You are on page 1of 19

PENDAHULUAN

Salah satu paradigma sosiologi yang paling terkenal adalah


paradigama fakta sosial, di mana salah satu aliran dalam paradigma
ini adalah fungsionalisme-struktural. Rasanya tidak mungkin ketika
membicarakan soal model fungsionalisme-struktural kita melupakan
salah satu tokoh yang berpengaruh pada teori ini, yakni Robert K.
Merton. Dalam tulisan ini akan dibahas siapa sebenarnya Merton,
bagaimana pendapatnya mempengaruhi teori struktural-fungsional,
dan bagaimana argumentasinya telah mengubah wajah kajian sosiologi
selamanya.

SOSOK MERTON
Robert King Merton lahir di Philadelphia pada tahun 1910 dan
wafat pada tahun 2003. Dilahirkan dari kelas pekerja, Merton
merupakan imigran Yahudi Eropa Barat. Merton mendapatkan
pendidikan di South Philadelphia High School, dan mendapatkan
pengarahah serta memulai karir di bidang sosiologi di bawah asuhan
George E. Simpson di Temple University pada tahun 1927 hingga
1931, dan Pitirim A. Sorokin di Harvard University pada tahun 1931
hingga 1936. Meskipun dalam bidang akademik Merton banyak
menerima anugrah dari berbagai universitas di seluruh dunia, namun
karir percintaan Merton tidak lah semulus karir akademiknya. Merton
tercatat dua kali menikah dan memiliki tiga orang anak, salah satunya
adalah penerima Nobel di bidang Ekonomi, Robert C. Merton
(wikipedia, t.t.a).
Sewaktu kecil, Merton sering berkunjung ke Perpustakaan
Carnegie yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Intensitas
kedatangan Merton kecil ini lah yang menarik perhatian George E.
Simpson, dan kemudian menjadikan Merton sebagai asisten dalam

1
berbagai riset yang dilakukannya. Sorokin menjadi pendorong utama
bagi Merton untuk menyelesaikan studinya di Harvard, dan
menjadikan Merton sebagai asisten utama dalam pengajaran dan
penelitian. Tahun 1931, Merton lulus dari Temple College di
Philadelphia dan langsung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
studi di Harvard University. Tahun 1936, Merton mendapatkan gelar
doktor setelah mempertahankan desertasinya di bawah bimbingan
George Sarton dengan tema “Science, Technology, and Society in
Seventeenth-century England” (Sztompka, 2003:13).
Merton banyak mengeksplorasi berbagai isu pada sekitar tahun
1930-an. Pada era itu, Merton lebih banyak memfokuskan pada
konteks sosial dari sains dan teknologi, khususnya wilayah Inggris
pada abad ke-17 (Ritzer dan Goodman 2007). Bidang kajian Merton
semakin bertambah, di mana ia mulai mengeksplorasi berbagai tema
seperti perilaku menyimpang, perilaku birokrasi, dan kompleksitas
komunikasi pada masyarakat modern, dan semua itu ia laksanakan
pada tahun 1940-an. Pada dasawarsa selanjutnya, Merton
mengeksplorasi peran intelektual dalam birokrasi, unit dasar dari
struktur sosial, peran dan status, hingga model dasar yang diadopsi
oleh banyak orang sebagai sumber nilai dan basis untuk penilaian diri.
Kajian Merton mengenai hal-hal tersebut bukan lah sesuatu yang
mengherankan, mengingat ia hidup pada era di mana kajian
fungsionalis a la Parson sedang menjadi trend, meskipun pada era
1960-an kajian fungsionalisme telah kehilangan momentum yang
membuatnya happening pada masa lalu. Model-model fungsionalis-
struktural yang dinisbahkan kepada Parson boleh jadi mencapai masa
keemasan pada era Merton. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah fakta bahwa Merton dipengaruhi oleh Parson karena Merton
merupakan salah satu murid Parson. Memang benar bahwa Merton

2
tidak hanya dipengarhui oleh Parson, namun juga oleh P.A. Sorokin,
L.J Henderson, E.F Gay, dan George Simmel.
Karir akademik Merton dapat dikatakan sangat bagus. Dari
tahun 1936-1939 Merton menjadi pengajar di Harvard, tahun 1939-
1941 menduduki posisi professor di Tulane University di New Orleans.
Tahun 1941, Merton mengajar di Colombia University dan tetap berada
di sana selama 38 tahun. Setelah pensiun pada tahun 1979-1984,
Merton tetap aktif sebagai Special Service Proffessor, dan
mengundurkan diri dari kegiatan mengajar pada tahun 1984.
Sepanjang tahun itu hingga kematiannya tahun 2003, Merton lebih
memfokuskan pada kegiatan di luar mengajar, di samping adanya
fakta yang tidak dapat disangkal bahwa sepanjang hidupnya Merton
telah mendapatkan gelar doktor kehormatan lebih dari 20 universitas
di seluruh dunia.

