You are on page 1of 37

1 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi

Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


2 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Sejak masa kanak-kanak manusia telah mengalami suatu proses


enkulturasi, proses ini dimulai segera setelah kelahiran dan terus berlanjut
hingga meninggal (Haviland, 2002:398-399). Enkulturasi merupakan
proses penerusan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
dimana dalam prosesnya, enkulturasi dilakukan dengan berbagai medium,
namun medium yang paling efektif adalah pendidikan. Pendidikan
merupakan medium yang paling tepat dalam mempertahankan sekaligus
mengembangkan kebudayaan yang di miliki oleh manusia, tidak
mengherankan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting dan
menjadi fokus utama dalam kehidupan manusia demi memajukan
kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang tentunya
sejalan dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat tersebut.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan


utama, sebelum anak mendapat pendidikan di lembaga lain. Keberhasilan
seorang anak dalam hubungan sosialnya tergantung perlakuan orang tua
dalam mengasuh anak-anaknya. Pada umumnya perlakuan tersebut di
wujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, dan
membimbing anak. Setelah melalui proses pendidikan non-formal melalui
institusi keluarga, tugas pendidikan perlahan beralih pada institusi-institusi
resmi, dan anak perlahan di perkenalkan pada suatu model pengajaran
yang baku dan formal.

Seorang anak, sejak usia pra sekolah dapat di katakan telah


menjalani suatu proses enkulturasi, dan proses ini terus berlanjut ketika
anak tersebut menginjak usia sekolah. Permasalahan kemudian muncul,
manakala dalam kedua proses ini terjadi suatu pembentukan kepribadian

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


3 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

anak yang dilakukan dalam proses pembakuan peran, terutama peran


gender, dan hal ini lah yang di coba untuk dilihat dalam penelitian kali ini.

Bagi buruh pemetik teh yang bekerja di perkebunan teh,


pengasuhan anak menjadi suatu persoalan tersendiri. Para pemetik teh
memiliki ritme bekerja yang berbeda, dimana mereka telah meninggalkan
rumah untuk bekerja pada pagi hari dan kembali ke rumah pada siang
hari, bahkan sore hari. Hal ini lah yang menyebabkan proses pengasuhan
dan pendidikan anak bagi para buruh pemetik teh menjadi menarik untuk
dikaji lebih lanjut.

I.2. Perumusan Penelitian

Dari dasar uraian yang terdapat pada Latar Belakang Masalah,


maka permasalahan yang hendak di telusuri adalah: (1) Bagaimana
proses pengasuhan anak pada keluarga buruh pemetik teh yang bekerja
di perkebunan teh; dan (2) Bagaimana sosialisasi peran gender dalam
keluarga pemetik teh.

I.3. Kerangka Pemikiran

Pikiran anda lah yang membentuk kepribadian anda. Meski pun


sifat seperti introversi dan ekstroversi telah mulai terbentuk ketika lahir,
banyak aspek lain dari kepribadian dibentuk oleh apa yang terjadi di awal
tahun-tahun kehidupan. Selama kanak-kanak, orang tua dapat
mempengaruhi perkembangan fisik otak bayinya, dengan cara bermain
dan mengajar anak-anaknya. Masa kanak-kanak adalah fase penting
dalam perkembangan kepribadian, dan kenapa pengalaman kecil penting
bagi kepribadian kelak adalah karena apa yang terjadi pada otak manusia.
Setiap otak anak tumbuh dengan cara yang sangat mengagumkan, dan
hal ini berlangsung pada tingkatan yang amat kecil (Sherwood, 2001).

Ki Hajar Dewantara memiliki keyakinan bahwa pendidikan bagi


bangsa Indonesia harus dilakukan melalui tiga lingkungan yaitu: keluarga,
sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


4 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pertama dan terpenting, karena sejak munculnya adab kemanusiaan


sampai sekarang keluarga selalu berpengaruh besar terhadap
perkembangan anak manusia (Tilaar, 2005). Orang tua memiliki peran
penting dalam proses pendidikan, di antara peran yang di emban adalah:
memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar seperti
agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman,
dasar-dasar untuk mematuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaan-
kebiasaan.

Peralihan bentuk pendidikan informal keluarga ke formal sekolah


memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap
anak terhadap sekolah terutama akan di pengaruhi oleh sikap orang tua
mereka. Sehingga di perlukan kepercayaan orang tua terhadap sekolah
yang menggantikan tugasnya selama di sekolah. Orang tua harus
memperhatikan sekolah anaknya dengan memperhatikan pengalaman-
pengalamannya dan menghargai usaha-usahanya, menunjukkan
kerjasamanya dalam cara anak belajar di rumah dan atau membuat
pekerjaan rumahnya.

Peranan orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar


pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi
pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar
untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasan-
kebiasan. Selain itu peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan
tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Dengan kata
lain, ada kontinuitas antara materi yang diajarkan di rumah dan materi
yang diajarkan di sekolah.

Pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak telah di


sadari oleh banyak fihak, kebijakan manajemen berbasis sekolah (MBS)
dalam reformasi pendidikan pun menempatkan peranan orang tua
sebagai salah satu dari 3 pilar keberhasilannya (Tilaar 2005). Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa bila orang tua berperan dalam

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


5 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pendidikan, anaknya menunjukkan peningkatan prestasi belajarnya, di


ikuti dengan perbaikan sikap, stabilitas sosio-emosional, kedisiplinan,
serta aspirasi anaknya untuk belajar sampai di Perguruan Tinggi, bahkan
setelah bekerja dan berkeluarga.

Peran orang tua jelas tidak tergantikan, terutama dalam proses


pengasuhan dan pendidikan anak. Dengan demikian, keberadaan orang
tua dalam proses-proses tersebut mutlak di perlukan. Meskipun terdapat
suatu institusi resmi berupa lembaga pendidikan formal, namun
pengalihan tugas pengasuhan dan pendidikan anak tetap tidak dapat di
serahkan sepenuhnya pada lembaga-lembaga tersebut.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bertipe


deskriptif, metode penelitian kualitatif secara sederhana bermaksud
mengembangkan pengertian tentang individu dan berbagai kejadian
dengan memperhitungkan konteks yang relevan, dan bertujuan
memahami fenomena sosial melalui gambaran holistik dan
memperbanyak pemahaman mendalam.

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Ketindan, Kecamatan


Lawang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Desa Ketindan dan
Desa Toyomerto, Kecamatan Singosari adalah dua desa tempat dimana
mayoritas penduduknya bekerja di PTPN XII, Desa Wonosari, Kecamatan
Lawang, Kabupaten Malang. Pengambilan lokasi di Desa Ketindan
berdasarkan dua alasan: (1) desa ini relatif dekat dengan perkebunan teh
ketimbang desa Toyomerto, dan (2) pengambilan sampel di desa ini kami
anggap sudah mewakili desa lainnya, terutama dengan topik yang kami
ambil mengenai pola pengasuhan anak dan sosialisasi peran gender.

Data penelitian ini di ambil dengan menggunakan teknik observasi,


teknik observasi atau pengamatan bertujuan melihat perilaku nyata atau
faktual dan keadaan lingkungan serta benda-benda fisik. Selain itu,

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


6 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pengamatan dalam penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan


menggambarkan suasana di lokasi penelitian serta berbagai kegiatan dan
aktivitas yang terjadi di tempat tersebut secara langsung. Sesuai dengan
fokus penelitian yang telah di tetapkan sebelumnya, maka kami akan
mengkhususkan diri mengamati berbagai fenomena sosial yang berkaitan
dengan masalah gender.

Selain menggunakan observasi, kami juga menggunakan teknik


wawancara tak terstruktur namun berfokus; dimana kami telah
menetapkan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan di ajukan.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan metode riwayat hidup (life
history) melalui teknik wawancara mendalam (indepth interview),
dilakukan beberapa kali agar mendapatkan gambaran yang lengkap dan
utuh tentang kehidupan para pemetik teh, bagaimana pola pengasuhan
anak dan sosialisasi peran gender pada keluarga buruh pemetik teh.
Wawancara dilakukan dengan aparat desa mengenai kehidupan sehari-
hari para buruh pemetik teh; wawancara juga dilakukan dengan keluarga
buruh pemetik teh yang tidak bekerja di perkebunan. Bagi para buruh
pemetik teh, wawancara dilakukan pada sore hari ketika mereka sedang
berada di rumah untuk beristirahat.

