat

11

Tanggamus

Sumber : Hasil Penelitian, 2009

Tabel 8. Kemungikinan Diperlukannya Intervensi (campur tangan) No


1 2 3

Kategori sasi Jawaban


Intervensi Diperlukan Tidak diperlukan intervensi Lainnya.. Jumlah

Jumlah
63 46 4 113

%
55,75 40,70 3, 53 99,98

Sumber : Hasil Penelitian 2009

Ternyata dari pendapat responden, intervensi tersebut berdasarkan data tabel 8 masih diperlukan sementara yang menyatakan tidak setuju hanya 40,70 %. Beberapa alasan mengapa intervensi diperlukan antara lain : menghindari 51

penyimpangan yang dilakukan oleh Daerah, untuk pembinaan karier pegawai daerah, menjaga keutuhan NKRI, untuk kepentingan pengawasan, agar tidak muncul raja-raja kecil, untuk mensikronkan pembangunan, kondisi keuangan dan perekonomian daerah tidak merata, otonomi daerah masih tidak bisa dilaksanakan secara mandiri, untuk penyelesaian sengketa/perselisihan antar daerah, dan agar perda tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. (Tabel 9) Sementara, beberapa responden yang menyatakan tidak perlu dilakukan intervensi, karena alasan-alasan sebagai berikut : sepenjang kewenangan dilaksanakan secara proporsional tidak perlu campur tangan Pusat/Provinsi, Intervensi tidak diperlukan karena ada Gubenur yang memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol Kabupaten/Kota, Daerah memiliki potensi daerah dan lingkungan sosial-politik yang bisa dikelola secara mandiri tanpa harus terlibat campur tangan Pusat, dan adanya intervensi membuat Daerah menjadi tidak kreatif dan tidak produktif sehingga harus selalu tergantung pada Pusat (lihat tabel 9)

Tabel 9. Alasan Intervensi/Campur Tangan Pusat dan Provinsi No


1

Daerah
Lampung

Alasan Perlu
karena urusan pemerintah mencakup bidang politik luar negheri, pertanahan, keamanan, moneter + fiskal nasional, yustisi dan agama dikelola bersama-sama antar tingkatan dan susunan pemerintah yang bersifat konkuren sesuai dengan prinsip demokrasi yang mendorong akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat Tetap diperlukan dalam rangka mencegah adanya penyimpangan daeri daerah baik oleh sebab ketidakpahaman aturan yang kompleks maupun oleh -

Alasan Tidak Perlu


Tidak perlu sepanjang batas kewenangan antar tingkatan pemerintahan dapat dijalankan secara proporsional Tidak diperlukan karena berdasarkan UU 32/2004 daerah memiliki kewenangan atau urusan rumah tangganya sendiri secara mandiri

52

No

Daerah

Alasan Perlu
kepentingan yang masih terlihat di daerah Masih diperlukan utamanya dalam rangka pembinaan karier pegawai daerah sebagai imbas pilkada yang dilakukan secara langsung Diperlukan intervensi yaitu dalam rangka menjalankan kewenangan, intervensi dalam menjaga keutuhan NKRI dan intervensi dalam rangka memberikan pedoman, norma dan standar Diperlukan yang berkaitan dengan keuangan daerah mengingat dinamika politik dan pembahasan di lembaga legislatif terkadang melampauai aspek ketentuan yang digariskan Dalam bentuk bantuan atau apapun ketika bencana terjadi sehingga pemda tidak mampu untuk menyelesaikan Perlu untuk sinkronisasi antar daerah Diperlukan dalam bentuk pembinaan dan pengawasan dalam rangka kesinambungan pembangunan nasional Dalam rangka pembinaan, pengendalian dan pengawasan di bidang kepegawaian Perlu karena sebagai lembaga yang saling membutuhkan dalam rangaka NKRI Kebijakan pusat dapat membantu daerah yang kekurangan dana, srana dan SDM Agar tidak timbul seperti raja-raja kecil di daerah yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengatur wilayah sendiri Bidang kurikulum dan

Alasan Tidak Perlu

Bandar Lampung

53

No

Daerah

Alasan Perlu
peningkatan mutu pendidikan Masih diperlukan terutama dalam rangka pengendalian dan pengawasan keuangan Karena pemerintah daerah belum mampu melaksanakan seluruh kewajibannya tanpa bantuan sesuai dengan UU 32/2004 dari pemerintah pusat Tindakan dan keputusan terhadap masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh intern atau sesama daerah tingkat II yang berdampingan Perlu intervensi berupa subsidi pembiayaan karena pemerintah daerah masih banyak kekurangan dalam kaitan dengan pembiayaan pembangunan daerah Diperlukan dalam rangka mensinkronkan prioritas pembangunan nasional dengan pembangunan di daerah; namun hal ini harus didukung oleh konsistensi anggaran pusat ke daerah atas dasar prioritas itu Intervensi dalam makna positif perlu sebagai bentuk kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah pusat agar pemda tidak salah dalam mengartikan kewenangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Diperlukan dalam hal menetapkan pembagian anggaran antar daerah yang satu dengan daerah yang lain Intervensi pusat masih diperlukan di bidang keuangan dikarenakan daerah banyak yang belum mampu membiayai daerahnya sendiri dikarenakan PAD yang

Alasan Tidak Perlu

Lampung Tengah

54

No

Daerah
-

Alasan Perlu
masih sangat kecil Diperlukan. Alasannya kondisi keuangan dan ekonomi daerah tidak merata sehingga perlu peran pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan antar daerah Diperlukan intervensi dalam rangka menjaga keamanan daerah Tidak diperlukan intervensi sepanjang kepala daerah dapat bertindak sesuai ketentuan Tidak diperluklan supaya daerah dapat berkembang apabila diberikan keleluasaan. Yang memiliki rakyat adalah kabupaten/kota sedangkan provinsi dan pusat hanya fasilitator Perlu intervensi agar di daerah tidak muncul rajaraja kecil dan agar program nasional/pusat masih bisa dilaksanakan di daerah supaya masyarakat bisa mendukung program tersebut Perlu intervensi dalam dana DAK sehingga penggunaan bisa lebih terarah Pengaturan di bidang keuangan dan pembangunan Jadi apabila ada sengketa pilkada serahkan saja secara bebas kepada kewenangan yudikatif di daerah sehingga daerah sendiri yang akan bertanggung jawab apabila ada persoalan di kemudian hari karena daerah lebih mengetahui rangkaian persoalan tentang sengketa atau permasalahan itu. Terkadang perlu dan terkadang tidak. Dalam konteks menjaga NKRI perlu tetapi dalam konteks

Alasan Tidak Perlu

Lamsel

- Tidak diperlukan karena sudah ada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah - Tidak diperlukan karena intervensi tidak punya dasar hukum, yang ada pemerintah pusat punya kewenangankewenangan dalam hubungannya dengan pemda yang secara jelas diatur dalam UU dan PP

55

No

Daerah

Alasan Perlu

Alasan Tidak Perlu

Way Kanan

Tulang Bawang

karakteristik dan kearifan yang dimiliki daerah yang berbeda maka tidak perlu adanya intervensi itu. Perlu intervensi dalam pengelolaan anggaran lebih khusus pengelolaan anggaran yang dikucurkan dari pusat Diperlukan untuk menentukan langkahlangkah strategis pembangunan sehingga dapat selaras dan sejalan di semua daerah sehingga pembangunan secara nasional dapat tercapai Daerah masih belum mampu - Tidak perlu, pemerintah menjalankan otonomi secara daerah harus dapat mandiri sehingga perlu tetap mengontrol adanya pengawasan dan kebutuhannya sendiri pembinaan dari pusat Perlu, agar pemerintah provinsi, kab/kota tidak menjalankan kebijakannya sendiri sehingga sesuai dengan apa yang digariskan oleh pemerintah pusat Sebagai fungsi kontrol tetap memerlukan intervensi Karena masih banyak daerah yang masih harus diperhatikan oleh pemerintah pusat, dikarenakan daerah masih ada yang belum mampu berdiri sendiri secara finansial Sebagai controling pemerintah di daerah Perlu, sebagai alat pengawasan pemerintahan di daerah supaya pemerintah daerah memanfatkan dana perimbangan dari pusat benar-benar untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Diperlukan agar, peraturan - Tidak perlu intervensi di daerah tidak bertentangan karena ini adalah dengan aturan yang lebih otonomi sehingga

56

No

Daerah
-

Alasan Perlu
tinggi Diperlukan untuk menyadarkan DPRD daerah agar tidak merasa paling berkuasa dalam penetapan anggaran Perlu intervensi agar di daerah tidak muncul rajaraja kecil Intervensi agar program nasional/pusat masih bisa dilaksanakan di daerah dan supaya masyarakat bisa mendukung program tersebut Perlu intervensi karena keterbatasan SDM dan SDA di daerah Intervensi dalam aturan saja sebagai alat pengawasan pemerintah pusat ke daerah agar daerah tidak banyak melakukan penyimpangan Diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah sehingga ada mekanisme kontrol yang tetap dilakukan dalam menjaga konsistensi antar aturan Diperlukan dalam hal penyelesaian sengketa antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Intervensi tidak diperlukan sepanjang antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang menjadi kewenangannya dan saling sinergis untuk mendukung pemerintahan tingkat bawahnya Tetap diperlukan karena NKRI Diperlukan agar terdapat keserasian penyelenggaraan pemerinthan dan

Alasan Tidak Perlu


daerah lebih mengetahui keadaan, potensi dan masalah yang dihadapi oleh daerahnya - Tidak perlu intervensi supaya daerah lebih kreatif dan tidak selamanya bergantung kepada pemerintah pusat

Lamtim

- Tidak diperlukan karena pelaksanaan otonomi daerah mutlak dapat dilakukan sesuai kewenangan daerah

57

No

Daerah

Alasan Perlu
pengelolaan pembangunan daerah dan nasional dengan tidak membatasi inisiatif daerah untuk menggali potensi daerah. Diperlukan dalam peraturan perundang-undangan agar seragam di seluruh wilayah indonesia Diperlukan dalam urusan tugas pembantuan Perlu dalam hal-hal yang sangat strategis dan sensitis misalnya pethanan, agama Masih diperlukan karena sluruh keberadaan pegawai harus berdasarkan dari pusat, dan terjalin kerjasama yang baik antara daerah dan pusat Cukup grandstrateginya saja oleh pusat. Untuk pelaksanaan di daerah diserahkan ke daerah masing-masing sebagai kontrol dalam pelaksanan penyelengaraan pem daerah agar penyelengaraan pemerintah di daerah berjalan sesuai keinginan daerah masing-masing NKRI Diperlukan karena daerah belum mampu dalam menjalankan otonomi penuh, dan jika tdak ada campurtangan akan adanya otoriter di daerah Dalam rangka dukungan pendanaan khususnya bidang pendidikan masih sangat dibutuhkan Intervensi diperlukan untuk sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah Seharusnya tidak, bila pembagian kewenangan di perluas dan diperjelas sehingga daerah lebih leluasa dalam panggilan

Alasan Tidak Perlu

8 Metro -

Lampung Barat

58

No

Daerah

Alasan Perlu
PAD tanpa merugikan masyarakat. Intervensi pemerintah pusat tetap perlu dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengendalian/ pengawasan, agar pemerintah daerah tidak salah dalam melaksanakan tugas pemerintahan Tidak diperlukan, karena daerah sudah mempunyai eksekutif dan legislatif tetapi hasil itu bisa dibatalkan oleh mendagri/gubernur Diperlukan, bila kegunaannya untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan agar berjalan baik Agar NKRI ini masih tetap terjag Diperlukan sekali, mengingat keterbatasan dana dan sumber daya manusia di daerah itu yang paling utamadan mendasar Diperlukan dalam pengaturan keamanan daerah Masih sangat diperlukan , alasan utamanya untuk menjaga keutuhan NKRI Prinsip otonomi yang diterapkan bukanlah alasan bagi daerah untuk benarbenar melepaskan diri dari pemerintah pusat 100% Keterbatasan kompetensi SDM aparatur pemda dalam penyelenggaran tata pemerintahan di daearah Diperlukan, pembuatan anggaran daerah tetap harus mengacu pada kemampuan keuangan nasional, terutama yang berkaitan dengan DAU dan DAK Diperlukan khususnya untuk program-program penunjang dan penetaoan standar pelayanan minimal dalam

Alasan Tidak Perlu

10

Lampura

59

No

Daerah

Alasan Perlu

Alasan Tidak Perlu

11 Tanggamus -

upaya untuk tidak terjadinya ketimpangan yang terlalu besar antara satu daerah dengan daerah yang lain sehingga perlu disusun SPM Diperlukan secara gradual sampai akhirnya pemerintah dan masyarakat di daerah dianggap siap menjalankan kewenangan secara maksimal Diperlukan, sebab jika tidak dapat menimbulkan arogansi daerah untuk memobilisasi pendapatan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi daerah Tetap diperlukan supaya pemerintah daerah tidak lepas kontrol karena kita masih terikat dengan NKRI Diperlukan sebagai pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Sebagai batas-batas agar tidak terjadi penyimpangan Tidak diperlukan Diperlukan untuk menjamin karena setiap aturan bahwa aturan di daerah tidak bertentangan dengan aturan yang ada telah memiliki di tingkat atasnya sanksi sehingga dasar Diperlukan karena tidak ada pengawasan adalah sesuatu yang sempurna sanksi dalam peraturan itu sehingga perbaikan dari - Tidak diperlukan pemerintah tingkat atasnya karena otonomi daerah menjadi perlu untuk memberikan mendekati kesempurnaan itu Diperlukan untuk kewenangan kepada memberikan fuingsi daerah seluas-luasnya sepanjang sesuai pengawasan kepada daerah dengan UU sehingga sehingga daerah-daerah tidak kebablasan dalam mengelola intervensi pusat bukan daerah khususnya memungut dalam pelaksanaan pajak dan retribusi atas nama undang-undang atau PAD tetapi jus peraturan melainkan Diperlukan dalam kerangka dalam proses penyusunan yang tidak menjamin bahwa DAU yang memungkinkan daerah dikirimkan ke daerah

60

No

Daerah

Alasan Perlu
dipergunakan sebaikbaiknya untuk kesejahteraan masyarakat Diperlukan untuk memberikan kekhususan potensi daerah dimana kekhususan itu dapat terus dipertahankan apabila ada intervensi pusat untuk mengatur dan membantu mengelola (misalnya hutan lindung, bangunan sejarah, dan sebagainya)

Alasan Tidak Perlu


melakukan penyimpangan - Tidak diperlukan karena justru kontraproduktif dengan harapan bahwa daerah dapat kreatif

Sumber : Hasil Penelitian, 2009

4.2.4

Kedudukan dan Peranan DPRD

Tabel 10. Pendapat/Penilaian tentang DPRD Dilihat Dari Dari Sisi Kepentingan Demokrasi Di Daerah Berdasarkan UU No.32/2004 No
1

Daerah
Prov Lampung

Penilaian / Pendapat tentang DPRD Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena bahwasanya pemerintah daerah terdiri atas gubernur/bupati dan DPRD yang merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan dalam melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing demi kepentingan kesejahteraan rakyat di daerah UU 32/2004 lebih sejalan karena menghendaki agar anggota DPRD juga pro aktif bersama kepala daerah melakukan perencanaan dan pengelolaan pembangunan daerah. Lebih menjamin UU 32/2004 karena memberikan jaminan kepada DPRD untuk melaksanakan peran dan fungsi yang sesungguhnya sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah Fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan sudah cukup ideal serta kesadaran bahwa DPRD juga merupakan bagian dari Pemda dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga tidak arogan Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena semakin jelas fungsi (berfungsi sebagai check and balances) dan kedudukan DPRD dalam pemerintahan daerah, tetapi selain peran dan fungsi tersebut juga agak

Bandar Lampung

61

No

Daerah

Penilaian / Pendapat tentang DPRD


berlebihan (over acting)

Lampung Tengah

Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena DPRD tidak bisa berbuat arogan dengan memberhentikan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Lebih sejalan dengan UU 32/2004 karena demokrasi di daerah tetap harus terkontrol oleh pemerintah pusat oleh sebab kapasitas DPRD di daerah belum seluruhnya memahami seluk beluk fungsi dari DPRD secara maksimal (legislasi, anggaran, pengawasan dan aspirasi) UU 32/2004 lebih lengkap, jelas dan tegas dalam mengatur tugas dan wewenang DPRD, hak & kewajiban, alat kelengkapan DPRD termasuk larangan dan pemberhentian anggota DPRD Lebih sejalan dalam UU 32/2004 karena memuat secara jelas dan konsisten tentang kedudukan dan fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban DPRD. Disebutkan pula bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, pengawasan dan penyalur aspirasi Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena DPRD tidak lagi memposisikan kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD sehingga DPRD tidak bisa berbuat arogan. Lebih sejalan sebagai fungsi kontrol dan monitoring pembangunan di daerah UU 32/2004 lebih menjamin adanya stabilitas daerah karena DPRD tidak serta merta dapat memberhentikan kepala daerah yang terkadang lebih didasari kepentingan politis Lebih pas UU 32/2004 karena kedudukan DPRD dan kepala daerah sejajar dan tidak bisa saling menjatuhkan Lebih sejalan UU 22/1999 karena dengan UU 32/2004 semakin mempertegas tidak ada lembaga legislatif di daerah Lebih sejalan UU No 32/2004, sebagai mitra yang mendukung kelancaran pemerintah yaitu hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah mitra kerja secara harmonis (5 responden) Hanya sebagian kecil saja dari DPRD karena perilaku anggota DPRD tidak pernah berubah dari masa ke masa terutama pada periode terakhir Kebanyakan dalam kepentingan parpol atau pribadi setiap anggota dewan lebih terlihat dalam pembahasanpembahasan di lembaga Ya, karena DPRD yang ada di dewan kehormatan adalah wakil rakyat untuk memenuhi kepentingan rakyat Ya, dalam konteks menghilangkan dominasi DPRD terlalu besar

