You are on page 1of 11

SEJARAH PERKEMBANGAN MAJALAH

Sejarah singkat Perkembangan Majalah

Dunia cetak-mencetak mulai mengalami kemajuan tak henti-henti sejak dikembangannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg tahun 1455. Mesin cetak ini merupakan yang pertama kalinya di Eropa yang menggunakan cetak logam yang dapat digerakkan (movable metal type). Secara dramatis, penemuan ini meningkatkan kecepatan produksi barang cetakan, termasuk buku dan majalah. Mesin cetak juga mengurangi waktu yang digunakan dalam produksi buku dan majalah sebelumnya. Majalah yang paling awal adalah Erbauliche Monaths Unterredungen (16631668) diterbitkanolhJohannRist,seorang teolog dan penyair dari Hamburg, Jerman. Bentukan iklan buku dikenalkan sejak tahun 1650, berupa feature yang muncul secara reguler dan kadang diberi ulasan. Katalog-katalog reguler terbit, seperti Mercurius Librarius atau A Catalogue of Books (16681670). Tetapi, selama abad 17 terbitan semacam itu rata-rata berumur pendek. Jenis majalah yang lebih ringan isinya, atau berkala hiburan, pertama kali terbit pada 1672, yaitu Le Mercure Galant, didirikan oleh seorang penulis, Jean Donneau de Vice. Isinya: kisah-kisah kehidupan, anekdot, dan mutiara hikmah.

Di awal terbitannya, berbagai majalah didesain hanya untuk kalangan terbatas. Penerbitnya lebih suka disebut pengelola quality magazines. Sejak 1830-an, bermunculan majalah-majalah berharga murah, yang ditujukan kepada publik yang lebih luas. Awalnya berbagai majalah ini menyajikan mater-materi yang bersifat meningkatkan, mencerahkan, dan menghibur keluarga. Tapi, pada akhir abad 18 berkembang majalah-majalah populer yang sematamata menyajikan hiburan. Di Inggris, Charles Knight menjadi pelopor majalah jenis baru ini. Ia menerbitkan mingguan Penny Magazine (1832 1846) dan Penny Cyclopedia (1833 1858). Di samping majalah populer, muncul pula berbagai penerbitan majalah serially yang dipenuhi dengan gambar-gambar ilustrasi. Di AS, sampai tahun 1850, perkembangan itu tidak ditemukan. Yang tercatat mengmbangkan penerbitan berskala nasional jangkauan oplahnya yaitu Saturday Evening Post (1821 1869) dan Youth Companion (1827 1929). Pada seperempat akhir abad 19, penerbitan majalah mengalami peningkatan pasar. Masyarakat mendapat limpahan informasi dan hiburan. George Newness menyalurkan hobinya yang berawal dari kesukaannya menggunting paragrafparagraf, pada 1881, dengan menerbitkan Tit-Bits yang terbit secara periodik, dan menyebar secara meluasmelintasi batas negara. Hal tersebut diikuti oleh the Strand yang menjadi populer karena kisah-kisah Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa khususnya Inggris, dan di benua Amerika diwakili oleh Amerika Serikat. Di Amerika, tahun 1820-an sampai 1840-an merupakan zamannya majalah (the age of magazines). Majalah yang paling pouler saat itu adalah Saturday Evening Post yang terbit tahun 1821, dan Nort American Review.

