You are on page 1of 26

19 Hadist Rasullah SAW Mengenai Wanita

1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Doa perempuan lebih makbul daripada lelaki kerana sifat penyayangnya yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab baginda, "Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia". Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya.Allah mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan. Apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah memberinya pahala seperti memerdekakan 70 hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, darjatnya seumpama orang yang sentiasa menangis kerana takutkan Allah dan orang yang takutkan Allah, akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya. Barangsiapa membawa hadiah, (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun). Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana sahaja yang dikehendaki. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1,000 lelaki yang soleh. Aisyah berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab rasulullah, "Suaminya. "Siapa pula berhak terhadap lelaki?" Jawab Rasulullah, "Ibunya". Apabila memanggil akan engkau dua orang ibubapamu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut,burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya serta menjaga sembahyang dan puasanya. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab. Syurga itu di bawah tapak kaki ibu. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Nabi s.a.w) di dalam syurga. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya syurga. Daripada Aisyah r.a. Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuan lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.

Sering kali dalam ceramah-ceramah agama kita mendengar bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam a.s. Memang pada kenyataannya timbul perbedaan pendapat mengenai penciptaan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dalam terjemahan lama al-Quran Departemen Agama surat An-Nisaa ayat 1 : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya .. . Pada catatan kaki terjemahan lama Depag tersebut, kata dari padanya tertulis dari padanya' menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Menurut pakar hadist paling terkemuka di Indonesia, Prof. KH. Ali Mustafa Yakub MA, paling tidak ada 3 point penting dalam memahami dan menelaah hadist-hadist yang berkaitan dengan kata dari padanya dalam Surat An Nisaa : 1. 2. Pada kitab shahih Imam Bukhori dan Muslim tidak disebutkan dalam hadist bahwa tulang rusuk tersebut adalah tulang rusuk Adam a.s, hanya disebutkan dari tulang rusuk. Hadist tentang wanita dan tulang rusuk tidak hanya terdapat 1 versi saja, akan tetapi ada beberapa versi, pertama disebutkan bahwa wanita di ciptakan dari tulang rusuk, tulang rusuk itu yang ujungnya melengkung (bengkok) dan apabila diluruskan (dengan tidak hati2) maka akan patah, maka berwasiatlah yang baik kepada wanita. Kedua, dengan redaksi yang hampir sama, tetapi disebutkan bahwa wanita diciptakan sifatnya seperti tulang rusuk, melengkung (bengkok) dan apabila diluruskan mudah patah, artinya wanita mempunyai sifat yang cenderung bengkok seperti tulang rusuk, maka butuh bimbingan yang baik dan perlahan agar tidak patah, patah menurut sebagian ulama ialah cerai. Bahwa dalam memahami hadist tidak dibenarkan jika berdasarkan satu riwayat atau satu versi saja, karena memang terdapat perbedaan penyampaian redaksi hadist dari para sahabat Nabi kepada murid-muridnya yang disebut tabiin, karena tidak seperti al-Quran yang harus disampaikan dengan redaksi yang mutlak sama, hadist bisa disampaikan dengan redaksi yang berbeda. Yang baik dalam memahami hadist adalah melihat semua hadist yang ada lalu mengambil kesimpulan. Sama halnya dengan al-Quran yang ayat satu sama lain saling menjelaskan begitu pula dengan hadist.

3.

Maka pada hadist-hadist seputar wanita dan tulang rusuk, pemahaman yang benar adalah bahwa wanita diciptakan atau tercipta seperti halnya tulang rusuk, tulang rusuk itu bengkok ujungnya, jika diluruskan akan mudah patah, maka harus jadi perhatian seorang Ayah dan Suami bahwa dalam mendidik anak perempuan dan istrinya dibutuhkan ke-arifan dan kesabaran yang lebih, begitu juga bagi seorang anak dan istri harus meredam sifat egois karena kecantikan, harta dan pengetahuan yang mungkin lebih dari suaminya. Dapat juga dipahami bahwa Rasulullah hanya menyebutkan karakteristik tulang rusuk yang bengkok dan mudah patah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa tulang rusuk memiliki karakteristik lainnya, contoh melindungi organ-organ penting yang berada dalam tulang rusuk tersebut. Begitu juga dengan wanita, wanita juga berperan melindungi organ-organ penting dalam rumah tangga yaitu melindungi hal-hal yang sangat strategis dalam melindungi generasinya dari kebobrokan moral. Wallahu alam. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS 66 : 6)

Wanita tercipta bukan lah dari tulang ubun-ubun, sejatinya agar ia tidak menjadi tinggi (hati) Dia juga tidak tercipta dari tulang tumit kaki, agar tidak di injak-injak (harga dirinya) Namun ia tercipta dari tulang rusuk sebelah kiri, didekat hati agar ia dicintai... dan terletak di dekat tangan,sejatinya agar ia dilindungi...." (Karitasurya)

Bagaimanakah aturan islam tentang berpakaian, baik bagi laki-laki ataupun perempuan ? Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhm

al-ijtimaiyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak. Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang apalagi wanita sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan. Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam: 1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah. 2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya). 3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya. Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh. Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah. B. Pakaian Bagi Seorang Muslim Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni: 1. Menutup aurat; 2. Tidak terbuat dari emas atau sutera; 3. Tidak menyerupai pakaian wanita; 4. Tidak menyerupai orang-orang kafir. C. Aurat Laki-Laki Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat Aisyah: Dari Amr bin Syuaib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya. [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587]. Rasulullah Saw bersabda: Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid]. Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Mamar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda: Wahai Mamar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat. [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib]. Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda: Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat? [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwt at-Tafsir, Muhammad Ali ash-Shabuni]. Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati. [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwt at-Tafsir, Muhammad Ali ash-Shabuni]. Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki Larangan ini berdasarkan hadits: Diriwayatkan dari al-Bara bin Azib r.a katanya: Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus. [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212]. Larangan Menyerupai Wanita Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki. Larangan Menyerupai Orang Kafir Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup. Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri. D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah

Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Menutup aurat; 2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha); 3. Tidak tembus pandang; 4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya; 5. Tidak tabarruj; 6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki; 7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir. Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan: 1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus. 2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan. Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki. c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum). d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki. Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nr [24]: 60). Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang). E. Aurat Wanita Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu: 1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim). 2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nr [24]: 31 dan Qs. an-Nis [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut. Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT: .dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali (Qs. an-Nr [24]: 31). Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa m zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan. 1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu: .dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (Qs. an-Nr [24]: 31). Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Quran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa m zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan. (Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma binti Abu Bakar: Wahai Asma: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya. [HR. Abu Dawud, No. 3580]. Qs. an-Nr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul. Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu: 1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).

2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma dan bersabda: Wahai Asma: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini [HR. Abu Dawud, no. 3580]. Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma dan memerintahkan Asma untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah: Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya. Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya: Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya. Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya. Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain. Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya. Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni: 1. Menutup aurat; 2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha); 3. Tidak tembus pandang; 4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya; 5. Tidak tabarruj; 6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki; 7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir. Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut: Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Qs. an-Nr [24]: 31). Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya. Khumur adalah jama dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT: Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Ahzab [33]: 59). (2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. an-Nr [24]: 60). (3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya. Sebagimana dalam hadits dari Ummu Athiyah ra. Berkata: Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya. (HR. Muslim, no 1475]. Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab. Memahami Pengertian Jilbab

Kata jilbab digunakan di dalam al-Quran dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab. Dari Qs. an-Nr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab. Adapun Hadist dari Ummu Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab, maka Rasulullah menjawab: Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya. Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah. Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnna alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnna adalah yurkhna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Ummu Salamah bertanya: Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka? Rasulullah menjawab: Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal. Ummu Salamah bertanya lagi: Kalau demikian terlihat kaki mereka. Rasulullah menjawab: Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu. Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain. Memahami Pengertian Tabarruj Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. an-Nr (24): 60). Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj. Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang nyentrik atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan. Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj. Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (Qs. an-Nr [24]; 31). Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan. Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Syarawi: Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina. Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw: Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggaklenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya. Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara, Hukum asal suatu benda (asy y) adalah mubah. Perhiasan adalah asy y (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato. Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom). Tipe-tipe Wanita dalam Alquran May 18th, 2007 Ketika memasuki sebuah showroom, butik atau toko yang menjual pakaian wanita, kita akan mendapatkan pakaian dalam berbagai bentuk, corak dan ragamnya. Mau pilih yang mana? Semuanya terserah kita. Sebab kita sendiri yang akan memakainya. Kita pula yang akan menerima konsekuensi dari memakai pakaian tersebut. Pakaian dapat kita analogikan dengan kepribadian. Seperti halnya pakaian, kepribadian wanita pun memiliki beragam jenis dan corak. Kita diberi kebebasan untuk memilih tipe mana saja yang paling disukainya. Namun ingat, dalam setiap pilihan ada tanggung jawab yang harus dipikul. Karena itu, agar tidak menyesal dikemudian hari, Alquran memberi tuntunan kepada orang-orang beriman (khususnya Muslimah) agar tidak salah dalam memilih kepribadian. Lima tipe wanita Setidaknya ada lima tipe wanita dalam Alquran. Pertama, tipe pejuang. Wanita tipe pejuang memiliki kepribadian kuat. Ia berani menanggung risiko apa pun saat keimanannya diusik dan kehormatannya dilecehkan. Tipe ini diwakili oleh Siti Asiyah binti Mazahim, istri Firaun. Walau berada dalam cengkraman Firaun, Asiyah mampu menjaga akidah dan harga dirinya sebagai seorang Muslimah. Asiyah lebih memilih istana di surga daripada istana di dunia yang dijanjikan Firaun. Allah SWT mengabadikan doanya, Dan Allah menjadikan perempuan Firaun teladan bagi orang-orang beriman, dan ia berdoa, Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang zalim (QS At Tahriim [66]: 11). Kedua, tipe wanita shalihah yang menjaga kesucian dirinya. Tipe ini diwakili Maryam binti Imran. Hari-harinya ia isi dengan ketaatan kepada Allah. Ia pun sangat konsisten menjaga kesucian dirinya. Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina! . Demikian ungkap Maryam (QS Maryam [19]: 20). Karena keutamaan inilah, Allah SWT mengabadikan namanya sebagai nama salah satu surat dalam Alquran (QS Maryam [19]). Maryam pun diamanahi untuk mengasuh dan membesarkan Kekasih Allah, Isa putra Maryam (QS Maryam [19]: 1634). Allah SWT memuliakan Maryam bukan karena kecantikannya, namun karena keshalihan dan kesuciannya. Ketiga, tipe penghasut, tukang fitnah dan biang gosip. Tipe ini diwakili Hindun, istrinya Abu Lahab. Alquran menjulukinya sebagai pembawa kayu bakar alias penyebar fitnah. Dalam istilah sekarang wanita penyiram bensin. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa. demikian pula istrinya, pembawa kayu bakar yang di lehernya ada tali dari sabut (QS Al Lahab [111]: 1-5). Bersama suaminya, Hindun bahu membahu menentang dakwah Rasulullah SAW, menyebar fitnah dan melakukan kezaliman. Isu yang awalnya biasa, menjadi luar biasa ketika diucapkan Hindun. Keempat, tipe wanita penggoda. Tipe ini diperankan Zulaikha saat menggoda Nabi Yusuf. Petualangan Zulaikha diungkapkan dalam Alquran, Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, Marilah ke sini. Yusuf berkata, Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung (QS Yusuf [12]: 23). Kelima, tipe wanita pengkhianat dan ingkar terhadap suaminya. Allah SWT memuji wanita yang tidak taat kepada suaminya yang zalim, seperti dilakukan perempuan Firaun (QS At Tahriim [66]: 11). Namun, pada saat bersamaan Allah pun mengecam perempuan yang bekhianat kepada suaminya (yang saleh). Istrinya Nabi Nuh dan Nabi Luth mewakili tipe ini. Saat suaminya memperjuangkan kebenaran, mereka malah menjadi pengkhianat dakwah. Difirmankan, Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). (QS At Tahriim [66]: 10). Wanita-wanita yang dikisahkan Alquran ini hidup ribuan tahun lalu. Namun karakteristik dan sifatnya tetap abadi sampai sekarang. Ada tipe pejuang yang kokoh keimanannya. Ada wanita salehah yang tangguh dalam ibadah dan konsisten menjaga kesucian diri. Ada pula tipe penghasut, penggoda dan pengkhianat. Terserah kita mau pilih yang mana. Bila memilih tipe pertama dan kedua, maka kemuliaan dan kebahagiaan yang akan kita dapatkan. Sedangkan bila memilih tiga tipe terakhir, kehinaan di dunia dan kesengsaraan akhiratlah akan kita rasakan. Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (QS An Nuur [24]: 34). Wallaahu alam.

Aurat dan Jilbab (01) Aku dapat artikel ini dari temanku. Kebetulan cukup detail membahas aurat perempuan, yang garis besarnya pernah aku tulis di sini. Artikel ini aku kupipes dan sedikit diedit, insya ALLOH tidak mengurangi makna yang terkandung. Aku bagi menjadi 2 bagian, agar tidak terlalu panjang. Semoga bermanfaat. 10/13/2001 - Arsip Fiqh Rasululloh SAW bersabda: Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyanggoyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian. (HR. Muslim) Wanita-wanita yang digambarkan Rasul dalam hadis di atas sekarang banyak sekali kita lihat. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang mentradisi dan dianggap lumrah. Mereka adalah wanita-wanita yang memakai pakaian tapi telanjang. Sebab pakaian yang mereka kenakan tak dapat menutupi apa yang ALLOH SWT perintahkan untuk ditutupi. Budaya barat adalah penyebab fenomena ini. Sebab pakaian yang tak layak tersebut bukanlah merupakan budaya masyarakat Islam dan tidak pula dikenal dalam tradisi masyarakat kita. Namun itu adalah hal baru yang lantas diterima tanpa dikritisi. Tidak pula itu diuji dengan pertanyaan, bolehkah ini

menurut agama, atau baikkah ini bagi kita dan pertanyaan lain yang senada. Boleh jadi karena perasaan rendah diri yang akut dan silau terhadap kemajuan barat dalam beberapa hal akhirnya banyak di antara kita yang menerima budaya barat dengan mata tertutup (atau sengaja menutup mata). Namun di sana kita juga melihat fajar yang mulai terbit. Kesadaran untuk kembali kepada budaya kita sendiri (baca: budaya berpakaian islami) mulai tumbuh. Betapa sekarang kita banyak melihat indahnya kibaran jilbab di mana-mana. Di kampus, di sekolah, di pasar dan bahkan di terminal-terminal. Malah di beberapa negara barat (Inggris dan Jerman misalnya) muslimah-muslimah pemakai jilbab tak lagi sulit ditemukan. (tambahan dariku) Meski di Perancis malah terjadi sebaliknya, ada pelarangan penggunaan jilbab walau sudah tidak terlalu banyak perdebatan lagi. Jelasnya saat ini sudah tak ada lagi larangan untuk mengenakan busana dan pakaian yang menutup aurat. Permasalahannya, apakah jaminan kebebasan ini kemudian segera disambut oleh para muslimah kita dengan segera kembali mengenakan pakaian takwa itu atau tidak. Yang pasti alasan dilarang oleh si ini dan si itu kini tak berlaku lagi. AURAT WANITA DAN HUKUM MENUTUPNYA Aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Yang menjadi dasar hal ini adalah: 1. Al-Quran surat Annur(24):31 Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya Keterangan : Ayat ini menegaskan empat hal: a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh ALLOH SWT. b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram. c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kata kecuali yang biasa nampak dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar RA. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut Atho, Imam Auzai dan Ibnu Abbas RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Masud RA. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja. d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada. 2. Hadis riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasululloh SAW dengan pakaian yang tipis, lantas Rasululloh SAW berpaling darinya dan berkata:Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi). Keterangan : Hadis ini menunjukkan dua hal: a. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan. b. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat. Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat solat saja namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya. Selain kedua dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang menegaskan akan kewajiban menutup aurat ini: 1. Dari Al-Quran: a. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu (Qs. AlAhzab: 33). Keterangan: Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah merupakan perilaku jahiliyyah. Bahkan diriwayatkan bahwa ritual haji pada zaman jahiliyyah mengharuskan seseorang thawaf mengelilingi kabah dalam keadaan bugil tanpa memandang apakah itu lelaki atau perempuan. Konteks ayat di atas adalah ditujukan untuk istri-istri Rasululloh SAW. Namun keumuman ayat ini mencakup seluruh wanita muslimah. Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan: Yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafadz sebuah dalil dan bukan kekhususan sebab munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la bikhususis sabab). b. Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan ALLOH SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Ahzab: 59). Keterangan: Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka. 2. Hadis Rasululloh SAW, bahwasanya beliau bersabda: Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mrip ekor sapi untk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian. (HR. Muslim) Keterangan: Hadis ini menjelaskan tentang ancaman bagi wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya. Yaitu siksaan api neraka. Ini menunjukkan bahwa pamer aurat dan buka-bukaan adalah dosa besar. Sebab perbuatan-perbuatan yang dilaknat oleh ALLOH SWT atau Rasul-Nya dan yang diancam dengan sangsi duniawi (qishas, rajam, potong tangan dll) atau azab neraka adalah dosa besar.