Teknik analisa data tidak dimaksudkan untuk membuat atau


membuktikan hipotesis yang telah di rumuskan sebelum penelitian di
adakan, analisis ini merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan
bagian-bagian yang telah di kumpulkan, kemudian di kelompok-
kelompokkan berdasarkan klasifikasi yang telah kami tentukan
sebelumnya. Penelitian ini bersifat kualitatif; oleh karena itu, penelitian ini
sangat bergantung pada kemampuan wawancara, observasi, dan
interpretasi peneliti. Analisis yang digunakan pun merupakan analisis data
kualitatif model etnografi, yakni model penelitian yang terkait dengan
sosiokultural dan penyajian berbagai pandangan hidup subyek penelitian
yang menjadi obyek penelitian.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


7 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Analisis data penelitian ini berkaitan langsung dengan data yang


peneliti dapatkan; dengan demikian, seluruh analisis harus berdasarkan
pada data yang ada bukan pada berbagai ide yang telah di tetapkan oleh
peneliti sebelumnya. Konsekuensinya adalah, hasil yang di peroleh
sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan data yang baru masuk atau
yang baru peneliti dapatkan. Berbagai data yang masuk, baik dari
observasi dan wawancara disusun dalam kategori-kategori tertentu, dan
mengacu pada pokok-pokok penelitian yang telah di tetapkan
sebelumnya. Pembagian dalam kategori ini bertujuan untuk memudahkan
peneliti dalam melihat dan menginterpretasi data.

Dalam melakukan analisis, peneliti melakukan interpretasi berupa


pemberian makna terhadap fakta sosial yang ada melalui keterkaitan
antara berbagai fenomena, dan melihat data yang di dapat sesuai dengan
konteks aslinya. Melalui usaha ini di harapkan bahwa kehidupan buruh
pemetik teh dan bagaimana pola pengasuhan anak mereka dapat di
deskripsikan secara jelas sehingga kualitas penelitian di harapkan dapat
mendekati realitas.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


8 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

BAB II

DESKRIPSI LOKASI

II.1. Selayang Pandang Kecamatan Lawang

Kabupaten Malang adalah salah satu Kabupaten di Indonesia yang


terletak di Propinsi Jawa Timur dan merupakan Kabupaten yang terluas
wilayahnya dari 37 Kabupaten/Kotamadya yang ada di Jawa Timur. Hal ini
di dukung dengan luas wilayahnya 3.348 km² atau setara dengan 334.800
ha dan jumlah penduduknya 2.346.710 (terbesar kedua setelah
Kotamadya Surabaya). Kabupaten Malang juga di kenal sebagai daerah
yang kaya akan potensi di antaranya dari pertanian, perkebunan, tanaman
obat keluarga dan lain sebagainya.

Kabupaten Malang berbatasan langsung dengan Kabupaten


Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto di sebelah utara; Kabupaten
Probolinggo dan Kabupaten Lumajang di sebelah timur; Kabupaten Blitar
dan Kabupaten Kediri di sebelah barat; dan Samudra Indonesia di sebelah
selatan. Selain itu, secara geologi, Kabupaten di pagari oleh gunung
Anjasmoro dan gunung Arjuno di bagian utara; gunung Bromo dan gunung
Semeru di bagian timur; gunung Kelud di bagian barat; dan pegunungan
kapur serta gunung Kawi di bagian selatan. Banyaknya pegunungan yang
memagari Kabupaten Lawang menjadikan kabupaten ini cukup subur,
meskipun di sebelah selatan kabupaten relatif kurang subur jika di
bandingkan dengan sebelah utara. Masyarakat yang tinggal di Kabupaten
Malang umumnya bertani, terutama yang tinggal di wilayah pedesaan.
Sebagian lainnya telah berkembang sebagai masyarakat industri.

Secara umum, Kabupaten Malang memiliki 33 kecamatan, namun


yang menjadi fokus kali ini adalah Kecamatan Lawang. Kecamatan
Lawang adalah salah satu kecamatan yang berada di daerah perbatasan
Malang-Pasuruan. Kecamatan ini menjadi kecamatan yang pasti di lalui

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


9 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

oleh orang-orang yang ingin ke Malang atau ke Pasuruan. Selain itu, di


Kecamatan ini juga terdapat Perusahaan Teh dan Perkebunan Nusantara
XII atau biasa di singkat dengan PTPN Rolas.

Kecamatan Lawang memiliki jumlah penduduk sebanyak 90.468


jiwa pada tahun 2000, lebih lengkapnya dapat di lihat pada Tabel 1. di
bawah ini:

Tabel 1. Penduduk Kecamatan Lawang Tahun 2000

Penduduk Rata-rata
Rasio
Rumah anggota
Kecamatan jenis
tangga Laki-laki Perempuan Jumlah rumah
kelamin
tangga
Lawang 22.459 45.102 45.366 90.468 99,42 4,0
Sumber: (www.kabmalang.go.id)

Pada tahun 2004, terjadi penurunan jumlah penduduk, semula


berjumlah 90,468 jiwa, maka pada tahun 2004 penduduk Kecamatan
Lawang berkurang menjadi 86.757 jiwa, lebih lengkapnya dapat di lihat
pada Tabel 2. berikut ini:

Tabel 2. Penduduk Kecamatan Lawang Tahun 2004

Penduduk Rata-rata
Rasio
Rumah anggota
Kecamatan jenis
tangga Laki-laki Perempuan Jumlah rumah
kelamin
tangga
Lawang 22.952 42.838 43.919 86.757 97,54 3,8
Sumber: (www.kabmalang.go.id)

Kecamatan Lawang memiliki luas wilayah sebesar 68,23 km2,


dengan kepadatan penduduk 1.272 per-km2. Adapun data lebih lengkap
mengenai kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini:

Tabel 3. Persentase luas daerah dan penduduk tahun 2004

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


10 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Kepadatan % terhadap kabupaten


Kecamatan Luas (km2) Penduduk
penduduk Luas (km2) Penduduk
Lawang 68,23 86.757 1.272 2,29 3,78
Sumber: (www.kabmalang.go.id)

II.2. Agro Wisata Kebun Teh

Lokasi Agro Wisata Kebun Teh Wonosari terletak +30 km arah


utara kota Malang dan dari Kecamatan Lawang tepatnya di kaki Gunung
Arjuno. Tampak dari kejauhan hamparan pepohonan dengan daun-
daunnya yang hijau, kicau burung menambah semaraknya perbincangan
dengan gelak tawa pemetik daun teh. Sekilas tentang Agro Wisata Kebun
Teh Wonosari yang terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari dan
desa Wonorejo, Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Objek Wisata ini
menawarkan suasana pegunungan yang sejuk dan panorama keindahan
alam salah satu atraksi wisata untuk menambah wawasan pengetahuan,
yakni pemetikan daun teh sampai proses akhir hingga produk berada di
tangan konsumen.

PTPN XII atau biasa di kenal dengan PTPN Rolas merupakan


salah satu daerah tujuan wisata yang berada di Kabupaten Malang. Selain
Agro Wisata Teh Wonosari, masih terdapat berbagai objek wisata lain,
sebut saja Desa Wisata Poncokusumo, Pantai Ngliyep, Pantai
Sendangbiru dan lain-lain. Dapat di katakan bahwa PTPN Rolas adalah
objek wisata yang menyerap tenaga kerja paling besar, mulai tenaga kerja
yang bertugas untuk operasionalisasi pabrik teh hingga para buruh
pemetik teh.

Setidaknya terdapat dua kategori buruh pemetik teh, yakni buruh


tetap dan buruh honorer atau musiman. Buruh tetap adalah buruh yang di
pekerjakan di perkebunan tanpa melihat musim, apakah itu musim
kemarau atau musim hujan. Sedangkan buruh musiman adalah buruh
yang di pekerjakan hanya pada musim tertentu, dan jika sedang musim
tersebut, jumlah buruh pemetik yang bekerja dapat melonjak dengan

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


11 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

tajam. Hal ini mengingat bahwa sebagian para buruh pemetik teh adalah
buruh musiman, dan jika bukan musim memetik teh, mereka akan lebih
banyak menganggur atau melakukan kegiatan lain di rumah masing-
masing.

II.3. Desa Ketindan

Desa Ketindan, termasuk dalam Kecamatan Lawang, Kabupaten


Malang. Desa ini merupakan salah satu penopang utama Agro Wisata
Perkebunan Teh Wonosari, dimana setiap orang yang akan menuju agro
tersebut harus melewati daerah ini. Selain itu, para pekerja yang bekerja
sebagai buruh pemetik teh pun sebagian berasal dari desa ini, tepatnya
Dukuh Karangrejo. Selain dari Desa Ketindan, buruh pemetik teh juga di
datangkan dari Desa Toyomerto, Kecamatan Singosari. Desa Ketindan
terdiri dari dua dusun, yaitu Ketindan dan Karangrejo. Sedangkan Desa
Toyomerto terdiri dari tujuh dusun, yaitu Dusun Bodean Kraja, Bodean
Putuk, Ngujung, Sumberawan, Glatik, Retug Wulung, dan Wonosari.

