You are on page 1of 6

Pornografi/aksi Melecehkan Nilai Kemanusiaan

Oleh: A Khudori Soleh

RUU Pornografi telah menimbulkan pro kontra. Mereka


yang setuju mendesak DPR untuk segera mengesahkan Undang-
Undang tersebut, karena dianggap dapat menjaga dan menekan
hal-hal yang dapat merusak moral anak bangsa. Sebaliknya,
mereka yang menolak melakukan demonstrasi menentang.
Alasannya, Undang-Undang tersebut dikhawatirkan dapat
memasung kreativitas dan kelestarian budaya. Tulisan ini tidak
akan terlibat dalam polemik tersebut melainkan hanya ingin
melihat perilaku pornografi dan pornoaksi dalam kaitannya
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Harus diakui bahwa perilaku pornografi maupun pornoaksi
bukan sesuatu yang baru dan asing bagi masyarakat kita. Sudah
tidak terhitung pornografi dan pornoaksi yang tersaji de depan
kita. Mulai dari kalender porno, gambar iklan, film, goyang
panggung dan seterusnya. Masyarakat terasa capek memberikan
komentar dan respon.
Yang menarik, para pelaku itu biasanya berkelit dengan
alasan seni. Mereka melakukan itu semua demi seni dan tidak
ada yang porno dalam dunia seni. Alasan ini juga digunakan
Ratna Dewi Sukarno ketika berpose syur dalam bukunya “syuga"
beberapa tahun lalu. Benarkah demi seni? Seni apa yang
menganjurkan kita telanjang? Jika benar, dimana nilai-nilai
kemanusiaan kita? Bagaimana menjelaskan perbedaan kita
dengan binatang yang juga telanjang? Atau bagaimana
menjelaskan perbedaan kita dengan orang-orang di pedalaman
yang juga telanjang, yang karena itu kemudian kita sebut mereka
primitive?

Seni Telanjang
Pernyataan bahwa adegan dan gambar telanjang
mengandung nilai-nilai estetika tinggi adalah berasal dari paham
humanisme Yunani kuno. Menurut Ali Syariati paham ini
berangkat dari sebuah mitologi yang menganggap bahwa antara
langit dan bumi, antara alam dewa dan manusia terdapat
pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul
kedengkian dan kebencian di antara keduanya. Para dewa
dianggap sebagai kekuatan yang memusuhi manusia. Segala
perbuatan dan usahanya ditegakkan diatas kekuasaan yang
dzolim terhadap manusia. Siapa yang tidak patuh dianggap
pembangkang dan dihukum berat.
Di sisi lain, manusia selalu berusaha menyelamatkan diri
dari belenggu dan keangkara-murkaan tersebut. Untuk bisa
bebas dan merdeka, manusia harus mampu merebut kekuasaan
dewa, dan menggusur tahta kekuasaan mereka atas alam
semesta. Hubungan yang bercorak permusuhan seperti itu, tentu
saja logis dan wajar. Sebab, dalam mitologi Yunani kuno, dewa
adalah penguasa segala bentuk dan manifestasi dari kekuatan
fisik yang terdapat dalam alam semesta; laut, sungai, gempa,
penyakit, kelaparan, panas, hujan dan lain-lain.
Berdasarkan hal itu, maka pertarungan antara dewa dan
manusia, pada dasarnya adalah pertarungan antara manusia
melawan penguasa alam yang berlaku atas kehidupan, kehendak
dan nasib manusia. Manusia sendiri, dengan segala kekuatan,
kecerdasan dan kesadarannya yang meningkat, mencoba
membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut; agar
mampu menentukan urusannya sendiri dan menjadi kekuatan
yang berkuasa atas alam semesta.
Dari mitos tersebut, paham humanisme Yunani akhirnya
mengambil bentuk sebagai penentangan terhadap kekuatan
dewa, kekuatan tuhan-tuhan sesembahan mereka. Humanisme
Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh
kebenciannya kepada tuhan. Bahkan, mereka akhirnya
mengingkari-Nya dan hanya memperhatikan dirinya sendiri.
Manusia dianggap sebagai puncak segalanya; penentu benar
salahnya suatu perbuatan, dan potensi segala keindahan.
Karena itu, dalam estetika Yunani, tubuh manusia menjadi
perhatian utama. Karya-karya besar mereka, baik berupa
bangunan, seni lukis atau patung, selalu mengambil manusia
sebagai objek, dan menggambarkannya dalam bentuk telanjang.
Sebab, lekuk-lekuk tubuh --umumnya wanita-- telajang dianggap
sebagai puncak karya seni dan puncak keindahan, sesuai dengan
paham humanisme mereka yang sangat mengagungkan dan
memusatkan pada diri dan tubuh manusia.

