You are on page 1of 20

AGAMA DAN KEADILAN

Oleh: Agus Nurcholis Saleh A. Pendahuluan Sejarah menurutkan kepada kita bahwa pembahasan teologi dimulai pada pertengahan abad pertama Hijri, dan persoalan keterpaksaan dan kebebasan merupakan persoalan teologi yang paling klasik. Pembahasan jabr dan ikhtiyar ini dengan sendirinya akan mengantarkan kita pada kajian tentang keadilan.1 Agama sudah selayaknya berfungsi sebagai etika social dan kehidupan akhirat yang menaungi segenap misi kemanusiaan sepanjang zaman. Agama mesti mengayomi segenap golongan dan memelopori sikap saling berhubungan dan tolong menolong sebagai manifestasi dari prinsip keadilan dalam beragama. Hubungan itu hendaknya mendasarkan diri pada dimensi luhur ajaran agama yang mesti dihayati dan diamalkan. Kebenaran agama sesungguhnya bisa dilihat dari keterkaitannya dengan komitmen emansipasi (pembelaan) dan solidaritas (kepedulian) kemanusiaan. Menurut Profesor Gregory Bahum (1997), komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran itu harus diwujudkan di tengah kehidupan. Yaitu lewat agama yang mampu membebaskan benalu-benalu zamannya, ketertindasan, kebodohan, keterbelakangan dan misi suci lainnya.2 Menumbuhkan rasa kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama merupakan elan vital untuk mewujudkan negara yang berkeadilan sosial dan menjalankan ajaran agama yang emansipatoris. Dalam sebuah negara yang demokratis, ide yang bersumber dari bawah (rakyat kecil) sangat sesuai dengan ciri utama demokrasi yang menekankan pada penciptaan keadilan. Agama dan negara yang demokratis, tidak akan berdiri dengan mantap bila asas utama demokrasi yang bertumpu pada keadilan sosial, politik

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 16 17.
2

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4331_0_3_0_M

dan ekonomi tidak tertransformasi pada rakyat dan umat secara baik dan merata. Menurut Moeslim Abdurrahman, refleksi merupakan cara yang tepat agar agama tidak kehilangan jawaban dalam masyarakat yang terus berubah. Sekarang ini, dari waktu ke waktu kita dihadapkan pada persoalan sosial yang semakin rumit. Konsep yang lama harus ditransformasikan agar agama secara substansial tetap mampu mendampingi perubahan sosial yang terjadi secara tepat dan mendasar.3 Selama ini, agama selalu meng-intensitaskan ritual yang seringkali menjadi sangat romantik. Namun, hal itu belum selalu membuahkan kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan beragama seolah-olah menjadi sangat rutin, tanpa keprihatinan yang melahirkan tanggung jawab sosial. Agama, lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama. Seolah Tuhan tidak hadir dalam problematik sosial, kendati namanya semakin rajin disebut di mana-mana. B. Pengertian Keadilan Pada garis besarnya, perdebatan mengenai keadilan terbagi atas 2 arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles.4 Keadilan yang metafisik menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi, sedangkan keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah, atau setidaktidaknya kuasi-ilmiah, dan itu semua harus didasarkan pada alas an-alasan yang rasional. Sementara keadilan yang metafisik mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk
3 4

Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)

E. Fernando E. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 96.

hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal. Menurut Muthahhari, kata adil digunakan dalam menggambarkan empat hal: 1. Keadaan sesuatu yang seimbang 2. Persamaan dan penafian terhadap pembedaan apapun. 3. Memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. 4. Memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.5 Satjipto Rahardjo telah mencatat beberapa rumusan atau pengertian keadilan yang disampaikan oleh banyak pemikir keadilan, diantaranya: 1. Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi Ulpianus); 2. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak (Aristoteles); 3. Keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya (Keadilan Justinian); 4. Setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain (Herbert Spencer); 5. Roscue Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat; 6. Tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi (Nelson); 7. Norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdekaan individual dalam mengejar kemakmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan umat manusia (John Salmond); 8. Keadilan buat saya adalah suatu tertib social tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan
5

Muthahhari, Keadilan , hlm. 53 58.