Perubahan besar dalam industri majalah terjadi pada tahun 1890-an, ketika S.S. McClure, Frank Musey, Cyrus Curtis, dan sejumlah penerbit lain mulai mengubah industri penerbitan majalah secara revolusioner. Mereka melihat adanya ratusan ribu calon pelanggan yang belum terlayani oleh majalah yang ada. Mereka juga melihat bahwa iklan akan memainkan peranan penting dalam perekonomian AS. Maka, para tokoh ini

menciptakan majalah yang isinya sesuai dengan selera dan kepentingan orang banyak. Munseys dan McClures mulai menyajikan liputan olahraga di Harvard yang disusul dengan artikel olahraga umum, tulisan tentang perang, lagu-lagu populer, para pesohor (selebritis), dan sebagainya. Curtis lalu menerbitkan majalah khusus kaum ibu, Ladies Home Journal, yang kemudian menjadi majalah pertama yang mencapai tiras 1 juta. Majalah-majalah khusus seni dan arsitektur, kesehatan, dan sebagainya segera ikut bermunculan. Terjadilah fenomena yang disebut dengan popularisasi dan segmentasi isi. Para penerbit majalah juga berusaha menekan harga agar bisa terjangkau oleh orang kebanyakan. Pada tahun 1893, Frank Munsey menjual Munseys seharga 10 sen, jauh lebih murah daripada majalah lain. Iklan menjadi kian penting daripada harga majalah. Curtis kemudian bahkan menurunkan harga majalahnya menjadi 5 sen, lebih murah daripada harga kertas majalahnya sendiri. Isi populer dan harga murah itu sukses menjaring banyak pembeli, sehingga pengiklan pun tertarik. Kerugian akibat harga yang lebih murah daripada biaya produksi ditutup oleh penghasilan dari iklan. Redistribusi pendapatan memunculkan kelas menengah yang daya belinya lebih baik, dan mereka merupakan pasar potensial aneka produk massal yang dapat dijaring melalui iklan di majalah. Hal ini juga mendorong penerbit untuk berusaha membidik pembeli yang homogen guna memudahkan segmentasi iklan. Dulu, untuk mempercepat reproduksi majalah mempekerjakan banyak seniman yang masing-masing membuat sebagian gambar yang lalu disatukan sebelum digunakan sebagai materi cetakan. Teknik cetak foto modern jelas serba lebih mudah. Pengiriman foto juga gampang dilakukan sejak adanya kamera saku dan jasa pencetakan dan pengiriman foto kilat sejak 1935. Jika sebelumnya produk bacaan (cetak) dan aksesnya hanya tersedia bagi kalangan tertentu, maka belakangan produk-produk tersebut dapat diproduksi lebih banyak dan menyebar ke pembaca yang lebih luas. Terbitan koran dan majalah juga termasuk yang harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru ini. Banyak majalah raksasa yang tertekan, Tidak sedikit mingguan atau bulanan yang sudah puluhan tahun terbit dan berjangkauan luas akhirnya terpaksa tutup. Majalah yang mampu bertahan umumnya yang bersifat khusus, seperti majalah khusus wisata (Sunset), olahraga (Sport Illustrated), hobi perahu layar (Yachting), penggemar acara televisi (TV Guide), atau beritaberita ilmiah (Scientific American). Majalah-majalah yang meliput segala hal (pusparagam) seperti Colliers dan Saturday Evening Post, sudah bukan zamannya lagi, bahkan juga bagi yang awalnya begitu terkenal seperti Life dan Look. Sekarang adalah zaman majalah-majalah khusus.

Tokoh Pelopor Majalah yang Dianggap Sukses Penelusuran sejarah perkembangan media massa takkan lepas dari tokoh atau figur yang memprakarsai atau menerbitkan media massa tersebut. Hal itu terbukti pada catatan-catatan sejarah mengenai majalah. Seorang tokoh melekat dengan media terbitannya. Berikut beberapa tokoh yang tercatat oleh sejarah telah sukses menerbitkan majalah yang menjadi tonggak perkembangan salah satu media cetak ini. 1. Daniel Defoe Pada tahun 1704, di Inggris, terbit Review, majalah yang berisi berita, artikel, kebijakan nasional, aspek moral, dan lain-lain. Bentuknya adalah antara majalah dan surat kabar, ukuran halaman kecil, serta terbit tiga kali satu minggu. Defoe bertindak sebagai pemilik, penerbit, editor, sekaligus sebagai penulisnya. 2. Benjamin Franklin Dialah yang telah mempelopori penerbitan majalah di Amerika. Pada tahun 1740, dia menerbitkan General Magazine dan Historical Chronicle. 3. Richard Steele