II.3.a. Permukiman dan Pola Pemukiman

Pada umumnya, rumah penduduk Desa Ketindan berupa rumah


permanen dengan dinding tembok terbuat dari bata dan atap genting.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa rumah yang masih
berdinding tembok dan anyaman bambu. Selain itu, rumah penduduk
umumnya sudah menggunakan berbagai jenis ubin, mulai dari tegel
hingga keramik – meskipun masih ada juga yang masih berlantaikan
tanah. Pengamatan kami juga menemukan, bahwa meskipun cukup
banyak rumah dengan arsitektur modern, namun masih banyak yang tidak
meninggalkan model arsitektur tradisional. Contohnya adalah masih
banyak di jumpai rumah yang tidak mempunyai pagar sebagai pembatas
antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pun mereka menggunakan
pagar, yang di pergunakan umumnya pagar yang terbuat dari bambu, dan
hal itu kebanyakan berfungsi untuk menghalau ayam agar tidak masuk ke
dalam rumah.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


12 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Penggunaan pagar yang minimal, dalam berbagai bentuk material,


apakah itu bambu, bata, hingga pagar tanaman setidaknya menunjukkan
dua hal. Pertama, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Ketindan
masih memiliki sifat yang terbuka, saling menghargai dan memiliki
intensitas yang tinggi dalam interaksi antar sesama anggota masyarakat.
Kedua, hal ini juga menjadi contoh langsung adanya hubungan antara
satu rumah dengan rumah lainnya. Pada umumnya, satu rumah dengan
rumah lainnya masih terdapat hubungan saudara, sehingga penggunaan
pagar yang massif di anggap menganggu hubungan tersebut. Selain itu,
penggunaan pagar yang minimal nantinya akan sangat membantu dalam
proses pengasuhan anak.

Pembahasan mengenai pola permukiman, maka akan di bicarakan


konsep yang kemukakan oleh Paul Landis. Pola permukiman penduduk
desa Ketindan, jika menggunakan konsep Paul Landis, dapat di
kategorikan sebagai Arranged Isolated Farm Type, yakni suatu desa yang
penduduknya bertempat tinggal di sekitar jalan-jalan yang berhubungan
dengan pusat perdagangan sedangkan sisanya adalah sawah dan ladang.
Selain itu, di sepanjang jalan juga dapat di temukan berbagai fasilitas
umum, seperti sarana peribadatan dan sekolah. Dapat dikatakan, bahwa
jalan utama desa ini adalah jalan yang langsung menuju Agro Wisata
Perkebunan Teh Wonosari, dan hanya di lalui oleh satu jenis angkutan
umum, dengan trayek jalan Sumber Porong-Wonosari.

Pada umumnya, masyarakat yang hidup di desa Ketindan


menggunakan pola permukiman ambilokal dan/atau neolokal. Pola tempat
tinggal ambilokal atau bilokal merupakan pola dimana pasangan yang
telah kawin dapat memilih untuk tinggal matrilokal (hidup di tempat
termasuk keluarga istri) atau patrilokal (hidup di tempat termasuk keluarga
suami). Sedangkan pola tempat tinggal neolokal merupakan pola tempat
tinggal di mana pasangan yang telah kawin mendirikan rumah tangga di

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


13 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

tempat yang tidak ada hubungannya dengan suami atau istri (Haviland,
2000 2:95).

Pola tempat tinggal neolokal barangkali menjadi pola yang umum


terjadi, namun demikian, pola ini tetap tidak meninggalkan pola matrilokal
maupun patrilokal. Dalam artian bahwa meskipun pasangan tersebut
mendirikan tempat tinggal baru, namun lokasi tempat tinggal tersebut tidak
terlalu jauh dari kerabat suami atau kerabat istri. Hal ini justru menjadi
bagian penting dari strategi pengasuhan anak, sekaligus menjadi jawaban
paling memungkinkan bagi pasangan yang waktu kerjanya panjang dan
tidak menentu.

Adanya hubungan yang akrab – baik dengan alasan kekerabatan


atau pun tetangga biasa – di tandai dengan tidak adanya batas yang
massif antara satu rumah dengan rumah lainnya. Satu rumah yang orang
tuanya bekerja dapat menitipkan anaknya untuk bermain, dan tetangga
pun akan memperbolehkan anak tersebut untuk bermain-main di sekitar
rumah mereka, hal ini tentunya akan sangat di bantu dengan penggunaan
pagar yang bersifat minimal dalam pembedaan satu rumah dengan rumah
lainnya.

II.3.b. Bahasa

Bahasa merupakan salah satu ciri penting dari kebudayaan yang di


miliki oleh manusia. Penggunaan bahasa merupakan salah satu
mekanisme penting adanya penerusan kebudayaan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Penggunaan bahasa – atau lebih tepatnya dialek –
adalah salah satu ciri penting yang membedakan satu masyarakat dan
kebudayaan yang di milikinya dengan masyarakat lain dengan
kebudayaan yang lain pula.

Bahasa yang di pergunakan oleh penduduk desa Ketindan pada


umumnya adalah bahasa ‘Jawa ngoko’. Jika di pandang dari sudut

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


14 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pandang ‘epik’, bahasa Jawa ngoko akan terdengar lebih kasar ketimbang
bahasa Jawa krama, yang umumnya di pergunakan oleh masyarakat yang
berada di wilayah Mangkunegaraan atau Yogyakarta dan Surakarta.
Adalah penting untuk mengingat bahwa di lihat dari peta penggunaan
bahasa Jawa, maka wilayah ini termasuk dalam lingkar budaya ‘arek’,
termasuk di dalamnya adalah Surabaya, Sidoarjo dan Malang. Oleh
karena itu, ketika pembahasan mengenai bahasa, maka tidak di temukan
kesulitan berarti dalam pemahaman makna ucapan yang di lontarkan,
mengingat adanya kesamaan dengan Surabaya.

Ketika melihat suatu fenomena budaya dari sudut pandang bahasa,


akan di temukan bahwa bahasa merupakan medium yang sangat sesuai
dalam penerusan kebudayaan. Daerah-daerah yang termasuk dalam
lingkar budaya ‘arek’ cenderung menggunakan bahasa Jawa ngoko
bercampur dengan bahasa Indonesia – juga bahasa lainnya – dalam
proses penerusan kebudayaan mereka. Bahasa akan menjadi penanda
penting dari adanya sosialisasi peran gender, sebagaimana akan kami
tunjukkan pada sub bab berikutnya.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


15 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

BAB III

POLA PENGASUHAN ANAK DAN SOSIALISASI PERAN GENDER

III.1. Gender: Tinjauan

Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti 'jenis kelamin'


(Echols dan Shadily, 1983:265), istilah gender acapkali di rancukan
dengan seks. Seks mengacu pada perbedaan biologis, seperti
kromosomal, hormonal, atau fisik antara laki-laki dan perempuan;
sedangkan gender mengacu pada identitas sosial yang mengandung
peranan yang harus dilakukan oleh seseorang karena jenis kelamin
mereka (Crapo, 2002:98-99; Humm 2002), di mana peranan tersebut
sesuai dengan konstruksi sosial maupun kultural (Fakih, 2005:8). Seks di
yakini sebagai biologi tubuh, sementara gender mengacu pada asumsi
dan praktik budaya yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan
dan relasi sosial antara keduanya (Barker, 2004:244-8). Gender
merupakan pembedaan antara bentuk nyata dan jenis kelamin yang di
berikan, sehingga membentuk dua kategori umum: maskulin dan feminim
(Marckwardt, 1976:525; Clarke dan Summers, 1977:404).

