You are on page 1of 21

FENOMENA SOSIAL REMAJA Dalam kehidupan sosial ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Kehidupan sosial remaja pada saat ini lebih mengarahkan seorang remaja untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh lingkungan yang tidak menentu. Ada banyaknya pilihan dalam kehidupan seorang remaja pada umumnya. Dimana pada fase ini atau boleh dikatakan sebagai fase peralihan dari anak-anak menjadi remaja seseorang cendrung untuk mencoba-coba setiap apa yang dihadapi

dilingkungannya sehingga terkadang orang tua menjadi was-was terhadap perkembangan anaknya. Sehingga tidak sedikit orang tua rela untuk membayar mahal demi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang bermutu baik. Tetapi, terkadang hal yang seperti ini membuat seorang anak merasa terbebani karena merasa tertekan atas pilihan orang tua dan memaksakan kehendaknya untuk mengikuti kemauan orang tua. Sehingga tidak sedikit sekolah-sekolah yang dianggap mempunyai mutu yang baik oleh masyarakat menjadi sebuah pelarian bagi mereka yang mampu untuk menyekolahkan anaknya disekolah tersebut. Kalau melihat kondisi yang seperti ini siapakah yang patut disalahkan? Apakah lingkungan seorang anak itu sendiri atau prilaku seorang remaja yang harus dikontrol secara intensif oleh oarang tuanya? Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pernyatan ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi

Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Masa remaja merupakan masa transisi atau periode dalam kehidupan manusia yang mengalami beberapa perubahan yang terjadi secara bersamaan, meliputi perubahan fisik, kognitif, sosial dan emosional. Ketidakmampuan remaja mengatasi perubahan tersebut, sering mengakibatkan munculnya gangguan dalam perilakunya. Terlebih pada saat memasuki fase remaja, anak cenderung lebih dekat dan mendengarkan kata-kata teman sebaya mereka dibandingkan dengan orang tua maupun guru. Permasalahan Pelajar sebagai Remaja 1. Karakteristik Remaja Bermasalah Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja

Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu: a. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. b. Ketidakstabilan emosi. c. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup. d. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua. e. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentanganpertentang dengan orang tua. f. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya. g. Senang bereksperimentasi. h. Senang bereksplorasi. i. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan. j. Kecenderungan berkelompok. Definisi kenakalan remaja menurut para ahli
y

membentuk

kelompok

dan

kecenderungan

kegiatan

Kartono, ilmuwan sosiologi Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang".

Santrock "Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal."

Sejak kapan masalah kenakalan remaja mulai disoroti? Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat. Penyebab terjadinya kenakalan remaja Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Faktor internal: 1. Krisis identitas Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. 2. Kontrol diri yang lemah Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya. 3. Permasalahan Fisik dan Kesehatan Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan

fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 4070% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al). Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan berskplorasi. 4. Puberitas Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya jatuh cinta.

Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan dengan permasalahan dengan teman. Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja. Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya ketidaknormalan yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual,

kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991). Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan. Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang

menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja. Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja. Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda. Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanakkanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi.

Faktor eksternal: 1. Keluarga Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. 2. Teman sebaya yang kurang baik 3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik. 4. Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi. Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002).

