You are on page 1of 61

ALAT PERAGA KARTU BILANGAN BULAT

Kartu Bilangan Bulat

M ata Pelajaran Kelas / Semester Setandar Kopetensi bilangan bulat Kometensi Dasar A. Funsi Alat : Matematika : V / II : 5. menjumlahan dan mengurangkan : 5.2 Menjumlahkan bilangan bulat :

Alat ini di gunakan untuk menghitung penjumlahan bilangan bulat

B. Alat dan Bahan : B.1 Alat 1. Gunting 2. Pisau 3. Penggaris 4. sepidol / pulpen Gambar 1.1 B.2 Bahan 1.kertas manila warna merah 2 buah 2. kertas manila kuning 2 buah 3. kaleng trasparan 1 buah Gambar 1.2 C. Perinsip Kerja Alat Adalah Kartu bilangan bulat ini adalah alat Bantu untuk menjumlahkan bilangan bulat positip dan negatip. contoh penjumlahan bilangan( -6+8= )dengan menggunakan alat yang sederhana ini siswa tidak terlalu banyak berfikir akan cepat mendapatkan jawaban. Seperti soal di atas kartu yang mempunnyai tanda negatip di masukakn kekaleng sejumlah 6 buah. Dan 8 kartu bilangan pisitip dimaasukan ke kaleng juga. Setelah masuk kemudian kita ambil berpasangan anara poisitip dan negatip dalam satu kali ambil satu pasang, satu pasang sampai habis dan sisanya tidak mempunyai pasangan lagi, apa itu kartu positip maupun kartu negatip itulah nanti merupakan hasilnya. Kemudian kita hitung

yang tidak mempunnyai pasangan satu persatu itulah hasilnya D. Cara membuat I. Langlah pertama Ambil kertas manila kita buat bentuk persegi ukuran 5 cm dan kita garis-sehingga bentuknya 1. Langkah Kedua Kertas manila tadi kita beri tanda positip maupun negatip dengan sepidol

III. Lagkah ke tiga Ambil gunting untuk memotong kartu positip dan negatip tadi lihat gambar F. Cara mengunakan alat. Dalam peroses belajar mengajar dengan media yang sederhana ini hendaknya didemontrasikan dilakukan oleh siswa dan guru pembibing dan menjelaskan konsep yang perlu dipahami oleh siswa dengan bantuan alat ini ada 2 peranan penting yaitu 1. agar siswa terampil menggunakan suatu alat atau media yang ada diligkungan agar bisa memanfaatkan kekayaan alam yang ada disekitarnya untuk bisa membantu memecahkan masalah sehari-hari. 2. untuk mengetahui tehnik penjumlahan bilangan bulat dengan media dengan konsep ini siswa bisa menemukan rumus sendiri .

G. Untuk Pengujian alat Siswa bersama guru mendemontrasikan media yang sudah ada contoh dengan soal (-8 + 10 = ) siswa mengambil media kartu bilangan tersebut semua kartu bilang itu dikeluarkan dan seelah keluar baru kita masukkan sesuai dengan soal diatas yaitu 1. ambil karti bilangan negatip 8 buah lalu dimasukakn kedalam kaleng dan masukakn lagi bilangan positip 10 buah setelah itu ambil 1 pasang kartu bilang positp dan negatip . Sampai habis tidak ada pasangannya setelah itu yang tidak ada pasangannya atau sisanya didalam kaleng itu diambil satu-persatu dan dihitung dan ternyata sisanya hanya dua ,dan tandanya positip jadi itulah jawaban dari soal -8 + 10 =2

Buku harian!