subur. Keadilan saya karenanya adalah, keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi-keadilan toleransi (Hans Kelsen); 9. John Rawls mengkonsepkan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya, dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.6 Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, hal ini rasanya amat sulit ditentukan secara definitive. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga factor-faktor lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Namun secara umum, ada unsure-unsur formal dari keadilan yang pada dasarnya terdiri atas: 1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hokum (unsure hak); 2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsure manfaat).7 C. Pahala dan Dosa Agama Islam mengenal reward & punishment, seperti halnya dalam manajemen modern. Reward atau penghargaan dalam Islam disebut pahala. Sedangkan punishment atau hukuman, dikenal dengan istilah dosa. Pahala dan dosa adalah salah satu cara yang digunakan oleh manajemen agama untuk mencapai tujuannya.8

6 7 8

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 163 165. Manullang, hlm. 100. http://baniahp.multiply.com/journal/item/8/PAHALA_dan_DOSA

Secara sederhana, pahala adalah sebentuk penghargaan yang diberikan Allah kepada kita, kalau kita berbuat sesuatu yang membawa manfaat baik kepada diri sendiri dan makhlukNya secara kolektif. Sedangkan dosa adalah sebentukhukuman yang diberikan kepada kita karena kita melakukan sesuatu yang membawa mudharat (problem) pada diri kita sendiri maupun makhlukNya secara kolektif. Jadi, konsep pahala dan dosa itu sepenuhnya berkiblat pada manfaat dan mudharat buat makhluk Allah, bukan buat Allah. Oleh karena itu, setiap perintah Allah ujung-ujungnya adalah memberikan manfaat buat kehidupan makhlukNya. Sebaliknya setiap larangan Allah, ujung-ujungnya selalu memberikan mudharat kepada makhluknya. Allah adalah fasilitator sekaligus Penguasa drama kehidupan ini. Bahkan, Dialah pemilik segala yang ada. Karena itu, sama sekali Dia tidak kena dampak permainan ini. Justru Dialah yang memainkannya Ketika kita tidak shalat, tidak puasa, ataupun tidak menjalankan peribadatan yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim, itu sama sekali tidak membawa mudharat kepada Allah. Mudharatnya akan menimpa diri kita sendiri. Baik sebagai pribadi maupun sebagai manusia kolektif. Seringkali manusia beranggapan salah. Bahwa kalau tidak shalat, tidak puasa, maka Allah akan marah kepada kita karena seakan-akan kita tidak menghiraukan Allah sebagai Tuhan. Padahal, Allah sama sekali tidak terganggu eksistensinya jika seluruh manusia dimuka bumi ini tidak menyembahNya. Pemahaman ini sangat perlu, supaya kita bisa memosisikan diri secara benar dihadapan Allah. Jangan sampai kita menjalankan agama ini dengan anggapan atau pikiran bahwa Allah butuh ibadah kita. Sama sekali tidak. Seluruh petunjuk Allah dalam Al Quran itu adalah demi kebaikan dan keselamatan kita sendiri, didunia dan diakhirat. Dalam sebuah hadits Qudsi Wahai hamba-Ku, kalaupun orang-orang yang terdahulu dari kamu dan orang-orang yang belakangan, manusia atau

jin, semuanya serupa dengan orang yang paling takwa diantara kamu, semuanya itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim: Wahai hambaKu, sekiranya orang-orang yang terdahulu dari kamu dan orang-orang yang belakangan, manusia ataupun jin, semuanya serupa dengan orang yang paling jahat diantara kamu, semuanya itu tidak akan mengurangi kerajaanKu sedikitpun. D. Keadilan Tuhan/Ilahi Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri'i). Penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah. Teolog Imamiah dan teolog Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok 'Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy'ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy'ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan

mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri. Sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah SAW, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain. 1. Menurut Pendapat Mu'tazilah Kaum mutazilah memandang perbuatan tuhan dari sudut kepentingan dan kebaikan manusia, bahwa masalah keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata Tuhan adil: mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik.9 Menurut mutazilah, keadilan Tuhan merupakan kewajibankewajiban yang harus dihormati Tuhan. Kewajiban-kewajiban tersebut untuk kebaikan manusia. Mu'tazilah (non-determinism) berargumen bahwa keadilan itu sendiri merupakan sebuah realita, dan Tuhan SWT sebagai satu-satunya eksistensi keadlian sempurna (The Just) dan hikmah mutlak (All-wise) akan selalu berntindak berlandaskan tolak ukur dan proposi keadilan. Esensi Baik dan Buruk Adalah masalah lain yang harus dikemukakan sebagai hasil dari meluasnya jangkauan pandangan tentang jabr dan ikhtiar atau tentang keadilan. Bahwa apakah secara global semua tindakan atau perilaku memiliki sifat baik dan buruk secara esensial? Atau sebagai contoh,
9

apakah

kejujuran

dengan

sendirinya

bersifat

baik

dan

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 150.

penghianatan itu buruk? Apakah sifat-sifat seperti kebaikan dan kelayakan, keburukan dan ketidaklayakan merupakan sifat-sifat yang memiliki kenyataan tunggal sebagai atribut untuk setiap tindakan manusia tanpa harus merujuk pada pelaku dan kondisi tindakan tersebut? Atau sebagai sifat-sifat hipostasi dan relatif saja? Hal ini sangat berhubungan sekali dengan independensi akal dalam menilai sifat-sifat ini. Apakah logika manusia dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruknya setiap tindakan? Atau membutuhkan syariat untuk memberikan penilaian terhadapnya? Mu'tazilah (non-determinism) berpendapat akan dzati-nya baik dan buruk-baik pada esensinya baik dan buruk pada esensinya buruk dan mengetengahkan masalah self-sufficients logistic (mustaqillatul-aqliyah) bahwa dengan sangat jelas tanpa petunjuk syariat agama pun akal mampu memilah setiap tindakan yang berbeda-beda. Kaum mutazialh sepakat mengenai premis bahwa semua perbuatan Allah identik dengan perbuatan-perbuatan yang adil, karena setiap sesuatu yang dilakukan oleh Allah, termasuk hukuman bagi perbuatan buruk, adalah demi kesejahteraan ummat manusia dan bukan demi keuntunganNya. Boleh jadi perbuatan tertentu yang tidak mungkin disebut perbuatan adil, menurut qhadi abdul jabbar, adalah kreasi yang duperuntuhkan umat manusia, meski semua perbuatan Allah digambarkan sebagai perbuatan yang bijaksana dan adil.10 2. Menurut Pendapat Asy'ariyah Asy'ariyah menganggap bahwa baik dan buruk itu relatif yang bergantung pada kondisi, waktu dan lingkungannya, yang juga merupakan hasil rangkaian dari doktrin-doktrin. Selain itu, akal dalam menilai baik meminimalkan akal dalam menetukan baik dan buruk atau bahkan mengabaikannya. Al-Asyari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam surga dan tidaklah bersifat zalim,
10

Qhadi Abdul Jabbar, al-Mughni,VI, hlm. 48-9).

jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, sebab manusia seluruhnya adalah makhluk dan milik Tuhan. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan melanggar hokum. Oleh karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hokum, maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hokum.11 Perlu diketahui bahwa Mazhab Asyariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah Swt. itu zalim, nau dzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat al-Quran yang jelas yang tidak perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman dari-Nya. Menurut Al-Asyari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah, sama sekali tidak ada keraguan dalam masalah ini, orangorang Mutazilah beranggapan bahwa perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran adalah suatu yang buruk, tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan tanpa kesengajaan maka tidak mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya yang bukan pencipta tidak boleh mencipta. Mutazilah melihat bahwa mengembalikan seluruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia ada dua kemungkinan: Pertama, berada dalam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi Al-Asyari tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan maksiat. Ini berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti Allah memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan. Al-Asyari melupakan pengaruh qada ini terhadap kebebasan berkehendak. Walaupun ia berusaha melepaskan melalui teori kasab. Sikap rela terhadap qada Allah padahal
11