Fenomena Sosial Pelajar 1. Masalah Moralitas Moralitas siswa yang terkesan rendah, karena mengalami degradasi dalam pergaulan bebas di kalangan remaja, merupakan realitas sosial yang sekarang ini banyak terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang diberikan oleh guru, cenderung bersifat transfer ilmu, daripada bimbingan moral ke arah akhlaq alkarimah. Termasuk guru agama di beberapa sekolah tingkat SMA sederajat, lebih banyak berfikir ringan, mengajarkan ilmu agama, memberikan tugas mencatat materi pelajaran atau menghafal ayat-ayat pendek dari al- Quran; ketimbang mendampingi kegiatan siswa, memberikan support dalam studi, mendengarkan keluhan dan curahan hati, memberikan pelayanan konsultasi berkaitan dengan pertumbuhan dan tantangan moral yang sedang dialami oleh kebanyakan siswa usia remaja. Beberapa guru agama di SMA dan sederajat merasakan beratnya tantangan moralitas, akibat derasnya arus informasi global, yang membuat para remaja usia SMA lebih condong untuk meniru perilaku yang ditayangkan televisi tanpa seleksi, ketimbang mempertahankan jati diri. Beberapa siswa SMA merasakan bahwa pendidikan agama yang mereka terima baru dalam taraf formalitas, mengejar target kurikulum, untuk memenuhi tuntutan administrasi. Pendidikan agama dirasakan oleh siswa hampir tidak ada bedanya dengan pelajaran atau bidang studi umum. Padahal pendidikan mestinya lebih mengarah pada hati nurani untuk mengembangkan nilainilai moralitas. Jadi berbeda dengan pengajaran yang cenderung mengarahkan sasaran untuk mencapai kecerdasan akal. Maftuh Basuni, Menteri Agama RI (Tempo, 24 November 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada aspek asfeksi (perasaan) dan psikomotorik (perilaku/tindakan). Hasil studi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, juga menegaskan bahwa merosotnya moral dan akhlaq remaja peserta didik, disebabkan oleh kurikulum Pendidikan Agama yang terlampau

padat materinya, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran hidup beragama secara utuh. Metodologi Pendidikan Agama kurang mendorong penghayatan terhadap nilai-nilai agama, kurang mampu membangun kesadaran hidup beragama serta menciptakan siswa bermoral. 2. Mental Siswa Perokok Merokok memang tidak dilarang, agama juga tidak eksplisit mengharamkan rokok, paling-paling para ulama menempatkan rokok dalam posisi makruh. Apalagi kalau melalui rokok anak-anak muda zaman sekarang seringkali mencampurkannya dengan narkoba, shabu-shabu, ganja dan sebangsanya, yang membuat orang menjadi terlena, terbius oleh angan-angan, sejenak melupakan kehidupan dunia, terlebih jika sampai mabok tak sadarkan diri. Makanan minuman atau candu yang mendekatkan orang pada perilaku tak sadar, hilang akal dan hilang ingatan, bisa diberlakukan hukum haram. Karena itu, meskipun merokok tidak tegas-tegas dilarang oleh agama, sebagian ulama menyebutnya syubhat, jika menimbulkan akibat mudharat yang merusak kebersamaan, merusak lingkungan dan merusak kesehatan Siswa yang bermental perokok, biasanya cenderung malas, acuh terhadap pelajaran, angkuh dalam pergaulan. Kebiasaan merokok di kalangan siswa selama masih dalam status peserta didik, tergolong perilaku menyimpang yang melanggar peraturan dan termasuk siswa tak bermoral alias siswa nakal. Mereka yang sudah terlalu kecanduan atau ketagihan bisa menjadi mangsa bagi para penggemar narkoba dan sejenis obat-obatan terlarang lainnya. 3. Masalah Free Sex Maraknya pergaulan bebas memacu remaja untuk melakukan seks bebas. Sejalan perkembangan jaman yang semakin pesat lingkungan sangat berperan terhadap perkembangan remaja. Tidak adanya pelajaran dan penyuluhan tentang