Humanisme Sejati
Manusia diciptakan dari tanah. Namun, hal itu bukan
berarti ia mahluk rendah. Manusia masih mempunyai dimensi
lain yang bukan tanah. Ia memiliki "fitrah" atau "ruh" yang
langsung diberikan Tuhan (al-Hijir, 19); yang membuatnya
menjadi mahluk paling mulia, lebih unggul dari binantang
bahkan malaikat.
Manusia adalah mahluk yang sadar (berpikir), baik tentang
dirinya sendiri maupun lingkungannya. Tentang dirinya,
maksudnya, manusia memiliki pengetahuan budaya dalam
nisbatnya dengan dirinya; hal mana yang memungkinkan
manusia mempelajari dirinya sebagai objek yang terpisahkan;
menarik hubungan sebab akibat, menganalisa, mendefinisikan,
menilai dan akhirnya mengubah dirinya sendiri. Sadar
lingkungan, maksudnya, manusia mampu memahami alam luar,
menemukan berbagai hal yang tersembunyi dari indera dan
mampu menganalisa serta mencari sebab-sebab dalam setiap
fakta, tanpa terpaku pada hal-hal yang bersifat inderawi. 
Di sini, manusia bahkan mampu menembus batas-batas
indera dan merentangkan zamannya pada masa lalu dan masa
yang akan datang; dua masa yang ia sendiri tidak ada
didalamnya, serta mampu menggambarkan secara tepat, luas
dan teliti tentang lingkungannya. Sebab itu, manusia selalu
berteknologi. Ia tidak pernah menyerah atau hanya menerima
"apa yang ada", tetapi selalu berusaha mengubah menjadi
"bagaimana seharusnya". Manusia adalah satu-satunya mahluk
yang mampu mengubah lingkungan, bukan sebaliknya. Ini salah
satu cirinya yang menonjol. Pascal pernah menyatakan,
“Manusia sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu yang lain
kecuali seonggok daging yang tidak berarti. Sekadar virus kecil
saja telah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, bila semua
mahluk di bumi menyerangnya, ia ternyata lebih perkasa dari
mereka. Sebaliknya, bila alam ini diancam manusia, mereka
tidak menyadarinya. Artinya, kesadaran --manusia--adalah
essensi yang lebih tinggi ketimbang eksistensinya".
Manusia juga mahluk bermoral, sebab dalam dirinya
memang terkandung unsur lain bukan tanah. Unsur tersebut
tidak punya entitas dalam alam materi, sehingga tidak wujud
dalam indera. Ia bukan realita. Ia termasuk "kesempurnaan-
ideal" yang ada dalam diri manusia dan bersifat batiniyah, yang
berhubungan dengan salah satu fenomena, cara kerja dan
situasi yang dihadapi. Jelasnya, unsur ini berhubungan dengan
sesuatu yang dikenal dengan "nilai". Nilai memberikan kepada
manusia kemerdekaan yang disertai dengan keutamaan
essensial; kecintaan kepada sesuatu yang terbebas dari
segala tendensi.
Karena potensi itulah, manusia kemudian dipercaya
