You are on page 1of 6

PENDIDIKAN MENURUT HAMKA

by Masad Masrur (masadmasrur.blog.co.uk)

Judul Buku:
Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam
Oleh:
Samsul Nizar
Penerbit:
Prenada Media Grip Jakarta
Edisi:
Cetakan I Februari 2008

Haji Abdul Karim bin Abdul Malik Amrullah atau HAMKA, adalah salah satu ulama
besar yang pernah dimiliki oleh Ummat Islam Indonesia. Ia adalah seorang pelopor
gerakan tajdid di daerah kelahirannya Minangkabau dan kental dengan didikan Islam
yang ditimbanya di Sumatera Thawalib, yaitu sekolah beraliran pembaruan yang
didirikan oleh ayahnya, Abdul Malik Amrullah. Di kemudian hari ia juga dikenal
sebagai salah satu intelektual dan aktivis Islam yang disegani dan bergelar Doktor
meski ia sendiri tidak banyak sekolah di sekolah formal. Berikut ini adalah salah
satu buku yang memperbincangkan tenang pendidikan Islam versi HAMKA yang
diterbitkan dalam rangka 100 tahun kelahirannya.

HAMKA lahir di Sungai Batang,


Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang taan
beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji rasul,
seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Mekakkah dan pelopor kaum mudo dan
tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tandjung.
Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat
beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaru Islam di Minangkabau pada
akhir abad XVIII dan awal abad XIX. HAMKA lahir dari struktur masyarakat
matrilineal, yaitu masyarakat yang justru menempatkan posisi laki-laki yang tidak
begitu strategis dibanding posisi perempuan yang sangat dominan.

Sejak kecil, HAMKA menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari
ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Usia 7 tahun
masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun
belajar, dan malah belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak kecil, ia
senang nonton film. Bahkan karena hobinya ini, ia pernah diam-diam �mengicuh� guru
ngajinya karena ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan
menonton film ini berlanjut terus, dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis
karya-karya sastra dari menonton film ini.
Tatkala berusia 12 tahun, kedua orang-tuanya bercerai. Perceraian orangtuanya ini
merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada fatwa-fatwanya, ia
sangat menentang tradisi kaum laki-laki Minangkabau yang kawin lebih dari satu.
Sebab bisa merusak ikatan keharmo-nisan rumah tangga. Dalam adat Minang-kabau
waktu itu, memiliki istri lebih dari satu adalah kebanggaan bagi keluarga pihak
laki-laki. Seorang perempuan (istri) tidak akan khawatir menjadi janda dua atau
tiga kali karena diceraikan suami. Sebab, tidaklah sulit baginya karena semua
anak-anaknya telah dijamin oleh harta pusaka rendah dan menjadi tanggungjawab
mamak-mamaknya (saudara laki-laki dari pihak perempuan). Demikian juga dengan H.
Abdul Karim Amrullah, sebagai seorang ulama yang memiliki status sosial tinggi,
meski per-ceraian yang dilakukannya akibat perse-lisihan yang ada campur tangan
pihak keluarga, perceraian ini mengakibatkan HAMKA kehilangan kasih saying
sebagaimana mestinya. Akhirnya HAMKA kecil harus menjadi anak tinggal dan
dipandang �hina� karena tidak memiliki saudara perempuan di kampung dan tidak
memiliki keluarga utuh dan lengkap, sebab 10 bulan kemudian ibunya menikah lagi
dengan seorang saudagar dari tanah Deli dan adiknya ikut bersama mereka.
Kondisi ini pula yang ikut menyebabkan kerenggangan tali kekeluargaan dengan pihak
orangtuanya. Untuk sementara, ia tinggal bersama ayahnya di Padangpanjang. Akan
tetapi, karena karena seringnya mendapat cemoohan dari keluarga ayahnya yang
dating, membuatnya tak tahan dan kemudian tinggal bersama andung-nya yang sangat
mencintainya. Hampir setahun lamanya ia hidup terlunta-lunta sebagai anak tualang
dan akhirnya ia sekolah mengaji ke Parabek, 5 km dari Bukittinggi dengan Syekh
Ibrahim Musa, karena andung-nya khawatir dengan masa depannya.

