You are on page 1of 56

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 3.1 Umum


Dalam periode 20052009, realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9 persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata 11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode 20052009 tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah. Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi; (2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP; (3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN. Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen, dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen. Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-1

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L). Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2010. Indikator-indikator ekonomi makro lainnya juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP sebesar Rp243,1 triliun. Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah. Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah. Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut adalah sampai dengan tahun 2014. Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA; (2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L; dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L.

3.2

Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 20052009 dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010

Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam periode 20052009. Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4 persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun 2009. Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode 20052009 menjadi faktor utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan 2009. Dalam periode 20052009 tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun 2009. Hal ini berarti terjadi pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai
III-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode 20052009 mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009. Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4 triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.1.
TABEL III.1 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2005 2010 (triliun rupiah)
Uraian Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Hibah Sumber: Kementerian Keuangan 2005 Real. 495,2 493,9 347,0 146,9 1,3 2006 Real. 638,0 636,2 409,2 227,0 1,8 2007 Real. 707,8 706,1 491,0 215,1 1,7 2008 Real. 981,6 979,3 658,7 320,6 2,3 2009 Real. 848,8 847,1 619,9 227,2 1,7 2010 APBN-P 992,4 990,5 743,3 247,2 1,9

3.2.1 Penerimaan Dalam Negeri


Dalam periode 20052009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 20052009. Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri. Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010,

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-3

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.2.
TABEL III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2005 2010 (triliun rupiah)
Uraian Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan 1. Migas 2. Nonmigas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea masuk ii. Bea keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU
Sumber : Kementerian Keuangan

2005 Real. 493,9 347,0 331,8 175,5 35,1 140,4 101,3 16,2 3,4 33,3 2,1 15,2 14,9 0,3 146,9 110,5 103,8 6,7 12,8 23,6 0,0

2006 Real. 636,2 409,2 396,0 208,8 43,2 165,6 123,0 20,9 3,2 37,8 2,3 13,2 12,1 1,1 227,0 167,5 158,1 9,4 23,0 36,5 0,0

2007 Real. 706,1 491,0 470,1 238,4 44,0 194,4 154,5 23,7 6,0 44,7 2,7 20,9 16,7 4,2 215,1 132,9 124,8 8,1 23,2 56,9 2,1

2008 Real. 979,3 658,7 622,4 327,5 77,0 250,5 209,6 25,4 5,6 51,3 3,0 36,3 22,8 13,6 320,6 224,5 211,6 12,8 29,1 63,3 3,7

2009 Real. 847,1 619,9 601,3 317,6 50,0 267,6 193,1 24,3 6,5 56,7 3,1 18,7 18,1 0,6 227,2 139,0 125,8 13,2 26,0 53,8 8,4

2010 APBN-P 990,5 743,3 720,8 362,2 55,4 306,8 263,0 25,3 7,2 59,3 3,8 22,6 17,1 5,5 247,2 164,7 151,7 13,0 29,5 43,5 9,5

3.2.1.1 Penerimaan Perpajakan


Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode 20052009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai. Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode 20052009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen. Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun 2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan

III-4

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu, pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik. Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari 2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan (3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui

III-6

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

(1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007. Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli, mesin sinar X, dan mesin sinar gamma. Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi sistem audit. Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW) dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan (10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-7

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja. Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek pemalsuan cukai. Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM); (2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor.

3.2.1.1.1 Pajak Dalam Negeri


Dalam periode 20052009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan ratarata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada tahun 2009. Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masingmasing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan Grafik III.3.
GRAFIK III.2 PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, 2005 2009
80 75,0 53,2 45,4 40 22,9 20 1,9 0 (20) (40) 18,0 17,4 28,8 6,8 -1,2 -7,9 35,7 25,6 21,5 37,8 28,6 13,7 6,9 -4,3 -6,4 17,6 16,0 18,3 14,7 14,0 13,6 10,7 9,5 11,6 19,7 10,8 2,7 87,0

persen (y-o-y)

60

-7,2

PPh Migas
-35,0

PPh Non Migas

PPN

PBB

BPHTB

Cukai

Pajak Lainnya

Sumber : Kementerian Keuangan

2005

2006

2007

2008

2009

III-8

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

Dalam APBN-P tahun 2010, GRAFIK III.3 penerimaan pajak dalam KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, 2005 2009 Pajak Lainnya Cukai negeri ditargetkan mencapai 0,6% 9,3% BPHTB PPh Migas Rp720,8 triliun. Apabila 1,0% 10,3% dibandingkan dengan realisasi PBB 4,7% penerimaan pajak dalam negeri tahun 2009, target tersebut mengalami PPh Non-Migas peningkatan sebesar Rp119,5 PPN 42,1% 32,1% triliun atau 19,9 persen. Peningkatan terjadi pada seluruh pos penerimaan dalam negeri, terutama PPN dan PPnBM yang meningkat Sumber : Kementerian Keuangan 36,2 persen dan BPHTB yang meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (DesemberNovember) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan pajak migas. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode 20052009. Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5 triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7 persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun, terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen. Penerimaan PPh migas selama tahun 20052009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4 triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh migas tahun 20092010 dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (DesemberNovember), dan lebih tingginya lifting minyak

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-9

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965 MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun 2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan realisasi PPh migas 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.3. Dalam periode 20052009, realisasi penerimaan PPh nonmigas mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun 2009. Pertumbuhan tersebut terutama didukung dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode tersebut.

GRAFIK III.4 PENERIMAAN PPh MIGAS, 2009 2010


triliun Rp 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 2009
Sumber : Kementerian Keuangan

PPh Gas Alam

PPh Minyak Bumi

31,7

32,8

18,4

22,5

APBN-P 2010

TABEL III.3 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2005 2010 (triliun rupiah) 2005 Uraian PPh Minyak Bumi PPh Gas Bumi PPh Migas Lainnya Total Real. 9,3 25,8 0,0 35,1 % thd Total 26,4 73,6 0,0 100,0 Real. 14,7 28,5 0,0 43,2 2006 % thd Total 34,0 66,0 0,0 100,0 Real. 16,3 27,3 0,4 44,0 2007 % thd Total 37,0 62,0 1,0 100,0 Real. 29,6 47,4 0,0 77,0 2008 % thd Total 38,5 61,5 0,0 100,0 Real. 18,4 31,7 0,0 50,0 2009 % thd Total 36,7 63,3 0,0 100,0 2010 APBN-P 22,6 32,8 0,0 55,4 % thd Total 40,7 59,3 0,0 100,0

Sumber : Kementerian Keuangan

Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh GRAFIK III.5 nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun. PENERIMAAN PPh NONMIGAS, Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila 2009 2010 dibandingkan dengan realisasi tahun triliun Rp sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun 320,0 20092010 dapat dilihat dalam Grafik III.5. 270,0 76,5 Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan 61,3 PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya 220,0 42,1 33,8 perbaikan administrasi perpajakan dan 170,0 61,6 52,1 dilakukannya extra effort sebagaimana yang 120,0 telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28 70,0 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada 120,3 126,7 20,0 tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen 2009 APBN-P 2010 -30,0 bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan Lainnya PPh Final dan Fiskal masih merupakan kontributor utama bagi PPh Pasal 21 PPh Pasal 25/29 Badan penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan Sumber : Kementerian Keuangan realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal dalam periode 20052010 dapat dilihat padaTabel III.4.

III-10

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

TABEL III.4 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, 2005 2010 (triliun rupiah)


2005 Uraian Real. 9,3 25,8 13,5 13,0 1,6 51,4 8,9 21,9 -0,1 145,3 % thd Total 26,4 73,6 9,3 8,9 1,1 35,4 6,1 15,1 -0,04 175,8 2006 Real. 31,6 4,0 13,1 15,4 1,8 65,1 10,5 24,1 0,04 165,6 % thd Total 19,1 2,4 7,9 9,3 1,1 39,3 6,4 14,6 0,02 100,0 2007 Real. 39,4 4,0 16,6 15,7 1,6 80,8 14,6 21,6 0,01 194,4 % thd Total 20,3 2,0 8,6 8,1 0,8 41,6 7,5 11,1 0,01 100,0 2008 Real. 51,7 5,0 25,1 18,1 3,6 106,4 14,9 25,2 0,02 249,8 % thd Total 20,7 2,0 10,0 7,2 1,4 42,6 6,0 10,1 0,01 100,0 2009 Real. 52,1 4,4 19,2 16,0 3,3 120,3 18,4 33,8 0,02 267,6 % thd Total 19,5 1,6 7,2 6,0 1,3 45,0 6,9 12,6 0,0 100,0 2010 APBN-P 61,6 5,4 23,9 20,0 4,3 126,7 22,9 42,1 0,00 306,8 % thd Total 20,1 1,8 7,8 6,5 1,4 41,3 7,5 13,7 0,0 100,0

PPh Pasal 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 Impor PPh Pasal 23 PPh Pasal 25/29 Pribadi PPh Pasal 25/29 Badan PPh Pasal 26 PPh Final dan Fiskal PPh Non Migas Lainnya Total
Sumber : Kementerian Keuangan

Selama periode 20052009, realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu 20052009 untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral 20052010 dapat dilihat dalam Tabel III.5.
TABEL III.5 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2005 2010 (triliun rupiah)
Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya Total 2005 % thd Total 2,1 8,1 4,5 0,1 27,7 2,4 2,0 9,1 9,3 29,2 5,5 0,1 100,0 2006 % thd Total 2,0 8,3 4,3 0,1 24,0 3,9 2,1 9,3 10,2 30,6 5,2 0,0 100,0 2007 % thd Total 2,6 7,8 5,8 0,1 23,3 2,6 2,7 9,4 9,1 30,5 5,9 0,1 100,0 2008 % thd Total 4,3 7,8 5,1 0,2 24,7 2,3 2,3 10,6 8,8 26,4 5,4 2,0 100,0 2009 % thd Total 4,3 3,5 7,3 0,1 25,7 2,2 2,8 11,1 6,9 27,7 7,3 1,0 100,0 2010 Perk. % thd Real. Total 9,3 8,2 14,0 0,3 77,8 8,3 7,7 31,5 17,4 61,6 20,3 2,4 258,9 3,6 3,2 5,4 0,1 30,0 3,2 3,0 12,2 6,7 23,8 7,8 0,9 100,0

Real.

Real.

Real.

Real.

Real.

2,5 9,9 5,6 0,1 33,9 3,0 2,5 11,1 11,3 35,7 6,7 0,1 122,4

2,8 12,1 6,2 0,1 34,7 5,7 3,1 13,5 14,7 44,3 7,6 0,1 145,0

4,7 14,0 10,5 0,2 41,9 4,7 4,8 16,9 16,3 54,8 10,7 0,2 179,7

9,9 17,9 11,7 0,5 56,6 5,3 5,4 24,3 20,1 60,5 12,3 4,5 229,1

10,5 8,5 17,8 0,3 62,7 5,4 6,7 27,1 16,8 67,6 17,8 2,4 243,6

* Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline , serta restitusi.

Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen. Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2009. Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-11

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai Rp31,5 triliun. PPN dan PPnBM Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode 20052009 mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh ratarata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0 triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen) dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM dalam periode 20052010 dapat dilihat dalam Tabel III.6.
TABEL III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 2010 (triliun rupiah)
Uraian Real. 2005 % thd Total Real. 2006 % thd Total Real. 2007 % thd Total Real. 2008 % thd Total Real. 2009 % thd Total 2010 APBN-P % thd Total

a. PPN PPN DN PPN Impor PPN Lainnya b. PPnBM PPnBM DN PPnBM Impor PPnBM Lainnya Total (a+b)

94,0 48,8 44,9 0,3 7,3 4,9 2,4 0,0 101,3

92,8 48,1 44,3 0,3 7,2 4,8 2,4 0,0 100,0

118,2 74,8 43,1 0,3 4,8 3,1 1,7 0,002 123,0

96,1 60,8 35,0 0,2 3,9 2,5 1,4 0,002 100,0

147,4 93,3 53,9 0,3 7,1 4,7 2,4 0,021 154,5

95,4 60,3 34,9 0,2 4,6 3,0 1,6 0,01 100,0

198,2 116,7 81,1 0,3 11,5 7,5 4,0 0,012 209,6

94,5 55,7 38,7 0,1 5,5 3,6 1,9 0,01 100,0

184,2 120,4 63,4 0,3 8,9 6,1 2,8 0,015 193,1

95,4 62,4 32,9 0,1 4,6 3,2 1,5 0,01 100,0

253,4 156,4 96,7 0,3 9,5 6,6 3,0 0,01 263,0

96,4 59,5 36,8 0,1 3,6 2,5 1,1 0,004 100,0

Sumber : Kementerian Keuangan

Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia. Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode 20052009 dapat dilihat pada Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada Grafik III.7.