Non-Muslim dalam Perspektif Al-Quran Wacana seputar term non-Muslim seringkali memicu perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Sebagian kalangan menganggap bahwa nonMuslim adalah kelompok lain (the other), bahkan tidak jarang kalangan ini dengan sikap sinis memandang mereka (non-Muslim) sebagai musuh, karena dianggap telah menyimpang dari rel akidah yang sesungguhnya. Kalangan ini memberikan label sesat bahkan kafir kepada non-Muslim. Di sisi lain, sebagian kalangan umat Islam lainnya memandang non-Muslim sebagai saudara seiman (brother in faith). Kalangan ini beranggapan bahwa pada hakekatnya sumber agama-agama adalah satu, dan tujuan dari agama-agama itupun sama, yaitu menggapai keselamatan universal. Dalam kajian ini akan diungkapkan bagaimana sebenarnya al-Quran menyikapi agama lain dan para pemeluknya? Apakah kaum pemeluk agama lain selain Islam dianggap sebagai musuh, ataukah justru sebaliknya, mereka disebut sebagai saudara seiman (brother in faith)? Kalau kita cermati melalui penelusuran sejarah, khususnya sejarah turunnya wahyu, respon al-Quran terhadap kaum lain sesuai dengan beragam respon mereka terhadap pesan-pesan Islam dan kehadiran Nabi. Respon kondisional al-Qurn terhadap keberadaan kaum lain ini harus dilihat secara objektif. Karena jika tidak, maka yang akan muncul adalah prasangka sepihak dan parsial yang menyebut bahwa al-Quran secara umum menunjukkan sikap menentang eksistensi kaum lain. Atau sebaliknya, al-Quran dianggap mengapresiasi secara positif keberadaan kaum lain dalam kondisi apapun juga. Kenyataan akan sikap tidak objektif dalam melihat respon al-Quran terhadap kaum lain ini terjadi di masyarakat muslim. Menurut Farid Esack dalam Quran, Liberation & Pluralism, ada dua cara yang kerap dilakukan oleh mereka yang tak mampu atau tak mau melihat watak gradual dan kontekstual pewahyuan al-Quran dalam menghadapi teks-teks kontradiktif tentang kaum lain ini: Pemikir liberal kerap mengabaikan begitu saja ayat-ayat yang mencela penganut agama lain, sementara kaum tradisionalis dan konservatif mengambil jalan yang hanya bisa disebut sebagai penerapan tafsir linguistik yang dipaksakan untuk mendesak teks-teks inklusivistik agar menghasilkan pemaknaan yang eksklusivistik. Lebih lanjut, Esack mengungkapkan bahwa ide perkembangan sikap al-Quran terhadap kaum lain bersifat gradual dan kontekstual ini, memiliki berbagai implikasi signifikan. Pertama, orang tak bisa berbicara tentang posisi final al-Quran terhadap kaum lain. Dan kedua, adalah keliru untuk menerapkan teks-teks celaan secara universal, secara ahistoris, kepada semua yang didefinisikan sebagai ahl al-Kitb atau kafir. Beragam respon baik yang negatif berupa celaan, maupun yang positif berupa pengakuan akan eksistensi keimanan mereka ditunjukkan al-Quran dalam beberapa ayatnya. Hal ini sekaligus menegaskan sikap al-Quran yang kondisional terhadap eksistensi kaum lain. Respon negatif terhadap kaum Yahudi dan Nashrani berupa celaan atas sikap mereka, ditunjukkan al-Quran, misalnya dalam Q., s. Ali Imran/3: 75: Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. Ayat ini menegaskan bahwa al-Quran mencela sikap kaum Yahudi dan Nashrani yang menjustifikasi eksploitasi terhadap kaum mereka sendiri dengan dasar bahwa kitab suci mereka membolehkan praktik-praktik itu. Ayat ini kemudian diikuti dengan pencelaan pada mereka yang menukar janji (dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit. Dalam Q., s. Ali Imran/3: 77 ditegaskan: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat Selain dua ayat di atas, celaan terhadap kaum Yahudi dan Nashrani juga diungkapkan al-Qurn dalam ayat lain, seperti ditegaskan dalam Q., s. alJumuah/62: 6: Katakanlah: Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar. Dalam ayat ini, al-Quran secara tegas mengecam sikap eksklusivisme kaum Yahudi yang merasa lebih superior atas kaum lainnya. Mereka merasa bahwa hanya mereka sajalah yang menjadi kekasih Allah, sementara kaum lainnya dianggap lebih rendah dan lebih hina. Dari sikap ini, mereka memperlakukan orang-orang lain di luar kaum mereka dengan sikap arogan dan sewenang-wenang. Sikap ini kemudian dikecam keras oleh al-Quran sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Kecaman serta celaan al-Quran terhadap eksklusivisme kaum Yahudi dan Nashrani, yang merasa bahwa hanya mereka sajalah yang memperoleh keselamatan, juga ditunjukkan dalam Q., s. al-Baqarah/2: 111: Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar. Al-Quran, melalui ayat ini mencela klaim sebagian Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani bahwa kehidupan akhirat hanyalah untuk mereka dan tidak diperuntukkan bagi orang lain. Al-Quran menegaskan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah bualan atau angan-angan kosong belaka. Karena, pada hakekatnya kehidupan akhirat adalah milik semua kaum yang beriman kepada Allah, percaya kepada Hari Akhir, serta beramal saleh. (Q., s. al-Baqarah/2: 62). Di samping ayat-ayat yang menunjukkan respon negatif berupa kecaman al-Quran terhadap sikap kaum Yahudi dan Nashrani, al-Quran juga menunjukkan apresiasi positif akan eksistensi keberagamaan serta keimanan mereka. Dari hasil kajian penulis akan hal ini, ada sejumlah petunjuk di dalam al-Quran tentang penerimaan al-Quran terhadap eksistensi keimanan kaum lain. Al-Quran secara eksplisit menerima adanya pluralisme agama. Dalam hal ini, al-Quran menjadikan kepercayaan pada keaslian semua agama wahyu sebagai syarat keimanan. Hal ini ditandaskan dalam Q., s. al-Baqarah/2: 136: Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Al-Quran juga mengakui keabsahan semua agama wahyu dalam dua hal: pertama, al-Quran menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum Muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan praktik-praktik keagamaan mereka. Hal ini ditegaskan dalam Q., s. al-Muminun/23: 52:

Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepadaku. Mengenai penghormatan atas hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum lain ditegaskan dalam Q., s. al-Maidah/5: 47: Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. Kedua, al-Quran menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setia agama-agama wahyu ini juga akan mendapat keselamatan dengan ungkapannnya: tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q., s. al-Baqarah/2: 62). Selain penegasan tentang eksistensi keimanan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani, al-Qurn juga mengapresiasi secara positif interaksi sosial kaum Muslim dengan mereka, terutama dalam hal makanan dan perkawinan. Dalam hal makanan dan perkawinan, secara tegas Q., s. al-Maidah/5: 5 menyatakan: Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa makanan Ahli Kitab halal bagi kaum Muslim, begitu juga sebaliknya. Di samping itu, pria Muslim juga diperkenankan (baca: halal) menikahi wanita-wanita suci, yaitu wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan Ahli Kitab. Kenyataan ini menunjukkan bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan kaum Muslim dan kaum lain. Dari keterangan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa pengakuan al-Quran atas pluralisme agama mencakup dua hal pokok yang sangat penting dalam kehidupan ini, yaitu pertama, penerimaannya atas kehidupan spiritual dan keselamatan mereka, yakni kaum lain melalui jalan yang berbeda. Dan kedua, penerimaan al-Quran terhadap kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah. Dari penelusuran sejarah tentang sikap al-Quran terhadap kaum lain, atau biasa disebut dengan non-Muslim, terlihat jelas betapa al-Quran menyikapinya sesuai dengan kondisi di mana mereka, kaum lain merespon pesan-pesan al-Quran. Dengan demikian, adalah naif jika kaum Muslim menggeneralisasi penolakan atau pencelaan terhadap agama lain, tanpa memperhatikan konteks sosiohistoris dari teks-teks yang digunakan untuk mendukung sikap tersebut. (*) Cara Al-Quran Memuliakan Wanita Minggu, 16 April 2006 ( dari www.bmh.or.id ) Gambaran dari dimuliakannya kaum wanita oleh al_quran ialah larangan Allah atas kaum wanita yang berkedudukan tinggi dan berketurunan bangsawan serta paras cantik untuk mengolok-olok mereka yang tidak memperoleh nasih serupa. Begitu pula larangan seripa bagi kaum pria terhadap kaum pria. Firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan janganlah pula wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena boleh jadi wanita yang (diperlolok-olok) lebihbaik dari pada wanita (yang mengolok-olok), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamupanggilmemanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang zalim. (QS Al Hujurat : 11) Janganlah mencela dirimu sendiri berarti mencela antara sesama orang-orang beriman. Ini dilarang karena mereka seperti satu badan. Anas r.a. Berkata bahwa sebab turunnya (asbabul nuzul) ayat ini aialah berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw. Yang memperolok-olok Ummu Salamah karena bentuk tubuhnya yang pendek. Dari Ibnu Abbas r.a., Ikrimah berkata bahwa Shafiyah binti Huyai Bin Akhtab (istri Rasulullah yang Yahudi) mendatangi Rasulullah saw. Dan mengeluh bahwa istri-istri Nabi mengejek dengan perkataan, Wahai Yahudiyah binti dua orang Yahudi. Nabi saw berkata kepadanya, Jawablah mereka dan katakan,Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad.Lalu turunlah ayat ini. Gambaran lainnya dari pemuliaan terhadap kaum ibu dalam al-Quran ialah Firman Allah SWT, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budakbudak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepadamu tiga kali (dalam satu hari), yang sebelum shalat subuh, ketika kaum menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya. (Itulah) tiga aurat bagimu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain). Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nur : 58) Tafsir ayat ini jelas ketika Allah SWT menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman agar menyuruh para pelayan (budak-budak) mereka untuk meminta izin bila memasuki kamar-kamar tidur mereka, supaya tidak masuk mendadak, sedang mereka dalam keadaan tidak suka dilihat orang lain. Begitu pula terhadap anggota keluarga yang belum baligh agar minta izin tiga kali sehari semalam, yaitu sebelum sholat subuh, ketika meninggalkan pakaian luar mereka saat mau tidur siang, dan pada malam hari sesudah shalat isya (saat mereka membuka pakaian); dan tidak ada halangan pada selain waktu-waktu itu. Muqatil berkata bahwa sebab turunnya ayat ini ialah apa yang dialami Asthmabinti Murstid yang punya anak lelaki yang sudah dewasa dan seringkali memasuki kamar Asthma(ibunya) pada kondisi yang ia tidak suka, lalu ia mendatangi Rasulullah saw. Dan berkata, Pelayan-pelayan dan anak-anak kami yang sudah dewasa memasuki kamar-kamar tidur kami pada keadaan yang tidak kami sukai. Lalu turunlah ayat ini. Begitullah cara al-Quran memuliakan kaum wanita, dengan langsung memberi jawaban atas permasalahan yang di hadapi. Bukti Wanita Mulia Dalam Islam March 30th, 2007 No Comments Allah tidak pernah menghina atau memuliakan makhluk-makhlukNya berdasarkan jantina. Sebaliknya kemuliaan seseorang adalah berdasarkan ketakwaan nya kepada Allah. Berhubung dengan ini, di dalam surah Al-Hujurat ayat 13 Allah berfirman: Sesungguhnya yang paling mulia di kalangan kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Wanita dan lelaki adalah sama di sisi Allah sebagai hamba Allah. Jika seseorang wanita beriman dan beramal salih dia diganjar Allah dan diletakkan di tempat yang tinggi. Dalam surah Ali-Imran ayat 195 Allah berfirman yang bermaksud: Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amalan orang-orang yang beramal di antara kamu baik lelaki ataupun wanita kerana sebahagian kamu adalah keturunan dari sebahagian yang lain. Wanita yang bertakwa mendapat pembelaan daripada Allah. Ketika Maryam ibu Nabi Isa mengandung, masyarakat sekeliling mengutuk beliau tetapi Allah membela dan memuliakan beliau melalui firmanNya di dalam surah Ali-Imran ayat 42 yang bermaksud: Dan (ingatlah) ketika malaikat (Jibrail) berkata: Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang hidup semasa dengan kamu). Demikian juga yang berlaku ke atas ibu nabi Musa. Ketika Firaun bertindak kejam membunuh anak-anak lelaki Bani Israil, ibu nabi Musa berasa bimbang tentang keselamatan anaknya. Allah memuliakan beliau dengan menenteramkan jiwa beliau melalui firmanNya yang bermaksud: Dan Kami ilhamkan

