You are on page 1of 3

PENYULUH AGAMA ISLAM HONORER

KABUPATEN MALANG ,
MELANGKAH ATAUKAH MENUNGGU?

Oleh : Muhamad Munir, ST.*)


24 September 2008

Selasa, 23 September 2008 kemarin para Penyuluh Agama Islam (PAI) Honorer se-
Kabupaten Malang menghadiri undangan untuk mengikuti Pembinaan dari Kepala Seksi
Penamas Kantor Departemen Agama Kabupaten Malang. Pembinaan itu sendiri berupa
penjelasan status dan fungsi PAI Honorer, Pengisian Biodata tenaga PAI Honorer, Cara
pembuatan laporan kegiatan, sharing informasi yang disampaikan oleh narasumber Ibu
Kepala Lapas Wanita Sukun-Malang, serta ‘yang utama’ yaitu penerimaan honor rapelan
enam bulan untuk periode bulan Januari sampai dengan Juni 2008.
Dari tiga puluh tiga kecamatan se kabupaten Malang, jumlah PAI yang mengajukan
permohonan dan terdaftar sebanyak 251 orang laki-laki dan perempuan, dengan status
Penyuluh Madya (Pendidikan S1) sebanyak 115 orang dan Penyuluh Muda (pendidikan
s/d SLTA) sebanyak 136 orang. Adapun komposisi PAI wanita dari 251 orang tersebut
adalah sepertiganya dengan laki-laki dua pertiga dari jumlah tersebut.
Menurut Keterangan dari bapak Drs. Imam Turmudi, M.Ag (Kasi Penamas), Penyuluh
Agama Isalm di lingkungan Departemen Agama ada dua macam, “Pertama, Penyuluh
Agama Islam Fungsional, yang diangkat secara resmi (sebagai PNS) oleh Negara. Yang ini
SK-nya diteken oleh Menteri Agama. Kedua, Penyuluh Agama Islam Honorer, yang
diteken oleh saya, undangannya. Undangané Thok”, kata pak Turmudi berkelakar.
Lebih lanjut Bapak Kasi Penamas yang murah senyum itu menyampaikan, semula
pembinaan Penyuluh Agama Islam ini akan dilaksanakan pada awal bulan Juli yang lalu,
namun karena waktu itu juga mengadakan pembinaan untuk Guru Agama Islam Honorer,
maka untuk PAI Honorer diadakan pada akhir bulan September ini. Hal ini ada baiknya
juga, dimana sedikit honor (bisyaroh) yang diterimakan bisa untuk tambahan sangu
berhari raya. Insya-Allah pertemuan pembinaan semacam ini akan diadakan setiap tahun
dua kali.
Sedangkan Bapak Drs. KH Musta’in, M.Ag, Kakandepag Kabupaten Malang yang masih
baru menjabat sebagai Kepala Kantor menyampaikan bahwa istilah Honorer itu kurang
tepat, masak honor cuma segitu saja, yang lebih tepat adalah bisyaroh. Namun, biarlah
jumlahnya kecil tetapi mudah-mudahan bisa barokah. Diharapkan, ke depan yang
diberikan untuk para Penyuluh tersebut bisa lebih besar lagi. Namun semua itu tergantung
pengajuan ke pusat, mengingat dana (honor) yang dibagikan itu berasal dari pemerintah
melalui Departemen Agama RI. Sementara itu, Bapak Kepala Kandepag menyadari bahwa
para bapak ibu penyuluh yang datang pada acara itu telah melakukan (yaitu pembinaan
moral dan keagamaan kepada masyarakat, jama’ahnya, anak didiknya, santri-santrinya)
lebih banyak, lebih penting, lebih luas dibandingkan dengan uang sangu atau bisyaroh
yang diterimanya. Dimana tugas-tugas pembinaan keagamaan kepada masyarakat itu,
jelasnya, adalah fungsi dan tugas Pemerintah yang diembankan kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten Malang.
Selanjutnya, Bapak Kyai Musta’in mengharapkan kepada para Penyuluh Agama Islam,
yang diantaranya ada Hafidz-hafizhah, Qori’, Muballigh-muballigh muda itu untuk
meningkatkan tingkat keihlasan dalam berdakwah serta tetap menjaga semangat dalam
berdakwah, meskipun sudah tidak mendapatkan honor lagi.
***
Sekilas, penulis mengamati, dari dua ratus lebih PAI yang hadir di aula Kandepag pada
Selasa pagi itu, mengisayaratkan semangat berdakwah yang cukup tinggi yang dilakukan
oleh masyarakat secara sukarela atau karena panggilan hati nurani sebagai umat Islam
dimana setiap pribadi Muslim mengemban misi mendakwahkan agama Islam kepada
mereka yang belum memahaminya.
Para PAI dengan latar belakang pendidikan mulai dari SR (sekolah Rakyat), Pesantren
hingga Pasca Sarjana tersebut selama ini telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya
guna mendidik dan membina masyarakat terutama melalui pendidikan non formal. Pondok
Pesantren, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Madrasah Diniyah (Madin), Majlis
Taklim, Kelompok Ngaji Tradisional di Masjid atau Musholla, dan sebagainya, adalah
wadah dan sarana mereka mengajarkan agama dan pembinaan akhlaq kepada masyarakat.
Namun sayangnya, pemberian honor untuk PAI itu lebih bernuansa pemerataan saja.
Meskipun kenyataannya tidak bisa merata, mengingat dari satu kecamatan yang
mendapatkan kesempatan menerima honor hanya sekitar enam sampai sepuluh orang atau
tergantung jumlah desa dalam satu kecamatan. Kemungkinan jumlah ini hanya meng-
cover antara 2 – 5 % dari jumlah Penyuluh Agama Islam yang berada di suatu Kecamatan.
Kemudian untuk tahun berikutnya kesempatan untuk mendapatkan honor tersebut dibatasi
dan gantian dengan yang lainnya. Padahal beban pembinaan akhlaq kepada masyarakat
tidak berhenti atau berganti, tetapi malah meningkat sejalan dengan pengaruh lingkungan
dan tantangan jaman yang semakin memprihatinkan.
Sementara di satu sisi, diantara para PAI yang menerima honor tersebut ada yang juga
merangkap guru agama, atau merangkap sebagai Modin (Kaur Kesra) atau yang lainnya
sehingga besar kemungkinan adanya ‘Double Counting’ atau mendapatkan honor rangkap.
Di mana hal ini, menurut Kasi Penamas, hendaknya dihindari. Lain halnya menurut para
Penyuluh Agama Islam, yang mungkin menjadi pemikiran para Guru Ngaji atau para PAI
tersebut, masak sih menerima honor hanya sebesar itu per bulannya dan paling-paling
dalam lima tahun hanya sekali saja menerima (itupun kalau dapat kesempatan) jika
kebetulan terjadi double counting harus dihindari.
Coba saja, kalau kita tengok masalah yang sama untuk saudara-saudara kita yang di Kota
Batu, yang konon (Penulis belum mendapatkan informasi yang valid) setiap Guru TPQ
atau Muballigh di Masjid atau Musholla atau Khotib Jum’at, Imam Masjid atau Takmir
Masjid setiap bulannya menerima insentif dari pemkot Batu dan itu tidak sekali dalam
lima tahun tetapi setiap bulan, dan dengan jumlah dua kali lipat atau lebih jika
dibandingkan dengan honor yang diterima oleh PAI Kabupaten Malang. Memang tidak
obyektif membandingkan antara Kabupaten Malang yang wilayahnya luas dengan kota
Batu yang hanya terdiri atas tiga kecamatan.
Tapi, bukankan wilayah yang luas juga memberikan kontribusi yang luas pula kepada
Pemerintah?. Terus apakah yang di pinggiran kota Batu perlu merger dengan kota Batu?.
Lha, kalau pertanyaannya dibalik kepada para PAI sendiri, sampean memangnya mengajar
TPQ, berdakwah atau mengajar ngaji itu untuk mencari honor/ gaji atau untuk beribadah
kepada Allah?. Wah, jadinya malah ruwet nih. Penulis menyadari, perdebatan ini jika
diteruskan tidak akan mudah ditemukan ujung pangkalnya. Namun setidaknya, hal ini ke
depan bisa menjadi pertimbangan yang bermanfaat bagi para aparat pemerintahan kita
yang berkompeten untuk satu tujuan kebaikan atau kemaslahatan masyarakat atau umat.
Yang jelas, apapun yang mereka para Penyuluh Agama Islami hadapi dari honor tersebut
ada atau tidaknya, ke depan meningkat atau malah tidak ada lagi, para Penyuluh Agama
Islam tetap melangkahkan kaki untuk membina umat, mendidik santrinya, membina
masyarakatnya. Adapun masalah honor, bisyaroh, insentif atau gaji sekalipun, kalau
memang jatahnya akan sampai juga kepadanya, sehingga dia tinggal menunggunya.
Bukankah terhadap rizki yang halal, mereka senantiasa memohon kepada Allah untuk bisa
memperolehnya?.[24.00]
Sekian, Wallahu A’lam Bishowab.

*) Penulis adalah Ketua Takmir Masjid dan Pembina Majlis Taklim Masjid Nurul Huda Landungsari
Kecamatan Dau, dan juga salah satu Penyuluh Agama Islam Honorer Kabupaten Malang Tahun 2008.
Alamat : Jl. Tirto Taruno No. 22A Landungsari Dau Malang, Hp. 08123312213,
email: emmun_sim22@yahoo.com, http//:www.masmunir.multiply.com

You might also like