You are on page 1of 10

PENDIDIKAN KARAKTER A.

Pengertian Karakter Karakter berasal dari bahasa yunani, charassein, yang berarti membuat tajam, membuat dalam, atau mengukir. Dan menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Dari pengertian secara bahasa ini, bahwa karakter, akhlak, watak seperti ukiran yaitu sesuatu yang sulit dihilangkan, menghilangkan ukiran sama dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Namun bukan berarti karakter tidak bisa dibentuk atau diubah, karena dalam berbagai litelatur ditemukan bahwa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang, dan factor bawaan atau gen hanya menjadi salah satu factor penentu saja. Hanya saja karakter bukan sesuatu yang mudah diubah, karena kalau mudah diubah itu bukan karakter. Mungkin saja itu hanyalah sikap, pandangan, atau pendirian. dalam membentuk karakter memerlukan waktu yang panjang, konsistensi, fikiran, dan energi yang lebih banyak. Dengan menyadari bahwa karakter adalah suatu yang sulit diubah maka tidak ada pilihan lain bagi kita bahwa pembentukan karakter harus dimulai dari usia dini oleh orang tua. Orang tua disini tidak hanya orang yang mempunyai hubungan genetis yaitu orang tua kandung, tetapi orang tua dalam pengertian yang luas yaitu setiap orang dewasa yang berada di sekeliling anak dan memberikan peranan yang berarti dalam kehidupan anak. Seperti masyarakat di lingkungan dan guru di sekolah. Definisi karakter banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya yang dikutip oleh Abdul Majid (2010:11) yaitu : Hornby & Parnwell (1972:49) : karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Hermawan kertajaya (2010:3) mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dari beberapa pengertian karakter di atas, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental, moral, akhlak individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Karakter juga sering diasosiasikan dengan istilah apa yang disebut temperamen yang lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Sedangkan karakter dilihat dari sudut pandang behaviorial lebih menekankan pada unsur yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses perkembangan karakter pada seseorang

dipengaruhi oleh banyak faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang disebut factor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor bawaan bisa dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan berada dalam jangkauan masyarakat dan individu. Jadi dalam pengembangan ataupun pendidikan karakter bisa dilaksanakan oleh masyarakat dan individu yang merupakan bagian dari lingkungan. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung diarahkan oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia itu. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Quran dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji , menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entri point bahwa pendidikan karakter meiliki ikatan yang kuat dengan nilainilai spiritualitas dan agama.

B.

Pendidikan Karakter Menurut Islam Sebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam islam pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak. Dalam islam, akhlak menempati kedudukan penting dan dianggap memiliki fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Alloh SWT dalam surat An-Nahl ayat 90


Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS.An-Nahl : 90) Implementasi akhlak dalam islam tersimpul dalam karakter pribadi Rosululloh Muhammad SAW. Seuai dengan firman Alloh SWT dalam surat Al-ahzab ayat 21 yang telah disebutkan pada bab 1 yang artinya Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS.Al-Ahzab , 33 : 21). Islam membagi akhlak menjadi dua yaitu : 1. fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun jiwa. 2. Muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman (matta 30:2001) Dalam konsep Islam, karakter tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan, sebab sumber karakter perolehan ada dan bersifat tetap. Karenanya orang yang membawa sifat kasar bisa memperoleh sifat lembut, setelah melalui mekanisme latihan. Namun, sumber karakter itu hanya bisa bekerja efektif jika kesiapan dasar seseorang berpadu dengan kemauan kuat untuk berubah dan berkembang, dan latihan yang sistematis. C. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi hal ini ditandai dengan adanya Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian

Pendidikan Nasional tahun 2010-2025. Implementasi pendidikan karakter di Indonesia hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh, dalam kontek makro dan mikro. Kontek makro bersifat nasional yang meliputi konsep perencanaan dan implementasi yang melibatkan seluruh komponen dan pemangku kepentingan secara nasional. Jadi dalam konteks makro perlu adanya keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak asasi manusia serta sektor pemuda dan olahraga. Menurut dasim budimansyah (2010:56) yang dikutip Abdul Majid (2010:38) secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan , dan evaluasi. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasi, dan dirumuskan dengan mengunakan berbagai sumber, antara lain : 1. Filosofis, yaitu Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU no 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundangan turunannya. 2. Pertimbangan teoritis, diantaranya teori tentang otak (brain theories), Psikologis (cogtitive development theories, learning theories, theories of personality), Pendidikan (theories of instruction, educational management, curriculum theories), nilai dan moral (axiology, moral development theories), dan social cultural (school culture, civic culture). 3. Pertimbangan Empiris berupa pengalaman dan praktek (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren dll. Proses implementasi dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Dan proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat..dalam setiap pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter . sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi, dan penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan itu berhasil dengan baik. Dan penilaian dalam pendidikan karakter yang merupakan berkaitan dengan prilaku dan tindakan harus mempertimbangkan

proses pertumbuhan dan pengayaan kepribadian dari hari ke hari selama tinggal dalam komunitas sekolah sampai mereka memiliki prilaku yang baik, bukan sekedar penilaian secara spesifikasi kuantitatif dan pemahaman teoritis akan nilai-nilai. Pendidikan karakter dalam kontek mikro berlangsung dalam suatu satuan pendidikan secara menyeluruh. Dan dibagi menjadi empat pilar, yaitu: 1. kegiatan belajar mengajar di kelas, 2. kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan, 3. kegiatan kurikuler serta ekstra kurikuler, 4. kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Integrasi ke dalam KBM Pada setiap mapel Pembiasaan dalam kegiatan Keseharian di satuan pendidikan

KBM Di kelas

BUDAYA SEKOLAH (kegiatan, kehidupan keseharian di satuan pendidikan)

KEGIATAN EXTRA KURIKULER

KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH

Integrasi ke dalam kegiatan Extra kurikuler pramuka, Olahraga, karya tulis,tilawah

Penerapan pembiasaan dalam Kehidupan keseharian di rumah Yang sama dengan di satuan pendidikan Gambar 2. Konteks Mikro Pendidikan Karakter Sumber : Desain Induk Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010)

Hal pertama yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar prilaku individu. Karena Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta(majid:42).

Pemikiran yang dikemukakan oleh Ari Ginanjar Agustian dalam teori ESQ yang diambil dari sifat-sifat asmaul husna bisa kita jadikan Karakter dasar yang bisa kita teladani. Yang dirangkum dalam tujuh karakter dasar, yaitu : 1. Jujur 2. Tanggung Jawab 3. Disiplin 4. Visioner 5. Adil 6. Peduli 7. Kerjasama. Dalam implementasi kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan dan pembentukan karakter dapat ditempuh dengan diintegrasikan dengan semua mata pelajaran dan bisa juga pendidikan karakter menjadi mata pelajaran tersendiri dimana terpisah dari mata pelajaran lain, walaupun cara ini sangat sulit ditlaksanakan di Indonesia karena sudah banyaknya muatan mata pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran saja, namun teknik, metode mengajar dan model pembelajaran dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter.dan dalam hal ini sebagai contoh model yang dimunculkan oleh Abdul Majid (2010:117) yaitu model Tadzkiroh. Tadzkiroh adalah sebuah model pembelajaran yang diturunkan dari sebuah teori pendidikan islam. Tadzkiroh mempunyai makna: 1. T=Tunjukan keteladanan 2. A=Arahkan (berikan bimbingan) 3. D=Dorongan (berikan motivasi) 4. Z=Zakiyah (tanamkan niat yang tulus/murni/bersih) 5. K=Kontinuitas (sebuah proses pembiasaan untuk belajar bersikap dan berbuat) 6. I=Ingatkan 7. R=Repetisi (pengulangan) 8. O=Organisasikan 9. H=Heart (sentuhlah hatinya) Dalam satuan pendidikan harus diciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, aman dan tertib. Sehingga memungkinkan peserta didik dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa dan dibiasakan membangun dan mengembangkan kegiatan keseharian yang mencerminkan perwujudan nilai atau karakter. Pendidikan karakter di sekolah tidak dapat berjalan tanpa pemahaman yang cukup dan konsistensi oleh semua orang yang terlibat di lingkungan sekolah. Di sekolah, kepala sekolah, guru, dan karyawan, harus mempunyai persamaan persepsi tentang pendidikan karakter bagi peserta didik. Dan semuanya mempunyai perannya masingmasing. Kepala sekolah sebagai manager harus mempunyai komitmen yang kuat tentang pendidikan karakter. Kepala sekolah harus mampu membudayakan karakter-