Pendidikan formal yang dilalui HAMKA sebetulnya di mulai sejak tahun 1916 sampai
1923 dengan belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang-panjang
serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan Parabek. Pelaksanaan pendidikan waktu
itu masih bersifat tradisional dengan emnggunakan system halaqoh. Materi
pendidikan waktu itu masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik seperti
nahwu, sharaf, manthiq bayan, fiqh dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan
dengan menekankan pada sapek hafalan. Meskipun padanya diajarkan membaca dan
menulis Arab dan latin, tetapi diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab
klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah rendah di Mesir. Akibatnya,
banyak dia antara teman-temannnya yang fasih membaca kitab, tetapi tidak bisa
menulis dengan baik. HAMKA tidak puas dengan sistem pendi-dikan semacam ini,
tetapi ia tetap berusaha mengikutinya dengan baik.
Dalam menerima berbagai informasi pendidikan karya-karya ilmuwan non-muslim, ia
menunjukkan sikap hati-hati. Sikap demikian dilatatarbelakangi oleh dia pikiran,
pertama, dalam bidang sejarah ia melihat adanya kesalahan data dan fakta yang
sesungguhnya. Misalnya tentang persoalan di seputrar masuknya Islam ke Nusantara.
Menurutnya, Islam masuk melalui saudagar dari Arab (Mekkah), bukan dari Gujarat
maupun Persia. Kedua, dalam bidang keagamaan, terdapat upaya untuk mendiskreditkan
Islam. Tidak sedikit para penulis tersebut memberikan pesan misionaris.

Sistem pendidikan tradisional, membuat-nya merasa kurang puas. Kegelisahan


intelektual yang dialaminya menyebabkan ia berhasrat merantau guna menambah
wawasannya. Tujuannya adalah pulau Jawa. Awalnya ia hendak ke Pekalongan mengun-
jungi kakak iparnya, H. Sutan Mansur, tetapi ia dilarang ayahnya karena khawatir
dengan perkembangan komunis waktu itu. Namun, akhirnya ia diizinkan dan
berangkatlah menumpang seorang saudagar yang hendak ke Jogjakarta dan Pekalongan.
Di Peka-longan, tinggal bersama pamannya dan belajar dengan beberapa ulama seperti
Ki Bagus Hadikusuma (tafsir), RM. Soeryo-pranoto (sosiolog), KH. Mas Masur
(filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, HOS Tjokroaminoto (Islam dan
sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung dan terutama AR SUtan Mansur.

Di Jogja, ia berkenalan dan sering melakukan diskusi dengan teman-teman seusianya


yang memiliki wawasan luas dan cendekia. Mereka antara lain adalah Muhammad
Natsir. Di sini, ia mulai berkenalan dengan ide pembaruan gerakan Sarekat Islam
dan Muhammadiyah. Ide-ide modernisasi yang dihembuskan oleh pemikir Ilsam waktu
itu telah banyak mempengaruhi pembentukan atmosfer pemikirannya tentang Islam
sebagai suatu ajaran hidup, inklusif dan dinamis. Di sini, ia melihat perbedaan
yang demikian tajam antara Islam yang hidup di Minangkabau dengan Islam di
Jogjakarta.

Pada tahun 1925, ia kembali ke Pekalongan. Ia banyak belajar dari iparnya AR.
Sutan Mansur, baik tentang Islam maupun politik. Di sini, ia berkenalan dengan
ide-ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan rasyid Ridha yang
berupaya mendobrak kebekuan ummat. Perkenalan dengan pemikiran mereka ini ikut
mempengaruhi wacana pembaruan yang dilakukannya. Juni 1925, ia kembali ke maninjau
membawa semangat dan wawasan baru Islam yang dinamis. Ia membawa beberapa buah
tangan, yaitu pemikiran dinamis ilmuwan muslim waktu itu, paling tidak ada dua
buah buku yang dibawanya dari jawa. Kedua buku itu adalah Islam dan Sosialisme
(kumpulan pidato HOS. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka
dari AD. Hani atas karangan Jamaluddin Al-Afghani). Berbekal pengetahuannya, ia
mulai berani tampil berpidato di muka umum. Ia membuka wawasannya dengan
berlangganan surat kabar dari Jawa. Dan dengan surat kabar inilah ia juga mulai
berkenalan dengan beberapa pemikiran yang berkembang waktu itu, baik pemikiran
dalam maupun luar negeri. Sperti pemikiran, Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk dan
lain sebagainya. Ia sendiri tetap belajar tentanga dat daerahnya dengan Dt. Singo
Mangkuto dan membuka kursus pidato �Tabligh Muhammadiyah� dengan menulis naskah
kumpulan idatonya pada buku dengan judul Khatib al-Ummah.

Tahun 1927 ia berangkat ke Mekkah untu menunaikan haji sambil mejadi kores-ponden
harian �Pelita Andalas�. Sekem-balinya dari Mekkah, ia tidak langsung ke
Minangkabau, tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan, ia
banyak menulis artikel di pelbagai majalah, seperti �Seruan Islam� di Tanjungpura,
�Bintang islam� dan �Suara Muhammadiyah�. Atas desakan iparnya AR. Sutan Mansur,
ia kemudian diajak kembali ke Padangpanjang menemui ayahnya yang demikian
merindukannya. Di sini, ia dinikahkan dengan Siti Raham, ia dikaruinai 11 anak,
antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan,
�Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu
setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973 ia menikah lagi dengan seorang
perempuan Cirebon, yaitu Hj. Siti Khadijah. Perkawinan keduanya ini tidak
memperoleh keturunan karena faktor usia.