The Tatler ia buat pada tahun 1790, selanjutnya The Spectator ia terbitkan bersama Joseph Addison. Majalah tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional, tulisan yang mengandung unsur-unsur moral, berita-berita hiburan tentang teater dan gosip. 4. Dewitt Wallace dan Lila Saat masih berusia 20 tahun, sepasang suami istri ini telah mampu menerbitkan sebuah majalah pada tahun 1922, Readers Digest. Pada pertengahan abad 20, majalah ini merupakan majalah tersukses. Pada tahun 1973, Readers Digest untuk di Amerika saja, dapat mencapai pelanggan sebanyak 18 juta pembaca, belum termasuk pembacanya di dunia. 5. Henry Luce Lulusan Yale University ini, bersama Briton Hadden menerbitkan majalah Time. Ia terdorong oleh keberhasilan Readers Digest. Tak hanya itu, ia pun menerbitkan Fortune, Sport Illutrated, dan Life. Majalah yang disebutkan terakhir merupakan majalah berita yang banyak mengandung foto. Foto-foto tersebut berfungsi sebagai alat informasi, menghibur, dan memengaruhi. 6. Hugh Hefner Dia menerbitkan majalah Playboy pada tahun 1953. Majalah bagi pria dewasa ini adalah salah satu majalah yang sukses. Pada tahun 1970-an, sirkulasinya mencapai enam juta eksemplar.
SEJARAH PERKEMBANGAN MAJALAH DI INDONESIA
Sejarah keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai pada massa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto dengan prakarsa dari Ki Hadjar Dewantoro, sedang di Ternate pada bulan oktober 1945 Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan radio republic Indonesia. Di kediri terbit majalah berbahasa Jawa Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar Indonesia di Blitar menerbitkan majalah berbahasa jawa, Obor (Suluh).

Awal Kemerdekaan
Soemanang, SH yang menerbitkan majalah Revue Indonesia, dalam salah satu edisinya pernah mengemukakan gagasan perlunya koordinasi penerbitan surat kabar, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Semuanya terbit dengan satu tujuan, yakni menghancurkan sisa-sisa kekuasaan belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakayat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.

Zaman orde lama


Pada masa ini, perkembangan majalah tidak begitu baik, kaena relatif sedikit majalah yang terbit. Sejarah mencatat majalah Star Weekly, serta majalah mingguan yang terbit di Bogor bernama Gledek, namun hanya berumur beberapa bulan saja.

Zaman orde baru

Awal orde baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya, diantaranya di Jakarta terbit majalah Selecta pimpinan Sjamsudin Lubis, majalah sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis, Panji Masyarakat dan majalah Kiblat. Hal ini terjadi sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju. Kategorisasi majalah yang terbit pada masa orde baru, yakni : 1) Majalah berita : Tempo, Gatra, Sinar, Tiras 2) Majalah keluarga : Ayahbunda, Famili 3) Majalah wanita : Femina, Kartini, Sarinah 4) Majalah pria : Matra 5) Majalah remaja wanita : Gadis, Kawanku 6) Majalah remaja pria : Hai 7) Majalah anak-anak : Bobo, Ganesha, Aku Anak Saleh 8)Majalah ilmiah popular : Prisma 9) Majalah umum : Intisari, Warnasari 10) Majalah hukum : Forum Keadilan 11) Majalah pertanian : Trubus 12) Majalah humor : Humor 13) Majalah olahraga : Sportif, Raket 14) Majalah berbahasa daerah : Mangle (Sunda, Bandung), Djaka Lodang (Jawa, Yogyakarta)