karakter unggul di sekolahnya. Pembudayaan karakter bukan saja berupa kebijakan dan atau aturan dengan segala sanksinya, namun juga harus melalui keteladanan prilaku sehari-hari. Keteladanan dalam hal kedisiplinan, tanggung jawab, prilaku bersih dan sehat, serta adil adalah keteladanan yang harus dimunculkan oleh semua warga sekolah, mulai kepala sekolah, guru, dan karyawan sekolah. Dalam kegiatan ekstakurikuler peserta didik dipandang sebagai pribadi yang memiliki potensi yang berbeda-beda yang perlu diaktualisasikan dan membutuhkan kondisi kondusif untuk tumbuh dan berkembang. Mengingat pendidikan karakter yang universal dan syarat dengan nilai-nilai, sementara alokasi waktu sangat terbatas, maka kegiatan ekstrakurikuler menjadi wahana yang tepat dalam pengembangan pendidikan karakter. Dengan kegiatan ekstra kulikuler diharapkan dapat 1. menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka. 2. Menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengekspresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan kelompok. Program yang dikembangkan di satuan penddidikan seharusnya diupayakan menjadi kegiatan keseharian di keluarga dan di masyarakat sehingga lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi proses penguatan dari apa yang didapat di satuan pendidikan. D. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter Di Sekolah Indikator keberhasilan program pendidikan karakter oleh peserta didik, sebagaimana tercantum dalam standar kompetensi lulusan satuan pendidikan (SKL-SP) untuk SMP/MTs/SMPLB/paket B diantaranya mencakup: 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja; 2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional; 6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif; 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; 10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;

12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; Menghargai karya seni dan budaya nasional; Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik; Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat; Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; Memiliki jiwa kewirausahaan.

Berbicara tentang indikator keberhasilan dalam pendidikan karakter, berarti kita berbicara tentang penilaian pendidikan karakter. Dan pertanyaan pokok pertama yang harus kita ajukan adalah , siapa yang berwenang memberikan penilaian bagi berhasil tidaknya pendidikan karakter? Subjek penilaian pendidikan karakter pertama dan terutama adalah individu, yang kedua adalah komunitas sebagai sebuah lembaga (sekolah, keluarga, masyarakat, dan Negara) (Koesoema :2010:280). Sesuai pendapat Doni Koesoema ini bahwa individu menilai dan merefleksikan prilaku dan tindakannya sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya.jadi lebih berkaitan dengan relasi intrapersonal. Dan komunitas menilai sejauh mana struktur yang ada dalam lingkungan pendidikan mampu menumbuhkan karakter moral tiap individu yang bekerja dalam sistem tersebut, dan ini bersifat interpersonal yang tata acuannya adalah komitmen bersama dalam komunitas. Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus dari individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia. Daya kekuatan individu dalam menilai dirinya sendiri ini menjadi titik pijak bagi penilaian pendidikan karakter dalam kerangka relasi yang sifatnya kelembagaan (intrapersonal). Penilaian pendidikan karakter berkaitan erat dengan adanya unsur pemahaman, motivasi, kehendak, dan praksis dari individu. Penilaian pendidikan karakter dalam lembaga sekolah bukanlah terutama untuk menentukan kelulusan siswa. Namun, lebih sebagai penentu apakah kita sebagai individu yang hidup dalam lembaga pendidikan mau mengembangkan daya-daya reflektif yang ada dalam diri kita sehingga hidup kita dalam kebersamaan dengan orang lain menjadi semakin bermutu (koesoema:281). Dari pernyataan ini bukan berarti bahwa penilaian dalam