Pemikiran dan Karyanya


Kreatifitas jurnalistik HAMKA makin kelihatan melalui beberapa karya tulisnya.
Tahun 1928, HAMKA menulis roman per-tamanya �Si Sabariyah�. Ia juga memimpin
majalah �Kemajuan Zaman� di Medan. Pada tahun 1929, muncul buku-bukunya Sadjarah
Sajjidina Abubakar Shidiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan,
Pembela Islam dan Adat Minangkabau (kemudian buku ini dilarang oleh Kolonial
Belanda). Karirnya di Muhammadiyah makin diperhitungkan ketika pidatonya �Agama
Islam dan Adat Minangkabau� disampaikannya pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukittinggi 1930. Berkat kepiawaiannya dalam berdakwah, di ia diundang ke berbagai
tempat di Sumetera seperti Bengkalis, bagan Siapiapi, Labuhan Bilik, Medan dan
Tebing Tinggi. Kepiawaiannya juga terlihat pada saat berpidato di Kongres
Muhammaiyah berikutnya di Jogjakarta tahun 1931 dengan judul �Muhammadiyah di
Sumatera�. Ketika di Makassar, melak-sanakan tugasnya sebagai mubaligh
Muhammadiyah, ia menerbitkan �al-Mahdi� sebuah majalah yang juga memuat
pengetahuan Islam yang terbit sebulan sekali.

HAMKA memiliki peran yang luas dalam pembaruan Islam di Makasar dan Minang-kabau.
Ia menawarkan model pendidikan Islam yang reformis. Bahkan, melalui ide-ide
pembaruannya, ia membuka wawasan intelektual ummat Islam dan mensejajarkan
pendidikan Islam dengan pendidikan yang dikelola pemerintah Kolonial. Ia mencoba
melakukan periodesasi perjalanan intelek-tualnya delam empat periode: pertama,
masa munculnya konversi intelektual. Proses ini terjadi tatkala ia melihat adanya
ketimpangan terhadap pola pemikiran ummat Islam yang jumud, serta pendidikan Islam
yang hanya berorientasi Arab dan dikotomis. Kedua, tahap pencarian identitas dan
pembentukan wawasan intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran ketika ia
belajar di Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan ide-ide Islam modernis
yang berkembang waktu itu, telah ikut mempengaruhi warna dan dinamika
pemikirannya. Ketiga, tahap pengemba-ngan intelektual awal. Masa ini adalah
setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya mengembangkan
ide pembaruan, baik ketika di Minangkabau maupun di Medan dan Makassar. Proses
tersebut dilakukan melalui wadah Muhammadiyah maupaun karya-karyanya. Keempat,
tahap pengembangan intelektual kedua dan pemaparan pemikiran-pemikiran
pembaruannya. Masa ini diawali ketika berangkat ke Jakarta, dan terutama tahun
1952 sampai akhir hayatnya.

Ketika zaman Jepang, HAMKA memang sempat mendapat posisi sebagai anggota Syu Sangi
Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali pelarangan yang dilakukan
Jepang terhadap perkumpulan dan majalah yang dipimpinnya. Dan sikap kompromi
dengan mau bekerjasama dengan Jepang ini juga yang memunculkan sikap sinis
terhadap dirinya, hingga akhirnya ia �lari malam�, pergi ke menuju Padang-panjang
tahun 1945 sampai tahun 1949. Sesudah Perjanjian Roem-Royen, ia ingin
mengembangkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta dan mulai melakukan aktifitasnya
sebagai koresponden majalah �Pemanda-ngan� dan �Harian Merdeka�. Ia kemudian
mengarang karya otobiografinya Kenang Kenangan Hidup, tahun 1950. Disamping itu,
ia mulai aktif di Masyumi dan bersama tokoh-tokoh lainnya, ia mendukung gagasan
mendirikan negara Islam. Bersama KH. Faqih Usman dan M Jusuf Ahmad, pada 15 Juni
1959, ia menerbitkan Majalah Pandji Masjarakat, majalah ini menitikberatkan pada
soal-soal kebudayaan dan pengetahua Islam. Dalam perkembangannya, kehadiran
majalah ini mengalami perkembangan yang luar biasa dan dinantikan oleh pembaca.
Majalah ini pernah dibreidel oleh pemerintah Soekarno karena tersentil oleh
tulisan Hatta yang berjudul �Demokrasi Kita� pada tahun1960. Tujuh tahun kemudian
majalah ini terbit kembali dan memper-banyak frekuensi penerbitannya menjadi tiga
kali sebulan.