Lamsel

Way Kanan

62

No
6

Daerah
Tulang Bawang

Penilaian / Pendapat tentang DPRD Lebih sejalan dalam UU 32/2004 sebab dahulu banyak anggota DPRD yang semau-mau dalam melakukan penetapan gaji dan tunjangan untuk DPRD sehingga dana daerah banyak terserap hanya untuk membiayai DPRD yang ternyata tidak banyak memberikan manfaat untuk masyarakat Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena DPRD tidak lagi memposisikan bahwa kepala daerah harus bertanggung jawab kepada DPRD Sesuai dalam UU 32/2004 DPRD tidak bisa berbuat arogan dengan menjadi penguasan bahkan kepala daerah takut dengan DPRD UU 32/2004 membuat DPRD melemah karena tidak memiliki kewenangan untuk memilih dan memberhentikan kepala daerah. sejalan dalam UU 32 tahun 2004 karena meminimalkan dominasi DPRD yang terlalu besar sehingga DPRD tidak hanya mengedepankan kepentingan individu dibanding kepentingan umum dan masyarakat Lebih sejalan dalam UU 32/2004 karena ada keseimbangan antara kepala daerah dan sebagai penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD sebagai lembaga yang setara. Tidak ada yang saling mendominasi dengan peran masingmasing ( 4 responden ) Lebih sejalan karena memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dengan batasan yang tidak memungkinkan adanya arogansi Secara prinsip lebih sesuai dengan UU 32/2004 sehingga DPRD tidak serta merta merasa paling berkuasa juga mencerminkan kepentingan masyarakatr bukan hanya kepentingan parpol nya Lebih sejalan UU No 32/2004,karena dalam UU No 22/1999 posisi DPRD terlalu kuat sehingga dapat menimbulkan konflik dan ketidakstabilan jalannya pemerintahan di daerah, selain itu dalam UU ini posisi DPRD lebih dominan daripada pemerintah daerah legislatif heavy sehingga tidak sejajar dan banyak anggotanya yang bersikap arogan ke eksekutif Lebih sejalan UU NO 32/2004 karen alegilasi, anggarananggaran, dan pengawasan pada UU ini kepentingan demokrasi daerah lebih nyata sejalan dengan UU 32/2004 karena peran dan fungsinya kini tidak sangat dominan lagi seperti dalam hal penetapan APBD

Lamtim

Metro

Lampung Barat

63

No

Daerah -

Penilaian / Pendapat tentang DPRD


Lebih sesuai UU No 32/2004 karena pengaturan antara persetujuan DPRD dan pengawasan DPRD sudah lebih sesuai dan lebih jelas dan lebih demokratis UU No. 32/2004 lebih sejalan karena mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, pada UU No. 22/1999, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, yang pelaksanaanya sering terjadi penyalahgunaan wewenang No. 22/1999, karena dalam UU ini peran DPRD lebih besar, dan kepala daerah berada dibawah DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Peran dan fungsi DPRD lebih sejalan dengan UU NO 22/1994 karena disana diatur tentang peranan DPRD lebih punya peran Lebih sejalan dengan UU No 32/2004 karena telah sejalan dengan keinginan daerah telah banyak sendi-sendi demokrasi yang dibangun dari UU tersebut contohnya PILKADA langsung Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena mitra sejajar pemda dalam penyusunan program pembangunan dan posisi DPRD dan kepala daerah setara sehingga tidak saling menjatuhkan ( 5 responden) Lebih sesuai dalam UU 32/2004 karena gubernur dan bupati/walikota tidak mesti harus bertanggung jawa kepada DPRD karena gubernur dan bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat Lebih sesuai karena selain posisi yang setara dengan kepala daerah, DPRD juga memiliki kewennagan legislasi, anggaran dan pengawasan Jika dapat dijamin bahwa anggota DPRD adalah orangorang yang benar-benar memiliki kualitas dan pengalaman serta tidak memiliki kepentingan emosional maka UU 22/1999 lebih dapat menjamin demokrasi di daerah karena kepala daerah akan lebih hati-hati dalam menjalankan kebijakan karena DPRD sewaktu-waktu dapat memberhentikan kepala daerah. Lebih sesuai dengan UU 22/1999 karena makna otonomi adalah memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya secara mandiri sepanjang DPRD dan kepala daerah sama-sama menjalankan fungsinya secara ideal dan tidak memposisikan sebagai penguasa tunggal di daerah Lebih sesuai dalam UU 22/1999 karena provinsi tidak perlu terlalu turut campur urusan daerah kabupaten sehingga tidak perlu ada DPRD di tingkat provinsi Lebih sesuai dalam UU 32/2004 untuk menghindarkan adanya raja-raja kecil di daerah yang selama ini terjadi

10

Lampura

11

Tanggamus

64

No

Daerah -

Penilaian / Pendapat tentang DPRD


Lebih sejalan yang diatur dalam UU 32/2004 karena DPRD tidak lagi memposisikan kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD sehingga DPRD tidak bisa berbuat arogan dan semau-mau Lebih sesuai dalam UU 32/2004 karena merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya.

Sumber : Hasil Penelitian 2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa kedudukan dan peranan DPRD hampir sebagian besar menyatakan lebih cocok diatur dalam UU No.32 tahun 2004 dibandingakan dengan UU No.22/1999. Beberapa alasan dan pertimbangan (lihat tabel 10) lebih cocok diatur dalam UU No. 32/2004, antara lain : kedudukan dan peran DPRD lebih jelas, tidak dominatif, bisa menjamin hubungan yang harmonis dengan kepala daerah, tidak bisa menjatuhkan kepala daerah, bisa menjamin stabilitas dan menghindari konflik kelembagaan antara DPRD dan Pemda, dan bisa melakukan peran mitra kerja dengan pemda (lihat tabel 10)

Tabel 11. Hubungan Antara DPRD Dengan Kepala Daerah No Daerah 1 Provinsi Lampung Hubungan DPRD dengan Kepala daerah Sudah harmonis, karena dijelaskan dalam UU 32/2004 bahwa kepala daerah maupun DPRD mempunyai peran dan fungsi masing-masing dan merupakan hubungan kerja dalam membuat kebijakan dalam pembangunan daerah yang efektif bukan lawan atau pesaing dalam melaksanakan tugas itu Cukup harmonis dalam konteks hubungan kerja,. Ketidakharmonisan terkadan terjadi karena latar belakang politik yang berbeda tetapi secara umum tidak menggangu jalannya pemerintahan Belum harmonis, masih kental dengan kepentingankepentingan partai dari pada membangun pemerintahan Harmonis secara prosedural , namun secara substansial sebenarnya tidak harmonis karena hubungan antar keduanya lebih dodominasi oleh politik dagang sapi. Ya sepanjang DPRD melaksanakan fungsi sebagaimana yang diharapkan dengan meminimalkan kepentingan golongan dan pribadinya.

65

No

Daerah -

Hubungan DPRD dengan Kepala daerah


DPRD masih sering tidak bisa menempatkan posisinya secara tepat sesuai tugas dan kewajibannya sehingga kualitas anggota DPRD masih perlu ditingkatkan Seharusnya harmonis kalau ada yang tidak harmonis maka antara DPRD atau kepala daerah pasti mengedepankan kepentingan kelompoknya Hubungan kurang harmonis karena kepentingan politik seharusnya kedua belah pihak komitmen untuk melayani masyarakat Cukup efektif dan harmonis, bekerja sesuai dengan bidangnya dan berfungsi sebagai pengawas dalam pelaksanaan kebijakan pembngunan Cukup harmonis tergantung masing-masing lembaga memahami fungsi dan peran serta kedudukannya Hubungnnya biasa saja, karena kewenangan DPRD sudah banyak yang dipangkas DPRD terlalu banyak campur tangan khususnya berkaitan dengan urusan teknis di pemerintahan misalnya penunjukan pejabat daerah Harmonis dan tidak harmonis tergantung kepentingan apa yang diharapkan oleh DPRD, namun kasus di Lampung Timur jangan sampai terulang akibat berlarur-larutnya ketidakharmonisan antara kepala daerah dengan DPRD DPRD cenderung hanya pandai bicara sedangkan pelaksanaan di lapangan belum tentu sesuai dengan apa yang disampaikan DPRD terlalu banyak campur tangan dalam mengontrol urusan-urusan pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan eksekutif Kurang harmonis, karena masih terjadi anggota legislatif tidak mengerti fungsinya dan berlebihan dalam mencampuri kebijakan Pemda Secara institusi cukup harmonis dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran yang dilakukan DPRD bersama dengan pemerintah kabupaten, namun biasanya oknum-oknum anggota DPRD yang membuat hubungan itu terkadang ada kepentingan di balik hubungan yang terjadi Relatif kurang harmonis Tidak. Karena kadang-kadang untuk memutuskan kebijakan lebih dominan oleh kepentingan politik bukan memikirkan kepentingan rakyat sehingga terdapat kelompok-kelompok tertentu Ya. Terkadang cukup baik dan harmonis asalkan mereka memahami tupoksinya masing-masing

Bandar Lampung

Lampung Timur

4 Lamsel -

66

No

Daerah -

Hubungan DPRD dengan Kepala daerah


DPRD terlalu banyak campur tangan dalam mengontrol urusan-urusan pemerintahan apalagi yang sifatnya politis Cukup harmonis terlihat segala perencanaan yang diusulkan bupati melalui sidang sehingga dapat disetujui oleh dewan. Artinya segala pembangunan diketahui dewan Khusus di Lampung Selatan, hubungan kepala daerah dengan DPRD sudah berjalan harmonis. DPRD bekerja sebagaimana mestinya dan tidak juga campur tangan dan tidak juga lemah dalam mengawasi jalannya pemerintahan Dalam konteks fungsi pengawasan sudah cukup baik, akan tetapi fungsi DPRD sebagai wakil rakyat dalam rangka menyusun dan memprioritaskan anggaran pembangunan belum begitu maksimal. Fungsi legislati belum maksimal karena kemampuan pemerintahan dan pengalaman anggota DPRD masih kurang Sebenernya sudah harmonis, tapi dalam prakteknya DPRD terlalu banyak mencampuri masalah-maslah yang sifatnya teknis yang sebenarnya secara substansi mereka tidak terlalu paham. Perlu, karena harus ada kontrol dari DPRD tentang pembangunan daerah serta jalannya pemerintahan. Dan selama ini hubungan ini sudah baik Sudah cukup baik, meski DPRD lebih kritis tetapi dengan tujuan baik, sebagai pengontrol dari eksekutif Lebih banyak tidak harmonis karena kepentingan politik sudah ikut didalamnya; Sejauh ini harmonis dengan DPRD dapat sejalan dengan program pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah Cukup harmonis sehingga semua RAPBD di Tulang Bawang dapat dibahas bersama-sama Harmonis tetapi nampaknya karena kepentingan kedua belah pihak dapat sama-sama terakomodir Harmonis karena bupati nampaknya sanggup memenuhi semua kepentingan DPRD sehingga DPRD juga mempermudah urusan-urusan eksekutif Tidak harmonis jika ada kepentingan DPRD yang tidak dapat dipenuhi oleh eksekutif Cukup harmonis. Hanya terkadang DPRD tidak terfokus dalam menontrol pemerintah daerah dan pembangunan Cukup harmonis, tetapi sampai saat ini DPRD belum

Way Kanan

Tulang Bawang

Lampung Tengah

67

No

Daerah

Hubungan DPRD dengan Kepala daerah


maksimal dalam melaksanakan kontrol terhadap pemda dan pembangunan, banyak DPRD yang hanya mengejar kepentingan pribadi dan kepentingan parpolnya DPRD terlalu banyak campur tangan dan mengontrol urusan pemerintahan dam pembangunan meskipun secara filosofis pengontrolan itu tidak didasarkan atas pengetahuan dan argumentasi yang kuat Masih banyak terjadi inkonsistensi antara pembagian peran antara eksekutif dan legislatif yang pada akhirnya dominasi legislatif nampak lebih dominan Kurang harmonis karena tidak profesionalnya anggota DPRD Cukup harmonis, sangat tergantung masing-masing pihak memahami tugas masing-masing, terkesan lebih kepada deal2 tertentu untuk menjaga keharmonisan tsb sehingga dapat membangun daerah dengan efektif dan efisien Kurang efektif, karena DPRD saat ini banyak campur tangan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah Cukup harmonis, tapi tergantung dari kepala daerahnya. Apakah dia merupakan pembina/pemimpin partai mayoritas di DPRD Cukup harmonis, namun dalam penyusunan APBD kewenangan DPRD terlalu luas dan agar proses penyusunan di persingkat saja. Peran DPRD cukup persetujuannya saja. Cukup harmonis, namun fungsi DPRD sebagai wakil rakyat perlu lebih diperkuat Berjalan dengan baik Harmonis dalam DPRD bekerja sesuai dengan tipoksinya Cukup harmonis, namun terkadang DPRD sering kebablasan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya contohnya dalam hal pengawasan hasil pembangunan sampai kemasalah teknis Sangat baik sekali khususnya di lambar, karena segala kebijakan yang pro rakyat seluruhnya didukung oleh DPRD Seringkali DPRD bersikapover acting terhadap kepala daerah, sehingga sering terjadi dishrmonisasi dan terlalu banyak campur tangan dalam mengontrol urusan-urusan pemerintaha dan pembangunan Masih kurang harmonis, karena dPRD terlalu banyak campur tangan dalammengontrol urusan pemerintahan dan pembangunan Tidak terlalu harmonis. Karena DPRD terlalu campur

8 Metro -

9 Lampung Barat -

10

Lampura

68

No

Daerah

Hubungan DPRD dengan Kepala daerah


tangan dalam mengontrol urusan pemeirntahan dan pembangunan Sudah harmonis terbukti dengan LkPJ bupati selalu diterima oleh DPRD dan pengesahan RAPBD berjalan lancar Terjadi pasang surut tergantung dalam konteks apa hubungan itu terjalin Cukup harmonis. Jika muncul konflik antara eksekutif dan legislatif itu hanya dinamika demokrasi dan proses untuk menuju idealisme demokrasi DPRD lebih dodominasi oleh kepentingan pribadi dan golongan Harmonis, karena semua kebijakan pemda baik anggaran maupun pembangunan merupakan hasil pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif Tidak harmonis. Karena kadang-kadang untuk memutuskan kebijakan lebih dominan oleh kepentingan politik bukan memikirkan kepentingan rakyat sehingga terdapat kelompok-kelompok tertentu dalam DPRD sendiri Tidak harmonis karena kepala dinas juga takut kepada DPRD di sisi lain dia juga takut kepada kepala daerah sehingga terlalu banyak urusan-urusan yang tidak substansial dihabiskan dengan DPRD DPRD tidak kompak dan cenderung memperjuangkan parpol dan kelompoknya sedangkan eksekutif lebih kompak Harmonis, tidak pernah ada konflik berarti dibandingkan Lampung Timur misalnya

11 Tanggamus -

Sumber : Hasil Penelitian, 2009

Data pada tabel 11 menunjukkan bahwa dengan UU No.32/2004, hubungan DPRD dengan kepala daerah bisa berjalan secara harmonis dibandingkan dengan UU No.22/1999. Ketidakharmonisan ini disebabkan karena karena latar

belakang politik yang berbeda tetapi secara umum tidak menggangu jalannya pemerintahan, masih kentalnya kepentingan partai, terjadi politik dagang sapi, adanya kepentingan politik yang sifatnya personal, DPRD terlalu banyak

campur tangan dalam mengontrol urusan-urusan pemerintahan, karena masih terjadi anggota legislatif tidak mengerti fungsinya dan berlebihan dalam mencampuri kebijakan Pemda, ada kepentingan DPRD yang tidak dapat dipenuhi oleh eksekutif dan DPRD belum profesional. 69

4.2.5

Pemilihan Kepala Daerah

Tabel 12. Pendapat apakah kepala daerah dan wakil kepala daerah lebih baik dipilih oleh DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat (Pilkada)? No 1 Daerah Prov Lampung Alasan Dipilih Rakyat
Lebih baik dipilih oleh rakyat, karena pada dasarnya semokrasi dalam artian dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Selain itu prinsip demokrasi mendorong akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat khususnya di sini adalah daerah

Alasan Dipilih DPRD


Lebih baik dipilih oleh DPRD saja dengan catatan anggota DPRD adalah wakil rakyat yang cerdas dan amanah termasuk tidak terlalu membutuhkan banyak dana Untuk provinsi dipilih oleh DPRD dan untuk kabupetan/kota dipilih langsung oleh rakyat

Bandar Lampung

Untuk bupati/walikota dan wakilnya sebaiknya dipilih rakyat, sedangkan gubernur/wakil dipilih oleh pusat sebagai perwakilan pusat Dipilih oleh rakyat, karena kalau dipilih oleh DPRD akan terjadi politik uang, dan untuk menjamin otonomi daerah karena pemilihan secara langsungmemberikan ruang kepada masyarakat untuk menentukan siapa pemimpin yang mereka inginkan sebagai perwujudan demokrasi yang memang hak itu ada di tangan masyarakat Dipilih langsung oleh rakyat sehingga kedekatan antara pemimpin dengan rakyat dapat terjalin namun dengan mekanisme yang disederhanakan; Bupati/walikota sebaiknya

Lebih baik dipilih oleh DPRD selain tidak memakan waktu yang lam adan biaya yang besar, kepala daerah terpilih lebih cepat dapat melaksanakan tugas dan fungsi tanpa terhambat proses hukum dari pihak yang kalah dan tidak puas akan hasil pilkada :

Lamteng

- Lebih baik dipilih oleh


DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD) ketika kebutuhan pembangunan daerah yang lain masih sangat besar dan mendesak

70

No

Daerah

Alasan Dipilih Rakyat


dipilih langsung oleh rakyat, namun gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat karena gubernur adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah Bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat Gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, dan di tingkat provinsi tidak perlu ada DPRD