http://www.scribd.com/doc/20102787/Sejarah-Buku-Majalah-Surat-Kabar

Media dan Konsumerisme


OPINI Alvi Harahap Menarik juga seh buku yang lagi gw baca ini mengenai kisah seorang gadis muda yang menjalani operasi plastik berulang-ulang kali hanya untuk mempercantik dirinya sampe akhirnya dia udah ga jelas berbentuk seperti apa. Hmm jadi inget kisah berita yang dulu sempat heboh (lebih tepatnya sih tragedi kali ya) mengenai kematian seorang wanita muda saat mencoba mengimplemen silikon ditubuhnya. Ya berita tentang kematian orang dengan kasus yang disebutkan diberita sebenernya bukan sekali ini aja, tapi udah beberapa kasus dah terjadi di Indonesia. Menariknya juga kalo gue baca berita itu, setidaknya gue jadi bisa melihat beberapa kecendrungan masyarakat saat ini yang mau mengambil resiko yang besar demi merubah penampilannya agar terlihat lebih menarik. Tapi dalam hal ini gue sebenernya pengen menuntut tanggung jawab masyarakat, terutama media masa, lebih-lebih Televisi atau Majalah/Tabloid. Menurut gue media-media ini seharusnya mengemban misi tidak hanya memberikan informasi dan hiburan tetapi juga harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa (ca elah bahasanya.). Iya dooong gue setuju dengan pendapat siapa ya yang bilang kalo Indonesia itu adalah negara yang terbelakang (itu harus kita akui) dan untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, jelas membutuhkan usaha yang keras, dan disinilah menurut gue media masa memiliki peranan yang penting. Every day we are bombarded with consumerist publicity that wants to get into our heads and our pockets. media, peer pressure, and other cultural manipulators try to control our decisions. Skinny beauty patterns cause people to go under strict diets that may cause them get sick and in many cases lead them to death. Fashion becomes an addiction. Shopping Malls become cathedrals where people find fulfillment in shopping. Shopping beyond our true needs and poor money management skills bring us to an almost eternal debt. Peer pressure pushes people to live and act against their true selves, it pushes people to drink, to get high, to hook up, in order to fit in the group. Gue sangat prihatin sama media sekarang yang cendrung mengabaikan kepentingan utama publik dengan kepentingan komersial media semata. Harus di akui kalo masyarakat memang lebih menggemari tayangan-tayangan tidak mendidik seperti sinetron, gosip, atau misterimisteri dst, tak heran akhirnya media berlomba-lomba menyajikan acara itu. Tapi di balik itu gue menuntut peran media dalam mencerdaskan masyarakat, tidak semata mengejar keuntungan semata. Kalo mengaharap media mau merubah format beritanya rasanya akan sulit, karena jelas orientasinya adalah keuntungan. Oleh karena itu gue sih sebenernya mengharapkan sekali pemerintah berperan aktif dalam memaksa media untuk mengemban tanggung jawab mendidik masyarakat. Parahnya usaha pemaksaan ini pasti akan ditanggapi secara negatif oleh pers, karena trauma oleh zaman-zaman orba yang membredel berbagai media yang tidak segaris dengan pemikiran pemerintah.