kepada ibu Musa: Susuilah dia dan apabila kamu khawatir ke atas keselamatannya letakkanlah ia di atas sungai (Nil). Dan janganlah kamu bimbang dan janganlah pula bersedih hati kerana Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. Kenyataan ini disebutkan di dalam surah Al-Qasas ayat 7. Pandangan dan sikap yang baik walaupun datang dari wanita, dimuliakan Allah. Di dalam surah Al-Qasas ayat 26, Allah memuliakan anak perempuan Nabi Syuaib dengan merakamkan pandangan beliau yang amat bernilai berhubung aspek pengurusan. Allah berfirman: Dan salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Wahai bapaku ambillah dia (Musa) sebagai pekerja kita kerana sesungguhnya orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja ialah seorang yang gagah lagi dapat dipercayai. Al-Quran juga merakamkan kebijaksanaan kepimpinan permaisuri negeri Saba, Balqis, di dalam surah An-Naml ayat 33 dan 34: Mereka (para pembesar negeri Saba) berkata: Kita mempunyai kekuatan dan keberanian yang cukup, namun urusan ini terserah kepadamu. Justeru, perhatikanlah apa yang hendak kamu perintahkan. Permaisuri (Balqis) berkata: Raja-raja, apabila memasuki sesebuah negeri akan merosakkan negeri itu dan menjadikan penduduk yang mulia hina. Itulah yang akan mereka lakukan. Islam tidak mengizinkan wanita dikotak-katikkan oleh golongan lelaki. Dalam surah an-Nisak Allah menegaskan, Wahai orang yang beriman, janganlah kamu memusakai wanita secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mengambil sebahagian apa yang telah kamu berikan.. Para suami diperintahkan Allah supaya menjaga isteri-isteri mereka dengan baik dan tidak menjadikan isteri-isteri seperti bola yang boleh ditendang ke sana ke mari. Jika si isteri mempunyai kelemahan, si suami juga mempunyai kelemahan. Allah menyuruh si suami melihat kebaikan yang banyak yang ada pada isteri dan tidak hanya memfokuskan kepada satu dua kelemahan yang ada. Hal ini disebutkan dalam surah an-Nisak ayat 19: Pergaulilah isterimu dengan cara yang makruf. Jika kamu tidak senang dengan mereka maka bersabarlah kerana mungkin kamu tidak menyukai sesuatu tentang mereka tetapi Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. Wanita ada suara dalam Islam dan suara mereka dimuliakan Allah. Di zaman nabi, sahabat yang bernama Aus telah menyamakan badan isterinya, Khaulah, dengan badan ibunya (zihar). Perbuatan ini amat tidak disenangi oleh isterinya lantas beliau mengadu hal ini kepada nabi. Allah menurunkan wahyu berhubung perkara ini dalam surah Al-Mujadalah ayat 1-2: Sesungguhnya Allah mendengar suara perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, dan dia telah mengadu kepada Allah.. Menzalimi wanita adalah dilarang oleh Islam. Di zaman jahiliah adalah menjadi perkara biasa jika bayi-bayi perempuan ditanam hidup-hidup demi untuk memelihara keluarga dari aib dan malu. Islam menentang adat resam ini melalui firman Allah di dalam surah At-Takwir ayat 8 dan 9 yang bermaksud: Dan apabila bayi-bayi perempuan yang ditanam hidup-hidup ditanya, kerana dosa apakah maka dia dibunuh? Untuk menampakkan penentangan kepada sistem jahiliah yang menghina kaum wanita, Nabi bersabda: Sesiapa yang memiliki tiga orang puteri atau tiga saudara perempuan, atau dua orang puteri atau dua saudara perempuan, lalu dididiknya mereka dan dijaganya mereka dengan baik kemudian dikahwinkan mereka, baginya syurga. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu Daud. Kesemua ini adalah bukti yang jelas yang menunjukkan betapa Al-Quran dan Islam memuliakan kaum wanita. Justeru, pada hari ini, makin ramai wanita di Barat yang memeluk Islam. Perkembangan ini dinyatakan oleh Lucy Berrington di dalam majalah Times terbitan 9 November 1993 di bawah tajuk The Spread of a World Creed. Beliau berkata, Statistik menunjukkan bagi setiap lima orang yang memeluk Islam di Amerika empat daripada mereka adalah wanita. Di Britain, di antara wanita yang memeluk Islam ialah anak perempuan kepada hakim yang terkenal, Lord Scott. Laporan Columbia News Service (Agensi Berita Columbia) oleh Nevine Mabro pula menunjukkan, Semakin ramai wanita Amerika keturunan Sepanyol memeluk Islam kerana tertarik dengan kemurnian ajarannya. WANITA DIMULIAKAN DI ZAMAN SAHABAT DAN SELEPASNYA Pada zaman Nabi Muhammad, khalifah yang empat serta era kegemilangan empayar Islam, wanita dihargai dan diletakkan di tempat yang tinggi. Antara contoh-contohnya ialah: Berpandukan hadis Muslim Nabi Muhammad mendoakan agar Ummu Haram, iaitu isteri sahabat Ubadah bin Shamit, dapat keluar berperang di lautan bersama-sama dengan tentera-tentera Islam yang lain. Ia menunjukkan, Nabi mengiktiraf sumbangan wanita Islam di luar rumah. Ketika berlaku Perjanjian Hudaibiyah Nabi Muhammad mengarahkan sahabat-sahabat mencukur rambut dan menyembelih binatang ternakan sebelum kembali ke Madinah. Lantaran terlalu sedih kerana dihalang oleh golongan Quraisy dari melakukan Haji, tidak ada seorang sahabat pun yang bangun untuk melaksanakannya. Melihat keadaan itu Ummu Salamah menasihati Rasulullah agar melakukannya terlebih dahulu kerana beliau yakin selepas Baginda melakukannya sahabat-sahabat pasti menuruti baginda. Nabi Muhammad membenarkan pandangan Ummu Salamah dan mematuhi nasihat isterinya. Apabila di amati insiden ini kita boleh mengatakan Ummu Salamah ketika itu berkedudukan seperti seorang penasihat kepada seorang pemimpin negara. Al-Quran merupakan wahyu Allah. Pada zaman Nabi, Al-Quran dihafaz dan ditulis oleh sekumpulan sahabat. Pada zaman khalifah Abu Bakar, tulisantulisan Al-Quran dihimpunkan dan disimpan oleh beliau. Selepas kematian khalifah Abu Bakar, khalifah Omar menyimpannya dan selepas kematiannya himpunan ini diserahkan kepada Ummul Mukminin, Hafsah, sebelum beliau menyerahkannya kepada khalifah Uthman untuk ditulis semula dan dibukukan. Kejadian ini melambangkan kemuliaan wanita Islam serta kepercayaan Islam kepada wanitanya, kerana Hafsah diberikan kepercayaan supaya menyimpan sumber rujukan utama Islam. Di zaman khalifah Omar, beliau melantik seorang wanita bernama Ummul Syifa binti Abdullah menjadi penyelia pasar di Madinah. Jika dibandingkan jawatannya dengan suasana hari ini, tugas ini boleh disamakan dengan tugas seorang ketua pengarah di kementerian hal ehwal pengguna. Pada suatu ketika, khalifah Omar menyampaikan khutbah di atas mimbar dan beliau menjelaskan tentang penetapan kadar mahar agar ia tidak begitu tinggi. Seorang wanita bangun untuk menegur khalifah Omar kerana, pada pandangan wanita itu, tindakan untuk hadkan kadar mahar bercanggah dengan ketetapan Al-Quran. Selepas mendengar hujah wanita itu, khalifah Omar terus berkata, Wanita itu betul dan lelaki ini (iaitu Omar) salah. Riwayat ini menunjukkan penglibatan kaum wanita dalam sistem kepimpinan dan politik negara adalah penting seiring dengan kaum lelaki. Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua selepas Al-Quran. Antara wanita Islam yang diiktiraf sebagai perawi hadis ialah Karimah Al-Mirwaziah dan As-Sayyidah Nafisah binti Muhammad. Salah seorang perawi hadis yang terkenal, Al-Hafiz ibn Asakir, pernah berkata, kaum wanita merupakan sebahagian daripada syekh dan guru yang telah mendidiknya. Imam Bukhari memandang tinggi sumbangan kaum wanita dalam Islam sehinggakan beliau meletakkan satu bab khas yang bertajuk, Bab Peperangan Wanita Dan Perjuangan Mereka dalam kitab Sahih Bukhari. Kaum wanita yang berilmu tinggi boleh mengeluarkan fatwa berhubung hukum hakam Islam. Di zaman Nabi serta sahabat, peranan Aisyah amat menonjol sekali di sudut ini. Beliau bukan saja mampu mengeluarkan fatwa malah kadangkala beliau membetulkan pandangan serta fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat-sahabat Nabi yang lain. Contoh yang lain ialah anak perempuan kepada Imam Alauddin al-Samarqandi al-Hanafi yang bernama Zainab. Beliau sering kali menyampaikan fatwa tentang persoalan agama bersama-sama dengan bapanya. Beliau kemudiannya dikahwinkan dengan seorang ulama mazhab Hanafi yang bernama Imam Al-Kasani., pengarang kitab Al-Badaii As-Sonaii.

Semua ini merupakan dalil-dalil kukuh yang menunjukkan wanita dalam Islam mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan sesebuah masyarakat. Walau bagaimanapun tugas-tugas ini tidak sepatutnya dijadikan alasan oleh kaum wanita untuk mengabaikan tugas utamanya sebagai isteri dan ibu yang bakal melahirkan cahaya mata bernilai bagi umat. Tugas ini tidak dapat diambil alih oleh kaum lelaki dan ia merupakan suatu tugas yang amat mulia. Namun tugas kaum wanita bukanlah sekadar itu. Islam tidak pernah menghalang kaum wanita yang ingin berperanan di penjuru-penjuru lain selagi mana batas-batas agama dan landasan keutamaan dijaga

Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata: aku turut bahagia untukmu. Ada 2 titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air mata tu menyapa air mata yg satu lagi, Saya air mata seorang gadis yang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?. Jawab titis air mata kedua tu, Saya air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.

Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah namanya Cinta. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas kurniaan itu. 1 Makna Haid Dan Hikmahnya Makna Haid Dari sudut bahasa, haid ( )ialah: turun sesuatu secara mengalir. Dari sudut syara, haid ialah darah yang keluar dari wanita kerana fitrah kejadiannya tanpa sebarang sebab. Ia keluar pada waktu-waktu yang diketahui. Ia adalah darah fitrah yang keluar bukan kerana sakit, luka, keguguran atau kelahiran. Hikmah Haid Sesungguhnya janin yang berada di dalam perut ibunya tidak mungkin mendapat makanan seperti orang yang di luar. Ini kerana tidak mungkin bagi seorang ibu untuk menyampaikan makanan kepada anaknya dengan cara yang biasa. Atas sebab ini Allah Taala menjadikan makanan untuk janin dalam perut ibu daripada darah (ibunya). Ia tidak memerlu kepada pemakanan biasa (solid food) dan penghadaman. (Zat makanan yang berada di dalam darah ibu) sampai ke dalam badan janin melalui pusatnya dan lantas memasuki uraturat sarafnya. Inilah cara janin mendapat makanan. Maha Mulia Allah sebagai sebaik-baik pencipta. Inilah hikmah darah haid. Oleh itu apabila berlaku kehamilan, seorang wanita terputus haidnya. Amat jarang berlaku haid ketika hamil. Demikian juga bagi ibu-ibu yang menyusu, sangat sedikit di kalangan mereka yang datang haid terutamanya di awal masa menyusu.Penerangan Syaikh al-Utsaimin rahimahullah di atas merujuk kepada kes setelah berlakunya persenyawaan dan wanita menjadi hamil. Jika tidak hamil, darah haid berperanan membersihkan sel-sel telur dalam sistem pembiakan wanita yang tidak disenyawakan. 2 Masa Haid Dan Tempohnya Perbincangan dalam bab ini tertumpu kepada dua persoalan: 1. 2. Umur bagi bermulanya haid. Tempoh haid.

Pertama: Umur bagi bermulanya haid. Umur seorang wanita yang pada kebiasaan bermula haid ialah antara dua belas hingga lima puluh tahun. Namun wujud kemungkinan haid bermula lebih awal daripada umur dua belas tahun atau lebih lewat daripada umur lima belas tahun. Para ilmuan berselisih pendapat adakah terdapat batas umur tertentu bagi permulaan haid untuk wanita. Mereka juga berselisih pendapat sama ada darah yang datang sebelum atau selepas batas umur tersebut adalah darah haid atau darah penyakit? Selepas menyebut perselisihan pendapat ini, Imam al-Darimi rahimahullah membuat kesimpulan berikut: Semua pendapat ini adalah saya menurut saya. Ini kerana rujukan kepada semua persoalan ini adalah kepada wujud (darah yang mengalir keluar). Maka pada setiap umur dan keadaan jika didapati (wujud darah yang mengalir keluar) maka wajib mengkategorikan ia sebagai (permulaan) haid. Allah sahaja yang lebih mengetahui. [Dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam Majmu Syarh al-Muhazzab, jld. 1, ms. 386] Apa yang disimpulkan oleh Imam al-Darimi adalah pendapat yang benar. Inilah juga pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Maka apabila seorang wanita melihat darah haid mengalir keluar maka bermakna dia telah didatangi haid sekalipun umurnya sembilan tahun ataupun lebih daripada lima puluh tahun. Ini kerena hukum-hukum haid yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah atas wujudnya (haid). Allah serta Rasul-Nya tidak membataskan umur tertentu dalam persoalan ini. Menentukan batas umur tertentu memerlukan dalil daripada al-Quran dan al-Sunnah, padahal tidak ada sebarang dalil berkenaannya (dalam dua sumber tersebut). Kedua: Tempoh haid. Para ilmuan juga berbeza pendapat dalam persoalan tempoh haid atau kadar masanya. Terdapat enam atau tujuh pendapat dalam persoalan ini. Berkata Imam Ibn al-Munzir rahimahullah: Menurut satu pendapat: Tidak ada batas bilangan hari bagi tempoh minima atau maksima (haid). Saya (pengarang) berkata, ini adalah sepertimana pendapat Imam al-Darimi yang lalu dan ia adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Ini adalah pendapat yang benar kerana didokongi oleh al-Quran dan al-Sunnah serta pemikiran yang sihat. Sebab-sebabnya seperti berikut:

Pertama: Firman Allah Taala: Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (hukum) haid. Katakanlah: "Darah haid itu satu benda yang mendatangkan mudarat". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu, dan janganlah kamu hampiri mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci. [al-Baqarah 2:222] Dalam ayat di atas Allah menjadikan suci sebagai syarat penyudah kepada tegahan. Allah tidak menjadikan tempoh sehari semalam, tiga hari atau lima belas hari sebagai syarat penyudah tegahan. Ini menunjukkan bahawa sebab timbulnya hukum ialah bermula dan berakhirnya haid, sehingga apabila suci daripada haid maka hilanglah hukum-hukum yang berkaitan dengan haid. Kedua: Dalam Shahih Muslim tercatit sebuah hadis yang sahih di mana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiallahu anha yang di saat itu sedang berihram untuk umrah dan didatangi haid: Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang berhaji kecuali jangan kamu bertawaf di al-Bait (Kaabah) sehingggalah kamu suci. Aisyah berkata: Maka pada hari menyembelih aku telah suci. [Shahih Muslim no: 1211 (Kitab al-Haj)] Dalam Shahih al-Bukhari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiallahu 'anha: Tunggulah maka apabila kamu telah suci maka keluarlah ke Tanim. [Shahih al-Bukhari no: 1787 (Kitab al-Haj)] Dalam hadis di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan suci sebagai syarat penyudah tegahan. Baginda tidak menetapkan apaapa batas masa atau tempoh tertentu. Ini membuktikan bahawa hukum haid ditentukan dengan bermula dan berakhirnya haid. Ketiga: Sesungguhnya perkiraan tempoh masa (minima dan maksima bagi) haid yang dilakukan oleh (sebahagian) ahli fiqh tidak terdapat dalilnya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Padahal ini adalah persoalan penting yang sangat berhajat kepada penetapan daripada dua sumber tersebut. Seandainya penetapan tempoh ini termasuk daripada hukum fiqh bagi umat beribadat kepada Allah, nescaya Allah dan Rasul-Nya secara terang dan jelas akan menerangkannya. Ini sebagaimana hukum-hukum fiqh yang lain seperti solat, puasa, nikah, talak, pesaka dan sebagainya. Allah dan Rasul-Nya telah memperincikan bilangan solat, waktu-waktunya, rukuknya dan sujudnya; Zakat, harta-hartanya, nisab-nisabnya, kadarnya dan tempat ditunaikannya; Puasa, tempoh dan waktunya; Haji dan seterusnya. Allah dan Rasul-Nya juga telah memperincikan adab-adab makan, minum, tidur, jima, duduk, masuk-keluar rumah, membuang hajat sehinggalah kepada bilangan batu-batu untuk beristinjak dan pelbagai lagi perkara-perkara kecil yang lain. Ini semua termasuk kesempurnaan agama Allah dan nikmat-Nya ke atas orang-orang yang beriman. Firman Allah: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran menjelaskan tiap-tiap sesuatu. [al-Nahl 16:89] Firman Allah: Bukanlah ia (al-Quran) cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengesahkan apa yang tersebut di dalam kitab-kitab agama yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu. [Yusuf 11:111] Apabila perkiraan tempoh masa (minima dan maksima bagi) haid tidak terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, jelaslah bahawa ia sebenarnya tidak berhajat kepadanya. Yang dihajatkan, atau yang dijadikan syarat ialah kewujudan haid itu sendiri pada seorang wanita. Hukum-hukum syariat bergantung kepada wujud atau tidaknya haid, bukan tempoh masa haid. Dalam ertikata lain, tidak wujudnya hukum perkiraan tempoh masa (minima dan maksima bagi) haid di dalam al-Quran dan al-Sunnah menjadi bukti bahawa perkiraan tersebut tidak memberi apa-apa manfaat atau ilmu. Sesungguhnya segala hukum syara tidak boleh ditetapkan melainkan dengan dalil dari syara sendiri iaitu daripada al-Quran dan al-Sunnah, atau ijma (kesepakatan) yang maklum (diketahui) atau qiyas (analogi) yang sahih. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menyebut sebuah kaedah yang amat penting: Dari apa yang dikenali sebagai haid, Allah telah kaitkan dengannya beberapa hukum dalam al-Quran dan al-Sunnah. Allah tidak menentukan baginya tempoh masa minima dan tempoh masa maksima. Allah juga tidak menentukan tempoh masa suci antara dua haid. Sedangkan perkara-perkara ini adalah umum terhadap umat dan mereka berhajat untuk mengetahuinya. Dari sudut bahasa, ia (al-Quran dan al-Sunnah) tidak membezakan antara satu tempoh dengan satu tempoh yang lain. Maka sesiapa yang menentukan satu tempoh tertentu maka sesungguhnya dia menyalahi al-Quran dan al-Sunnah. [al-Risalah fi al-Asma allati Alaq al-Syari al-Ahkam biha, ms 35] Keempat: Pemikiran yang sihat berdasarkan qiyas (analogi) yang sahih akan mengetahui bahawa Allah Taala menjadikan haid sebagai satu bentuk kotoran. Faktor penyebab hukum (illah) bagi haid ialah kotoran. Maka apabila sahaja didapati wujud haid maka wujudlah kotoran tanpa dibezakan antara hari kedua dan hari pertama, hari keempat dan hari ketiga, hari keenam belas dan hari kelima belas, hari kelapan belas dan hari ketujuh belas. Justeru haid tetap haid, kotoran tetap kotoran, dan illah (faktor penyebab hukum) tetap sama pada dua hari tersebut. Maka bagaimana mungkin dibezakan hukum antara dua hari tersebut sedangkan faktor penyebabnya adalah sama? Ini menyalahi qiyas yang sahih kerana faktor penyebab yang sama akan menyamakan hukum antara dua hari tersebut.

Kelima: Wujud perselisihan pendapat di kalangan orang-orang yang membataskan tempoh tertentu dan tiada satu jua di antara pendapat-pendapat ini yang kuat hujahnya. Ini disebabkan di antara pendapat-pendapat ini, tidak ada dalil yang dijadikan sumber rujukan. Ia adalah ijtihad yang terbuka kepada kebenaran dan kesalahan sehingga tidak ada satu di antaranya yang terlebih utama untuk diikuti. Tempat rujukan ketika berlaku perselisihan ialah al-Quran dan al-Sunnah. Jelas daripada dua sumber ini bahawa tidak ada pembatasan tempoh minima dan maksima haid. Oleh itu apabila seorang wanita mendapati darah mengalir keluar secara fitrah tanpa disebabkan luka atau seumpama, maka ia adalah darah haid tanpa ditetapkan umur atau tempoh masanya. Berkata Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah: Pada asalnya setiap darah yang mengalir keluar dari rahim adalah darah haid sehinggalah ada bukti yang menunjukkan ia adalah darah istihadah. Katanya lagi: Apa-apa darah yang keluar ialah darah haid jika tidak diketahui bahawa ia adalah darah istihadah atau luka. [al-Risalah fi al-Asma allati Alaq al-Syari al-Ahkam biha, ms. 36 & 38] Lima sebab di atas menjadi hujah bahawa tidak ada penetapan tempoh minima dan maksima bagi haid. Hujah-hujah ini bukan sahaja benar dari sudut dalil al-Quran, al-Sunnah dan pemikiran yang benar, tetapi juga mudah selari dengan ruh Islam. 3 Perkara-Perkara Yang Berlaku Ketika Haid. Bab ketiga ini membahas beberapa persoalan lanjut berkenaan haid: Pertama: Perbezaan masa haid. Kadangkala berlaku perbezaan masa haid seorang wanita. Perbezaan ini wujud dalam dua bentuk:

1.

Tempoh mengalirnya bertambah atau berkurang daripada kebiasaan. Contohnya ialah seorang wanita yang kebiasaannya mengalami haid selama enam hari, tetapi berlarutan selama tujuh hari. Atau seorang wanita yang kebiasaannya mengalami haid selama tujuh hari, lalu dia suci dalam masa enam hari sahaja.[1]

2.

Permulaan masa mengalirnya (putaran haid) menjadi awal atau lambat daripada kebiasaan. Contohnya seorang wanita yang kebiasaannya datang haid pada akhir bulan, lalu dia melihat haid hanya datang pada awal bulan. Atau kebiasaannya datang haid pada awal bulan lalu dia hanya melihatnya di akhir bulan.

Sesungguhnya para ilmuan berbeza pendapat dalam dua kes di atas. Namun pendapat yang terkuat dan benar ialah apabila seorang wanita melihat darah mengalir keluar bererti dia haid dan apabila darah berhenti mengalir bererti dia suci (tidak haid). Penentuan ini tidak disyaratkan oleh perbezaan masa sama ada lebih lama atau singkat, sama ada lebih awal atau lewat. Dalil-dalil bagi hal ini telah dikemukakan dalam bab yang sebelumnya. Ini merupakan mazhab Imam al-Syafie rahimahullah dan dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah serta dikuatkan lagi oleh Imam Ibn Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni, jld. 1, ms. 353: Jika sesuatu perkara itu berlaku secara lazim dan memerlukan penjelasan (hukum-hukumnya), pasti akan dijelaskan (hukumhukumnya) oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tanpa melengah-lengahkannya. Ini kerana sesuatu yang memerlukan penjelasan tidak boleh dilengah-lengahkan. Para isteri Rasulullah dan selainnya memerlukan penjelasan akan persoalan ini pada setiap masa dan baginda tidak pernah lalai daripada memberikan penjelasan tentangnya. Tidak pernah lahir daripada baginda sesuatu yang wujud secara lazim melainkan diikuti dengan penjelasannya, kecuali dalam persoalan darah istihadah.[2] Kedua: Cecair yang kekuningan atau kekeruhan. Kadangkala bagi seorang wanita mengalir keluar daripadanya cecair (discharge) yang:

1. 2.

Berwarna kekuningan seperti air yang keluar akibat luka. Ini dikenali sebagai Sufrah. Berwarna kekeruhan antara kuning dan hitam. Ini dikenali sebagai Kudrah.

Sufrah atau Kudrah, jika ia mengalir keluar ketika sedang haid atau bersambungan di akhir masa haid, sebelum suci, maka ia dikategorikan sebagai haid dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan darah haid biasa. Jika ia mengalir keluar secara terpisah daripada masa haid, yakni dalam masa suci, maka ia tidak dikategorikan sebagai haid. Dalilnya adalah kenyataan Umm Athiah radhiallahu 'anha: Kami tidak mengira (cecair yang berwarna) kekeruhan dan kekuningan (jika ia keluar) selepas suci sebagai apa-apa (yakni bukan haid). [Sunan Abu Daud no: 246 (Kitab al-Thaharah) dengan sanad yang sahih][3] Imam al-Bukhari rahimahullah menyusun hadis ini dalam kitab sahihnya di bawah bab: Bab al-Sufrah dan al-Kudrah pada hari-hari selain haid. Imam Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah di dalam kitabnya Fath al-Bari berkata: al-Bukhari mengisyaratkan dengan demikian bertujuan menyelaraskan antara hadith Aisyah (yang bermaksud): sehingga kamu semua melihat sesuatu seperti benang putih dengan hadis Umm Athiah di atas.

Hadis Aisyah merujuk kepada seseorang yang melihat al-Sufrah dan al-Kudrah pada hari-hari haid, manakala hadis Umm Athiah merujuk kepada hari-hari selain haid. Hadith Aisyah radhiallahu 'anha yang dimaksudkan adalah apa yang disebut oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab sahihnya: Sesungguhnya para wanita telah mengutus kepada Aisyah bekas yang ada padanya kapas yang padanya ada al-Sufrah, maka Aisyah menjawab: Jangan kamu semua segera (bersuci) sehingga kamu semua melihat sesuatu seperti benang putih (yang keluar selepas berhenti darah bercampur al-Sufrah tersebut). Ketiga: Haid yang terputus-putus. Kadangkala juga seorang wanita menghadapi haid yang terputus-putus alirannya, di mana sehari dia didatangi haid manakala hari yang seterusnya tidak ada haid (selang sehari). Permasalahan ini terbahagi kepada dua kes yang berlainan:

1. 2.

Jika ia berlaku secara berterusan, maka ia adalah darah istihadah dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum istihadah. (hukum-hukumnya akan dibahas dalam Bab 5 insya-Allah) Jika ia tidak berlaku secara berterusan, bahkan hanya sekali-sekala sehingga ada tempoh waktu suci yang jelas baginya. Bagi kes kedua ini, para ilmuan berbeza pendapat: Adakah sehari yang tidak keluar darah itu dikira suci atau dikira haid? Terhadap persoalan ini terdapat tiga pendapat yang dianggap kuat:[4]

Pendapat Pertama: Ia dianggap sebagai hari haid dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan hari haid biasa. Ini merupakan satu pendapat yang benar antara dua pendapat Imam al-Syafie [5] rahimahullah dan menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah dan Mazhab Abu Hanifah. Sebab-sebabnya adalah seperti berikut: 1. 2. Selagi mana tidak kelihatan sesuatu seumpama benang putih pada satu hari yang tidak didatangi haid, ia tetap dianggap sebagai hari haid. Jika dikatakan satu hari yang tidak didatangi haid sebagai hari suci nescaya hari sebelum dan selepasnya adalah hari haid. Hal seperti ini tidak pernah diperkatakan orang. Jika dianggap satu hari yang tidak didatangi haid sebagai hari suci nescaya iddah al-Quru akan selesai dalam masa lima hari sahaja.[6] Jika dijadikan satu hari yang tidak didatangi haid sebagai hari suci pasti ia akan menimbulkan kesempitan dan kesusahan kerana wajib mandi pada setiap dua hari. Sesungguhnya kesempitan dan kesusahan adalah sesuatu yang dinafikan dalam syariat ini, dan segala puji bagi Allah.

3.
4.

Pendapat Kedua: Dalam tempoh masa selang sehari tersebut, jika darah mengalir keluar maka dianggap sebagai hari haid, jika tidak maka dianggap sebagai hari suci. Kecuali jika hal ini berlaku melebihi daripada bilangan hari-hari kebiasaan haid, maka ia dianggap sebagai darah istihadah. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali. Pendapat Ketiga: Pendapat ketiga diberikan oleh Imam Ibn Qudamah rahimahullah dan ia merupakan jalan pertengahan antara dua pendapat yang pertama di atas. Beliau menulis di dalam kitabnya al-Mughni, jld. 1, ms. 355: (Bagi kes darah haid yang terputus-putus selang sehari), apabila ia berhenti mengalir dan belum genap satu hari (daripada saat berhentinya), seorang wanita itu tidak dikira suci. Ini berdasarkan riwayat yang telah kita sebut dalam perbahasan darah nifas, di mana ia tidak mengambil kira darah yang berhenti dalam tempoh yang belum genap sehari. Riwayat ini adalah sahih, insya-Allah. Darah yang sekejap ia mengalir dan sekejap ia berhenti akan menyulitkan orang kerana perlu kerap kali mengulangi mandi wajib. Ini menyalahi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: Dan Ia tidak menjadikan kamu menanggung sesuatu keberatan dan susah payah dalam perkara agama. [al-Hajj 22:78] Maka atas ini tidaklah dikira suci darah yang berhenti mengalir keluar dalam tempoh yang belum genap sehari. Kecuali jika kelihatannya tandanya yang jelas, seperti ia kering di akhir hari secara kebiasaannya atau ia melihat keluar (sesuatu seumpama) benang putih (barulah dikira suci).[7] Keempat: Darah haid yang tidak mengalir. Jika darah haid tidak mengalir, seperti menjadi kering atau hanya lembab, maka hukumnya terbahagi kepada dua kes: 1. Jika ia berlaku ketika sedang haid atau atau bersambungan di akhir masa haid, sebelum suci, maka ia dikategorikan sebagai haid (dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum yang bersamaan dengan darah haid biasa). Jika ia berlaku selepas haid, yakni dalam masa suci, maka ia tidak dikategorikan sebagai haid. Hukum bagi kedua-dua kes ini adalah sebagaimana kes cecair kekuningan atau kekeruhan yang telah dibahas di atas.
[1]

2.

Atau boleh sahaja berbeza-beza sehingga menjadi lebih lama atau lebih singkat antara satu masa haid dengan masa haid yang lain (penyunting).

