You are on page 1of 19

TUGAS MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA KUNO II

KERAJAAN KEDIRI ( PANJALU )

OLEH : JACKSONE C.P.P M. DIMAS WIJAYANTO MARCELLA SIWI MENIK LESTARI M. AL MAARIF NUR AINI NUR FATAH ABIDIN PUJAWATI FERSIA PUTRI LESTARI QODRI RAHMANTO RATIH ALFINA PUTRI RIZAL AFIFUDIN ROHMAD TRI MARDANI SARIFUDIN K4409031 K4409032 K4409033 K4409034 K4409035 K4409036 K4409037 K4409039 K4409040 K4409041 K4409042 K4409043 K4409044 K4409045

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya hingga tugas makalah mata kuliah Sejarah Indonesi Kuno II yang diampu oleh Drs. Herimanto M.Pd, M.Si ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Makalah singkat ini membahas dan mengulas secara sederhana tentang kerajaan Kediri/ Panjalu yang terpecah pada masa pemerintahan Mpu Sindok dari dinasti Isyana. Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan yang ada karena terjadinya perpecahan dari kerajaan induk, Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur yang pada saat itu dipperintah oleh Raja Airlangga . Keberlanjutan keberadaan sejarah kemudian ternyata lebih menempatkan kerajaan Kediri/ Panjalu menjadi lebih makmur dan maju daripada kerajaan Jenggala/ Kahuripan. Dalam empat aspek kehidupan terutama (politik, ekonomi, budaya, dan agama) Kerajaan Kediri terdapat berbagai kemajuan yang sangat berarti. Penyusun menyadari makalah singkat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun menerima dengan tangan terbuka pendapat-pendapat, masukan, kritik maupun saran terhadap makalah ini untuk perbaikan. Semoga makalah singkat ini bermanfaat bagi pembaca.

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Kerajaan Kediri/ Panjalu merupakan salah satu kerajaan hasil bagi dari kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur yang pada saat itu diperintah Raja Airlangga. Raja Airlangga yang ternyata di akhir hayatnya memilih untuk menjadi seorang pendeta ternyata malah menimbulkan masalah perebutan kekuasaan diantara putranya yang mengingkan posisi raja dan menguasai kerajaan . Untuk menghindari perang saudara maka Airlangga pada saat itu melakukan kebijakan dengan cara membagi kerajaan menjadi dua yaitu Keraan Kediri/ Panjalu dan Kerajaan Kahuripan/Jenggala. B. RUMUSAN MASALAH Makalah singkat ini tidak hanya membahas tentang masalah politik dan proses bergantinya raja-raja di Kediri, namun juga pembahasan singkat tentang keseluruhan aspek kehidupan di Kediri yang antara lain dalam hal sosial, politik, ekonomi , dan perkembangan agama pada saat itu. Kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang terkenal dengan berbagai karya sastra dan ramalan mustajab dari rajanya yaitu raja Jayabaya. Serta disusun pula berbagai argumen dan pendapat para ahli tentang bukti keberadaan kerajaan maupun kehancuran kerajaan Kediri itu sendiri. C. TUJUAN PENULISAN 1. Menjelaskan keberadaan dan latar belakang munculnya Kerajaan Kediri 2. Memberikan informasi kepada pembaca tentang pasang surut kerajaan Kediri 3. Membahas dan mengulas tentang beberapa aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosia, keagamaan) yang bergulir di Kediri yang banyak membawa pengaruh dalam kehidupan serajah Kerajaan di Jawa Timur pada waktu itu 4. Mengulas secara singkat tentang beberapa pendapat tentang penyebab runtuh dan hancurnya kerajaan Kediri

BAB II PAMBAHASAN

KERAJAAN KEDIRI ( PANJALU )

A. AWAL MULA Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima

bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala. Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178). Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "Kedi" yang artinya "Mandul" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan".Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'Kedi" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "Kedi Wrakantolo".Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, "Kedi" berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata "Diri" yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan). Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi : " Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban", artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah Perdikan".Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama,

Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur. "Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri"). Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Sumber Sejarah Kerajaan Kediri Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya : a. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala. b. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya. c. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Jayawarsa d. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan , berasal dari raja Bameswara e. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak f. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada g. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana KatangKatang