III-12

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

GRAFIK III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 2009


160 140
triliun Rp

PPN & PPnBM DN PPN & PPnBM Impor Nilai Impor

160000 140000

triliun Rp

GRAFIK III.7 PENERIMAAN PPN DAN PPnBM, 2009 2010


PPN PPnBM 9,5

270 250 230 210 190 170 150 2009 Sumber: Kementerian Keuangan APBN-P 2010 9,5 184,2

120 100 80 60 40 20 0

juta US$

120000 100000 80000 60000 40000 2005 2006 2007 2008 2009

253,4

Sumber: Kementerian Keuangan

Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam periode 20052009, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar, dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masingmasing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010, diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan kontribusi sebesar 5,8 persen. Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode 20052009, PPN DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9 persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0 persen dan 7,5 persen. Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan 8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7. Dalam periode 20052009, penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7 persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-13

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

TABEL III.7 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2005 2010 (triliun rupiah) 2005 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya Total
Sumber : Kementerian Keuangan

2006 Real. 1,8 16,8 1,3 0,1 22,3 0,6 6,2 12,8 6,6 8,4 1,6 1,5 79,9 % thd Total 2,2 21,0 1,6 0,1 27,9 0,7 7,8 16,0 8,2 10,6 2,0 1,9 100,0

2007 Real. 2,0 14,6 1,8 0,1 28,6 0,5 12,0 17,9 8,1 10,8 2,3 1,9 100,6 % thd Total 2,0 14,5 1,8 0,1 28,4 0,5 11,9 17,8 8,1 10,8 2,2 1,9 100,0

2008 Real. 3,1 17,0 1,4 0,1 32,2 0,6 11,3 20,3 8,8 9,4 2,6 5,9 112,8 % thd Total 2,7 15,1 1,2 0,1 28,6 0,6 10,1 18,0 7,8 8,3 2,3 5,3 100,0

2009 Real. 3,5 3,9 1,9 0,1 50,2 0,7 12,4 23,5 9,7 10,4 3,0 6,5 125,7 % thd Total 2,8 3,1 1,5 0,1 39,9 0,6 9,8 18,7 7,7 8,2 2,4 5,2 100,0

2010 Perk. Real. 3,3 2,8 2,1 0,2 67,3 0,9 12,1 28,0 12,4 12,1 3,8 7,3 152,3 % thd Total 2,2 1,9 1,4 0,1 44,2 0,6 7,9 18,4 8,2 7,9 2,5 4,8 100,0

Real. 1,6 2,9 0,8 0,0 18,5 0,4 4,3 10,6 6,1 7,7 1,3 1,5 55,8

% thd Total 2,8 5,2 1,4 0,1 33,2 0,8 7,7 19,0 10,9 13,7 2,4 2,7 100,0

* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi.

Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum, peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun 2010. Pertumbuhan negatif penerimaan sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan PPN impor secara sektoral tahun 20052010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8.
TABEL III.8 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2005 2010 (triliun rupiah)
2005 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya Total Real. 0,1 11,4 0,2 0,1 22,2 0,2 0,5 8,1 1,9 0,4 0,1 0,0 45,2 % thd Total 0,1 25,3 0,5 0,3 49,1 0,3 1,2 17,9 4,1 1,0 0,2 0,0 100,0 2006 Real. 0,1 9,9 0,1 0,1 20,0 0,2 0,4 9,0 2,0 0,4 0,1 0,0 42,3 % thd Total 0,3 23,4 0,2 0,1 47,3 0,5 0,9 21,4 4,7 0,9 0,2 0,0 100,0 Real. 0,1 11,9 0,2 0,0 26,4 0,1 0,5 12,4 1,8 0,4 0,2 0,0 54,0 2007 % thd Total 0,2 22,0 0,3 0,1 48,8 0,2 0,9 23,0 3,3 0,8 0,3 0,0 100,0 2008 Real 0,1 19,3 0,5 0,1 37,0 0,2 1,3 20,1 2,4 0,7 0,2 0,0 82,0 % thd Total 0,1 23,5 0,7 0,1 45,2 0,2 1,6 24,5 3,0 0,9 0,3 0,0 100,0 2009 Real. 0,1 0,8 0,5 0,0 40,2 0,2 1,0 18,3 1,5 1,0 0,1 0,0 63,6 % thd Total 0,1 1,2 0,7 0,1 63,1 0,4 1,5 28,7 2,3 1,6 0,1 0,0 100,0 Perk. Real. 0,4 0,6 1,9 0,0 59,2 0,2 0,9 28,2 1,2 2,2 0,1 0,0 95,0 2010 % thd Total 0,5 0,6 2,0 0,0 62,3 0,3 1,0 29,7 1,3 2,3 0,1 0,0 100,0

* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline , dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan

PBB dan BPHTB


Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen dan 17,2 persen dalam periode 20052009. Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen.

III-14

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

BOKS III.1 AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM NOMOR 42 TAHUN 2009
LATAR BELAKANG 1 . Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. 2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem PPN. DASAR HUKUM 1 . Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun 2000. KEBIJAKAN Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan sistem perpajakan dan kepastian hukum. TUJUAN 1 . Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, 2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana.
POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM
Uraian
1. Istilah baru dalam objek pajak

UU No 12 Tahun 2000
Tidak diatur.

UU No 42 Tahun 2009
Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%.

2. Penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan

Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan.

PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

3. Penyerahan dan bukan penyerahan BKP a. Pembiayaan syariah b. Dalam rangka restrukturisasi Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan. Dikenakan PPN. Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung. Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar sebagai PKP. Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

c. Persediaan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan

Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-15

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

Uraian
4. NonBKP dan nonJKP (pasal 4a) a. Daging, telur, susu, sayursayuran, dan buah-buahan

UU No 12 Tahun 2000

UU No 42 Tahun 2009

Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan Pemerintah tentang BKP Strategis. Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2) huruf a).

Dibebaskan dari pengenaan PPN.

b. Barang hasil pertambangan

Tidak dikenakan PPN .

c. Jasa keuangan

PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3) huruf d).

PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun, menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan; penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan).

d. Jasa tertentu

PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos; serta jasa boga/catering . Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Menjadi tidak dikenakan PPN.

5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN

Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang (Pasal 4A). PKP bertambah: 1. Eksportir JKP, 2. Eksportir BKP tidak berwujud.

6. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

7. Retur atas penyerahan JKP

Tidak diatur.

PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat dikurangkan.

8.

a. Kriteria BKP mewah

(1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status; (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban.

Kriteria nomor 5 dihapus.

b. Tarif PPnBM 9. Restitusi

Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%.

Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%.

a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9 (4a), (4b))

Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap masa pajak (Psl 9 (4)).

Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir; (2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN; (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN; (4) Belum berproduksi. Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a)) 1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko rendah. 2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan, bila terbit SKPKB.

b. Pengembalian Pendahuluan

Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan Persyaratan Tertentu.

c. Restitusi untuk Turis Asing

Tidak diatur. 1. Hanya mengatur untuk PKP yang menggunakan norma PPh.

PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara tertentu, dengan syarat tertentu. Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang: 1. Memiliki omzet tertentu; dan 2. Melakukan kegiatan tertentu.

10. Deemed Pajak Masukan

2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu belum diatur.

11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) a. PM yang boleh dikreditkan oleh PKP yang belum berproduksi Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar kembali. Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP.

Seluruh PM (Pasal 9 (2a)).

b. Pengkreditan PM atas BKP yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi

Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN, ketentuan ini dihapus).

III-16

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

Uraian

UU No 12 Tahun 2000
WP mengajukan permohonan, pemberian ijin berdasarkan pemeriksaan.

UU No 42 Tahun 2009
Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan dilakukan kemudian dalam hal diperlukan.

12.

Pemusatan tempat PPN

13. Faktur Pajak (FP) a. Saat Pembuatan FP Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak). Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana. Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat penyerahan atau pada saat pembayaran. Hanya ada istilah Faktur Pajak. PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memuat: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya. Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9). Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa. Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai berikut: 1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan PPnBM; 2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN tidak dipungut PPN dan PPnBM; 15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b) Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas kegiatan-kegiatan tertentu. 3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan tidak dipungut PPN dan PPn BM; 4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional; 5. Pembebasan PPN bagi listrik & air; 6. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara; 7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai bahan baku kerajinan. 16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN. Diatur kembali dalam UU PPN.

b. Jenis FP

c. Sanksi atas pelanggaran syarat formal FP

PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (Pasal 13 ayat (5)).

d. Syarat formal & material

Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)). Paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya Masa Pajak. Paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak.

14. a. Saat penyetoran PPN

b. Saat pelaporan PPN

Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung oleh PBB pertambangan yang dalam periode 20052009 mengalami peningkatan ratarata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan yang terus bertambah. Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di bidang properti sempat mengalami booming pada periode 20052007, meskipun agak melemah pada tahun 2008 dan 2009.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-17

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan PBB dan BPHTB ditargetkan sebesar Rp25,3 triliun dan Rp7,2 triliun pada APBN-P tahun 2010. Perkembangan penerimaan PBB dan BPHTB dalam periode 20052010 ditunjukkan dalam Tabel III.9.
TABEL III.9 PERKEMBANGAN PBB, 2005 2010 (triliun rupiah)
2005 Uraian PBB Pedesaan PBB Perkotaan PBB Perkebunan PBB Kehutanan PBB Pertambangan PBB Lainnya Total Real. 4,5 3,6 0,1 0,1 7,4 0,5 16,2 % thd Total 27,8 21,9 0,9 0,6 45,7 3,1 100,0 Real. 5,8 3,8 0,2 0,1 10,5 0,5 20,9 2006 % thd Total 27,7 18,2 0,7 0,4 50,4 2,5 100,0 Real. 1,7 4,9 0,4 0,1 16,6 0,03 23,7 2007 % thd Total 7,3 20,5 1,7 0,5 69,9 0,1 100,0 2008 Real. 1,4 5,0 0,6 0,2 18,2 0,02 25,4 % thd Total 5,6 19,6 2,4 0,6 71,6 0,1 100,0 Real. 1,4 5,5 0,7 0,2 16,5 0,00 24,3 2009 % thd Total 5,9 22,7 2,9 0,7 67,8 0,0 100,0 2010 APBN-P 0,9 6,3 0,8 0,3 17,1 0,00 25,3 % thd Total 3,4 24,7 3,1 1,2 67,5 0,0 100,0

Sumber : Kementerian Keuangan

Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, PBB dalam APBN-P tahun 2010 mengalami peningkatan 4,3 persen, sedangkan BPHTB meningkat sebesar 10,7 persen. Peningkatan penerimaan PBB tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi PBB pertambangan, khususnya pertambangan migas. Dalam tahun 2010, PBB pertambangan ditargetkan sebesar Rp17,1 triliun. Sementara itu, kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun 2010 lebih banyak dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini sejalan dengan tren penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh terhadap turunnya bunga kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Selain itu, meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh semakin mudahnya persyaratan pemberian kredit. Cukai Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA), cukai MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya. Penerimaan cukai mengalami peningkatan secara signifikan dalam periode 20052009, tumbuh rata-rata sebesar 14,3 persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp56,7 triliun pada tahun 2009. Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan 14,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai EA mencapai 0,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 40,6 persen, dan cukai MMEA memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan 16,7 persen. Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau periode 20052009 menunjukkan kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh: (1) kebijakan di bidang tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai; (2) kebijakan lainnya di bidang cukai, contohnya kebijakan yang terkait dengan penundaan pembayaran cukai; (3) intensitas penindakan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan administrasi pembukuan di bidang cukai oleh KPPBC; (5) peningkatan pengawasan pengguna fasilitas cukai; (6) optimalisasi pelayanan cukai dengan memanfaatkan teknologi informasi (sistem aplikasi cukai sentralisasi) dalam kegiatan pelayanan perizinan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC),

III-18

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

penetapan tarif cukai hasil tembakau, penundaan pembayaran cukai, dan proses penyediaan sampai dengan pemesanan pita cukai; dan (7) peningkatan pelaksanaan sosialisasi ketentuan di bidang cukai dengan tujuan agar para stakeholder dapat lebih memahami ketentuan yang berlaku di bidang cukai. Perkembangan realisasi cukai tahun 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.10.
TABEL III.10 PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005 2010 (triliun rupiah)
2005 Uraian Cukai Hasil Tembakau Cukai Ethil Alkohol (EA) Cukai MMEA Denda Administrasi Cukai Cukai Lainnya Total Sumber : Kementerian Keuangan Real. 32,6 0,10 0,50 0,004 0,003 33,3 % thd Total 98,2 0,3 1,5 0,01 0,01 100,0 2006 Real. 37,1 0,1 0,6 0,002 0,007 37,8 % thd Total 98,1 0,4 1,5 0,01 0,02 100,0 2007 Real. 43,5 0,4 0,7 0,005 0,028 44,7 % thd Total 97,4 1,0 1,5 0,01 0,1 100,0 Real 49,9 0,4 0,9 0,012 0,015 51,3 2008 % thd Total 97,4 0,8 1,7 0,02 0,0 100,0 Real. 55,4 0,4 0,9 0,016 0,010 56,7 2009 % thd Total 97,6 0,7 1,6 0,03 0,0 100,0 2010 APBN-P 55,9 0,4 3,0 0,000 0,000 59,3 % thd Total 94,3 0,7 5,0 0,00 0,0 100,0