HASIL KARYA MERTON


Merton cukup banyak menghasilkan karya tulis, baik dalam
bentuk yang ia tulis sendiri maupun yang ia edit dengan orang lain,
dan artikelnya yang tersebar di beberapa jurnal ilmiah. Di antara
karya Merton yang diterbitkan dalam bentuk buku adalah:
1. Science, Technology and Society in Seventeenth Century England.
OSIRIS: Studies on the History and Philosophy of Science and on
the History of Learning and Culture. Bruges, Belgium: St.
Catherine Press, 1938. [New York: Harper & Row, 1980; New
York: Howard Fertig, Inc., 1980, 2002]
2. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press,
1949, 1957, 1968.
3. Continuities in Social Research: Studies in the Scope and Method of
"The American Soldier" (edited with Paul F. Lazarsfeld). New York:
The Free Press., 1950. [New York: Arno Press, 1974]
4. Patterns of Social Life: Explorations in the Sociology of Housing
(with Patricia S. West and Marie Jahoda). New York: Columbia

3
University Bureau of Applied Social Research. Two Volumes.
Mimeographed, 1951.
5. Sociology Today: Problems and Prospects (edited with Leonard
Broom and Leonard S. Cottrell, Jr.). New York: Basic Books,
1959. [New York: Harper & Row, 1967]
6. On the Shoulders of Giants: A Shandean Postscript. New York: The
Free Press., 1965. [New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1967;
San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1985; Chicago: U
Chicago Press, 1993]
7. On Theoretical Sociology: Five Essays, Old and New. New York:
The Free Press, 1967.
8. The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations.
Edited by Norman Storer. Chicago: University of Chicago Press,
1973.
9. Sociological Ambivalence. New York: The Free Press, 1976.
10. The Sociology of Science: An Episodic Memoir. Carbondale:
University of Southern Illinois Press, 1979.
11. Sociological Traditions from Generation to Generation: Glimpses of
the American Experience (edited with Matilda White Riley).
Norwood, NJ: Ablex Publishing, 1980.
12. Continuities in Structural Inquiry (edited with Peter M. Blau).
London: Sage Publications, 1981.
13. Social Research and the Practicing Professions. Cambridge: Abt
Books, 1982.
14. The Travels and Adventures of Serendipity: A Study in Sociological
Semantics and the Sociology of Science (with Elinor Barber).
Bologna: II Mulino, 2002 (Italian).
Dalam makalah ini saya hanya memfokuskan pada buku “Social
Theory and Social Structure (1968)”. Buku ini saya pilih, meskipun
sangat klasik namun merupakan karya utama dari Merton. Di dalam
buku ini merton banyak mengekplorasi berbagai isu yang kemudian ia
kembangkan dalam tulisan-tulisan selanjutnya, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan kunci dalam memahami
pemikiran Merton. Sebagai catatan tambahan, mengingat banyak
sekali tulisan Merton yang tahun terbitnya antara di bawah tahun
1990an, maka sangat sulit mendapatkan tulisan-tulisan tersebut
dalam edisi aslinya, meskipun demikian, buku yang saya pegang dan

4
saya pergunakan dalam makalah ini adalah tulisan Merton sendiri,
bukan tulisan orang lain tentang pikiran Merton.