Gambar Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13

Gambar Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum fr Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman B. POLITIK DAN PEMERINTAHAN Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kediri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat tahun 1178, bahwa pada adalah Arab, Jawa, dan Abbasiyah, di Jawa ada Sriwijaya. kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Raja-Raja Kediri a. Raja Jayawarsa (1104 M) Masa pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti Sirah Keting. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya. b. Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara (1117-1134 M) Raja Sri Bameswara meninggalkan banyak prasasti,antara lain Prasasti Padeglan (1117 M ),Prasasti Panumbangan (1120 M ),Prasasti candi Tuban (1130 M ),dan Prasasti Tangkilan (1130 M).Raja Sri Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M. c. Raja Jayabaya (1139 1157 M) Jayabaya merupakan raja kediri yang terkemuka. Dalam masa pemerintahannya,pada tahun 1059 Saka atau tahun 1157 Masehi telah digubah sebuah kitab oleh Empu Sedah dengan nama Kakawin Bharatayudha. Di dalam kitab ini dijumpai juga nama Jayabaya. Sebelum kitab ini selesai ditulis,Empu Sedah meninggal dunia dan karyanya diselesaikan oleh Empu Panuluh.Suasana perang saudara antara Jenggala dan Panjalu (Kediri) sanagt mememgaruhi Empu Sedah untuk menulis kitab kakawin Bharatayudha.Kitab ini menggambarkan perang saudara antara keluarga Pandhawa dan Kurawa. Selain menyelesaikan kitab Bharatayudha,Empu Panuluh juga menulis kitab lainnya,sepeti kitab Gatutkacasraya dan kitab Hariwangsa kedua kitab itu juga ditulis dalam bentuk kakawin. d. Raja Sareswara (1159-1169 M ) Raja Sareswara atau lengkapnya Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janadhanawata memerintah dari tahun 1159 sampai dengan tahun 1169 Masehi. Tidak dpat yang banyak diketahui tentang raja ini.Raja Sarweswara hanya meninggalkan dua Prasasti,yaitu Prasasti Padeglan II (1159 M ) dan Prasasti Kayunan ( 1161 M ).Akan tetapi,kedua prasasti itu sampai sampai kini belum dapat diterjemahkan. e. Sri Aryeswara ( 1169 1181 ) Raja Saryeswara atau lengkapnya Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatararijaya memerintah dari tahun 1169 sampaio dengan tahu 1181 Masehi.Lencana kerajaan baginda adalah ganesya. f. Sri Gandra ( 1181 -1182 M ) Sri Gandra atau lengkapnya Sri Maharaja Koncaryadipa adalah pengganti Sri Aryeswara.Satu satu prasasti yang ada adalah prasasti jaring (1181 M). Dari prasasti tersebut diketahui bahwa pada masa pemerintahannya terdapat jabatan senopati sarwajala (panglima angkatan laut). Adanya jabatan atau pangkat Senopati Sarwajala, membuktikan bahwa kerajaan Panjalu mempunyai angkatan laut.Selain itu suatu hal yang sangat menarik pada masa pemerintahan Raja Sri Gandra ialah digunakan nama-nama binatang sebagai gelar atau nama para pejabat kerajaan,misalnya Kebo sawalah,Lembu Agra,Gajah kuning,Macan putih, dan Menjangan Punguh.

g.

Kameswara (1182 1185 M ) Pada tahun 1182 Masehi yang memerintah kerajaan Kediri ialah raja Kameswara. Ia bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara.Baginda memerintah hanya sampai tahun 1185 Masehi. Pada masa pemerintahannya ditulis Kakawin Smaradhana yang isinya juga menyebutkan bahwa raja adalah keturunan Kamajaya. Permaisuri raja bernama Sri Kirana atau Candra Kirana yang berasal dari Jenggala. Kitab Smaradhana ini ditulis oleh Empu Dharmaja, sedangkan kitab Lubdaka dan Wertasancaya dikarang oleh Empu Tan Akung. h. Kertajaya (1190 1222 M ) Kertajaya pada tahun 1190 M naik Thata dengan gelar Sri MaharajaSri Sarmeswara Triwikramawatarannanindita Srengga Digjayattunggadewanama. Kertajaya memerintah hingga tahun 1222 M. Lencana kerajaan Kertajaya ialah sangka atau siput terbang dan garudamukha seperti lencana Airlangga.Pada tahun 1222 Masehi. Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok dalam suatu pertempuran didesa Ganter dekat Pujon (Malang). Dengan kekalahan Kertajaya itu,berakhir pulalah kerajaan Kediri sebagai penguasa daerah Jawa Timur. Selanjutnya di Jawa Timur berdiri kerajaan Singasari. Kitab Perundang-undangan Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88). Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata agama dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundangundangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata. Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum. Sistem Peradilan Kerajaan

Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama. Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian: Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56). Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama. Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan. Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare. Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undangundang (Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri. Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepentingan Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.