Gender merupakan hasil dari suatu konstruksi, baik itu konstruksi


sosial maupun konstruksi kultural. Hal ini dapat dilihat pada teori Mead
dalam tulisan klasiknya Sex and Temperament in Three Primitive
Societies ([1935] dalam Danandjaja, 2005: 34), di mana Mead
menjelaskan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender
adalah konstruksi sosial. Konstruksi sosial memegang peranan yang
penting atas subordinasi perempuan sehingga memunculkan suatu
realitas sosial di mana laki-laki menguasai dan mendominasi kehidupan,
dan perempuan menjadi subordinat dari laki-laki, yang dengannya
perempuan menjadi obyek untuk di manipulasi demi kepentingan laki-laki,
atau demi kepentingan perempuan dengan seizin laki-laki.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


16 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Fakih (2005:7-8) menyatakan bahwa gender adalah suatu sifat


yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara
sosial maupun kultural. Perubahan ciri-ciri dan sifat tersebut dapat terjadi
dari satu waktu ke waktu yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain,
dan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Konstruksi sosial
yang ada dalam masyarakat memandang bahwa perempuan adalah
makhluk yang lemah, bergantung pada laki-laki, halus dan lain sebagainya
(Abdullah, 2001). Wacana tersebut di sosialisasikan dengan berbagai
medium dalam kehidupan sehari-hari sehingga terlihat seakan-akan
wacana tersebut merupakan cermin dari adanya realitas bahwa
perempuan memang lemah dan sebagainya.

III.2. Peran Gender, Peran Keluarga

Wacana gender acapkali bermula dari adanya suatu konstruksi


yang bias, dimana konstruksi tersebut dilaksanakan dengan sosialisasi
peran pada laki-laki dan perempuan. Sosialisasi peran secara langsung
berpengaruh terhadap pemahaman akan fungsi, hak dan kewajiban
antara perempuan dan laki-laki. Gender bukan sesuatu yang di miliki sejak
lahir atau kodrat seseorang, gender adalah hasil konstruksi sosial yang
dapat di bentuk, dimana konstruksi ini terlembagakan melalui struktur-
struktur sosial; dengan demikian, gender sangat bergantung pada
dimensi-dimensi sosial dan kultural. Sosialisasi peran gender dapat
dilakukan baik di keluarga, dengan membedakan antara tugas anak laki-
laki dan anak perempuan; maupun di sekolah, di mana sosialisasi peran
gender berlangsung dalam proses pembelajaran, yakni seluruh aktivitas
belajar-mengajar, antara lain meliputi kurikulum pendidikan, buku
pelajaran hingga kegiatan ekstra kurikulum.

Konstruksi gender dilakukan dengan hal-hal yang mungkin terlihat


amat sepele dan di sosialisasikan melalui pembedaan peran antara anak
laki-laki dan perempuan. Sosialisasi peran ini di sadari atau tidak telah
menjadikan suatu hubungan yang asimetris antara peran laki-laki dan

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


17 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

perempuan, di mana perempuan hanya menjadi kanca wingking, tanpa


pernah mendapat kesempatan untuk menjadi mitra yang sejajar dan
menikmati berbagai fasilitas yang sama dengan laki-laki (Saptandari,
2000; Wiludjeng [et.al], 2005).

Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, orang tua atau orang-


orang terdekat lainnya, secara langsung ataupun tidak langsung telah
mensosialisasikan peran anak laki-laki dan perempuan secara berbeda.
Anak laki-laki di minta membantu orang tua dalam hal-hal tertentu saja,
bahkan seringkali di berikan kebebasan untuk bermain dan tidak di bebani
tanggungjawab tertentu. Sebaliknya, anak perempuan selalu di berikan
tanggungjawab untuk membantu pekerjaan yang menyangkut pengurusan
rumah (atau kegiatan reproduksi sosial, seperti mencuci, memasak dll),
ataupun menjaga adik-adiknya.

Adanya pembedaan ini secara tidak sengaja telah mengarahkan


dan mengajarkan bahwa anak laki-laki berbeda perannya dengan anak
perempuan. Anak perempuan – sengaja atau tidak – telah di persiapkan
menjadi ibu rumah tangga, hal ini tentunya di dukung oleh struktur budaya
masyarakat berupa sosialisasi bahwa setelah menikah seorang anak
perempuan akan menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, suami dan
anak; sedangkan anak laki-laki telah di sosialisasi untuk menjadi kepala
keluarga, yang bertanggungjawab atas nafkah, dan berhak mendapatkan
kepatuhan dari istri sepenuhnya (Abdullah, 2003).

Kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti LSPPA (1999) pada orang-
orang Jawa di Limbangan, Jawa Tengah yang beragama Islam, bahwa
sejak awal anak sudah di perkenalkan norma-norma pembagian kerja
dalam rumah tangga. Perempuan sebagai ibu rumah tangga mempunyai
kewajiban melayani kebutuhan konsumsi keluarga dan mengasuh anak,
perempuan di anggap tidak boleh menjadi kepala keluarga terutama untuk
fungsi pengatur dan 'hakim' atau pengambil keputusan. Kebalikannya,
laki-laki memiliki kewajiban sebagai kepala keluarga, dan padanya di

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


18 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

bebankan kewajiban untuk mencari nafkah, pelindung, pengambilan


keputusan, dan pengatur keluarga. Laki-laki selama masih ada istrinya,
tidak boleh terlalu terlibat dengan tugas-tugas keseharian rumah tangga
yang dapat menurunkan martabat yang di milikinya, karena pekerjaan
tersebut merupakan 'kodrat' yang di bebankan pada perempuan.

Hal yang tidak jauh berbeda juga di temukan di masyarakat Batak


Toba, baik di daerah asal maupun di kota-kota besar. Peta genealogis dan
sejarah orang Batak Toba hanya dapat di telusuri melalui garis laki-laki,
anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem
patrilineal tersebut, laki-laki dan perempuan menyandang hak dan
kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Anak laki-laki sejak kecil
sudah di sadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai
sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan tanggungjawab mereka
terhadap kelangsungan clan ayahnya (Irianto, 2003:8-15). Sebaliknya,
anak perempuan di sosialisasikan bagaimana menjadi istri yang baik dan
'terhormat' baik dalam keluarga maupun di masyarakat sekitar. Akibat dari
sistem ini adalah, perempuan tidak berhak atas warisan orang tuanya
ataupun suaminya yang meninggal dunia, sehingga untuk mendapatkan
akses terhadap harta waris mereka harus mengajukan gugatan melalui
pengadilan negara bukan pengadilan adat.

Perbedaan ini pada gilirannya memunculkan suatu bentuk-bentuk


struktur ketimpangan gender, di mana pihak laki-laki terlalu di harapkan
untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan orang-orang yang
menjadikan tanggungannya. Tidak mengherankan jika fenomena bunuh
diri di daerah Gunung Kidul umumnya adalah laki-laki pada usia kerja
produktif, dimana mereka telah terkonstruksi sebagai kepala keluarga,
sedangkan kondisi ekologis Gunung Kidul yang relatif tandus menjadikan
tugas tersebut menjadi terlalu berat bagi mereka. Konstruksi tersebut
pada gilirannya menjadikan sikap pasrah dan menyerah pada nasib

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


19 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

dengan menggantung diri, yang kemudian di kaitkan dengan mitos pulung


gantung (Darmaningtyas, 2002).

Bagi masyarakat Desa Ketindan, pembedaan peran gender


memang nyata terjadi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Pada
umumnya, masyarakat desa lebih menyukai anak perempuan anak
perempuan ketimbang anak laki-laki, meskipun mereka tidak pernah
menolak ketika ‘di berikan’ anak laki-laki. Bagi mereka, anak perempuan
jauh lebih mudah di urus dan di atur. Kehadiran anak perempuan,
terutama ketika anak tersebut mulai masuk usia sekolah, akan segera di
bebankan berbagai tugas domestik. Anak perempuan di bebani berbagai
tugas domestik seperti mencuci piring, menyapu, hingga menjaga adiknya
yang masih kecil.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, keberadaan anak sangat


bergantung pada nilai anak tersebut di masyarakat. Masyarakat desa
Ketindan yang lebih menyukai anak perempuan jelas menunjukkan
adanya ‘nilai khusus’ pada diri anak perempuan. Setidaknya terdapat tiga
alasan mengapa masyarakat desa lebih menyukai anak perempuan: (1)
anak perempuan di anggap lebih mudah di atur ketimbang anak laki-laki,
(2) anak perempuan di anggap ‘lebih berguna’ ketimbang anak laki-laki,
dimana anak perempuan akan di bebani berbagai tugas domestik
sehingga lebih membantu orang tua (ibu) dalam menjalankan aktivitasnya,
dan (3) anak perempuan pada gilirannya (pasti) akan menikah, dan hal ini
sedikit banyak akan membantu perekonomian keluarganya, terutama
dengan nafkah yang akan di berikan pada keluarga anak perempuan
tersebut.