Tsuroya, al-Juwaini, hlm. 151

itu wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap kekafiran karena itu merupakan qada Allah dan Al-Asyari berusaha untuk melepaskan diri dari hal itu. Al-asyari berpendapat bahwa Allah menciptakan ketidakadilan (kezoliman) karena Dia Maha Pencipta dan menciptakan keadilan, akan tetapi dalam suatu pertemuan antara seorang manusia dengan manusia yang lainnya, manusia mungkin saja melakukan kedzoliman kepada yang lain sebagaimana ia lakukan kepada dirinya sendiri. Al-asyari juga berkata dalam kitab al-laumaketika Mutazilah bertanya, Tidaklah Allah telah menciptakan kezoliman terhadap semua makhluk? dijawab oleh Al-asyari Dia menciptakannya karena kezoliman mereka, bukan karena kezoliman-Nya. 3. Pandangan Mazhab Syiah Ketika seorang manusia melihat pada sesamanya, kemuadian ia tidak mempunyai maksud buruk, menghormati hak-haknya, tidak membedakan antara sesama, begitu juga ketika dalam ruang lingkup kekuasaan maupun pemerintahan yang menyamaratakan semua tingkatan sosial, dan juga dalam sebuah perselisihan ia memberikan dukungan dan pembelaan pada orang yang lemah dan tertindas serta menentang kejahatan dan kesewenang-wenangan, tentunya kita akan memuji sikapnya dan menganggap dia telah berbuat adil. Begitu juga kita akan menisbatkan predikat "zalim" pada orang yang bertindak tidak sesuai dengan yang diatas. Namun bagaimana dengan Tuhan SWT? Pertama, apakah makna-makna yang digunakan untuk manusia seperti keadilan dianggap sebagai sifat kesempurnaan, dan kezaliman sebagai sifat ketidaksempurnaan wujud manusia? Lalu apakah makna tersebut juga layak untuk eksistensi Tuhan SWT? Atau makna tersebut hanya menghukumi sosial individu manusia saja yang merupakan bagian dari hikmah praktikal sikap dan tindakan manusia? Kedua, kita umpamakan makna tersebut juga mencakup tindakan, lalu apakah mungkin kezaliman itu muncul dari sisi Tuhan SWT? Kita

tidak melihatnya dari segi mustahil atau tidaknya kezaliman yang muncul dari Dzat-Nya, atau dari segi baik dan buruk adalah sebuah pemahaman hasil dari doktrin-doktrin syariat saja, atau tidak dari sudut pandang logika seperti yang diungkapkan Asy'ariyah, melainkan kita melihatnya dari segi makna sederhana bahwa keadilan adalah menjaga hak-hak orang lain dan kezaliman adalah merampas hak-hak orang lain. Jelas bahwa ada istilah penting dan lebih penting atau istilah kepemilikan (hak) dalam hubungan antar manusia, dan segala bentuk pelanggaran terhadap kepentingan dan kepemilikan (hak) merupakan kezaliman. Lalu bagaimana dengan Tuhan SWT? Sedangkan apapun yang dimiliki oleh makhluk berasal dari-Nya. Jika kita hubungkan antara kepemilikan (hak) manusia dengan kepemilikan (hak) Tuhan SWT, tentunya kepemilikan (hak) manusia dibawah kapemilikan (hak) Tuhan SWT, dan tidak sejarar (horizontal). Yang artinya, Tuhan SWT tidak bersekutu dengan manusia dalam kepemilikan (hak), karena apapun yang manusia miliki, Tuhan SWT tetap lebih berhak atasnya. Menurut syiah makna keadilan dan kezaliman diatas, maka kezaliman tidak memiliki arti untuk Tuhan SWT karena bukankah kezaliman adalah merampas atau pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, sedangkan kata "orang lain" (yang berarti selain-Nya) bagi Tuhan SWT sudah tidak ada lagi. Hal tersebut karena apapun yang ada di alam semesta ini adalah milik-Nya, bahkan manusia itu sendiri, atau dengan bahasa filsafat, eksistensi selain Tuhan (mumkinun wujud) adalah bergantung pada eksistensi-Nya. Lain halnya dengan pemahaman Asy'ariyah maupun Mu'tazilah, dalam mazhab Syiah makna global keadilan Tuhan SWT tidak berdampak buruk terhadap Tauhid fil Af''al (ke-Esaan tindakan Tuhan) dan Ke-Esaan Tuhan SWT. Syiah melihat keadilan dan independensi akal serta kebebasan manusia dalam berkehendak telah ditetapkan tanpa ada kontradiksi dengan ke-Esaan Tuhan SWT, atau ikhtiar yang dimiliki

manusia ketika melakukan tindakan dan tidak menempatkan manusia pada posisi sebagai sekutu Tuhan SWT. 4. Keadilan Tuhan dalam Al-Quran Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.12 Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]: 152). Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS AlBaqarah [2]: 282). Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]: 25). Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi" yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)
M. Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998).
12