Berdasarkan pengklasifikasian jenis produksi hasil tembakau pada periode 20052009, penerimaan cukai hasil tembakau didominasi oleh SKM yang memberikan kontribusi ratarata sebesar 57,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 2,8 persen. Sementara itu, kontribusi SKT mencapai 35,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,0 persen, dan SPM memberikan kontribusi sebesar 6,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 1,9 persen. Perkembangan produksi jenis rokok 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.11.
TABEL III.11 PERKEMBANGAN PRODUKSI JENIS ROKOK, 2005 2010 (miliar batang)
Jenis Rokok a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) b. Sigaret Kretek Tangan (SKT) c. Sigaret Putih Mesin (SPM) Total (a+b+c) Sumber : Kementerian Keuangan 2005 Real. 126,6 78,2 15,3 220,1 2006 Real. 125,4 77,9 13,5 216,8 2007 Real. 131,7 84,3 16,0 231,9 2008 Real. 144,5 88,2 17,0 249,7 2009 Real. 141,2 84,7 16,5 242,4 2010 APBN-P 144,2 87,2 17,0 248,4

Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, total produksi hasil tembakau pada tahun 2010 diperkirakan mengalami peningkatan hingga mencapai 6 miliar batang bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2009. Kenaikan produksi jenis rokok tersebut terutama didorong oleh peningkatan produksi jenis SKM. Selanjutnya, perkembangan produksi MMEA periode 20052009, mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,5 persen. Penerimaan cukai MMEA didominasi dari penerimaan MMEA dalam negeri dengan rata-rata sebesar 98,3 persen dan selebihnya sebesar 1,7 persen disumbangkan oleh MMEA impor. Perkembangan penerimaan cukai MMEA dan produksi MMEA dalam negeri 20052009 dapat dilihat pada Grafik III.8. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp59,3 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target penerimaan cukai dalam APBN-P tahun 2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun (4,5 persen). Penerimaan cukai tahun 20092010 dapat dilihat pada Grafik III.9.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-19

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

GRAFIK III.8 PERKEMBANGAN PENERIMAAN CUKAI MMEA DAN PRODUKSI MMEA DALAM NEGERI, 2005 2009 1.000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 228 202 203 184 232

250 200 150


Juta Lt

miliar Rp

878,5 687,9 500,4 568,1

927,2

100 50 -

2005 Sumber : Kementerian Keuangan

2006

2007

2008 Penerimaan Cukai

2009 Produksi

Secara lebih rinci, penerimaan cukai hasil GRAFIK III.9 tembakau dalam APBN-P tahun 2010 PENERIMAAN CUKAI, 2009 2010 diperkirakan mencapai Rp55,9 triliun atau triliun Rp 62 mengalami peningkatan sebesar Rp0,5 triliun 59,3 (0,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi 60 56,7 tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan 58 56 kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau 54 adalah diterapkannya kebijakan kenaikan tarif 52 cukai yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 50 berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 2009 APBN-P persen tergantung pada jenis hasil 2010 Sumber : Kementerian Keuangan tembakaunya (SKM, SKT, dan SPM). Selain dipicu oleh kenaikan tarif tersebut, peningkatan penerimaaan cukai hasil tembakau juga didukung oleh upaya pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai. Sementara itu, penerimaan cukai MMEA dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp3,0 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp2,1 triliun (221,5 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai MMEA adalah diterapkannya kebijakan penyesuaian tarif cukai MMEA dengan kenaikan tarif ratarata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, pencapaian tersebut juga didukung oleh upaya pemberantasan MMEA ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Penyesuaian tarif cukai MMEA dan EA dapat dilihat pada Boks III.2. Selanjutnya, penerimaan cukai EA dalam APBN-P tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp0,4 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,03 triliun (8,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Peningkatan tersebut terjadi karena kebijakan penyesuaian tarif cukai untuk konsentrat yang mengandung EA sebesar 100 persen dan penetapan tarif cukai spesifik EA sebesar Rp20.000.

III-20

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

BOKS III.2 PENYESUAIAN TARIF CUKAI MMEA DAN EA


Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Penjelasan Pasal 5 ayat 1 angka 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 mengatur bahwa minuman beralkohol tidak lagi termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan dan cukai dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung ethil alkohol. Dalam rangka penyesuaian ketentuan tarif cukai atas MMEA dan EA, Pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung EA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/ 2010 tentang Penetapan Tarif Cukai Ethil Alkohol, Minuman yang Mengandung Ethil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Ethil Alkohol yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April 2010. Tujuan dari kebijakan Pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif cukai spesifik atas MMEA dan EA yaitu: (1) untuk pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Cukai (BKC); (2) menyesuaikan beban perpajakan MMEA Indonesia dengan negara-negara yang berkarakteristik mirip yakni tujuan pariwisata dan negara yang membatasi peredaran MMEA; (3) memudahkan administrasi pemungutan dan kepastian pendapatan negara; (4) penyederhanaan penggolongan tarif cukai ke dalam satu golongan; dan (5) menyamakan tarif cukai MMEA Dalam Negeri (DN) dengan MMEA impor secara bertahap. Dasar penetapan tarif cukai atas MMEA dan EA diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang mengatur bahwa Barang Kena Cukai (BKC) dikenai cukai dengan tarif paling tinggi untuk produk DN sebesar 1.150 persen x harga jual pabrik atau 80 persen x HJE, dan untuk impor sebesar 1.150 persen x (nilai pabean + BM) atau 80 persen x HJE. Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan BKC (spesifik), atau sebaliknya atau gabungan keduanya. Pokok-pokok perubahan kebijakan penyesuaian tarif cukai yaitu: 1 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan A1 dan A2 menjadi golongan A dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 214,3 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 120,0 persen.
2 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan B1 dan B2 menjadi golongan B dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 500,0 persen dan sebesar 200,0 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 100,0 persen dan sebesar 33,3 persen. 3 . Penyesuaian kenaikan tarif MMEA untuk golongan C sebesar 188,5 persen untuk produksi DN dan sebesar 160,0 persen untuk impor.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-21

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

4 . Penyesuaian kenaikan tarif cukai atas konsentrat yang mengandung etil alkohol masingmasing sebesar 100,0 persen untuk produksi DN dan sebesar 100,0 persen untuk impor. 5 . Penetapan tarif cukai etil alkohol (etanol) untuk produksi dalam negeri dan impor dengan pengenaan tarif cukai spesifik sebesar Rp20.000.

PERBANDINGAN TARIF CUKAI LAMA DENGAN TARIF CUKAI BARU ATAS MMEA, EA, DAN KONSENTRAT YANG MENGANDUNG EA
DALAM NEGERI Jenis BKC Gol Kadar Alkohol Tarif Lama* (per liter) A1 A2 MMEA B1 B2 C Konsentrat Yang Mengandung EA EA s.d. 1% >1% s.d. 5% >5% s.d. 15% >15% s.d. 20% >20% Rp Rp Rp Rp Rp Rp 2.500 3.500 5.000 10.000 26.000 50.000 Tarif Baru** (per liter) Rp Rp Rp Rp 11.000 30.000 75.000 100.000 IMPOR Tarif Lama* (per liter) Rp Rp Rp Rp Rp Rp 2.500 5.000 20.000 30.000 50.000 50.000 Tarif Baru** (per liter) Rp Rp Rp Rp 11.000 40.000 130.000 100.000

Dari semua jenis konsentrat, kadar, dan golongan, sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan MMEA Dari semua jenis etil alkohol, kadar, dan golongan

Rp

20.000

Rp

20.000

*PMK No. 90/PMK.04/2006 **PMK No.62/PMK.011/2010

Sumber: Kementerian Keuangan

Pajak Lainnya
Penerimaan pajak lainnya selama periode 20052009 menunjukkan adanya pertumbuhan rata-rata sebesar 11,0 persen. Sebagian besar dari penerimaan pajak lainnya tersebut bersumber dari bea materai yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 96,2 persen terhadap total penerimaan pajak lainnya. Secara umum, meningkatnya realisasi penerimaan pajak lainnya dalam periode 20052009 dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan dokumen bermeterai. Perkembangan realisasi pajak lainnya tahun 20052009 dapat dilihat pada Tabel III.12.
c

TABEL III.12 PERKEMBANGAN PENERIMAAN PAJAK LAINNYA, 2005 2010 (triliun rupiah)
2005 Uraian Real. 2,0 0,004 0,03 2,1 % thd Total 98,1 0,2 1,67 100,0 2006 Real. 2,2 0,01 0,06 2,3 % thd Total 97,1 0,3 2,57 100,0 Real. 2,6 0,02 0,1 2,7 2007 % thd Total 95,0 0,7 4,3 100,0 Real. 2,8 0,001 0,2 3,0 2008 % thd Total 93,3 0,04 6,7 100,0 Real. 3,0 0,001 0,1 3,1 2009 % thd Total 97,4 0,04 2,5 100,0 2010 APBN-P 3,7 0,002 0,1 3,8 % thd Total 97,4 0,06 2,5 100,0

Bea Meterai Pajak Tidak Langsung Lainnya Bunga Penagihan Pajak Total Sumber : Kementerian Keuangan

III-22

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

pertumbuhannya menurun sebesar 5,5 persen. Penurunan tersebut antara lain dipengaruhi oleh penerapan kebijakan harmonisasi tarif bea masuk Most Favoured Nations (MFN). Selama periode 20052010 perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN semakin menurun, dari 9,9 persen tahun 2005 menjadi 7,5 persen pada tahun 2010. Selain itu, kebijakan penurunan tarif juga terjadi sebagai konsekuensi dari kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara di Asia, baik melalui kerjasama regional, regional plus one dan bilateral. Perjanjian kerjasama perdagangan regional dilakukan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA) dengan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT), yang kemudian diperbaharui melalui skema ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA). Sebagai implementasinya, Pemerintah telah melaksanakan penurunan rata-rata tarif bea masuk hingga menjadi 0,9 persen untuk negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2010. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan perjanjian regional plus one melalui kerjasama perdagangan ASEAN-China FTA (ACFTA) dan ASEAN-Korea FTA (AKFTA) dengan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2010 hingga mencapai rata-rata tarif sebesar 2,9 persen dan 2,6 persen. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga melakukan perjanjian kerjasama perdagangan bilateral dengan Pemerintah Jepang melalui skema persetujuan kemitraan ekonomi antara Republik Indonesia dan Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA) dengan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2010 mencapai rata-rata tarif sebesar 3,7 persen. Perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN dan kerjasama perdagangan internasional tahun 20052010 dapat dilihat dalam Grafik III.13. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan bea masuk ditargetkan sebesar Rp17,1 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 2010 tersebut mengalami penurunan sebesar Rp1,0 triliun (5,5 persen). Penurunan tersebut merupakan dampak penerapan kebijakan harmonisasi tarif (MFN) dan konsekuensi dari kerjasama perdagangan internasional. Penerimaan bea masuk tahun 20092010 dapat dilihat pada Grafik III.14.
GRAFIK III.13 PERKEMBANGAN RATA-RATA TARIF MFN DAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL, 2005 2010
12,0% 10,0%
persen
MFN

triliun Rp 19

GRAFIK III.14 PENERIMAAN BEA MASUK, 2009 2010

18,1
ASEAN CEPT

8,0% 6,0% 4,0% 2,0%

18 17,1

ACFTA

17

AKFTA

16
IJEPA

0,0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010

15 2009 APBN-P 2010

Sumber : Kementerian Keuangan

Sumber : Kementerian Keuangan

III-24

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

BOKS III.3 PENGENAAN BEA KELUAR ATAS EKSPOR BIJI KAKAO


Indonesia merupakan negara eksportir biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Hampir 80 persen dari produksi biji kakao Indonesia diekspor dalam bentuk bahan mentah. Dalam periode 20002009, volume ekspor biji kakao dari Indonesia meningkat rata-rata 3,1 persen, sejalan dengan peningkatan harga internasional yang mencapai rata-rata 13,8 persen. Perkembangan volume ekspor dan harga internasional kakao dapat dilihat pada grafik di bawah.

PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR DAN HARGA INTERNASIONAL KAKAO, 2000 2009 100 90 80
(Ribu MT)

4.000 Export Volume (MT) 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0
(USD/MT)

70 60 50 40 30 20 10 0

Sumber : Kementerian Keuangan dan BPS

Namun, industri pengolahan kakao dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir justru hanya mampu berproduksi sekitar 50 persen dari keseluruhan kapasitas produksi karena kurangnya pasokan bahan berupa biji-biji kakao mentah. Dalam upaya menjamin ketersediaan bahan baku dan daya saing industri pengolahan kakao dalam negeri, Pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan tarif bea keluar atas ekspor biji kakao yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang berlaku efektif sejak 1 April 2010. Dasar pengenaan bea keluar atas barang ekspor diatur dalam Pasal 2A ayat (2) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan tujuan untuk: (1) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (2) melindungi kelestarian sumber daya alam; (3) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; dan (4) menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Kerangka pengenaan tarif bea keluar atas ekspor biji kakao serupa dengan struktur tarif bea keluar atas minyak kelapa sawit (CPO) dengan penetapan tarif bea keluar ekspor biji kakao berkisar antara 0-15 persen mengikuti perkembangan harga kakao internasional.