Alasan Dipilih DPRD


sehingga lebih praktis dan ekonomis, hal ini juga ditambah oleh argumentasi bahwa konstituen atau pemilih masih bersifat pragmatis :

Lamsel

Langsung oleh rakyat (pilkada langsung) karena DPRD belum tentu mewakili suara rakyat dengan beberapa catatan misalnya hanya gabungan parpol yang memiliki 35% suara di DPRD yang boleh mencalonkan sehingga Pilkada tidak perlu dua putaran sehingga menghemat anggara Untuk kabupaten/kota kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan gubernur dipilih DPRD atau ditunjuk pusat karena merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah Kalau kepentingannya demokrasi akan lebih baik dipilih langsung, namun kalau kepentingannya adalah penghematan anggaran maka lebih baik dipilih DPRD. Lebih baik langsung oleh rakyat, karena lebih demokrasi tetapi jangan menghabiskan biaya yang besar Lebih baik dipilih rakyat, tetap pegawai negeri (TNI, POLRI,

Lebih baik dipilih oleh DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD) ketika kebutuhan pembangunan daerah yang lain masih sangat besar dan mudah dalam pengawasan jika terjadi money politik : -Lebih baik ditunjuk oleh pemerintah pusat. Karena baik pilkada langsung maupun dipilih oleh DPRD akan terjadi banyak kesenjangan dalam memimpin, jadi lebih mementingkan kelompok daripada kepentingan daerah

Way Kanan

Kalau diplih oleh rakyat langsung akan habiskan dana besar, kalau dipilih DPRD saya rasa tidak tepat sasaran, jadi ada baik dan buruknya

71

No

Daerah

Alasan Dipilih Rakyat


PNS) tidak boleh memilih untuk membuat kondusif pemerintah yang sedang berjalan Lebih baik tetap Pilkada Langsung karena lebih demokratis dan belum tentu DPRD mewakili rakyat secara keseluruhan

Alasan Dipilih DPRD

Tulang Bawang

Lebih baik dipilih oleh DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD) Lebih baik dipilih DPRD karena masyarakat belum siap Lebih baik dipilih DPRD karena jika ada money politik masyarakat tidak akan terkena hal serupa ( 1responden) Lebih baik DPRD saja asal dengan pemilihan yang tertutup Lebih baik DPRD supaya masyarakat tidak terkotakkotak dan kekhawatiran munculnya konflik di masyarakat dapat dihindari

Lamtim

Lebih baik dipilih langsung oleh rakyat untuk menjamin terjadinya demokrasi dalam Pilkada Untuk pilkada gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, sedangkan pilkada kabupaten/kota dipilih langsung oleh rakyat untuk azas demokrasi

Lebih baik dipilih oleh DPRD karena lebih hemat, lebih efisien dan menghindari konflik di masyarakat bawah akibat perbedaan pilihan, lebih praktis dan tidak terancam disintegrasi dan sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Lebih baik dipilih oleh DPRD dalam rangka menghindarkan keterlibatan PNS dalam tim sukses calon sehingga berimplikasi pada stabilitas birokrasi dan penempatan pejabat pasca Pilkada Lebih baik dipilih oleh DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD)

Metro

Lebih baik langsung oleh rakyat, agar apa yang menjadi aspirasi masyarakat langsung

72

No

Daerah

Alasan Dipilih Rakyat


dapat tersalurkan dan mereka teramsuk yang akan menikmati hasil pembangunannya (5 responden) Gubernur dipilih oleh presiden, wagub dipilih oleh gubernur, bupati/walikota dipilih oleh rakyat, wakilnya dipilih oleh bupati/walikota

Alasan Dipilih DPRD


ketika kebutuhan pembangunan daerah yang lain masih sangat besar dan mudah dalam pengawasan jika terjadi money politik

Lampung Barat

Lebih baik pilkada, karena unsur money politiknya bisa diminimalkan, menurangi krisis legitimasi Gubernur dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan bupati/walikota di tunju oleh gubernur dengan persetujuan DPRD Kab/kota Baik dipilih oleh rakyat, namun tentunya masih perlu fit dan proper test oleh semacam lembaga, sehingga rakyat memilih menang orang yang benar-benar kapabel Langsung oleh masyrakat sehingga tidak ada money politik, dan karena kita negara demokrasi jadi rakyatnya yang berkuasa bukan kelompok golongan

Dipilih DPRD, karena DPRD pemimpin wakil rakyat, selain itu untuk menghemat biaya Karena DPRD merupakan wakil rakyat, maka seyogyangan kepala daerah dipilih oleh DPRD Lebih baik dipilih oleh DPRD mengingat political cost yang besar bila pemilihan langsung, hanya saja perlu dikaji ulang tentang syarat pencalonan melalui parpol, hendaknya dibuka seluas-luasnya calon dari independen Lebih baik dipilih oelh DPRD, karena berkaca dari pengalaman pilkada yang sudah , jarang sekali yang membawa manfaat, lebih banyak membuat konflik, yang bahkan dapat merugikan daerah itu sendiri. Dipilih DPRD karena mindset masyarakat kita saat ini belum siap untuk melakukan pilkada langsung dalam konteks menghindari pragmatisme dan kemunginan konflik di daerah Dipilih oleh DPRD untuk menghindarkan adanya rajaraja kecil dan meningkatkan stabilitas politik di daerah

10 Lampung Utara
Dipilih oleh rakyat langsung sebagai cerminan demokrasi

73

No

Daerah

Alasan Dipilih Rakyat

Alasan Dipilih DPRD


Dipilih oleh DPRD untuk menghindari keributan di masyarakat dan menghindarkan pengkotakkotakan PNS Untuk saat ini lebih baik dipilih oleh DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD) Lebih baik dipilih oleh DPRD dilihat dari penghematan anggaran daerah (APBD)dan kebutuhan pembangunan daerah dan masyarakat masih sangat besar dan mudah dalam pengawasan jika terjadi money politik

11

Tanggamus

Lebih baik dilakukan secara langsung tetapi dengan mekanisme yang sederhana dan dilakukan serentak dengan pemilu-pemilu lainnnya sehingga lebih hemat anggaran Lebih baik dipilih langsung karena akan dapat menghasilkan pimpinan yang dikenal masyarakat dan memenuhi unsur demokrasi Gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat ditunjuk oleh presiden, sedangkan bupati/walikota dipilih secara langsung

Sumber : Hasil Penelitian 2009

Kepala Daerah dipilih oleh rakyat secara langsung (pilkada lansung) dan Kepala Daera dipilih DPRD cenderung memiliki argumen yang sama-sama cukup berimbang. Mereka yang setuju dengan pemilihan langsung oleh rakyat seperti yang berlaku sekarang ini karena pertimbangan pelaksanaan demokrasi jeuh lebih baik dilakukan secara langsung, karena DPRD tidak menjamin memenuhi keterwakilan rakyat, rakyat punya akses langsung untuk menentukan pemimpinnya, menghindari terjadinya praktek politik uang, dsb (lihat tabel 11).

Namun, responden juga mengajukan beberapa alternative dan varian dalam pemilihan kepala daerah antara lain : 74

(a) Gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat ditunjuk oleh presiden, sedangkan bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat; (b) Bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat Gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, dan di tingkat provinsi tidak perlu ada DPRD (c) Untuk pilkada gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, sedangkan pilkada kabupaten/kota dipilih langsung oleh rakyat untuk azas demokrasi (d) Gubernur dipilih oleh presiden, wagub dipilih oleh gubernur,

bupati/walikota dipilih oleh rakyat, wakilnya dipilih oleh bupati/walikota

Sementara mereka yang setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD karena pertimbangan efsiensi anggaran, agar tidak terjadi keributan di masyarakat, masyarakat belum siap untuk melakukan pemilihan secara langsung, dan proses pilkada oleh DPRD tidak memerlukan waktu yang lama. (lihat tabel 12)

4.2.6

Pembuatan Perda

Tabel 13. Perlu Tidaknya Evaluasi Proses Pembuatan Perda oleh Pemerintah Pusat No 1 Daerah Prov Lampung Alasan Perlu
Perlu intervensi agar Perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan di atasnya serta tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Masih perlu dalam kaitan menjamin bahwa daerah telah menjalankan prosedur penyusunan Perda sesuai dengan aturan yang ada Sangat perlu dalam rangka pembinaan dan pengawasan demi NKRI Diperlukan untuk menghindari

Alasan Tidak Perlu


Tidak perlu karena yang tahu permasalahan di daerah adalah daerah sendiri Tidak perlu evaluasi karena menghambat pelaksanaan Perda

75

No

Daerah

Alasan Perlu
adanya permasalahan hukum di kemudian hari Perlu agar tidak menggangu kepentingan nasional Perlu agar lebih menghasilkan output yang diharapkan Perlu dalam rangka menciptakan sinergi dan sinkroniasai antara pusat dan daerah Perlu, agar terdapat kontrol aparat, perda tersebut berkembang dengan pesat atau tidak, dan untuk menghindari tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi Cukup dievaluasi oleh pemerintah propinsi saja Ya, agar tidak bertentangan dengan UU diatsnya Selama ini sudah dievaluasi, yang menjadi masalah pembuatan perda kurang memperhatikan substansi untuk itu perlu draf akademi atau seminar-seminar Diperlukan dalam konteks keselarasan aturan antara pusat dan daerah karena terkadang banyak aturan tingkat pusat yang tidak tersosialisasi secara maksimal ke bawah Perlu sekali mengingat SDM di daerah terutama di lembaga legislatif masih perlu ditingkatkan lagi Perlu karena meskipun Perda dibuat oleh daerah namun tetap perlu dilakukan evaluasi oleh pemerintah pusat dalam rangka peningkatan kualitas Perda bukan untuk pengekangan bagi daerah Masih perlu sebagai kontrol dengan memberikan kriteria evaluasi yang jelas Perlu tetapi dalam bentuk saran yang mengikat serta untuk

Alasan Tidak Perlu

Bandar Lampung

Tidak perlu karena pusat belum tentu lebih memahami karakteristik akan wilayah dan apa yang lebih dibutuhkan dari wilayah tersebut

Lampung Tengah

Tidak perlu karena azas otonomi daerah memungkinkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri Tidak perlu karena Perda sangat penting bagi daerah dan daerah yang lebih mengerti kondisi daerah

76

No

Daerah

Alasan Perlu
menghindari penyimpangan yang dilakukan kepala daerah demi kepentingan prbadi dan golongan Perlu agar antara peraturan yang ada di daerah tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada di tingkat atasnya (provinsi dan pusat) karena banyak daerah yang membuat Perda dengan kebablasan. Perlu untuk mensinkronkan Perda dan PP supaya tidak saling bertabrakan Perlu untuk mencegah kebijakan yang tumpang tindih dan kebijakan yang melanggar aturan di atasnya Perlu untuk mengantisipasi kesalahan terutama mengenai wewenang daerah Ada kasus-kasus eksekutif mendapat kontrol dari DPRD dan adakalanya DPRD kalah dominan dari kepala daerah Sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi tidak perlu ada kontrol dari pusat Perlu, untuk menghindari pertentangan antara peraturan yang dibuat oleh negara dengan perda Kadang-kadang perlu, kareana perda yang dibuat banyak tidak sesuai

Alasan Tidak Perlu

Lampung Selatan

Tidak perlu, karena pemerintah daerah yang tahu daerahnya. Pemerintah pusat cukup memasang rambu-rambu agar tidak tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat Tidak perlu. Perda itu adalah peraturan daerah, artinya sebelum ada peraturan daerah pasti ada peraturan pemerintahnya Tidak perlu, karena DPRD juga memiliki kewenangan dan fungsi legislasi (membuat undangundang) di daerah Tidak begitu perlu karena peraturan daerah dibuat untuk menyesuaikan kondisi daerah masing-masing yang dianggap perlu/penting (2 responden) Tidak, karena daerah memiliki DPRD untuk mengurus atau merumuskan perda dapat dioperasionalkan Tidak perlu, karena cukup sampai pemerintah daerah

Way Kanan

77

No

Daerah

Alasan Perlu

Alasan Tidak Perlu


dan DPRD yang menentukan efektif atau tidak perda tersebut dibuat

Tulang Bawang

Perlu karena kualitas SDM di daerah belum seluruhnya bagus sehingga dikhawatirkan justru Perda tersebut tidak komprehensif Perlu dalam rangka pengawasan dan pembinaan Perlu agar antara peraturan yang ada di daerah tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada di tingkat atasnya (provinsi dan pusat) karena banyak daerah yang membuat Perda dengan orientasi hanya pendapatan bukan pelayanan. Diperlukan mengingat di daerah SDM nya yang memahami peraturan perundang-undangan terbatas sehingga dalam pembuatan Perda tidak maksimal Diperlukan evaluasi oleh pemerintah pusat, hal ini dimaksudkan agar perda yang dihasilkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan sekaligus sebagai bahan pembinaan dan pengawasan Perlu supaya tidak berbenturan dengan peraturan tingkat atasnya, tidak tumpang tindih dan terdapat evaluasi mengenai isi dari Perda tersebut Perda kabupaten/kota cukup dievaluasi di provinsi. Hanya tahap-tahap perlu ditinjau lagi, selama ini sudah ditetapkan DPRD baru dievaluasi sehingga kemudian harus dirubah lagi. Ke depan koordinasi dari tahap pembahasan bersama provinsi Sangat perlu agar rakyat jangan sampai menjadi sapi perahan

Tidak perlu karena akan memperlambat pelaksanaan Perda tersebut Tidak perlu karena DPRD juga memiliki hak legislasi sehingga ia juga berwenang membuat aturan (Perda) tanpa harus dievaluasi oleh pemerintah pusat

Lampung Timur

Tidak perlu sepanjang Perda yang disusun telah mengacu pada UU dan PP Tidak perlu, namun laporan berapa jumlah Perda dan substansi Perda tetap harus dilaporkan ke pemerintah pusat Tidak perlu ada evaluasi dari pusat karena pengesahan perda telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD dan DPRD juga memiliki hak legislasi artinya memiliki kewenangan untuk menyusun peraturan

78

No

Daerah

Alasan Perlu
dengan alasan otonomi daerah dengan menerbitkan retribusi yang membebani masyarakat Perlu karena tanpa pengawasan kemungkinan Perda akan tumpang tindih dan memberatkan masyarakat Perlu intervensi agar Perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan di atasnya serta tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Masih perlu dalam kaitan menjamin bahwa daerah telah menjalankan prosedur penyusunan Perda sesuai dengan aturan yang ada Sangat perlu dalam rangka pembinaan dan pengawasan demi NKRI Diperlukan untuk menghindari adanya permasalahan hukum di kemudian hari Perlu agar tidak menggangu kepentingan nasional Perlu agar lebih menghasilkan output yang diharapkan Perlu dalam rangka menciptakan sinergi dan sinkroniasai antara pusat dan daerah Perlu untuk sinkronisasi dan keselarasan dan tidak terjadi tumpang tindih dan agar tidak bertentangan dengan peraturan diatsnya Tidak perlu, bila kewenangan daerah jelas maka perda tentunya sudah sesuai kewenangan, apalagi perda bersifat lokal Sangat perlu agar tidak bertentangan dengan atyuranaturan yang lebih tinggi

Alasan Tidak Perlu

Metro

Tidak perlu karena yang tahu permasalahan di daerah adalah daerah sendiri Tidak perlu evaluasi karena menghambat pelaksanaan Perda

Lambar

Tidak perlu, cukup evaluasi pemerintah provinsi saja, pemerintah pusat cukup menerbitkan aturan-aturan yang mengatur dan membtasi peraturan daerah saja

79

No

Daerah -

Alasan Perlu
Sangat perlu dievaluasi oleh pemerintah pusat sebab banyak perda yang kurang pas karena SDM Perlu dievaluasi karena perda merupakan produk hukum yang ada di bawah. Dimungknkan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi selain itu masih bnyak pembuatan perda yang justru bertentangan dengan UU Pembuatan perda hanya cukup di evaluasi oleh gubernur saja tidak sampai kepusat Ya, di kab/kota sampai saat ini proses pembuatan perda atas inisiatif dari DPRD belum bisa berjalan atau hasilnya masih dbisa dihitung dengan jari, hal ini masih kurang pemahaman atas pembuatan perda Perlu dievaluasi agar antara peraturan yang ada di daerah tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada di tingkat atasnya (provinsi dan pusat). Dalam hal tertentu masih tetap membutuhkan evaluasi dari provinsi dan pusat Masih perlu, sebab belum semua daerah kab/kota dalam membuat Perda mempertimbangkan berbagai aspek yang timbul akibat penerapan Perda tersebut Perlu dalam konteks mengevaluasi kemanfaatan dan proses penyusunan Perlu intervensi agar Perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan di atasnya serta tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

Alasan Tidak Perlu

10

Lampura

Tidak perlu karena Perda telah disusun berdasarkan peraturan yang lebih tinggi

11

Tanggamus

Tidak perlu evaluasi karena menghambat pelaksanaan Perda Tidak perlu karena yang tahu permasalahan di daerah adalah daerah sendiri

80

No

Daerah -

Alasan Perlu
Masih perlu dalam kaitan menjamin bahwa daerah telah menjalankan prosedur penyusunan Perda sesuai dengan aturan yang ada Sangat perlu dalam rangka pembinaan dan pengawasan demi NKRI Diperlukan untuk menghindari adanya permasalahan hukum di kemudian hari Perlu agar tidak menggangu kepentingan nasional Perlu agar lebih menghasilkan output yang diharapkan Perlu dalam rangka menciptakan sinergi dan sinkroniasai antara pusat dan daerah

Alasan Tidak Perlu

Sumber : Hasil Penelitian 2009

Data pada tabel 13 hampir sebagian besar berpendapat bahwa perda perlu dilakukan evaluasi oleh pemerintah agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, untuk mencegah kewenangan pemda dalam pembuatan perda melampauk batas kewenangannya, agar daerah bisa dikontrol dalam mebuat berbagai kebijakannya, dan untuk kepentingan menjaga NKRI.