Melihat konteks yang lebih luas, terdapat ketimpangan peran


gender di sini. Alasan utama mengapa anak perempuan lebih di sukai
tetap di kaitkan dengan tugas-tugas domestik dan ‘nilai jual’ anak tersebut
ketika akan menikah nanti. Persoalannya kemudian, ketimpangan ini di
sosialisasikan dalam bentuk-bentuk yang paling sederhana, yakni

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


20 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pembagian tugas dan peranan. Anak perempuan lagi-lagi di bentuk untuk


menjadi ibu rumah tangga yang ideal, yang hanya bergerak di ruang-
ruang domestik tanpa memiliki hak untuk membantah. Sebaliknya, anak
laki-laki tidak di bebankan dengan tugas domestik, mereka di bentuk di
ruang-ruang publik, sehingga peranan mereka akan lebih menonjol
ketimbang anak perempuan.

III.3. Pola Pengasuhan Anak

Secara Etimologi pengasuhan berasal dari kata “asuh“ artinya


peminpin, pengelola, membimbing, maka pengasuhan adalah orang yang
melaksanakan tugas membimbing, meminpin atau mengelola
(Purwadarminta, t.t:89). Pengasuhan yang di maksud di sini adalah
mengasuh anak. Dimana proses ini menitikberatkan pada mengasuh
anak, mendidik dan memelihara anak. Termasuk di dalamnya mengurus
makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode
kanak-kanak sampai dewasa.

Dengan pengertian di atas dapat di pahami bahwa pengasuhan


anak yang di maksud adalah kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan
terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Beberapa pola
asuh dari orangtua atau pendidik yang dapat mempengaruh kreativitas
anak antara lain: (1) lingkungan fisik, (2) lingkungan social, (3) pendidikan
internal dan eksternal, (4) dialog, (5) suasana psikologis, (6) sosio budaya,
(7) perilaku orang tua, (8) kontrol, (9) menentukan nilai moral (Tilaar,
2005).

Kesembilan pola asuh orang tua di atas sangat mempengaruhi


terhadap perkembangan diri sekaligus pengembangan kreativitas anak di
dalam kehidupannya. Keterkaitan pola asuh orang tua dengan anak
berkreativitas anak diri di maksudkan sebagai upaya orang tua dalam
meletakkan dasar-dasar disiplin diri kepada anak dan membantu
mengembangkannya sehingga memiliki disiplin diri. Intentitas kebutuhan
anak untuk mendapatkan bantuan dari orangtua bagi kepemilikan dan

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


21 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

pengembangan dasar–dasar kreativitas diri, menunjukkan adanya


kebutuhan internal yaitu manakala anak masih membutuhkan banyak
bantuan dari orangtua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar
kreativitas diri, berdasarkan nalar sekaligus berdasarkan kata hati.

Bagi buruh pemetik teh, pengasuhan anak dapat dilakukan dengan


tiga cara. Pertama, dilakukan ketika mereka berada di rumah, dan hal ini
dilakukan ketika mereka pulang dari memetik teh di perkebunan teh.
Kedua, pengasuhan anak dilakukan oleh kerabat terdekat mereka ketika
mereka bekerja, dan hal ini terutama untuk anak usia pra-sekolah. Ketiga,
bagi anak usia sekolah, mereka akan disekolahkan di sekolah yang ada di
sekitar mereka, pun jika terdapat sekolah di sekitar mereka, maka mereka
akan menitipkan anak mereka pada kerabat terdekat mereka (point
kedua).

Pada point pertama, harus di ingat bahwa jam kerja buruh pemetik
teh cukup padat, mereka berangkat untuk bekerja pada pagi hari dan baru
kembali pada siang atau sore hari. Bagi mereka yang berasal dari
Ketindan, maka umumnya mereka berangkat pada pukul 6.30 pagi dan
menuju perkebunan teh dengan berjalan kaki; bagi mereka yang berasal
dari Toyomerto, mereka berangkat lebih pagi, yakni sekitar jam 6.00, dan
mereka akan di jemput oleh truk untuk membawa mereka ke perkebunan
teh. Mudah di mengerti jika proses pengasuhan anak oleh orang tua (ibu)
menjadi sangat terbatas, hanya ketika sang ibu tersebut berada di rumah.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pengasuhan anak cenderung
pada point kedua, yakni di serahkan pada kerabat terdekat.

Pada point kedua, pengasuhan anak di serahkan pada kerabat


terdekat. Kerabat terdekat di sini lebih di tekankan pada suami, ayah dan
ibu (dari pihak suami atau istri), atau saudara kandung yang tinggal di
sekitar mereka. Harus di ingat, telah di sebutkan sebelumnya, bahwa pola
tempat tinggal di desa ini adalah model ambilokal dan/atau neolokal.
Dengan model ambilokal atau bilokal, maka pasangan yang baru menikah

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


22 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

dapat memilih untuk tinggal bersama dengan kerabat istri atau kerabat
suami. Pun mereka memilih untuk membuat tempat tinggal baru atau
neolokal, mereka akan lebih memilih untuk tinggal di dekat kerabat
mereka.

Pemilihan lokasi tempat tinggal yang berdekatan memiliki alasan


yang logis dan rasional, yakni memudahkan terjadinya proses
pengasuhan anak oleh kerabat terdekat. Selain itu, pemilihan tempat
tinggal yang umumnya berdekatan memungkinkan terjadinya saling
interaksi antara sesama anggota keluarga yang masih berkerabat dengan
lebih intensif, dan tentunya memudahkan terjadinya pengawasan atas
kegiatan anak-anak ketika orang tua tidak berada di rumah.

Pada point pertama dan point kedua, pada umumnya anak yang
akan di asuh masih pada usia pra-sekolah. Dengan demikian, peran
pengasuhan anak akan di jalankan oleh orang tua anak tersebut, pun
mereka berhalangan, mereka akan meminta anak (perempuan) mereka
yang paling besar untuk membantu menjaga adik mereka, tentu saja hal
ini dengan catatan bahwa anak tersebut belum (atau tidak) bersekolah.
Jika tidak ada orang lain dalam keluarganya yang tidak dapat di mintakan
tolong, maka mereka akan meminta bantuan kerabat terdekat mereka,
apakah itu orang tua (kakek atau nenek) atau saudara kandung. Bahkan
jika tidak ada saudara yang dapat di mintakan tolong, mereka akan
meminta bantuan tetangga mereka untuk membantu menjaga anak
mereka.

Pada anak usia sekolah, maka umumnya mereka akan


‘menitipkan’ anak mereka pada institusi pendidikan yang ada di sekitar
mereka. Tersedianya lembaga pendidikan yang ada di sekitar penduduk
jelas akan membantu para orang tua yang bekerja, sedangkan anak
mereka telah memasuki usia sekolah. Lembaga pendidikan yang tersedia
di desa Ketindan cukup beragam, di mulai dari Play Group, Taman Kanak-
Kanak, SD hingga SMP.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


23 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Pendidikan dapat menjadi bantuan penting dalam proses


pengasuhan anak, di mana lembaga pendidikan menyediakan berbagai
kebutuhan anak, terutama untuk Play Group ataupun Taman Kanak-
Kanak. Pada umumnya, Play Group dan TK menyediakan berbagai
permainan yang tidak di sediakan oleh orang tua mereka, selain itu juga
dengan di berikannya perhatian dari tenaga pengajar terhadap
perkembangan peserta didik. Pada lembaga pendidikan SD dan SMP,
anak didik akan di ajarkan berbagai materi ajaran yang di anggap di
perlukan oleh anak didik.

Salah satu karakteristik utama dari adanya lembaga pendidikan


adalah penggunaan berbagai metode belajar, adanya kurikulum formal,
dan tentunya beban belajar yang di bebankan pada peserta didik. Selain
itu, adanya seperangkat peraturan yang mengikat dan sejumlah tugas
yang ‘menumpuk’ di harapkan dapat menjadikan peserta didik lebih
disiplin dan mandiri. Hal ini sedikit-banyak akan sangat membantu beban
orang tua yang bekerja di perkebunan, sehingga mereka tidak perlu
mengkhawatirkan bagaimana pendidikan anak-anak mereka, yang perlu
mereka khawatirkan hanya lah persoalan biaya pendidikan yang harus di
bayarkan.

Masalah kemudian muncul ketika anak pada usia sekolah, ternyata


anak tersebut tidak di sekolahkan dengan berbagai alasan. Cukup banyak
orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya karena tidak adanya biaya,
sehingga mereka lebih memilih untuk mengasuh anak secara mandiri. Hal
ini tentunya akan sangat bergantung pada tersedianya tenaga yang akan
membantu dalam pengasuhan anak tersebut.