III-26

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

TARIF BEA KELUAR ATAS EKSPOR BIJI KAKAO


Harga Internasional Kakao
(USD/MT)

Tarif Kakao
(persen)

2.500 > 2.000 2.750 > 2.750 3.500 > 3.500


Sumber: Kementerian Keuangan

0 5 10 15

Perhitungan dan perkembangan dari masing-masing sumber PNBP tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dan variabel yang beragam. Perhitungan dan perkembangan SDA migas dipengaruhi oleh (1) lifting minyak mentah dan gas bumi; (2) Indonesian Crude Oil Price (ICP) yang pergerakannya mengikuti tren harga minyak dunia; (3) pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat; dan (4) besaran cost recovery yang merupakan faktor pengurang penerimaan migas yang akan dibagihasilkan antara Pemerintah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sesuai kontrak kerja sama (KKS). Sementara itu, penerimaan SDA nonmigas dipengaruhi oleh antara lain: (1) tingkat produksi dan harga beberapa jenis komoditas mineral dan batubara; (2) luas area dan volume produksi hasil hutan; (3) tingkat produksi budidaya perikanan dan kegiatan operasi kapal penangkap ikan; serta (4) kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan PNBP. Selanjutnya, penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN merupakan penerimaan negara dalam bentuk (1) dividen dari perusahaan perseroan dan perseroan terbatas lainnya yang besarnya ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan (2) dividen dari perusahaan umum (Perum) yang besarnya ditetapkan dalam pengesahan laporan keuangan oleh Menteri BUMN. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan bagian negara atas laba BUMN, di antaranya: (a) tingkat laba BUMN dan perseroan terbatas lainnya yang diperoleh pada tahun anggaran sebelumnya, (b) besarnya/persentase kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN dan perseroan terbatas lainnya, dan (c) kebijakan pay-out ratio. Sementara itu, PNBP lainnya, yang sebagian besar merupakan bagian dari kelompok penerimaan kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, terdiri atas: (1) pendapatan dan penjualan sewa; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; dan (8) pendapatan lain-lain. Pengelolaan atas sumber PNBP lainnya tersebut sebagian besar dilaksanakan oleh kementerian negara/ lembaga, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan Nasional, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perhubungan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi PNBP lainnya dari K/L antara lain: (1) jumlah objek pengenaan PNBP; (2) tarif atas kegiatan pelayanan yang dilaksanakan dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah; (3) kualitas pelayanan yang diberikan dan administrasi pengelolaan PNBP yang secara tidak langsung meningkatkan jumlah objek pengenaan; dan (4) upaya optimalisasi yang dapat dilakukan, melalui peningkatan pengelolaan dan akuntabilitas pelaporan keuangan.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-27

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

Selama kurun waktu 20052009, berbagai langkah, upaya, dan kebijakan yang signifikan telah dilakukan oleh Pemerintah guna meningkatkan dan mengoptimalkan PNBP. Untuk penerimaan SDA, upaya dan kebijakan terutama difokuskan pada (1) pemberian fasilitas fiskal dan nonfiskal terhadap kegiatan usaha sektor hulu migas guna meningkatkan produksi/ lifting minyak bumi dan gas bumi; (2) penyempurnaan ketentuan dalam kontrak kerja sama (production sharing contract) dengan tetap menghormati kontrak yang berlaku, khususnya yang terkait dengan cost recovery; (3) memperkuat pengawasan penerimaan dari sektor migas oleh BP migas; (4) melakukan revisi tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada sektor sumber daya mineral dan meningkatkan produksi komoditas sumber daya mineral; (5) menggali potensi-potensi penerimaan yang ada di sektor kehutanan tanpa merusak lingkungan dan mempertahankan hutan; serta (6) mengoptimalkan penerimaan dari sektor perikanan dengan mempertimbangkan peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pesisir/nelayan. Upaya optimalisasi penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN, dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan peningkatan kinerja BUMN. Beberapa kebijakan yang telah ditempuh berkaitan dengan hal tersebut antara lain: (1) peningkatan modal kerja dan penyehatan perusahaan; (2) optimalisasi dividen pay-out ratio; (3) penyelesaian audit oleh kantor akuntan publik (KAP) atas laporan keuangan BUMN diharuskan selesai lebih awal dari peraturan yang ada guna mengetahui secara awal definitif atas laba/rugi bersih BUMN; serta (4) peningkatan sinergi antar BUMN guna meningkatkan daya saing. Optimalisasi PNBP lainnya selama 20052009 antara lain ditempuh melalui (1) optimalisasi PNBP pada K/L; (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing K/L; (3) monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP pada K/L; dan (4) peningkatan akurasi target dan penyusunan pagu penggunaan PNBP dan K/L yang realistis serta pelaporannya. Sementara itu, kebijakan mengenai pendapatan BLU difokuskan pada upaya untuk (a) mendorong peningkatan pelayanan publik instansi Pemerintah; (b) meningkatkan pengelolaan keuangan BLU yang efisien dan efektif; dan (c) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah. Secara keseluruhan, selama 20052009 PNBP mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 11,5 persen, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu 54,5 persen. Namun, di tahun 2009 PNBP mengalami pertumbuhan negatif 29,1 persen, yaitu dari Rp320,6 triliun di tahun 2008 menjadi Rp227,2 triliun. Dilihat dari komposisinya, penurunan realisasi PNBP tahun 2009 lebih disebabkan oleh penurunan dari penerimaan SDA migas yang dipengaruhi oleh penurunan ICP yang signifikan pada tahun 2009 bila dibandingkan dengan ICP pada tahun 2008. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP ditargetkan sebesar Rp247,2 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target tersebut meningkat sebesar Rp20,0 triliun atau 8,8 persen. Dengan target tersebut, PNBP diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar 25,0 persen terhadap perkiraan penerimaan dalam negeri. Dilihat dari komposisinya, peningkatan terbesar terjadi pada penerimaan SDA migas, yaitu sebesar 20,7 persen bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2009. Tabel III.13 memperlihatkan perkembangan total PNBP beserta komponen penerimaannya selama periode 20052010.

III-28

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

TABEL III.13 PERKEMBANGAN PNBP, 2005 2010 (triliun rupiah)


Uraian I. Penerimaan SDA a. Penerimaan SDA Migas b. Penerimaan SDA Nonmigas II. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN III. PNBP Lainnya IV. Pendapatan BLU PNBP
Sumber : Kementerian Keuangan

2005 110,5 103,8 6,7 12,8 23,6 146,9

2006 167,5 158,1 9,4 21,5 38,0 227,0

2007 132,9 124,8 8,1 23,2 56,9 2,1 215,1

2008 224,5 211,6 12,8 29,1 63,3 3,7 320,6

2009 139,0 125,8 13,2 26,0 53,8 8,4 227,2

2010 APBN-P 164,7 151,7 13,0 29,5 43,5 9,5 247,2

3.2.1.2.1 Penerimaan SDA


Penerimaan SDA, yang terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan penerimaan SDA nonmigas merupakan sumber utama PNBP. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata sekitar 68,4 persen terhadap total PNBP. Penerimaan SDA migas merupakan penerimaan yang bersumber dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi. Sedangkan penerimaan SDA nonmigas diperoleh dari penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi. Selama periode 20052009, penerimaan SDA memperlihatkan pertumbuhan yang fluktuatif. Di tahun 2007 dan 2009 terjadi penurunan penerimaan SDA, sebesar masing-masing 20,6 persen dan 38,1 persen. Sedangkan di tahun 2008, mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu mencapai 63,9 persen, atau naik Rp91,6 triliun bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan SDA ditargetkan sebesar Rp164,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan penerimaan SDA tersebut mengalami peningkatan Rp25,8 triliun atau 18,5 persen. Tabel III.14 memperlihatkan perkembangan penerimaan SDA beserta komponen penerimaannya selama periode 20052010.
TABEL III.14 PERKEMBANGAN PENERIMAAN SDA, 2005 2010 (triliun rupiah)
2005 Penerimaan SDA Migas - Minyak bumi - Gas bumi Penerimaan SDA Nonmigas - Pertambangan Umum - Kehutanan - Perikanan - Panas Bumi Penerimaan SDA
Sumber : Kementerian Keuangan

2006 158,1 125,1 32,9 9,4 6,8 2,4 0,2 167,5

2007 124,8 93,6 31,2 8,1 5,9 2,1 0,1 132,9

2008 211,6 169,0 42,6 12,8 9,5 2,3 0,1 0,9 224,5

2009 125,8 90,1 35,7 13,2 10,4 2,3 0,1 0,4 139,0

2010 APBN-P 151,7 112,5 39,2 13,0 9,7 2,9 0,2 0,2 164,7

103,8 72,8 30,9 6,7 3,2 3,2 0,3 110,5

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-29

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

sekitar 75,0 persen penerimaan dari beroperasinya kapal-kapal perikanan asing. Kebijakan penghapusan tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk menghambat illegal fishing dan untuk memperkuat industri dan armada perikanan nasional. Perusahaan asing boleh memiliki izin tangkap ikan hanya bila mendaratkan hasil tangkapan ke dalam negeri, dan mendirikan unit pengolahan di Indonesia. Faktor lainnya adalah karena meningkatnya biaya operasi penangkapan ikan yang mengakibatkan banyak pengusaha kapal mengalihkan usahanya ke sektor lain sehingga mengurangi penerimaan dari pungutan hasil perikanan (PHP). Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan perikanan ditargetkan sebesar Rp150 miliar. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan realisasi tersebut meningkat sebesar Rp58,0 miliar atau 63,0 persen. Peningkatan penerimaan perikanan diupayakan melalui optimalisasi pelayanan dan penertiban perizinan usaha. Selanjutnya, penerimaan pertambangan panas bumi merupakan sumber penerimaan SDA nonmigas yang mulai dicatat dalam penerimaan tahun 2008. Penerimaan pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian Pemerintah sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/NOI) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajak-pajak dan pungutan-pungutan lain. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan panas bumi mencapai Rp0,4 triliun, sedangkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp0,2 triliun. Target tersebut lebih rendah Rp0,2 triliun, turun 39,0 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Dalam jangka menengah, penerimaan dari pertambangan panas bumi memiliki potensi yang cukup besar mengingat Pemerintah terus mengupayakan pemanfaatan energi alternatif, khususnya energi panas bumi.

3.2.1.2.2 Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN


Menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dijelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Seiring perkembangan waktu, pada saat ini BUMN memegang lima peranan dalam ekonomi nasional, yakni: (a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (b) mengejar keuntungan; (c) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan (e) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Kelima peran ekonomi tersebut merupakan amanah dari pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah BUMN terus mengalami perubahan, baik dari sisi bentuk perusahaan, maupun kelompok sektor usaha. Dari sisi bentuk perusahaan, hingga sekarang BUMN dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (a) perusahaan umum (perum); (b) perusahaan perseroan (persero); dan (c) perseroan terbatas terbuka (persero Tbk). Dari sisi kelompok sektor usaha, BUMN dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yang tersebar dalam 35 sektor usaha, yaitu kelompok: (a) jasa keuangan dan perbankan; (b) jasa lainnya; (c) bidang usaha logistik dan pariwisata; (d) agro industri, pertanian, kehutanan, kertas, percetakan, dan penerbitan; serta (e) pertambangan, telekomunikasi, energi, dan

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-33

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

industri strategis. Selama periode 20072010, telah terjadi penambahan jumlah BUMN, yaitu dari 139 BUMN menjadi 142 BUMN. Ketiga BUMN baru tersebut adalah PT Dirgantara Indonesia (persero) yang sebelumnya dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Asset / PPA (persero), PT Askrindo (persero) yang sebelumnya mayoritas sahamnya dikuasai oleh Bank Indonesia, dan Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang sebelumnya merupakan lembaga penyiaran publik. Selain mengelola kepemilikan saham pada sejumlah BUMN, Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN juga mengelola saham minoritas atau di bawah 51,0 persen di sejumlah perusahaan. Hingga tahun 2010, saham minoritas Pemerintah tersebar di 18 perusahaan yang di antaranya PT Indosat Tbk (14,3 persen), PT Bank Bukopin (18,2 persen), dan PT Freeport Indonesia Tbk (9,4 persen). Sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN karena saham Pemerintah bersifat minoritas. Pemetaan laba/rugi berikut kategori BUMN dan perseroan minoritas disajikan pada Bagan III.1.