4.2.7

Titik Berat Otonomi Daerah

Tabel 14. Titik Berat Otonomi Daerah No 1 Daerah Prov Lampung Provinsi Sebab supaya tidak terjadi sikap over pada kabupaten/kota dan menjaga kewibawaan provinsi di mata kabupaten/kota Lebih menjamin keterpaduan pembangunan dan sinkronisasi serta

Kabupaten Karena titik berat otonomi adalah di tingkat pemerintahan terkecil yaitu desa dan kabupaten memiliki posisi yang dianggap lebih mendukung ketersediaan profesionalisme sehingga titik tekan otonomi daerah ada di

81

No

Daerah -

Provinsi
kesatuan NKRI Maka aturan dan tata cara pemerintahan akan lebih terpusat dan terarah sehingga tidak ada perbedaan aturan antara kabupaten yang satu dnegan yang lainnya

Kabupaten kabupaten. Karena kabupaten yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat, pemerintah provinsi cukup mengawasi saja (wakil pemerintah pusat di daerah Agar otonomi dapat tumbuh dan berkembang secara lebih maksimal karena luas wilayah cukup untuk pengenalan potensi wilayah secara maksimal Dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan, pembangunan di daerah dan memperpendek rentang kendali birokrasi dan pemberian pelayanan Kabupaten langsung berhadapan dengan masyarakat Karena semua potensi pembangunan berada dan dimiliki oleh kabupaten Karena kabupaten otonomi itu ada di kab/kota, sehingga lebih mengetahui keadan daerah dan langsung memberikan pelayanan kepada masyrakat dan kabupaten yang mempunyai wilayah/rakyat dan berhubungan langsung dengan masyarakat, provinsi sebaiknya hanya sebagai pengawasan dan koordinasi Karena ujung tombak otonomi daerah ada di

Bandar Lampung

Karena sebagai perpanjangan tangan, pemerintah provinsi dapat mengembangkan antara kelebihan dan kekurangan satu wilayah dengan wilayah yang lain agar kesejahteraan lebih dapat merata dan pengaturannya akan lebih terkendali

82

No

Daerah

Provinsi

Kabupaten
kab/kota, dan pelaksana otonomi daerah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran masyarakat Rentang kendali kabupaten dengan rakyat tidak terlalu jauh(langsung) namun sistem pilkada yang harus dirubah Karena kabupaten/kotalah yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat termasuk pembangunan daerah akan sesuai dengan kebutuhan daerah setempat Karena wilayah provinsi adalah kabupaten/kota jadi provinsi seolah-olah tidak punya wilayah dan rakyat Kabupaten merupakan daerah yang paling dekat dengan masyarakat Kabupaten lebih mengetahui kebutuhan, keadaan, potensi daerah

Lampung Tengah

Lebih bisa menyatukan segala aspek, kelebihan dan kekurangan pada kabupaten/kota di provinsi sehingga tidak terjadai ketimpangan yang terlalu tajam antara kabupaten/kota yang satu dengan kabupaten/kota lainnya Agar terdapat keseragaman pola otonomi daerah secara nasional, namun tetap mengakomodir kepentingan daerah Agar kebijakankebijakan kabupaten/kota dalam pembangunan dapat terkontrol dan tidak terlalu jauh menyimpang dari kebijakan nasional Supaya provinsi sebagai fungsi kontrol dan monitoring

Lamsel

Karena kabupaten yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat, pemerintah

83

No

Daerah

Provinsi
pembangunan di kabupaten/kota supaya efektif dan selaras dengan visi, misi dan kebijakan pemerintah provinsi Karena secara bertahap setelah otonomi di provinsi matang, provinsi bisa melihat kabupaten/kota mana di provinsinya yang siap otonomi sehingga kesiapan kabupaten/kota bisa berbeda-beda. Supaya mudah mengkoordinor antara kabupaten/kota di provinsi Di provinsi lebih banyak programprogram pusat dan berdasarkan kepentingan daerah terdapat skala prioritas untuk mengembangkan kab/kota yang membutuhkan penanganan prioritas Karena jika terlalu khusus di kabupaten, peran provinsi sebagai koordinator kabupaten/kota akan lemah.

Kabupaten
provinsi cukup mengawasi saja (wakil pemerintah pusat di daerah Kabupaten yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia adalah negara kesatuan, provinsi dijadikan wakil pemerintah pusat

Way Kanan

sesuai dengan harapan, dan lebih menyentuh ke masyarakat karena sangat kecil kemungkinan untuk ada campur tangan dengan pihak luar, karena daerah itu sendiri yang akan membuat wilayahnya maju/mundur karena kabupaten dapat membuka wilayah pemerintahan dari kampung sampai ke kecamatan lebih mengena ke

84

No

Daerah

Provinsi

Kabupaten
masyarakat akan tetapi tetap perlu pengawasan dari provinsi karena kabupaten merupakan pemerintahan daerah yang berhubungan langsung dengan masyarakat Karena kabupaten lebih mengenal potensi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat di bawah Hekakat otonomi adalah mendekatkan pelayanan, oleh karena itu otonomi baiknya di kabupaten bukan di provinsi Karena kabupaten yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat, pemerintah provinsi cukup mengawasi saja (wakil pemerintah pusat di daerah Supaya bisa mandiri bagaimana daerah agar bisa secepatnya memahami persoalan yang dihadapi oleh daerah Di kabupaten lah titik berat sasaran kebijakan pemerintah Kabupaten lah yang secara riil memiliki wilayah, mengenal wilayah, memiliki penduduk dan lebih dekat dengan masyarakat

Tulang Bawang

Supaya ada sebagai fungsi kontrol dan monitoring pembangunan di kabupaten/kota supaya efektif dan selaras dengan visi, misi dan kebijakan pemerintah provinsi SDM di kabupaten masih memerlukan banyak pembinaan

Lampung Timur

Karena pengaruh controling pelaksanaan pemerintah daerah lebih efektif sekaligus melakukan koordinasi atas potensi dan kelemahan yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang ada di wilayahnya Karena potensi setiap kabupaten berbeda sehingga rawan menimbulkan kecemburuan dan perbedaan tingkat kesejahteraan Karena provinsi adalah perpanjangan tangan pemerintah

85

No

Daerah -

Provinsi
pusat Dengan demikian provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dapat lebih efektif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah pusat Supaya pemerintah kota/kab tidak semena-mena dalam menjalankan otonomi daerahnya Karena asas desentralisasi

Kabupaten

Metro

Agar perotonomian yaitu pemerataan pembangunan di tiaptiap daerah dapat berjalan dengan lancar dan berkembang sehingga ikut menjunjung perkembangan provinsi selain itu kabupaten yang lebih mengetahui kondisi di daerahnya sehingga kab/kota dapat tumbuh da berkembang sesuai denga harapan Karena perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengembangan evaluasi dan monitoring lebih mudah dan efektif dan optimal Karena kabupaten/kota yang memiliki wilayah termasuk operator dan perangkatnya sampai ke wilayah terkecil (desa/kelurahan) Agar adanya pluralisme di daerah bisa ditampungdalam pemerintahan daerah, serta dapat memberikan kesempatan pada masyarakatuntuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Agar langsung pada

Lampung Barat

Karena pembangunan lebih jelas dan terintegrasi Agar supaya mempunyai satu kendali dlam mngambil satu keputusan Bial dititik beratkan di kabupaten, justru akan melahirkan rajaraja kecil dimana bupati/walikota cenderung tidk taatkepada gubernur Untuk menhemat dana dan aparatur

86

No

Daerah

Provinsi
yang efektif dan efisien juga DPRD cukup di provinsi sedangkan yang di kabupaten/kota di tiadakan

Kabupaten
sasaran sehingga tidak terjadi proses yang panjang Kabupaten lebih dekat dengan rakyat Karena merupakan daerah otonomi, sedangkan provinsi merupakan perpanjangan pemerintah pusat Karena di kab, banyak sekali sumber yang perlu dikelola sedangkan diprivinsi sebaiknya menjadi wilayah administrasi saja Karena prinsip OTDA adalah lebih meningkatkan pelayanan oleh pemerintah pada masyarakat sehinggakabupaten yang paling dekat dengan masyarakat. Kabupatenlah ujung tombak pelayanan kepada masyarakat, lagi pula jika di provinsi rentang kendali pelayanan kepada masyarakat terlalu besar Rentang kendali lebih kecil Karena letak SDM, SDA, SD wilayah ada di kabupaten, dan ini akan lebih mempercepat pencapaian kinerja pembangunan lebih baik Kabupaten merupakan ujung tombak otonomi daerah yang lebih memahami potensi dan kemampuan yang ada Karena kabupaten yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat, pemerintah provinsi cukup

10

Lampung Utara

Karena gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah sehingga gubernur dapat mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota menuju visi misi propinsi dan nasional

87

No

Daerah

Provinsi

Kabupaten
mengawasi saja (wakil pemerintah pusat di daerah Kabupaten lebih mengetahui potensi dan masalah di daerah Karena gubernur hanya perwakilan pemerintah pusat di daerah sehingga DPRD di provinsi tidak perlu ada dan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat Kabupaten langsung berhadapan dengan masyarakat

11

Tanggamus

Karena provinsi sebagai fungsi kontrol dan monitoring pembangunan di kabupaten/kota Supaya pembangunan di kabupaten/kota selaras dengan visi, misi dan kebijakan pemerintah provinsi Menjaga keutuhan NKRI Dari sisi SDM, di provinsi lebih memadai dibandingkan dengan SDM yang dimiliki oleh kabupaten/kota

Karena kabupaten yang mempunyai daerah/wilayah serta masyarakat Kabupaten/kota adalah daerah otonom yang memiliki kewenangan luas Kabupaten lebih dekat dengan masyarakat Kabupaten lebih mengatahui potensi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat UU mengatur demikian

Sumber : Hasil Penelitian 2009

Dalam menjawab di mana titik berat otonomi daerah dilaksanakan, maka sebagian besar berpendapat di Kabupaten/Kota, alasannya hampir sama, karena Daerah Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah yang berhubungan langsung dengan rakyat 88

Tabel 15. Pendapat titik berat otonomi daerah harus seragam secara nasional atau memungkinkan adanya otonomi khusus, seperti di Aceh dan Papua
Harus Ada Otonomi Khusus/Desentralisasi A simetris Dimungkinkan adanya otonomi khusus berdasarkan prinsip asimetris dan latar belakang sejarah dan geografis yang berbeda Perlu adanya otonomi khusus karena otonomi bagis etiap daerah tidak selalu sama satu Otonomi khusus perlu karena latar belakang sejarah dan geografis masing-masing daerah berbeda Tidak mungkin seragam karena latar belakang dan kondisi daerah juga berbeda-beda sepanjang masih dalam kerangka NKRI

No 1

Daerah Lampung

Otonomi Daerah Harus Sama Harus seragam karena kalau ada otonomi khusus akan membentuk opini anak emas dan akan terjadi sikap yang kebablasan. Kekhusunan hanya didasarkan pada keistimewaan sejarah bukan geografis dan ketakutan pusat akan tuntutan terlalu besar dari daerah Titik berat otonomi daerah harus seragam secara nasional untuk menjaga dan melindungi NKRI secara adil dan merata. Namun masing-masing diberikan keleluasaan untuk mengembangkan potensi daerahnya Harus seragam. Adanya istilah otonomi khusus sebenarnya adalah wujud nyata kegagalan pemerintah pusat dalam menerapkan standarisasi atau format otonomi yang diinginkan Seragam, agar tidak terjadi/meminimalisasi kecemburuan daerah dan tidak terjadi perpecahan daerah -

Lamteng

Tidak perlu ada keseragaman secara nasional terutama pada daerah yang memang memiliki karakteristik yang berbeda (baik karena sejarah maupun potensi serta masalah khusus yang dimiliki daerah) Memungkinkan adanya otonomi khusus oleh sebab ketidakberhasilan pemerintah pusat dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan di daerahdaerah yang oleh sebab sejarah, luas wilayah dan keistimewaan membuat daerah tersebut berbeda

89

dengan daerah lainnya 3 Lamsel Harus ada keseragaman secara nasional karena untuk menghindari kesenjangan dan kecemburuan dari daerah-daerah lain Harus seragam secara nasional sehingga antara pusat dan daerah akan sama mengambil keputusan dan kebijaksanaan Harus seragam tetapi dibuat 2 tahap. Tahap pertama otonomi tingkay provinsi terlebih dahulu setelah daerah provinsi mampu baru kemudian dilanjutkan ke tingkat kabupaten/kota sehingga ada kesiapan Harus ada keseragaman secara nasional karena daerah dapat melaksanakan peran dan fungsi sesuai dengan kemampuan wilayah sendiri dan tidak menimbulkan kecemburuan bagi daerah yang lain Harus ada otonomi khusus karena karakter tiap-tiap daerah berbeda-beda Perlu adanya spesifikasi daerah jadi tidak harus sama/seragam tetapi harus mempunyai satu visi dan misi dalam pembangunan nasional

Bandar Lampung

Tidak perlu seragam,disesuaikan dengan keadaan daerah tetapi ada hal-hal yang sama secara nasional tetap dalam rangka NKRI, khusus tidknya ternyata hanya maslah kemampuan keuangan, SDA, politik Mutlak seragam tetapi perlu otonomi khusus, misalnya maslah budaya, otonomi khusus tidak selamanya dan harus selalu dievaluasi Tidak harus seragam namun harus disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing tetapi regulasi harus seragam seperti diatur oleh UU No 32/2004 Diperlukan adanya otonomi khusus untuk daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan daerah

Lambar

Tapi perlu adanya otonomi khusus. Asalkan perhitungan perimbangan keuangan pusat dan daerah itu fair Harus seragam agar tidak ada diskriminasi antar daerah, serta tidak ada konflik yang bisa memunculkan isu SARA

90

Sebaiknya seragam secara nasional dan otonomi khusus tetap ada. Namun tetap dilihat bahwa secara nyata kondisi geografis maupun demografi di indonesia sangat beragam Seragam, dalam rangka menjaga NKRI Otonomi daerah harus seragam, hanya saja dibidang kebudayaan dan beberapa bidang lainnya yang bersifat khas daerah, bisa dibuat kewenangan khusus, contohnya peraturan syariah islam di aceh dan UU pornografi dan ponoaksi Baiknya seragam secara nasional supaya tidak memunculkan anggapan pemihakan dan ketakutan pemerintah pusat ke daerah serta mengindarkan kecemburuan

tersebut Tidak harus seragam secara nasional, disesuaikan dengan karakter, budaya dari daerah masing-masing sehingga daerah tersebut dapat berkembang

Lampura

Titik berat otonomi daerah tidak harus seragam, namun mempertimbangkan potensi dan kemampuan daerah. Aceh dan Papua mendapatkan otonomi khusus karena memiliki permasalahan dan sejarah yang berbeda Masih dibutuhkan kekhususan karena masih ada gap terlalu tinggi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya Harus ada otonomi khusus sebab otonomi daerah membuka hak, wewenang dan kewajiban dari daerah dengan mempertimbangkan sejarah dan latar belakang daerah tersebut

Lamtim

Secara kewenangan seharusnya sama, hanya yang berbeda adalah alokasi anggaran kepada daerah-daerah khusus

Oleh sebab sejarah daerah , adat istiadat, potensi dan kondisi daerah yang berbeda, maka otonomi juga harus berbeda-beda.

91

tersebut. Otonomi khusus diletakkkan kerangka otonomi daerah bukan pada UU tersendiri Secara nasional harus sama atau seragam secara nasional sehingga tidak ada kecemburuan dari daerah yang tidak mendapatkan kekhususan dan tidak mengancam perpecahan pada bangsa ini Lebih baik seragaman , tapi tuk daerah khusus diberikan kekhususan, agar tetap menjaga NKRI Sebaiknya dilakukan seragam demi persatuan dan kesatuan bangsa walapun sudah otonomi daerah Harus ada keseragaman secara nasional karena untuk menghindari kesenjangan dan kecemburuan dari daerah-daerah lain (11 responden ) -

Namun letak perbedaannya harus benar-benat sesuai dengan kebutuhan daerah dan potensi yang dimiliki daerah.

Metro

-Tidak harus seragam, karena setiap daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda dan dengan tidak mengabaikan NKRI Bila diperlukan, otonomi khusus tetap dipertahankan

Tanggamus

Karena tidak semua daerah memiliki masalah dan karakteristik serta sejarah yang berbeda maka otonomi khusus perlu dilakukan misalnya Papua, Aceh dan Yogyakarta. Namun keistimewaan daerah tersebut harus juga dikembangkan sehingga dapat mendukung NKRI yang kuat Tidak harus seragam karena ada beberapa daerah di Indonesia yang memang memiliki kekhususan oleh sebab sejarah masa lalu seperti Yogyakarta Tidak harus seragam karena kebutuhan daerah juga berbeda, namun hal ini jangan sampai

10

Tulang Bawang

Harus ada keseragaman secara nasional karena untuk menghindari kesenjangan dan kecemburuan dari daerah-daerah lain di Indonesis sehingga pengaturannya juga bisa seragam

92

membuat seolah-oleh pemerintah pusat takut kepada tuntutan akan memisahkan diri Tidak harus seragam karena kalau seragam nanti banyak daerah yang ingin keluar dari NKRI karena merasa tidak puas

11

Way Kanan

Secara nasional harus seragam Sebenarnya adanya penyeragaman otonomi karena otonomi khusus itu, sama saja membuat negara terselubung di dalam negara itu sendiri Otonomi khusus ataupun penyeragaman, kalau orangnya bergaya kerja lama tidak efektif

Perlu juga ada otonomi khusus, karena hal tersebut dilakukan untuk meredam disintegrasi bangsa Tidak harus seragam, karena harus sesuai dengan kondisi daerah masing-masing

Sumber : Hasil Penelitian, 2009

Data pada tabel 14 bahwa sebagian besar pelaksanaan otonomi daerah lebih baik dilaksanakan di kabupaten/kota, namun apakah pelaksanaannya harus seragam atau perlu ada otonomi khusus seperti di Aceh atau Papua. Data tabel 16 menunjukkan bahwa bahwa secara prinsip Otonomi Daerah Harus seragam, namun karena setiap daerah sangat beragam memiliki potensi dan lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak sama, maka pelaksanaan otonomi daerah bisa diatur sera berbeda tergantung pada kemampuan Daerah yang bersangkutan ( Lihat data pada tabel 15).