III.4. Sosialisasi Peran Gender

Sosialisasi peran gender adalah bagian penting dalam


‘pembentukan karakter’ gender, tentunya sesuai dengan model
pengasuhan anak. Sosialisasi peran gender berkaitan erat dengan
ideologi gender. Secara sederhana, ideologi gender adalah bagaimana

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


24 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, di persepsikan, di


nilai, dan di harapkan untuk bertingkahlaku (Saptari dan Holzner, 1977).
Pengertian ini juga nampaknya di dukung oleh Schegel, hanya saja ia
menyebut hal ini dengan istilah gender meaning (pengertian gender).
Namun demikian, Schegel membagi gender meaning dalam dua artian:
umum dan khusus. Jika menilik pengertian gender secara umum, maka
akan di dapatkan suatu pengertian bagaimana laki-laki dan perempuan di
definisikan dalam artian abstrak, yakni ciri-ciri khusus yang di berikan
berdasarkan jenis kelamin masing-masing. Sedangkan pengertian secara
khusus adalah pendefinisian gender dalam lokasi tertentu, struktur sosial
tertentu, dan bidang kegiatan tetentu.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga macam contoh dari bentuk


ideologi umum, yaitu: (1) nilai pemingitan, (2) nilai pengucilan dari bidang
tertentu, dan (3) nilai femininitas perempuan. Ketiga hal tersebut mungkin
terlihat terpisah satu dengan lainnya, padahal ketiganya adalah satu
kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Ketiganya adalah
‘jerat’ yang saling berjalin-berkelindan membentuk sebuah ideologi
dominan yang di kenal dengan sebutan patriarki.

Sosialisasi dapat terlihat dari bahasa yang di gunakan sehari-


sehari. Sesuai dengan konteks budaya ‘arek’, mayoritas anak laki-laki
yang penulis wawancarai dapat mengucapkan ‘misuh’ sebagai reaksi atas
lingkungan sekitar mereka, dan lingkungan sekitar tidak melakukan reaksi
apapun atas perilaku tersebut. Sebaliknya, ketika ada seorang anak
perempuan informan meniru perilaku kakak laki-lakinya, sang ibu dengan
segera memandang pada anak tersebut dengan ‘pandangan
memperingatkan’. Ketika penulis tanyakan, si ibu hanya menjawab singkat
“Ga pantes, Mba, cah wedok kok misuh...”.

Penggunaan bahasa yang seksis adalah bukti konkret dari adanya


nilai femininitas perempuan. Perempuan di harapkan untuk bertingkah
laku yang sesuai dengan jenis kelaminnya, yakni bertingkah laku yang

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


25 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

baik, sopan, beretika, memiliki tata krama, dan seperangkat peraturan lain
yang membedakan perempuan tersebut dengan opisisi binari jenis
kelaminnya: laki-laki.

Penggunaan bahasa termasuk di antara berbagai pranata yang di


ajarkan dan di sosialisasikan pada anak-anak. Seluruh informan yang
penulis datangi setuju, bahwa anak perempuan ‘harus’ memiliki bentuk
dan struktur bahasa yang berbeda dengan anak laki-laki; di mana anak
perempuan di haruskan untuk menggunakan bahasa yang ‘baik’, entah itu
secara gramatika maupun kesopanan. Hal ini memperlihatkan bagaimana
ragam bahasa yang di tuturkan seseorang banyak mengikuti pola interaksi
di dalam sebuah komunitas, dan terkait erat dengan hubungan status
yang di milikinya dalam komunitas tersebut.

Secara sederhana, penggunaan bentuk-bentuk bahasa oleh anak


laki-laki dan anak perempuan atau perbedaan jenis kelamin tertentu
dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman sosial
anak laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda. Beberapa
jenis tuturan mungkin secara sosial di anggap tepat bagi jenis kelamin
tertentu, dan mungkin saja di pelajari anak-anak sama seperti mereka
mempelajari berbagai macam perilaku gender lainnya (Graddol dan
Swann, 2003:13-14).

Sebagaimana halnya penggunaan bahasa, berbagai bentuk


permainan pun merupakan salah satu medium sosialisasi gender yang
penting. Berbagai janis permainan telah di kontruksikan pada dua jenis
kelamin: laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki akan cenderung bermain
dengan teman-temannya permainan yang 'membutuhkan' tenaga dan
kecerdikan. Permainan seperti sepak bola, layang-layang, dan kejar-
kejaran merupakan permainan yang di identikkan dengan laki-laki;
sedangkan permainan rumah-rumahan, dokter-dokteran, dan lompat tali di
identikkan dengan perempuan. Namun demikian, ada pula permainan

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


26 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

yang berada di wilayah abu-abu, yakni permainan yang unisex seperti


petak-umpet, dan bulu tangkis.

Beragam bentuk permainan yang di konstruksikan hanya untuk


jenis kelamin tertentu, sehingga jenis kelamin lawannya akan merasa
enggan untuk bermain permainan tersebut. Anak laki-laki yang kami
tanyakan, tidak ada satupun yang berminat bermain rumah-rumahan,
meskipun itu dengan adik perempuannya sendiri; dengan alasan
ketidakpatutan, mereka menghindari permainan tersebut dan lebih
memilih untuk bermain ‘bal-balan’ dengan dengan teman-teman mereka.
Demikian pula dengan anak perempuan, tidak ada satupun dari mereka
yang berminat untuk bermain sepak bola ataupun kejar-kejaran. Mereka
lebih tertarik untuk bermain yang tidak membutuhkan tenaga ataupun
keterampilan, selain itu, mereka merasa tidak cocok untuk bermain
dengan anak laki-laki.

Konsekuensi logis dari adanya permainan yang seksis adalah


pengelompokkan yang jelas antara dua jenis kelamin. Ketika penulis
mengajak anak perempuan dan anak laki-laki untuk bermain bulu tangkis,
anak laki-laki akan ‘secara sadar’ memilih anak laki-laki lainnya sebagai
lawan main, demikian pula anak perempuan. Ketika salah satu orang tua
menyarankan untuk bermain ganda campuran, tidak ada seorang
anakpun yang mau bermain, terkecuali masing-masing pihak – dengan
jenis kelamin yang sama melawan pihak lainnya, pasangan anak laki-laki
melawan pasangan anak perempuan; meskipun pasangan anak
perempuan harus menerima kekalahan yang telak, yang di anggap
sebagai akibat dari “pelanggaran kodrat” mereka.

Permainan yang di mainkan oleh anak-anak telah lagi-lagi


menunjukkan adanya ideologi gender yang dominan, yakni adanya nilai
pengucilan dari bidang tertentu. Ketika anak perempuan kalah bermain
dan di anggap sebagai konsekuensi atas pelanggaran kodrat, yang terjadi
sebenarnya adalah pengucilan anak perempuan dalam bidang tertentu,

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


27 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

yakni dalam bidang permainan yang di dominasi oleh laki-laki. Anak-anak


perempuan tidak di perbolehkan bermain pemainan yang berada di bawah
domain laki-laki, pengucilan ini berlaku dengan adanya sosialisasi secara
intensif, sehingga permainan yang di dominasi laki-laki tidak akan di lirik
oleh anak perempuan, demikian pula sebaliknya.

Jika permainan menyajikan suatu gambaran yang seksis, demikian


pula dengan pekerjaan rumah tangga. Adanya perbedaan tugas dan
tanggung jawab dalam urusan rumah tangga pun menggambarkan
adanya ideologi gender, yakni adanya nilai-nilai pemingitan. Pemingitan ini
berlangsung atas nama tradisi, bahwa anak perempuan memiliki ranah
domain yang berbeda dengan anak laki-laki. Anak perempuan selalu di
sosialisasikan akan kewajibannya membantu ibu di rumah atau kegiatan
reproduksi sosial. Membantu memotong sayuran, memasak air, menyapu,
mengepel, hingga membersihkan tempat tidur adalah tugas-tugas yang di
bebankan pada anak perempuan. Anak laki-laki memiliki waktu luang yang
jauh lebih banyak, mereka di bebaskan dari berbagai aktivitas reproduksi
sosial, dimana umumnya mereka menghabiskan sisa waktu mereka
dengan bermain bersama teman ataupun bermain Play Station. Salah
satu kewajiban anak laki-laki adalah membereskan ‘perlengkapan main’
sesudah bermain, dan membantu ayah mereka, apakah itu memperbaiki
kandang burung ataupun sekedar membantu mencuci motor.