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. E. Keadilan Sosial Menurut Franz Magnis-Suseno, keadilan social adalah sisi lain dari keadilan individual, dimana pada umumnya setiap orang ingin memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Keadilan social adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, strukturstruktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan ideology. Maka membangun keadilan social berarti menciptakan strukturstruktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.13 Dalam pancasila, Keadilan Sosial adalah sila kelima, dimana sila ini merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya yang saling berkaitan satu sama lain. Keempat sila di awal harus menghasilkan keadilan social bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, serta dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentang keadilan social, ada pemikiran yang menarik dari Sayyid Quthub. Dalam bukunya Al-Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Qutb tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Tetapi, ia adalah kekuatan sosial dan politik konkret di seluruh dunia Muslim. Di sini Qutb melawan Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak bersesuaian. Qutb menyatakan tidak adanya alasan untuk

Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar;Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50 51.

13

memisahkan Islam dengan perwujudan-perwujudan yang berbeda dari masyarakat dan politik.14 Pemikiran Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam dilatar belakangi oleh pandangannya bahwa prinsip keadilan sosial Barat itu didasarkan pada pandangan Barat yang sekular, di mana agama hanya bertugas untuk pendidikan kesadaran dan penyucian jiwa, sementara hukum-hukum temporal dan sekular lah yang bertugas menata masyarakat dan mengorganisasi kehidupan manusia. Islam itu tidak demikian, kata Qutb: kita tidak mempunyai dasar untuk mengukuhkan permusuhan antara Islam dan perjuangan untuk keadilan sosial, seperti permusuhan yang ada antara Kristen dan Komunisme. Karena Islam telah menyiapkan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan mengukuhkan klaim orang miskin pada kekayaan orang kaya; ia menyediakan prinsip keadilan bagi kekuasaan dan uang, sehingga tidak ada perlunya untuk membius pemikiran manusia dan mengajak mereka untuk meninggalkan hakhak bumi mereka untuk tujuan harapan mereka di akhirat15. Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan, yaitu umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari al-Quran yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasivariasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Ia menjamin kehidupan minimum bagi setiap

Taufiq Rahman, Teori Keadilan Sosial Sayyid Qutb, dalam http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=112:teori-keadilansosial-sayyid-qutb&catid=18:seputar-ham&Itemid=16


15

14

Sayyid Quthub, Al-Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, hlm. 20.

orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan. Ide tentang keadilan memang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Memang benar, keadilan sosial tidak identik dengan keadilan ekonomi atau pun keadilan hukum. Bahkan keadilan sosial juga tidak sama dengan nilai-nilai keadilan yang diimpikan dalam falsafah kehidupan yang biasa dikembangkan oleh para filosof. Namun, ujung dari pemikiran dan impian-impian tentang keadilan itu adalah keadilan actual dalam kehidupan nyata yang tercermin dalam struktur kehidupan kolektif dalam masyarakat. Artinya, ujung dari semua ide tentang keadilan hukum dan keadilan ekonomi adalah keadilan sosial yang nyata. Karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep keadilan social itu merupakan simpul dari semua dimensi dan aspek dari ide kemanusiaan tentang keadilan. Istilah keadilan sosial tersebut terkait erat dengan pembentukan struktur kehidupan masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang sama yang bersifat asasi. Konsep keadilan social didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang perekonomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan social sering dibahas dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan procedural. Karena pentingnya keadilan sosial inilah, maka dalam Konstitusi ILO (International Labor Organisation) ditegaskan bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat diperoleh apabila didasarkan atas keadilan