mengemban amanat sebagai khalifah Tuhan. Ia diberi kebebasan
sekaligus tanggung-jawab. Maksudnya, manusia diberi
kebebasan untuk merencanakan, mengatur dan
mengembangkan tata kehidupan di bumi sesuai dengan
kehendaknya yang "mandiri"; namun di sisi lain juga dituntut
untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi lain yang ada
dalam dirinya, sehingga menemukan jati diri manusia yang
sebenarnya. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan untuk
bertindak, tetapi pada saat yang sama, ia juga harus mampu
membuktikan bahwa dirinya benar-benar manusia, sosok mahluk
yang mengenal moral dan mempunyai kesadaran, yang
menyebabkan ia dipercaya sebagai wakil Tuhan.
Untuk mencapai hal itu, tidak ada lain kecuali manusia
harus mampu membawa dan menggunakan separoh dari dirinya
yang berasal dari tanah, untuk mengembangkan bagian dirinya
yang lain yang bersifat Ilahiyah. Manusia harus mampu
membentuk moral dan pikirannya, karena dimensi inilah yang
telah membedakan dia dari binatang. Caranya, dengan
mendekatkan dan "menyatukan diri" dengan Tuhan. Sebab,
Dialah "nilai-nilai luhur" dan "Yang Mutlak". Dialah yang telah
meniupkan fitrah dalam diri manusia. Karena itulah, mengapa
manusia kemudian harus beragama dan beribadah, berfikir,
bertindak dan berkelakuan sesuai dengan ajaran-Nya. Semua
demi kebaikannya sendiri, demi tercapainya jati diri manusia
sebagai mahluk mulia dan beradab. "Hai manusia! Taatilah Aku,
niscaya engkau akan menjadi 'serupa' dengan-Ku", firman Allah
dalam hadits qudsi-Nya.
Apakah tanpa agama manusia tidak bisa memiliki moral
yang baik? Mungkin. Namun perlu diingat bahwa semua
perbuatan, bahkan yang namanya pengorbanan diri, mempunyai
dan perlu justifikasi. Di sini, justifikasi tidak mungkin selamanya
berupa justifikasi natural dan rasional. Perlu justifikasi lain yang
yang bersifat normative. Itulah norma-norma atau ajaran yang
diberikan Sang Maha Pencipta manusia. Lagi pula, apalah artinya
manusia bila melepaskan diri dari tali Tuhan. Saat itu ia berarti
menghilangkan dimensi-dimensi ghaib yang ada dalam dirinya
yang bersifat Ilahiyah, yang dengan itu ia berarti mengingkari
dirinya sendiri.
Demikianlah, nilai kemanusiaan (humanisme) sejati tidak
bisa dipisahkan dari --norma-norma ajaran-- Tuhan. Seperti ditulis
Syariati, humanisme sebenarnya adalah ungkapan dari
sekumpulan nilai-nilai Ilahiyah yang ada dalam diri manusia,
yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral.
Sayang, ungkapan mulia itu sekarang tinggal slogan kosong,
sebab manusia banyak yang tidak lagi mengindahkan, bahkan
mengingkari ajaran-ajaran agama.

