Professional Documents
Culture Documents
SOSOK MERTON
Robert King Merton lahir di Philadelphia pada tahun 1910 dan
wafat pada tahun 2003. Dilahirkan dari kelas pekerja, Merton
merupakan imigran Yahudi Eropa Barat. Merton mendapatkan
pendidikan di South Philadelphia High School, dan mendapatkan
pengarahah serta memulai karir di bidang sosiologi di bawah asuhan
George E. Simpson di Temple University pada tahun 1927 hingga
1931, dan Pitirim A. Sorokin di Harvard University pada tahun 1931
hingga 1936. Meskipun dalam bidang akademik Merton banyak
menerima anugrah dari berbagai universitas di seluruh dunia, namun
karir percintaan Merton tidak lah semulus karir akademiknya. Merton
tercatat dua kali menikah dan memiliki tiga orang anak, salah satunya
adalah penerima Nobel di bidang Ekonomi, Robert C. Merton
(wikipedia, t.t.a).
Sewaktu kecil, Merton sering berkunjung ke Perpustakaan
Carnegie yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Intensitas
kedatangan Merton kecil ini lah yang menarik perhatian George E.
Simpson, dan kemudian menjadikan Merton sebagai asisten dalam
1
berbagai riset yang dilakukannya. Sorokin menjadi pendorong utama
bagi Merton untuk menyelesaikan studinya di Harvard, dan
menjadikan Merton sebagai asisten utama dalam pengajaran dan
penelitian. Tahun 1931, Merton lulus dari Temple College di
Philadelphia dan langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
studi di Harvard University. Tahun 1936, Merton mendapatkan gelar
doktor setelah mempertahankan desertasinya di bawah bimbingan
George Sarton dengan tema “Science, Technology, and Society in
Seventeenth-century England” (Sztompka, 2003:13).
Merton banyak mengeksplorasi berbagai isu pada sekitar tahun
1930-an. Pada era itu, Merton lebih banyak memfokuskan pada
konteks sosial dari sains dan teknologi, khususnya wilayah Inggris
pada abad ke-17 (Ritzer dan Goodman 2007). Bidang kajian Merton
semakin bertambah, di mana ia mulai mengeksplorasi berbagai tema
seperti perilaku menyimpang, perilaku birokrasi, dan kompleksitas
komunikasi pada masyarakat modern, dan semua itu ia laksanakan
pada tahun 1940-an. Pada dasawarsa selanjutnya, Merton
mengeksplorasi peran intelektual dalam birokrasi, unit dasar dari
struktur sosial, peran dan status, hingga model dasar yang diadopsi
oleh banyak orang sebagai sumber nilai dan basis untuk penilaian diri.
Kajian Merton mengenai hal-hal tersebut bukan lah sesuatu yang
mengherankan, mengingat ia hidup pada era di mana kajian
fungsionalis a la Parson sedang menjadi trend, meskipun pada era
1960-an kajian fungsionalisme telah kehilangan momentum yang
membuatnya happening pada masa lalu. Model-model fungsionalis-
struktural yang dinisbahkan kepada Parson boleh jadi mencapai masa
keemasan pada era Merton. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah fakta bahwa Merton dipengaruhi oleh Parson karena Merton
merupakan salah satu murid Parson. Memang benar bahwa Merton
2
tidak hanya dipengarhui oleh Parson, namun juga oleh P.A. Sorokin,
L.J Henderson, E.F Gay, dan George Simmel.
Karir akademik Merton dapat dikatakan sangat bagus. Dari
tahun 1936-1939 Merton menjadi pengajar di Harvard, tahun 1939-
1941 menduduki posisi professor di Tulane University di New Orleans.
Tahun 1941, Merton mengajar di Colombia University dan tetap berada
di sana selama 38 tahun. Setelah pensiun pada tahun 1979-1984,
Merton tetap aktif sebagai Special Service Proffessor, dan
mengundurkan diri dari kegiatan mengajar pada tahun 1984.