sosial. Bahkan, dalam Vienna Declaration dan program aksinya, keadilan social dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam upaya pendidikan hak asasi manusia.16 F. Agama dan Politik Agama menjadi salah satu faktor determinan dalam praktik dan perilaku politik. Amerika Serikat, betapapun sekulernya, tetap saja perilaku politik pemilih (rakyat) dipengaruhi agama yang dianut. Namun ada pertanyaan, apakah agama menutup mata terhadap penyelewengan politik kekuasaan? apakah agama juga hanya sekadar urusan pribadi dengan Tuhan, tak ada kaitannya dengan kehidupan sosial? Dengan kata lain, dapatkah kita menyingkirkan agama di sudut kehidupan privat belaka dan hanya sebatas ritual untuk keselamatan diri dan tak ada urusannya dalam kehidupan publik, sehingga agama hanya soal kesalehan pribadi? Jika agama punya peran korektif pada praktik politik atau agama memiliki kekuatan moral politik, bukankah itu sumbangan agama terhadap praktik dan perilaku politik? Politik tentu saja didasarkan pada nilai dan kepercayaan. Seberapa besar nilai dan kepercayaan ini berperan dalam politik, sangat ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik. Sebab politik bagaimanapun adalah sebuah ruang dengan berbagai kemungkinan. DARI perspektif agama, kekuasaan politik bersumber dari Allah. Dalam visi Katolik, aktivitas politik mesti meningkatkan martabat kemanusiaan sebagai citra dan gambar Allah. Demikian pula sistem hukum harus pula menjamin kebenaran dan keadilan. Namun, terdapat ketegangan antara visi dan praktiknya. Politik dalam praktiknyatelah menjauhkan politik yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penghargaan terhadap martabat manusia dari kehendak Tuhan. Mesin-mesin kekuasaan negara menjauhkan politik dari visi sebagai pemberian Tuhan. Potensi

16

http://jimly.com/makalah/namafile/75/PESAN_KEADILAN_SOSIAL.pdf

penyelewengan menjadi lebih besar, sebab kuasa dan hukum dijadikan komoditas. Para tiran mengumpulkan uang dan kekuasaan untuk dirinya.17 Sebagai bangsa yang beragama, kita harus menyadarkan pemegang kekuasaan bahwa kuasa dan otoritas negara berasal dari Tuhan. Kita antar kembali mereka kepada Tuhan karena mereka sudah jauh dari asalnya. Agama melalui pemeluknya, bertugas mengembalikan kekuasaan itu ke sumbernya, meletakkannya kembali pada dasar dan basisnya yang tepat. Tapi usaha pertobatan ini susah-susah gampang karena sebagian besar dari kita mendukung kekuasaan yang tiran, karena kepentingan (interese) pribadi dan karena takut. Orang tinggal diam, bahkan berkolusi dan mengambil bagian dalam ketidaktaatan terhadap kehendak Tuhan. Praktik kekuasaan yang menyeleweng itu sebagian disebabkan oleh penolakan bahwa Allah ada di balik kekuasaan faktual. Karena itu orang mendapatkan kekuasaan itu melalui jalan kejahatan. Korupsi dan kolusi itu berakar di dalam dosa. Visi Katolik dan Protestan hampir sama karena memang beriman pada Kristus yang satu dan sama. Iman dan politik adalah dua sisi yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Dua garis spiral, yang punya titik pisah dan juga titik singgungnya. Meski begitu, keduanya punya otonominya masing-masing, yakni tulus versus cerdik, vertikal versus horisontal, sehingga tidak saling subordinasi. Namun keduanya terarah pada pelayanan yang sama. Karena ada titik singgung, maka ada pula kemungkinan untuk membangun kerja sama. Meski berada di dua panggung, gereja memberikan kritik bila politik menyimpang dari moralitas. Gereja dengan fungsinya sebagai imam dan nabi harus memberikan kritik terus menerus pada aktivitas politik. Tidak saja sebatas itu, agama selain sebagai agen perubahan dan pembangunan, juga menjadi perantara, menjalankan fungsi mediasi bila terjadi konflik baik internal maupun eksternal. Pemeluk agama harus berusaha memberikan solusi. Pendekatan yang diambil adalah bertemu dan bertatap muka, lalu berdialog. Di sini akan ada
17