4.2.8

Hubungan Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota

Pendapat responden dari Prov dan 10 Kabupaten/Kota, menyatakan sebagian besar hubungan antara Pemerintah Provinsi harus hirarkiis dengan beberapa alas an sebagai berikut :

93

Harus hierarkis satu sama lain karena provinsi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menjadi kordinator kabupaten/kota sehingga kebijakan kabupaten/kota harus sesuai dengan kebijakan provinsi Harus hierarkis dalam konsep negara kesatuan dan provinsi merupakan wakil pemerintah pusat di daerah Hubungan yang berdiri sendiri sepanjang koordinasi, kerjasama, pembinaan dan pengawasan dan penyelenggaraan urusan dapat dilakukan secara maksimal Hubungan hirarki tidak dapat dihindarkan namun hendaknya terus dikembangkan diverensiasi yang bersifat otonom berdasarkan potensi dan kekhasan daerah Perlu dicari bentuk dan pola hubungan yang lebih ideal dan fleksibel agar daerah dapat leluasan mengembangkan potensi daerahnya Harus hirarkis untuk menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan sistem pemerintahan yang dapat menimbulkan kesenjangan dengan daerah kabupaten/kota lainnya Kabupaten/kota dapat menjalankan otonominya sendiri tetapi secara hirarkis tetap harus dalam pembinaan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat

Sedangkan sebagian kecil harus berdiri sendiri, karena alasan bahwa berdiri sendiri karena dalam pengaturan kebijakan tidak tumpang tindih antara pemerintah provinsi dengan kabupaten

4.2.9

Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah

Tabel 16. Kendala dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi & otonomi daerah Kendala
Masih ada departemen yang tidak ingin melepaskan kewenangannya kepada daerah padahal hal tersebut sudah menjadi urusan pemerintah daerah di Provinsi Lampung

94

Perlunya penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah Kurangnya kerja sama antar pemerintah daerah Kurangnya kapasitas kelembagaan daerah Kurangnya profesionalisme aparatur pemerintah Kurangnya kapasitas keuangan pemda Kurangnya pertimbangan rasional pemekaran daerah Kurangya pendanaan Mental masyarakat yang belum sepenuhnya dewasa dalam berpolitik Kurangnya inovasi Pemda dalam penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat Masih terdapat penafsiran yang berbeda terhadap peraruran perundangundangan/kebijakan nasional dan masih kuatrnya egosektoral di tiap-tiap kabupaten dan kota Daya dukung keuangan daerah yang rendah Terlalu besarnya persentase APBD untuk biaya gaji dan biaya aparat sehingga biaya pembangunan yang notabene akan meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi sangat sedikit Masih kentalnya nuansa politis dan kepentingan dalam pengambilan kebijakan publik Ketidakmauan kabupaten/kota untuk selalu berkoordinasi dengan pemerintah provinsi Belum adanya kesungguhan dan kerja sama yang baik antara pemprov dengan pemkab/kota dan antara pemkab/kota dengan pemkab/kota lainnya Masih belum jelasnya tanggung jawab provinsi pada masalah-masalah yang lintas kabupaten/kota Kendala mendasar, SDM tidak komit dengan roh Otda untuk melayani masyarakat dan dana terbatas untuk membiayai Otda itu sendiri Kemampuan keuangan daerah dan pendapatan daerah yang tidak sebanding dengan kebutuhan pembangunan daerah Kemampuan SDM yang belum merata Ketidakpahaman banyak aparatur daerah tentang prinsip-prinsip etika pemerintahan sehingga otonomi banyak diasumsikan oleh masyarakat dengan maraknya korupsi Masing-masing berdiri sendiri, karena setiap kab/kota dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung yang notabene memiliki visi dan misinya sendiri-sendiri. Namun demikian benang merah pembangunan daerah tetap dikordinasikan oleh provinsi dalam wadah RPJP provinsi Desentralisasi dan otonomi masih seperti permainan yoyo. Masih terjadi tarik ulur atau naik turun Terjadi pengkotak-kotakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Rendahnya kualitas pemahaman tentang otonomi daerah di kalangan stakeholders Kabupaten/kota merasa terlalu memiliki kewenangan yang lebih besar daripada provinsi sehingga kreatifitas untuk berkoordinasi dengan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah lemah Mental pemimpin baik eksekutif dan anggota DPRD yang masih lemah dan pragmatis Mental masyarakat yang pragmatis Ketidaktegasan aturan tentang pelimpahan kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten Kurangnya koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi maupun antar kabupaten/kota

95

Masih adanya visi dari gubernur lampung dan jajarannya tentang otda yang masih menganggap kab/kota bawahan dari provinsi Suhu politik yang kurang kondusif karena seringnya ada pemilu. Kebijakan dalam pelayanan umum. Contohnya kebijakan dalam menyelenggarakan pendidikan nasional ini benyak perbedaan penafsiran sehingga masyarakat merasa kebingungan. Termasuk kebijakan pelayanan kesehatan yang kriteria penggratisannya tidak jelas dan rumit Tidak jelasnya program pembangunan yang sudah dijabarkan dalam RPJM daerah dengan renstra SKPD Masih ada kepentingan kelompok Kendala dalam pengawasan pengelolaan anggaran oleh pusat terutama dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN SDM aparatur masih kurang/rendah. Otonomi daerah yang masih diasumsikan hanya sekedar untuk meningkatkan PAD dengan berbagai cara tetapi kesejahteraan rakyat kurang mendapat perhatian Para kepala daerah kurang memahami tentang otonomi daerah karena syarat menjadi kepala daerah sangat mudah Penggunaan DAU yang kurang tepat sasaran Pengawasan ke eksekutif dari legislatif maupun pemerintah pusat masih kurang Sumber daya alam yang dikelola tidak dapat meningkatkan kemandirian daerah Provinsi kurang memperhatikan pembinaan kab/kota, sehingga seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang baik, bahkan terkesan saling jebak PAD rendah, karena sumber pajak potensial ditarik ke provinsi dan pemerintah pusat sehingga sangat bergantung pada DAU dan DAK Peraturan perundang-undangan yang kurang emndukung iklim investasi Proses birokrasi yng rumit Daya ungkit menjadi emah terhadappermasalahan kemiskinan, pengangguran karena ekuatan terpecah dan ego kedaerahan masing-masing Birokrasi terlalu lama dalam melaksanakan dalam suatu kebijakan Perataan pendanaan yang melalui provinsi tidak merata Kurang optimalnya koordinasi kab/kota ke provinsi Masih rendahnya SDM, masih bersifat kedaerahan, masih mementingkan kepentingan pribadi
Sumber : Hasil Penelitian 2009

4.2.10 DAU (Dana Alokasi Umum) Secara umum pendapat informan dan responden terhadap fokus tentang pengaturan DAU (Dana Alokasi Umum) menyangkut Persentase DAU, kriteria yang digunakan dan prosedur pengajuan DAU adalah sebagai berikut :

96

Kriteria umum sudah cukup sebagai persyaratan penetapan DAU, akan tetapi data dasar penghitungan tersebut perlu diupayakan validitasnya dan mutakhir Dari sisi persentase masih sangat minim karena hanya 25% dari netto pendapatan dalam negeri Kriteria celah fiskal dan alokasi dasar, jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB dan IPM sudah merupakan kriteria yang ideal, namun pelaksanaannya masih tarik menarik sehingga tetap membutuhkan pendekatan ke pusat Kebutuhan DAU yang diajukan oleh Pemda belum seluruhnya dapat dipenuhi oleh pemeirntah pusat Pengaturan DAU masih perlu dibenahi terutaa terhadap penambahan DAU akibat perubahan peraturan/kenaikan gaji PNS Sudah cukup bagus meskipun hal ini dirasakan kurang transparan Sudah sesuai tetapi sumber daya di daerah tidak mampu secara maksimal mengoptimalkan DAU itu untuk pembangunan sehingga alokasi DAU masih sangat besar hanya untuk gaji pegawai Pengaturan DAU lebih didominasi oleh kebutuhan anggaran pegawai, padahal seharusnya kebutuhan DAU adalah untuk pembangunan Persentasenya masih memberatkan bagi daerah tertentu karena komponen gaji masih melekat dalam DAU sehingga belum dapat menunjang untuk kegiatan pembangunan fisik Sudah baik dan adil tetapi setelah pembahasan dan disahkan oleh DPRD di masing-masing SKPD tidak mencukupi atau tidak ada uangnya Besaran persentase bagi hasil harus ditinjau ulang Unsur kedekatan dengan pemerintah pusat ternyata masih menjadi salah satu syarat tidak tertulis dalam konteks pengajuan DAU Kurang terbuka pengaturan penggunaan dana DAU sehingga masingmasing SKPD tidak jelas porsinya Pengaturan DAU, 50% : gaji dan 50% : pembangunan

97

Prosedur pengajuan DAU terlebih dahulu dibahas oleh DPRD dalam berkas RAPBD kemudian disahkan dalam APBD baru diajukan ke pemerintah pusat untuk dicairkan sesuai jumlahnya DAU masih banyak digunakan untuk belanja pegawai Persentase DAU tidak jelas karena masih membutuhkan pendekatan daerah ke pusat sehingga jumlah DAU selalu naik turun. Naik jika diurus, namun turun jika tidak diurus Kriteria sudah jelas tetapi kriteria tersebut tidak dapat menjadi acuan yang pasti dalam penetapan jumlah DAU Prosedur pengajuan DAU sudah oke, namun sebaiknya DPRD juga dilibatkan sejak awal dalam mengusulkan sehingga tanggung jawab pengelolaan juga dapat dilakukan oleh DPRD sehingga mereka tidak mainmain dengan pengelolaan anggaran nanti DAU masih dodominasi untuk kepentingan aparat dan DPRD sedangkan alokasi untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat masih sangat minim Sudah jelas aturannya namun prakteknya tidak sesuai dengan idealnya Perlu juga diatur oleh pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota secara transparan sehingga antar kabupaten/kota di satu provinsi tidak saling menjatuhkan. Perlu diadakan pertimbangan secara menyeluruh dengan mengikutsertakan anggota legislatif dalam proses pengajuannya Harus sesuai dengan PAD maka dapat balance Alokasi DAU harus diawasi

4.2 11 Sistem Administrasi Kepegawaian

Penilaian responden baik di provinsi maupun kabupaten/kota tentang sistem administrasi kepegawaian adalah sebagai berikut : Sudah sejalan sesuai dengan aturan yang ada namun nuansa politis masih kadang-kadang terlihat sehingga terlihat gerbong siapa yang membawa 98

Konsistensi antara aturan dan implementasi masih lemah contohnya dalam rekrutmen pejabat impor dari daerah ke provinsi

Masih banyaknya pejabat non job Prosedur, transparansi dan persayaratan harus ditingkatkan Penghargaan kepada prestasi pegawai belum menjadi pertimbangan dalam penempatan pejabat

Kedisiplinan pegawai yang rendah Sistem kepagawaian sudah benar namun yang perlu diperbaiki adalah pelaksanaan dari sistem itu

Belum profesional dalam hal : 1. Tupoksi yang diberikan tidak sesuai dengan tingkat pendidikan, skill dan pengalaman 2. Penempatan SDM PNS tidak berdasarkan beban kerja sehingga akan mengakibatkan beban kerja tinggi dan beban kerja rendah sehingga berpengaruh terhadap produktifitas

Penempatan jabatan struktural masih belum mempertimbangkan karier seseorang

Belum mengikuti daftar urutan kepangkatan secara konsisten Secara umum sistem administrasi kepagawaian telah sejalan dengan keinginan daerah. Hanya untuk kenaikan pangkat dan pensiun PNS golongan IV C ke atas yang selama ini diproses dan ditandatangai presiden seyogyanya cukup di BKN

Masih banyak dipengaruhi kepentingan politik, KKN masih kental Sudah cukup transparan, baik dalam pengangkatan PNS atau pengisian jabatan struktural. Tetapi transparannya hanya di formalitas bukan pada substansinya

Masih jauh dari harapan, selama brokrasi masih berada di bawah pengaruh kekuasaan politik, birokrasi menjadi mainan bagi pejabat politik

Sudah ada aturan yaitu PP 96 tahun 2006 yang mengatur tentang kepegawaian di daerah

99

Penempatan pejabat masih tergantung gerbong hasil Pikada sehingga fungsi Baperjakat masih jauh dari ideal

Penempatan pejabat eselon II masih dipengaruhi oleh kepentingan dari siapa kepala daerah yang memimpin daerah sehingga sangat sering berganti-ganti

Pengesahan pejabat eselon II lama karena menunggu pengesahan dari provinsi

Terlalu sering dilakukan rolling pejabat sehingga banyak pejabat yang bekerja tidak tenang karena takut diroling

akan tetapi pendidikan belum sesuai dengan jabatannya sehingga kurang menguasai pekerjaan

Meski telah otonomi tetapi sistem administrasi kepegawaian ternyata masih diatur oleh pusat termasuk penetapan kuota penerimaan CPNSD

Belum sejalan dengan keinginan dan kepentingan daerah mengingat masih ada pengisian pejabat eselon yang tidak memahami dan berbasis pendidikan dengan jabatan yang diembannya

Belum maksimal karena masih banyak pejabat eselon struktural yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan riwayat jabatannya tidak menjadi pertimbangan

Pengangkatan eselon II tidak harus ditentukan oleh pemerintah tingkat atasnya (gubernur) langsung saja merupakan kewenangan bupati dengan tetap mempertimbangkan profesionalisme

Masih kental nuansa like and dislike Fungsi Baperjakat terkadang hanya formalitas karena unsur kedekatan dan tim sukses.

4.2.12 Pelayanan Publik Pendapat/penilaian responden tentang pemberian pelayanan publik di era

otonomi daerah seperti: pemberian surat perizinan, pelayanan KTP, akte kelahiran, pengadaan/perbaikan fasilitas jalan, dsb jauh lebih baik dibanding di 100

era sebelumnya (UU No. 5/1974 dan UU No. 22/1999) atau malah sebaliknya tambah buruk. Adalah sebagai berikut : Pelayanan cenderung mengalami perbaikan dengan kemudahan mengurus perizinan, dan sebagainya Model perizinan satu pintu menjadi salah satu indikator pelayanan yang meningkat dalam konteks perizinan, tetapi jenis pelayanan infrastruktur kondisinya lebih parah dibandingkan sebelumnya Masih belum efektif dan justru memperpanjang jalur yang dahuku mengurus KTP cukup di kecamatan misalnya sekarang justru harus ke kabupaten Sentralisasi dalam pelayanan lebih baik dirasakan sehingga persyaratan antar daerah idak berbeda-beda termasuk dalam penentuan tarif pelayanan Infrastruktur zaman sentralisasi lebih baik Pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh kebijakan kepala daerah dan kebijakan dari perubahan peraturan di tingkat pusat yang sering berganti dan tidak konsisten Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik belum secara konsisten dilakukan pengukurannya sehingga tidak ada bahan evaluasi bagi daerah dalam peningkatan kualitas pelayanannya Dari sisi jarak memang lebih efektif, namun seringnya perubahan kebijakan membuat pola pelayanan publik belum menemukan sesuatu yang ideal dan terkadang masih membingungkan masyarakat. Semakin transparan sehingga kontrol masyarakat dapat berperan Beberapa meningkat beberapa menurun. Namun, khusus pelayanan kependudukan yang selalu bermasalah sebaiknya dinasionalkan Dari sisi aturan sudah sangat baik, tetapi dalam pelaksanaannya masih sangat buruk dan biaya tinggi Lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya . Hal ini dapat tercapai karena pemangkasan birokrasi Menurun kualitasnya, terutama pada kualitas bangunan publik (jalan, gedung, irigasi, dan sebagainya) Sudah lebih baik jika standar pelayanan minimal pelayanan publik dapat diterapkan secara optimal 101

Dari sisi jarak memang lebih efektif, namun seringnya perubahan kebijakan membuat pola pelayanan publik belum menemukan sesuatu yang ideal dan terkadang masih membingungkan masyarakat.

Semakin transparan sehingga kontrol masyarakat dapat berperan Pelayanan kependudukan yang selalu bermasalah sebaiknya dinasionalkan Dari sisi aturan sudah sangat baik, tetapi dalam pelaksanaannya masih sangat buruk dan biaya tinggi

Lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya . Hal ini dapat tercapai karena pemangkasan birokrasi

Menurun kualitasnya, terutama pada kualitas bangunan publik (jalan, gedung, irigasi, dan sebagainya)

Sudah lebih baik jika standar pelayanan minimal pelayanan publik dapat diterapkan secara optimal

4.2.13 Efisiensi dan Efektifitas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah Penilaian/pendapat responden apakah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah sekarang ini sudah efemtif dan efisien. Misal, tidak terjadi lagi pemborosan dalam penggunaan anggaran, peningkatan kesejahteraan masyarakat meningkat, KKN bisa diminimalisir, good governance bisa diwujudkan, stabilitas pemerintahan cukup terjaga, dst. Dapat dilihat sebagai berikut : Belum efektif dan efisien karena di sana-sini masih banyak pembangunan belum menyentuh kepentingan masyarakat Masih terjadi banyak pemborosan khususnya untuk gaji aparat dan DPRD Masih terjadi penyimpangan penggunaan anggaran Keamanan masyarakat masih jauh dari harapan Konflik akibat Pilkada semakin besar karena pilihan politik yang berbeda Keberhasilan pembangunan daerah masih berupa paparan belaka, pendidikan gratis dan kesehatan gratis adalah capaian yang hanya dalam wacana Korupsi masih merajalela 102

Reformasi mental aparatur masih sangat rendah, sehingga orientasi pemerintahan lebih pada upaya untuk mendapatkan sesuatu bukan memberikan sesuatu

Zaman orde baru meskipun pola pemerintahan masih sentralistis tetapi efektifitas dan efisiensi anggaran daerah, dan kesejahteraan masyarakat misalnya untuk memperoleh rasa aman lebih baik dibandingkan masa otonomi daerah.