Sepanjang tahun itu hingga kematiannya tahun 2003, Merton lebih
memfokuskan pada kegiatan di luar mengajar, di samping adanya
fakta yang tidak dapat disangkal bahwa sepanjang hidupnya Merton
telah mendapatkan gelar doktor kehormatan lebih dari 20 universitas
di seluruh dunia.
3
University Bureau of Applied Social Research. Two Volumes.
Mimeographed, 1951.
5. Sociology Today: Problems and Prospects (edited with Leonard
Broom and Leonard S. Cottrell, Jr.). New York: Basic Books,
1959. [New York: Harper & Row, 1967]
6. On the Shoulders of Giants: A Shandean Postscript. New York: The
Free Press., 1965. [New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1967;
San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1985; Chicago: U
Chicago Press, 1993]
7. On Theoretical Sociology: Five Essays, Old and New. New York:
The Free Press, 1967.
8. The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations.
Edited by Norman Storer. Chicago: University of Chicago Press,
1973.
9. Sociological Ambivalence. New York: The Free Press, 1976.
10. The Sociology of Science: An Episodic Memoir. Carbondale:
University of Southern Illinois Press, 1979.
11. Sociological Traditions from Generation to Generation: Glimpses of
the American Experience (edited with Matilda White Riley).
Norwood, NJ: Ablex Publishing, 1980.
12. Continuities in Structural Inquiry (edited with Peter M. Blau).
London: Sage Publications, 1981.
13. Social Research and the Practicing Professions. Cambridge: Abt
Books, 1982.
14. The Travels and Adventures of Serendipity: A Study in Sociological
Semantics and the Sociology of Science (with Elinor Barber).
Bologna: II Mulino, 2002 (Italian).
Dalam makalah ini saya hanya memfokuskan pada buku “Social
Theory and Social Structure (1968)”. Buku ini saya pilih, meskipun
sangat klasik namun merupakan karya utama dari Merton. Di dalam
buku ini merton banyak mengekplorasi berbagai isu yang kemudian ia
kembangkan dalam tulisan-tulisan selanjutnya, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan kunci dalam memahami
pemikiran Merton. Sebagai catatan tambahan, mengingat banyak
sekali tulisan Merton yang tahun terbitnya antara di bawah tahun
1990an, maka sangat sulit mendapatkan tulisan-tulisan tersebut
dalam edisi aslinya, meskipun demikian, buku yang saya pegang dan
4
saya pergunakan dalam makalah ini adalah tulisan Merton sendiri,
bukan tulisan orang lain tentang pikiran Merton.
5
teoritis Merton yang bersifat praktis dan aplikatif seperti
penyimpangan dan anomie, diskriminasi, pola-pola perkawinan,
‘mesin’ politik dan birokrasi. Namun pengaruh yang paling terlihat
terletak dalam lingkungan akademik yang ada di sekeliling Merton.
Kehadiran Merton dapat dikatakan bertepatan dengan kebangkitan era
renaisan sosiologi Amerika (Sztompka, 2003:14). Kehadiran Merton di
tengah diruk-pikuk perdebatan mengenai struktural-fungsional yang
dikemukakan oleh Parson, yang memunculkan pertentangan sekaligus
kritik dari banyak pihak. Hal ini rupanya turut menyeret Merton untuk
turut andil, di samping fakta bahwa Parson merupakan orang yang
berpengaruh besar dalam kehidupan Merton.
6
awal perkembangan karirnya. Merton menyatakan bahwa ketiga
postulat dasar itu tidak lebih dari imaji tingkat tinggi dari para pemikir
kawakan, nonempiris dan hanya berdasarkan sistem teoritis abstrak
(lihat Ritzer dan Goodman 2007). Model empirisme merupakan model
yang mendasarkan diri pada pengamatan dan bukan sekedar utak-atik
logika. Dalam kajian fungsionalisme-struktural misalnya, Merton
berpendapat bahwa setiap objek yang menjadi sasaran analisis kajian
memiliki pola dan berulang. Secara implisit Merton mengetengahkan
suatu gagasan bahwa fungsionalisme-struktural bukan lah sesuatu
yang kelewat abstrak sehingga tidak dapat dilihat melalui realitas
empiris (lihat Maliki 2003). Teori fungsionalisme-struktural yang
dikritisi oleh Merton mengalami banyak perombakan dan perubahan,
terutama dalam revisi postulat dasar (lihat Ritzer 2007).