BAGAN III.1 PETA KINERJA BUMN DI TAHUN 2010


Bagi Dividen Tidak Bagi Dividen Akum Rugi
Sub-Total BUMN

BUMN 141

LABA 120 RUGI 21*

72 10 38 21 141

Kebijakan

* BUMN yaitu PT ISI dalam proses likuidasi

Minoritas 18
Sumber: Kementerian BUMN

BagiDividen TidakBagiDividen

7 11 18

Sub-Total Minoritas

Selama periode 20052009, kinerja BUMN terus mengalami perkembangan positif, baik dari aset, laba bersih, belanja operasional (operational expenditure/opex), dan belanja modal (capital expenditure/capex). Selama periode tersebut, total aset BUMN tumbuh rata-rata sebesar 10,6 persen, laba bersih tumbuh rata-rata sebesar 25,1 persen, opex tumbuh ratarata sebesar 288,5 persen, dan capex tumbuh rata-rata sebesar 50,4 persen. Kinerja BUMN selama periode tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan di pasar modal. Data mutakhir Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan total kapitalisasi pasar BUMN terbuka mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 24,0 persen, dan total persentase rata-rata terhadap kapitalisasi pasar sebesar 34,0 persen. Dari sisi laba bersih seluruh BUMN, pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar Rp88,6 triliun, lebih besar bila dibandingkan dengan laba tahun 2008. Peningkatan laba bersih tersebut menunjukkan ketahanan (resilience) kinerja BUMN di tengah belum kondusifnya kondisi perekonomian tahun 2009 sebagai dampak instabilitas variabel makro seperti harga minyak, nilai tukar, pertumbuhan kredit perbankan, serta harga komoditas pertambangan, pertanian dan perkebunan. Dari total perolehan laba bersih tersebut, sebagian
III-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

perbankan sebesar Rp3,3 triliun (12,7 persen). Selanjutnya dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN ditargetkan sebesar Rp29,5 triliun.
triliun Rp

GRAFIK III.25 PNBP BAGIAN PEMERINTAH ATAS LABA BUMN, 2005 2010
35 30
21,4 23,22 31,29 28,6 29,5

25 Selama periode 20052010, 20 PT Pertamina menjadi BUMN 12,8 15 penyumbang dividen terbesar dengan rata-rata kontribusi tiap 10 tahun mencapai 45,7 persen 5 terhadap total dividen BUMN. 0 Selama periode tersebut, 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010 PT Pertamina membukukan laba Sumber : Kementerian Keuangan bersih rata-rata sebesar Rp22,5 triliun per tahun. Perolehan laba tertinggi terjadi dalam tahun 2008 yaitu sebesar Rp30,2 triliun atau meningkat sebesar 23,3 persen bila dibandingkan dengan laba bersih tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut merupakan windfall profit akibat lonjakan harga minyak pada kuartal II tahun 2008.

3.2.1.2.3 PNBP Lainnya


Dalam struktur APBN, PNBP lainnya terdiri atas penerimaan yang bersumber dari (1) pendapatan penjualan dan sewa; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8) pendapatan lain-lain. Sumber utama PNBP lainnya berasal dari pendapatan Pemerintah yang diperoleh dari jasa pelayanan yang diberikan oleh K/L kepada masyarakat, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing K/L tersebut. Pemungutan PNBP K/L tersebut dilakukan dalam rangka pengaturan, pelayanan, dan pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan Pelayanan Publik. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagian PNBP yang dipungut oleh K/L dapat digunakan kembali oleh K/L yang bersangkutan setelah disetor ke kas negara terlebih dahulu. Penetapan penggunaan PNBP tersebut didasarkan pada keputusan Menteri Keuangan tentang izin penggunaan PNBP yang bersifat spesifik pada masing-masing K/L. Dalam kurun waktu 20052009, realisasi PNBP lainnya rata-rata tumbuh sebesar 22,9 persen. Secara nominal, peningkatan tertinggi terjadi dalam tahun 2007, yaitu meningkat sebesar Rp18,8 triliun jika dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan tersebut adalah meningkatnya pendapatan dari kegiatan hulu migas, yaitu dari Rp7,3 triliun menjadi Rp8,8 triliun, sebagai dampak dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Sedangkan dalam APBN-P tahun 2010, PNBP lainnya ditargetkan mencapai Rp43,5 triliun. Target tersebut lebih rendah Rp10,3 triliun atau 19,2 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, yang antara lain disebabkan oleh tingginya pendapatan penjualan dan sewa, serta adanya setoran berupa pendapatan bagian Pemerintah dari sisa surplus Bank Indonesia di tahun 2009. Perkembangan PNBP lainnya dan pendapatan BLU selama periode 20052010 dapat dilihat pada Tabel III.15.

III-36

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

TABEL III.15 PERKEMBANGAN PNBP LAINNYA, 2005 2010 (triliun rupiah)


No 1 2 3 4 5 6 7 Kementerian/Lembaga Kementerian Komunikasi dan Informatika* Kementerian Pendidikan Nasional * Kementerian Kesehatan* Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Pertanahan Nasional Kementerian Hukum dan HAM Peneriman Lainnya, seperti: - Rekening Dana Investasi (RDI) - Pendapatan minyak mentah (DMO) - Penjualan hasil tambang - Surplus BI - Penerimaan lain-lain Total PNBP Lainnya * Termasuk pendapatan BLU Sumber: Berbagai Kementerian/Lembaga 2005 1,8 1,2 0,2 1,2 0,6 0,7 8,0 1,5 8,4 23,6 2006 4,0 2,3 0,4 1,4 1,0 0,8 7,4 7,3 2,7 1,5 9,5 38,0 2007 5,1 3,2 3,0 1,5 1,2 0,9 7,9 8,6 2,9 13,7 9,3 56,9 2008 7,7 4,0 2,9 1,7 1,4 1,2 8,2 9,9 2,5 23,8 63,3 2009 10,1 5,4 3,3 1,8 1,4 1,4 1,5 6,5 6,5 2,6 13,3 53,8 2010 APBN-P 10,3 6,7 4,0 2,0 1,5 1,5 3,2 7,9 5,5 0,9 43,5

Dalam rangka pencapaian target PNBP 2010, khususnya yang berasal dari berbagai K/L, selain dengan penetapan, perbaikan, dan penyempurnaan peraturan pemerintah (PP) tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L, Pemerintah juga telah dan akan terus melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan pemungutan PNBP pada masing-masing K/L. Sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika, jenis penerimaan PNBP pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terdiri atas: (1) pendapatan hak dan perizinan (biaya hak penyelenggaraan frekuensi); (2) pendapatan jasa penyelenggaraan pos dan telekomunikasi (biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi); (3) pendapatan jasa sewa sarana dan prasarana; (4) pendapatan dari penyelenggaraan penyiaran; dan (5) pendapatan pendidikan, pelatihan, dan penghapusan aset. Selama periode 20052009, PNBP Kemenkominfo mengalami peningkatan rata-rata sebesar 53,7 persen. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan PNBP Kemenkominfo mencapai Rp10,1 triliun, meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau 30,5 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 sebesar Rp7,7 triliun. Kenaikan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya penggunaan spektrum di pita seluler oleh para operator seluler. Sementara itu dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Kemenkominfo ditargetkan sebesar Rp10,3 triliun. Perkiraan realisasi tersebut didukung oleh beberapa kebijakan, antara lain: (1) pengenaan BHP frekuensi dengan metode lelang pada pita frekuensi yang potensial (bandwith wireless access); (2) pembenahan database baik pengguna frekuensi maupun penyelenggaraan telekomunikasi; (3) melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi berkenaan dengan kewajiban pembayaranPNBP; (4) penegakan hukum secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi yang tidak mematuhi ketentuan perundangan; dan (5) pembaharuan dan penambahan instrumen secara bertahap, antara lain sistem monitoring frekuensi, otomatisasi sistem manajemen/perizinan frekuensi dan alat pengujian. Perkembangan PNBP Kemenkominfo dapat dilihat pada Grafik III.26. Berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Tarif dan Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, jenis penerimaan yang berlaku di Kementerian

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-37

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terdiri atas: (1) penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan; (2) penerimaan kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi Perguruan Tinggi Negeri (PTN); (3) penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan; dan (4) penerimaan dari sumbangan hibah perorangan, lembaga Pemerintah atau non-Pemerintah. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemendiknas mencapai Rp5,4 triliun. Realisasi tersebut lebih tinggi dari realisasi pada tahun 2008 yang mencapai Rp4,0 triliun. Sedangkan pertumbuhan PNBP Kemendiknas selama periode 20052009, rata-rata sebesar 45,6 persen per tahun.

triliun Rp 10

GRAFIK III.26 PERKEMBANGAN PNBP KEMENKOMINFO, 2005 2010


10,1 10,3

7,7

6 4,0

5,1

4 1,8

0 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010

Sumber : Kementerian Kominfo

triliun Rp 7 6

GRAFIK III.27 PERKEMBANGAN PNBP KEMENDIKNAS, 2005 2010


6,7 5,4

Sementara itu dalam APBN-P tahun 5 2010, PNBP Kemendiknas ditargetkan 3,8 4 3,2 sebesar Rp6,7 triliun. Target tersebut 3 didukung oleh beberapa kebijakan, 2,3 2 antara lain: (1) meningkatkan kapasitas 0,9 dan daya tampung perguruan tinggi; 1 (2) meningkatkan pelaksanaan 0 berbagai program kegiatan kerjasama, 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010 baik antarinstansi maupun lembaga Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional non-Pemerintah, serta dunia industri; (3) meningkatkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (4) mendukung upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan per Undang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Perkembangan PNBP Kemendiknas dapat dilihat pada Grafik III.27. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan, jenis penerimaan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terdiri atas: (1) penerimaan dari pemberian izin pelayanan kesehatan oleh swasta; (2) penerimaan dari pemberian izin mendirikan rumah sakit swasta; (3) penerimaan dari jasa pendidikan tenaga kesehatan; (4) penerimaan dari jasa pemeriksaan laboratorium; (5) penerimaan dari jasa pemeriksaan air secara kimia lengkap; (6) penerimaan dari jasa balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4); (7) penerimaan dari jasa balai kesehatan mata masyarakat (BKMM); (8) penerimaan dari uji pemeriksaan spesimen; dan (9) penerimaan dari jasa pelayanan rumah sakit. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemenkes mencapai Rp3,3 triliun, meningkat Rp0,4 triliun atau 13,8 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Adapun pertumbuhan rata-rata selama 20052009 mencapai 101,5 persen.
III-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

Sementara itu, PNBP Kemenkes GRAFIK III.28 dalam APBN-P tahun 2010, PERKEMBANGAN PNBP KEMENKES, ditargetkan sebesar Rp4,0 triliun. triliun Rp 2005 2010 4,0 Target tersebut didukung oleh 4 beberapa kebijakan, antara lain 3,3 3,0 (a) peningkatan sumber daya 2,9 3 manusia dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pelayanan; 2 (b) menggali potensi PNBP melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi; 1 (c) peningkatan cost recovery rumah 0,4 sakit untuk menuju kemandirian 0,2 komputerisasi administrasi keuangan, 0 dan (d) meningkatkan pelayanan 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010 kesehatan yang terintegrasi sesuai Sumber : Kementerian Kesehatan standar yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Perkembangan PNBP Kemenkes dapat dilihat pada Grafik III.28. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, jenis penerimaan Polri terdiri atas: (1) surat izin mengemudi (SIM); (2) surat tanda nomor kendaraan (STNK); (3) tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB); (4) surat tanda coba kendaraan (STCK); (5) bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB); (6) simulator; (7) izin senjata api (Senpi); (8) kartu sidik jari; dan (9) denda pelanggaran lalu lintas. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Polri ditargetkan sebesar Rp2,0 triliun. Pencapaian target tersebut akan ditempuh melalui kebijakan antara lain: (1) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui pelatihan teknis Lantas dan pendidikan pelatihan fungsional Lantas; (2) meningkatkan infrastruktur pendukung pelaksanaan operasional Polri di bidang lalu lintas berupa pengadaan Alsus Polantas, kendaraan patroli roda 2/roda 4, kendaraan patwal roda 2/roda 4, kendaraan uji SIM roda 2/roda 4, mobil unit pelayanan SIM, mobil unit laka Lantas, driving simulator, komputer Samsat dan alat cetak TNKB; (3) melanjutkan pembangunan jaringan Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) meliputi wilayah Kalimantan, Maluku Utara, dan Papua; (4) meningkatkan kinerja dengan GRAFIK III.29 PERKEMBANGAN PNBP POLRI, 2005 2010 menambah membangun jaringan triliun Rp Automatic Traffic Management Center 2,5 di wilayah Jawa; dan (5) melaksanakan 2,0 2,0 Perpolisian Masyarakat (Polmas) 1,8 1,7 melalui kegiatan Citra Polantas. 1,5 1,4 1,5 1,2 Perkembangan PNBP Polri dapat dilihat pada Grafik III.29. 1,0 Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), jenis penerimaan yang berlaku di BPN terdiri
0,5 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : Kepolisian Negara Republik Indonesia APBN-P 2010