REALITAS SOSIAL YANG MELAHIRKAN TEORI


Kehidupan Merton berada pada sebagian besar sejarah Amerika
pada era awal abad 20, meskipun ia adalah seorang akademisi, namun
Merton pun bersentuhan dengan kegiatan ekonomi dan politik. Merton
merupakan contoh yang representatif dalam sejarah Amerika. Sebagai
orang yang memulai karirnya dari bawah, Merton merasakan betul
sulitnya menjadi orang yang paling bawah dalam struktur sosial.
Merton menyadari kebebasan di Amerika atas mobilitas dan
keterbukaan terhadap hal itu. Merton pun menyadari bahwa
kemungkinan mobilitas yang lebih bebas boleh jadi dipengaruhi oleh
demokrasi yang berkembang di masyarakat Amerika (lihat Wikipedia,
t.t.a). Merton pun pernah merasakan satu masa yang disebut sebagai
‘great depression’, sehingga memunculkan sensitivitas Merton atas isu-
isu sosial, diskriminasi rasial, kemiskinan, deviant dan anomie. Satu
hal yang tidak boleh dilupakan, pada saat Merton hidup penuh
pergolakan atas perlawanan terhadap Nazi yang dibawa oleh Hitler, di
mana Nazi secara brutal melakukan gonisida atas kaum Yahudi,
berkobarnya Perang Dunia II, hingga keruntuhan komunis di Soviet,
hal ini lah yang membuat Merton, mengutip Stzompka (2003:14)
“brought him to a strong condemnation of totalitarianism”.
Merton boleh jadi sangat dipengaruhi oleh kejadian di dunia
politik dan relevansi potensial dari ide-ide ilmiah dalam kehidupan, di
mana hal ini dapat dilihat dari tulisannya mengenai peran intelektuan
dalam birokrasi (terbit tahun 1945), tanggung jawab sosial pada ahli
teknologi (terbit tahun 1947), dan peran aplikasi ilmu sosial dalam
pengambilan kebijakan publik (terbit tahun 1949). Tentu saja kajian

5
teoritis Merton yang bersifat praktis dan aplikatif seperti
penyimpangan dan anomie, diskriminasi, pola-pola perkawinan,
‘mesin’ politik dan birokrasi. Namun pengaruh yang paling terlihat
terletak dalam lingkungan akademik yang ada di sekeliling Merton.
Kehadiran Merton dapat dikatakan bertepatan dengan kebangkitan era
renaisan sosiologi Amerika (Sztompka, 2003:14). Kehadiran Merton di
tengah diruk-pikuk perdebatan mengenai struktural-fungsional yang
dikemukakan oleh Parson, yang memunculkan pertentangan sekaligus
kritik dari banyak pihak. Hal ini rupanya turut menyeret Merton untuk
turut andil, di samping fakta bahwa Parson merupakan orang yang
berpengaruh besar dalam kehidupan Merton.

ALIRAN PEMIKIRAN DAN/ATAU TEORI YANG


MEMPENGARUHI
Satu hal yang setidaknya dapat dipastikan: Merton sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Parson mengenai struktural-fungsional.
Alih-alih memberikan pengaruh dengan hasil berupa dukungan,
Merton justru memberikan kritik atas orang yang pemikirannya
mempengaruhi dirinya. Tentu saja bukan hanya Parson yang
memberikan pengaruh pada Merton. Bagi Sztompka (2003),
sekurangnya terdapat lima orang yang berpanguh besar terhadap
corak pemikiran Merton, mereka adalah Durkheim, Marx, Simmel, dan
Weber. Selain keempat nama tersebut juga harus disebutkan Parson,
Sorokin, dan Sarton. Ketujuh nama ini memberikan andil yang cukup
besar terhadap pemikiran Merton meskipun dengan kadar yang
berbeda.
Barangkali Merton mendapatkan pengaruh yang cukup banyak
dari aliran empirisme, di mana hal ini dapat dilihat dari kritik yang
diajukan Merton terhadap tiga postulat dasar fungsionalisme pada

6
awal perkembangan karirnya. Merton menyatakan bahwa ketiga
postulat dasar itu tidak lebih dari imaji tingkat tinggi dari para pemikir
kawakan, nonempiris dan hanya berdasarkan sistem teoritis abstrak
(lihat Ritzer dan Goodman 2007). Model empirisme merupakan model
yang mendasarkan diri pada pengamatan dan bukan sekedar utak-atik
logika. Dalam kajian fungsionalisme-struktural misalnya, Merton
berpendapat bahwa setiap objek yang menjadi sasaran analisis kajian
memiliki pola dan berulang. Secara implisit Merton mengetengahkan
suatu gagasan bahwa fungsionalisme-struktural bukan lah sesuatu
yang kelewat abstrak sehingga tidak dapat dilihat melalui realitas
empiris (lihat Maliki 2003). Teori fungsionalisme-struktural yang
dikritisi oleh Merton mengalami banyak perombakan dan perubahan,
terutama dalam revisi postulat dasar (lihat Ritzer 2007).