Pembagian kerja yang asimetris ini di sosialisasikan dengan intens,


sehingga baik anak laki-laki maupun anak perempuan menerima tugas
tersebut dengan senang hati dan wajar. Ungkapan Alam sebagai salah
satu informan laki-laki mungkin merefleksikan hal ini "Ya kalo dirumah
paling bantu Bapak cuci motor, biasanya Yuyun (adik perempuan) yang
bantu Ibu, soalnya ibu sering marah kalo Alam ikut bantu di dapur".
Perbedaan peran gender antara anak laki-laki dan anak perempuan pada
masa kecil akan berpengaruh pada pola-pola perilaku mereka ketika
dewasa nanti.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


28 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

III.4. Gender: Peran, Status dan Kewajiban

Masa kanak-kanak merupakan masa penting dalam pembentukan


kepribadian, hal ini telah banyak di akui oleh para antropolog yang tertarik
dalam masalah perkembangan kepribadian. Perkembangan kepribadian
anak sangat bergantung pada proses-proses pembelajaran yang di
kembangkan dan di langsungkan oleh orang tua, dimana proses
sosialisasi merupakan salah satu cara pembelajaran yang penting bagi
anak-anak. Proses pembelajaran pada gilirannya akan menjadi proses
enkulturasi, dimana kebudayaan di turunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Secara sederhana, Koentjaraningrat membagi
kebudayaan dalam empat wujud, yakni: (a) kebudayaan sebagai artifacts
atau benda-benda fisik, (b) kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan
tindakan yang berpola, (c) kebudayaan sebagai sistem gagasan, dan (d)
kebudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis (Koentjaraningrat,
2003:74-75).

Proses enkulturasi sebagai penerusan kebudayaan dapat


terefleksikan dalam watak dan kepribadian individu, dimana pembentukan
watak dalam jiwa individu banyak di pengaruhi pengalamannya di masa
kanak-kanak ketika ia di asuh oleh orang-orang di sekitarnya, watak juga
sangat di tentukan oleh berbagai tingkah laku yang di biasakan sejak kecil
(Koentjaraningrat, 2003:108-109). Antropologi tidak mempelajari individu,
tetapi mempelajari semua pengetahuan, gagasan, dan konsep yang
secara umum hidup dalam masyarakat; dimana pengetahuan, gagasan,
dan konsep yang di anut sebagian besar warga yang umumnya disebut
adat istiadat. Para antropolog meyakini, bahwa mempelajari adat istiadat
pengasuhan anak mereka akan dapat mengetahui adanya berbagai unsur
kepribadian pada sebagian besar warga yang merupakan akibat dari
pengalaman-pengalaman mereka sejak masa kanak-kanak.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


29 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Pembentukan peran gender dapat dilakukan melalui berbagai


medium, salah satunya adalah pendidikan melalui sosialisasi. Sosialisasi
memegang peranan penting, dimana sosialisasi dilakukan sejak masa
kanak-kanak akan membentuk watak dan kepribadian mereka
(Koentjaraningrat, 2003:143). Konsekuensinya adalah, watak yang
terbentuk lebih pada watak yang mendukung struktur ketimpangan
gender, dimana laki-laki akan mensubordinatkan perempuan. Tentu saja
struktur ini tidak tumbuh dengan sendirinya, namun di dukung oleh
struktur lain, dimana proses sosialisasi peran gender mendukung proses-
proses ini.

Pendidikan melalui berbagai pranata, aturan, maupun kebiasaan


menjadi bagian penting dalam proses sosialisasi anak. Pranata
merupakan suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian
tindakan berpola guna memenuhi suatu keperluan khusus dalam
kehidupan masyarakat, dimana interaksi yang berpola ini tidak serta-merta
terjadi dalam sekejap, namun di biasakan dan di sosialisasikan.
Sosialisasi menjadi bagian yang sangat penting dalam pembentukan
kehidupan anak, dan proses-proses ini akan membentuk kepribadian dan
juga temperamen anak tersebut. Mead (dalam Danandjaja, 2005:35)
meyakini bahwa perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan
bukanlah perbedaan yang biologis-universal, melainkan suatu perbedaan
yang muncul dan di tentukan oleh kebudayaan, sejarah, struktur sosial
masyarakat bersangkutan, juga yang harus di perhatikan adalah status
sosial yang melekat pada individu tersebut.

Terkait dengan sosialisasi gender di keluarga, jika menggunakan


konsep Mead, akan terlihat bahwa pembentukan kepribadian dan
tempramen yang dilakukan melalui sosialisasi gender sewaktu kecil akan
memiliki dampak yang signifikan jika dewasa nanti, hal ini dapat dilihat
dengan perbedaan temperamen antara laki-laki dan perempuan. Anak
laki-laki sejak kecil telah di biasakan untuk bermain dan belajar

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


30 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

mengucapkan sumpah-serapah (misuh), sehingga akan membentuk


temperamen yang berbeda ketika dewasa jika di bandingkan dengan anak
perempuan. Anak perempuan sejak usia dini telah di sosialisasikan nilai-
nilai ‘kelembutan seorang wanita’, sehingga memunculkan temperamen
yang lebih kalem dan tenang jika di bandingkan dengan laki-laki. Tentu
saja hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan-
penyimpangan. Mungkin saja seorang perempuan bertemperamen keras
dan kasar sedangkan laki-laki kebalikannya, hal ini dapat terjadi dalam
proses pengasuhan dan sosialisasi anak.

Salah satu hal penting jika melihat konsepsi Mead adalah,


pembentukan kepribadian seorang anak sangat di pengaruhi oleh
kepribadian orang tuanya, yang juga mengalami proses sosialisasi peran
gender sewaktu kecilnya. Dengan kata lain, sosialisasi peran gender yang
dilaksanakan pada masa sekarang adalah sosialisasi yang pernah
dilakukan pada masa lalu, meskipun telah mengalami perubahan bentuk
dan cara (metode) sosialisasi, namun untuk tujuan, kami rasa masih sama
– atau setidaknya tidak terlalu jauh berbeda.

Pola pengasuhan anak dan sosialisasi peran gender di keluarga


buruh teh menunjukkan adanya struktur yang timpang, dimana setiap
anak telah di konstruksikan untuk melakukan berbagai aktivitas ataupun
pekerjaan yang ‘sesuai dengan jenis kelaminnya’. Seorang responden
kami menuturkan, bahwa beban atas berbagai tugas domestik yang di
embannya bukanlah suatu hal yang harus di risaukan. Ia menganggap
bahwa kegiatan reproduksi sosial – terutama reproduksi biologis –
sebagai kodrat yang harus di terima, dan tidak ada hak untuk protes atas
masalah tersebut.

Masih ada satu persoalan lain yang mengganjal, yakni ketika


perempuan bekerja sebagai buruh pemetik teh, maka perempuan tersebut
sebenarnya telah melangkah ke dalam ruang publik, dan ia jelas di bayar
untuk itu. Namun demikian, lagi-lagi struktur timpang yang telah di

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


31 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

sosialisasikan sejak masa kanak-kanak menunjukkan hal lain: bekerja di


perkebunan teh hanya sebagai nafkah tambahan. Suami (laki-laki)
sebagai kepala rumah tangga, apapun pekerjaannya atau sebesar apapun
penghasilannya adalah pencari nafkah utama, dan hal ini telah di
sosialisasikan dengan sangat baik sejak masa kanak-kanak.

Sebesar apapun penghasilan istri, keberadaannya tetap tidak di


perhitungkan. Istri (perempuan) tetap harus melakukan dua hal sekaligus:
melakukan berbagai tugas reproduksi biologis dan sosial serta melakukan
pekerjaan di luar rumah – untuk menambah pemenuhan kebutuhan rumah
tangga. Istri di terus di bebani dengan beban ganda, dan suami tetap di
tuntut untuk berada di luar rumah. Bahkan dalam rumah sekalipun telah
muncul struktur-struktur yang membakukan peran gender. Dalam rumah
(ber-) tangga, istri (perempuan) di tempatkan dalam ruang yang paling
privat, ruang domestik yang di haramkan bagi laki-laki untuk masuk ke
dalam ruang tersebut, demikian pula sebaliknya.

Istri (perempuan) acapkali di definisikan dalam hubungannya


dengan suami (laki-laki), mereka bukanlah suatu entitas yang utuh dan
otonom karena di dasarkan pada definisi ketiadaan ‘ciri-ciri laki-laki’,
sehingga menjadikan perempuan sebagai golongan yang lebih rendah
(Supelli 2005) atau dengan kata lain sebagai Yang Lain atau The Other
(de Beauvoir 2003). Istri (perempuan) seringkali menjadi subordinat dari
suami (laki-laki), eksistensi mereka di pandang sebagai suatu bentuk
pengejawantahan dari kekuasaan absolut suami. Istri lebih di pandang
dalam kaitannya dengan peranan biologis mereka dan fungsi mereka
untuk memelihara rumah tangga (Abbot, 2000:1150-1). Peran biologis
seperti mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak pada gilirannya
menjadi suatu legitimasi atas subordinasi mereka, bahwa istri
(perempuan) sangat bergantung pada suami (laki-laki) dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya maupun kebutuhan anak-anak yang sedang di
besarkannya (de Beauvoir, 2003:89-92).