kesehatan reproduksi. Lingkungan pergaulan yang semakin pesat mempengaruhi gaya pacaran dan pergaulan. Apabila remaja tidak mendapatkan pemahaman yang benar, serta lingkungan yang baik maka remaja akan terjerumus pada prilaku seks bebas. Pergaulan bebas tanpa batas yang lebih dikenal generasi muda dengan istilah free sex, telah menggejala di kalangan pelajar. Para pemuda usia sekolah pada tingkat SD, SMP apalagi SMA melalui tayangan televisi dapat diperhatikan, bagaimana masalah free sex hampir menjadi budaya masyarakat. Anak usia SD sekarang ini telah mengenal pergaulan sex bebas pada usia yang sangat dini. Ini menjadi masalah besar bagi dunia pendidikan, apalagi setelah terjadinya pernikahan resmi anak usia SD, seperti yang baru-baru ini terjadi di Nusa Tenggara Barat. Fenomena sosial ini bukan saja menyakitkan bagi undang-undang perkawinan, tetapi juga sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan. Free Sex merupakan fakta sosial, karena memang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, ketika anak usia sekolah banyak melakukan tindakan menyimpang, sehingga mereka yang seharusnya masih berada pada posisi siswa di sekolah lanjutan, kemudian hamil sebelum menikah dan terpaksa harus menggugurkan kandungan secara sembunyi-sembunyi. Salah satu pernyataan kritis mengarah pada peran dan tanggung jawab guru pendidikan agama Islam, di manakah dikau berada, ketika terjadi kasus siswa hamil sebelum nikah ? Adakah materi pendidikan agama secara kurikuler dan explisit yang menegaskan perlunya kesehatan reproduksi bagi siswa usia remaja yang sedang bergolak sexualitasnya? 4. Penyalahgunaan Situs Jejaring Sosial Banyak masalah yang ditimbulkan jejaring sosial di kehidupan nyata, terlebih dampak nyatanya pada dunia pendidikan. Motivasi siswa kini menurun, prestasi belajarnyapun menurun, dan minat siswa untuk mengikuti pelajaran juga mulai mengalami penurunan. Kurangnya waktu belajar juga merupakan implikasi dampak negatif dari situs jejaring sosial. Masalah-masalah tersebut dapat saja diatasi dengan

jalan melarang siswa atau anak didik untuk tidak menjadi pengguna jejaring sosial. Tapi, apa hanya sampai di situkah pengawasan yang dilakukan? Setidaknya ada beberapa dampak negatif dari situs jejaring sosial: a. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain di sini, sehingga

mengharuskan kita banyak mengeluarkan uang yang mungkin kurang bermanfaat, b. Dapat menyebabkan stress yang dibawa penyakit ini yaitu aktivitas otak dan tekanan darah meningkat karena terisolir dari internet, c. Menyebabkan Computer Vision Syndrome (CVS) yaitu gangguan fungsi mata yang disebabkan oleh radiasi monitor. Sering terjadi rasa nyeri di Punggung penderita karena syaraf di punggungnya terganggu akibat radiasi monitor. d. Selain itu, berdampak pada sisi-sisi biologis manusia. Di antaranya, mengubah alur kerja gen, menghambat respons sistem imun, tingkat hormon, dan fungsi arteri serta memengaruhi kondisi mental. Buntutnya, hal tersebut potensial meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (semacam kelainan jiwa). e. Mengurangi makna pentingnya komunikasi itu sendiri. f. Kemampuan sosialisasi manusia makin tergerus, begitu juga dalam memahami bahasa tubuh lawan bicara. Ini mungkin mekanisme evolusioner yang menunjukkan kepada kita bahwa hadir bersama dalam satu wilayah geografis itu lebih bermanfaat, ungkapnya. Sigman menandaskan,Pasti ada perbedaan antara kehadiran nyata dan penampakan virtual. g. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah bahkan obesitas

h. Perilaku berkurangnya aktifitas -berinteraksi langsung secara face to face terhadap orang lain juga dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, struk, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan). Menurut pengamat sosial media dan teknologi informasi Nukman Luthfie, selain harus waspada, orang tua juga harus mempelajari secara mendalam media sosial ini demi masa depan anak-anak. Berdasar penelusurannya, ditemukan fakta bahwa dari 17,6 juta pemilik akun jejaring sosial facebook berasal dari Indonesia, dan 360.000 orang di antaranya berumur 13 tahun. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang tua sebagai langkah untuk menjaga anak-anak mereka dari dampak negatif situs jejaring sosial, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Berupaya belajar tentang internet serta situs jejaring sosial yang ada di internet tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar setidaknya para orang tua mengetahui seperti apa teknologi sekarang ini, dan bisa mengawasi anaknya pada saat berselancar di internet. b. Beritahukan tentang bahaya yang mengintai dalam penggunaan situs jejaring sosial. Hal ini akan membuat anak menjadi lebih berhati-hati dalam menggunakan jejaring sosial tersebut, dan mengerti batasan-batasannya. c. Sebisanya dampingi anak saat berselancar di dunia maya, terlebih pada saat anak tersebut membuka situs jejaring sosial. d. Tidak memberikan telepon seluler yang dapat mengakses internet pada anak yang belum cukup umur. Dalam perkembangannya di jaman sekarang ini, mengakses internet dan membuka situs jejaring sosial kini dapat dilakukan dengan telepon seluler. Hal ini cukup membuat dampak dari jejaring sosial sangat dirasakan dikalangan siswa. Masalahnya adalah banyak siswa yang mengakses situs jejaring sosial tersebut dari telepon seluler mereka pada saat proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya para