http://fransobon.blogspot.com/2008/01/agama-dan-politik-1.html

ruang bertemu dan berdialog untuk mencari solusi. Dialog ini mesti berlangsung dalam suasana kemitraan. Dialog menuntut pula jangan ada dusta di antara kita, berlangsung jujur tanpa kepentingan. Sebab dunia porakporanda karena kepentingan. Tugas kita, katanya, adalah mencari sahabat, bukan mencari musuh. Musuh kita bersama adalah ketidakadilan dan ketidakbenaran. Dalam konsepsi Islam, politik atau negara mutlak dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya ajaran Islam. Memang benar, katanya, dalam alQuran dan hadis Nabi tidak dijumpai perintah secara jelas agar umat Islam mendirikan negara tetapi dapat diperoleh ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang secara implisit dapat dipahami bahwa adanya negara bagi umat Islam untuk dapat melaksanakan ajaran Islam merupakan tuntutan syariat yang mutlak adanya. Pada masa lampau terutama pada awal kemerdekaan dan pada dekade pertama kekuasaan Orde Baru, relasi Islam dan negara telah menimbulkan ketegangan. Sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandekan politik dalam hubungannya dengan negara karena Islam dianggap bisa menjadi pesaing kekuasaan dan karenanya dapat mengusik basis kebangsaan negara. Memang ada kelompok yang ingin menjadi Islam menjadi ideologi negara. Namun, keinginan tersebut telah ditelan oleh sejarah bangsa ini yang justru mayoritas beragama Islam. Tidak semua umat setuju dengan gagasan menjadikan Islam sebagai agama negara. Juga tidak semua umat mendukung partai-partai politik yang berideologi Islam. Gambaran ini memberikan pesan adanya arus besar bangsa ini yaitu mayoritas umat Islam lebih menghendaki Islam sebagai nilai-nilai sosial daripada kekuasaan politik formal. Arus besar umat Islam tampaknya lebih memilih untuk menerima posisi sejajar dalam konteks keindonesiaan dengan pemeluk-pemeluk agama lain daripada menjadi kekuatan politik formal yang membuat pemeluk agama lain tidak kerasan hidup di negeri ini. Menulis agama dan politik memang ibarat menulis garis. Karena agama harus menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Karena ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan

menjadi alat di tangan kekuasaan negara untuk mendapatkan legitimasi. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara. Garis itu bengkok, saling tindih, atau apapun hasilnya, amat tergantung pada kecermatan kita untuk selalu mencari format baru dan tepat dalam membangun hubungan agama dan politik. G. Penutup Berdasarkan perspektif kebaikan dan keburukan dalam penilaian rasio, akal manusia secara mandiri mampu menentukan sebagian kebaikan dan keburukan, akal bisa menjadi hakim atas perbuatan tersebut. Keadilan Tuhan tidak akan sama dengan keadilan makhluk-Nya. Keadilan Tuhan itu bersifat hakiki dalam arti adil menurut kita akan tetapi belum berarti adil menturut Tuhan. Dan asas keadilan berpijak pada kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal. Salah satu dasar yang paling penting terhadap keyakinan pada keadilan Ilahi (yakni seluruh perbuatan Tuhan adalah adil) adalah konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal. Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.".Dan Hikmah adalah menghindarkan dan menghalangi pelaku dari perbuatan buruk, dengan demikian tidak mungkin Tuhan melakukan perbuatan zalim. Oleh karena itu, seluruh anggapan mengenai kemungkinan Tuhan melakukan perbuatan zalim adalah batal dengan sendirinya.

DAFTAR PUSTAKA E. Fernando E. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010). Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar;Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1991). Majid Khadduri, Teologi Keadilan Persepektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti. 1999). Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997) Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam (Bandung: Mizan, 1992). M. Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000). Sayyid Sabiq, Al-Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam. Taufiq Rahman, Teori Keadilan Sosial Sayyid Qutb, dalam http://www.insistnet.com/index.php? option=com_content&view=article&id=112:teori-keadilan-sosial-sayyidqutb&catid=18:seputar-ham&Itemid=16 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005). http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4331_0_3_0_M http://baniahp.multiply.com/journal/item/8/PAHALA_dan_DOSA http://www.mahesajenar.com/2010/07/pahala_dan_dosa.html http://jimly.com/makalah/namafile/75/PESAN_KEADILAN_SOSIAL.pdf http://fransobon.blogspot.com/2008/01/agama-dan-politik-1.html

You might also like