Kalo lihat artikel atau apalah yang dihadirkan oleh media masa baik televisi ataupun majalah-majalah kebanyakan mengumbar konsumerisme ataupun hedonisme. Terus terang gue agak-agak muak lho liat acara-acara life style, apalah bentuknya mau soal fashion terbaru, gembar2 kartu kredit, gaya gaul, gaya hidup bebas dan halhal sejenisnya. Gue sudah melihat bahwa media saat ini ternyata memainkan peranan yang lebih kuat pada pembentukan karakter seseorang ketimbang orang tua atau lingkungannya sendiri. Kembali ke contoh awal soal kematian korban silikon. Gue yakin seyakin-yakinnya dia mau sampe bela-belain memperbesar payudaranya dengan silikon yang berbahaya karena dirinya menganggap itu akan membuat dirinya menarik di hadapan lawan jenis. Kenapa dia sampai berfikir begitu, gue hampir pasti yakin pasti dia termakan definisi kecantikan adalah memiliki payudara yang besar seperti digembar-gemborkan oleh media. Mungkin memang hal tersebut benar dapat menarik bagi sebagian orang tapi apakah semua orang berfikir begitu? gue rasa gak semua. Nah yang gue ingin rasanya menggugat media-media (baik dalam ataupun luar negeri) dimana mereka bersama industri-industri yang terkait (kapitalis) bisa dengan seenaknya memaksa seseorang untuk mengikuti apa yang mereka katakan di media entah itu soal definisi kecantikan, gaya hidup atau apalah. Misalkan, majalah remaja mempersepsikan kalo cewe yang asik adalah cewe yang begini dan begitu di artikelnya yang kadang tidak ada kaitannya dengan upaya memajukan fikiran remaja untuk berfikir lebih mandiri kreatif atau apalah, tapi kadang malah disodorkan berbagai artikel trip/trik yang kurang penting, seperti masalah fans ke artis, bagaimana merawat tubuh dll. kayaknya agak jarang mengarahkan remaja untuk berfikir maju, kreatif inovatif. Atau majalah untuk pria yang menjejali halaman-halamannya dengan wanita yang cantik, seksi, berkulit putih mulis, hidung mancung, berdada besar, dan mungkin bertampang indo sebagai wanita yang cantik. Alhasil mungkin gue yakin sebagian pria-pria termasuk juga wanita-wanita secara tidak langsung akan membuat definisi baru tentang kecantikan seperti yang sering ditampilkan di medianya. Hal seperti ini tentu saja jika berlangsung terus menerus secara tidak disadari akan merubah tuntutan seseorang terhadap standar yang ada. Dalam hal ini adalah standar kecantikan. Coba saja jaman dulu, jaman nenek-nenek atau orang tua kita hidup waktu muda, rasanya definisi kulit putih, hidung mancung tidak dipersoalkan sebagai standar kecantikan yang mutlak. Tapi saat ini karena semua media menjejali dengan berbagai wajah wanita-wanita yang cantik seperti gue sebutkan diatas, maka gak heran alam bawah sadar kebanyakan dari kita akan mempersepsikan

bahwa kecantikan adalah berkulit putih (Lihat iklan pemutih yang semakin menggila, padahal orang eropa malah ingin menggelapkan kulitnya). Cara-cara media seperti ini yang gue anggap gak bertanggung jawab karena jujur aja sebagian besar kulit orang indonesia itu memang udah dari sononya sawo matang, cuma karena kekuatan media akhirnya sebagian orang yang berkulit sawo matang dipaksa untuk menerima kenyataan baru bahwa cantik itu berkulit putih, atau untuk kasus Anis yang menjadi korban silikon mungkin memiliki definisi kecantikan itu memiliki payudara yang besar. Kasian orang-orang ini harus menerima standar baru kecantikan karena dikte dari media-media yang di kuasai oleh segelintir kaum dan mempengeruhi sebagian besar masyarakat luas. Sudah saatnya cara-cara seperti ini dihentikan, persepsi yang dipaksakan oleh media dan industri yang terkait jelas hanya akan menguntungkan media dan industri yang terkait itu seperti industri kosmetik, pemutih kulit, doktor bedah kecantikan, industri obat (singset langsing badang?) dan sebagainya mungkin juga termasuk fashion, lifestyle, dll.