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-39

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

atas (1) pelayanan pendaftaran tanah; (2) pelayanan pemeriksaan tanah; (3) pelayanan informasi pertanahan; (4) pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya; (5) pelayanan survei, pengukuran, dan pemetaan; (6) pelayanan pendidikan; dan (7) pelayanan lisensi. Realisasi PNBP BPN tahun 2009 mencapai Rp1,4 triliun, sama dengan realisasi tahun 2008. Pencapaian tersebut seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi masyarakat yang berimbas pada minat dan kesadaran masyarakat terhadap kepastian hukum. Rata-rata pertumbuhan PNBP BPN periode 20052009 mencapai 23,7 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP BPN GRAFIK III.30 PERKEMBANGAN PNBP BPN, 2005 2010 ditargetkan sebesar Rp1,5 triliun. Target tersebut didukung oleh beberapa kebijakan, triliun Rp antara lain: (1) PNBP murni, yaitu 1,6 1,5 1,4 meningkatkan penertiban pengelolaan PNBP dan penertiban pencatatan aset-aset milik 1,2 0,9 0,8 negara; (2) PNBP fungsional, antara lain 0,7 0,8 0,6 melalui peningkatan transparansi informasi tentang persyaratan, jangka waktu, dan 0,4 biaya pelayanan, penerapan model pelayanan jemput bola, peningkatan 0,0 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P kapasitas kemampuan petugas ukur dan 2010 Sumber : Badan Pertanahan Nasional pendataan yuridis termasuk melibatkan para surveyor berlisensi, dan memfokuskan pelayanan pertanahan yang dibiayai dengan sumber dana publik, seperti PRONA, UKM, sertifikasi tanah pertanian dan nelayan pada daerah tertinggal dan ekonomi lemah. Perkembangan PNBP BPN dapat dilihat pada Grafik III.30. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), jenis penerimaan Kemenkumham bersumber dari penerimaan (1) pelayanan jasa hukum; (2) balai harta peninggalan; (3) keimigrasian; (4) hak dan kekayaan intelektual; serta (5) jasa tenaga kerja narapidana. Selama periode 20052009, PNBP Kemenkumham mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemenkumham mencapai Rp1,4 triliun, meningkat sebesar Rp0,2 triliun atau 16,7 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp1,2 triliun. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Kemenkumham ditargetkan sebesar Rp1,5 triliun. Target tersebut didukung dengan kebijakan antara lain: (1) melakukan inventarisasi seluruh potensi PNBP pada kantor atau unit pelayanan teknis (UPT) di lingkungan Kemenkumham; dan (2) optimalisasi pembangunan sarana dan prasana untuk mendukung tugas dan fungsi Kemenkumham. Perkembangan PNBP Kemenkumham dapat dilihat pada Grafik III.31.
triliun Rp 1,6

GRAFIK III.31 PERKEMBANGAN PNBP KEMENKUMHAM, 2005 2010


1,4 1,5

1,2 0,9 0,8 0,7 0,8

1,2

0,4

0 2005 2006 2007 2008 2009 APBN-P 2010

Sumber : Kementerian Hukum dan HAM

III-40

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

3.3 Tantangan dan Peluang Kebijakan Pendapatan Negara


Proses pemulihan ekonomi yang terjadi pada tahun 2010 memberikan landasan yang cukup kuat bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya, meskipun masih terdapat tantangan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi global terkait dengan terjadinya gejolak pada sektor keuangan di beberapa negara kawasan Eropa. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun 2010. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh cukup stabilnya fundamental ekonomi makro nasional dan juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi dunia. Berdasarkan kondisi perekonomian nasional tersebut, pendapatan negara dan hibah diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun 2010. Penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan PNBP, menjadi pilar utama dari pendapatan negara dan hibah. Sebagai kontributor utama penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diperkirakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Beberapa kebijakan yang diambil untuk mencapai target tersebut adalah (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pelayanan kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Dalam tahun 2011, PNBP diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P 2010, terutama didorong oleh penurunan penerimaan dari bagian Pemerintah atas laba BUMN. Di samping itu, ketidakpastian perkembangan harga minyak dunia yang akan berpengaruh terhadap tingkat harga juga akan memberikan pengaruh terhadap upaya pencapaian target penerimaan migas. Untuk itu, Pemerintah perlu berupaya melalui kebijakan dan perbaikan administrasi guna lebih mengoptimalkan pencapaian target PNBP tahun 2011. Upaya Pemerintah tersebut melalui (1) pengoptimalan lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA, (2) pengoptimalan penerimaan Pemerintah atas laba BUMN melalui optimalisasi pay-out ratio, penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna mengetahui posisi rugi/laba BUMN, dan opsi dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN, dan (3) peninjauan atas jenis dan tarif, perbaikan administrasi pelaporan keuangan, dan intensifikasi penarikan PNBP K/L.

3.4 Sasaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011


Pendapatan negara dan hibah sangat penting sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam rencana kerja Pemerintah (RKP). Prospek pulihnya perekonomian menjadi salah satu faktor utama untuk mengoptimalkan sumbersumber pendapatan negara. Berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro pada tahun 2011, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp1.086,4 triliun, terdiri atas penerimaan dalam negeri Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010, target dalam tahun 2011 tersebut mengalami peningkatan sebesar 9,5 persen. Sumber utama peningkatan tersebut diharapkan berasal dari penerimaan perpajakan yang ditargetkan meningkat sejalan dengan dilakukannya berbagai extra effort. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui perbaikan

III-42

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

administrasi perpajakan, penggalian potensi perpajakan, peningkatan pemeriksaan pajak, serta perbaikan mekanisme keberatan dan banding. Pendapatan negara dan hibah dalam tahun 20102011 dapat dilihat pada Tabel III.16.
TABEL III.16 PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2010 2011 (triliun rupiah)
2010 Uraian
Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan Migas Nonmigas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea masuk ii. Bea keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas ii. Nonmigas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah
Sumber: Kementerian Keuangan

2011 % thd PDB


15,9 15,8 11,9 11,5 5,8 0,9 4,9 4,2 0,4 0,1 0,9 0,1 0,4 0,3 0,1 4,0 2,6 2,4 0,2 0,5 0,7 0,2 0,0

APBN-P
992,4 990,5 743,3 720,8 362,2 55,4 306,8 263,0 25,3 7,2 59,3 3,8 22,6 17,1 5,5 247,2 164,7 151,7 13,0 29,5 43,5 9,5 1,9

RAPBN
1.086,4 1.082,6 839,5 816,4 414,5 54,2 360,3 309,3 27,7 0,0 60,7 4,2 23,1 18,0 5,1 243,1 158,2 145,3 12,9 26,6 43,4 14,9 3,7

% thd PDB
15,5 15,5 12,0 11,7 5,9 0,8 5,1 4,4 0,4 0,0 0,9 0,1 0,3 0,3 0,1 3,5 2,3 2,1 0,2 0,4 0,6 0,2 0,1

3.4.1 Penerimaan Dalam Negeri


Penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp1.082,6 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 9,3 persen bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010. Sebagian besar dari target penerimaan dalam negeri tersebut merupakan kontribusi dari penerimaan perpajakan, yaitu sebesar Rp839,5 triliun (77,5 persen), dan selebihnya merupakan kontribusi dari PNBP sebesar Rp243,1 triliun (22,5 persen).

3.4.1.1 Penerimaan Perpajakan


Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2011
Sebagaimana tahun 2010, kebijakan umum perpajakan dilakukan melalui upaya perbaikan administrasi perpajakan. Salah satu upaya perbaikan administrasi perpajakan tersebut adalah pengalihan BPHTB serta PBB sektor perdesaan dan perkotaan yang semula merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Selain itu, perbaikan administrasi perpajakan juga dilakukan dengan melanjutkan penghapusan fiskal luar negeri bagi WP

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-43

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

orang pribadi yang mempunyai NPWP sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Selanjutnya, Pemerintah juga akan melanjutkan program reformasi perpajakan dalam bentuk reformasi perpajakan jilid II, antara lain dilakukan melalui program Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang penyelesaiannya membutuhkan waktu dalam jangka menengah (20092013). Dalam rangka menggali potensi penerimaan pajak dalam tahun 2011, beberapa program yang dilakukan oleh Pemerintah, antara lain (1) program ekstensifikasi perpajakan dalam menambah WP baru; (2) program intensifikasi penggalian potensi perpajakan berbasis profile WP; (3) penggalian potensi sektor-sektor tertentu; (4) aplikasi optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP); dan (5) pemberian pendidikan perpajakan (tax education) dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP (tax payer compliance). Selain kelima upaya tersebut, optimalisasi penerimaan pajak tahun 2011 juga didukung oleh upaya peningkatan kualitas pemeriksaan pajak. Dalam hal ini, beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah adalah (1) menyusun kebijakan teknis pemeriksaan atas hasil pemeriksaan WP yang tergabung dalam satu grup; (2) melakukan kajian atas perlakuan PPN untuk barang hasil tambang; (3) meningkatkan koordinasi dengan berbagai instansi terkait sehubungan dengan pencairan piutang pajak dan prioritas pencairan kepada penunggak pajak terbesar; dan (4) harmonisasi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Kepailitan, serta Undang-undang terkait tentang hak mendahulukan negara atas piutang pajak terhadap WP yang dinyatakan pailit. Selanjutnya, Pemerintah akan menyempurnakan mekanisme atas keberatan dan banding sebagai upaya untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak. Hal ini antara lain dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan informasi dari putusan pengadilan pajak serta keputusan keberatan dan nonkeberatan sebagai bahan untuk penggalian potensi perpajakan. Selain itu, Pemerintah akan menyusun kembali grand strategy untuk meningkatkan pengawasan, guna menghindari dan mengurangi penyalahgunaan wewenang, serta meningkatkan fungsi litigasi agar Pemerintah dapat memenangkan sengketa dalam sidang banding dan gugatan di Pengadilan Pajak. Sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan, Pemerintah juga melakukan optimalisasi penerimaan kepabeanan dan cukai melalui peningkatan pelayanan kepabeanan dan cukai. Langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepabeanan dan cukai antara lain: (1) melanjutkan reformasi birokrasi, melalui pembentukan KPPBC madya dan penyempurnaan birokrasi di lingkungan internal; (2) penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Window (INSW) di 5 kantor pabean (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, Bandara Soekarno Hatta, dan Belawan); (3) otomatisasi pelayanan; (4) implementasi kawasan pelayanan pabean terpadu; dan (5) konsistensi pelayanan kepabeanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu di empat pelabuhan utama (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makasar dan Belawan). Khusus di bidang kepabeanan, optimalisasi penerimaan dalam tahun 2011 dilakukan antara lain melalui (1) peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor; (2) peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang; (3) peningkatan kolektibilitas piutang kepabeanan dan cukai; (4) peningkatan pengawasan di daerah perbatasan, terutama jalur rawan penyelundupan; dan (5) optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut. Terkait dengan upaya peningkatan pengawasan di bidang kepabeanan,

III-44

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

beberapa kebijakan yang diambil adalah dengan melakukan penataan hubungan kerja antarunit pengawasan, penerapan pola profiling secara sistematis dalam rangka risk management, melakukan pendeteksian dini terhadap pelanggaran, otomatisasi proses pengawasan secara vertikal dan horisontal, serta perbaikan bisnis proses audit dan revitalisasi fungsi audit. Khusus di bidang cukai, kebijakan pada tahun 2011 tetap diarahkan pada konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, optimalisasi penerimaan cukai juga dilakukan melalui kajian tentang ekstensifikasi barang kena cukai, pelekatan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya untuk MMEA golongan A, pemanfaatan informasi teknologi di bidang pelayanan cukai dan peningkatan pengawasan di bidang cukai, serta optimalisasi sosialisasi di bidang cukai. Sementara itu, dalam rangka mendukung sasaran pertumbuhan investasi sesuai dengan RKP 2011, di sisi kebijakan kepabeanan dan cukai, akan terus diupayakan perbaikan sistem informasi. Upaya tersebut akan dilaksanakan melalui (1) pengoperasian secara penuh INSW untuk impor (sebelum tahun 2010) dan untuk ekspor; (2) percepatan realisasi proses penyelesaian bea cukai di luar pelabuhan dengan implementasi tahap pertama Custom Advanced Trade System (CATS) di dry port Cikarang; dan (3) pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dilakukan melalui pengembangan KEK di 5 lokasi melalui skema Public-Private Partnership sebelum tahun 2014.