Apa itu

Buku Harian? Pengertian Buku Harian


Buku harian. Buku harian adalah sebuah buku yang berisi catatan pribadi kita atau jurnal sehari-hari. Lebih tepatnya, buku harian memuat banyak hal tentang kita dan rekan-rekan di sekitar kita. Kejadiankejadian penting dapat kita tuangkan dalam buku harian. Bisa itu pengalaman memalukan, menyenangkan,

mengesankan, menyeramkan ataupun mengharukan. Orang-orang lebih mengenal buku harian dengan sebutan Diary. Umumnya, diary

itu tidak begitu tebal dan dilengkapi dengan hiasan yang lucu. Ada juga yang melalui jaringan internet, contohnya Blog. Namun, untuk berbagai kalangan, buku harian dapat

dijadikan sumber bisu dari mister-misteri yang belum terungkap. Bagi yang

menulis diary setiap hati, pasti bakat menulisnya terus berkembang.


Apa saja isinya?

Nah kalau begitu, bagaimana dengan isinya? Isi buku harian harus memuat berbagai unsur agar menjadi susunan yang baik. Diantaranya ialah: harus ada cerita, waktu dan hari/tanggal, tempat, tidak lupa

tokoh-tokohnya. Dalam buku harian yang sempurna, unsur-unsur diatas harus ada. Jadi sebuah peristiwa yang diceritakan pada lebar buku harian dapat diketahui secara jelas informasinya. Ya, tentu saja buku

harian bak sejarah kehidupan kita. Oleh karena itu, di masa depan kita dapat mengenang momentum yang pernah kita alami di masa lalu.
Bagaimana cara menulisnya?

Cara menulisnya harus penuh perasaan, sehingga rapi, baik, indah, sesuai tema, dan agar lebih nyaman harus dengan bahasa sendiri. Apa tujuannya? Ya, agar kita akan selalu mengingat kejadian yang kita tulis dalam buku harian. Pasti kita akan bahagia jika kita melihat tulisan kita di buku harian yang ditulis secara indah dan rapi. Wah, tentunya semangat untuk

menjalani hidup setiap hari akan selalu mantap!

Manfaatnya? Selain untuk melatih menulis, manfaat buku harian juga banyak. Buku harian dapat dijadikan teman curhat kita ketika kita tidak dapat menceritakan masalah kita kepada orang lain. Sejarah yang dimuat di buku harian,

dapat kita jadikan motivasi untuk hari selanjutnya. Bahkan, untuk dijadikan kenangan tersendiri dan cerminan kita untuk masa depan. Ya, tentunya intropeksi diri agar menjadi lebih baik. Sehingga kita hidup kita menjadi lebih berwarna. Menulis dan menggambar ilustrasi dari cerita kita di buku

harian juga menguntungkan, sebagai hobi untuk mengisi waktu luang.

Berbagi pengalaman. Di kelas VII saat saya mengajar materi bercerita dengan alat peraga ternyata mendapat sambutan yang antusias dari siswa. Mereka saya beri kebebasan untuk memilih dongeng yang sekiranya dapat memakai alat peraga yang bervariasi. Sederhana memang, alat peraga yang mereka gunakan juga bebas, ada yang memakai boneka, wayang-wayangan dari kertas, pensil yang dihias, kardus bekas, dan banyak lagi kreativitas yang mereka siapkan. Sengaja untuk pembelajaran ini saya memilih individual (tidak berkelompok) dengan harapan dapat memunculkan kreativitas individu yang biasanya tertahan oleh anggota kelompok lain. Hasilnya luar biasa banyak yang di luar dugaan. Untuk penilaian penampilan siswa baru melibatkan kelompok. Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang saya buat: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN A. Standar Kompetensi Mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan bercerita. B. Kompetensi Dasar Bercerita dengan alat peraga. C. Tujuan Pembelajaran Peserta didik dapat bercerita dengan alat peraga. (komunikatif) D. Materi Pokok Penyampaian cerita dengan alat peraga. E. Metode Pembelajaran

Pemodelan Inkuiri Penugasan Tanya jawab

F. Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Ke-1 Kegiatan awal


Kegiatan

Waktu

Guru memberikan salam dan mengabsen peserta didik Peserta didik dikondisikan agar siap belajar Guru menjelaskan kompetensi yang akan dicapai Peserta didik dan guru bertanya jawab untuk menggali pengalaman siswa dalam bercerita