[2]

Maksudnya, persoalan haid adalah persoalan yang lazim bagi para isteri dan wanita di zaman baginda. Persoalan-persoalan ini memerlukan

penjelasan yang terperinci daripada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Alhamdulillah, baginda telah menjelaskannya secara terperinci dan telah sampai kepada kita dalam kitab-kitab hadis. Justeru seandainya wujud sesuatu persoalan dalam bab haid ini yang tidak diperjelaskan oleh baginda, bererti ia sememangnya tidak memerlukan penjelasan. Kes perbezaan masa haid adalah antara perkara yang lazim berlaku yang tidak diperjelaskan oleh Rasulullah, bererti ia tidak memiliki apa-apa hukum khusus yang berbeza dengan yang umum. Hukum umum yang dimaksudkan adalah: Apabila seorang wanita melihat darah mengalir keluar bererti dia haid dan apabila darah berhenti mengalir bererti dia suci (tidak haid) tanpa dipengaruhi oleh perbezaan masanya. (penyunting)
[3]

Juga disahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Daud no: 119. (penyunting) Di sini Syaikh al-Utsaimin rahimahullah mengemukakan 3 pendapat tanpa menerangkan yang manakah yang lebih kuat atau benar. Ini bererti di

[4]

sisi beliau ketiga-tiga pendapat ini adalah sama-sama benar. Para pembaca boleh mengamalkan salah satu daripadanya. Setiap satu daripadanya adalah benar dan tidaklah ia saling membatal antara satu sama lain. (penyunting)
[5]

Ini kerana beliau memiliki dua pendapat: Qaul Qadim dan Qaul Jadid. (penyunting) Yakni tempoh iddah bagi seorang wanita yang diceraikan ialah tiga kali suci. Jika dijadikan tempoh masa bagi haid dan suci ialah selang sehari,

[6]

nescaya waktu iddah ini akan berakhir dalam masa lima hari sahaja. (penyunting)
[7]

Maksudnya seorang wanita jangan menganggap dirinya telah suci daripada haid melainkan dengan dua petunjuk: 1. 2. Haid sudah berhenti dan wujud tanda-tanda yang jelas bahawa tempoh haid sudah berakhir. Ini lazimnya merujuk kepada kes haid yang normal. Haid sudah berhenti akan tetapi tidak wujud tanda yang jelas bahawa tempoh haid akan berakhir. Malah wujud kemungkinan ia akan mengalir semula. Ini merujuk kepada kes haid yang terputus-putus atau selang sehari. Maka tunggulah sehingga genap sehari, jika tiada lagi darah mengalir pada esoknya maka barulah pasti tempoh haid sudah berakhir. (penyunting) 4 Hukum-Hukum Haid Terdapat beberapa hukum yang wajib ke atas wanita ketika sedang haid. Berikut dikemukakan sebahagian daripadanya yang terpenting:

Pertama: Solat. Diharamkan solat ke atas wanita yang sedang haid, sama ada solat sunat mahupun solat fardhu. Bahkan tidak sah jika dia tetap melaksanakannya. Namun terdapat satu pengecualian, iaitu apabila dia sempat memperoleh satu rakaat solat fardhu dalam waktunya, sama ada di awal waktu atau akhir waktu, maka wajib ke atasnya untuk melaksanakan solat fardhu tersebut. Contoh: Memperoleh satu rakaat di awal waktu. Seorang wanita didatangi haid selepas masuk waktu Maghrib. Akan tetapi antara saat masuk waktu Maghrib dan saat dia didatangi haid, wujud satu tempoh masa yang, paling minima, sempat untuk dia melaksanakan rakaat pertama solat Maghrib. Maka wajib baginya mengqadha solat Maghrib tersebut apabila suci. Ini kerana pada asalnya dia dikira sempat mendapat satu rakaat daripada solat Maghrib tersebut sebelum datang haid. Contoh: Memperoleh satu rakaat di akhir waktu. Seorang wanita suci daripada haid sebelum terbit matahari. Akan tetapi antara saat dia suci dan saat terbit matahari wujud satu tempoh masa yang, paling minima, sempat untuk dia melaksanakan rakaat pertama solat Subuh. Maka wajib baginya mengqadha solat Subuh tersebut apabila dia selesai bersuci (mandi wajib). Ini kerana pada asalnya dia dikira sempat mendapat satu rakaat daripada solat Subuh tersebut apabila tamat haidnya. Jika tempoh masa yang wujud di awal waktu bagi wanita yang didatangi haid atau di akhir waktu bagi wanita yang tamat haid adalah terlalu singkat sehingga tidak mungkin melaksanakan minima satu rakaat solat, maka tidak wajib untuk baginya melaksanakan solat tersebut. Dalil bagi seluruh hukum ini ialah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam: Sesiapa yang mendapat satu rakaat dari solat maka sesungguhnya ia telah mendapat solat. [Shahih al-Bukhari no: 580 (Kitab waktuwaktu solat) dan Shahih Muslim no: 607 (Kitab al-Masjid)] Apabila seorang wanita tamat haidnya dan sudah bersuci lalu dia berjaya memperoleh satu tempoh masa dalam waktu Asar, adakah wajib baginya untuk melaksanakan kedua-dua solat Zohor dan Asarnya (jamak takhir)? Atau sesudah bersuci dia berjaya memperoleh satu tempoh masa dalam waktu Isyak, adakah wajib baginya untuk melaksanakan kedua-dua solat Maghrib dan Isyak (jamak takhir)? Terdapat perselisihan pendapat dalam persoalan ini. Namun yang benar dia hanya wajib melaksanakan solat yang berada dalam waktu tersebut sahaja. Iaitu solat Asar dalam waktu Asar (tanpa menjamak solat Zohor), solat Isyak dalam waktu Isyak (tanpa menjamak solat Maghrib). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam: Apabila seseorang kamu memperoleh satu sujud daripada solat Asar sebelum terbenam matahari, maka hendaklah dia menyempurnakan solatnya. [Shahih al-Bukhari no: 556 (Kitab waktu-waktu solat)]

Dalam hadis di atas Rasulullah tidak berkata: Maka sesungguhnya dia telah mendapat solat Zuhur dan Asar atau: Wajib solat Zuhur ke atasnya. Pendapat ini juga diperkuatkan oleh sebuah kaedah usul yang menyebut: Pada asalnya tidak ada hukum yang ditanggung (oleh manusia kecuali yang dipertanggungkan oleh syara). Pendapat ini merupakan mazhab Abu Hanifah dan Malik sebagaimana yang disebut oleh Imam al-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Majmu Syarh al-Muhazzab. Kedua: Berzikir dan Membaca al-Quran. Wanita yang sedang haid boleh berzikir, bertasbih (membaca Subhanalah), bertahmid (membaca alhamdulillah), membaca Bismillah ketika makan dan sebagainya. Boleh juga membaca buku-buku hadis, fiqh (buku agama), berdoa, mengaminkan doa dan mendengar bacaan a-Quran. Jelas di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadis yang lain bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersandar di riba Aisyah radhiallahu 'anha sambil membaca al-Quran padahal Aisyah di saat itu sedang haid. Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Umm Athiah radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda menyuruh keluar wanita-wanita dan anak-anak gadis yang berada di dalam rumah kepada solat dua hari raya (Solat Hari Raya Aidil Fitri dan Hari Raya Aidil Adha) supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan seruan orang mukmin, dan jauhilah wanita haid daripada mushalla (tempat lapang solat Hari Raya).[1] Juga diharuskan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca al-Quran dengan cara melihat dengan mata atau menghayatinya dalam hati tanpa menutur dengan lidah. Boleh juga meletak mushaf al-Quran di hadapannya lalu melihat ayat-ayatnya dan membacanya dengan hati. Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah dalam Majmu Syarh al-Muhazzab: Hal ini diharuskan tanpa perselisihan pendapat. Adapun membaca dengan lidah bagi wanita yang sedang haid, maka terdapat perbezaan pendapat. Jumhur ilmuan berpendapat ianya dilarang. Imam al-Bukhari, Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn al-Munzir berpendapat ia diharuskan. Demikian juga oleh Imam Malik dan Imam al-Syafie dalam pendapatnya yang lama. Ini sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari. Imam al-Bukhari mengemukakan sebuah riwayat daripada Imam Ibrahim al-Nakhae (seorang tokoh tabiin) bahawa: Tidak mengapa jika dibaca hanya satu ayat. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah membahas persoalan ini dalam kitabnya Majmu al-Fatawa, jld. 26, ms. 191 : Sejak asal tidak ada larangan daripada al-Sunnah (bagi wanita yang sedang haid) membaca al-Quran. Hadis: Wanita haid tidak boleh membaca sesuatu daripada al-Quran adalah hadis yang lemah (dhaif) yang disepakati oleh para ahli hadis. Lebih dari itu, diketahui wanita-wanita di zaman Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sedia mengalami haid. Maka jika haram ke atas mereka untuk membaca al-Quran sepertimana haram ke atas mereka mendirikan solat, nescaya ia diterangkan oleh Nabi kepada umatnya dan dipelajari oleh para isteri baginda. Hal ini kemudiannya akan tersebar kepada manusia. Namun tidak seorang jua yang meriwayatkan pengharaman seumpama daripada Nabi. Maka tidak boleh menghukum ia sebagai haram sedangkan baginda Nabi sendiri tidak pernah mengharamkannya. Justeru apabila Nabi tidak menegah daripada demikian padahal ramai wanita yang haid di zamannya, bererti diketahui bahawa tidaklah haram bagi wanita haid membaca al-Quran. Di antara perselisihan pendapat ini, yang lebih utama ialah wanita yang sedang haid tidak membaca al-Quran dengan lidahnya melainkan jika perlu, seperti guru yang mengajar al-Quran, murid yang menduduki peperiksaan dan sebagainya. Ketiga: Puasa. Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk berpuasa, sama ada puasa sunat mahupun puasa fardhu. Jika dia tetap berpuasa maka tidak sah puasanya. Akan tetapi dia wajib mengqadha puasa fardhunya berdasarkan kenyataan Aisyah radhiallahu 'anha: Apabila yang demikian itu (haid) menimpa kami, maka kami disuruh (oleh Rasulullah) mengqadha puasa namun tidak disuruh untuk mengqadha solat. [Shahih Muslim no: 335 (Kitab al-Haid)] Berikut beberapa permasalahan khusus antara puasa dan wanita yang haid: 1. Apabila seorang wanita sedang berpuasa lalu dia didatangi haid, maka puasanya menjadi batal sekalipun waktu berbuka (waktu Maghrib) sudah sangat hampir. Dia wajib mengqadha puasa tersebut jika ia adalah puasa fardhu. Apabila seorang wanita sedang berpuasa lalu dia merasa akan didatangi haid sebelum waktu berbuka (waktu Maghrib), maka teruskan menyempurnakan puasanya itu. Menurut pendapat yang benar,[2] puasanya tidak batal kerana sesungguhnya darah masih berada di dalam badan dan tidak ada hukum baginya (selagi ia tidak mengalir keluar). Ini sebagaimana kes seorang wanita yang bermimpi seperti seorang lelaki lalu datang menemui Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bertanya, adakah dia perlu mandi wajib? Baginda menjawab: Ya, jika dia melihat ada air (mani yang mengalir keluar). Dalam hadis di atas Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menghubungkan hukum mandi wajib dengan kewujudan air mani dan bukan masa. Maka demikianlah juga dengan haid, dilaksanakan hukum-hukumnya berdasarkan keluarnya haid, bukan berdasarkan masanya.[3] 3. Apabila seorang wanita didatangi haid hanya sekadar tempoh masa yang pendek selepas terbitnya fajar (masuk waktu Subuh), maka puasanya tetap tidak sah. Apabila seorang wanita tamat haidnya sebelum terbit fajar (belum masuk waktu Subuh), maka dia boleh berpuasa dan puasanya adalah sah sekalipun dia belum sempat mandi wajib.

2.

4.

Ini sebagaimana hukum orang berjunub yang berpuasa padahal dia tidak mandi wajib kecuali selepas terbit fajar (masuk waktu Subuh). Puasanya tetap sah berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu 'anha: Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bangun pagi dalam keadaan junub bukan kerana bermimpi. Kemudian baginda berpuasa. [Shahih al-Bukhari no: 1932 (Kitab al-Siyam)] Keempat: Tawaf di Kabah. Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk tawaf, sama ada tawaf sunat mahupun tawaf fardhu. Jika dia tetap tawaf maka tidak sah tawafnya. Ketika mengikuti rombongan haji bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Aisyah radhiallahu 'anha didatangi haid, lalu beliau bertanya hukumnya. Rasulullah menjawab: Lakukan apa yang telah dilakukan oleh orang haji kecuali jangan bertawaf di Kaabah sehingga kamu bersuci. [Shahih Muslim no: 1211] Akan tetapi diharuskan melaksanakan lain-lain amalan daripada haji dan umrah seperti sae antara Safa dan Marwah, wuquf, bermalam di Mudzalifah dan Mina, melontar jamrah dan sebagainya. Apabila seorang wanita telah menyempurnakan ibadah haji dan umrah lalu dia didatangi haid yang berterusan sehingga saat hendak balik ke negerinya, dia boleh balik tanpa melakukan tawaf wida (tawaf selamat tinggal). Ini berdasarkan hadis Ibn Abbas radhiallahu 'anh: Orang ramai disuruh untuk mengakhiri pertemuan mereka di al-Bait (Kabah dengan tawaf), kecuali (suruhan ini) diringankan daripada wanita yang sedang haid. [Shahih Muslim no: 1328 (Kitab al-Haj)] Adapun amalan datang ke pintu Masjid al-Haram dan berdoa bagi wanita haid yang hendak balik ke negerinya, maka ia tidak berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Perlu diingatkan bahawa setiap ibadat hendaklah berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan amalan di atas bertentangan dengan apa yang diajar oleh Rasulullah, di mana apabila Safiyah radhiallahu 'anha didatangi haid sesudah tawaf ifahad, baginda bersabda kepada beliau: Maka hendaklah dia beransur pergi. [Shahih Muslim no: 1211 (Kitab al-Haj)] Baginda tidak menyuruh Safiyah pergi ke pintu masjid padahal jika yang sedemikian adalah amalan yang disyariatkan pasti baginda akan menjelaskannya. Demikian hukumnya bagi tawaf wida dan wanita yang didatangi haid. Adapun tawaf wajib bagi ibadah haji dan umrah, ia tidak gugur daripada wanita yang didatangi haid. Dia tetap wajib melaksanakannya apabila sudah suci. Kelima: Duduk Dalam Masjid. Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk berada atau duduk dalam masjid, termasuk padang yang digunakan untuk solat Hari Raya. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umm Athiah radhiallahu 'anha bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: Suruhlah keluar wanita-wanita dan anak-anak gadis yang berada di dalam rumah (kepada solat dua hari raya) supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan seruan orang mukmin, dan jauhilah wanita haid daripada mushalla (tempat lapang solat Hari Raya). [Shahih al-Bukhari no: 1652 (Kitab al-Haj)] Keenam: Bersetubuh. Diharamkan bagi seorang suami untuk menyetubuhi isterinya yang sedang haid. Demikian juga, diharamkan bagi seorang isteri yang sedang haid untuk membiarkan suaminya menyetubuhinya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Taala: Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (hukum) haid. Katakanlah: Darah haid itu satu benda yang mendatangkan mudarat. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu, dan janganlah kamu hampiri mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci. Kemudian apabila mereka sudah bersuci maka datangilah mereka menurut jalan yang diperintahkan oleh Allah kepada kamu. SesungguhNya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat, dan mengasihi orang-orang yang sentiasa mensucikan diri. [al-Baqarah 2:222] Yang dimaksudkan dengan al-Mahidh ( )ialah masa haid dan tempatnya ialah di faraj. Larangan ini juga berdasarkan sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Lakukanlah apa sahaja (dengan isterimu yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). [Shahih Muslim no: 302 Kitab al-Haid)]. Lebih dari itu umat Islam telah bersepakat bahawa haram hukumnya bersetubuh dengan isteri yang sedang haid. Oleh itu tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat untuk melakukan kemungkaran bersetubuh ketika haid. Larangan ini telah ditunjukkan oleh al-Quran, al-Sunnah dan ijma (kesepakatan) umat Islam. Justeru jika seseorang itu tetap melakukan kemungkaran bersetubuh ketika haid, maka termasuklah dia di kalangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan yang selain daripada jalan orang-orang Islam. Imam al-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya al-Majmu Syarh alMuhazzab, jld. 2, ms. 374 menukil kata-kata Imam al-Syafie rahimahullah: Sesiapa yang melakukannya maka sesungguhnya dia melakukan dosa besar, demikian berkata para sahabat kami (para tokoh Mazhab al-Syafie), manakala yang selainnya (para tokoh mazhab lain) berkata: Sesiapa yang menghalalkan setubuh dengan wanita haid dihukumkan kafir. Selain itu, dihalalkan bagi suami untuk memuaskan nafsunya dengan berciuman, berpelukan, bersentuhan dan lain-lain, asalkan bukan faraj. Malah lebih utama jika tidak bersentuhan kulit pada kawasan yang terletak antara pusat dan lutut kecuali dengan berlapik. Aisyah radhiallahu 'anha berkata:

(Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) menyuruhku supaya memakai kain kemudian baginda menyentuhiku sedangkan aku sedang haid. [Shahih al-Bukhari no: 301 (Kitab al-Haid)] Ketujuh: Talak (Cerai) Diharamkan ke atas suami untuk menceraikan isterinya yang sedang haid. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Taala: Wahai Nabi! Apabila kamu - (engkau dan umatmu) - hendak menceraikan isteri-isteri (kamu), maka ceraikanlah mereka pada masa mereka dapat memulakan iddahnya. [al-Talaq 65:01] Seorang isteri diketahui memulakan iddahnya dengan kehamilan atau datang haid sesudah berlalu waktu suci. Seorang suami menyetubuhi isterinya ketika suci lalu kemudian menceraikannya, iddah isteri diketahui dengan kehamilan. Jika tidak hamil, maka iddah isteri diketahui dengan datang haid. Seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya yang sedang haid kerana masa haid tidak dikira sebagai permulaan iddah. Maka menceraikan wanita yang sedang haid adalah haram berdasarkan ayat di atas. Lebih dari itu tercatit di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadis yang lain, Abd Allah ibn Umar radhiallahu 'anhuma pernah menceraikan isterinya yang sedang haid. Umar radhiallahu 'anh memberitahu hal ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Wajah Rasulullah berubah kerana marah dan baginda menyuruh Ibn Umar merujuk kembali isterinya, kemudian memegangnya sehingga dia suci, kemudian haid, kemudian suci. Kemudian jika dia mahu, boleh memegangnya (memperisterikannya seperti biasa) dan jika dia mahu, boleh menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Maka demikianlah iddah yang Allah telah perintahkan bahawa diceraikan wanita padanya.[4] Justeru jika seorang suami menceraikan isterinya yang sedang haid, dia berdosa. Dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Taala. Kemudian hendaklah dia mengambil isterinya kembali di bawah jagaannya untuk diceraikan dengan penceraian yang menepati syariat Allah dan RasulNya. Iaitu, hendaklah dia tidak menyetubuhi isterinya sehinggalah dia (isteri) menjadi suci dari haid. Kemudian barulah dijatuhkan talak (diceraikan), ditunggu hingga datang haid sekali lagi, kemudian suci semula. Maka setelah itu jika dia (suami) ingin kembali bersama isterinya maka dia boleh rujuk semula. Jika dia (suami) tidak ingin maka boleh dilepaskan, dengan syarat tidak disetubuhi isterinya dalam jangka masa tersebut. Hukum haram menceraikan isteri yang sedang haid memiliki 3 pengecualian: Pertama: Tidak mengapa (tidak haram) menceraikan isteri yang sedang haid jika sejak bernikah pasangan suami isteri tersebut belum pernah bersamaan atau bersetubuh. Ini kerana tidak ada iddah bagi isteri dalam kes seperti ini sehingga penceraian yang dijatuhkan ke atasnya tidak menyalahi firman Allah di atas. Kedua: Tidak mengapa (tidak haram) menceraikan isteri yang didatangi haid ketika sedang hamil. Hal ini telah diterangkan sebelum ini dalam Bab kedua, dalam perbincangan Haid Wanita Hamil. Ketiga: Tidak mengapa (tidak haram) jika berlaku penceraian secara tebus talak (khulu). Iaitu seorang suami yang menceraikan isterinya yang sedang haid dengan mengambil bayaran. Dalilnya adalah sebuah hadis daripada Ibn Abbas radhiallahu anh yang menceritakan tentang isteri Thabit bin Qays radhiallahu anha yang datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencelanya (suaminya: Thabit bin Qays) kerana akhlak dan agamanya tetapi aku membenci kekufuran dalam Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Adakah kamu mengembalikan kebunnya? Isteri Thabit menjawab: Ya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (kepada Thabit): Terimalah kebunmu dan ceraikanlah dia dengan satu talak. [Shahih al-Bukhari no: 5273 (Kitab al-Thalaq) ] Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak bertanya sama ada isteri Thabit bin Qays sedang haid atau tidak. Akan tetapi memandangkan talak ini adalah tebusan seorang isteri untuk dirinya sendiri, maka ia diharuskan dalam semua keadaan tanpa mengira sama ada sedang haid atau tidak. Imam Ibn Qudamah rahimahullah di dalam kitabnya al-Mughni menerangkan sebab diharuskan tebus talak (khulu) bagi seorang isteri yang sedang haid: Larangan untuk menceraikan isteri yang sedang haid ialah bagi mengelakkan mudarat tempoh iddah yang panjang. Akan tetapi diharuskan tebus talak kerana kes tebus talak membabitkan seorang isteri yang menghadapi kehidupan bersama suami yang dia benci. Ini adalah satu mudarat yang besar ke atas isteri berbanding mudarat tempoh iddah yang panjang. Antara dua mudarat, perlu ditolak mudarat yang lebih besar. Atas dasar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak bertanya kepada isteri yang hendak menebus talak dirinya (sama ada dia sedang haid atau tidak). Demikianlah 3 pengecualian yang membolehkan penceraian ketika seorang isteri sedang haid. Selain itu sebagai poin tambahan, diharuskan melangsungkan akad nikah dengan seorang wanita yang sedang haid. Tidak ada dalil yang menegah hal ini. Akan tetapi lebih utama jika diperhatikan kedudukan bakal suami tersebut sama ada dia boleh mengawal dirinya daripada terus menyetubuhi isteri barunya itu yang sedang haid. Jika dia dapat mengawal dirinya maka tidak mengapa untuk meneruskan akad nikah. Akan tetapi jika tidak, maka lebih utama untuk ditangguhkan sehingga bakal isteri menjadi suci supaya tidak terjadi persetubuhan yang dilarang. Kelapan: Dikira Bilangan Talak Dengan Haid. Apabila seorang suami menceraikan isterinya selepas menyetubuhinya, maka wajib ke atas isteri tersebut menghitung iddahnya dengan kedatangan tiga kali haid yang sempurna. Syarat ini adalah bagi isteri yang masih didatangi putaran haid dan tidak hamil. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Taala:

Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (daripada berkahwin) selama tiga kali haid. [alBaqarah 2:228] Syarat menghitung iddah sepertimana di atas memiliki beberapa pengkhususan bagi kes yang berbeza-beza: Pertama: Jika isteri yang diceraikan sedang hamil, hitungan iddahnya adalah dengan kelahiran anak tanpa mengira sama ada tempoh hamilnya adalah panjang atau pendek. Firman Allah Subhanahu wa Taala: Dan perempuan-perempuan mengandung, tempoh iddahnya ialah hingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya. [al-Thalaq 65:04] Kedua: Jika isteri yang diceraikan tidak memiliki putaran haid, seperti kanak-kanak yang belum haid, orang tua yang putus haid, wanita yang dibuang rahimnya kerana sebab perubatan dan sebagainya, maka hitungan iddahnya ialah tiga bulan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Dan perempuan-perempuan dari kalangan kamu yang putus asa dari kedatangan haid, jika kamu menaruh syak (terhadap tempoh idah mereka) maka iddahnya ialah tiga bulan; dan (demikian) juga iddah perempuan-perempuan yang tidak berhaid. [al-Thalaq 65:04] Ketiga: Jika isteri yang diceraikan memiliki putaran haid tetapi ia terhenti kerana faktor yang diketahui seperti sakit atau sedang menyusu, maka dia wajib menunggu sehingga haidnya datang kembali dan menghitungnya dengan 3 putaran haid yang sempurna. Seluruh proses menunggu dan 3 putaran haid tersebut adalah tempoh iddah baginya, sekalipun ia mengambil masa yang agak lama. Bagi kes di atas, jika isteri yang terhenti haidnya kembali sembuh atau selesai menyusu namun haidnya tetap tidak datang kembali, maka iddahnya adalah selama 12 bulan (setahun) bermula dari saat kesembuhannya atau akhir menyusu. Inilah pendapat yang benar lagi selari dengan kaedahkaedah syarak kerana kes ini dikategorikan sebagai wanita yang tidak didatangi haid dengan sebab yang tidak diketahui. Tempoh iddah 12 bulan merangkumi 9 bulan masa mengandung sebagai langkah berhati-hati kerana ia adalah tempoh hamil yang lazim dan 3 bulan sebagai bilangan iddah. Keempat: Jika isteri yang diceraikan belum bersama-samaan dan bersetubuh dengan suami, maka baginya tidak ada hitungan iddah. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Taala: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berkahwin dengan perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya (bersetubuh), maka tiadalah kamu berhak terhadap mereka mengenai sebarang iddah yang kamu boleh hitungkan masanya. Oleh itu, berilah "mut'ah" (pemberian sagu hati) kepada mereka, dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:49] Kesembilan: Menghukum Kekosongan Rahim. Kekosongan rahim bermaksud tidak hamil. Sebagai contoh, seorang isteri yang kematian suami berkahwin dengan suami yang baru. Suami yang baru tidak boleh menyetubuhinya sehingga dia didatangi haid atau jelas hamil. Jika isteri tersebut hamil maka dihukumkan bahawa kandungannya itu adalah daripada zuriat suaminya yang meninggal dunia. Sebaliknya jika isteri didatangi haid maka dihukumkan bahawa dia tidak mengandung apa-apa daripada suaminya yang meninggal dunia. Maka kedatangan haid menandakan kekosongan rahim. Kesepuluh: Wajib Mandi. Apabila haid berhenti, wajib mandi dengan mengenakan air ke seluruh anggota badan berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu anha: Apabila datang haid maka hendaklah kamu meninggalkan solat, dan apabila hilang haid maka hendaklah kamu mandi dan solat. [Shahih al-Bukhari no: 320 (Kitab al-Haid)] Syarat paling minimum bagi mandi wajib adalah dikenakan air pada seluruh anggota badan termasuklah ke bawah rambut. Cara yang afdhal ialah sebagaimana tunjuk ajar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Asma binti Syakl radhiallahu anha: (Orang yang akan mandi), ambillah air dan daun bidara. Kemudian dia berwudhu dan memperelokkan wudhunya. Kemudian dia menjirus air ke atas kepalanya lalu dia menggosok kepalanya dengan bersungguh-sungguh sehingga air sampai ke kulit kepala. Kemudian dia menjirus air ke atas badannya. Kemudian dia mengambil cebisan kain yang diletak wangian lalu dia bersuci dengannya. Asma bertanya: Bagaimana saya bersuci dengannya (cebian kain tersebut)? Rasulullah menjawab: Subhanallah! Bersucilah dengan ia Lalu berkata Aisyah kepada Asma: Kamu menyapu kesan-kesan darah (dengan cebisan kain tersebut). [Shahih Muslim no: 332 (Kitab al-Haid)] Tidak wajib membuka ikatan rambut kecuali jika ia terikat dengan kuat kerana dibimbangi air tidak akan sampai ke kulit kepala. Umm Salamah radhiallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang wanita yang mempunyai rambut yang banyak (lebat), adakah perlu saya merungkaikannya untuk mandi junub. (Dalam riwayat yang lain): untuk mandi haid dan junub. Jawab Rasulullah: Tidak, memadai kamu menyiram atas kepala kamu dengan tiga kali siraman, kemudian kamu menyiram atas badan kamu dengan air. Maka sucilah kamu. [Shahih Muslim no: 330 (Kitab al-Haid)]

Jika haid berhenti sesudah masuk waktu solat maka wajib segera mandi supaya dapat dilaksanakan solat dalam waktunya. Jika menghadapi kesukaran untuk mandi seperti musafir, tidak ada air, mudarat menggunakan air[5] atau sakit, maka boleh bertayamum sebagai ganti kepada mandi. Apabila faktor kesukaran hilang, maka wajib mandi.[6] Adakalanya apabila haid berhenti di akhir waktu solat, tidak boleh sengaja menangguhkan mandi sehingga ke waktu solat yang seterusnya. Dia tetap wajib mandi, sekalipun hanya secara ringkas supaya tetap dapat melaksanakan solat pada waktunya. Selepas itu bolehlah mandi dengan sempurna.[7]
[2]

Maksudnya wujud perselisihan pendapat dalam hal ini, lalu dikemukakan yang dianggap paling tepat lagi benar. (penyunting)

[3]

Maka apabila seorang wanita merasakan sudah tiba masa haidnya, sama ada kerana ukuran kebiasaan di kalendar atau sebagainya, dia tetap

dikira suci sehinggalah darah haid mengalir keluar. (penyunting)


[4]

Lihat Shahih al-Bukhari no: 4908 (Kitab al-Tafsir). (penyunting) Seperti di musim dingin di mana menggunakan air yang sejuk untuk mandi boleh mendatangkan mudarat. Akan tetapi di masa kini kebanyakan bilik

[5]

mandi sudah dilengkapi dengan sistem air yang panas. (penyunting)


[6]

Dalam suasana kesukaran sepertimana yang disebut di atas, solat yang dilaksanakan oleh seorang wanita tetap sah sekalipun dengan hanya

bertayamum untuk suci daripada haid. Apabila faktor kesukaran hilang dan dia dapat mandi wajib seperti biasa, tidak perlu diulangi solat-solat tersebut. (penyunting)
[7]

Jika diperhatikan tunjuk ajar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang tatacara mandi wajib, ia adalah mudah lagi ringkas. Rujuk semula hadis

Asma binti Syakl dan Umm Salamah di atas. Akan tetapi sebahagian muslimah masa kini telah menyulitkan mandi dengan pelbagai gunaan sabun, shower gel, rendaman herba, shampoo buah-buahan, skrub muka dan lain-lain lagi. Mandi sebegini sudah menjadi kelaziman sehingga dianggap tidak sah tanpanya. Yang benar mandi wajib yang dituntut oleh syariat Islam adalah mudah lagi ringkas sehingga boleh disempurnakan dalam masa yang singkat sahaja. (penyunting) 5 Istihadah Dan Hukum-Hukumnya Istihadah ( )ialah darah yang keluar secara berterusan bagi seorang wanita. Ia keluar tanpa terputus-putus atau mungkin terputus sekejap seperti sehari-dua dalam sebulan. Dalil bagi kes pertama, yakni darah keluar tanpa terputus-putus ialah sebagaimana aduan Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu 'anha kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana di dalam Shahih al-Bukhari: Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak suci manakala dalam satu riwayat yang lain: Aku didatangi istihadah maka aku tidak suci. Dalil bagi kes kedua, yakni darah keluar dengan terputus sekejap ialah kisah Himnah binti Jahsy radhiallahu 'anha yang datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku didatangi darah istihadah yang banyak. [Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud dan Sunan al-Tirmizi dan beliau (al-Tirmizi) mensahihkannya.] Terdapat tiga cara bagi membezakan antara darah haid dan istihadah: Pertama: Wanita yang memiliki masa haid yang tetap (tempoh dan putarannya). Maka baginya hukum haid dalam masa yang tetap tersebut dan hukum istihadah bagi waktu selainnya. Contohnya ialah seorang wanita yang lazimnya didatangi haid selama enam hari bermula awal setiap bulan. Kemudian (pada satu bulan) dia mengalami pendarahan yang berterusan. Maka pendarahan enam hari yang pertama bermula dari awal bulan dikira sebagai haid manakala hari-hari selebihnya dikira sebagai istihadah. Aisyah radhiallahu anha menerangkan bahawa Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya aku didatangi istihadah, maka aku tidak suci. Adakah aku perlu meninggalkan solat?. Rasulullah menjawab: Tidak, sesungguhnya itu ialah irq (penyakit). Tinggalkan solat pada kadar haid yang kebiasaan bagi kamu, kemudian hendaklah kamu mandi dan dirikan solat. [Shahih al-Bukhari no: 325 (Kitab al-Haid)] Hal yang sama pernah berlaku kepada Umm Habibah binti Jahsy radhiallahu anha dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada beliau: Duduklah (dalam keadaan haid) sekadar mana yang pernah kamu alami dari hari-hari haid kamu (yang biasa), kemudian hendaklah kamu mandi dan solat. [Shahih Muslim no: 334 (Kitab al-Haid)] Kesimpulannya, bagi wanita yang memiliki masa haid yang tetap (tempoh dan putarannya), hendaklah dia mengira masa haidnya mengikut kebiasaan. Jika ada pendarahan pada hari-hari seterusnya, hendaklah dia mandi dan solat mengikut ukuran masa haidnya yang biasa. Tidak perlu diberi perhatian kepada pendarahan pada hari-hari seterusnya kerana itu adalah istihadah. Kedua: Wanita yang tidak memiliki masa haid yang tetap atau diketahui (tempoh dan putarannya). Contohnnya darah yang keluar secara berterusan sejak awal. Maka baginya dibezakan antara darah haid dan darah istihadah dengan memerhatikan sifat-sifat darah tersebut. Darah yang berwarna hitam (merah kehitaman) dan/atau pekat dan/atau berbau, ia adalah darah haid. Selainnya adalah darah istihadah. Sebagai contoh, seorang wanita yang mengalami pendarahan secara berterusan. Akan tetapi pada hari kesepuluh kelihatan perbezaan sifat darah: q Sehingga hari kesepuluh darah berwarna hitam (merah kehitaman) manakala selepas itu ia berwarna merah. Maka darah yang berwarna hitam adalah haid, darah yang berwarna merah adalah istihadah.