Munculnya perilaku kepala daerah seolah menjadi raja-raja kecil di daerah membuat stabilitas pemerintahan dan pembangunan tidak dapat dilakukan secara kontinyu

Belum efektif dan efisien karema masih banyak terjadi pemborosan penggunaan anggaran

Masih banyak terjadi korupsi hampir di semua sektor Belum, karena pada dasarnya jumlah PNS yang tidak proporsional sehingga penggunaan anggaran lebih kepada pendekatan politis dibandingkan efisiensi

Pembangunan daerah kurang maksimal karena keterbatasan PAD daerah Belum efektif dan efisien, indikasinya : anggaran defisit, rapel gaji PNS belum terbayar, tunjangan tidak meningkat karena banyak kebocoran sehingga anggaran tidak dapat diprediksi dan dirancang dengan baik padahal setiap tahun nilai anggaran selalu naik.

Justru banyak terjadi pemborosan dan penyimpangan : 1. 2. 3. pelaksanaan pilkada yang menyerap dana cukup banyak anggaran DPRD yang sangat besar pelaksanaan tender pengadaan barang/jasa cenderung kocok bekem sehingga aturan dalam kepres sekedar dilakukan secara prosedural dan diatur

Belum efektif dan efisien karena di sana-sini masih banyak pembangunan belum menyentuh kepentingan masyarakat

Belum efektif dan efisien perlu pengawasan dan pembinaan lebih lanjut serta diperlukan tekat yang kuat dari para pemegang kebijakan serta reformasi sistem manajemen 103

Belum efektif dan efisien karena keinginan tidak melihat kemampuan sehingga terjadi kekurangan (defisit) dan pengelolaan anggaran hendaknya memakai skala prioritas dan masih terjadi KKN.

Belum efisien masih banyak terdapat pemborosan keuangan untuk kegiatankegiatan yang tidak menyentuh masyarakat secara langsung

Daerah belum memiliki perencanaan yang baik Dukungan dan pengawasan legislatif belum sepenuhnya berjalan. KKN masih sulit dihilangkan, good governance belum terwujud Penyelenggaraan pemerintah di era otonomi ini lebih baik Hal ini belum diartikan sebagai efektif efisien,karena hal ini diukur dari pelajaran yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat

Cukup memprihatinkan Tergantung individu dan tergantung SDM yang ada di daerah Sistem yang baik maka, efisiensi dan efektifitas tercapai, tetapi, jika orang yang ada dalam sistem tidak profesional maka tidak akan tercapai yang diharapkan

Hal itu relatif kepada daerah yang menyelenggarakan pemerintahan di daerah

Sejauh ini belum terlihat jelas efektifitas atau efisien untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah

Khususnya KTP/KK tambah lambat lebih baik pembuatan KTP, serahkan saja kepada camat agar bisa 5 menit masyarakat selesai dilayani

Belum efektif dan efisien KKN tetap eksis, good govermence amburadul, stabilitas pemerintah hanya terjaga 1-2 th pertama, seterusnya interst lebih kental, tidak sehat, pemerintah pusat sering terlambat dalam menetapkandan mngawal otonomi dalam bentuk standar belanja dll.

Penduduk miskin masih tinggi, sering terjadi pemborosan Berjalan cukup baik, penggunaan anggaran dilakukan secara terencana efektif walaupun sebagian besaranggaran habis untuk gaji pegawai sehingga rekrutmen PNS dihentikan untuk sementar waktu.

Sudah, tidak terjadi pemborosan penggunaan anggaran good governance, stabilitas pemerintahan cukup terjaga 104

Tergantung political will antara pemerintah eksekutif dan DPRD selaku legislatif di daerah

Belum efektif dan efisien masih banyaknya SKPD yang di bentuk tanpa dimodali anggaran yang cukup untuk melakukan program dan kegiatan, selama ini hanya di back up untuk anggaran rutin saja

Belum, organisasi prangkat daerah masih terlalu gemuk, agar organisasi tertentu seperti kebersihan, parkir, terminal, dsb di swastakan saja agar pemerintahlebih fokus dalam pembangunan. Agar APBD dan penggunaan di beritakan di koran publik.

Belum sepenuhnya, dan pemerintah pusat harus terus mengawasi dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta adanya peraturan yang tegas dan konsisten

Korupsi: relatif kecil

Kolusi: 60% nepotisme 90%

Sudah menuju yang lebih baik, perlu peningkatan Masih sedikit sekali yang mengguerakan pembangunan yang efektif dan efisien

Masih diperlukan perbaikan di berbagai segi, karena di beberapa daerah masih terliahat adanya pemborosan anggaran daerah yang dipakai untuk halhal yang masih belu urgentdan menyampingkan kepentingan masyarakat.

Sebaiknya terdapat satuan kerja yang benar-benar mengkoreksi pola pengaggran kegiatan terhadap kinerja yang akan dicapai

4.3 Analisis dan Interpretasi 4.3.1 Kewenangan Pemerintah Daerah Dari hasil penelitian, hampir sebagian besar berpendapat bahwa pengaturan kewenangan yang diatur dalam UU No.32 / 2004 baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota sudah sejalan dengan aspirasi daerah, namun dalam pealaksanannya beberapa persoalan yang dihadapi antara lain : pola kerjasama pelaksanaan kewenangan antara provinsi dengan kabupaten belum

terimplementasikan dengan baik, beberapa kewenangan tidak didukungan dengan dana yang memadai, pertanggungjawaban kewenangan lemah, peraturan 105

pelaksana yang tidak sinkron, dukungan juklak dan juknis pelaksanaan kewenangan yang masih belum jelas, masih terjadi multi interpretasi dalam memahami pembagian kewenangan dan juga sekalipun kewenangan sudah diberikan kepada Daerah, tetapi pola ketergantungan Daerah pada Pusat masih tinggi. Sebagian besar responden menunjukkan bahwa sekalipun 60 % menyatakan pembagian kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten cukup jelas, namun dalam prakteknya masih dijumpai adanya tarik menarik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan antara Pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota. Data ini menunjukkan bahwa Di dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan selama ini masih masih muncul kebijakan yang bertentangan antara pemerintah Provinsi dengan pemerintaha Kabupaten/Kota, yang seringkali menimbulkan

disharmonisasi komunikasi juga berdampak pada masyarakat banyak. Sebagai akibat perbedaaan kepentingan dan kebijakan kabupaten/kota dengan provinsi, muncul inkonsistensi kebijakan antara pemerintah Propinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota. Penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan-satuan daerah

merupakan persoalan politik yang selalu timbul dalam proses politik. Leslie Lipson (dalam Armen Yasir, 2009)4 mengatakan Great issues of politics; The organization of outhority is power concentred or dispersed. Persoalan politik ini merupakan pilihan antara Centralization (sentralisasi) dan Local outonomy (otonomi daerah). Arti pemerintahan daerah dalam praktek pemerintahan terlihat dalam pasang surut kebijaksanaan dan perundang-undangan yang senantiasa mencari landasan politiknya dalam garis politik pemerintahan dan landasan yuridisnya dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Otonomi daerah telah mengubah tata kelola pemerintahan dari yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Lokus pembangunan bergeser dari pusat (nasional) ke daerah dari yang semula dijalankan oleh aktor utama negara
4

Armen Yasir, 2009; h. 1, Buku Referensi, Hukum Otonomi Daerah (Preskriptif Teoritis), Penerbit Universitas Lampung.

106

(pemerintah) secara konstitusional semestinya berpindah kemasyarakat di daerah. Perubahan tata kelola pemerintahan daerah yang terdesentralisasi dipilih diharapkan dapat menciptakan iklim kepemerintahan yang berpeluang tinggi untuk mencapai demokratisasi, perbaikan pelayanan dasar publik dan peningkatan akses ekonomi masyarakat. Sebagai konsekuensi dianutnya Bentuk Negara Kesatuan yang

didesentralisasikan sebagaimana ditentukan UUD 1945, maka dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dibentuk daerah-daerah otonom yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berbagai cara menentukan pembagian kekuasaan untuk menjalankan fungsi pemerintahan merupakan sumber pokok persoalan hubungan pusat dan daerah. Pada umumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terrefleksi dalam pelimpahan kekuasaan pelimpahan keuangan. kepada pemerintahan daerah yang disertai dengan Pendelegasian pengeluaran sebagai konsekunesi

diberikannnya kewenangan yang luas serta tanggungjawab pelayanan publik harus diikuti dengan adanya pendelegasian pendapatan. Tanpa pelimpahan ini, otonomi daerah menjadi tidak bermakna. Perkembangan masalah keuangan dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah terus mengalmi evolusi. Hubungan keuangan pusat daerah tersebut pada akhirnya ditentukan pada tingkatan atau derajat desentralisasi yang tercermin dalam pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

4.3.2 Kepentingan Daerah Konteks kepentingan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah difahami oleh responden adanya jaminan terhadap stabilitas pemerintahan, sumber pembiayaan bisa mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kewenangan Gubernur dalam mengawasi dan berkoordinasi dengan pemkab/kota cukup jelas diatur. Jika diandingkan dengan UU No. 22/1999, UU No. 32 Tahun 2004 bisa lebih diterima dalam mengakomodasi kepentingan daerah. 107

Namun, secara politik dan kemandirian daerah, beberapa informan dari Kabupaten/Kota menyatakan bahwa UU No.22/1999, dinilai lebih cocok diterapkan karena UU ini lebih cenderung memberikan proses demokratisasi pemerintahan yang lebih mandiri tanpa harus tergantung pada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Namun, diakui bahwa dengan penerapan UU No. 22/1999, koordinasi antara Daerah Kabu dan Provinsi sulit bisa

diimplementasikan

sehingga pemerintah kab/kota dengan pemerintah prov

berjalan sendiri-sendiri.

4.3.3 Hubungan Pemerintah, Provinsi dengan Kabupaten

Hubungan Pemerintah, Provinsi dan kabupaten, sejauh ini dilakukan dalam dua bentuk yaitu pola hubungan hirarkis dan tidak berhubungan secara hirakis, sebagaimana pernah berlaku dalam UU No.22/1999. Namun praktek hubungan yang tidak hirarkis ada kecenderungan koordinasi pengawasan menjadi tidak fungsional dan Daerah kabupaten/Kota dengan provinsi berjalan sendiri-sendiri, pola pemerintahan kemudian menjadi bergantung pada pusat. Dari hasil penelitian, menyatakan bahwa pola hubungan hirarkis lebih bisa diterima untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perubahan UUD 1945 mengganti secara menyeluruh ketentuan pasal 18 dan penjelasannya. UUD 1945 Perubahan Mengatur Pemerintahan Daerah Dalam Bab VI Di bawah Judul Pemerintah Daerah yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut : Pasal 18 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas Daerah-Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten/kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

108

2.

Pemerintahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3.

Pemerintahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4.

Gubernur,

Bupati,

dan

Walikota

masing-masing

sebagai

Kepala

Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. 5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18 A 1. Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara propinsi dan kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lain antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18 B 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai 109

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikatakan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah berisikan prinsif hirarkhi dan vertikal. Prinsip ini menunjukkan terdapat pola hubungan kekuasaan antar organisasi, yaitu antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Propinsi; antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota; antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pola hubungan ini merupakan penyelenggaraan desentralisasi yang diatualisasikan dengan keberadaan local self goverment, sedangkan pola hubungan kekuasaan intra organisasi juga tercermin dari hubungan instansi pusat departemen atau lembaga pemerintah non departemen dengan organisasi (instansi) vertikalnnya di daerah. Pola hubungan ini merupakan penyelengaraan dekonsentrasi.

Menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dirinci sebagai berikut; (1) Hubungan dalam penyelenggaraan desentralisasi (terutama dalam

bimbingan dan pengawasan) (2) Hubungan dalam penyelenggaraan desentralisasi. Dalam UU.NO.32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa urusan pemerintah yang tidak didesentralisasikan; politik luar negeri, pertahanan keamanan, moniter, fiskal nasional, yustisi dan agama. Urusan pemerintah yang tidak didesentralisasikan, di

dekonsentrasikan kepada gubernur dan ditugas bantukan kepada daerah otonom dan desa. Pasal 11 ayat (2) UU.NO. 32/2004; Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan daerah otonom yang terkait, tergantung dan sinenergis sebagai satu sistem pemerintahan. (3) Dalam UU. NO.32 Tahun 2004 ditentukan bahwa bahwa Pemerintah Daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya, yaitu :

110

a.

Hubungan Dalam bidang keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah meliputi : 1. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. 2. 3. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah; dan pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

b.

Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi: 1. bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintahan propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 2. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab bersama; 3. 4. pembiayaan bersama atar kerjasama antar daerah; dan pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.

c.

Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah meliputi : 1. kewenangan, tanggungjawab, dan penentuan standar pelayanan minimal; 2. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan 3. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.

d.

Hubungan dalam bidang pelayanan umum antarpemerintahan daerah meliputi : 1. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; 2. kerjasama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum; dan 3. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

e.

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi :

111

1.

kewenangan,

tanggungjawab,

pemanfaatan,

pemeliharaan,

pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; 2. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan; 3. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

f. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi : 1. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; 2. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam lainnya antarpemerintahan daerah; dan 3. pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. 4. Hubungan dalam pengawasan berhubungan dengan; (b) pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Dalam rangka tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah (pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat)

dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur. (c) 5. Pengawasan Terhadap Raperda APBD dan Raperda lainnya.

Hubungan Keuangan berdasarlam UU.NO. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang sumbernya berasal dari pendapatan APBN terdiri dari : 1. Dana Bagi hasil; PBB; sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan (90%). Bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (80%), Pajak Penghasilan (20%). Yang bersumber dari Sumber daya Alam; hutan (IHPH; 80%, Reboisasi 40 %, ), pertambangan umum (80%), perikanan (80%), pertambangan minyak (15,5 %), gas alam (30,5 %), dan panas bumi (80%). 2. Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang brsumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan 112

daerah. Sekurang-kurangnya 26 % dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Disini daerah yang mengajukan dan wajib memiliki dana pendamping 10 %.

Pengaturan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang ditentukan UU No. 33 Tahun 2004 disinergikan dengan UU. No. 17 tahun 2004 tentang Keuangan Negara, UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara, dan UU. N0. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem anggaran yang defisit-surplus, penggunaan sistem anggaran terpadu yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan, dan anggaran dibuat menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Sistem anggaran yang difisit-surplus membuat aspek pengendalian. Dalam hal pengendalian Menteri Keuangan menetapkan batas maksimum jumlah kumulatif defisit APBD, yaitu tidak melebihi 3 persen dari PDRB tahun yang bersangkutan, Menteri keuangan menetapkan deficit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah setiap tahun anggaran, dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan. Apabila APBD defisit, pembiayaan difisit bersumber dari sisa lebih perhitungan angara (SILPA), dana cadangan, penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah. Prinsip dasar yang digunakan dalam UU.NO. 33 tahun 2004 adalah pembiayaan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah selain pendapatan daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah tercermin dari desentralisasi fiskal, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hubungan antara pusat dan daerah tercermin dalam pembagian kewenangan, tugas, dan tanggungjawab yang jelas antar tingkat pemerintahan oleh karena 113

prinsip money follows function diterapkan, yaitu besarnya distribusi keuangan di dasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggungjawab yang telah ditentukan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam UU.NO. 32 tahun 2004. Cerminan hubungan tersebut tercermin dalam aspek perencanaan dan

penganggaran untuk semua aktivitas disetiap level pemerintahan sesuai dengan kewenangan, tugas dan tanggungjawab masing-masing.

4.3.4 Dinamika Politik dan Hukum dalam Kaitannya Dengan Hubungan

Pusat Daerah dan Tujuan Pembangunan daerah

Implikasi amandemen UUD 1945 dalam pemerintahan daerah yang sangat penting dan mendasar adalah keinginan untuk melakukan perubahan tata kelola pemerintahan daerah. UUD 1945 telah menetapkan bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam rangka menjalankan otonomi seluas-luasnya pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dikatakan memadukan model efisiensi struktural dan model demokrasi lokal, hal ini nampak bukan hanya keanggotaan DPRD yang didasarkan atas pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi juga kepala daerah yang calonkan oleh partai politik maupun calon independen, oleh karenanya konflik yang terjadi di masyarakat makin bervariasi. Desentralisasi dan demokrasi di daerah telah mendorong tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka, fenomena pergeseran pemerintah birokratis ke pemerintahan partai merupakah sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin terbuka yang memberikan kesempatan yang lebih besar bagi elemen-elemen masyarakat sipil (diluar birokrasi dan militer) untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Akibatnya sejumlah politisi yang berbasis masyarakat hingga politisi karbitan dapat mempunyai akses menduduki jabatan politik (Kepala Daerah dan DPRD), sementara elemen-elemen yang lain dapat 114

memperoleh akses masuk ke Komisi Pemilihan Umum sampai Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai suatu contoh proses rekuritmen kepala daerah yang ditentukan oleh UU.NO. 32 Tahun 2004, yaitu pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, apabila logika formal dipakai, maka kader partai merupakan calon utama yang akan diajukan oleh partai politik untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ini berarti partai politik harus sudah mengkader dan mempersiapkan kadernya untuk menjadi pemimpin. Dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan yang bukan kader partai politk untuk mendaftarkan diri ke partai politik dan akan diproses oleh partai politik secara demokratis dan transparan membawa konsekuensi bahwa partai politik harus memiliki aturan main yang terbuka, dan publik diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengetahuinya bagaimana proses demokrasi dan transparan yang dilasanakan oleh partai politik. Selama ini proses demokrasi dan transparansi dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak berlakunya UU.NO. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di Propinsi Lampung yang dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik sangat formal, dan terkesan hanya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Proses yang dilakukan dengan membuka pendaftaran kepada calon

perseorangan untuk mendaftarkan diri kepartainya baik untuk calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah, kemudian mengumumkan hasilnya kepada publik serta meminta masukan kepada publik terhadap calon yang telah mendaftar tersebut, namun tidak membuka diri bagaimana proses penetapan calon dan mengapa calon tersebut diajukan dan ditetapkan dari partainya, sehingga bergaining posistion pimpinan dalam partai politik dan antar partai politik lebih menentukan. Robert Michel (dalam Armen Yasir)5 menyatakan bahwa, sekali partai politik terbentuk oleh para pendukungnya, maka secara perlahan ia akan jatuh ketangan segelintir orang (oligarki) dan cenderung pada apa yang disebut hukum besi oligarki. Dalam kaitannya dengan proses rekruitmen politik sebagai satu bentuk
5

Armen Yasir, 2004, hal 7, Analisis Terhadap Pemilihan Umum Anggota Legislatif Tahun 2004 di Propinsi Lampung, Jurnal Justisia Vol 12 NO. 2 Desember 2004.