MIDLLE RANGE THEORY


Merton mengajukan suatu argumentasi dasar bahwa suatu teori
harusnya tidak terlalu jauh dari bumi, dan sebagai jalan keluar atas
kesulitan teori fungsionalisme a la Parson, maka Merton
mengembangkan suatu pendekatan teori tangah atau midlle range
theory. Midlle range theory pada dasarnya berupaya untuk
menjembatani kesenjangan antara teori dan bukti empiris (wikipedia,
t.t.b). Tentu saja hal ini mudah di mengerti, mengingat Merton
mengkritisi para teoritis yang tidak memperhatikan bukti empiris, dan
para peneliti yang hanya mengumpulkan data berupa bukti empiris
tanpa memahami teori, midlle range theory dengan demikian
dimaksudkan sebagai jembatan bagi para teoritisi dan peneliti.
Salah satu aspek penting dari model teori fungsionalisme-
struktural a la Merton adalah pengaruh perbincangan yang hangat
mengenai integrasi dan disintegrasi. Sebagaimana diketahui, Merton

7
mengkritisi postulat dasar dari fungsionalisme yang berkembang
dalam studi antropologi (lihat Ritzer dan Goodman 2007), di mana
postulat ini berkeyakinan bahwa praktik kultural yang baku memiliki
fungsi atau fungsional bagi masyarakat sebagai suatu kesatuan.
Postulat lainnya yang juga dikritik oleh Merton adalah pandangan
universalisme fungsional dan juga indespensability. Merton misalnya,
memandang bahwa generalisasi mengenai kesatuan masyarakat hanya
dapat terjadi dalam masyarakat dengan skala kecil, di mana
generalisasi tersebut tidak dapat diterapkan pada masyarakat dengan
struktur yang heterogen dan kompleks.
Di satu sisi, model fungsionalisme-struktural banyak
memperbincangkan betapa fungsionalisme membentuk suatu integrasi
sosial di masyarakat, namun di sisi yang lain, model yang
dikembangkan oleh Merton juga banyak memberikan porsi bagi
berkembangnya disintegrasi dalam masyarakat. Merton memberikan
porsi yang cukup berimbang mengenai studi integrasi dan disintegrasi,
meskipun pusat kajian yang dilakukan oleh Merton lebih bertendensi
pada kajian integrasi sosial. Merton dalam beberapa kesempatan
selalu menegaskan bahwa yang menjadi pusat studi fungsionalisme-
struktural seperti pola sosial, peran sosial, pola institusional, norma
sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, dan lain-lain (lihat Merton
1968).

KEYWORD DAN PROPOSISI


Merton cukup banyak mengeluarkan argumentasi teoritis,
namun setidaknya terdapat dua pokok pikiran Merton yang sangat
terkenal, yakni analisis fungsional dan perilaku menyimpang –
termasuk di dalamnya adalah anomie. Pembahasan kali ini hanya
difokuskan pada anomie dan deviant, di mana penulis akan mencoba

8
memberikan gambaran mengenai devian dan anomie dalam kerangka
struktural fungsional. Rasanya mustahil untuk membicarakan Merton
tanpa menyinggung sebuah konsep dia yang paling terkenal, yakni
mengenai anomie dan deviant behavior. Pembahasan deviant behavior
memang telah dilakukan jauh sebelum Merton, seperti yang dilakukan
oleh Durkheim mengenai suicide dan peran institusi dalam
meningkatkan kasus suicide. Dalam banyak pembahasan, Merton
selalu mengatakan bahwa teori yang ia kembangkan adalah midlle-
range theory, bukan teori yang besar yang sulit untuk dilihat dalam
realitas yang sebenarnya. Secara sederhana, konsep Merton mengenai
deviant behavior atau perilaku menyimpang dapat dirumuskan dengan
bagan berikut:

Disintegrasi Anomie Deviant Behavior

Dalam konsepsinya mengenai perilaku menyimpang (deviant


behavior), Merton berpendapat bahwa ‘perilaku menyimpang’ pada
dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk bertindak sesuai
dengan nilai normatif. Perilaku menyimpang adalah kecenderungan
dari adanya ‘anomie’ dalam masyarakat. Anomie terjadi bila ada
keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan
kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk
bertindak sesuai dengan nilai kultural, atau dalam bahasa yang lebih
sederhana, anomie terjadi karena posisi seseorang dalam struktur
sosial masyarakat tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai
normatif, di mana kultur menghendaki tipe perilaku tertentu yang
justru dicegah oleh struktur sosial.