Pertemuan

Kegiatan Peserta didik mencermati cara bercerita guru/ model Peserta didik mengidentifikasi kebermaknaan bercerita pengalaman

Waktu

Kegiatan Inti EKSPLORASI


Peserta didik disediakan teks bacaan + 200 kata atau Siswa membentuk kelompok (kreatif) Peserta didik memilih rangkaian gambar yang disajikan guru (komunikatif)

ELABORASI

Peserta didik mendiskusikan pokok-pokok cerita berdasarkan rangkaian gambar yang dipilih. (kreatif) Peserta didik bercerita di depan kelas (komunikatif) Kelompok lain menilai penampilan siswa yang bercerita (jujur)

KONFIRMASI

Peserta didik dengan bantuan guru menyusun kesimpulan dari Bercerita dengan alat peraga (rasa ingin tahu)

Penutup

Guru memberikan penugasan Peserta didik dan guru mengadakan refleksi Guru menginformasikan pada pertemuan berikutnya

Kegiatan awal Ke-2


Guru memberikan salam dan mengabsen peserta didik Peserta didik dikondisikan agar siap belajar Peserta didik dan guru bertanya jawab untuk menggali pengalaman siswa dalam bercerita Peserta didik mencermati cara bercerita guru/model Peserta didik bergabung dengan kelompok sebelumnya

Kegiatan Inti EKSPLORASI

Pertemuan

Kegiatan Peserta didik menentukan cerita yang akan disajikan (kreatif) Peserta didik menentukan alat peraga yang akan digunakan dalam cerita (kreatif)

Waktu

ELABORASI

Peserta didik dalam kelompok memilih salah satu anggotanya untuk tampil bercerita (komunikatif) Peserta didik dari kelompok lain menilai siswa yang tampil bercerita (jujur)

KONFIRMASI

Peserta didik dengan bantuan guru menyusun kesimpulan dari Bercerita dengan alat peraga (rasa ingin tahu)

Penutup

Guru memberikan penugasan Peserta didik dan guru mengadakan refleksi Guru menginformasikan pada pertemuan berikutnya Peserta didik mendengarkan penjelasan guru tentang TT dan KMTT Kegiatan Tindak lanjut berupa pengayaan (jika memperoleh nilai di atas KKM) dan remedial (jika memperoleh nilai di bawah KKM)

G. Alat dan Sumber


Buku teks Kumpulan dongeng Film contoh siswa bercerita dengan alat peraga

H. Tugas Terstruktur dan Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur Jenis Tugas Mandiri terstruktur (Individu) Uraian Tugas Merangkai pokok-pokok cerita menjadi urutan cerita yang menarik serta bercerita dengan menggunakan alat peraga berdasarkan pokok-pokok cerita Tugas Mandiri tidak terstruktur Buatlah alat peraga mengenai cerita yang berjudul (Kelompok) ..

1.

2.

I. Penilaian

Teknik : Tertulis, Praktik Bentuk : Tes uraian Indikator Instrumen Menentukan pokok-pokok cerita Tentukan pokok-pokok cerita yang terdapat didalam cerita Rangkailah pokok-pokok cerita ini menjadi urutan ceritaBerceritalah dengan menggunakan alat erangkai pokok-pokok cerita peraga menjadi untaian cerita yang menarik Bercerita dengan menggunakan alat peraga

Pedoman Penskoran RUBRIK PENILAIAN NO ASPEK PENILAIAN 1 Kesesuaian isi EKSPRESI Isi cerita sesuai dengan pokok-pokok cerita yang disusun Visualisasi mendukung cerita Pelafalan karya secara jelas dan tepat Pengaturan jeda, tinggi suara, tinggi rendahnya nada, keras lembut suara, cepat lambat suara Keselarasan antara gerak dan ekspresi wajah SKOR P 0-4

2 3 4

Kesesuaian visualisasi alat peraga Pelafalan Jeda, intonasi

0-3

0-3

Gerak/ mimik

0-7

Nilai Peserta Didik diperoleh dengan total 20. Nilai = skor yang diperoleh X 10 Skor maksimal(20) Contoh dongeng yang dipilih siswa:

Si Tanduk Panjang Konon kata yang empunya cerita, dahulu kala binatang rusa tak mempunyai tanduk. Justru anjing yang mempunyai tanduk panjang dan bercabang-cabang. Bermula dari cerita inilah kemudian rusa mempunyai tanduk panjang. Pada suatu ketika musim panas berkepanjangan tiba, hampir semua sungai kering tak berair. Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi. Hal itu juga dialami oleh sepasang rusa yang pergi mencari air dengan menyusuri bukit dan lereng-lereng gunung. Pada akhirnya, mereka menemukan sebuah sungai yang masih ada airnya. Banyak pula hewan lain yang telah berada di situ. Sudah lama sekali kita mengembara, baru sekarang kita menemukan air di sini. Lihat, sudah banyak binatang lain yang berkumpul, kata Rusa Jantan kepada istrinya. Rusa Betina memalingkan wajahnya ke segala penjuru. Memang tempat ini sudah ramai dikunjungi oleh binatang lainnya, kata Rusa Betina. Sepasang rusa itu kemudian turun ke sungai. Tiba-tiba Rusa Betina mengamit punggung suaminya seraya berkata, Coba lihat ke sana! Siapa gerangan yang sedang kemari. Sungguh tampan ia, tanduknya sangat indah dan menarik. Wah, sungguh gagah sekali tampaknya. Si Rusa Jantan menoleh, memerhatikan pendatang baru yang sedang menuruni bukit menuju sungai. Yang ke sini itu adalah Anjing. Dia sahabatku, namun sudah lama kami tak jumpa, karta Rusa Jantan. Hai, Rusa! Mengapa engkau juga berada di sini? tegur si Anjing kepada sahabatnya. Ya, tak usah heran. Bukankah sekarang ini air sangat sulit diperoleh, makanan pun tak ada. Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran hingga ketemu di tempat ini, kata Rusa Jantan. Kemudian mereka turun ke sungai untuk minum melepas dahaga. Setelah minum, mereka berpencar kembali. Mana Anjing itu tadi? tanya Rusa Betina kepada suaminya. Oh itu di sana! Di bawah pohon sedang beristirahat, mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Sahut Rusa Jantan. Kalau begitu, marilah? Kita juga beristirahat di sana bersama dengan dia, ajak si Rusa Betina. Ah, kamu ini. Selalu saja ketampanan si Anjing yang jadi buah mulutmu, sahut si Rusa Jantan. Tapi akhirnya mereka pergi juga, ke tempat si Anjing yang tengah beristirahat. Ketika mereka berteduh di bawah pohon besar yang tak jauh dengan si Anjing, Rusa Betina itu selalu memandangi si Anjing. Sang Rusa Jantan juga terus menerus memerhatikan tingkah laku istrinya. Hei! tegur si Rusa Jantan. Kenapa kau selalu memandangi si Anjing? Sedang aku tak kau perhatikan? tanya Rusa Jantan dengan jengkel Tentu saja. Aku sangat mengagumi tanduk Anjing itu, sungguh tak terkatakan indahnya. Oh,sungguh bagus sekali, jawab Rusa Betina segan memuji-muji tanduk di Anjing. Apakah ia lebih gagah dariku? tanya si Rusa Jantan pada istrinya. Yah tentu saja tidak. Tetapi yang jelas tanduknya sangat bagus. Sekiranya engkau bertanduk seperti dia, pasti kau akan jauh lebih gagah daripada si Anjing jawab Rusa