7
mengkritisi postulat dasar dari fungsionalisme yang berkembang
dalam studi antropologi (lihat Ritzer dan Goodman 2007), di mana
postulat ini berkeyakinan bahwa praktik kultural yang baku memiliki
fungsi atau fungsional bagi masyarakat sebagai suatu kesatuan.
Postulat lainnya yang juga dikritik oleh Merton adalah pandangan
universalisme fungsional dan juga indespensability. Merton misalnya,
memandang bahwa generalisasi mengenai kesatuan masyarakat hanya
dapat terjadi dalam masyarakat dengan skala kecil, di mana
generalisasi tersebut tidak dapat diterapkan pada masyarakat dengan
struktur yang heterogen dan kompleks.
Di satu sisi, model fungsionalisme-struktural banyak
memperbincangkan betapa fungsionalisme membentuk suatu integrasi
sosial di masyarakat, namun di sisi yang lain, model yang
dikembangkan oleh Merton juga banyak memberikan porsi bagi
berkembangnya disintegrasi dalam masyarakat. Merton memberikan
porsi yang cukup berimbang mengenai studi integrasi dan disintegrasi,
meskipun pusat kajian yang dilakukan oleh Merton lebih bertendensi
pada kajian integrasi sosial. Merton dalam beberapa kesempatan
selalu menegaskan bahwa yang menjadi pusat studi fungsionalisme-
struktural seperti pola sosial, peran sosial, pola institusional, norma
sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, dan lain-lain (lihat Merton
1968).
8
memberikan gambaran mengenai devian dan anomie dalam kerangka
struktural fungsional. Rasanya mustahil untuk membicarakan Merton
tanpa menyinggung sebuah konsep dia yang paling terkenal, yakni
mengenai anomie dan deviant behavior. Pembahasan deviant behavior
memang telah dilakukan jauh sebelum Merton, seperti yang dilakukan
oleh Durkheim mengenai suicide dan peran institusi dalam
meningkatkan kasus suicide. Dalam banyak pembahasan, Merton
selalu mengatakan bahwa teori yang ia kembangkan adalah midlle-
range theory, bukan teori yang besar yang sulit untuk dilihat dalam
realitas yang sebenarnya. Secara sederhana, konsep Merton mengenai
deviant behavior atau perilaku menyimpang dapat dirumuskan dengan
bagan berikut:
9
Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie.
Merton mendefinisikan kultur sebagai “organized set of normative
values governing behavior which is common to members of a designated
society or group” (seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat). Sedangkan
struktur merupakan “organized set of social relationship in which
members of the society or group are variously implicated” (seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan anggota
masyarakat terlibat didalamnya) (hlm.216). Anomie dijelaskan oleh
Merton sebagai:
“a breakdown in the cultural structure, occuring particularly
when there is an acute disjunction between the cultural norms
and goals and the socially structured capacities of members of
the group to act in accord with them” (sebuah kerusakan
dalam struktur kultur yang terjadi jika ada suatu
keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan
dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota
kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai (kultural)
tersebut) (Merton, 1968:216).
10
Sebenarnya penjelasan Merton mengenai fungsi manifest dan
fungsi laten cukup membingungkan. Barangkali benar bahwa
anggapan bahwa masyarakat terintegrasi secara penuh – dalam teori
makro a la Parson – cuma sekedar mimpi, toh tidak terbukti bahwa
ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, bahkan dalam
masyarakat Amerika sekalipun. Karenanya Merton pun
memperkenalkan satu bentuk lain selain fungsional, yakni
disfungsional. Buku Merton yang berjudul ‘Social Theory and Social
Structure’ membicarakan cukup banyak hal, namun Merton
memfokuskan pada disfungsi, fungsi manifest dan laten, serta anomie.