115

partisipasi warga masyarakat terdapat suatu kecendrungan di mana elit partai politik kurang menyukai perluasan kesempatan politik, sebab setiap perubahan dalam pola partisipasi dianggap sebagai suatu ancaman terhadap status quo politik, yang lebih banyak menguntungkan pihak mereka.

Bukan rahasia umum bahwa untuk menentukan rekruitmen politik sangat ditentukan pola oleh hubungan, faksi dan finansial. Penawaran terhadap kandidat dan tuntutan pencalonan akan berinteraksi yang menghasilkan out put para calon yang direkrut untuk menduduki kursi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Selama ini dari pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah (6 kabupaten/Kota di Propinsi Lampung) yang sudah dilakukan, kader partai politik cendrung menduduki sebagai calon wakil kepala daerah, sedangkan calon kepala daerah berasal dari Birokrat, Pensiunan TNI atau POLRI dan Pengusaha. Calon kepala daerah yang bukan berasal dari partai kemudian hari apabila terpilih akan masuk partai politik yang mencalonkannya atau memasuki partai politik yang akan dijadikan kendaraan untuk mencalon kembali untuk kedua kalinya

Hadirnya pemerintahan partai ternyata menimbulkan sejumlah masalah bagi demokrasi di daerah, antara lain cendrung tidak menghendaki perluasan politik dalam pengambilan kebijakan daerah, maraknya korupsi, pelipatgandaan pajak dan retribusi daerah yang menjadi beban berat bagi masyarakat, oligharki elite yang jauh dari sentuhan rakyat yang menimbulkan sisi sinis masyarakat banyak yaitu reformasi, desentralisasi dan demokrasi merupakan sumber baru petaka di daerah. Berbagai persoalan diatas, sering menimbulkan persoalan tersendiri bagi pengembangan demokrasi di daerah terutama dalam mendorong tumbuhnya kemitraan dan kerjasama yang terbuka antara pemerintah daerah dengan unsurunsur nonpemerintah (di berbagai daerah tumbuhnya kemitraan dan kerjasama yang terbuka yang mengarah kepada kesetaraan dan pembelajaran). Begitu juga prakarsa inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kearah good fovernance

116

dan reinventing government akan menjadi terhambat apabila pemerintah daerahnya sibuk hanya untuk memperkaya diri pribadi dan koloninya. Tumbuhnya organisasi kemasyarakatan yang sangat marak di setiap daerah membuat ruang publik semakin terbuka luas. Organisasi kemasyarakatan ini saling bekerjasama membangun jaringan untuk melakukan riset, mengorganisir masyarakat, mengelar advokasi untuk desentralisasi dan demokrasi, menjadi struktur mediasi dan memfasilitasi partisipasi dan kemitraan antara pemerintah daerah dan masyarakat. Di balik kemajuan dalam organisasi non pemerintah, dapat dengan mudah disaksikan sisi paradoksal, secara horizontal kemajemukan masyarakat menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas, sehingga polarisasi idiologi dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Gerakan demokrasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat yang lain, masih terdapat elemen masyarakat bahkan partai politik merupakan bagian dari pemeliharaan status quo yang siap melumpuhkan elemen masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah yang bermasalah atau korupsi di pemerintahan daerah dengan memainkan para preman bayaran, walaupun kondisi ini tidak menghentikan gerakan demokratisasi namun harus dibayar dengan resiko kekerasan akibatnya gerakan civil society dewasa sekarang terseok-seok. Akibat lebih jauh dari kondisi ini timbulnya problem baru yaitu distrust (rendahnya kepercayaan) antar elemen. Hubungan kewenangan pusat dan daerah di Indonesia berdasarkan UU.NO. 32 tahun 2004 berhubungan dengan hubungan kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan dekonsentrasi yang sekaligus berkaitan dengan hirarkhi pemerintahan. Dari dari pengertian desentralisasi dan daerah otonom (Pasal 1 angka 5, 6 dan 7 UU.NO. 32 tahun 2004), pada dasarnya menghendaki desentralisasi merupakan otonomi suatu masyarakat dalam wilayah tertentu batas-batasnya yang menjelma menjadi daerah otonom. Dilihat dari subtansi pasal-pasal yang mengatur penyelenggaraan otonomi dan prakteknya cenderung hanya dilakukan 117

oleh pemerintahan daerah, makna desentralisasi menjadi penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat (elit nasional) kepada pemerintah daerah (elit lokal), akibatnya keberadaan masyarakat yang berotonomi menjadi kabur maknaya lebih-lebih peran serta aktif dari masyarakat dalam setiap tahap penyelenggaraan otonomi kurang terakomodir. Akibat lebih lanjut cita otonomi daerah untuk lebih meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat mengalami kemerosotan, sedangkan anggaran daerah yang sekarang sudah cukup memadai sebagian besar lebih pada untuk membiayai birokrat dan anggota DPRD. Telah diyakini secara universal bahwa pembangunan akan lebih efektif dan efisien apabila didukung oleh partisipasi yang tinggi dari masyarakat. Pembangunan akan memberikan hasil yang optimal apabila memberikan manfaat terbesar bagi rakyat. Dengan demikian konotasi partisipasi tidak hanya terbatas pada keterlibatan dalam pengambilan keputusan tapi juga keterlibatan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Dalam Pasal 139 ayat (1) UU.NO. 32 Tahun 2004 terdapat subtansi pasal yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah, namun dirasakan sangat sumir sebab menurut penjelasan tersebut peran serta masyarakat dilaksanakan hanya berdasarkan peraturan tatatertib DPRD, hingga sekarang belum ada satu perdapun yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengaturan yang ditentukan pasal di atas juga lebih menekankan kepada peranan DPRD sebagai sentral pengemban misi menyuarakan aspirasi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai kelemahan struktural dari lembaga DPRD membuat lembaga ini belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Kaburnya tali hubungan antara yang mewakili dengan yang diwakili, keeratan hanya terjadi pada saat kampanye. Kebanyakan anggota DPRD loyal kepada partainya atau pada dirinya sendiri. Disisi lain dominasi birokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan daerah baik karena kelebihan-kelebihan dalam pengalaman, kemampuan dan kewenangan telah menyebabkan wakil-wakil 118

rakyat dalam posisi bargaining position dengan eksekutif, kondisi inipun berimplikasi terhadap cecks and balances tidak jalan. Pengaturan mengenai distribusi urusan ditentukan dalam Pasal 10 UU NO. 32 tahun 2004, yaitu urusan pemerintahan yang tidak dapat didesentralisasikan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal nasional, yustisi dan agama karena dipandang penting bagi keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Kelompok lain adalah urusan pemerintahan yang diselenggarakan menurut asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan instrasi vertikal di daerah dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan desa. Terdapat urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan, yaitu urusan pemerintahan diluar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Ketentuan adanya urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh gubernur selaku wakil pemerintah dan ditugasbantukan kepada daerah otonom atau desa menimbulkan persoalan tersendiri, karena akan sulit membedakan mana posisi sebagai wakil pemerintah dengan kepala daerah begitupun dalam melaksanakan tugas otonomi dan tugas pembantuan, oleh karennya apabila dilihat dari ketentuan tugas gubernur dan hal-hal yang ditugasbantukan kepada daerah otonom atau desa, maka sudah selayaknya tugas tersebut didesentralisasikan kepada daerah otonom. Dilihat dari dasar pendistribusian di dasarkan ketentuan Pasal 11 yang mengacu kepada kriteria eksternalitas; yaitu penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; Kriteria akuntabelitas; yaitu penaggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, dan terakhir berdasarkan kriteria efisiensi, yaitu penyelenggara suatu urusan pemerintah ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Selanjutnya dalam UU ini dinyatakan 119

urusan pemerintahan yang didesentralisasikan dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan (lihat Pasal 13 dan Pasal 14 UU.NO. 32 tahun 2004). Berdasarkan ketentuan di atas, Nampak bahwa distribusi urusan pemerintahan bagi pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota dipetakan secara rinci menurut ketiga kriteria di atas, dalam praktek penentuan kriteria yang tidak berdasarkan kondisi riil daerah menimbulkan konflik antara propinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan urusan wajibnya. Pada dasarnya daerah otonom tersusun secara hirarkhis yang dapat dilihat dari aspek pelaksanaan tugas pembantuan dari propinsi kepada kabupaten/kota dan desa serta oleh kabupaten/kota kepada desa, aspek lain dapat juga dilihat dari pemberian laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh kepala daerah kepada pemerintah secara bertingkat serta dalam hal pengangkatan Sekretaris Daerah, namun demikian walaupun terdapat susunan daerah otonom, namun tidak terdapat satu pasalpun yang menyatakan peraturan daerah propinsi berkedudukan lebih tinggi dari pada peraturan daerah kabupaten/kota, implikasi lebih luas dapat terjadi tumpang tindih pengaturan suatu urusan dalam suatu propinsi, sehingga terjadinya pengingkaran terhadap segala bentuk kendali dan kontrol pemerintah yang diatur dalam kerangka hukum disisi lain terjadi penampikan terhadap bentuk peraturan kebijakan yang harus dipatuhi seperti peraturan menteri (kondisi ini akibat juga dari tidak tegasnya pengaturan Kedudukan Peraturan Menteri dan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat selain yang ditentukan oleh Pasal 7 UU.NO. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Hasil evaluasi peraturan daerah yang dilakukan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah yang telah ditetapkan daerah berhubungan erat dengan kapasitas dan political will pemerintah daerah. Sebagian tersebesar pengaturan dalam peraturn daerah adalah pungutan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD). Apabila dilihat dari kualitas dan manfaat peraturan daerah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat, dapat dikatakan bahwa kualitas peraturn daerah tersebut rendah dan memberatkan beban ekonomi masyarakat. Rendahnya kualitas perda disebabkan minimnya partisipasi masyarakat dalam 120

proses penyusunan, atau minimnya implementasi prinsip transparansi dan akuntabelitas dalam penyusunan dan pelaksanaan peraturan daerah. Terdapat peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan nasional. Salah satu fenomena yang sangat menonjol pola hubungan keuangan pusat dan daerah adalah ketergantungan keuangan daerah yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat secara umum kondisi ini tercipta karena adanya ketimpangan fiskal disisi lain kesulitan daerah dalam penentuan kebutuhan keuangan merupakan persoalan tersendiri. Konsekuensi dari kondisi seperti ini pembangunan daerahpun menjadi sangat tergantung pada Pemerintah Pusat. Berdasarkan pendapat Made Suwandi6, melihat persoalan keuangan pusatdaerah di Propinsi Lampung terdapat permasalahan permasalahan keuangan daerah antara lain berhubungan dengan : a. Rendahnya sumber-sumber keuangan lukratif telah menyebabkan

ketergantungan keuangan yang tinggi pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. b. Perimbangan keuangan daerah tidak akan efektif dan efisien sepanjang belum diupayakan adanya reaktualisasi otonomi daerah dan pembuatan standarstandar pembiayaan untuk pelaksanaan urusan otonomi tersebut. c. Secara empirik sistem perimbangan keuangan selama ini lebih bertumpu pada subsidi. d. Secara empirik pendekatan perimbangan keuangan yang lebih memberikan dominasi pusat untuk menguasai sumber-sumber keuangan lukratif telah mengakibatkan terjadinya bias of allocation dengan memberikan akses pendanaan yang lebih besar kepada departemen-departemen pusat dan kanwil serta kandepnya di daerah untuk melakukan pembangunan. e. Penggunaan sistem grant dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah menimbulkan kekurangan kemandirian daerah yang menyebabkan daerah

Made Suwandi dalam Robert A. Simanjuntak, 2005; hal 278-279, Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 tahun, TIFA.

121

kurang kreatif dan inovatif dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah yang tidak membebankan keuangan masyarakat daerahnya. Dari pendapat di atas, maka disain perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan UU.NO. 33 tahun 2004 belum mampu memperkecil kesenjangan antar daerah, bahkan berpotensi memperbesar kesenjangan tersebut dengan semakin mengencilnya peran dan anggaran pusat untuk memprioritaskan pembangunan di daerah-daerah tertinggal. Demikian juga dengan maraknya pembentukan daerah-daerah otonom baru (pemekaran) yang membebani keuangan negara dan daerah lebih memperkecil kemampuan fiskal pemerintah untuk didistribusikan ke daerah, utamanya daerah tertinggal, akibat lebih lanjut terbatasnya kemampuan alokasi anggaran pemerintah daerah untuk pelayanan dasar dan peningkatan akses ekonomi masyarakat. Apabila dikaitkan sistem otonomi yang diterapkan UU.NO. 32 tahun 2004 yang lebih meletakkan prinsif semua fungsi pemerintah adalah urusan rumah tangga daerah, kecuali secara kategoris ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat, sedangkan urusan rumah tangga bersifat pelayanan yang banyak menyerap anggaran dari pada menghasilkan uang, disisi lain kebutuhan pelayanan semakin meningkat baik mutu maupun jenisnya yang merupkana implikasi dari kemajuan masyarakat itu sendiri, sedangkan urusan yang dilakukan pemerintah pusat lebih besar sehingga memerlukan anggaran yang besar pula, dapat dapat diprediksi bahwa kesulitan bagi setiap daerah yang benar-benar mampu membelanjai secara penuh rumah tangganya. Tidak heran bila setiap tahun untuk menjamin perolehan anggaran yang cukup wajar, daerah melakukan perjuangan dan bahkan harus menuntut hak daerah untuk mendapatkan anggarannya dengan menyiapkan berbagai pelumas untuk memperoleh perimbangan keuangannya itu. Salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi adalah tujuan ekonomis dan administratif. Tujuan ini menitik beratkan pada pemikiran bahwa keberadaan Pemerintah Daerah akan dapat membantu Pemerintah Pusat dalam memeratakan 122

pembangunan, meningkatkan efisiensi pelayanan, mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, mengefektifkan perencanaan pembangunan dan sebagainya. Untuk memacu pembangunan daerah, termasuk di dalamnya pembangunan

politik dalam usaha pengembangan dan penerapan demokrasi di daerah, maka dibutuhkan situasi kondusif yang akan memungkinkan daerah untuk berperan secara optimal dalam pembangunan. Dari berbagai analisis sebelumnya dapat dikatakan bahwa sistem dan praktek otonomi sekarang belum menciptakan situasi yang favaorauble untuk meningkatkan kinerja pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah, hal ini disebabkan faktor eksternal pemerintahan daerah, seperti hirarkhi atasan yang menciptakan ketergantungan daerah yang berhubungan dengan memacu

kewenangan, berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak

terciptanya siatuasi kondisif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan hasil pembangunan, pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan faktor internal pemerintah daerah, masih terdapat kelemahan dari sumber daya manusia, sumber dana, pertentangan politik dan manajemen yang kurang baik. Perubahan UUD 1945 mengganti secara menyeluruh ketentuan pasal 18 dan penjelasannya. UUD 1945 Perubahan mengatur Pemerintahan Daerah Dalam Bab VI Di bawah Judul Pemerintah Daerah, yang dalam kaitannya dengan hubungan kekuasaan pusat dan daerah ditentukan Pasal 18, 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal ini, terdapat prinsip bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah bersifat hirarkhi dan vertikal, sehingga tercermin delegasi wewenang kepada daerah membutuhkan pertanggungjawaban. Prinsip ini menunjukkan terdapat pola hubungan kekuasaan antar organisasi, yaitu antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Propinsi; antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota; antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pola hubungan ini merupakan penyelenggaraan desentralisasi yang diatualisasikan dengan keberadaan local self goverment, sedangkan pola hubungan kekuasaan intra organisasi juga tercermin dari hubungan instansi pusat departemen atau lembaga 123

pemerintah non departemen dengan organisasi (instansi) vertikalnnya di daerah. Pola hubungan ini merupakan penyelengaraan dekonsentrasi. UUD 1945 juga mengatur Prinsip hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah didasarkan kepada kekhususan dan keragaman daerah: Kekhususan daerah disini adalah keistimewaan yang terdapat dimasing-masing daerah, sedangkan keragaman daerah dimaksudkan bahwa antar daerah yang satu dengan daerah lainnya masing-masing berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan pemikiran demikian, maka bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam, karena sangat ditentukan oleh berbagai kondisi yang ada dimasing-masing daerah. Otonomi untuk daerah pertanian tentunya akan berbeda di daerah industri atau di daerah pantai, atau di daerah pedalaman yang masih sangat kuat dipengaruhi adat budaya lokalnya dan lain sebaginya. Dilihat dari hubungan keuangan pusat dan daerah UUD 1945 telah menegaskan harus dilaksanakan secara selaras dan adil: Ketentuan ini menunjukkan bahwa daerah berhak memperoleh secara wajar dan adil segala sumberdaya untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang mandiri dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Hak dari setiap daerah untuk mendapatkan bagian yang seimbang dari hasil-hasil daerah serta memperoleh manfaat dari segala pemanfaatan sumberdaya daerah yang bersangkutan, karena itu pengaturan tentang hubunngan keuangan pusat dan daerah harus dipertegas dan diperjelas dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas nampaklah bahwa cita-cita otonomi daerah bukan sekedar tuntutan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, melainkan sebagai tuntutan konstitusional yang berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum. Dari sudut demokrasi (secara normatif), otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersandingan dengan prinsip