Pelecehan Nilai Kemanusiaan.


Berdasarkan hal itu, maka pornografi pornoaksi tidak
dapat diterima. Sebab, itu adalah pelecehan, bahkan penjungkir-
balikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam perspektif agama, tidak
ada satupun agama di dunia yang merestui seseorang memajang
auratnya sebagai tontonan. Islam memerintahkan umatnya
untuk menutup aurat agar mereka terlindung dan terhormat.
Begitu pula bila kita lihat dalam agama lain, Perjanjian Baru,
misalnya.
Penolakan terhadap pornografi-pornoaksi ini akan semakin
keras bila dihubungkan dengan asal pemikiran dari perbuatan
tersebut, yaitu humanisme Yunani yang atheis. Sebab, kita yang
hidup di bumi yang berasaskan Pancasila dan bersila Ketuhanan
Yang Maha Esa telah sepakat bahwa semua pemikiran atheis
bersama keturunanya harus lenyap dari Indonesia. Ketika
seseorang melakukan pornografi atau pornoaksi, memamerkan
auratnya, maka saat itu ia berarti telah menafikan demensi luhur
dalam dirinya, sehingga yang tinggal hanya dimensi tanah.
Dengan itu, ia berarti juga telah menyeret harga dirinya yang
tinggi kepada nilai-nilai yang hanya bersifat materialistis. Benar.
Seorang yang terlibat dalam kasus kelender porno atau mereka
yang main film panas pernah menyatakan bahwa semua itu
dilakukan karena telah terikat kontrak. Artinya, karena ia telah
dibayar. Jika demikian, pertanyaannya kita, apa bedanya
perbuatan tersebut dengan pelacur jalanan yang menjual diri
dengan beberapa lembar uang.
Masyarakat di pedalaman Irian dibudayakan berpakaian karena
dianggap primitif, tetapi di Jakarta para artis yang menganggap
dirinya modern, berpendidikan tinggi dan mengerti tentang nilai
estetika, justru berlomba melepaskan pakaiannya. Apa bedanya.
Karena itu, seseorang yang menyatakan bahwa pornografi
pornoaksi bisa diterima, dengan alasan seni atau yang lain,
berarti telah melepaskan diri dari "langit". Artinya, ia telah
mentuhankan manusia, yang berarti pula --tanpa disadari-- telah
mengubah dirinya menjadi setan. Sebab, dengan pernyataan
dan perbuatannya itu, ia tidak hanya telah menjatuhkan derajat
kemanusiannya pada nilai yang lebih rendah dari segerombolan
binatang, tetapi juga telah merusak orang lain, sifat utama
setan.
Tanpa pemikiran njlimet, kita sebenarnya juga telah
mampu menindak keras para pelanggar moral. Dalam Surat
Keputusan no. 31 tahun 1969, Kejaksanaan Agung RI
menyatakan, “Pornografi adalah segala perbuatan, gambar,
tulisan, lagu, suara dan bunyi-bunyian atau segala apa yang
dapat merangsang birahi, yang menyinggung rasa susila
masyarakat umum dan dapat mengakibatkan tindakan-
tindakan maksiat serta mengganggu ketentraman umum".
Semua itu bisa diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun 8
bulan, sesuai dengan KUHP Bab XIV, pasal 282, ayat 3.
Lebih jelas adalah pasal 9 buku Pedoman Penyensoran
film. Dikatakan, bagian film dan rekaman vidio yang harus
dipotong karena diangggap merusak moral adalah;
1. Adegan pria atau wanita dalam keadaan/mengesankan
telajang, baik dilihat dari depan, samping atau belakang.
2. Close up paha, buah dada, pantat, pusat dan alat vital lainnya,
baik dengan penutup maupun tanpa tutup.
3. Adegan ciuman yang merangsang, oleh pasangan berlainan
atau sesama jenis, seperti ciuman dengan lidah, menjilat-jilat
bagian tubuh dan mencium gambar atau benda yang dilakukan
dengan penuh birahi.
4. Adegan, gerakan, suara atau memberi kesan persenggamaan,
oleh manusia atau hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara
terang-terangan maupun terselubung.
5. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo dan oral seks.
6. Adegan melahirkan, baik manusia maupun binatang.
7. Menampilkan alat-alat kontrasepsi tidak sesuai dengan fungsi
dan tidak pada tempatnya.
8. Adegan yang menimbulkan kesan jijik, jorok dan tidak
Dengan ketentuan tersebut, jelas mana yang dianggap
porno dan harus ditindak dan mana yang bisa ditolerir. Sehingga,
tidak ada alasan bahwa yang dilakukan itu belum bisa dikatakan
porno sebab belum telajang bulat atau yang lain. Akhirnya, bila
masih ada yang tetap ngotot, maka tidak ada lain bagi kita
kecuali mempertanyakan keloyalan dan pemahaman mereka
pada Pancasila dan ajaran agamanya. Walahu a’lam.

http://khudorisoleh.blogspot.com/

You might also like