Sepintas ketiga hal ini terlihat terpisah, namun sesungguhnya
terdapat benang merah antara ketiganya. Pada halaman 105 misalnya,
Merton menjelaskan fungsi, disfungsi, dan non-fungsi:
11
memiliki fungsi positif terhadap suatu unit sosial tertentu, namun juga
memiliki fungsi negatif terhadap suatu unit sosial yang lain, dan hal ini
disebutnya sebagai disfungsi. Dengan demikian, mau tidak mau, kita
akan berbicara tentang satu konsep lain dari Merton, yakni dikotomi
fungsi itu sendiri. Merton juga membedakan antara fungsi manifest
dan fungsi laten terkait dengan tingkatan analisis fungsional. Merton
mendefinisikan fungsi manifest dan fungsi laten (hlm. 105) sebagai:
12
Dalam kasus integrasi misalnya, kajian fungsionalisme-
struktural mengasumsikan semua individu dapat terintgrasi, namun
realitas yang ada justru sebaliknya. Selalu ada individu yang tidak
dapat berintegrasi, di mana mereka, dalam pandangan masyarakat
secara umum adalah anomie, suatu kondisi yang berujung pada
perilaku menyimpang. Disintegrasi ini boleh jadi dikatakan sebagai
suatu kondisi yang disfungsional atau merupakan fungsi laten. Secara
lebih umum, pandangan Merton mengenai deviant terlihat dalam
gambar di bawah ini:
Conformity Innovation
Ritualism Retreatism
13
dapat diartikan sebagai penolakan terhadap cara-cara yang digunakan
maupun tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Di luar keempat hal itu,
masih terdapat satu point lagi, yakni ‘rebellion’ yang merupakan dua
sisi, satu sisi terkadang menolak baik tujuan maupun cara dengan
menciptakan tujuan dan cara yang baru, dan di sisi yang lain kadang
menerima antara tujuan dan cara (Merton, 1968:230-246). Kelima hal
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Tujuan Masyarakat Cara yang
(Societal Goals) digunakan
(Societal Means)
Conformity + +
Innovation + -
Ritualism - +
Retreatism - -
Rebellion ± ±
14
empirik, dengan demikian, teori fungsionalisme-struktural menjadikan
aktor bergantung pada struktur atau deterministik. Dalam berbagai
kajian Merton, sangat jelas terlihat bahwa Merton menjadikan struktur
sebagai bagian integral, di mana struktur akan mempengarhuhi aktir
untuk beradaptasi dengan struktur tersebut. Struktur yang
deterministik jelas menjadikan aktor tidak memiliki kebebasan
sebagaimana yang diinginkan oleh teori-teori yang bersifat
voluntaristik. Dalam dikotomi ‘body’ versus ‘mind’, maka jelas bahwa
teori fungsionalisme-struktural berada pada sisi ‘mind’. ‘mind’
menjadikan pikiran, gagasan, kesadaran, dan kebudayaan menjadi
bagian integral dari suatu sistem sosial. Dalam pandangan ini, bukan
‘body’ atau materi yang menjadi fokus kajian, namun justru ‘mind’ lah
yang dijadikan fokus.
Dalam kajian Merton mengenai fungsi dan disfungsi misalnya,
terlihat betapa Merton menjadikan struktur sebagai acuan utama, di
mana masyarakat sebagai aktor diletakkan sebagai pihak yang
bergantung pada struktur, lebih jelas lagi terlihat bagaimana individu
‘diharapkan’ untuk dapat beradaptasi dengan sistem dan struktur
sosial sehingga dapat tercipta equilibrium, dan hal ini jelas merujuk
pada suatu fungsi yang bersifat menifest atau diinginkan. Meskipun
demikian, Merton pun mengakui bahwa selalu ada individu yang
berada di luar struktur, baik karena faktor individu itu sendiri
maupun karena struktur tersebut menghendaki agar individu tersebut
berada dalam posisi itu (wikipedia, t.t.a). Dalam hal ini Merton
mengajukan adanya mode adaptasi berupa tipologi penyimpangan
(deviance typology), yakni conformity, innovation, ritualism, retreatism,
dan rebellion. Tentu saja hal ini bukan berarti Merton secara tegas
meyakini bahwa aktor dapat mengambilalih struktur, namun Merton
hanya memberikan gambaran mengenai derajat penyimpangan yang
15
terjadi, di mana conformity adalah yang paling sesuai atau yang paling
tidak menyimpang, sedangkan retreatism adalah yang paling tidak
diinginkan atau yang paling meyimpang. Dalam hal ini jelas Merton
meletakkan struktur di atas aktor, dan hal ini pun membawa implikasi
yang lebih jauh mengenai kedudukan ‘mind’.