siswa tidak serius mengikuti pelajaran yang berlangsung, sehingga konsentrasi mereka hanya pada jejaring sosial yang mereka akses melalui telepon genggam. Melihat keadaan ini, lambat laun motivasi belajar mereka juga akan mengalami penurunan. Motivasi belajar sangat erat kaitannya dengan prestasi siswa. Jika motivasi atau keinginan siswa untuk belajar rendah maka yang terjadi adalah prestasi mereka juga akan mengalami penurunan. Hal inilah yang sangat menghawatirkan dalam dunia pendidikan. Remaja pada dasarnya membutuhkan dukungan dalam mengatasi berbagai problemnya, makin banyak dukungan yang diperoleh makin rendah kemungkinan seorang remaja terkena stress. Komunikasi yang efektif diharapkan dapat membantu remaja melalui perubahan kondisi yang ada dalam kehidupannya. Komunikasi, baik verbal maupun nonverbal pada dasarnya merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses pendidikan anak dan berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian anak. Apabila komunikasi antara orang tua dan anak dapat berlangsung dengan baik, maka masing-masing pihak dapat saling memberi dan menerima informasi, perasaan dan pendapat sehingga dapat diketahui apa yang diinginkan, dan konflikpun dapat dihindari. Namun pada kenyataannya, seringkali kita temui fenomena yang

menunjukkan bahwa orang tua kurang dapat berkomunikasi dengan anak remajanya.Hal ini bisa terjadi karena mungkin orang tua kurang menyadari pengaruh respon mereka dalam menanggapi anak remaja mereka. Yang pada akhirnya berujung pada terhambatnya komunikasi diantara mereka. Respon dari orangtua yang bernada memerintah; mengancam-

memperingatkan; mendesak-memberi kotbah; menasehati-menyelesaikan masalah; memberi kuliah-mengajari; menilai-mengkritik-tidak setuju-menyalahkan;

mencemooh-membuat malu; menyelidiki-mengusut; dan menghindar-mengalihkan

perhatian-menertawakan merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya komunikasi. Respon di atas dapat membuat anak menghentikan pembicaraaan;

mempertahankan diri; menyerang-berdebat; merasa rendah diri; benci dan marah; merasa bersalah; merasa diperlakukan seperti anak kecil; merasa tidak dimengerti; merasa perasaan-perasaannya tidak dibenarkan dan merasa sedang diinterogasi. Lalu seperti apa komunikasi yang sebaiknya dibangun antara orang tua dan anak? Di bawah ini ada beberapa poin yang dapat dijadikan pertimbangan orang tua maupun guru dalam membangun komunikasi dengan remaja. 1. Mendengar aktif. Seni mendengarkan yang membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. 2. Fokuskan perhatian pada anak. Berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya dan tataplah langsung di matanya agar Ia mengetahui bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita. 3. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian. Pola ini, memberikan feedback bagi orangtua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak. 4. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi. 5. Bantu anak mendefinisikan perasaan 6. Bertanya. Membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami serta tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