9
Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie.
Merton mendefinisikan kultur sebagai “organized set of normative
values governing behavior which is common to members of a designated
society or group” (seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat). Sedangkan
struktur merupakan “organized set of social relationship in which
members of the society or group are variously implicated” (seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan anggota
masyarakat terlibat didalamnya) (hlm.216). Anomie dijelaskan oleh
Merton sebagai:
“a breakdown in the cultural structure, occuring particularly
when there is an acute disjunction between the cultural norms
and goals and the socially structured capacities of members of
the group to act in accord with them” (sebuah kerusakan
dalam struktur kultur yang terjadi jika ada suatu
keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan
dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota
kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai (kultural)
tersebut) (Merton, 1968:216).

Hal ini lah yang membuat Merton berbeda dengan para


pendahulunya. Dalam mengkaji proses integrasi dan disintegrasi
misalnya, Merton percaya bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat
tidaklah sama secara kualitas maupun kuantitas, dengan demikian,
integrasi tidaklah baku secara universal (lihat Maliki 2003). Dalam
pandangan Merton, integrasi tidak hanya membawa motif yang
dimaksudkan (intended motif) atau lebih dikenal sebagai fungsi
manifest, namun juga membawa motif yang tidak dimaksudkan
(unintended motif) atau fungsi laten. Dengan demikian, integrasi juga
memberikan sedikit-banyak pengaruh terhadap terjadinya disintegrasi,
di mana disintegrasi ini dapat membawa pada terjadinya anomie yang
berujung pada terjadinya perilaku menyimpang.

10
Sebenarnya penjelasan Merton mengenai fungsi manifest dan
fungsi laten cukup membingungkan. Barangkali benar bahwa
anggapan bahwa masyarakat terintegrasi secara penuh – dalam teori
makro a la Parson – cuma sekedar mimpi, toh tidak terbukti bahwa
ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, bahkan dalam
masyarakat Amerika sekalipun. Karenanya Merton pun
memperkenalkan satu bentuk lain selain fungsional, yakni
disfungsional. Buku Merton yang berjudul ‘Social Theory and Social
Structure’ membicarakan cukup banyak hal, namun Merton
memfokuskan pada disfungsi, fungsi manifest dan laten, serta anomie.
Sepintas ketiga hal ini terlihat terpisah, namun sesungguhnya
terdapat benang merah antara ketiganya. Pada halaman 105 misalnya,
Merton menjelaskan fungsi, disfungsi, dan non-fungsi:

“Function are those observed consequences which make for


the adaptation or adjustment of a given system; and
disfunction, those observed consequences which lessen the
adaptation or adjustment of the system. There is also the
empirical possibility of non-functional consequences.” (fungsi
adalah seluruh konsekuensi yang terlihat yang berguna
(menambah) bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang
telah ada; dan disfungsi merupakan konsekuensi yang
terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dari
satu sistem. Terdapat juga kemungkinan empiris dari
konsekuensi non fungsi).

Dalam hal ini lah Merton mencoba untuk melakukan revisi


mengenai fungsi atau pemikiran fungsionalisme awal. Merton meyakini
bahwa struktur atau institusi tidak hanya menyumbangkan
pemeliharan bagian dari sistem sosial, namun struktur atau institusi
pun dapat menyumbangkan akibat negatif bagi sistem sosial, dan hal
ini lah yang dinamakan oleh Merton sebagai disfungsional. Dalam
pandangan Merton, sebuah struktur sosial atau pranata sosial

11
memiliki fungsi positif terhadap suatu unit sosial tertentu, namun juga
memiliki fungsi negatif terhadap suatu unit sosial yang lain, dan hal ini
disebutnya sebagai disfungsi. Dengan demikian, mau tidak mau, kita
akan berbicara tentang satu konsep lain dari Merton, yakni dikotomi
fungsi itu sendiri. Merton juga membedakan antara fungsi manifest
dan fungsi laten terkait dengan tingkatan analisis fungsional. Merton
mendefinisikan fungsi manifest dan fungsi laten (hlm. 105) sebagai:

“Manifest function are those objective consequences


contributing to the adjustment or adaptation of the system
which are intended and recognized by participants in the
system....Laten function, corraelatively, being those which are
neither intended nor recognized.” (manifest fungsi adalah
seluruh konsekuensi objektif yang berpengaruh pada
pengaturan atau adaptasi dari sistem yang diinginkan dan
diakui oleh seluruh bagian dari sistem....fungsi laten, secara
korelatif, merupakan hal yang tidak diinginkan dan diakui)

Dalam hal ini Merton membedakan antara fungsi manifest yang


merupakan konsekuensi objektif yang memiliki peran terhadap
adaptasi dari sistem, yang tentunya diinginkan dan diakui oleh sistem
tersebut; sedangkan fungsi laten merupakan kebalikan dari hal
tersebut, yakni yang tidak diinginkan maupun diakui. Soekanto
(1989:39) membagi konsekuensi yang tidak dikehendaki dalam tiga
cakupan, yakni:
1. konsekuensi yang fungsional bagi suatu sistem, yang
menjadi bagian dari fungsi laten;
2. konsekuensi yang disfungsional bagi suatu sistem, yang
menjadi bagian fungsi laten; dan
3. konsekuensi yang tidak relevan bagi suatu sistem, oleh
karena tidak berpengaruh secara fungsional maupun
disfungsional.

12
Dalam kasus integrasi misalnya, kajian fungsionalisme-
struktural mengasumsikan semua individu dapat terintgrasi, namun
realitas yang ada justru sebaliknya. Selalu ada individu yang tidak
dapat berintegrasi, di mana mereka, dalam pandangan masyarakat
secara umum adalah anomie, suatu kondisi yang berujung pada
perilaku menyimpang. Disintegrasi ini boleh jadi dikatakan sebagai
suatu kondisi yang disfungsional atau merupakan fungsi laten. Secara
lebih umum, pandangan Merton mengenai deviant terlihat dalam
gambar di bawah ini:

Conformity Innovation

Ritualism Retreatism

Sumber: wikipedia (t.t.a)


Rebellion

Secara sederhana, ‘conformity’ adalah tercapainya tujuan-tujuan


masyarakat dengan cara-cara yang disetujui oleh masyarakat,
‘innovation’ adalah tercapainya tujuan-tujuan dalam masyarakat
dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Kebalikan dengan dua hal
tersebut adalah ‘ritualism’ yang dapat diartikan sebagai cara-cara yang
diterima namun mengorbankan tujuan-tujuan, dan ‘retreatism’ yang

13
dapat diartikan sebagai penolakan terhadap cara-cara yang digunakan
maupun tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Di luar keempat hal itu,
masih terdapat satu point lagi, yakni ‘rebellion’ yang merupakan dua
sisi, satu sisi terkadang menolak baik tujuan maupun cara dengan
menciptakan tujuan dan cara yang baru, dan di sisi yang lain kadang
menerima antara tujuan dan cara (Merton, 1968:230-246). Kelima hal
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Tujuan Masyarakat Cara yang
(Societal Goals) digunakan
(Societal Means)
Conformity + +
Innovation + -
Ritualism - +
Retreatism - -
Rebellion ± ±

STRUKTUR VS. AKTOR, BODY VS. MIND, REALITAS SOSIAL,


DAN ASUMSI MENGENAI INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Kajian yang dilakukan oleh Merton jelas merupakan kajian yang
berparadigma fakta sosial. Berbagai kajian Merton seperti peranan
sosial, pengendalian sosial, organisasi kelompok dan sebagainya
merupakan kajian sosiologis mengenai fakta sosial, di mana hampir
seluruh seluruh orang yang mengikuti teori ini cenderung
memperhatikan fungsi dari suatu fakta sosial terhadap fakta sosial
lainnya (Ritzer, 2007:22). Sebagai suatu realitas sosial, fakta sosial
menjadi bagian integral dalam berbagai kajian yang dilakukan oleh
Merton, di mana Merton mencoba untuk memberikan penjelasan (to
explain) mengenai berbagai peristiwa.
Terkait dengan fakta sosial sebagai realitas sosial, maka fakta
sosial jelas mengkaji mengenai sesuatu yang bersifat objektif dan