Dalam kajian fungsionalisme-struktural, suatu ketertiban sosial
atau equilibrium dapat terjadi melalui dua hal utama: kontrol sosial
dan sosialisasi. Kedua tipe tersebut jelas menempatkan mind sebagai
bagian penting, di mana ide, gagasan, kesadaran, kebudayaan, sistem
nilai dan lainnya menjadi faktor utama yang menopang suatu sistem
sosial. Tentunya untuk menjaga suatu keseimbangan, maka setiap
individu harus menjadikan dirinya sebagai bagian yang memainkan
peran dan memiliki kedudukan di masyarakat, dan mereka harus
berperan dengan peranan yang sesuai sehingga keseimbangan dapat
terlaksana. Mereka pun diharapkan untuk mengetahui dengan benar
di mana kedudukan mereka, sehingga keseimbangan dapat terlaksana.
Tentu saja ‘mind’ lah yang menyebabkan dua hal ini dapat terjadi,
16
Upaya untuk menjelaskan apa itu masyarakat jelas
mengasumsikan masyarakat sebagai suatu bagian yang utuh, sebagai
suatu entitas yang tidak terpecah. Masyarakat adalah suatu entitas
yang didalamnya terdapat individu-individu yang saling berhubungan,
saling berhimpun, sesuai dengan peran dan status yang dimilikinya,
bersama seluruh individu-individu tersebut menciptakan suatu
keseimbangan dalam suatu sistem sosial. Individu dalam hal ini tidak
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, meskipun ruang
tersebut selalu ada dan individu-individu tersebut harus rela
dikategorikan sebagai penyimpang (deviant) dan/atau pemberontak
(rebellion).
17
dan metodelogi, dan teleologi dan tautologi (lihat Ritzer dan Goodman,
2007:144-147). Para pengguna teori ini pun sering di kritik sebagai
orang yang mengabaikan perubahan sosial dan konflik yang
berkembang di masyarakat (Ritzer, 2007:24), meskipun kritik ini
sudah banyak dijawab bahwa perkembangan fungsionalisme-
struktural pun sudah mempertimbangkan aspek fungsi dan disfungsi.
Barangkali berbagai kritik yang dilontarkan pun terkait erat dengan
tujuan khusus untuk menumbangkan dominasi teori ini, dengan
demikian, bahkan kritik pun tidak dapat melepaskan diri dari
kepentingan-kepentingan tertentu.
Salah satu bias dari kajian Merton yang cukup terlihat terletak
pada penekanannya atas berbagai fenomena sosial. Dalam berbagai
kajiannya, mengutip Sztompka (2003:30-31), bahwa gambaran Merton
mengenai dunia sosial ‘saturated by contradiction, strains, tensions,
ambivalence, dysfunctions, and conflict of all sorts’(penuh dengan
kontradiksi, ketegangan, tensi, ambivalensi,disfungsi, dan konflik).
Keadaan ini barangkali sangat dipengaruhi oleh kisah hidup Merton
yang penuh lika-liku. Sebagai seorang keturunan Yahudi yang
memulai karirnya dari bawah, Merton mengerti betul mengenai
keadaan di sekitarnya, dan hal ini rupanya terbawa dalam dirinya
sehingga karya-karyanya merupakan refleksi atas diri dan
kehidupannya.
*****
18
Sumber rujukan tambahan:
Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik.
Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat.
19