pendidikan karakter tidak dapat dipakai sebagai kriteria kelulusan siswa. Sejauh metodenya dapat diverifikasi secara objektif, ada transparansi dan komunikasi atas criteria penilaian, pendidikan karakter dapat juga dipakai sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Kriteria dan objek yang berkaitan dengan hal-hal yang bisa secara objektif dipakai sebagai pedoman penilaian pendidikan karakter di sekolah, Doni koesoema (2010:284) memberikan data-data dan fakta, yang dengan data-data dan fakta ini kita dapat melihat sejauh mana siswa dan individu di dalam sekolah telah melaksanakan pendidikan karakter, diantaranya: Jika kita ingin melihat dan mengevaluasi sejauh mana individu di dalam lembaga pendidikan itu telah melaksanakan nilai tanggung jawab bagi tugastugas mereka dalam pendidikan, kuantitas kehadiran mereka di dalam lembaga pendidikan bisa menjadi salah satu kriteria objektif untuk menentukan apakah sekolah itu telah membantu mengembangkan individu di dalam lingkungan sekolah sebagai pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tugas-tugasnya, dan terhadap orang lain. Oleh karena itu kehadiran seseorang di dalam lingkungan sekolah bisa menjadi ukuran pertama tentang kesetiaan individu berkaitan dengan tugas-tugas dan kewajibannya, entah sebagai siswa, guru, staf, dll. Jadi jika pendidikan karakter ingin menilai sejauh mana kedisiplinan itu diterapkan di sekolah, kita bisa melihat secara kuantitatif jumlah mereka yang absen di sekolah. Bisa dilihat per tahun atau per semester dibandingkan dengan tahun atau semester sebelumnya. Penilaian pendidikan karakter bisa juga dilihat dari jumlah siswa yang secara tepat waktu menyerahkan tugas yang diembankan kepadanya. Oleh karena itu, catatan wali kelas dan guru tentang keterlambatan siswa dalam mengumpulkan tugas menjadi hal yang sangat penting. Indikasi keberhasilan pendidikan karakter juga bisa dilihat dari, apakah dalam satu tahun siswa yang terlibat tawuran pelajar, kekerasan, tindak kejahatan dan narkoba semakin berkurang atau tidak?. Karena fenomena tawuran dan narkoba ini sudah sangat menjalar di tengah para pelajar kita. Tawuran pelajar bisa disembuhkan dengan memberikan sebanyak mungkin program kerjasama antar sekolah sehingga dampak tawuran pelajar dapat diminimalisir. Oleh karena itu keberhasilan pendidikan karakter di sekolah berkaitan dengan usaha memerangi tawuran pelajar ini dapat dilihat apakah jumlah program-program dan kegiatan yang memiliki unsur kerjasama dengan sekolah lain semakin meningkat dari tahun ke tahun. pendidikan karakter yang berhasil akan menciptakan suasana yang baik bagi proses pembelajaran. Oleh karena itu, salah satu kriteria paling efektif keberhasilan pendidikan karakter adalah prestasi akademis siswa. Dari banyak penelitian, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan akan memiliki dampak langsung pada prestasi akademis siswa. kultur yang menggerogoti lembaga pendidikan kita selama ini adalah tidak dihargainya nilai kerja keras dan kejujuran. Hal ini tampil dalam fenomena

mencontek yang sudah membudaya. Data siswa yang ketahuan mencontek bisa juga menjadi data konkret. Dari beberapa indikasi yang telah disampaikan tersebut dapat dipakai untuk menilai sejauh mana pendidikan karakter dalam suatu lembaga pendidikan itu telah berhasil.

You might also like