14
empirik, dengan demikian, teori fungsionalisme-struktural menjadikan
aktor bergantung pada struktur atau deterministik. Dalam berbagai
kajian Merton, sangat jelas terlihat bahwa Merton menjadikan struktur
sebagai bagian integral, di mana struktur akan mempengarhuhi aktir
untuk beradaptasi dengan struktur tersebut. Struktur yang
deterministik jelas menjadikan aktor tidak memiliki kebebasan
sebagaimana yang diinginkan oleh teori-teori yang bersifat
voluntaristik. Dalam dikotomi ‘body’ versus ‘mind’, maka jelas bahwa
teori fungsionalisme-struktural berada pada sisi ‘mind’. ‘mind’
menjadikan pikiran, gagasan, kesadaran, dan kebudayaan menjadi
bagian integral dari suatu sistem sosial. Dalam pandangan ini, bukan
‘body’ atau materi yang menjadi fokus kajian, namun justru ‘mind’ lah
yang dijadikan fokus.
Dalam kajian Merton mengenai fungsi dan disfungsi misalnya,
terlihat betapa Merton menjadikan struktur sebagai acuan utama, di
mana masyarakat sebagai aktor diletakkan sebagai pihak yang
bergantung pada struktur, lebih jelas lagi terlihat bagaimana individu
‘diharapkan’ untuk dapat beradaptasi dengan sistem dan struktur
sosial sehingga dapat tercipta equilibrium, dan hal ini jelas merujuk
pada suatu fungsi yang bersifat menifest atau diinginkan. Meskipun
demikian, Merton pun mengakui bahwa selalu ada individu yang
berada di luar struktur, baik karena faktor individu itu sendiri
maupun karena struktur tersebut menghendaki agar individu tersebut
berada dalam posisi itu (wikipedia, t.t.a). Dalam hal ini Merton
mengajukan adanya mode adaptasi berupa tipologi penyimpangan
(deviance typology), yakni conformity, innovation, ritualism, retreatism,
dan rebellion. Tentu saja hal ini bukan berarti Merton secara tegas
meyakini bahwa aktor dapat mengambilalih struktur, namun Merton
hanya memberikan gambaran mengenai derajat penyimpangan yang

15
terjadi, di mana conformity adalah yang paling sesuai atau yang paling
tidak menyimpang, sedangkan retreatism adalah yang paling tidak
diinginkan atau yang paling meyimpang. Dalam hal ini jelas Merton
meletakkan struktur di atas aktor, dan hal ini pun membawa implikasi
yang lebih jauh mengenai kedudukan ‘mind’.
Dalam kajian fungsionalisme-struktural, suatu ketertiban sosial
atau equilibrium dapat terjadi melalui dua hal utama: kontrol sosial
dan sosialisasi. Kedua tipe tersebut jelas menempatkan mind sebagai
bagian penting, di mana ide, gagasan, kesadaran, kebudayaan, sistem
nilai dan lainnya menjadi faktor utama yang menopang suatu sistem
sosial. Tentunya untuk menjaga suatu keseimbangan, maka setiap
individu harus menjadikan dirinya sebagai bagian yang memainkan
peran dan memiliki kedudukan di masyarakat, dan mereka harus
berperan dengan peranan yang sesuai sehingga keseimbangan dapat
terlaksana. Mereka pun diharapkan untuk mengetahui dengan benar
di mana kedudukan mereka, sehingga keseimbangan dapat terlaksana.
Tentu saja ‘mind’ lah yang menyebabkan dua hal ini dapat terjadi,

Berbagai kajian fungsionalisme-struktural pada umumnya


mengambil cakupan secara luas atau makro, di mana cakupan ini
dapat berupa masyarakat secara keseluruhan atau pun bagian dalam
masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Merton
mengkritisi para teoritisi yang menggunakan model fungsionalisme-
struktural yang mengambil fokus kajian secara makro yang terlalu
luas, namun tidak berarti Merton tidak melakukan kajian secara
makro, meskipun makna definitif makro pun sangat relatif. Kajian
yang mengambil paradigma positivis, atau dalam hal ini fakta sosial
acapkali menggunakan kajian yang bersifat makro untuk menjelaskan
apa itu masyarakat.