Betina. Rusa Jantan terdiam sejenak. Ia berusaha mencari akal. Lebih baik begini, katanya sesaat kemudian. Kalau kau mau lihat aku bertanduk, nanti aku meminjam tanduk si Anjing. Aku akan ke sana dulu untuk menyiasatinya. Rusa Jantan itu tampaknya termakan oleh rayuan si istrinya. Ia segera menemui si Anjing. Hei saudara Anjing. Istriku ingin melihat kita berlomba lari, kata Rusa Jantan berbohong. Si Anjing yang tak ingin mengecewakan sahabatnya menyetujui usul itu. Mereka kemudian pergi ke tepi padang rumput untuk berlomba. Apabila saya sudah berdiri dan mengangkat kakiku, maka mulailah kalian berdua lari Rusa Betina memberi aba-aba. Rusa Jantan dan Anjing itu kemudian berlomba lari, ternyata, Anjing dapat dikalahkan oleh si Rusa. Si Anjing menjadi kecewa karena kekalahannya itu. Sang Rusa Jantan pun segera menghibur sambil menyiasatinya. Begini saudara Anjing. Engkau tadi dapat ku kalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat. Nah, supaya adil bagaimana kalau aku sekarang yang memakai tanduk itu. Kemudian kita berlomba lagi. Sang Anjing segera menyetujui lagi usul sahabatnya tanpa curiga. Ia segera melepas tanduknya dan memberikannya kepada si Rusa Jantan. Kemudian Rusa Jantan memakai tanduk si Anjing yang besar dan bercabang-cabang indah itu. Segera mereka berlomba lagi. Ketika Rusa Jantan melihat si anjing berlari sekencang-kencangnya di depan, ia pun berlari terus membelok ke arah lain menjauhi si Anjing. Sementara itu, si Anjing terus berlari dan berlari. Karena merasa akan menang, ia menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika dilihat si Rusa tidak ada di belakangnya. Sadar merasa ditipu, si Anjing berlari kembali memburu si Rusa dengan marah. Akan tetapi, karena si Rusa lebih gesit dan lincah, si Anjing tak mampu menyusulnya. Akhirnya, tanduk si Anjing dibawa lari oleh si Rusa. Itulah sebabnya hingga kini, bila Anjing melihat Rusa pasti segera mengejarnya, karena ingin mengambil kembali tanduknya yang dipinjam si Rusa. Hingga saat ini, binatang Rusa Jantan memiliki tanduk yang indah dan kukuh, membuat ia tampak lebih gagah Sumber: MB Rahimsyah Cerita Rakyat Nusantara Penerbit: Terbit Terang Surabaya

Pedagang yang Budiman Sera adalah seorang pedagang keliling. Ia ramah dan selalu gembira. Sambil menyusuri jalan ia menjajakan barang jualannya, Barang bagus! Barang bagus! Siapa mau beli? Siapa mau beli? Sera senang jika ibu-ibu mau membelikan anak-anak mereka barang yang bagus. Hatinya puas melihat anak-anak tersenyum bahagia. Suatu hari, saat Sera sedang menyusuri jalan, ia melihat pedagang keliling lain bernama Taro. Pergi Sera! seru Taro marah. Ini jalanku! Aku lebih dulu berada di jalan ini! Kau boleh berdagang di sini setelah aku pergi! Sera segera pindah ke jalan lain. Taro mengetuk pintu rumah pertama. Seorang gadis kecil membuka pintu. Oh, Nenek! katanya. Maukah Nenek membelikanku sesuatu?