Secara umum, HAMKA memiliki karier yang cemerlang. Hal ini dapat dilihat dari
keriernya selama 1952 hingga akhir hayatnya tahun 1981. Kesempatan dan jabatan
tersebut antara lain, memenuhi undangan Pemerintah Amerika (1952), anggota komisi
kebudayaan di Muangthai (1954), menghadiri Konferensi islam di Lahore (1958), Imam
Masjid Al Azhar, Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar masjid
di Mekkah (1976), Seminar Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, Konferensi Ulama di
Kairo (1977), Badan Pertimbangan Kebudayaan Kemen-terian P dan K, Guru Besar
Perguruan Tinggi dan Universitas dn Makassar, Penasihat Kementerian Agama, Ketua
Dewan Kurator PTQ, Ketua Majelis Ulama Indonesia (1975-1981) dan sejumlah posisi
penting lainnya.

Banyak karya tulis, buku dan tulisannya yang menjadi karya terbaiknya. Antara lain
biografi ayahnya berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangannya (1958); buku-buku filsafat dan keagamaan seperti; Tasauf Modern,
Tafsir Al Azhar, Falsafah Hidup, Falsafah Ideologi Islam, Pengarus Muhammad Abduh
Di Indonesia, Lembaga Hikmat, Hubungan Antara Agama Dengan Negara Menurut Islam,
Islam Dan Kebatinan dan puluhan karya lainnya. Sementara buku-buku sastra karyanya
adalah Si Sabariyah, Laila Majnun, Salahnya Sendiri, Toean Direktoer, Keadilan
Ilahi, Angkatan Baroe, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Dalam Lembah Kehidupan,
Dibawah Lindungan Kaabah dan lain-lain.

Pendidikan Menurut HAMKA


Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam,
yaitu ta�lim, tarbiyah dan ta�dib. HAMKA memosisikan pendidikan sebagai proses
(ta�lim) dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatannya
mengandung arti yang lebih kompre�hensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik
vertikal maupun hori�zontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan
seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Misi
pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan
manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya,
sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan
timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis.

Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan HAMKA
tarbiyah mengandung makna:
1. Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk
mencapai kedewasaan.
2. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana
pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
3. Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan
kesempurnaan seoptimal mungkin.
4. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
irama perkembangan diri peserta didik.

HAMKA membedakan makna pendidi-kan dan pengajaran. Menurutnya, pen-didikan Islam


merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk
watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajar�an Islam adalah upaya untuk
mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.

Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna


pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia
tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan
suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya
terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang
lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan
tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran
tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan
pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia
maupun di akhirat.

Bila dilihat dari dataran filsafat, batasan definisi pendidikan Islam yang
dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas
merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa
ini yang mendikotomikan kedua istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba
membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral.
Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang
bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa
manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal
pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan
seimbang.

Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu
mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur�an dan Hadis) dan fenomena alam semesta
yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta
didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk
memper-tebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti
hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang
bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan
dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.

Di sini ia memaknai manusia sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah
diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-
nyingkap rahasia alam dan meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih
baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu,
fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan
kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik
dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses
penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk
menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain
pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke
generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif
pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psiko�motorik
(menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).

HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh
roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek
tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini
disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik
sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, se�hingga akan
tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap
semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.

Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna,
maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan,
meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional
prosesnya tidak ha�nya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh
lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu
sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang
dimilikinya. Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk
peserta didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga
pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang
dikembangkan pada lembaga pen�didikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara
epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara
kepada ajaran Islam yang hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap
proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak lembaga pendidikan yang
mengajar�kan agama, akan tetapi tidak mampu �mendidikkan� agama pada pribadi
peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka memang berhasil melahirkan
out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih berbahasa Arab, akan
tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.

Isi Buku Ini


Buku ini dikarang oleh Prof. H. Samsul Nizar, dosen Universitas Baiturrhman
Padang. Buku ini merupakan sumbangsih yang menghadirkan HAMKA sebagai sosok
pendidik dan pemerhati dunia pendidikan, dalam berbagai pemikirannya tentang
pendidikan ideal serta pergulatannya dalam mengharmonisasi serta memperbarui
system pendidikan Islamtradisional menjadi system pendidikan yang integral yang
menggali segenap potensi peserta didik dan mengantarkannya menjadi sosok insan
kamil.*
RED. ELCENDIKIA [Masad]

by Masad Masrur (masadmasrur.blog.co.uk

You might also like