16
Upaya untuk menjelaskan apa itu masyarakat jelas
mengasumsikan masyarakat sebagai suatu bagian yang utuh, sebagai
suatu entitas yang tidak terpecah. Masyarakat adalah suatu entitas
yang didalamnya terdapat individu-individu yang saling berhubungan,
saling berhimpun, sesuai dengan peran dan status yang dimilikinya,
bersama seluruh individu-individu tersebut menciptakan suatu
keseimbangan dalam suatu sistem sosial. Individu dalam hal ini tidak
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, meskipun ruang
tersebut selalu ada dan individu-individu tersebut harus rela
dikategorikan sebagai penyimpang (deviant) dan/atau pemberontak
(rebellion).

METODOLOGI DAN BIAS

Sebagai suatu teori yang berpijak pada suatu paradigma


positivis, di mana realitas sosial yang diacu adalah fakta sosial,
terlebih dengan ruang lingkup yang bersifat makro, maka jelas bahwa
pilihan metodologinya adalah model kuantitatif. Pada hakekatnya,
penggunaan data kuantitatif berkisar pada masalah pengukuran atau
dalam hal ini adalah jumlah atau kuantitas. Penelitian kuantitatif
mempergunakan masyarakat sebagai suatu populasi untuk mengambil
sampel. Penelitian ini pun seringkali disebut sebagai penelitian survei
atau merupakan studi terhadap sampel untuk menggambarkan dan
menjelaskan populasi.

Sebagai suatu teori, sangat disadari betapa teori tersebut tidak


lah bebas nilai sebagaimana yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa
selalu ada kepentingan terhadap penggunaan suatu teori dan kritik
atas teori tersebut. Sekurangnya terdapat tiga kritik utama terhadap
teori fungsionalisme-struktural, yakni kritik substantif, kritik logika

17
dan metodelogi, dan teleologi dan tautologi (lihat Ritzer dan Goodman,
2007:144-147). Para pengguna teori ini pun sering di kritik sebagai
orang yang mengabaikan perubahan sosial dan konflik yang
berkembang di masyarakat (Ritzer, 2007:24), meskipun kritik ini
sudah banyak dijawab bahwa perkembangan fungsionalisme-
struktural pun sudah mempertimbangkan aspek fungsi dan disfungsi.
Barangkali berbagai kritik yang dilontarkan pun terkait erat dengan
tujuan khusus untuk menumbangkan dominasi teori ini, dengan
demikian, bahkan kritik pun tidak dapat melepaskan diri dari
kepentingan-kepentingan tertentu.

Salah satu bias dari kajian Merton yang cukup terlihat terletak
pada penekanannya atas berbagai fenomena sosial. Dalam berbagai
kajiannya, mengutip Sztompka (2003:30-31), bahwa gambaran Merton
mengenai dunia sosial ‘saturated by contradiction, strains, tensions,
ambivalence, dysfunctions, and conflict of all sorts’(penuh dengan
kontradiksi, ketegangan, tensi, ambivalensi,disfungsi, dan konflik).
Keadaan ini barangkali sangat dipengaruhi oleh kisah hidup Merton
yang penuh lika-liku. Sebagai seorang keturunan Yahudi yang
memulai karirnya dari bawah, Merton mengerti betul mengenai
keadaan di sekitarnya, dan hal ini rupanya terbawa dalam dirinya
sehingga karya-karyanya merupakan refleksi atas diri dan
kehidupannya.

*****

Sumber rujukan utama:


Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York:
The Free Press.

18
Sumber rujukan tambahan:
Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik.
Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat.

Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.


Edisi pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern.


Edisi keenam. Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono. 1989. Robert K. Merton, Analisa Fungsional; Seri


Pengenalan Sosiologi 10. Cetakan pertama. Jakarta: Rajawali

Sztompka, Piotr. 2003. “Robert K. Merton” dalam George Ritzer (ed.)


The Blackwell Companion to Major Contemporary Social Theorists.
Malden, MA: Blackwell Publishing. Hlm. 12-33

Wikipedia, t.t.a. “Robert K. Merton” dalam


http://en.wikipedia.org/wiki/Robert_k

________, t.t.b. “Midlle range theory (sociology)” dalam


http://en.wikipedia.org/wiki/Midlle_range_theory_(sociology)

19

You might also like