Kita tidak punya uang, kata Nenek. Tapi coba tanya pedagang itu. Apa dia mau menukar barang yang kamu suka dengan kendi hitam kita? Ketika si gadis keluar, ia memperlihatkan kendi hitam pada Taro. Taro mengamati lalu membuat goresan kecil pada kendi itu. Ia sangat terkejut, ternyata kendi hitam itu terbuat dari emas. Timbul ide liciknya. Wanita tua ini tidak tahu kendinya terbuat dari emas. Akan kukatakan kendi ini jelek. Lantas aku pergi. Nanti aku kembali dan membelinya dengan harga yang sangat murah. Begitu pikir Taro. Lalu ia berkata, Kendi ini tidak bagus! Setelah mengembalikan kendi pada gadis, ia segera pergi. Tak lama kemudian, Sera melewati jalan itu. Barang bagus! serunya. Siapa mau beli? Siapa mau beli? Saat gadis kecil itu melihat Sera, ia berkata, Nenek, boleh aku bertanya ke pedagang itu? Mungkin dia mau menukar barang yang kubutuhkan dengan kendi ini Kata pedagang yang tadi kendi ini jelek, sahut Nenek. Tapi coba tanya pada pedagang ini. Gadis kecil itu memanggil Sera. Maukah Bapak menukar kendi nenekku dengan barang bagus yang kubutuhkan? Sera mengamati kendi itu. Ia melihat goresan yang telah dibuat oleh Taro. Nyonya! katanya pada si Nenek. Kendi ini terbuat dari emas! Nenek memandang dengan takjub. Tetapi kata pedagang yang tadi, kendi ini tidak bagus! sahutnya. Oh tidak, kata Sera. Kendi ini terbuat dari emas. Aku akan membayar dengan semua uangku yang ada. Lalu aku akan kembali membawa uang lebih banyak. Ia tersenyum pada gadis kecil itu. Gadis kecil, ambillah beberapa barang yang kamu mau, katanya. Setelah Sera pergi, datanglah Taro si pedagang pertama tadi. Ia berkata, Aku telah berjalan jauh. Tapi aku teringat pada cucumu yang ingin barang daganganku. Aku akan memberi beberapa yang ia mau. Tukarlah dengan kendi hitam tua milikmu. Nenek lalu menceritakan apa kata Sera tentang kendi tuanya. ia memberi kami uang banyak. Nanti ia akan kembali membawa uang lebih banyak. Uang lebih banyak? seru Taro kecewa. Dia harus memberiku uang juga. Bagaimanapun, aku yang pertama melihat kendi itu! Taro terus bersungut-sungut. Gadis kecil dan neneknya hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka bersyukur bertemu Sera si pedagang yang jujur. Besoknya, Sera berhasil menjual kendi dengan harga tinggi. Ia membayar lebih banyak pada Nenek. Saat pulang, ia berkata pada istrinya, Aku telah melakukan yang terbaik untuk kendi itu. Aku telah melakukan yang terbaik, sangat baik. Apakah kamu akan kaya? tanya istrinya. Benar, kata Sera. Aku merasa kaya sekarang, karena bisa memberikan sesuatu kepada orang yang tidak mampu. Mampu membantu orang lain yang kesusahan, membuatku merasa sangat bahagia (Diterjemahkan Oleh Tututha, dari Some Pretty Little Thing) Sumber: Bobo, 19 April 2007

LANGKAH-LANGKAH BERCERITA
a. Langkah-langkah bercerita: 1) menentukan topik 2) menyusun kerangka cerita 3) mengembangkan kerangka cerita 4) menyusun teks cerita b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bercerita: 1) Keruntutan cerita Alur cerita disampaikan haruslah runtut. Cerita disampaikan denganm urutan yang baik, sehingga pendengar akan mudah memahami isi cerita. 2) Suara, lafal, dan intonasi Dalam bercerita kita harus menggunakan suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat agar pendengar tertarik pada cerita kalian. Suara yang jelas maksudnya suara yang kalian keluarkan terdengar jelas di telinga pendengar. Lafal adalah cara seseorang mengucapkan bunyi bahasa. Intonasi merupakan tinggi rendah/keras lembutnya suara. 3) Gestur dan mimik Gestur adalah gerakan badan yang digunakan dalam bercerita. Kalian dapat menggunakan gerak tangan, kepala, maupun badan untuk mempertegas isi cerita. Adapun mimik adalah ekspresi wajah (air muka) untuk menunjukkan perasaan yang terkandung

Cerita tentang Buku Harian Ayah


Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar. Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal - hal kecil dalam rumah tangga. Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ayah mendengarkan segala keluhan saya dan setelah itu, beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun. Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas. Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca Dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu. Semuanya merupaka catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya." "Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia." Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu." Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa." Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan.

Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari garagara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan saya tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati saya penuh dengan amarah waktu menulis, kertasnya sobek akibat tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu." Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?" Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala di malam hari,menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha." Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan : "Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain." "Try not to become a man of success, but try to become a man of value...." Cinta dimulai ketika seseorang menemukan bahwa kebutuhan orang lain sama pentingnya dengan kebutuhannya sendiri. (Harry Stack Sullivan)

Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara bagi Siswa SMPN 1 PEUSANGAN

oleh SUHARTINI YUSUF

BAB I Pendahuluan

Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara. Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP, khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9). Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.

Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 1 Peusangan, Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidahkaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur. Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000). Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara. Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 1Peusangan, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan

membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif. Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya. Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif. Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan

kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. A. Perumusan dan Pemecahan Masalah 1.Perumusan Masalah 1.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP? 1.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP? 2. Pemecahan Masalah 3. Tujuan Penelitian 3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP; 1. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia. 4. Manfaat Penelitian Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa SMP; 4.2 Keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 1 Peusangan, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan; 4..3 Para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.

BAB II Kajian Teori dan Pustaka Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP. I.1 Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anakanak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988). Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti 1. Menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan 2. Membuat surat lamaran pekerjaan 3. Berbicara di depan umum atau berdiskusi 4. Berpikir kritis dan kreatif dalam membaca 5. Membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturanaturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa

memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan: 1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; 2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; 1. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;

2. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; 3. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; 2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; 3. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; 4. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; 5. menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 1. menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen- kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek: 2.

(1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis. Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara 2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan menyampaikan pengumuman 2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif 2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu:

(1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif; dan (2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif. Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk: 1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan; 2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; 1. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; 2. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa berbicara adalah berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan

yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otototot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik pembicara. Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain. I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan

yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2). Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001). Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001). Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi. Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan

persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai. Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya. Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif,

dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4). Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas:

1. kealamiahan bahasa, 1. peranan anak-anak dalam berkomunikasi, 2. tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan 3. ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa

belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja. Dari berbagai penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa anak, khususnya keterampilan berbicara, dikembangkan melalui tiga cara, yaitu: (1) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam variasi yang luas; (2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input dari ujaran orang lain; dan (3) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986). Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa. Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang sebenarnya).

Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri: 1. makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk; 2. konteks itu penting, bukan item bahasa; 3. belajar bahasa itu belajar berkomunikasi; 4. target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi; 5. kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan; 6. kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45). Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri: perilaku dibangun atas kesadaran diri; 1. keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman; 2. hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik; 3. seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya; 4. pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata; 5. siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran;

6. pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete); 7. siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi; 8. hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber; 9. pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:21-22). Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai pemicu kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.

Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yaitu: 1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan 2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57). Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah delapan, yaitu: 1. latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur; 1. participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; 2. end atau tujuan; 3. act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; 4. key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;

1. instrument, yaitu alat elalui telepon atau bersemuka; 2. norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel, konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968). Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan. Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra

tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban. Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk mencapai suatu tujuan. Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia. Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.

Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan berbicara di SMP dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara sesuai dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. F. Metode Penelitian Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal terhadap rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan. Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi seharihari. Berdasarkan penggunaan pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu: 1. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP; dan 2. Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP; dan 2. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia. Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP. Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP. Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP klas VII-A SMPN Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi terhadap tindakan yang dilakukan. Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data yang diperoleh dari hasil keterampilan berbicara siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.

Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk siklus II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan berbicara siswa klas VII-A SMP Negeri 1peusangan dibandingkan dengan indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan pragmatik sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP seperti yang telah dirumuskan dalam hipotesis tindakan. F.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 1peusangan. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMPN 1peusangan yang terdiri atas 40 siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan. F.2 Pemecahan Masalah Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa kelas VII-A SMP Negeri1peusangan, dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif baru sekitar 20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari standar ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.

Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini. Tabel 7.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menceritakan Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan Kalimat Efektif Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara 2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan menyampaikan pengumuman 2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif. Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik melalui enam langkah, antara lain sebagai berikut: 7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan. 7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan. 7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur. 7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat. 7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota badan yang lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa kelas VII-A SMP 1peusangan Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya, pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam berbicara sangat ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa. Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan menentukan pengalaman yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya memberikan rambu-rambu sebagai pedoman bagi siswa dalam berbicara.

F.3 Rencana Tindakan Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas VII-A SMP Negeri 1peusangan dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif, antara lain sebagai berikut. F.3.1 Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kelas VII semester I seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran Permendiknas No. 22/2006).

Dalam silabus dicantumkan nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, dan standar kompetensi), kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan belajar, indikator, penilaian (teknik, bentuk, dan contoh instrumen), alokasi waktu, dan sumber/media belajar. F.3.2 Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memuat komponen: nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu), tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian dan pedoman penilaian. F.3.3 Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti melibatkan kolaborator untuk mengamati pelaksanaan tindakan.

F.3.4 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam berbicara mengenai pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif. F.3.5 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan bersama-sama dengan

peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya. F.3.6 Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama kolaborator. F.3.7 Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan yang telah disusun. F.3.8 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif. F.3.9 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan hasil yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan, penelitian dinyatakan selesai dan tinggal melakukan tindakan pemantapan kepada siswa (subjek penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama kolaborator untuk merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan pada siklus berikutnya.

F.4 Tahap Pelaksanaan Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai berikut. F.4.1 Tahap Persiapan Tindakan Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan. F.4.2 Pelaksanaan Tindakan Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai rencana yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai berikut. F.4.2.1 Tindakan Awal F.4.2.1.1 Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan pengalaman siswa. F.4.2.1.2 Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. F..4.2.2Tindakan Inti F.4.2.2.1 Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang disampaikan oleh peneliti.

F..4.2.2.2 Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh cerita yang disimak. F..4.2.2.3 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan. F..4.2.2.4 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan. F..4.2.2.5 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur. F..4.2.2.6 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

F..4.2.2.7 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan halhal yang telah dicatat sebelumnya. F..4.2.2.8 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan.

F.4.2.3Tindakan Akhir F..4.2.3.1 Siswa bersama peneliti menyimpulkan cara menceritakan pengalaman mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif. F..4.2.3.2 Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pendekatan prgmatik. F.4.3 Pelaksanaan Pengamatan Ketika peneliti melaksanakan tindakan, anggota peneliti sebagai kolaborator melakukan pengamatan terhadap situasi yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh kolaborator dalam lembar observasi, di antaranya: 1. respon siswa, 2. perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran; 1. keterampilan guru dalam menggunakan pendekatan pragmatik, baik dalam tindakan awal, tindakan inti, maupun tindakan akhir; dan 1. kesesuaian antara rencana dan implementasi tindakan.

BAB III Analisis dan Refleksi Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk kerja yang dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif. Unsur-unsur yang dianalisis, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata, keefektifan kalimat, kelogisan penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data akan diketahui unsur-unsur mana saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam menceritakan pengalamannya yang mengesankan. Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan untuk melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi, kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus berikutnya. Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis data menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. F.5 Cara Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik berikut ini: F.5.1 Tes Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-aspek yang

dinilai, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. F.5.2 Nontes Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: F.5.2.1 Observasi (pengamatan): teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk mengobservasi pelaksanaan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. F..5.2.2 Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk mengetahui respon siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang menonjol karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman wawancara. F.5.2.3 Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek: 1. respon siswa terhadap penggunaan pendekatan pragmatik; 2. situasi pembelajaran; dan 3. kekurangpuasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali mengikuti kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan: (1) respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan pendekatan pragmatik; (2) metode pembelajaran yang disukai siswa; dan (3) kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

F..6 Teknik Analisis Data Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara kuantitatif berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui persentase peningkatan keterampilan siswa kelas VII-A SMPN 1peusangan dalam menceritakan pengalaman yang mengesankan. Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa, daya serap, dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu, juga dideskripsikan jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya serap, dan ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus.

You might also like