124

negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum7. Dari berbagai dinamika politik dan hukum di daerah sebagaimana digambarkan terdahulu dikaitkan konstruksi dasar hubungan pusat dan daerah sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945, maka terdapat beberapa rencana tindak yang harus dilakukan yaitu; 1. Urusan-urusan yang dapat menjadi sumber keuangan secara bertahap harus diserahkan kepada daerah untuk dikelola, sedangkan urusan-urusan pelayanan umum dan berorientasi sosial dapat menjadi urusan pemerintah pusat. 2. 3. Analisis kebutuhan keuangan pemerintah daerah. Peningkatan diskresi keuangan Pemerintah daerah, pertama daerah diberikan sumber-sumber pajak yang lukratif termasuk bagi hasil pajak yang biasanya menjadi pajak pusat, disisi lain perlu ditingkatkan proporsi DAK dari total penghasilan bersih negara. Melalui kegijaksanaan sektoral, pemerintah pusat juga dapat meningkatkan porsentase alokasi anggaran tiap institusi pemerintah dengan mengarahkan programnya untuk daerah-daerah tertinggal. Kebijakan sektoral meski memiliki sensitivitas untuk mendukung daerah dalam menciptakan pusat-pusat baru kewilayahan, termasuk pusatpusat ekonomi, penguatan potensi peningkatan pendapatan terutama daerahdaerah tertinggail berdasarkan analisis biaya dan manfaat untuk keseluruhan wilayah Indonesia. 4. Dalam rangka efektifitas anggaran perlu ada keseimbangan antara diskresi pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahan otonomnya dan control pemerintah untuk menjaga kepentingan nasional, untuk itu perlu dikaji ulang mekanisme penyusunan anggaran untuk menghilangkan hambatan sistem dan proses penanggaran daerah bauk menyangkut produk hukum nasional maupun daerah yang memberikan keleluasaan otonomi daerah dalam rambu-rambu good governance. Pemerintah Pusat dapat menerapkan sistem monitoring dan evaluasi kinerja keuangan daerah yang dilengkapi
7

Bagir Manan, 2001, hal 58-59, Menyosong Pajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII,

125

dengan mekanisme reward dan punisbment bagi pemerintah daerah dalam hal fiskal, 5. Peningkatan akuntabilitas pemerintah daerah dalam anggaran terutama dilihat dari ketaat asas anggaran, penggelolaan, pembelanjaan harus dilakukan secara bertanggungjawab, pelanggaran terhadap ini harus dilakukan tindakan represif yang bersifat punishment oleh pemerintah pusat. 6. Perlu adanya kebijakan fiskal yang proporsional mengingat kebijakan fiskal dewasa sekarang masih belum mendukung peningkatan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatansendiri. Otoritas dan inisiatif daerah dalam hal pengelolaan sumber-sumber keuangan masih terbatas, yang mengakibatkan daerah semakin mengandalkan bantuan dari pusat untuk pemenuhan anggaran rutin dan pembangunannya. Berbagai terjadi di daerah dimana penyusunan anggaran pembangunan daerah sering tidak memperhatikan kebutuhan riil, dan memanfaatkan secdara optimal kondisi ekonomi dan potensi daerah sebagai bahan pertimbangan utama. Pemerintah daerah sering kurang menggunakan pertimbangan strategis sehingga alokasi anggara daerah benar-benar efisien, ekonomis dan membantu mengurangi kesenjangan antar daerah. Alokasi anggara lebih sering berdasarkan pada besarnya anggara daerah tahun sebelumnya dan besarnya bantuan proyek luar neger yang akan diterima pada tahun yang bersangkutan, akibat lebih lanjut alokasi anggara saat ini cendrung mendorong daerah-daerah yang telah memiliki tingkat pembangunan ekonomi yang manju semakin maju dan yang terbelakang menjadi semakin tertinggal di belakang. 7. Penguatan pengawasan atas implementasi prinsif pendekatan partisipatoris yang telah dipersyaratkan dalam UU.NO. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, disisi lain perlu pedoman pemerintah pusat dalam menilai peraturan derah yang dapat diterbitkan melalui proses Regulatory Impact Analysis yang berbasis cost and benefit analysis dan prinsif-prinsif good governance akuntabilitas, efektifitas, efisiensi). 8. Dibidang pengawasan peraturan perundang-undangan daerah, perlu penegasan dan pengaturan bahwa pemerintah mepunyai kewenangan 126 (transparansi, partisipatif,

pembatalan peraturan daerah dan masyarakat dapat mengajukan judicial review. 9. Perimbangan kewenangan pusat-daerah harus mencerminkan adanya check and balances pusat terhadap daerah, apabila pemerintah pusat tidak mampu mengawasi prilaku daerah, maka kecendrungan sistem pemerintah tidak berjalan. 10. Peningkatan kapasitas DPRD harus dilakukan secara kelembagaan, Secara nasional diperlukan UU yang mengatur ketentuan penguatan kapasitas kelembagaan DPRD, diwajibkan adanya staf ahli secara permanen agar, lembaga DPRD benar-benar menjadi mitra seimbang dengan pemerintah daerah dalam perumusan berbagai kebijakan strategis 11. Dalam rangka memperkuat daerah pemekaran perlu dilakukan melalui berbagai program pemerintah pusat melalui peningkatan kapasitas dan dukungan anggaran, sisi lain perlu diperketat persyaratan dan mekanisme pemekaran daerah, begitu juga kerja sama antar daerah seperti yang

dimandatkan UU.NO. 32 tahun 2004 perlu mendapat prioritas, dilihat dari berbagai kepentingan antar daerah, inefisiensi anggaran, menyempitnya skala ekonomi akibat sekat administratif pemerintahan, tata ruang wilayah, pengelolaan sumber daya alam dapat diatas melalui kerjasama antar daerah. 12. Dilihat dari aspek politik dalam proses pemilihan kepala daerah yang ditentukan oleh UUD 1945 yang dipilih secara demokratis, perlu pernegasan pencantuman ditingkat konstitusi bahwa peluang kandidat perseorangan dijamin oleh konstitusi, mengingat pengakuat calon independen dalam UU dapat dengan mudah berubah dan keliru dalam penafsiran dipilih secara demokratis dikemudian hari. Dari berbagai alternatif analisis di atas, sudah saatnya memperkuat DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mewakili kepentingan daerah memiliki kewenangan di bidang legislasi, pengawasan dan keuangan. Kewenangan DPD tidak akan mengurangi kewenangan DPR dan Presiden dalam membentu UU, sebab kewenangan DPRD tersebut berhubungan dengan kepentingan darah yang

127

wajib diperhatikan dan diperjuangkan terutama hak-hak daerah serta perlidungan terhadap wilayah daerah. Kewenangan legislasi dan pengawasan merupakan kunci dan ujung tombak masuknya kepentingan daerah dalam peraturan perundang-undangan yang di dalamnya termasuk materi muatan daerah, sedangkan dari sisi keuangan dapat dilakukan kontrol penyeimbangan keuangan pusat-daerah.

128

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Provinsi Lampung dan 10 Kabupaten/Kota pada periode UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 terjadi perubahan yang mendasar dari era sebelumnya yaitu UU No.5/1974 yang sudah berlangsung lebih 30 tahun lamanya. Perubahan mendasar tersebut menyangkut terjadinya pergeseran dari model

pemerintahan yang sentralistis ke model pemerintahan desentralistis yang lebih bermakna. Model pemerintahan daerah berdasarkan ke dua UU tersebut, memberikan kewenangan kepada pemda untuk mengurus dan mengelola pemerintahannya berdasarkan aspirasi dan kepentingan daerah dengan tetap mengacu pada garis kebijakan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.32/2004 merupakan model jalan tengah. Model ini dinilai sebagai model yang sesuai untuk menggabungkan penyelenggaraan pemerintah antara kepentingan, di ini, aspirasi daerah dan dengan demokratisasi kepentingan konsekuensi

pemerintahan Model

pusat.

menimbulkan

penyelenggaraan pemerintahan yang masih berpegang pada model hirarkis, implementasi kebijakan yang terbatas, kontrol dari pemerintah, keteraturan hubungan kewenangan, tertib dan stabilitas pemerintahan yang terjaga, keutuhan NKRI, dan homogenitas regulasi. Model ini menghasilkan model otonomi yang cenderung menghambat implementasi kebijakan, tidak berorientasi pada pemecahan masalah, minimnya keterbatasan anggaran, fungsi pengawasan yang tidak efektif, dan terbatasnya kemandirian daerah. Walaupun terdapat perubahan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, namun masih muncul beberapa persoalan yang bersumber 129

masih belum efektifnya penyelenggaraan pemerintahan. Sejumlah persoalan mendasar tersebut yaitu fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD masih belum efektif, hubungan kerja Prov dan Kabupaten/Kota masih belum sinergi , terjadi pemborosan anggaran, masih terbukanya peluang korupsi, konflik sebagai akibat imbas pilkada, pelayanan publik masih belum memuaskan masyarakat, isu kemiskinan masih belum teratasi, dsb. Dari hasil temuan penelitian di lapangan, ternyata baik di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota, Pemda di Lampung lebih condong menerima UU No.32 Tahun 2004 daripada UU No.22/1999 dalam

menyelenggarakan pemerintahan. Argumen Umum diterimanya UU No.32/2004, antarlain : a) Hubungan Pemerintah Prov dengan Kabupaten/kota tidak bersifat hirakis telah mengembalikan model pemerintahan yang relative terintegrasi dan harmonis antara pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.Melalui pengawasan yang dilakukan model ini koordinasi dan Provinsi terhadap

pemerintah

Pemerintah Kabupaten/Kota dinilai jauh lebih baik dibandingankan dengan UU No.22/1999 b) Kedudukan dan kewenangan DPRD tidak dominatif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga jaminan terhadap

terjaganya tertib dan stabilitas pemerintahan, serta keberlangsungan pemerintahan bisa dilaksanakan secara efektif. c) Kepentingan Daerah dalam perspektif adanya jaminan tertib dan stabilitas pemerintahan difahami dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sebagai salah satu ukuran untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah; d) Namun, dari sisi kemandirian daerah, kepentingan daerah masih belum bisa diakomodasi secara menyeluruh berdasarkan regulasi yang berlaku sekarang ini. Intervensi atau Campur tangan Pusat kepada Daerah atau Campur tangan Provinsi Ke Kabupaten/Kota, dari hasil penelitian masih diperlukan, 130

sepanjang intervensi itu difahami dalam menjaga keutuhan NKRI, menyelesaikan konflik/perselisihan antar daerah, pemerataan

pembangunan, menghindari penyimpangan yang dilakukan oleh Daerah, untuk pembinaan karier pegawai daerah, menjaga keutuhan NKRI, untuk kepentingan pengawasan, agar tidak muncul raja-raja kecil, untuk mensikronkan pembangunan, dan agar perda tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih atas. Namun, intervensi harus dihindari untuk kepentingan membatasi pengembangan kemandirian daerah, proses demokratisasi pemerintahan, dan implementasi kebijakan di Daerah. Kendati UU No.32 Tahun 2004, bisa diterima sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi kepentingan daerah dan pusat, namun dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan masih dijumpai problem implementasi baik dari segi pelaksanaan kewenangan, hubungan Provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan, implementasi kebijakan pemerintah, sistem administrasi kepegawaian, dan sistem administrasi keuangan daerah. Di dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan selama ini masih masih muncul kebijakan yang bertentangan antara pemerintah Provinsi dengan pemerintahan Kabupaten/Kota, yang seringkali menimbulkan

disharmonisasi komunikasi juga berdampak pada masyarakat banyak. Sebagai akibat perbedaaan kepentingan dan kebijakan kabupaten/kota dengan provinsi, muncul inkonsistensi kebijakan antara pemerintah

Propinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota. Sistem dan praktek otonomi sekarang belum menciptakan situasi yang favaorauble untuk meningkatkan kinerja pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah, hal ini disebabkan faktor eksternal pemerintahan daerah, seperti hirarkhi atasan yang menciptakan ketergantungan daerah yang berhubungan dengan kewenangan, berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak memacu terciptanya siatuasi 131

kondisif

bagi

pemerintah

daerah

untuk

meningkatkan

hasil

pembangunan, pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan faktor internal pemerintah daerah, masih terdapat kelemahan dari sumber daya manusia, sumber dana, pertentangan politik dan manajemen yang kurang baik.

5.2 Rekomendasi
Untuk menjawab terhadap persoalan otonomi daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota diajukan beberapa rekomendasi sebagai model alternatif untuk pengembangan pelaksanaan otonomi daerah ke depan dan sebagai bahan masukan untuk revisi UU No.32 tahun 2004, sebagai berikut : Esensi pelaksanaan otonomi daerah bukan sekedar tuntutan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, melainkan sebagai tuntutan konstitusional yang berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum. Dari sudut demokrasi (secara normatif), otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersandingan dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum. Proses pemilihan kepala daerah yang ditentukan oleh UUD 1945 yang dipilih secara demokratis, perlu penegasan pencantuman ditingkat konstitusi bahwa peluang kandidat perseorangan dijamin oleh konstitusi, mengingat pengakuat calon independen dalam UU dapat dengan mudah berubah dan keliru dalam penafsiran dipilih secara demokratis dikemudian hari. Perlu adanya kebijakan fiskal yang proporsional mengingat kebijakan fiskal dewasa sekarang masih belum mendukung peningkatan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatansendiri Dalam rangka efektifitas anggaran perlu ada keseimbangan antara diskresi pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahan otonomnya dan control pemerintah untuk menjaga kepentingan nasional, untuk itu perlu dikaji 132

ulang mekanisme penyusunan anggaran untuk menghilangkan hambatan sistem dan proses penganggaran daerah bauk menyangkut produk hukum nasional maupun daerah yang memberikan keleluasaan otonomi daerah dalam rambu-rambu good governance. Pemerintah Pusat dapat

menerapkan sistem monitoring dan evaluasi kinerja keuangan daerah yang dilengkapi dengan mekanisme reward dan punishment bagi pemerintah daerah dalam hal fiskal. Peningkatan diskresi keuangan Pemerintah daerah, pertama daerah diberikan sumber-sumber pajak yang lukratif termasuk bagi hasil pajak yang biasanya menjadi pajak pusat, disisi lain perlu ditingkatkan proporsi DAK dari total penghasilan bersih negara. Melalui kegijaksanaan sektoral, pemerintah pusat juga dapat meningkatkan porsentase alokasi anggaran tiap institusi pemerintah dengan mengarahkan programnya untuk daerahdaerah tertinggal. Model Otonomi Daerah yang diajukan dari hasil penenelitian ini adalah model otonomi yang berorientasi pada pengurangan derajat

ketergantungan pada pemerintah pusat. Model ini dicirikan dengan penyeragaman regulasi yang terbatas, kewenangan yang disesuaikan dengan kemampuan daerah, keseimbangan kapasitas kewenangan dengan daya dukung sumbur pembiayaan, kejelasan fungsi kewenangan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan model penguatan sistem check and balances Peningkatan kapasitas DPRD harus dilakukan secara kelembagaan, Secara nasional diperlukan UU yang mengatur ketentuan penguatan kapasitas kelembagaan DPRD, diwajibkan adanya staf ahli secara permanen agar, lembaga DPRD benar-benar menjadi mitra seimbang dengan pemerintah daerah dalam perumusan berbagai kebijakan strategis Perimbangan kewenangan pusat-daerah harus mencerminkan adanya check and balances pusat terhadap daerah, apabila pemerintah pusat tidak mampu mengawasi prilaku daerah, maka kecendrungan sistem pemerintah tidak berjalan

133

Di bidang pengawasan peraturan perundang-undangan daerah, perlu penegasan dan pengaturan bahwa pemerintah mepunyai kewenangan pembatalan peraturan daerah dan masyarakat dapat mengajukan judicial review.

134

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Otonomi Daerah Dan Parlemen Di Daerah. Makalah Disampaikan dalam Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000. Abdul Wahab, Solichin. Putra, Fadilah. Arif, Saiful. Otonomi Daerah, SIC, Surabaya. 2002. Masa Depan

Cooper et.al. 1998. Public Administration for the Twenwty-First Century. London : Harcourt Brace College Publisher. Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah, Pustaka Quantum, Jakarta. Hidayat, Syarif. 2002. Exploring Indonesia Local State-Elites Orientation Towards Local Autonomy, JICA, Jakarta. 2002. Mahwood.P (ed) 1987. Local Government in The Third World : The Experience of Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons. Moeleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung. PT Remaja

Majchrzak, Ann. 1981. Methode For Policy Research. Sage Publication, Beverly Hills, London. Makhya, Syarief. 2005. UU NO.32 Tahun 2004 : Antara Tertib Pemerintahan dan Demokratisasi Terbatas, Lampung Post, 2005. Naoetion, S., 1988. Metode penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Ramses.M. Andi, Format Baru Otonomi Daerah, Makna dan Implikasinya terhadap Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 11 Tahun 2000, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2000. Rondinelli, D.A. 1981. Government Decentralization in Comparartive Perspective : Theory and Practice in Developing Countries. International Review of Administrative Sciences Vo. XLVII No.2. 135

Smith, B.C. 1986. Decentralization : The Territorial Dimension of The State, London : George Allen & Unwin. Sugiyono, 1998. Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta. Bandung UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat-dan Pemerintahan Daerah

136

137

You might also like