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


32 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Subordinasi perempuan seringkali di mulai dengan adanya


'ideologi' yang merendahkan perempuan, pemanfaatan tenaga kerja,
kewajiban untuk pengasuhan anak yang menempatkan mereka di bawah
pengawasan hukum dari ayah, saudara laki-laki dan suami mereka
(Keesing, 1992:62). Ideologi ini menjadi sangat kuat tidak hanya karena di
dukung oleh struktur sosial dan kultural, namun juga oleh perempuan itu
sendiri. Rosaldo dan Lamphere ([1974] dalam Keesing, 1992:64)
mengetengahkan suatu tema besar, bahwa meskipun di beberapa
masyarakat, perempuan memiliki hak politik, ekonomi, status dan
kebebasan yang relatif besar; namun demikian, hak yang mereka miliki
tidak pernah lebih tinggi – atau setidaknya setara – dari pada yang di
nikmati oleh laki-laki.

Peran dan status merupakan bagian penting dari masyarakat,


dimana masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi;
dengan demikian, agar interaksi dapat berjalan dengan mudah dan
efisien, setiap orang harus mengetahui peran dan statusnya. Begitu
pentingnya pengetahuan akan peran dan status, sehingga setiap individu
akan mengalami suatu proses sosialisasi sewaktu anak-anak mengenai
hal ini. Sosialisasi peran gender dalam keluarga terkait dengan peran dan
status yang di sandang oleh orang tua mereka, dan kelak anak-anak
mereka.

Bentuk-bentuk sosialisasi peran gender yang ada saat ini dapat di


katakan telah ‘di restui’ oleh masyarakat umum, hal ini dapat dilihat
dengan pembedaan peran antara anak laki-laki dan anak perempuan,
dimana peranan yang harus mereka mainkan tentunya harus
mendapatkan persetujuan dari orang tua dan lingkungan sosial mereka.
Anak perempuan lebih di kondisikan untuk selalu di rumah dan mengurusi
segala pekerjaan domestik ataupun tugas reproduksi sosial – dan biologis
kelak; sedangkan anak laki-laki di kondisikan untuk selalu berada di luar
rumah, mereka harus belajar bekerja keras untuk memenuhi segala

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


33 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

kebutuhan dirinya dan keluarganya. Nafkah menjadi urusan laki-laki,


sedangkan menghabiskan nafkah menjadi urusan perempuan – meskipun
sosialisasi yang dilakukan tidak selalu berbunyi seperti itu, namun kami
kira untuk definisi yang singkat dan jelas, hal tersebut dapat di maklumi.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


34 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

BAB IV

KESIMPULAN

IV.1. Karakter Gender: Penutup

Gender menjadi masalah yang cukup pelik, karena tidak hanya


berkaitan dengan bagaimana masing-masing jenis kelamin di harapkan
untuk bersikap dan berperilaku, namun juga terkait dengan perbedaan
peran dan status sosial yang merupakan hasil dan bentukan dari
konstruksi sosial. Konstruksi sosial memiliki posisi yang signifikan, dan
dengannya masyarakat menyandarkan seluruh pilihan hidup keluarganya.
Pola pengasuhan anak dan sosialisasi peran gender menjadi bagian yang
penting untuk di bahas, tidak hanya karena sosialisasi peran gender
adalah realitas sosial masyarakat, namun justru dari sosialisasi peran
gender pada waktu anak-anak setiap jenis akan menyandarkan peran dan
status mereka ketika dewasa kelak.

Peran dan status di masyarakat akan sangat bergantung pada


konstruksi masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin, dan hal ini
termanifesasikan dalam banyak hal, salah satunya adalah pengasuhan
anak dan sosialisasi peran gender ketika anak-anak. Para ahli meyakini
bahwa proses-proses pembelajaran yang dilakukan pada masa anak-anak
bertanggungjawab atas kepribadian anak tersebut ketika dewasa kelak.
Kepribadian merupakan masalah yang menarik untuk dibahas lebih lanjut,
hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki kepribadian yang
berbeda, dan salah satu penyebab perbedaan ini adalah karena proses
sosialisasi yang berbeda ketika kecil. Setidaknya dengan 'sedikit
mengubah' proses sosialisasi gender pada anak akan membentuk
kepribadian anak, yang pada gilirannya dapat mengurangi kadar patriarki
dimasyarakat, tentunya dengan membentuk pola sosialisasi yang
seimbang antara anak laki-laki dan anak perempuan.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


35 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

Kiranya akan sangat bijaksana jika sosialisasi yang dilakukan tidak


lagi penuh muatan bias gender, dimana anak laki-laki dan anak
perempuan di bedakan berbagai tugas dan aktivitasnya. Tidak akan
berkurang nilai seorang laki-laki jika ia mau mengerjakan tugas domestik,
sebagaimana tidak akan berkurang nilai seorang perempuan jika ia
mengabdikan hidupnya berkecimpung di ruang publik. Hanya saja,
sosialisasi peran seperti ini akan menyita waktu yang cukup panjang, tidak
hanya untuk sosialisasi pada anak, namun juga untuk mengajarkan pada
masyarakat, bahwa ketimpangan struktur gender yang terjadi saat ini
adalah konsekuensi logis dan hasil dari pola pengasuhan anak dan
sosialisasi peran gender yang terjadi di masyarakat pada masa
sebelumnya, dan perubahan sosialisasi dengan memperhatikan aspek
gender di harapkan akan menghilangkan – atau setidaknya meminimalisir
ketimpangan dan bias gender yang terjadi di masyarakat.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


36 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Pamela
2000 ”women” dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper (eds.)
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial edisi kedua. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Abdullah, Irwan
2001 Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:
Terawang Press
2003 ”Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas
Perempuan, Pendahuluan” dalam Irwan Abdullah (ed.)
Sangkan Paran Gender. Cetakan kedua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Barker, Chris
2004 Cultural Studies: Teori & Praktik. Cetakan pertama.
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Clarke, H.E. dan L.R. Summers
1977 the Lexicon Webster Dictionary, volume 1. USA: The
English-Language Institute of America, Inc
Crapo, Richley H.
2002 Cultural Anthropology: Understanding Ourselves and Others,
Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Co.
Danandjaja, James
2005 Antropologi Psikologi: Kepribadian Individu dan Kolektif.
Jakarta: Lembaga Kajian Budaya Indonesia
Darmaningtyas
2002 Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung
Kidul. Yogyakarta: Salwa
de Beauvoir, Simone
2003 Second Sex: Fakta dan Mitos. Cetakan pertama. Surabaya:
Pustaka Promethea
Fakih, Mansour
2005 Analisis Gender & Transformasi Sosial. cetakan kesembilan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Graddol, David dan Joan Swann
2003 Gender Voices: Telaah Kritis Relasi Bahasa-Jender. Cetakan
pertama. Pasuruan: Penerbit Pedati
Haviland, William A.

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar


37 Pola Pengasuhan Anak dan Sosialisasi
Peran Gender di Keluarga Buruh Pemetik Teh

2002 Antropologi, jilid 1, edisi keempat. Cetakan keempat.


Jakarta: Penerbit Erlangga
Humm, Maggie.
2002 Ensiklopedia Feminisme. Cetakan pertama. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru
Irianto, Sulistyowati
2003 Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum: Studi
Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk
Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Keesing. Roger M.
1992 Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer edisi
kedua, Jilid kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Marckwardt, A.H. (et.al)
1976 Funk and Wagnalls Standard Dictionary of the English
Language, volume 1. Chicago: J.G. Ferguson Publishing
Saptari, Ratna dan Holzner, B.
1977 Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: suatu pengantar
studi perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Sherwood, Lauralee
2001 Fisiologi Manusia, dari Sel ke Sistem. Edisi kedua. Jakarta:
EGC
Supelli, Karina
2005 "Kata Pengantar, Tubuh yang Menyangga Sejarah" dalam
Shirley Lie Pembebasan Tubuh Perempuan, Gugatan Etis
Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta:
Grasindo
Tilaar, H.A.R
2005 Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

You might also like