Gue agak sedikit merenung dengan apa yang di ucapkan dengan temen gue di bandung. Temen gue bilang, vi kalo di bandung tuh ibaratnya gaya adalah segalanya, kalo ada anak sekolah punya duit sepuluh ribu sedang kelaparan, dia bakal lebih suka beli gesper yang bikin gaya ketimbang beliin makan yang ngenyangin dia Kalo memang itu benar terjadi, ironis menurut gue. gaya itu boleh aja tapi kalo kita ini udah maju, kita jangan ngikutin gaya atau life-style dari negara asing yang udah maju, kita harusnya meniru etos kerja mereka yang mau bekerja keras jangan mau gayanya tapi kerjanya gak becus akhirnya liat sendiri deh tuh pejabatpejabat yang banyak gaya mobilnya mobil mewah kerjaaan gak beres (ex: TKI, Haji, dll), Korupsinya gila-gilaan lagi. Itulah yang gue sesalkan gaya hidup sebagian orang indonesia itu melebihi kemampuan sebenarnya. Coba liat kembali beberapa waktu yang lalu saat acara kontes reality show merajai media. Media lebih banyak menggembar gemborkan idola-idola instan ketimbang menampilkan sosok remaja yang sukses menjuarai olimpiade fisika. Ironis :( negara yang membutuhkan banyak orang pandai di kalah kan oleh artis-artis itu. Gue bukan anti artis, tapi kita harus jujur pada diri sendiri, kita ini negara tertinggal, yang kita butuhkan untuk mengejar ketertinggalan itu adalah orangorang yang pandai. Artis tetap dibutuhkan untuk menghibur tapi tetap lebih banyak dibutuhkan orang-orang pandai untuk segera memakmurkan negeri ini. Ironis memang orang-orang pandai

tidak mendapat tempat di Indonesia, akhirnya beruntunglah negara-negara lain yang memanfaatkan kepandaian putra-putri Indonesia untuk bekerja pada mereka yang andaikan saja mereka bekerja untuk Indonesia hasilnya bisa dirasakan oleh kita juga. Ironis ya memang ironis. Untuk media hentikanlah tayangan atau berita yang lebih menjurus ke konsumerisme dan hedonisme, bantulah mendidik masyarakat untuk menyadari pentingnya mengejar ketertinggalan bangsa ini dari bangsa lain. Janganlah menggembar-gemborkan kemewahan dan hedonisme kepada masyarakat kita yang memamang pada dasarnya belum mampu mengikuti gaya hidup seperti itu. Lebih baik mengajak pembacanya untuk mengarahkan pembaca/penontonnya membantu saudara-saudaranya yang banyak sekali kurang beruntung. Tapi itu sepertinya mustahil, karena bagaimanapun jika mengandalkan dari harga jual majalah tanpa iklan (yang menggiring ke konsumerisme) tentunya dapat membahayakan neraca keuangan dari media itu sendiri ya bisa dibilang pada akhirnya ini seperti lingkaran setan yang tidak ada putusnya Akhir kata gue cuma bisa berdoa, dan berusaha setidaknya untuk memulainya dari gue sendiri karena gak enak juga nih kalo gue nuntut tapi gue sebenernya harus dituntut berubah. semoga kita semua bisa berubah ke arah yang lebih baik. Just dont let someone create you, because they might just destroy you.

http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/09/media-dan-konsumerisme/

Inilah 4 Majalah Lisensi Baru Keluaran Kompas Gramedia

MAZMUR SEMBIRING

Empat majalah berlisensi asal Amerika yang terbit di Indonesia di bawah Kompas Gramedia.