7. Mendorong semangat anak untuk bercerita 8. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat 9. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif 10. Evaluasi Diri. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi dua arah terbuka lebar antara orangtua dan anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orangtua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Konsep komunikasi ini juga dapat diaplikasikan di sekolah, dimana guru berperan sebagai orang tua dan siswa berperan sebagai anak. Konsep komunikasi yang baik dan efektif akan membantu siswa untuk mengenali jati dirinya dan mengambil keputusan dalam hidupnya. Remaja yang beranjak dewasa kerap kali menunjukkan perubahan yang cukup dramatis saat berada disekitar orang tua mereka. Cenderung memisahkan diri dari kegiatan bersama orang tua dan bersikap lebih mandiri. Pada saat yang sama, mereka mulai memperhatikan bagaimana orang lain memandang mereka, khususnya teman sebaya mereka, dan mereka akan berusaha keras menyesuaikan diri dengan trend dan gaya hidup teman-teman mereka. Pendampingan yang cukup terhadap remaja dengan disertai komunikasi yang efektif dari orang tua dan guru diharapkan dapat menghindarkan remaja dari masalah yang dihadapi. Peranan guru dalam mengatasi kenakalan Pelajar Sekolah sebagai lembaga pencetak generasi penerus bangsa, seharusnya dapat
membuat generasi yang berkepribadian baik, bermoral, dan bertanggung jawab. Sehingga pantas menjadi calon pemimpin dimasa yang akan datang. Dan guru, sebagai salah satu komponen dari lembaga tersebut, seharusnya bukan

hanya menitik beratkan pada transfer ilmu kepada siswanya tetapi juga harus bisa

membentuk karakter siswa yang jauh dari hal-hal negatif, sehingga pantas menjadi calon pemimpin di masa yang akan datang, bukan membentuk generasi rusak yang penuh dengan kenakalannya. Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru, yaitu:

a.

Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.

b.

Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.

c.

Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.

d.

Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.

e. f.

g.

h. i.

Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Sehingga diharapkan peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak

mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu

tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan Negara.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja: 1. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini. 2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama. 3. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja. 4. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul. 5. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.

DAFTAR PUSTAKA Choate, L.H. (2007). Counseling Adolescent Girls for Body Image Resilience: Strategi for School Counselors. Profesional School Counseling. Alexandria: Feb 2007. Vol. 10, Iss. 3; pg. 317, 10 pgs. Diakses melalui http://ezproxy.match.edu/menu pada 7 Novembar 2010 Fagan, R. (2006). Counseling and Treating Adolescents with Alcohol and Other Substance Use Problems and their Family. The Family Journal: Counseling therapy For Couples and Families. Vol.14. No.4.326-333. Sage Publication diakses melalui http://tfj.sagepub.com/cgi/reprint/14/4/326 pada 7 November 2010 Gunarsa, S. D. (1989). PsikologiPperkembangan: Anak dan Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. Hurlock, E.B. (1991). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Penerbit Erlangga. Komunikasi efektif orang tua dan anak. Diakses dari www.perempuan.com. Pada tanggal 7 November 2010 Mitos-mitos Seputar Gak Bakal Hamil. Diakses dari www.e-psikologi.com pada tanggal 07 November 2010. Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muss, R. E. , Olds, S. W. , & Fealdman (2001). Human Developmen. Boston: McGraw-Hill Companies.

Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya. Diakses dari www.netsains.com. Pada tanggal 7 November 2010 Rey, J. (2002). More than Just The Blues: Understanding Serious Teenage Problems. Sydney: Simon & Schuster. Rini, J.F. (2004). Mencemaskan Penampilan. Diakses dari e-psikologi.com pada tanggal 7 November 2010. Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Setiono, L.H. (2002). Beberapa Permasalahan Remaja. Diakses dari www.epsikologi.com pada tanggal 7 November 2010. Tambunan, R. (2001). Diakses dari www.e-psikologi.com pada tanggal 7 November 2010.

Kelompok III

FENOMENA SOSIAL REMAJA

Rachmad Ramadhan N Muhammad Akbar Juniati P Nur Ainun A Rezki Anggraini

JURUSAN MATEMATIKA BILINGUAL FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2010

You might also like