Sehingga hari kesepuluh darah bersifat pekat manakala selepas itu menjadi cair. Maka darah yang pekat adalah haid, darah yang cair adalah istihadah. Sehingga hari kesepuluh darah memiliki bau manakala selepas itu tiada lagi bau. Maka darah yang berbau adalah haid, darah yang tidak berbau adalah istihadah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu anha:

Apabila darah itu adalah haid maka sesungguhnya ia hitam (lagi) dikenali, justeru hendaklah kamu menahan dari melakukan solat. Jika ia adalah (darah) selain itu maka hendaklah kamu berwudhu dan mendirikan solat kerana sesungguhnya ia adalah (darah) penyakit. [Sunan Abu Daud no: 247 (Kitab al-Thaharah) dan Sunan al-Nasai dengan disahihkan oleh Ibn Hibban dan al-Hakim] Hadis di atas memiliki perbincangan dari sudut sanad dan matannya, akan tetapi para ilmuan rahimahumullah telah beramal dengannya. Bahkan ia adalah lebih utama daripada membiarkan persoalan ini kepada adat kebiasaan wanita.[1] Ketiga: Wanita yang tidak memiliki masa (tempoh dan putaran) haid yang tetap dan tidak juga memiliki sifat-sifat darah yang dapat dibezakan antara haid dan istihadah. Maka baginya masa haid diukur berdasarkan kebiasaan wanita, waktu selebihnya dikira sebagai istihadah. Sebagai contoh, wanita yang menghadapi kes ketiga ini melihat darah keluar secara berterusan bermula pada hari Khamis yang pertama dalam bulan tersebut. Maka hendaklah dia melihat kebiasaan para wanita lain yang menghampirinya dan menjadikan tempoh haid mereka sebagai ukuran ke atas dirinya. Jika pada kebiasaannya mereka didatangi haid selama enam atau tujuh hari, maka demikianlah juga ukuran ke atas dirinya. Oleh itu enam atau tujuh hari yang pertama pendarahan, bermula daripada hari Khamis, dianggap sebagai haid. Hari-hari seterusnya dianggap sebagai istihadah. Hadis berikut menjadi rujukan dalam kes ketiga ini. Himnah binti Jahsy radhiallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang wanita yang didatangi istihadah yang amat banyak, apakah pandangan engkau berkenaannya? Sesungguhnya ia menegah aku daripada mendirikan solat dan puasa. Rasulullah menjawab: Aku akan terangkan untuk kamu (cara menggunakan) al-Kursuf (kapas yang diletakkan di faraj), sesungguhnya ia dapat menghilangkan darah. Himnah berkata: Ia (darah saya) lebih banyak dari demikian itu. Rasulullah bersabda: Sesungguhnya ia (pendarahan kamu) adalah hentakan dari hentakan-hentakan syaitan, maka (apabila) kamu didatangi haid selama enam atau tujuh hari pada ilmu Allah Taala, hendaklah kamu mandi apabila kamu lihat bahawa kamu telah suci (dari darah haid), maka hendaklah kamu solat pada pada dua puluh tiga malam atau dua puluh empat malam dan siangnya dan hendaklah kamu berpuasa. [Sunan Abu Daud no: 248 (Kitab al-Thaharah) dan Sunan al-Tirmizi no: 118 (Kitab al-Thaharah) dan berkata al-Tirmizi, hadis ini hasan sahih] Sabda Rasulullah: Enam atau tujuh hari bukanlah penetapan tetapi ijtihad. Oleh itu hendaklah setiap wanita yang menghadapi kes ketiga ini berijtihad akan satu tempoh haid yang sesuai baginya. Ijtihad dibuat dengan merujuk kepada tempoh haid yang lazim dihadapi oleh para wanita lain yang menghampiri dirinya, seperti daripada keluarga atau adik beradik yang sama, rakan-rakan yang sebaya umurnya dan lain-lain lagi.[2] Demikian tiga cara yang paling lazim bagi membezakan antara darah haid dan istihadah. Sebagai penjelasan tambahan, kadang-kala berlaku pendarahan yang disalah anggap sebagai istihadah. Kesalahan ini boleh berlaku dalam dua kes: Pertama: Wanita yang mengetahui dengan jelas bahawa dia tidak akan didatangi haid lagi, seperti setelah melakukan pembedahan yang melibatkan pemotongan atau ikatan rahim. Maka baginya, yang mengalir keluar bukanlah istihadah tetapi al-Sufrah (cecair kekuningan) dan al-Kudrah (cecair kekeruhan antara kuning dan hitam) atau basahan. Maka hendaklah dia mendirikan solat dan puasa, serta boleh bersetubuh dengan suaminya. Dia tidak diwajibkan mandi (mandi wajib) kerana darah yang keluar tersebut. Akan tetapi hendaklah dia membasuh faraj serta mengikatnya dengan kain[3] supaya dapat mencegah darah daripada mengalir keluar. Bagi setiap solat fardhu, hendaklah dia berwudhu sesudah masuk waktu kemudian terus bersolat. Bagi setiap solat sunat, hendaklah dia berwudhu apabila sahaja hendak mendirikannya.[4] Kedua: Wanita yang tidak tahu secara jelas sama ada dia akan didatangi haid atau tidak. Maka baginya, pendarahan yang berlaku dianggap sebagai haid dan istihadah, dibezakan dengan tiga cara yang telah disebut di atas. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: Sesungguhnya yang demikian itu ialah irq (penyakit) bukanlah darah haid maka apabila datang haid maka hendaklah kamu meninggalkan solat. [Shahih al-Bukhari no: 306 (Kitab al-Haid)] Sabda Rasulullah: Maka apabila datang haid menjadi petunjuk yang membezakan antara haid dan istihadah. Maka bagi seorang wanita yang mungkin baginya untuk datang haid, maka hendaklah dia membezakan antara haid dan istihadah sepertimana tiga cara yang disebut di atas. Bagi wanita yang tidak mungkin didatangi haid maka yang wujud hanyalah Irq (penyakit) dalam apa jua keadaan sekalipun. Hukum-Hukum Istihadah. Sebelum ini dalam Bab 4 kita telah bahas hukum-hukum yang diwajibkan ke atas wanita yang sedang haid. Kini kita akan bahas pula hukumhukum yang diwajibkan ke atas wanita yang beristihadah. Apabila seorang wanita telah memastikan bahawa dia sedang mengalami pendarahan istihadah dan bukan haid, maka hukum-hukum yang diwajibkan ke atasnya adalah sama sepertimana wanita yang suci kecuali dalam tiga perkara berikut: Pertama:

Wanita yang beristihadah wajib berwudhu setiap kali hendak solat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu 'anha di dalam Shahih al-Bukhari no: 228: Kemudian hendaklah kamu berwudhu pada setiap solat. Hadis ini memberi makna bahawa dia tidak berwudhu untuk solat yang berwaktu kecuali selepas masuk waktunya. Adapun bagi solat yang tidak berwaktu (solat sunat) maka dia berwudhu ketika hendak melaksanakannya. Kedua: Apabila wanita yang beristihadah hendak berwudhu, hendaklah dia membasuh kesan darah dan mengikat farajnya dengan cebisan kain yang dilapik dengan kapas supaya dapat menahan darah.[5] Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Himnah radhiallahu 'anha: Aku akan terangkan untuk kamu (cara menggunakan) al-Kursuf (kapas yang diletakkan di faraj), sesungguhnya ia dapat menghilangkan darah. Himnah berkata: Ia (darah saya) lebih banyak dari demikian itu. Rasulullah bersabda: Maka hendaklah kamu mengekangnya (mengikatnya). [Sunan al-Tirmizi no: 118 (Kitab al-Thaharah) dan beliau berkata: Hadis ini hasan sahih] Apa yang keluar (apa-apa pendarahan) selepas itu tidaklah memudaratkan (tidak membatalkan wudhu) berdasarkan hadis berikut riwayat Ahmad dan Ibn Majah: Wahai Rasulullah, Sesungguhnya aku seorang wanita yang mengalami istihadah sehingga aku tidak suci, apakah aku patut meninggalkan solat? Tidak, hendaklah kamu jauhi solat pada hari-hari haidmu (sahaja) kemudian hendaklah kamu mandi dan berwudhu untuk setiap solat kemudian dirikanlah solat walaupun darah menitis jatuh ke atas tikar. [6] [Musnad Ahmad no: 25681 dan disahihkan oleh Syuaib alArnauth] Ketiga: Bersetubuh, maka para ilmuan berselisih pendapat mengenai kebolehannya. Pendapat yang sahih adalah ianya harus (dibolehkan) tanpa sekatan berdasarkan sebab-sebab berikut:

1. 2.

Merupakan satu kelaziman bagi para wanita pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengalami istihadah. Akan tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menegah para suami daripada menyetubuhi isteri mereka. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu. [al-Baqarah 2:222] Ayat ini menjadi dalil bahawa larangan bersetubuh hanyalah ke atas isteri yang sedang haid, tidak selain itu.

3.

Jika diharuskan solat bagi wanita yang beristihadah, maka sudah tentu diharuskan juga bersetubuh kerana bersetubuh adalah sesuatu yang lebih kecil berbanding solat.

Pendapat yang melarang bersetubuh mengqiyaskan wanita yang beristiadhah dengan wanita yang haid. Ini adalah qiyas yang tidak benar kerana wanita istihadah dan wanita haid adalah dua kes yang saling berlainan.
[1]

Maksudnya, jika persoalan ini dibiarkan kepada adat kebiasaan wanita, ia akan terdedah kepada pelbagai pendapat dan hukum yang tidak benar.

Justeru lebih baik menggunakan hadis di atas sebagai rujukan. Sekalipun ia memiliki perselisihan pendapat dari sudut kekuatannya, maksudnya tetap selari dengan lain-lain petunjuk syariat sehingga menjadi amalan para ilmuan sejak dari dahulu. (penyunting)
[2]

Para wanita lain ini hendaklah memiliki tempoh dan putaran haid yang normal. Sebagai contoh, jika seorang wanita menghadapi kes ketiga ini,

hendaklah dia merujuk kepada tempoh dan putaran haid yang lazim bagi adik beradiknya yang lain. Jika mereka didatangi haid selama 10 hari setiap satu bulan, maka tempoh 10 hari tersebut menjadi ukuran bagi dirinya juga. Maka bagi pendarahan berterusan yang dihadapinya, 10 hari setiap bulan dianggap sebagai haid manakala selebihnya dianggap istihadah. (penyunting)
[3]

Atau tuala wanita (penyunting). Maksudnya, satu wudhu bagi satu solat. Hukum ini khusus sebagai satu kemudahan (rukhsah) untuk kes ini sahaja supaya apa-apa yang mengalir

[4]

keluar dari faraj tidak dikira membatalkan solat. Justeru tidak boleh menggunakan wudhu yang sama untuk dua solat, seperti menggunakan wudhu yang sama untuk menunaikan solat Maghrib dan menyimpannya untuk solat Isya kemudian. Juga tidak boleh berwudhu jauh sebelum waktu solat, seperti mengambil wudhu pada pukul 6 petang untuk solat Maghrib pada pukul 7.30 malam. (penyunting)
[5]

Atau dengan memakai tuala wanita. (penyunting) Musnad Ahmad no: 25681 dan disahihkan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth. (penyunting) 6 Nifas dan Hukum-hukumnya

[6]

Nifas ( )ialah darah yang keluar dari rahim wanita atas sebab melahirkan anak. Ia keluar sama ada di saat melahirkan anak, selepas melahirkan anak atau dua hingga tiga hari sebelum melahirkan anak. Yang terakhir (sebelum melahirkan anak) hendaklah yang disertai dengan tolakan melahirkan anak(terasa nak bersalin). Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata: Apa yang dilihat oleh wanita semasa bermula tolakan bersalin ialah darah nifas. Ia (nifas) tidak disyaratkan oleh dua atau tiga hari sebelum bersalin tetapi disyaratkan oleh tolakan yang mengiringi bersalin. Jika berlaku pendarahan selain itu (tolakan bersalin), maka ia bukan nifas. Para ilmuan berselisih pendapat tentang tempoh bagi nifas, sama ada lama atau pendek. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:

Bagi nifas tidak ada tempoh minimum atau maksimum. Jika ditakdirkan seorang wanita melihat darah lebih daripada 40 atau 60 atau 70 hari lalu kemudian barulah ia berhenti, maka itu adalah darah nifas. Akan tetapi jika pendarahan berlaku secara berterusan (melebihi tempoh di atas) maka ia adalah darah fasid (istihadah). Maka batasnya (bagi kes ini) ialah 40 hari kerana sesungguhnya tempoh 40 hari adalah kebiasaan (bagi wanita yang sudah bersalin) sebagaimana yang disebut dalam atsar-atsar (pendapat tokoh terdahulu). [al-Risalah fi al-Asma allati Alaq alSyari al-Ahkam biha, ms. 37] Berdasarkan penjelasan di atas: 1. Apabila menjadi kebiasaan bagi seorang wanita untuk mengalami nifas melebihi 40 hari dan dia dapat mengenali tanda berhentinya, maka hendaklah dia menunggu sehingga nifasnya berhenti. Jika hal di atas bukanlah kebiasaan bagi dirinya, hendaklah dia menjadikan tempoh 40 hari sebagai tanda berhenti. Hendaklah dia mandi wajib setelah genap 40 hari. Pendarahan seterusnya dikira sebagai istihadah dan diwajibkan ke atasnya hukum-hukum istihadah sebagaimana yang dibahas sebelum ini. Jika nifas berhenti dalam tempoh kurang 40 hari, maka (setelah mandi wajib) dia dianggap suci tanpa perlu menunggu genap 40 hari. Akan tetapi hendaklah dipastikan bahawa nifasnya benar-benar sudah berhenti. Jika nifasnya hanya berhenti dalam tempoh kurang sehari, dia belum dikira sudah berakhir tempoh nifasnya. Jika nifas bersambung dengan haid, maka hendaklah dia tunggu sehingga berhenti haidnya. Diwajibkan ke atasnya hukum-hukum haid sebagaimana yang dibahas sebelum ini.

2.

3.

4.