http://female.kompas.com/read/xml/2010/07/28/16092318/Inilah.4.Majalah.Lisensi. AS.Baru.Keluaran.Kompas.Gramedia Rabu, 28/7/2010 | 16:09 WIB KOMPAS.com - MORE, Martha Stewart Living, InStyle, dan Fortune merupakan nama majalah-majalah yang sudah sangat ternama di negara asalnya. Di Amerika, keempat majalah ini sudah berusia belasan tahun dan terus berkembang ke negara-negara lain. Kini, keempat majalah ini masuk ke jajaran majalah yang terbit di Indonesia di bawah Kompas Gramedia. Reda Gaudiamo, publisher majalah KG, menjelaskan bahwa peluncuran ke-4 majalah ini merupakan sebuah tantangan untuk diri sendiri bagi KG. Selama ini, KG sudah memimpin untuk majalah-majalah atau media cetak untuk dunia anak, otomotif, dan lainnya. Namun, belum untuk majalah glossy, terutama yang berlisensi. Menurut Reda, majalah-majalah ini akan banyak diisi dengan materi-materi lokal, dan harus bisa berhubungan kepada pembaca di Indonesia. Jika selama ini kita hanya bisa melihat majalahmajalah luar negeri dengan keindahan apa pun yang ada di dalamnya, tetapi tak bisa terjangkau, atau karena barangnya hanya ada di luar negeri, maka majalah-majalah ini diupayakan tidak seperti itu. Harus ada di Indonesia, dan bisa dipakai oleh para pembacanya. Mengenai persaingan di dunia majalah wanita Indonesia, Reda mengungkap bahwa ia tak gentar. Sebelum terbit, ketika masih sounding ke beberapa pengiklan, mereka sudah antusias. "Bahkan pengiklan sudah mengantre untuk masuk ke majalah luar berbahasa Indonesia ini," jelasnya. Profil 4 majalah baru Fortune Indonesia Majalah Fortune merupakan majalah referensi bisnis yang diterbitkan oleh Time Inc. sejak tahun 1930. "Majalah ini telah terbukti waktu berhasil menyediakan informasi bisnis yang mendalam dan akurat, namun disajikan dengan sederhana, kaya, penuh warna, dan sesuai kebutuhan

masyarakat bisnis," terang JB Soesetiyo, Pemimpin Redaksi Fortune Indonesia. Harapannya, majalah ini bisa merangsang terciptanya inovasi bisnis, pengusaha-pengusaha baru, mengangkat potensi ekonomi daerah, serta menjadi panduan gaya hidup bagi profesional sukses. Dijual dengan harga eceran Rp 40.000 (Pulau Jawa). InStyle Indonesia Saat ini, InStyle Indonesia adalah majalah InStyle ke-18 yang dilisensikan secara internasional sejak diluncurkan pertama kalinya 15 tahun lalu, juga oleh Time Inc. Menurut Amy Wirabudi, Pemimpin Redaksi majalah InStyle Indonesia, hasil survei dunia menemukan bahwa majalah ini adalah sahabat sekaligus penasehat terbaik bagi pecinta mode dan kecantikan mengenai gaya hidup. Paham yang digunakan, radiant clarity memastikan isi dari majalah ini mudah dimengerti dan memberikan detail yang jelas. Dijual dengan harga Rp 39.500. Martha Stewart Living Indonesia Dharmawan Handonowarih, Pemimpin Redaksi Martha Stewart Living Indonesia mengatakan, bahwa majalah ini hadir di tengah-tengah majalah interior yang memberi ide bombastis, sementara majalah ini lebih menekankan kebersahajaan. "Konsep majalah ini bersahaja, kontemporer, namun indah. Inovatif tapi praktis. Homemade sekaligus handmade. Tujuannya agar para pembaca terus meningkatkan kualitas hidup melalui pola hidup yang indah dan kreatif." Dipasarkan dengan harga Rp34.500. MORE Indonesia Majalah untuk wanita usia matang ini dilahirkan 12 tahun lalu oleh perusahaan Meredith Corporation. "MORE Indonesia hadir untuk memberi inspirasi melalui sosok-sosok inspiratif dunia maupun dalam negeri. Perempuan MORE percaya bahwa hidup tak layak untuk dilalui sekadarnya, namun memberi kontribusi positif terhadap diri dan lingkungan," terang Candrasari Widanarko, Pemimpin Redaksi MORE Indonesia. Majalah ini dijual dengan harga eceran Rp 29.500.

You might also like