Hukum Positif dan Budaya Simbolik Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail. Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh. Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara. Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial. Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan. Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu : 1. Wastra (sandang) 2. Wareg (pangan) 3. Wisma (papan) 4. Wasis (pendidikan) 5. Waras (kesehatan)

6. Waskita (keruhanian), dan 7. Wicaksana (kebijaksanaan). Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara. Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.

C. EKONOMI Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja. Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta. Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.

D. AGAMA DAN SPIRITUAL Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju (Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru

kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini. Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggungtanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undangundangan itu disusun sebagai berikut : Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Bab VIII Bab IX Bab X Bab XI Bab XII Bab XIII Bab XIV Bab XV Bab XVI Bab XVII Bab XVIII Bab XX : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi. Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan) Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil. Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan. Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa. Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan. Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga pegadaian. Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang. Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan. Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan. Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila. Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan. Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik. Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik. Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan. Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan publik.

E. BUDAYA Pada zaman Kediri pengaruh kebudayaan India meresap dalam banyak bidang kehidupan. Pengaruh kebudayaan India itu juga terasa sekali dalam bidang Perundang-undangan. Agama Hindu-Budha jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam masyarakat Kediri. Kitab Perundang-undangan India Manawa Darma Sastra dijadikan pola Perundang-undangan Kadiri yang disebut Darma Praja yang telah disesuaikan dengan suasana setempat (Yoedoprawiro, 2000:123). Demikianlah kitab Perundang-undangan itu bukan terjemahan tepat dari kitab Perundang-undangan India. Bahwa isi kitab Perundang-undangan agama diambil dari sari kitab Perundang-undangan India. Dalam kitab Perundang-undangan agama banyak kedapatan pasal-pasal yang dikatakan berasal dari ajaran Bagawan Bregu, jadi berasal dari Darma Praja. Adanya pengaruh dari luar tadi memang sebuah keniscayaan, karena banyak cendekiawan Kadiri yang ditugaskan belajar ke mancanegara, terutama negeri Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Barat. Karya di Bidang Hukum Tata Negara Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya. Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri. Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu Jayawarsa. Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya.

Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian. Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi. F. KEHIDUPAN SOSIAL Kehidupan soSial kemasyarakatan pada zaman Kediri, dapat dilihat pada kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei tahun 1178 M. dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut, rambutnya diurai. Hubungan kekerabatan dapat ditunjukan dari beberapa adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat Kediri. Di antaranya setiap bulan kelima diadakan pesta air yang dapat membuat masyarakat bergembira dengan naik perahu. Sedangkan bulan kesepuluh, perayaan pesta berlangsung di gunung dengan alat music terdiri dari suling, gtendang dan gambang kayu. Dalam upacara perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat, pencuri dan perampok dikenai hukuman mati. Selain itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti di kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou Ku-fei di tahun 1178 dan di kitab Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya: - Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai; - Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning; - Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian; - Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas; - Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh; - Alat pembayaran adalah mata uang dari - Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha; - Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul. - Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok; - Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu; - Selain agama Buda ada agama Hindu; - Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;

G. KERUNTUHAN KEDIRI Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

BAB III KESIMPULAN

Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri ( sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik. Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan. Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M). Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari. Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com www.wikipediaindonesia.com Hidayat Yoedoprawiro, 2000. Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI. Jakarta : Balai Pustaka. Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. SGravenhage. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden. Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta : Djambatan. Rassers, 1959. De Panji Roman, Leiden : Dissertatie. Stutterheim, 1930. Rama Legenden und Rama Reliefs in Indonesia, Munchen : Kulturkreis der Indische. Teeuw, 1946. Het Bhomakawya, Leiden : Dissertatie. Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. http://www.wacananusantara.org/6/102/kediri

You might also like