Pendarahan hanya boleh dikategorikan sebagai nifas apabila ia keluar dengan sebab fitrah mengandung dan melahirkan anak. Jika ia keluar dengan sebab selain itu, seperti keguguran, maka ia bukanlah nifas tetapi darah penyakit (al-Irq) yang diwajibkan ke atasnya hukum-hukum istihadah. Masa yang paling awal untuk nifas secara fitrah ialah 80 hari sedangkan yang lazim ialah 90 hari daripada hari mula hamil. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah menulis, sebagaimana yang dinukil daripada kitab al-Iqna: Apabila berlaku pendarahan kerana tolakan bersalin sebelum 80 hari (daripada hari mula hamil), maka janganlah dipedulikan (kerana ia bukan nifas). Seterusnya: 1. Jika berlaku pendarahan selepas 80 hari kerana tolakan bersalin, hendaklah dia tidak bersolat dan tidak berpuasa (kerana ia adalah nifas).[1] Jika berlaku pendarahan selepas 80 hari kerana keguguran, hendaklah dia mendirikan solat dan berpuasa (kerana ia bukan nifas tetapi istihadah). Jika tidak jelas baginya (sama ada pendarahan disebabkan kehamilan atau keguguran) maka hendaklah dihukum berdasarkan yang zahir (yang paling diyakini).[2]

2.

3.

Hukum-Hukum Nifas
Sebagaimana haid dan istihadah, terdapat beberapa hukum yang diwajibkan ke atas wanita yang mengalami nifas. Secara umumnya hukumhukum nifas adalah sama dengan hukum-hukum haid kecuali dalam perkara-perkara berikut: Pertama: Iddah. Nifas tidak dijadikan ukuran iddah bagi seorang isteri yang dijatuhkan talak (diceraikan) oleh suaminya. Oleh itu apabila seorang isteri yang hamil dicerai oleh suaminya, maka tempoh iddahnya ialah sehingga melahirkan anak, bukan dengan berhentinya nifas. Apabila seorang isteri yang baru sahaja melahirkan anak dicerai oleh suaminya, maka iddahnya ialah menunggu hingga datang haid lalu dikira berdasarkan putaran haidnya, bukan berdasarkan nifasnya. Yang terakhir ini (iddah berdasarkan putaran haid) adalah sebagaimana yang telah dibahas dalam Bab 4, hukum haid yang Ketujuh dan Kelapan. Kedua: Ila Ila ialah tindakan seorang suami yang bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya buat selama-lamanya atau untuk satu tempoh yang melebihi empat bulan. Jika ini berlaku, maka tempoh empat bulan (atau lebih sebagaimana yang disumpah) dikira berdasarkan putaran haid isteri dan bukan berdasarkan nifasnya. Ketiga: Baligh. Tahap baligh bagi seorang wanita diukur berdasarkan datang haid dan bukan datang nifas. Ini kerana seorang wanita tidak mungkin akan mengalami nifas jika dia tidak hamil, dan dia tidak mungkin akan hamil jika tidak terlebih dahulu mengalami haid. Keempat: Nifas yang terputus-putus Bagi darah haid, jika ia keluar, kemudian terhenti sebentar, kemudian keluar semula, maka mudah untuk diyakini bahawa yang keluar semula itu adalah haid juga. Sebagai contoh, seorang wanita yang lazimnya memiliki tempoh haid lapan hari setiap bulan, lalu dia haid pada empat hari yang pertama, kemudian ia terhenti pada hari kelima dan keenam, kemudian ia keluar semula pada hari ketujuh dan lapan, maka mudah untuk diyakini bahawa yang datang semula pada hari ketujuh dan lapan tersebut adalah haid juga. Berbeza pula bagi darah nifas, para ilmuan berbeza pendapat ke atas kes nifas yang terputus. Umumnya terdapat dua pendapat: Pendapat Pertama: Apabila nifas terhenti sebelum 40 hari kemudian ia keluar semula pada hari ke-40, maka yang keluar semula itu dikategorikan sebagai darah yang disyaki. Dalam kategori ini, wanita yang mengalaminya wajib bersolat dan berpuasa. Sebelum itu ketika sedang nifas, diharamkan ke atasnya apa yang diharamkan ke atas wanita yang sedang haid.[3] Dia wajib mengqada puasanya selepas suci (jika dia nifas dalam bulan Ramadhan). Ini adalah pendapat yang mayshur dalam Mazhab Hanbali. Pendapat Kedua:

Apabila darah keluar pada suasana yang lazimnya disebabkan oleh faktor nifas, maka ia adalah nifas. Apabila darah keluar pada suasana yang lazimnya disebabkan oleh faktor haid, maka ia adalah haid.[4] Apabila darah keluar secara berterusan, ia adalah istihadah. Pendapat yang kedua inilah dianggap yang benar. Imam Ibn Qudamah rahimahullah di dalam kitabnya al-Mughni, jld. 1, ms. 349 menukil katakata Imam Malik rahimahullah: Jika dia (wanita) melihat darah selepas dua atau tiga hari, yakni selepas habis nifas, maka ia adalah darah nifas dan jika selepasnya ( lebih dari tiga hari) maka ia adalah darah haid.[5] Pendapat kedua ini juga merupakan pilihan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Kelima: Bersetubuh Apabila seorang wanita menjadi suci daripada haidnya lebih awal daripada tempoh yang biasa baginya, diharuskan bagi suami menyetubuhinya. Akan tetapi apabila seorang wanita yang sedang nifas suci daripada nifasnya lebih awal daripada tempoh 40 hari, wujud perselisihan pendapat sama ada harus atau tidak bagi suami menyetubuhinya. Yang benar diharuskan bagi suami menyetubuhinya dan ini adalah pendapat majoriti ilmuan. Untuk berkata tidak harus memerlukan dalil syarak padahal tidak wujud dalil syarak dalam permasalahan ini. Terdapat sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah di mana isteri Utsman ibn Abi al-Aas (yang baru suci daripada nifas) telah menghampirinya padahal di saat itu belum genap tempoh 40 hari. Maka Utsman berkata: Janganlah kamu menghampiri aku. Kisah ini tidak boleh dijadikan dalil menghukum tidak harus kerana tindakan Utsman mungkin di atas sikap berhati-hati kerana tidak yakin bahawa isterinya telah benar-benar suci atau akan keluar darah semula disebabkan persetubuhan atau sebagainya, Allah yang lebih mengetahui.
[1]

Dalam ertikata lain, syarat nifas ialah (1) ia keluar disebabkan tolakan bersalin dan (2) Ia keluar selepas 80 atau 90 hari daripada hari mula hamil

(penyunting)
[2]

Demikian adalah bagi zaman Ibn Taimiyyah yang meninggal dunia pada tahun 728H. Alhamdulillah, di masa kini sudah ada peralatan yang boleh

menentukan kehamilan atau keguguran. Maka mudah bagi seorang wanita untuk membezakan pendarahannya sama ada disebabkan kehamilan (nifas) atau keguguran (istihadah). (penyunting)
[3]

Seperti solat, puasa dan tawaf. (penyunting) Yang dimaksudkan dengan faktor nifas ialah hamil, disertai tolakan dan paling awal 80 hingga 90 hari selepas hari pertama hamil. Faktor haid

[4]

adalah apa yang selain daripada faktor nifas kecuali jika ia berterusan, maka ia adalah istihadah. (penyunting)
[5]

Maksudnya jika nifas terhenti kurang daripada tiga hari lalu kemudian keluar semula, yang keluar itu adalah nifas juga. Jika nifas terhenti lebih

daripada tiga hari lalu kemudian keluar semula, yang keluar semula itu bukanlah nifas tetapi haid. Maka tempoh berhenti selama tiga hari adalah pembeza antara darah nifas atau haid. (penyunting) 7 Hukum Penggunaan Ubat-Ubatan Yang Menegah Haid Atau Mendatangkannya Dan Yang Menegah Kehamilan Atau Menggugurkannya.

Pertama: Ubat-Ubatan Yang Menegah Haid. Diharuskan menggunakan ubat-ubatan yang menegah haid dengan dua syarat: Pertama: Tidak berlaku mudarat ke atas dirinya. Jika mengakibatkan mudarat maka ia diharamkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala: Dan janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke dalam bahaya kebinasaan. [al-Baqarah 2:195] Dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu. [al-Nisa 4:29] Kedua: Penggunaannya adalah dengan izin suami. Berikut adalah contoh dua kes yang memerlukan izin atau pengetahuan suami: 1. Seorang isteri yang diceraikan oleh suaminya lalu dia mengambil ubat penegah haid supaya tempoh iddahnya berpanjangan. Dengan itu berpanjanganlah tempoh pembayaran nafkah cerai oleh suaminya kepadanya. Menegah haid untuk menegah kehamilan. Walaubagaimanapun yang lebih utama (bagi suami isteri) ialah tidak melakukan hal ini kecuali untuk tujuan yang baik. Ini kerana putaran haid yang fitrah (semula jadi) adalah penting demi kesihatan yang normal.

2.

Kedua: Ubat-Ubatan Yang Mendatangkan Haid. Diharuskan menggunakan ubat-ubatan yang mendatangkan haid dengan syarat: Pertama: Bukan sebagai helah untuk meninggalkan ibadah seperti tidak solat dan berbuka pada bulan Ramadhan. Kedua: Mendapat izin suami kerana sengaja mendatangkan haid akan menggugurkan hak suami dari dua sudut: 1. 2. Menghalangnya daripada bersetubuh dengan isterinya. Menghalangnya untuk merujuk semula dalam kes penceraian. Iaitu isteri sengaja mendatangkan haid supaya tempoh iddah berlalu dengan cepat sehingga seandainya suami ingin merujuk semula, dia tidak sempat untuk berbuat demikian.

Ketiga: Ubat-Ubatan Yang Menegah Kehamilan. Terdapat dua jenis ubat-ubatan yang menegah kehamilan:

Pertama: Ubat yang menegah kehamilan secara tetap dan berterusan. Ini tidak diharuskan kerana ia mengurangkan keturunan. Tindakan ini menyalahi tujuan Islam yang mengutamakan umat yang ramai. Lebih dari itu seandainya dia kehilangan anak yang sedia ada masa kini, dia akan tinggal berseorangan sehingga ke hari tua (tanpa penjagaan). Kedua: Ubat yang menegah kehamilan untuk sementara waktu. Ini diharuskan dengan syarat mendapat keizinan suami dan tidak memudaratkan kesihatan. Contoh penggunaannya ialah wanita yang kerap hamil dan dia ingin merancang kehamilannya pada kadar sekali dalam setiap dua tahun. Dalil kebolehan ini tindakan para sahabat radhiallahu 'anhum di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mempraktikkan al-Azal terhadap para isteri mereka supaya mereka (para isteri) tidak hamil. Tindakan ini tidak ditegah oleh Rasulullah. al-Azal ialah tindakan seorang suami yang apabila bersetubuh dengan isterinya, dia mengeluarkan alat kelaminnya dari faraj isterinya di saat hendak keluar air mani.[1] Keempat: Ubat-Ubatan yang Menggugurkan Kandungan. Menggugurkan kandungan memiliki dua tujuan: Pertama: Bertujuan menghapuskan kandungan. Maka hukumnya terbahagi dua: 1. Jika sudah ditiup ruh pada kandungan maka tanpa ragu lagi hukumnya ialah haram untuk menggugurkannya. Ia termasuk dalam kategori membunuh tanpa hak yang diharamkan oleh al-Quran dan al-Sunnah serta kesepakatan umat Islam. Jika belum ditiup ruh maka wujud perselisihan pendapat sama ada harus atau tidak untuk menggugurkan kandungan. Sebahagian mengharuskannya, sebahagian menegahnya. Sebahagian lain berkata: Harus selagi mana belum terbentuk segumpal darah (sebelum 40 hari) manakala sebahagian lagi berkata: Harus selagi mana pada kandungan belum terbentuk apa yang berupa manusia. Pendapat yang dipilih ialah harus menggugurkan kandungan jika bersebab seperti sakit, tidak dapat menanggung kehamilan dan sebagainya. Akan tetapi jika pada kandungan sudah jelas terbentuk apa yang berupa manusia, maka ditegah daripada menggugurkannya. [2] Allah yang lebih mengetahui. Kedua: Bertujuan mengeluarkan kandungan demi sesuatu manfaat. Ini lazimnya berlaku setelah genap tempoh kehamilan atau menghampirinya. Ia diharuskan selagi mana tidak memudaratkan ibu dan anak serta tidak memerlukan pembedahan. Jika memerlukan pembedahan maka ia terbahagi kepada empat kes: 1. Ibu hidup, anak hidup. Pembedahan ditegah kecuali atas dasar darurat seperti kesukaran ibu untuk melahirkan anak secara fitrah. Pembedahan ditegah kerana badan adalah satu amanah kepada manusia yang tidak boleh diapa-apakan kecuali atas pertimbangan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar.[3] Lebih dari itu pembedahan hanya diharuskan dalam suasana darurat kerana betapa banyak pembedahan yang pada awalnya disangka tiada mudarat tetapi kemudian berakhir dengan mudarat. Ibu mati, anak mati. Tidak harus melakukan pembedahan kerana tidak ada apa-apa faedah. Ibu hidup, anak mati. Harus melakukan pembedahan supaya anak dapat dikeluarkan demi memelihara ibu daripada apa-apa kemudaratan. Ibu mati, anak hidup. Dalam kes ini diperhatikan: Jika tidak wujud kemungkinan untuk anak hidup maka tidak harus melakukan pembedahan. Jika wujud kemungkinan untuk anak hidup maka ia seterusnya terbahagi kepada dua : I. Jika anak sudah keluar sebahagian maka diharuskan pembedahan untuk mengeluarkan sebahagian yang tertinggal.

2.

2. 3. 4.

II. Jika anak belum keluar, maka di sini terdapat perselisihan pendapat. Pendapat Pertama menegah daripada melakukan pembedahan untuk mengeluarkan anak kerana ia mencacatkan mayat (mayat ibu). Ini adalah pendapat para sahabat kami rahimahumullah.[4] Pendapat Kedua mengharuskan pembedahan untuk mengeluarkan anak. Ini adalah pendapat Imam Ibn Hubairah rahimahullah dalam kitabnya al-Inshaf. Saya berkata, yang benar adalah Pendapat Kedua kerana melakukan pembedahan di zaman kita sekarang ini bukanlah sesuatu yang mencacatkan mayat kerana kesan pembedahan dapat dijahit kembali. Yang penting, menyelamatkan orang yang hidup (anak dalam kandungan) adalah lebih utama daripada menghormati orang yang meninggal dunia (ibu yang mati). Bahkan menyelamatkan yang maksum daripada kemusnahan adalah wajib hukumnya. Anak yang masih hidup di dalam kandungan ibu yang meninggal dunia adalah insan yang maksum sehingga wajib menyelamatkannya. Allah yang lebih mengetahui. Peringatan Dalam keadaan-keadaan yang harus untuk menggugurkan kandungan sebagaimana yang dibahas dalam bab ini, ia terlebih dahulu wajib mendapat izin daripada pihak suami sebagai orang yang memiliki kandungan tersebut.
[1]

Lebih lanjut tentang al-Azal, lihat buku penyunting yang berjudul Kaedah-Kaedah Memahami Hadis-Hadis yang Saling Bercanggah (Jahabersa,

Johor Bahru 2002). Boleh juga dirujuk edisi e-book di www.al-firdaus.com


[2]

Kecuali jika atas nasihat para pakar perubatan bahawa meneruskan kehamilan akan membawa kemudaratan yang besar kepada ibu. Maka jika

demikian kesnya, harus menggugurkan kandungan. Berikut beberapa sumber rujukan dalam bahasa Melayu: 1. 2. Perubatan Moden Menurut Perspektif Islam oleh Basri Ibrahim (Darul Numan, K. Lumpur 1999). Isu-Isu Bio Perubatan Menurut Islam oleh Abul Fadl Mohsin Ibrahim (edisi terjemahan oleh Yusof Ismail; A.S. Noordeen, K. Lumpur 1995). (penyunting).

[3]

Seperti keselamatan ibu dan anak. (penyunting) Maksudnya para tokoh dalam Mazhab Hanbali (penyunting).

[4]

You might also like