Target Penerimaan Perpajakan Tahun 2011


Pada tahun 2011, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp839,5 triliun, atau meningkat 12,9 persen dari targetnya dalam APBN-P tahun 2010. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam peningkatan penerimaan perpajakan adalah (1) pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, baik secara global maupun domestik; (2) perbaikan administrasi pajak, kepabeanan dan cukai yang dilakukan secara terus menerus; (3) upaya extra effort yang dilakukan dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan; dan (4) tingginya tax compliance masyarakat. PPh ditargetkan mencapai Rp414,5 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 14,4 persen bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010. Termasuk dalam target penerimaan PPh adalah fasilitas pajak ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp3,5 triliun, yang terdiri atas PPh DTP untuk panas bumi sebesar Rp1,0 triliun, PPh DTP untuk bunga obligasi internasional sebesar Rp1,5 triliun, dan PPh DTP untuk hibah dan kerjasama keuangan internasional sebesar Rp1,0 triliun. Dari keseluruhan penerimaan PPh pada tahun 2011, PPh migas ditargetkan mencapai Rp54,2 triliun, atau 13,1 persen kontribusi terhadap penerimaan PPh. Bila dibandingkan dengan targetnya pada APBN-P tahun 2010, target PPh migas tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 2,2 persen. Sasaran penerimaan PPh migas tahun 2011 didasarkan antara lain pada: (1) asumsi ICP USD80,0 per barel; (2) nilai tukar rupiah rata-rata Rp9.300 per USD, dan (3) lifting minyak sebesar 970 ribu bph. Pada tahun 2011, PPh nonmigas ditargetkan mengalami kenaikan 17,4 persen, hingga mencapai Rp360,3 triliun, dari target APBN-P tahun 2010. Secara umum, faktor utama yang berpengaruh adalah penerapan kebijakan perpajakan yang berperan dalam meningkatkan penerimaan PPh nonmigas antara lain: (1) kegiatan pasca sunset policy yang

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-45

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak; (2) perluasan basis pajak; (3) kegiatan intensifikasi melalui mapping, profiling, dan benchmarking; dan (4) upaya extra effort melalui pemeriksaan dan penagihan. Penerimaan PPh nonmigas sektoral pada tahun 2011 ditargetkan mencapai Rp 308,4 triliun. Target tersebut merupakan target bruto yang belum memperhitungkan penerimaan dalam bentuk mata uang asing serta kemungkinan restitusi yang terjadi. Bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2010, target tersebut meningkat sebesar 19,1 persen atau Rp49,5 triliun, terutama didukung oleh sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar Rp95,1 triliun (30,8 persen) dengan pertumbuhan penerimaan sebesar 22,3 persen. Selanjutnya, sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan memberikan kontribusi sebesar Rp66,8 triliun (21,7 persen) dengan pertumbuhan 8,6 persen. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor terbesar ketiga memberikan kontribusi sebesar Rp39,0 triliun (12,6 persen) atau mengalami pertumbuhan sebesar 23,6 persen. Perkiraan penerimaan PPh nonmigas sektoral dapat dilihat pada Tabel III.17.
TABEL III.17 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2010 2011 (triliun rupiah)
2010 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya Total
Sumber : Kementerian Keuangan

2011 y-o-y (8,7) (19,5) (20,7) 24,7 29,7 49,3 19,1 18,5 1,2 (12,2) 32,5 7,5 7,0 RAPBN 12,5 8,3 17,2 0,4 95,1 9,1 9,7 39,0 18,1 66,8 26,0 6,1 308,4 % thd Total 4,1 2,7 5,6 0,1 30,8 2,9 3,2 12,6 5,9 21,7 8,4 2,0 100,0 y-o-y 34,7 0,8 22,5 29,8 22,3 9,7 25,8 23,6 4,2 8,6 28,0 150,7 19,1

Perk. Real. 9,3 8,2 14,0 0,3 77,8 8,3 7,7 31,5 17,4 61,6 20,3 2,4 258,9

% thd Total 3,6 3,2 5,4 0,1 30,0 3,2 3,0 12,2 6,7 23,8 7,8 0,9 100,0

* Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline serta restitusi

Pada tahun 2011, target PPN dan PPnBM adalah sebesar Rp309,3 triliun, atau meningkat 17,6 persen dari perkiraannya dalam APBN-P tahun 2010. Peningkatan ini sejalan dengan lebih tingginya asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2011 yang mencapai 6,3 persen, dari perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 sebesar 5,9 persen. Konsumsi masyarakat dan Pemerintah yang masing-masing diperkirakan tumbuh di atas 5 persen dan 6 persen diharapkan dapat mendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri. Demikian juga dengan aktivitas perdagangan dunia yang diperkirakan tumbuh di atas 6 persen akan menjadi salah satu pendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM impor. Dalam target PPN dan PPnBM tersebut, di dalamnya terdapat target penerimaan perpajakan dalam bentuk pajak ditanggung Pemerintah sebesar Rp9,3 triliun. Rincian dari PPN DTP adalah (1) PPN DTP untuk bahan bakar minyak, bahan bakar nabati, dan LPG 3 kg bersubsidi sebesar Rp6,0 triliun; (2) PPN DTP untuk pajak dalam rangka impor (PDRI) terkait

III-46

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

kebutuhan eksplorasi hulu minyak, gas bumi serta panas bumi sebesar Rp2,8 triliun; dan (3) PPN DTP untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebesar Rp0,5 triliun. Penerimaan PPN dalam negeri (PPN DN) sektoral pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp181,5 triliun atau meningkat sebesar 19,1 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2010. Secara lebih rinci, penerimaan PPN DN terutama disumbangkan oleh sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar Rp85,2 triliun (46,9 persen) dengan pertumbuhan sebesar 26,6 persen dan sektor perdagangan, hotel, serta restoran dengan kontribusi sebesar Rp32,4 triliun (17,8 persen) dengan pertumbuhan sebesar 15,7 persen. Sedangkan sebagai kontributor ketiga terbesar, sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sebesar Rp14,3 triliun (7,9 persen) dengan pertumbuhan sebesar 15,2 persen. Perkiraan penerimaan PPN DN sektoral dapat dilihat pada Tabel III.18.
TABEL III.18 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2010 2011 (triliun rupiah)
2010 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya Total
Sumber : Kementerian Keuangan

2011 y-o-y 9,4 (83,9) 55,5 37,3 78,7 50,8 15,4 43,4 43,4 31,0 58,4 24,1 30,7 RAPBN 3,9 1,6 2,3 0,2 85,2 1,1 12,1 32,4 14,3 12,5 4,4 11,4 181,5 % thd Total 2,2 0,9 1,3 0,1 46,9 0,6 6,7 17,8 7,9 6,9 2,4 6,3 100,0 y-o-y 18,0 (42,1) 6,2 28,8 26,6 21,3 0,0 15,7 15,2 3,1 18,1 56,1 19,1

Perk. Real. 3,3 2,8 2,1 0,2 67,3 0,9 12,1 28,0 12,4 12,1 3,8 7,3 152,3

% thd Total 2,2 1,9 1,4 0,1 44,2 0,6 7,9 18,4 8,2 7,9 2,5 4,8 100,0

* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline dan restitusi

Pada tahun 2011, penerimaan PPN impor sektoral diperkirakan mencapai Rp117,7 triliun atau meningkat sebesar 23,9 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2010. Kontributor utama adalah sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar Rp72,0 triliun (61,2 persen) dengan pertumbuhan mencapai 21,7 persen. Selanjutnya, sebagai kontributor terbesar kedua, sektor industri perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar Rp36,2 triliun (30,7 persen) dengan pertumbuhan sebesar 28,4 persen. Secara umum, peningkatan PPN impor sektoral terutama disebabkan oleh perkiraan meningkatnya transaksi perdagangan internasional seiring dengan membaiknya perekonomian dunia. Kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap penerimaan PPN impor sektoral tahun 20102011 dapat dilihat dalam Tabel III.19. Penerimaan dari PBB ditargetkan mencapai Rp27,7 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 9,3 persen dari targetnya pada APBN-P tahun 2010. Target penerimaan PBB tersebut sudah mengantisipasi kebijakan pengalihan administrasi PBB sektor perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah yang sudah siap untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara itu, sebagai komponen terbesar, PBB pertambangan ditargetkan mencapai Rp20,8 triliun, atau naik 21,7 persen dari targetnya pada APBN-P tahun 2010.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-47

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

TABEL III.19 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2010-2011 (triliun rupiah)


2010 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Bukan Migas Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Kegiatan yang belum jelas batasannya Total
Sumber : Kementerian Keuangan

2011 y-o-y 366,4 (85,3) 318,2 (70,9) 62,3 4,9 (0,4) 45,8 (9,4) 124,7 (13,0) 14,5 49,0 RAPBN 0,6 0,3 3,0 0,0 72,0 0,3 1,0 36,2 1,1 3,1 0,1 0,0 117,7 % thd Total 0,6 0,3 2,5 0,0 61,2 0,2 0,9 30,7 0,9 2,6 0,1 0,0 100,0 y-o-y 47,2 (45,4) 54,5 (40,3) 21,7 10,2 11,9 28,4 (8,5) 38,0 (2,8) 51,7 23,9

Perk. Real. 0,4 0,6 1,9 0,0 59,2 0,2 0,9 28,2 1,2 2,2 0,1 0,0 95,0

% thd Total 0,5 0,6 2,0 0,0 62,3 0,3 1,0 29,7 1,3 2,3 0,1 0,0 100,0

* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline dan restitusi

Sehubungan dengan kebijakan pengalihan administrasi BPHTB dari Pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka tidak ada penerimaan BPHTB pada RAPBN tahun 2011. Target penerimaan cukai pada tahun 2011 adalah sebesar Rp60,7 triliun, terdiri atas cukai hasil tembakau sebesar Rp58,1 triliun, dan cukai MMEA dan EA sebesar Rp2,7 triliun. Bila dibandingkan dengan APBN-P tahun 2010, target cukai 2011 mengalami peningkatan 2,4 persen, didukung oleh peningkatan cukai hasil tembakau sebesar 3,9 persen. Beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan penerimaan cukai adalah (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau sesuai dengan roadmap cukai hasil tembakau; (2) peningkatan tarif cukai MMEA dan EA; (3) perbaikan administrasi kepabeanan dan cukai; dan (4) extra effort untuk mengurangi peredaran barang kena cukai secara ilegal. Pada tahun 2011, pajak lainnya ditargetkan mencapai Rp4,2 triliun, atau 9,4 persen bila dibandingkan dengan targetnya pada APBN-P tahun 2010. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan benda materai. Penerimaan bea masuk pada tahun 2011 ditargetkan mencapai Rp18,0 triliun. Bila dibandingkan dengan target APBN-P tahun 2010, terjadi peningkatan sebesar 5,2 persen. Target penerimaan bea masuk pada tahun 2011 tersebut termasuk bea masuk yang ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp2,0 triliun. Asumsi-asumsi yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan target bea masuk adalah (1) pertumbuhan ekonomi 6,3 persen; (2) nilai tukar rupiah yang rata-rata Rp9.300 per USD; dan (3) meningkatnya volume impor sebagai dampak dari meningkatnya volume perdagangan internasional. Kebijakan bea keluar tidak semata-mata ditujukan untuk menghimpun penerimaan negara. Namun terdapat tujuan lain seperti ketersediaan komoditi dalam negeri, stabilitas harga nasional, dan kelestarian sumber daya alam. Dalam tahun 2011, bea keluar ditargetkan mencapai Rp5,1 triliun atau 5,9 persen lebih rendah bila dibandingkan dengan target

III-48

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

sebesar Rp50,0 miliar atau 33,3 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P 2010. Sumber utama penerimaan perikanan berasal dari pungutan pengusahaan perikanan (PPP), termasuk di dalamnya pungutan perikanan asing (PPA) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Penerimaan perikanan ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan sumber penerimaan lainnya dalam SDA nonmigas. Namun, peranan sektor perikanan tersebut juga dapat dilihat dari meningkatnya kegiatan ekonomi di sentra-sentra kegiatan nelayan di pelabuhan perikanan dan pasar ikan, kegiatan perikanan di sentra-sentra budidaya, dan kegiatan pengolahan ikan serta penerimaan daerah melalui retribusi bidang kelautan dan perikanan. Guna mengoptimalkan penerimaan perikanan, upaya yang akan ditempuh dalam tahun 2011 antara lain: (1) optimalisasi pelayanan dan penertiban perijinan usaha; (2) penanggulangan illegal fishing; (3) revisi PP Nomor 19/2006 tentang Pungutan Tarif PNBP KKP; (4) revisi Harga Patokan Ikan (HPI); (5) pengembangan usaha perikanan tangkap terpadu; (6) dorongan pengusahaan perikanan asing yang semula beroperasi dengan scheme lisensi untuk melakukan kemitraan dengan pelaku usaha perikanan domestik dan mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia sebagai pasokan bahan baku industri pengolahan hasil perikanan; (7) dorongan dibentuknya perusahaan PMA untuk meningkatkan investasi di bidang pengolahan hasil perikanan; (8) peningkatan kemampuan armada perikanan dalam negeri untuk mengganti kapal asing yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas; (9) peningkatan pelayanan; dan (10) percepatan perizinan dan administrasi penagihan. Penerimaan pertambangan panas bumi dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp356,1 miliar, meningkat sebesar Rp111,7 miliar atau 45,7 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P 2010. Penerimaan pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian Pemerintah sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/NOI) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajak-pajak dan pungutan-pungutan lain.

Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN


Kondisi makroekonomi yang masih rentan terhadap efek dari defisit anggaran negara-negara Organization for Economic Cooperation Development (OECD) terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat di tahun 2010, akan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah untuk tetap dapat menjaga kinerja BUMN agar tidak mengurangi penerimaan dividen di tahun 2011. Di samping itu, sesuai Peraturan Bank Indonesia dan Bapepam-LK, BUMN Sektor Perbankan, Jasa Keuangan dan Asuransi perlu memupuk dana untuk memenuhi persyaratan kecukupan Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk perbankan BUMN yang melakukan IPO dengan prospektus dengan menjanjikan pay-out ratio tertentu. Untuk BUMN sektor perbankan, antisipasi peningkatan non performing loan (NPL) menjadi komponen pengurang laba BUMN perbankan sehubungan dengan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif. Hal lain adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tentang Peningkatan Capital Adequacy Ratio atau Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang juga mengurangi laba BUMN perbankan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah akan melakukan penyesuaian pay-out ratio terhadap beberapa BUMN perbankan yang membutuhkan tambahan anggaran investasi untuk kegiatan investasi. Kebijakan penyesuaian pay-out ratio BUMN perbankan tersebut akan dikompensasi melalui

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-51

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

upaya penyaluran kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan pengurangan dana simpanan dalam bentuk SBI. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit di tengah pelemahan perekonomian. Rencana kebijakan Pemerintah untuk PNBP bagian Pemerintah atas laba BUMN di tahun 2011 adalah dengan menerapkan kebijakan pay-out ratio 50-60 persen dengan beberapa pengecualian, yaitu (a) penetapan pay-out ratio (POR) 0-25 persen untuk BUMN sektor asuransi, khusus PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes, dan PT Asabri diterapkan POR nol persen, terkait dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjelaskan bahwa BUMN asuransi menjadi organisasi nirlaba; (b) penetapan POR nol persen untuk BUMN kehutanan, terkait dengan upaya pelestarian hutan di Indonesia, dan untuk BUMN laba dengan akumulasi rugi; (c) penetapan POR 0-60 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi; (d) rencana POR BUMN Sektor Perkebunan 0-25 persen; (e) penetapan POR BUMN Sektor Farmasi 0-20 persen; (f) rencana POR BUMN Perbankan 35-45 persen untuk antisipasi Implementasi BASEL II dan PSAK 50/55 agar CAR Bank BUMN pada tahun 2014 tetap di atas 10 persen dan dapat tetap memajukan sektor riil dengan pertumbuhan ekspansi kredit 18-27 persen; (g) rencana POR BUMN Pertambangan 30-45 persen; dan (h) rencana POR PT Pertamina 45-50 persen. Adapun rencana strategi yang akan ditempuh Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dari dividen BUMN dalam tahun 2011 adalah: (a) optimalisasi dividen pay-out ratio dengan mempertimbangkan antara lain kondisi keuangan dan penugasan oleh Pemerintah serta peraturan perundangan yang berlaku (misalnya: UU SJSN, Prospektus IPO); (b) audit keuangan oleh kantor akuntan publik (KAP) dapat selesai lebih awal dari jadwal agar angka definitif atas laba/rugi bersih BUMN secara dini dapat diketahui, untuk dapat ditetapkan langkah-langkah dalam mencapai target yang diharapkan; dan (c) opsi untuk mengambil dividen interim terhadap BUMN yang sudah menyelenggarakan RUPS, dengan tetap memperhatikan arus kas untuk operasi BUMN tersebut. Terkait dengan rencana peningkatan kinerja BUMN di tahun 2011, Pemerintah secara konsisten akan melakukan berbagai langkah pembenahan internal di tubuh BUMN. Langkah-langkah tersebut juga dipersiapkan dalam rangka antisipasi pemberlakuan ACFTA agar BUMN dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional. Langkah taktis yang disiapkan untuk tahun 2011 antara lain adalah: (a) peningkatan cadangan modal kerja untuk BUMN yang sehat dan perlu modal kerja dan sekaligus belanja investasi (capital expenditure) agar BUMN dapat lebih berkembang menuju ke tingkat economic of scale dan sekaligus mampu meningkatkan pendapatan serta lebih efisien; dan (b) BUMN yang sedang direstrukturisasi dan meraih laba namun masih mengalami akumulasi rugi agar lebih sehat, tidak diambil dividennya. Dengan memperhatikan kondisi dan tantangan dan asumsi dasar ekonomi makro 2011 serta rencana kebijakan yang akan ditempuh sebagaimana disebutkan sebelumnya, besaran PNBP bagian Pemerintah atas laba BUMN termasuk dividen interim tahun 2011 direncanakan sebesar Rp26,6 triliun.

PNBP Lainnya
Dalam tahun 2011, target PNBP lainnya direncanakan sebesar Rp43,4 triliun, sedikit mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2010 sebesar Rp43,5 triliun. Target PNBP lainnya tahun 20102011 dapat dilihat dalam Grafik III.36.

III-52

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

(4) melakukan pengkajian secara komprehensif mengenai formula dan besaran variabel dalam pengenaan BHP frekuensi; serta (5) melakukan otomatisasi/modernisasi proses perizinan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Dalam tahun 2011, PNBP Kemendiknas direncanakan mencapai Rp10,7 triliun. Penerimaan tersebut meningkat sebesar Rp4,0 triliun atau 59,8 persen apabila dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2010 sebesar Rp6,7 triliun. Peningkatan tersebut lebih disebabkan oleh meningkatnya penerimaan jasa pendidikan, terutama bersumber dari tambahan PTN eks-BHMN yang berubah menjadi satuan kerja BLU dan penerimaan dari hasil penjualan produk pendidikan. Perkembangan PNBP Kemendiknas tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.38.
GRAFIK III.38 PNBP KEMENDIKNAS, 2010 2011
triliun Rp 12 10 8 6 4 2 0 APBN-P 2010 Sumbe r : Ke menterian Pe ndid ikan Nasional RAPBN 2011

10,7 6,7

Pokok-pokok kebijakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut antara lain: (a) penguatan kapasitas pendidikan tinggi melalui pengembangan mekanisme untuk mewujudkan kesehatan organisasi dan otonomi masing-masing perguruan tinggi; (b) pada masa transisi dari sentralisasi menuju masa otonomi, akan dilakukan pengembangan kapasitas guna mewujudkan perguruan tinggi yang memiliki keleluasaan dalam memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang sehat dan memiliki kapasitas untuk merespon lingkungan yang berubah; dan (c) meningkatkan akuntabilitas publik melalui penerapan sistem monitoring dan evaluasi yang ditata melalui mekanisme pelaporan kinerja perguruan tinggi. Dalam tahun 2011, target PNBP Polri direncanakan sebesar Rp2,8 triliun, meningkat Rp0,8 triliun atau 39,8 persen dari target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,0 triliun. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dari pengadministrasian SIM, STNK, dan BPKB sebagai dampak bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, serta pemberlakuan Undangundang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menambah keluasan fungsi dan peran Ditlantas Polri dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Perkembangan PNBP Polri tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.39.
GRAFIK III.39 PNBP POLRI, 2010 2011
triliun Rp 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 APBN-P 2010 RAPBN 2011

2,8 2,0

Sumber : Kepolisian Negara Republik Indone sia

Secara garis besar, kebijakan yang akan ditempuh untuk mencapai target tersebut adalah (a) meningkatkan kemampuan SDM Polri melalui pendidikan dan pelatihan; (b) melanjutkan pembangunan jaringan online Samsat di seluruh Polda; (c) melanjutkan upgrade jaringan Satpas termasuk SIM keliling; dan (d) melaksanakan Perpolisian Masyarakat (Polmas) melalui kegiatan Citra Polantas.

III-54

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

Pendapatan Negara dan Hibah

Bab III

PNBP BPN dalam tahun 2011 direncanakan mencapai Rp1,3 triliun, turun Rp0,2 triliun atau 13,3 persen jika dibandingkan dengan target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,5 triliun. Penurunan tersebut disebabkan oleh dihapuskannya PNBP dari kegiatan pelayanan penetapan hak atas tanah berupa uang pemasukan kepada negara. Grafik III.40 memperlihatkan target PNBP BPN tahun 2010 dan 2011.

GRAFIK III.40 PNBP BPN, 2010 2011


triliun Rp
1,6 1,2 0,8 0,4

1,5 1,3

Pencapaian target PNBP BPN tahun 2010 0,0 APBN-P RAPBN didukung oleh (a) peningkatan kegiatan sosialisasi 2010 2011 dan transparansi pelayanan kepada masyarakat Sumber : Badan Pertanahan Nasional yang mencakup informasi tentang persyaratan, jangka waktu pelayanan, dan biaya pelayanan; (b) peningkatan kapasitas kemampuan pelayanan dengan penambahan petugas ukur dan pendataan data yuridis; serta (c) penerapan model pelayanan kantor pertanahan bergerak pelayanan rakyat sertifikasi pertanahan (LARASITA). Dalam tahun 2011, PNBP Kemenkumham direncanakan sebesar Rp1,6 triliun, naik Rp0,1 triliun atau 6,7 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,5 triliun. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya kunjungan dan izin tinggal orang asing di Indonesia. Perkembangan PNBP Kemenkumham tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.41.
GRAFIK III.41 PNBP KEMENKUMHAM, 2010 2011
triliun Rp

2,0 1,6 1,2 0,8 0,4 ` 1,5

1,6

Secara garis besar, pokok-pokok kebijakan yang 0,0 APBN-P RAPBN akan ditempuh untuk mencapai target tahun 2011 2010 2011 tersebut adalah: (1) peningkatan pelayanan kepada Sumber : Kementerian Hukum d an HAM masyarakat melalui penambahan kantor imigrasi; (2) menambah jumlah tempat pemeriksaan imigrasi dengan visa kunjungan saat kedatangan (VKSK); (3) menambah jumlah negara subjek VKSK menjadi 62 negara; (4) mengembangkan otomatisasi sistem pelayanan hak kekayaan intelektual; dan (5) melakukan perjanjian kerjasama dengan bank BUMN untuk penerimaan biaya VKSK.

Pendapatan BLU
Pendapatan BLU dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp14,9 triliun. Penerimaan ini lebih tinggi Rp5,4 triliun atau 57,0 persen dari target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp9,5 triliun. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah perguruan tinggi negeri yang menerapkan pola BLU dan telah diterapkannya pola pengelolaan BLU oleh seluruh rumah sakit Pemerintah. Perkembangan pendapatan BLU tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.42. Dilihat dari sumber perolehannya, sebagian besar pendapatan BLU tahun 2011 berasal dari pendapatan jasa pelayanan pendidikan yang direncanakan sebesar Rp7,8 triliun, dan jasa

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

III-55

Bab III

Pendapatan Negara dan Hibah

pelayanan rumah sakit yang diperkirakan mencapai Rp3,9 triliun. Sementara itu, pendapatan dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi direncanakan mencapai Rp1,4 triliun. Secara umum, pencapaian target pendapatan BLU tahun 2011 didukung oleh kebijakan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing BLU, di antaranya: (1) meningkatkan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia; (2) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan BLU; serta (3) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah.

GRAFIK III.42 PENDAPATAN BLU, 2010 2011


triliun Rp 16 14 12 10 8 6 4 2 0 APBN-P 2010 Sumbe r : Kementerian Keuangan RAPBN 2011 9,5 14,9

3.4.2 Penerimaan Hibah


Penerimaan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp3,7 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp1,8 triliun atau 97,2 persen jika dibandingkan dengan target APBN-P 2010 sebesar Rp1,9 triliun. Peningkatan tersebut GRAFIK III.43 antara lain dipengaruhi oleh semakin PENERIMAAN HIBAH, 2010 2011 tingginya komitmen negara donor untuk membantu Indonesia terkait masalah triliun Rp 4,2 3,7 perubahan iklim serta semakin efektifnya 3,6 sistem administrasi dan pencatatan 3,0 penerimaan hibah dalam APBN. Selain itu 2,4 1,9 juga, dikarenakan menampung hibah aset 1,8 dari PT Pertamina dan PT PLN (Persero) 1,2 0,6 yang akan digunakan untuk PMN terhadap PT Geo Dipa Energi sebesar Rpo,4 APBN-P RAPBN triliun. Grafik III.43 memperlihatkan 2010 2011 perkembangan target hibah 2010 dan Sumber : Kementerian Keuangan 2011.

III-56

Nota Keuangan dan RAPBN 2011

You might also like